Somewhere near Grand Coulee Dam, Washington. The sun had not fully sunk, yet the moon could not wait to shine
Kedai Pelangi, located on the congested street of Jalan Sabang, serves a variety of traditional foods of Makassar such as Coto Makassar and Sop Konro, the famous rib soup, complete with buras (rice cake similar to lontong or ketupat, the Javanese rice cakes). Kedai Pelangi also offers traditional desserts such as ‘palu butung’ and ‘es pisang ijo’.
If you are in Jakarta and are longing for Makassar food, Kedai Pelangi is one of the few places you should visit. A bit of advice. though, if you order Sop Konro remind the server to bring you a very hot soup . Mine was not as hot as it was supposed to be.
Makassar Dishes
Jl. H Agus Salim no 18 A
Jakarta Pusat
Telp: +62 21 315 1999
Casual
April 14, 2014. Dinner with Maga and Andy Jamie
Jam menunjukkan pukul sembilan malam, ketika dokter Nick Woodward meninggalkan Rumah Sakit. Matahari musim panas yang belum sempurna tenggelam menyambutnya ramah. Dengan santai Nick mengendarai mobil sport berwarna biru metalik di sepanjang pinggiran danau Erie yang telah mulai sepi dari pecinta ski air. Angin hangat berhembus lembut lewat di atas kepala Nick dan mempermainkan rambut pirangnya. Sekilas Nick melirik wajahnya lewat kaca spion. Wajah itu masih tetap tampan walau sudah ada kerut-kerut halus di sekitar mata dan bibirnya. Nick tersenyum.
‘Aku sudah mulai tua,’ gumamnya bangga.
Nick memperlambat mobilnya ketika memasuki Theresia Street. Dari jalan ini biasanya dia dapat melihat Sita, anaknya sedang duduk di balkon yang segera akan berlari turun bila melihat mobil yang dikendarainya. Begitu Nick keluar dari mobil anak itu telah berdiri di depannya siap dengan ciuman dan pelukan sayang. Tapi malam ini Sita tidak tampak. Ada sedikit rasa kecewa di hati Nick. Sesampai di depan rumah Nick membunyikan klakson panjang. Tidak ada yang keluar. Kemudian Nick memijit tombol otomatis pembuka pintu garasi dan meluncurkan mobilnya masuk sambil terus membunyikan klakson berharap Sita akan keluar. Mobilnya baru berhenti ketika akan menabrak sepeda balap berwarna merah milik Sita. Anak itu tidak keluar ke mana-mana pikir Nick.
‘Sita!’ panggil Nick sambil keluar dari mobil. Tidak ada sahutan.
‘Sita!’ panggilnya lebih keras lagi dan membuka pintu garasi yang langsung berhubungan dengan dapur.
‘Sit..,’ panggilan itu terhenti di ujung lidah. Matanya terpaku pada selembar kertas yang tertempel di dinding dapur. Di kertas itu dengan spidol merah tebal tertulis ’Happy Birthday, Sita.’ Tulisan tangan Sita sendiri
‘Ya, Tuhan,’ desis Nick lesu. ‘Sebegini pelupakah aku sehingga hari ulang tahun anakku satu-satunya pun terlupa? Hari yang paling penting dalam hidupku.’ Beberapa saat Nick diam tidak bergerak merenungi poster di depannya. Ketika tersadar, dengan cepat dia menaiki anak tangga menuju kamar Sita.
‘Sita..,’ panggil Nick lembut di depan daun pintu yang bertuliskan “Sita’s Room” di antara sticker berbagai Nateam kupu-kupu. Beberapa kali Nick mengetuk pintu berharap pintu itu akan terkuak dan muncul wajah manis anaknya. Setelah lama pintu itu bergeming, Nick membukanya. Tidak dikunci. Nick memasuki kamar itu tetapi Sita tidak ada.
Nick mengamati seantero ruangan; tempat tidur dengan bed cover warna merah muda dengan gambar kupu-kupu. Di pojok ruangan sebuah tongkat softball dengan glove yang tergantung di atasnya, meja belajar yang penuh dengan buku-buku olahraga dan di lantai yang beralaskan karpet yang juga berwarna merah muda bertebaran berpuluh-puluh boneka yang berlainan bentuk, jenis, serta ukuran. Di dinding hanya terdapat beberapa lukisan. Gambar kupu-kupu yang Sita buat pada waktu berusia enam tahun dan di atas perapian… Nick menahan nafas. Setiap kali memandang lukisan itu ada segores kepedihan yang dalam tapi nikmat sehingga tanpa disadarinya dia sering menyelinap ke kamar anaknya untuk memandang lukisan itu. Lukisan bekas istrinya Nina.
‘Maaf, Nina, aku tidak bermaksud melupakan hari bahagia kita. Kalau saja aku tidak begitu sibuk dengan pasienku, hal ini tidak akan terjadi. Sekarang apa yang harus kulakukan? Anak kita pasti mengira aku tidak mempedulikannya.’ Nick mengeluh pada gambar istrinya.
Dengan lesu Nick turun lagi. Dia duduk di dapur tanpa mempedulikan untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Dalam kegelapan dia dapat melihat dengan jelas peristiwa-peristiwa yang dialaminya ketika menanti kelahiran anaknya.
Siang itu Nina uring-uringan terus. Tidak ada satupun yang benar dan pas di matanya. Semua perawat wanita di rumah sakit kena dampratannya. Nick tahu kalau saja Nina bukan seorang dokter suster-suster itu akan balik mendapratnya karena kemarahan Nina rasanya terlalu dibuat-buat.
‘Oke, Nina, ada apa?’ tanya Nick dalam perjalanan pulang. Mereka berdua bekerja pada rumah sakit yang sama.
‘Apa maksudmu?’ tanya Nina pura-pura tidak tahu maksud pertanyaan Nick.
‘Sehari ini kamu marah sebanyak enam puluh tiga kali tanpa tersenyum sekali pun,’ jawab Nick.
‘Sebanyak itu? Aku tidak menghitungnya tadi,’ sahut Nina
‘Donna sampai-sampai seperti bertemu setan setiap kali melihatmu. Jangan keras-keras terhadap mereka, Nin. Kamu selamanya lembut, sehingga kamu marah sedikit saja mereka sudah tahu kalau mereka berbuat kesalahan,’
‘Membela?’ tanya Nina sengit. Matanya yang hitam indah membulat. Nick tersenyum. Belum pernah dia melihat istrinya marah-marah. Baginya, Nina adalah gadisnya yang selalu lembut dan penuh pengertian. Sedikit cerewet, mungkin. Nina tambah dongkol melihat Nick tersenyum. Nick tertawa.
‘Jangan cengar-cengir, enggak cakep tahu,’ tegur Nina. Nick tertawa lebih keras. Nina menutup kedua telinganya dengan jari dan bersandar sambil menanti Nick menghentikan tawanya. Nick menurunkan tangan Nina.
‘Ayo, Nina, katakan apa sebenarnya?’ tanya Nick.
‘Tidak ada apa-apa,’ jawab Nina biasa.
‘Pasti ada apa-apa. Kamu tidak pernah marah kepada perawat-perawatmu. Kalau kamu marah kepadaku itu lumrah. Setiap hari kamu lakukan itu,’ kejar Nick. Nina memelototkan matanya.
‘Kalau kukatakan bisa pingsan kamu,’ jawab Nina pendek. Ganti Nick yang bingung dan Nina tersenyum.
‘Kamu jatuh cinta pada laki-laki lain?’ tanya Nick ragu. Nina tertawa senang dan memegangi perutnya menahan geli.
‘Kamu pikir aku sudah gila untuk membiarkanmu bebas dan memberikan suamiku yang ganteng untuk perawat-perawat cantik itu?’ tanya Nina di tengah tawanya.
‘Kalau begitu tidak ada sesuatu yang akan membuatku pingsan. Aku hanya akan pingsan bila kamu berniat pergi dariku. Bahkan mungkin bisa sampai mati.’
‘Rayuan gombal,’ sahut Nina masih dengan tawa. Nick berhasil membuat Nina tertawa tetapi dia tidak berhasil mengorek apa yang ingin dikatakan Nina tadi.
Sesampai di rumah Nina langsung menyibukkan diri di dapur, menyiapkan makan malam. Sementara Nick duduk tepat di kursi yang sekarang didudukinya sambil mengamati istrinya yang sedang bekerja.
‘Cucian di bawah tugasmu, Nick,’ Nina memperingatkan.
‘Ya, aku tahu,’ jawab Nick malas.
‘Kalau tahu jangan cuma duduk di situ memandang orang bekerja. Enggak enak kalau bekerja di bawah pengawasan mata seperti itu,’ omel Nina.
‘Aku tidak memandang orang bekerja. Aku memandang istriku,’ jawab Nick sambil beranjak dan mendekati Nina. Dipeluknya Nina dari belakang dan dicium leher bagian belakangnya dengan lembut. Nina menggeliat melepaskan diri.
‘Cucianmu, Nick!’ tegur Nina.
‘Nanti setelah makan malam,’ jawab Nick mencari alasan agar bisa berdekatan dengan istrinya. Dia berusaha memeluk Nina lagi. Nina menjauh.
‘Aku tahu kamu masih penasaran,’ tebak Nina,’ kamu ingin tahu apa yang akan kukatakan tadi. Aku tak mau mengatakannya sebelum tugasmu beres. Ayo, Nick sayang, cucianmu,’
‘Nin…’ Nick masih mencoba membujuk. Nina menggeleng. Dengan cepat Nick turun ke basement tempat kedua mesin cucinya berada. Dipilihnya baju-baju yang halus untuk dimasukkan ke mesin cuci yang satu dan handuk-handuk serta seprei-seprei ke mesin cuci yang lainnya. Siulan yang biasa mengiringi dia bekerja tidak terdengar.
‘Beres, Nin,’ Nick mengumumkan ketika tiba di dapur kembali. Nina yang sedang mengatur meja makan menoleh dan memberikan senyuman penuh rahasia.
‘Hari ini kamu benar-benar aneh,’ komentar Nick sambil membuka lemari es dan mengeluarkan lettuce, beberapa buah tomat dan timun untuk membuat salad. Nina tidak menanggapi komentarnya.
Nick berusaha untuk makan secepatnya gar bisa mendengar apa yang akan dikatakan istrinya. Tetapi sebaliknya Nina seakan mengulur-ulur waktu. Jika biasanya yang menghidangkan makanan penutup Nina, tetapi malam itu Nick yang khusus memilihkan. Bukan karena apa-apa, hanya ingin agar makan malam itu cepat usai.
‘Cepat sedikit dong, Nin,’ desak Nick tak sabar melihat istrinya tenang-tenang menikmati apple pie
‘Oke, kita cuci dulu piring-piring ini, jadi bila kamu pingsan nanti, semuanya sudah beres,’ Nina bangkit dan menumpuk piring-piring kotor. Nick makin penasaran. Dihadangnya Nina dan diambilnya piring-piring yang berada di tangannya dan diletakkan kembali ke atas meja.
‘Nina, jangan ulur-ulur waktu, please. Aku bisa mati penasaran,’ pintanya.
‘Kita akan punya bayi, Nick,’ bisik Nina lirih. Nick membelalak kaget. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
‘Maaf, Nick, aku yang salah,’ bisik Nina kembali hampir diiringi tangis. Nick tersadar dari keadaannya. Dengan cepat direngkuhnya Nina dan dimasukkan ke dalam pelukannya sambil tertawa bahagia.
‘Terima kasih, Nina. Terima kasih,’ katanya berulang-ulang. Nina mendorong tubuh Nick dan dipandangnya Nick dengan pandangan heran.
‘Nick, lupakah kamu dengan perjanjian kita? Bukankah kita telah berjanji untuk tidak memiliki anak di dalam perkawinan ini. Demi kebaikan anak-anak kita sendiri, Nick.’
‘Kamu yang menginginkannya, Nin. Bukan aku,’ jawab Nick berusaha menjaga emosinya agar Nina tidak tersinggung.
‘Tapi kamu menyetujuinya, Nick.’ Nina terbelalak karena tidak menduga Nick akan sependapat dengannya.
‘Kalau aku dulu setuju, itu supaya kamu mau kawin denganku. Aku terlampau mencintaimu, Nin, sehingga tanpa anak pun aku bersedia hidup bersamamu. Tapi sesungguhnya sudah lama aku merindukan anak darimu. Aku tidak berani meminta kepadamu karena aku sudah berjanji. Kamu mengerti maksudku kan, Nin,’ Nick berusaha berbicara dengan tenang. Dulu sewaktu mereka masih berpacaran, Nina pernah menjelaskan dengan panjang lebar alasan mengapa dia tidak mau punya anak jika dia harus kawin dengan orang kulit putih.
‘Kamu tahu akibatnya, Nick?’ tanya Nina parau, dia mulai menangis. ‘Anak kita, Nick! Dia yang akan menderita. Dia tidak akan mempunyai negara yang bisa dibanggakannya. Dia bukan Amerika karena ibunya orang Indonesia dan dia tidak bisa mengaku orang Indonesia sebab dia berkewarganegaraan Amerika. Oh, Nick,’ keluh Nina. Nick bingung mengapa masalah seperti itu dipersoalkan.
‘Nina, dia anak kita. Aku tidak peduli apakah dia Indonesia atau dia Amerika. Buat apa kau pikirkan kebangsaan, Nin? Kamu sendiri orang Indonesia mau kawin dengan orang Amerika. Kalau kamu menginginkan anak kita berkewargaan Indonesia, kita usahakan, Nin,’ hibur Nick.
‘Kamu serius dengan kata-katamu?’ tanya Nina bimbang. Dia tidak lagi mempedulikan kewarganegaraan. Sebelumnya yang dia kuatirkan adalah jika Nick tidak menghendaki anak yang dikandungnya sebab ketika dia berbicara tentang tidak baiknya memiliki anak indo, Nick menyetujui seratus persen. Seakan Nick ikut mendukung pendapatnya.
‘Nina, kalau selama hidup kamu anggap aku tidak pernah berbicara serius. Inilah saatnya aku benar-benar serius dengan apa yang kau ucapkan.’
‘Oh, Nick…’ Nina memeluk Nick dan menelusupkan kepalanya ke dada Nick. Nick tersenyum bahagia. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kebahagiaan seperti itu. Anaknya akan dilahirkan oleh wanita yang paling dicintainya. Adakah kebahagiaan melebihi itu? Nick kemudian mengangkat wanita mungilnya dan membawanya ke lantai atas. Nick tidak pingsan mendengar kabar itu tapi dia tidak lupa akan tugasnya. Piring-piring kotor dibiarkannya tetap berada di meja makan hingga keesokan harinya.
Nina mulai mengambil cuti ketika kandungannya memasuki usia enam bulan. Sebenarnya dia masih mampu bekerja, tetapi Nick menghendakinya demikian. Semua tugasnya diambilalih Nick. Baik tugas rumah sakit maupun tugas rumah tangga. Nick memanjakannya melebihi seorang ratu. Setiap pagi, sebelum Nick pergi ke Rumah Sakit, mereka berdua berjalan-jalan menikmati Clayton, kota kecil yang cantik di pesisir danau Erie. Menikmati musim semi di sepanjang pesisir sambil menikmati nyanyian burung robin.
‘Nin, aku sudah memilih dokter yang akan melahirkan anak kita. Dokter Wyatt,’ Nick mengabarkan dengan gembira pada suatu malam. Nina sedang asyik membaca koran.
‘Aku tidak mau,’ sahut Nina tanpa memandang kepada Nick.
‘Hei, dia dokter yang paling hebat di negeri ini. Aku tidak akan mempercayakan bayiku dilahirkan oleh dokter lain.
‘Sudah kukatakan aku tidak mau,’ sanggah Nina dan meletakkan koran yang dibacanya.
‘Kamu sudah mempunyai dokter pilihan?’ tanya Nick. Nina mengangguk sambil menunjuk Nick.
‘Kamu, Nick,’ ucapnya mantap. Nick kaget.
‘Nina, kamu gila,’ teriak Nick protes. ‘Kamu tahu aku tidak akan mampu melakukannya Pertamu aku bukan seorang dokter kandungan. Kedua, memasukkan jarum di lenganmu saja aku tidak berani, apa lagi untuk melahirkan. Nina, jangan masukkan pikiran seperti itu ke dalam otakmu.’
‘Dengar, Nick, aku tidak akan mengijinkan anakku disentuh orang lain selain ayahnya pada hari pertamanya dia berada di dunia ini. Dan kamu sebagai ayahnya harus menanggung resiko ini,’ jerit Nina.
‘Nina, kamu tahu aku tidak bisa,’ Nick membujuk dengan lembut. ‘Berpikirlah yang positif, Nin. Tidak ada salahnya anak kita dilahirkan orang lain. Ijinkanlah dokter Wyatt untuk melakukannya. Aku akan mendampinginya. Oke?’
‘Tidak!’ jawab Nina pendek.
‘Bagaimana jika suamimu bukan seorang dokter, apakah dia juga terkena kewajiban untuk melahirkan anakmu?’ Nick kehabisan akal.
‘Aku telah kawin dengan seorang dokter,’ jawab Nina masa bodoh. Nick masih berusaha meyakinkan Nina bahwa dia tidak akan sanggup untuk melahirkan anaknya, tapi dengan kalem Nina menjawab.
‘Kamu melahirkan anakmu atau anakmu akan kubiarkan tetap berada di dalam perutku.
‘Akhirnya Nick menyerah. Dialah yang melahirkan Sita ke dunia, didampingi dokter Wyatt tentunya. Dialah orang yang pertama kali dapat menyentuh kulit anaknya. Memberikan sentuhan kasihnya yang pertama. Saat itu dia memahami mengapa Nina begitu ngotot memaksakan agar dia yang melahirkan anaknya.
Namun kini dia sendiri telah melupakan hari itu. Hari di mana dia bersimbah keringat dan penuh kekuatiran mencoba menolong anaknya agar bisa meniup dan menghembuskan nafas dunia. Hari di mana di penuh kebahagiaan mendekap anaknya yang tak berdaya dan juga hari di mana dia menciumi dan membelai ibu dari anak yang dilahirkannya itu.
Nick bangkit kemudian berdiri di depan jendela memandang danau Erie. Bulan sudah menampakkan diri membuat bayangan indah sekaligus misterius karena sebagian sinar bulan terhalang oleh pohon-pohon yang berada di pulau-pulau di tengah danau. Tiba-tiba matanya menangkap bayangan seseorang yang duduk di dermaga dengan kaki yang menjuntai ke dalam air. Dari potongan tubuhnya Nick tahu kalau bayangan itu milik anaknya. Anaknya yang mewarisi tinggi Nick, tetapi kulit dan rambutnya lebih cenderung ke Nina. Sedangkan matanya adalah perpaduan antara mata Nick dan mata Nina. Ada rasa nyeri di dada Nick melihat Sita dalam keadaan seperti itu. Begitu sendiri dan sendu.
Nick berjalan mendekati Sita. Langkahnya ringan takut mengagetkan. Tapi karena dermaga itu hanya dibuat dari kayu yang sederhana, goyangan sedikit pun mampu menggoyangkan seluruh dermaga. Sita menoleh. Dalam cahaya bulan Nick melihat mata anaknya berkaca. Nick tertegun.
Aku pernah melihat mata persis seperti mata itu sebelumnya. Dimana? pikir Nick. Nina? Ya, Nina pernah mempunyai mata dalam keadaan seperti itu Kapan?
Dua belas tahun yang lalu Nick melihat Nina dengan mata yang berkaca seperti mata anaknya saat ini. Nina tidak menangis, hanya matanya berkaca ketika meninggalkan ruang pengadilan yang memutuskan perceraian mereka dan menyerahkan anak mereka satu-satunya yang saat itu berumur empat tahun ke tangan Nick. Nina tidak menangis. Tapi justru pada matanya yang berkaca itu Nick dapat melihat duka yang sangat dalam. Oh, Nina.
Nick menggelengkan kepalanya berusaha mengusir bayangan bekas istrinya sebelum mendekati Sita.
‘Sita,’ tegur lembut sambil berjongkok di sisi anaknya, ’maafkan aku,’ sambungnya. Sita tidak menyahut. Dia menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air membentuk ombak-ombak kecil.
‘Aku tahu aku telah melalaikan kewajibanku sebagai seorang ayah…,’ Nick menunggu reaksi anaknya. Namun Sita tetap membungkam
‘Kamu mau memaafkan ayahmu ‘kan? Tadi ada seorang ibu yang memerlukan operasi darurat. Aku satu-satunya dokter yang berada di Rumah Sakit, jadi akulah yang harus menolongnya.’ Nick mencari alasan yang setengahnya benar. Memang tadi dia melakukan operasi mayor, tetapi bukan itu penyebab kelupaannya. Sita masih diam.
‘Sita, bicaralah sesuatu. Marahilah ayahmu bila itu yang kamu inginkan. Jangan berdiam diri seperti ini,’ bujuk Nick. Kembali bayangan Nina hadir. Nick tak pernah bisa menghadapi Nina jika Nina yang biasanya ceriwis itu ngambek dan membisu. Kini tanpa dididik Sita mewarisi keahlian ibunya.
‘Sita, katakan apa yang ada di dalam hatimu. Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang kau inginkan jika kamu tidak mengatakannya kepadaku.’
‘Okey, Nick. Aku bosan hidup di Clayton ini. Kalau saja aku mempunyai sedikit keberanian, aku sudah minggat dari dulu,’ jerit Sita. Dia tidak pernah memanggil Nick dengan sebutan ‘daddy’ seperti anak-anak Amerika lainnya. Sejenak Nick tertegun. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya. Kemudian direngkuhnya Sita ke dalam pelukannya. Anak itu kemudian menangis keras, airmatanya menembus kemeja Armani yang dipakai Nick dan membasahi dadanya. Nick membiarkannya sambil membelai rambut hitam Sita, matanya memandang ke atas, kosong.
‘Nick, maafkan aku. Aku tidak sungguh-sungguh dengan kata-kataku,’ bisik Sita tersendat-sendat dan mempererat pelukannya. “ Aku merasa begitu sendiri di sini, Nick. Aku merasa bukan di sini tempatku yang sesungguhnya. Aku bukan milik Clayton.’
Nick berusaha menahan gejolak yang timbul secara tiba-tiba di hatinya. Dua belas tahun yang lalu ada seorang wanita yang menyatakan hal yang serupa yang menyebabkan dirinya kehilangan wanita itu untuk selama-lamanya.
‘Sita, temanmu di Clayton banyak. Ada aku di sini. Ada juga Nate, pamanmu. Kamu tidak sendirian. Begitu banyak orang yang mencintaimu di sini. Clayton adalah tempatmu. Sita. Kamu dilahirkan di sini. Kamu tidak boleh mempunyai perasaan seperti itu,’ hibur Nick. Dia tahu Sita sangat kesepian.
‘Kamu, Nate dan yang lain-lainnya adalah milik Clayton. Rumah Sakit membutuhkanmu. Clayton membutuhkanmu, sedang aku … tidak seorangpun membutuhkanku di sini,’ Sita terisak.
‘Sita, aku membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu. Ketahuilah itu potong,’ Nick cepat. Ada air mata di sudut matanya. ‘Kalau aku lupa hari ulang tahunmu, tidaklah berarti aku tidak membutuhkanmu, Sit,’ sambung Nick. Kemudian diciumnya pipi Sita yang penuh dengan air mata. Sita tersenyum merasakan kasih sayang ayahnya .
‘Selamat Ulang Tahun, sayang. Hari ini tak ada kado yang dapat kuberikan. Tapi terimalah cintaku,’ bisik Nick. Sita tersenyum manis.
‘Itu sudah cukup, Nick. Tapi jangan lupa besok hadiahnya,’ Sita memperingatkan. Sita telah kembali kepada sifat aslinya yang tidak pernah membiarkan duka bersarang di hatinya lebih dari lima menit. Hal ini yang sedikit banyak dapat menghibur hati Nick. Membesarkan seorang anak tanpa seorang ibu benar-benar hal yang tidak gampang. Dia selalu khawatir jika anaknya nanti tumbuh tidak normal karena kepincangannya dalam memberikan cinta. Dia takut anaknya nanti tumbuh sebagai anak yang pendiam dan selalu berduka.
Terimakasih Tuhan, telah Kau beri aku anak semanis Sita. Nick memandang ke atas seakan dia tahu Tuhan berada di atasnya dan mendengarkan rasa syukurnya.
Pagi sekali Sita telah keluar dari rumah. Pada musim panas dimana sebagian besar kawannya dapat tidur hingga siang, dia terpaksa bangun lebih awal. Bagi Sita tidak mungkin bisa tidur dengan teriakan-teriakan para pemain ski air dan bisingnya mesin-mesin perahu boat. Rumah mereka berada di luar kota dan dikelilingi oleh air danau. Hanya bagian depan yang menghadap ke timur saja yang tidak. Pada musim-musim yang lain, rumah itu selalu sepi dan damai, tetapi pada musim panas kedamaian itulah yang paling didambakannya.
Sita berjalan di dermaga dengan menenteng sebungkus besar roti tawar. Itulah kebiasaanya setiap pagi, memberi makan burung-burung camar. Dan camar-camar itu telah hafal dengan kebiasaannya. Mereka akan terbang mendekat bila mendengar siulan Sita. Sita tersenyum menyambut sahabat-sahabat kecilnya, kemudian dia mulai memotong rotinya menjadi irisan-irisan kecil dan kemudian ditaburkannya ke atas. Camar-camar itu terbang tak sepotong rotipun yang sempat jatuh ke bawah. Suara mereka hingar-bingar, mengalahkan deru kapal bermotor. Beberapa kali Sita memotong dan menaburkan rotinya hingga habis. Dan jika Sita telah mengibas-ngibaskan bungkus palstiknya yang kosong, tanpa dikomando lagi kawanan camar itu akan terbang menghilang di balik awan.
Sita masih saja berdiri di ujung dermaga mengamati para pemain ski. Ada beberapa kawannya yang lewat dan melambai.
‘Hai, Sita!‘ teriak seseorang dengan celana renang berwarna biru tua dengan strip putih. David Sweeney, murid yang paling popular di sekolah Sita.
‘Hai!‘ balas Sita sambil melambai. David mau membalas melambai, tetapi tiba-tiba keseimbangannya hilang. Pegangannya pada tali penarik lepas dengan serta merta dia tercebur ke dalam air. Teman-temannya yang berada di perahu penarik tertawa berderai. Sita ikut tertawa.
Papan luncur Davidn yang muncul pertama kemudian diikuti oleh kepalanya.
‘Sita, jangan berdiri di situ,’ teriak David pada kesempatan pertama dia bisa ngomong kembali. ‘Kamu mengacaukan konsentrasiku,’ sambungnya berkelakar. Kembali mereka semua tertawa. Pipi Sita merah menahan malu. Sita memperhatikan mereka berlalu dan memandang gerakan lincah David di atas papan skinya.
Tiba-tiba Sita melihat sebuah katamaran muncul dari balik pulau Kelleys. Melihat dua layarnya yang berwarna-warni bak pelangi, Sita tahu kalau katamaran itu adalah ‘Sita’, katamaran yang paling indah di seluruh Clayton, milik Nate, saudara kembar ayahnya. Sita menanti hingga kapal itu mendekat. Ketika kapal itu bersandar pada dermaga, cepat-cepat Sita berjalan menuju ke depan pintu keluar. Nate muncul dengan senyum lebar di tengah-tengah kumis dan jambangnya dengan bungkusan besar di tangannya.
‘Hello, Indonesia!’ teriaknya nyaring. Sita tersenyum sambil memandang pamannya yang semakin hari semakin kumal.
‘Ciri khas seorang pelaut,’ kata Nate dulu, ‘seorang pelaut tidak ada yang setampan Nick. Kalau aku bersih, aku sudah jadi dokter sekarang.’ Dahulu – belasan tahun lalu – Nate adalah seorang kapten pada perusahaan pelayaran internasional. Tetapi begitu dia mampu membeli ‘Sita’ dia tidak pernah ke luar dari danau Erie. Paling jauh berlayar sampai Buffalo di New York.
Nate meloncat turun tepat di depan Sita. Sesudah menurunkan bungkusannya dia mengambil Sita dengan kedua tangannya yang kokoh dan mengangkatnya ke atas dan memutar tubuhnya bak baling-baling. Sita berteriak-teriak protes.
‘Lepaskan, Nate! Lepaskan! Aku bukan anak kecil lagi!’ Nate tertawa keras sambil menurunkan Sita. Inilah bedanya dengan Nick, pikir Sita. Aku tidak pernah melihat Nick tertawa bebas. Kehidupan Nick terlalu formil dan seakan ada kesedihan yang tidak pernah berhasil kusibak.’
‘Aku tahu kamu telah besar sekarang. Berapa umurmu, honey?’ Sita cemberut. Kemarin ulang tahunnya yang keenambelas dan tidak seorangpun mengingatnya. Sweet Sixteen. Semua temannya selalu merayakan sweet sixteen dengan gegap gempita.
‘Ayo, Sita, cheer up. Aku cuma mengganggumu,’ Nate berkata sambil tertawa. Kemudian dia membungkuk dan mengambil bungkusan yang tadi diletakkannya. ‘Nah ini dia hadiah bagi gadis tercantik di Clayton yang kemarin tepat berusia enam belas tahun.’ Nate mengulurkan bungkusannya.
‘Nate?’ Sita bertanya tidak percaya. Nate mengangguk kemudian mencium pipi keponakannya. Sita tertawa geli tersentuh jambang dan kumis Nate
‘Kupikir kamu lupa, karena kemarin kamu tidak pulang. Kemana saja kamu? ‘tanya Sita menyelidik. Kembali Nate tertawa.
‘Sudah kukatakan beberapa hari yang lalu kepadamu bahwa aku ada obyek besar di Detroit. Semalam aku berniat menelponmu, tapi…’ Nate tak melanjutkan.
‘Kamu mabuk di sebuah bar.’ Sita yang meneruskan. Nate tertawa terpingkal-pingkal dan tidak menyangkal dugaan Sita.
‘Ayo masuk! Aku belum sarapan. Ada sarapan untukku?’ tanya Nate dan menggandeng Sita.
‘Sebanyak yang kamu inginkan. Tadi Nick membuat pancake.’ Ketika mereka masuk Nick masih berada di dapur. Dia menoleh dan mengajak Nate makan.
‘Belum berangkat, Nick?’ tegur Nate.
‘Hari ini aku akan terbang ke Boston mengambil alat-alat yang kupesan. Aku akan berada di sana tiga hari. Kamu tidak akan pergi, kan?’ tanya Nick. Nate menggeleng dan mengambil piring yang langsung diisi dengan empat potong pancake sekaligus.
‘Wow!‘ tiba-tiba terdengar jerit kekaguman dari Sita. Dia telah membuka hadiah dari Nate. Di dalam bungkusan itu dia mendapatkan Manuel Rodriguez Jr, sebuah gitar klasik spanyol yang sudah lama dia impikan serta sebuah buku musik berisi not dan lyric lagu-lagu Bob Dylan.
‘Makasih, Nate,’ teriak Sita kemudian dia menekuni gitarnya. Menyetel dawainya dan mencoba memainkan beberapa lagu.
‘Sita, kamu mau ikut berlayar?’ tanya Nate.
‘Sita?’ panggil Nate ketika Sita tidak memberi respon.
‘Apa?’ tanya Sita tanpa mendongakkan kepalanya.
‘Kamu mau ikut berlayar?’ kali ini Nick yang berbicara sebab mulut Nate masih penuh dengan makanan.
‘Ke Cleveland?’ tanya Sita mulai ada perhatian. Nate menggeleng.
‘Ke Canada,’ jawabnya.
‘Nggak mau, bosan ke Canada terus.’
‘Aku butuh guide. Hari ini kapalku akan mengantarkan siswa pertukaran pelajar. Tom tidak bisa ikut ada pertandingan baseball.’
‘Berapa berani kau bayar aku?’ tantang Sita. Nick tersenyum memandang putrinya.
‘Sebut yang kamu inginkan dan akan kubayar,’ sahut Nate.
‘Bagaimana jika dua kali yang biasa Tom terima?’ tanya Sita. Nick dan Nate memandang Sita sambil geleng-geleng kepala.
‘Sita, jangan mata duitan,’ tegur Nick sambil tersenyum.
‘Aku enggak mata duitan, Nick. Cuma mencari tambahan penghasilan. Dia terima tawaranku ya syukur enggak ya namanya enggak sayang ponakan.’ Nate tertawa keras dan Nick juga menyumbang tawa.
Sita dan Nate berada di di depan kemudi di bagian belakang agak ke atas dari katamaran tersebut. Nate memegang kemudi dan Sita duduk mencangklong di depannya sambil bercerita macam-macam. Hanya kepada Natelah Sita dapat berbincang bebas sebab Nick selalu sibuk dengan Rumah Sakitnya. Mereka sedang menuju ke pusat kota Clayton untuk menjemput penumpang-penumpang Nate.
‘Apa hadiah dari Nick? ‘tanya Nate acuh.
‘Ini,’ jawab Sita sambil memperlihatkan kalung yang dipakainya yang diberikan oleh Nick semalam menjelang tidur. Nate mengerutkan dahinya melihat kalung dengan liontin berbentuk kuda laut dari batu safir berwarna biru cemerlang.
‘Bukankah itu yang dulu selalu dikenakan Nina?’ tanya Nate. Sita mengangguk cepat.
‘Nate, Kamu kenal mama?’ tanya Sita pelan. Nate tertawa.
‘Sita … Sita. Apakah kamu pikir aku tidak kenal istri saudara kembarku yang juga ibu dari keponakanku?’
‘Maksudku … Apakah kamu tahu mengapa mereka bercerai?’ Sita bertanya hati-hati sebab menurut pengalamannya, jika dia bertanya hal ini kepada ayahnya dia tidak pernah memperoleh jawaban. Nate memandang Sita lama, kemudian menggeleng.
‘Kamu berbohong kepadaku. Aku tahu kalau kamu tahu. Kamu orang paling dekat Nick. Aku yakin Nick pernah berkeluh kesah kepadamu. Ayo, Nate, ceritakan kepadaku. Aku sudah dewasa, aku berhak mengetahui sesuatu tentang ibuku.’
‘Sita, tidak ada yang dapat kuceritakan kecuali kalau kedua orangtuamu sama-sama orang yang keras kepala. Mereka menganggap diri mereka beridealisme kuat. Tapi mereka tolol. Membiarkan idealisme mereka menghancurkan diri mereka sendiri.’
‘Aku tidak tahu maksudmu.’
‘Kelak kamu akan mengetahuinya. Kalau Nick menganggap kamu sudah siap, dia akan bercerita,’ jawab Nate. ‘Ayo Sita, jangan bicara tentang hal itu lagi. Hari terlalu indah untuk membicarakan tentang perceraian.’
Sita diam saja. Baik, aku tahu Kamu tidak bakalan bercerita tentang hal itu. Tetapi ada seseorang yang tahu. Aku akan bertanya pada Sue. Kalau dia dulu hampir menjadi ibu tiriku dia tentu kenal Nick sampai ke bagian dalamnya.
‘Apa yang kamu lamunkan?’ tanya Nate memecah kesunyian.
‘Seperti apa Indonesia itu hingga mama tega meninggalkanku untuk pulang ke Indonesia,’ jawab Sita bohong.
‘Seperti danau Erie saat ini,’ jawab Nate melantur.
Mereka berdiam diri sesudahnya, masing-masing asyik dengan pikirannya sendiri. Sesampai di dermaga umum di pusat kota Clayton, Sita langsung meloncat turun.
‘Jam berapa kita berangkat, Nate? ‘tanya Sita dari bawah. Nate menjulurkan kepalanya kemudian menunjukkan kesepuluh jari tangannya. Masih ada waktu satu setengah jam, pikir Sita melihat jam yang melilit di pergelangan tangannya.
‘Aku mau mampir ke toko Sue dulu, Nate,’ teriak Sita sambil berlalu.
‘Jangan sampai terlambat,’ Nate mengingatkan. Sita menoleh dan membuat lingkaran dengan telunjuk dan ibu jarinya sebagai tanda ‘beres’.
Sita berjalan-jalan sepanjang pusat pertokoan yang masih sepi. Hanya ada beberapa toko saja yang buka.
‘Untung Sue sudah membuka tokonya,’ gumam Sita ketika melihat toko kecil di ujung jalan. Sita mempergegas langkahnya.
‘Hello, Sue!’ tegur Sita pada seorang wanita cantik yang berdiri di belakang mesin hitung. Wanita itu mendongakkan kepalanya dan membalas sapaan Sita.
‘Apa kabar, Indie?’ tanya Sue. Indie adalah kependekan dari Indonesia. Sebutan itu dulu untuk memanggil Nina sebagai panggilan sayang dari sahabat-sahabatnya dan kini sebutan itu telah menjadi milik Sita.
‘Biasa saja, Sue. Masih tetap dua pria plus seorang gadis cantik di dalam sebuah rumah,’ jawab Sita sambil menarik sebuah kursi dan mendudukkan dirinya di depan Sue. Sue tertawa.
‘Tidak ada niat untuk menambah pria lagi? ‘tanya Sue.
‘Dua sudah terlalu banyak Sue. Kamu mau mengambil seorang di antaranya?’ tantang Sita. Sue kaget tapi dia cepat menguasai keadaan. Ah Sita hanya bergurau.
‘Sue, aku ingin bertanya sesuatu,’ Sita mulai menjalankan misinya. ‘Ceritakan sesuatu tentang Indie. Indie yang terdahulu. Ceritakan apa saja tentang dia,’ Sita mengambil permen karet yang berada di depannya, mengupasnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sue menarik nafas panjang.
‘Seorang wanita hebat,’ Sue memulai. Sita tersenyum, dia senang ibunya mendapat pujian. ‘Seharusnya aku membencinya karena dia telah merebut Nick dari tanganku. Tapi aku tidak bisa, aku mengagumi dia, Sita. Aneh kan?’
‘Merebut Nick? Bukankah kamu datang sesudah Indie pergi ?’ tanya Sita. Sue menggeleng.
‘Aku kenal Nick sejak kecil. Kami dibesarkan bersama dan kami sering berkencan. Semua orang tahu kalau Nick kekasihku. Setelah tamat SMA Nick meneruskan belajarnya ke Havard, disanalah dia bertemu Indie dan jatuh cinta. Siang malam aku berdoa agar Indie menolak cinta Nick, karena menurut Nick sendiri Indie dicintai banyak orang’ Sue diam beberapa saat memandang gadis yang mengunyah permen karet di depannya.
‘Tetapi doaku tidak terkabul. Indie memilih Nick. Mereka kawin dan tinggal di Clayton. Kamu dapat membayangkan hatiku saat itu. Pemuda yang kudambakan untuk menjadi suamiku telah kawin dengan wanita lain. Aku patah hati, tetapi aku tidak bisa membandingkan diriku dengan Indie. Indie pandai, cantik dan ramah dalam sekejab saja seluruh hati di Clayton telah berada di genggaman tangannya. Semua warga Clayton menjadi sahabatnya dan melupakan kepahitan hatiku. Aku meninggalkan Clayton dan baru kembali beberapa tahun kemudian, saat itu kamu telah lahir. Kalau kepergianku membawa kehancuran hatiku, aku pulang dengan pandangan yang berbeda. Aku tidak lagi iri kepada Indie karena sudah selayaknya wanita seperti dia mendapatkan cinta Nick. Aku mulai bersahabat dengan Indie. Benar-benar sahabat, Sita. Jika ada orang yang mengatakan bahwa akulah yang membawa malapetaka ke tengah keluargamu itu tidak benar. Bohong!’ Sita melihat mata Sue berkaca. Dia mempercayai wanita ini. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat dia mempercayainya.
‘Kalau saja aku berkuasa di pengadilan itu. Permohonan cerai mereka akan kutolak. Mereka saling mencintai dan perceraian itu hanya menghancurkan dua-duanya,’ Sue menghapus air matanya dengan punggung tangannya.
‘Mengapa mereka ingin bercerai?’ tanya Sita.
‘Aku tidak tahu.’
‘Kamu hadir di pengadilan.’
‘Memang, Sita. Tetapi alasan yang mereka kemukakan tidak masuk akal. Nick dan Indie seakan-akan telah sepakat untuk memberikan alasan-alasan yang bisa membuat pengadilan menyetujui perceraian mereka. Indie bahkan tidak memprotes ketika mereka memutuskan untuk memberikan dirimu ke tangan Nick. Itu tidak mungkin, Sita. Kamu adalah segala-galanya bagi Indie. Aku tidak tahu apa yang ada di belakang sandiwara mereka.’
‘Terimakasih, Sue, kamu mau bercerita. Aku senang mengetahui bahwa ibuku mencintaiku.’
‘Aku hanya ingin agar kamu tidak mempercayai omongan yang tersebar di Clayton yang menganggap bahwa akulah penyebab kehancuran keluargamu. Nick pernah memintaku untuk menjadi ibumu tapi kutolak karena aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia hanya menginginkan aku untuk menjagamu. Dan itu tak dapat kuterima karena aku toh bisa tetap menjagamu tanpa harus menjadi istri seseorang yang hatinya ada pada wanita lain yang juga sahabatku sendiri.’ Kali ini Sita memandang Sue dengan pandangan kekaguman. Dulu dia jengkel jika Sue sering datang ke rumahnya, membersihkan rumah, memasak, mencuci dan sebagainya. Dulu Sita mengira bahwa Sue melakukan hal itu karena dia menginginkan Nick. Sita melihat jamnya.
‘Jam sepuluh!’ serunya kaget dan meloncat turun dari kursi. ‘Ya Tuhan, aku terlambat. Sue, aku harus segera pergi,’ teriak Sita dan berlari keluar. Dia berlari terus hingga dermaga umum, tanpa mempedulikan omelan orang-orang yang kena tabrak. Dia baru menarik nafas lega ketika melihat ‘Sita’ yang masih setia menunggu.
Semua penumpang sudah naik semua ketika Sita tiba. Dia masih sempat memperhatikan penumpang-penumpangnya. Semuanya masih muda belia.
‘Kamu telat, Sit,’ tegur Nate. Sita tersenyum penuh penyesalan.
‘Sorry Nate, aku terlalu asyik tadi,’ jawab Sita. Nate mengangguk. Untung tidak marah, kata hati Sita. Begitu Sita berada di ruang kemudi, kapal kecil itu segera bertolak.
‘Selamat pagi semua. Saya Nate Woodward mengucapkan terima kasih kepada anda semua yang telah mau berlayar bersama ‘Sita’. Hari ini merupakan pelayaran istimewa bagi saya karena anda semua datang dari Negara yang berbeda. Saya harap pelayaran ini juga merupakan sesuatu yang istimewa bagi anda dan merupakan kenangan yang dapat anda bawa pulang ke negeri anda. Dan untuk itu saya telah menyediakan seorang guide istimewa yaitu Sita Woodward atau boleh panggil dia Indonesia. Nah inilah dia.’ Nate memberikan pengeras suaranya kepada Sita.
‘Selamat pagi!!” Sita membuka dengan suaranya yang manis. ‘Nate mereka siapa sih?’ tanya Sita berbisik sesudah meletakkan tombol pada posisi off.
‘Para pertukarang pelahar AFS yang akan kembali ke negeri mereka masing-masing. Mereka mampir di Clayton selama tiga hari. Besok mereka menuju ke New York dan pulang.’
‘Oo…’ Sita berseru.
‘Selamat pagi,’ Sita mengulangi salamnya. ‘Sekarang kalian berada di atas danau Erie, danau yang menghubungkan atau memisahkan Amerika dengan Canada. Pulau-pulau yang ada di sekitar adalah pulau-pulau yang tergabung dalam gugusan kepulauan yang bernama Thousand Isles. Jembatan yang berada jauh di belakang juga bernama jembatan Thousand Isles yang menghubungkan Canada dan Amerika lewat jalan darat.’
Sita menerangkan. Dia sering ikut Nate berlayar dan mengganti tugas Tom sebagai guide amatir. Dia begitu hafal dengan nama pulau-pulau yang ratusan jumlahnya bahkan sampai yang terkecil dengan segala keistimewaannya. Dia tahu dimana dia dapat mendapatkan buah cherry yang lezat atau tempat dimana banyak terdapat kelinci.
Kapal Nate menyusup di antara pulau-pulau yang gelap karena terlindung dedaunan. Kemudian keluar pada daerah yang luas dengan pemandangan yang begitu indahnya. Tiba-tiba tampak sebuah pulau dengan sebuah bangunan yang tinggi menjulang, tua dan angker. Nate mengelilingi pulau itu.
‘Pulau ini merupakan lambang cinta sejati,’ tutur Sita. “ Bangunan yang tampak angker itu dahulu direncanakan untuk dibuat sebuah istana yang megah dari seorang suami untuk istrinya yang paling dia cintai. Dia tidak pernah menceritakan rencananya itu kepada istrinya karena bangunan itu akan diberikan sebagai hadiah pada ulang tahun perkawinan mereka. Tetapi belum sampai waktunya si istri meninggal dunia. Sejak saat itu sang suami dirawat di rumah sakit jiwa dan tak pernah keluar lagi. Bangunan itu terbengkalai dan menjadi kediaman kelelawar. Itulah sebabnya pulau ini bernama pulau kelelawar.’
Sita menekan tombol off dan menoleh kepada Nate.
‘Nate masih adakah lelaki yang mencintai istrinya seperti dia? ‘tanya Sita. Nate tertawa.
‘Ada… Ada,’ jawab Nate ‘Pamanmu. Nate Woodward.’ Sita tertawa.
‘Kawin saja Kamu tidak bagaimana kamu bisa bicara seperti itu?’
‘Kau pikir aku memilih tidak kawin tanpa alasan?’
‘Kamu pernah patah hati? ‘tanya Sita. Dia belum pernah melihat Nate akrab dengan wanita atau membicarakan nama seorang wanita. Nate tertawa terbahak-bahak. Sita menghidupkan mikenya.
‘Yang kalian dengar ini adalah tawa kapten kita, Nate. Dia baru saja menyatakan bahwa dialah satu-satunya orang yang bisa mencintai wanita sedalam pangeran kelelawar,’ Sita berkata jelas. Nate repot menahan tawanya. Dipandang keponakannya dengan mata melotot, tapi Sita tenang-tenang saja.
‘Nate, aku mengulangi, pernahkah kamu patah hati?’ Sita kuatir. Untuk orang setua Nate dan belum kawin? pasti ada alasan tertentu dan satu-satunya yang masuk ke dalam otak Sita adalah ‘patah hati’
‘Dulu pernah, tapi sudah tersambung kembali. Kamu tak perlu kuatir aku akan segera kawin,’ jawab Nate serius. Sita tersenyum. ‘Kamulah yang pertama mendengar kabar ini,’ sambung Nate. Sita membelalak tak percaya.
‘Kau?’ tanyanya heran. Nate mengangguk pasti.
‘Siapa wanita yang begitu tolol mau kawin denganmu?’ tanya Sita yang masih menduga Nate hanya bergurau.
‘Sue,’ jawab Nate.
‘Nate jangan main-main. Sue bisa marah mendengar gurauan kita,’ tegur Sita dongkol. Ini sudah keterlaluan. Kasihan Sue.
‘Sita, kalau aku berbohong kepadamu, kamu mau percaya, kini aku serius kamu malah tidak percaya,’ jawab Nate tenang. Sita bimbang. Setengahnya dia percaya, setengahnya tidak.
‘Kamu tidak mengucapkan selamat kepadaku?’ tanya Nate ketika memandang Sita tertegun. Sita meloncat dan mencium Nate.
‘Kamu tahu, Nate? Aku sangat bahagia,’ katanya dan bergayut pada lengan Nate.
‘Bodoh benar kamu. Mau tak mau perhatianku kepadamu akan berkurang.’
‘Aku tidak peduli. Aku bosan hidup dengan dua laki-laki yang semuanya tak punya istri. Seperti tidak laku padahal kalian berdua tampan semua,’ goda Sita. Dalam hati dia bertanya, betul-betul mencintai Nate kah Sue, atau hanya pelarian karena tak bisa mendapatkan saudara kembarnya? Mudah-mudahan Sue benar-benar mencintai Nate.
‘Hei tugasmu !’ Nate memperingatkan ketika mereka hampir memasuki pulau Robinson. Sita meraih mikenya dan,
‘Sebentar lagi kita akan memasuki wilayah Canada. Ada beberapa petugas yang akan memasuki kapal kita untuk memeriksa paspor kalian. Saya harap kalian menyiapkannya. Terimakasih,’ katanya ramah.
Kapal itu bersandar di sebuah selat yang hanya muat untuk sebuah kapal. Beberapa detik kemudian tiga orang berseragam biru tua masuk kapal dan memeriksa penumpang.
‘Sita, aku turun dulu mencari makanan. Kamu mau sesuatu?’
‘Bawakan aku roastbeef, Nate. Ukuran sedang saja dan coke.’
Sesudah Nate turun, Sita berdiri di belakang kemudi sambil melihat kesibukan para petugas perbatasan. Tiba-tiba ada seorang gadis berdiri di bawah tangga kemudi. Sita memperhatikan sejenak kemudian mengembangkan senyumnya. Gadis ini mirip mama. Rambutnya yang hitam lurus, matanya dan kulitnya juga bajunya… Sita menjadi malu. Gadis di depannya mengenakan rok batik rapi sedang dirinya… jeans lusuh dan Tshirt bergambar John Travolta. Tiba-tiba Sita merasa dirinya terlalu urakan dibanding gadis itu.
‘Hai, boleh aku naik ke situ? ‘tegur gadis tersebut.
‘Silahkan. Maaf aku berlaku kurang sopan tadi,’ Sita memohon maaf menyadari bahwa dirinya telah meneliti gadis tadi.
‘Namaku Lily,’ gadis itu memperkenalkan diri.
‘Aku Sita. Kamu juga pelajar AFS?’ Lily mengangguk.
‘Aku tadi sempat mendengar kalau namamu juga Indonesia, benar?’ tanya Lily
‘Oh, itu…’ Sita menjadi salah tingkah, ‘mereka memanggilku demikian karena ibuku orang Indonesia.’
‘Ibumu orang Indonesia? Aku juga orang Indonesia. Bisa aku bertemu ibumu? Sudah setahun aku tak berjumpa dengan orang Indonesia.’ Lily berbicara cepat karena luapan rasa gembira. Sita juga gembira bisa bertemu seseorang yang senegara dengan ibunya, tetapi sekejab kemudian dia sadar.
‘Sayang kamu tidak bisa bertemu dengan ibuku. Ibuku telah bercerai dengan ayahku dan telah kembali ke Indonesia,’ Sita menjelaskan dengan jujur.
‘Oo …’ Lily kecewa. ‘Kamu tahu dimana ibumu berada? maksudku kotanya.’
‘Aku tidak tahu, terlalu panjang namanya dan sukar untuk diucapkan. Yang terang di Jawa,’ jawab Sita polos.
‘Jakarta?’
‘Bukan, tapi mirip dengan itu.’
‘Yogyakarta?’ tebak Lily lagi.
‘Ya itu dia. Apa tadi?’
‘Yogyakarta. Aku juga berasal dari Yogyakarta,’ jawab Lily.
‘Kalau begitu kamu pasti kenal ibuku,’ Lily menggeleng.
‘Yogyakarta penduduknya lebih dari dua setengah juta. Tidak mungkin kita saling mengenal seperti di Clayton ini.’
‘O…,’ ganti Sita yang kecewa. ‘Pernahkah kamu mendengar tentang Dokter Nina Woodward?’ Lily menggeleng lagi. Dia menyesal telah mengecewakan gadis dihadapannya.
‘Kamu tahu alamat ibumu?’ tanya Lily berusaha menolong.
‘Aku tidak tahu, dia tidak pernah berkabar. Satu-satunya yang kuketahui hanyalah bahwa dia dilahirkan di kotamu.’ Sita merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet, mencabut selembar photo dan ditunjukkan kepada Lily. Foto Sita yang duduk di pangkuan ibunya.
‘Ini aku dan ibuku waktu aku berusia empat tahun. Siapa tahu nanti kamu bertemu wanita seperti ini. Sampaikan salam dan cintaku padanya.’ Lily meneliti photo itu sejenak.
‘Aku pernah melihat foto ini sebelumnya. Dimana ya? ‘gumamnya. Sita menanti harap-harap cemas.
‘Aku tahu,’ Lily berteriak. ‘Dokter Nina Santoso. Kamu tadi bilang siapa?’
‘Kamu benar, namanya Nina. Woodward adalah nama ayahku. Kamu tahu dimana dia tinggal? Alamatnya? Aku ingin berkirim surat kepadanya,’ kata Sita antusias. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.
‘Ada nama di belakang namanya, berarti ibuku sudah kawin lagi. Sudahkah dia mempunyai anak, Lily?’
‘Santoso bukan nama suaminya. Itu nama almarhum ayahnya. Dia tidak pernah kawin. Orang-orang di sekitar mengira kalau dia terlalu pandai untuk menikah. Aku tidak menyangka dia telah berputri sebesar ini.’
‘Kalau begitu kamu tahu alamatnya,’ seru Sita gembira. Lily mengangguk kemudian bertanya kalau Sita mempunyai kertas untuk menuliskan alamat itu. Sita mencari di laci dan menemukan selembar kertas dan balpoint. Lili menuliskan sebuah alamat. Dokter Nina Santoso tinggal tiga rumah di sebelah kanan rumahnya jadi dia tinggal menambah tiga angka dari nomer rumahnya sendiri.
‘Terimakasih, Lily,’ tutur Sita berkali-kali sambil memasukkan alamat itu ke dalam dompetnya. Kemudian Sita bertanya tentang Indonesia dan bagaimana caranya agar bisa sampai ke sana.
‘Kamu ingin ke Indonesia?’ tanya Lily
‘Ya. Kalau dulu aku tidak berkeinginan untuk pergi karena waktu itu aku takut tidak bisa menemukannya. Tetapi sekarang dengan alamat sejelas ini? Hanya Tuhan yang tahu betapa besar keinginanku.’
***
Perkawinan Nate dan Sue dilangsungkan secara sederhana dan karena langit cerah mereka mengadakan pesta di katamaran. Hanya beberapa kerabat dekat saja yang hadir. Sita dapat melihat wajah Nate yang sebenarnya karena jambang dan kumisnya telah tercukur bersih. Dalam keadaan seperti itulah Nate benar-benar mirip Nick, Nate mengenakan stelan berwarna merah hati dan Sue mengenakan pakaian pengantin berwarna putih bersih.
‘Sue cantik sekali ya Nick?’ bisik Sita di telinga Nick mencoba mengajuk hati Nick terhadap Sue. Nick mengangguk.
‘Setiap gadis akan tampak cantik pada hari perkawinannya karena saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya.’
‘Apakah Sue bahagia?’ tanya Sita berbisik. Nick bingung akan arah dari pertanyaannya.
‘Kenapa Kamu bertanya seperti itu?’
‘Cuma ingin tahu saja.’
‘Tentu saja dia bahagia. Dia mencintai Nate dan dapat kawin dengan orang yang dicintainya adalah suatu kebahagiaan. Suatu saat kamu akan mengalaminya.’ Nick memegang hidung anaknya. Sita tidak bertanya lagi. Apakah Nick tidak tahu kalau Sue mencintainya?
Sue dan Nate akan tinggal di Theresia Street sebab Nick menghendaki agar Sita tidak merasa dilupakan oleh Nate. Baik Nate maupun Sue menyetujui usul itu. Tetapi kenyataannya mereka berempat belum pernah tinggal di dalam atap yang sama. Begitu pesta perkawinan usai, Nate dan Sue pergi berbulan madu ke Bahama. Seminggu sebelum bulan madu itu habis, Nick harus pergi ke Auckland, New Zealand untuk suatu konperensi dan harus tinggal di sana selama satu bulan. Sita menduga bahwa Nick hanya mencari-cari alasan agar tidak tinggal serumah dengan Sue. Tetapi mengapa? Apakah Nick juga mencintai Sue? Ah urusan orang tua selalu rumit.
Seminggu yang sepi. Sementara menanti Nate kembali, Sita hanya ditemani oleh ibu Sue. Pada saat itulah kerinduan kepada ibunya memuncak. Dia memutuskan untuk melarikan diri. Aku harus memjumpai wanita yang telah melahirkanku. Harus.
Sore itu Sita sedang mengayuh sepedanya sepanjang James Street yang lenggang ketika dia merasa ada langkah kaki kuda di dekatnya Sita menoleh. David Sweeney sedang tersenyum ke arahnya di atas punggung seekor kuda hitam berkilat.
Dari mana?’ tegur David.
‘Latihan,’ jawab Sita sambil memperlihatkan sarung tangan softballnya. Mereka berjalan beriringan. Dave sibuk mengendalikan kudanya agar dapat mengimbangi kecepatan sepeda balap Sita.
‘Ayahku bilang kalau kamu mau pergi jauh. Kemana?’ tanya David. Ayah David adalah direktur Bank dimana Sita menabung uangnya. Kemarin Sita mengambil seluruh tabungannya dan ayah David menanyakan untuk apa uang itu.
‘Ke Indonesia,’ jawab Sita lirih.
‘Indonesia?’ ulang David. ‘Beberapa lama kamu akan berada disana?’
‘Aku tidak tahu. Mungkin lama mungkin juga sebentar, tergantung Dave.’
‘Tergantung apa?’ tanya David ingin tahu.
“Apakah aku kerasan atau tidak.’
‘Apakah itu berarti jika kamu kerasan kamu tidak akan kembali lagi?’ Sita tersenyum melihat kekhawatiran yang terekspresi pada wajah David.
‘Apakah aku tidak menjadi bahan pertimbangan?’ tanya David lagi.
‘Kamu? Memangnya kenapa?’ Sita tidak mengerti.
‘Kalau kamu pergi aku akan kehilangan dirimu. Kamu tahu sudah lama aku memperhatikan kamu. Kurasa aku mencintaimu,’ jawab David lugu sambil menghentikan kudanya karena mereka telah sampai di depan Katedral dan Sita harus membelok ke kiri.
‘Wow cara klasik dalam menyatakan cinta, di atas punggung kuda.’ Sita mencoba bergurau walau pernyataan David tadi telah mengacaukan perasaannya. David tertawa . Sita tertawa dan langitpun ikut tertawa.
‘Akan kujadikan bahan pertimbangan, Dave. Sungguh. Sampai jumpa.’
Di depan rumah Nate telah menunggunya. Dia telah pulang dua hari yang lalu.
‘Tumben menanti di depan rumah. Mana Sue?’
‘Ada yang ingin kubicarakan denganmu,’ jawab Nate serius. Sita merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia meninggalkan sepedanya di luar dan berjalan masuk mengikuti Nate. Apakah Nate sudah mengetahui kalau Sue tidak mencintainya? pikir Sita gamang.
‘Bill Sweeney menelponku,’ Nate membuka percakapan. Sita menarik nafas lega. ‘Untuk apa uang itu, Sita? ‘tanya Nate.
‘Apakah Mr. Sweeney tidak mengatakan?’ balas Sita.
‘Sita, aku ingin mendengar darimu sendiri.’
‘Aku mau ke Indonesia,’ jawab Sita mantap. ‘Aku telah menghubungi travel agent dan menanyakan biayanya dan kurasa uangku cukup untuk membiayaiku pergi.’ Nate terperanjat. Belum pernah selama hidupnya terkejut seperti kali ini.
‘Untuk apa kau ke Indonesia? Liburan sekolah hampir habis.’
‘Menemui mama,’ jawab Sita pendek.
‘Sita, kau sadar dengan apa yang akan kau lakukan?’
‘Tentu saja. Apakah suatu keganjilan jika seorang anak ingin menemui orang yang telah melahirkannya.’
‘Tentu saja tidak. Tapi Kamu pergi tanpa rencana.’
‘Aku telah lama merencanakan, Nate. Lebih lama dari yang kamu duga,’ jawab Sita. Dia telah membulatkan hatinya bahwa tak ada sesuatu yang akan dapat merintangi maksudnya.
‘Tanpa sepengetahuan Nick?’
‘Kamu tahu Nick tidak akan mengijinkanku pergi, itulah sebabnya aku akan pergi sekarang selagi Nick tidak di rumah.’
‘Lalu kamu anggap apa aku ini, Sita?’ tanya Nate mencoba bersikap tenang.
‘Nate … ‘ Sita tidak berkutik.
‘Aku tidak akan mengijinkanmu,’ suara Nate rendah. Sita terpana. Selamanya Nate selalu menuruti kemauannya dan kini Nate telah menolak tanpa mempertimbangkan lebih dahulu. ‘Kamu boleh pergi jika Nick sudah kembali.’
‘Kamu bukan ayahku,’ jerit Sita jengkel.
‘Aku diberi wewenang untuk menjagamu,’ Nate mencoba mengendalikan emosinya.
‘Aku tidak mau tahu. Kalau kamu tidak mengijinkan aku akan pergi tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Aku akan pergi tanpa pamit.’
‘Sita, kamu tidak tahu dimana ibumu berada. Indonesia tidak hanya sebesar Clayton, luas sekali, Sita. Kamu tidak akan bisa menemuinya,’ bujuk Nate halus.
‘Aku punya alamatnya, Nate,’ Sita menyebutkan alamat ibunya dan dari mana alamat itu diperolehnya. Nate terdiam sesaat. Anak ini telah melangkah terlalu jauh. Aku tak akan bisa menariknya mundur.
‘Bagaimana jika dia telah pindah sedang uangmu hanya cukup untuk satu kali penerbangan ke Indonesia?’ Nate mengetahui kelemahan keponakannya karena Bill Sweeney juga menerangkan berapa jumlah uang yang telah ditarik Sita
‘Aku tidak tahu. Jadi pengemis mungkin. Kalau kamu menginginkan aku selamat dan menginginkan aku kembali ke sini lagi berikan aku uang saku tambahaan.’ Mau tidak mau Nate tersenyum. Baru saja mereka bertengkar mempertahankan pendapat mereka masing-masing dan kini Sita menginginkan dia memberinya uang saku tambahan.
‘Kamu pikir aku akan memberinya?’
‘Kamu akan memberi, Nate. Aku tahu itu. Kamu selamanya begitu manis kepadaku,’ omong Sita seenaknya sambil keluar lagi, mengambil sepedanya dan pergi. Nate termangu, dalam hati dia tahu bahwa dia tidak akan berhasil membujuk keponakannya untuk membatalkan rencananya.
Bujukan Nate yang bertubi-tubi ditambah bujukan manis Sue tidak mempan. Pikiran Sita telah dipenuhi oleh bayangan-bayangan manis tentang ibunya dan Indonesia. Dia telah mulai mengepak barang-barangnya. Boneka-boneka mana yang dianggap patut untuk menyertai perjalanan wisatanya.
‘Kapan kamu berangakat, Sita?’ tanya Sue di depan pintu kamar Sita. Sita memberi tanda agar Sue masuk. Sue masuk dan duduk di tempat tidur Sita, memandang Sita memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.
‘Minggu depan,’ jawab Sita sambil mencium boneka mungil yang kemudian diletakkannya kembali karena sudah terlalu banyak boneka yang akan dibawanya.
‘Jangan mencoba membujukku lagi, Sue. Kamu tahu aku benar-benar ingin berjumpa dengan mama.’ Sue mengangguk. Kemudian memberikan beberapa lembar puluhan dollar.
‘Belilah baju-baju yang manis, Sita. Indie selalu rapi berpakaian, tentu dia menginginkan anaknya menuruni kerapiannya. Jangan memakai jeans pada pertemuanmu yang pertama.’ Sue berkata lembut. Sita mendekati Sue, mencium pipinya yang halus dan mengucapkan terimakasih.
‘Kamu selalu penuh pengertian, Sue. Aku menyesal kamu jadi ibu tiriku.’
‘Sita … Sita. Seorang bibi lebih baik daripada seorang ibu tiri,’ Sue tertawa senang.
Kalau Nate berkata bahwa dia tidak mau tahu dengan kepergian Sita, itu hanya omongannya saja. Diantara mereka bertiga, Natelah yang paling sibuk dan repot. Setiap kali dia memperingatkan Sita, kalau-kalau Sita melupakan sesuatu. Menyiapkan pesan tempat dan membelikan Sita ticket pesawat berikut sebuah buku traveller check. Dia sendiri mengantarkan Sita ke Kennedy Airport.
‘Kamu akan kembali lagi kan, Sita?’ tanya Nate. Saat itu pukul dua belas malam. Pesawat Lufthansa yang akan membawa Sita Frankfurt hampir berangkat. Sita mengangguk, hatinya rawan.
‘Tentu, Nate. Sampaikan salamku untuk Sue dan … ‘Sita memeluk Nate dan menciumnya. Nate membalas mencium keponakannya lama. Aku merasa kamu tidak akan pernah kembali lagi, Sita.
‘Dan siapa? ‘tanya Nate.
‘David,’ jawab Sita sambil berlari karena panggilan terakhir telah terdengar.
‘ David siapa?’ teriak Nate penasaran. Baru kali ini keponakannya menunjukkan gejala yang aneh.
‘David Sweney,’ Sita berteriak dan menghilang.
Sedianya pesawat yang ditumpangi Sita akan mendarat di Soekarno Hatta pada jam dua siang dua hari berikutnya. Sita ganti pesawat di Frankfurt dan menginap semalam di kota itu. Tetapi di Singapura ada pesawat yang rusak di runway, terpaksa semua penerbangan untuk hari itu tertunda. Pesawat Sita baru masuk pada pukul tujuh malam.
Sita melepas jacket biru yang dipakainya selama perjalanan sambil menuruni tangga pesawat. Ditangannya dia membawa boneka panda putih dengan belang hitam di telinga dan sekitar matanya.
‘Phoebe, inilah tanah mamaku. Aku tahu kamu pasti menyukainya karena aku sangat menyukai tanah ini,’ bisik Sita ditelinga boneka pandanya. Dia bernafas dalam berusaha mengambil udara Indonesia sebanyak mungkin sambil mengikuti arus penumpang yang keluar menuju pintu yang telah ditunjuk.
Kekhawatiran Sita muncul setelah semua urusan imigrasi beres. Kemana aku harus pergi sekarang? Dimana aku harus menginap malam ini? Ya Tuhan tunjukkanlah jalanmu, aku berada di tanah yang asing. Dia mendekap bonekanya makin erat mencoba mencari ketenangan pada mahluk tak bernyawa itu. Dikumpulkannya dua koper yang dibawanya dan duduk disalah satu koper itu. Tiba-tiba matanya menangkap bayangan seseorang yang sangat dikenalnya.
‘Nick …’ panggil Sita dan berlari memeluk Nick yang berdiri terlindung pilar. Dia lupa pada kopernya. Sita menciumi Nick gemas. Nick mengelus-elus rambut Sita bahagia. Dia telah menunggu kedatangan anaknya sejak pukul dua siang dengan segala kegelisahannya dan kini anak itu telah ada dalam pelukannya.
Seminggu yang lalu Nate menelponnya mengatakan bahwa dia tidak berdaya untuk mencegah kenekadan Sita. Tanpa pikir panjang Nick meninggalkan konperensi dan terbang ke Jakarta lebih awal.
‘Sedang apa kamu disini, Nick?’ tanya Sita setelah ia sadar bahwa seharusnya dia tak akan menjumpai Nick dalam pelariannya.
‘Menjemputmu tentu saja.’
‘Menjemputku? Kamu tahu kalau …?’ Nick tersenyum.
‘Perasaan seorang ayah sangat peka, Sita. Aku punya firasat bahwa aku akan menjumpaimu disini,’ jawab Nick bohong. Sita tahu kalau Nick berbohong tetapi dia tidak dapat mengira-ngira bagaimana Nick bisa mengetahuinya. Baik Nate dan Sue sudah bersumpah untuk tidak memberitahu ayanya. Kecuali mereka mengingkari sumpah mereka. Sita dan Nick berjalan menuju tempat dimana Sita meninggalkan kopernya.
‘Kita menjumpai mama hari ini, Nick?’ tanya Sita tidak sabar.
‘Tidak bisa. Sudah tidak ada penerbangan lagi untuk hari ini. Aku sudah pesan ticket untuk besok pagi,’ jawab Nick. ‘Kita bermalam di Jakarta malam ini.’
Dalam perjalanan menuju hotel mata Sita tidak pernah berkedip. Indonesia adalah negara tropis pertama yang dikunjunginya. ‘Luar Negri’ bagi Sita hanyalah Negara-negara Eropah yang pernah dikunjunginya bersama teman-temannya. Dan kini menyaksikan Indonesia kekagumannya tak bisa disembunyikan.
‘Pantas mama lupa pada danau Erie,’ gumam Sita tidak sadar. Nick melirik anaknya tanpa berkomentar.
‘Sita… Sita ..’ Nick menepuk-nepuk pipi anaknya agar bangun. Begitu sampai di hotel dan melihat tempat tidur langsung Sita jatuh tertidur.
‘Sita … bangun sayang,’ bisik Nick. Sita menggeliat malas.
‘Sita, makan dulu, yuk.’
‘Kamu saja. Aku ngantuk,’ jawab Sita. Nick mengangkat Sita dan mendirikannya di lantai.
‘Sudah hampir jam dua belas. Aku tahu kamu belum makan sejak tiga hari yang lalu.’
‘Kamu pikir kami tidak diberi makan di pesawat? ‘tanya Sita sambil menuju wastafel dan membasuh mukanya. Nick tertawa ringan.
‘Kamu pikir aku mau mempercayai jika kamu berkata bahwa kamu menyantap semua makanan yang dihidangkan? Sedang di rumah saja makanmu sukar apalagi di pesawat yang tidak ada seorangpun mengawasimu.’ Sita tidak membantah.
Mereka berjalan berdua di bawah terang lampu Jakarta yang romantis. Nick memilih sebuah restaurant kecil yang sudah sepi. Sementara menanti pesanan Nick bercerita tentang Nina.
‘Beberapa bulan setelah kamu lahir, Nina mulai gelisah. Saat itu politik di Indonesia sedang anti Amerika. Amerika adalah musuh Indonesia. Dimana-mana terdapat demonstrasi dengan spanduk-spanduk yang bertuliskan “America, go to hell.” Nina bingung. Dia tidak tahu dimana dia harus berdiri. Kemudian datang panggilan bahwa dia harus pulang ke Indonesia. Nina datang ke Amerika dengan beasiswa dari Negara untuk menuntut ilmu untuk diterapkan di Indonesia. Aku mencoba menahannya, membujuknya dengan mengatakan bahwa dia telah mempunyai dirimu. Tapi Nina merasa bahwa dirinya telah menghianati negaranya. Kami sering bertengkar tentang hal itu. Sedang surat-surat dari Indonesia makin gencar.’
Seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Sita tersenyum pada pelayan itu yang dibalas dengan anggukan.
‘Tahun-tahun itu suasana politik di Indonesia sedang kritis. Nina tidak berdaya. Dia merasa bahwa Indonesia membutuhkannya, sebab itulah yang ditulis pada setiap surat yang diterimanya. Nina mengajakku untuk mengikutinya pindah ke Indonesia. Kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa karena saat itu aku satu-satunya dokter di Clayton. Dokter yang paling dekat adalah dokter Wyatt dan dia tinggal di Alexandria Bay. Nina ngotot, dia bilang dia dibutuhkan di Indonesia dan dia orang Indonesia. Semua orang menyalahkan kami karena baik aku maupun Nina tak ada yang mengalah. Kamu harus tahu, Sita, kami berdua saling mencinta tapi kewajiban terhadap umat manusia dan Negara tidak bisa terkalahkan oleh cinta pribadi. Aku berkewajiban terhadap Clayton dan Nina berkewajiban terhadap negaranya. Itulah sebabnya kami memilih perceraian sebagai jalan keluarnya. Demi Tuhan aku menyesalkan keputusan itu. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami pergi ke pengadilan dan memohon perceraian. Perceraian itu disetujui dan Kamu ikut bersamaku. Sejak saat itulah aku merasakan kehancuranku.’
‘Tidak pernahkah kamu mencoba untuk menghubungi mama, Nick?’
‘Sekali aku bertemu dengannya di Boston beberapa tahun setelah Indonesia kembali stabil.
‘Boston? Kenapa kamu tak pernah bercerita, Nick? Mengapa dia tidak mampir?’
‘Aku yang menghendakinya. Aku memohon kepadanya agar dia tak berkunjung ke Clayton. Aku merasa bahwa kehidupan kita saat itu telah mulai tenang dan satu lagi aku telah meminta Sue menjadi istriku. Walau akhirnya permintaanku itu ditolak Sue.’ Nick tertawa kecut, mentertawakan dirinya. Sita tercenung. Aku pernah begitu dekat dengan mama tapi aku tidak pernah tahu.
‘Kamu tidak pernah menghubunginya lagi?’
‘Aku terlalu malu untuk melakukannya, Sita.’
‘Nick, bunga apa yang paling disukai mama?’ tanya Sita di los pasar kembang, Yogya. Nick berpikir sejenak kemudian menggeleng.
‘Dia menyukai segala macam kembang, sejauh yang bisa kuingat.’
‘Bunga apa yang paling sering berada di kamar tidurmu?’
‘Setiap hari berganti bunga, Sit, pilih saja yang paling kamu sukai, dia tentu menyukainya.’
‘Bunga apa yang paling banyak pada pesta perkawinanmu. Bukankah itu bunga yang paling disenangi wanita?’
‘Anyelir,’ teriak Nick senang karena bisa mengingat sesuatu.
‘Anyelir merah tua?’ tebak Sita, karena bunga itu bunga kesukaannya. Nick mengangguk. Mereka membeli dua ratus tangkai anyelir yang kemudian disusun oleh Sita dalam sebuah keranjang bambu.
Mereka naik becak menuju rumah Nina. Berbagai macam perasaan bergolak di hati keduanya. Bahagia, rindu, gelisah, was-was dan segala Nateam berbaur menjadi satu.
Becak yang mereka tumpangi berhenti pada sebuah rumah bercat putih bersih dengan halaman luas. Dari halamannya saja Sita tahu kalau ibunya mencintai segala macam kembang karena halaman itu dipenuhi dengan bermacam-macam tanaman. Di halaman itu juga ada sebuah pohon sawo yang rimbun yang membuat suasana rumah itu kelihatan begitu damai. Nick membayar tukang becak dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Indonesia. Sita heran.
‘Kamu bisa berbahasa Indonesia, Nick?’
‘Aku mahir, Sita. Nina yang mengajariku. Di rumah dulu bahasa yang kami pakai bahasa Indonesia jadi kalau kami sedang mengucapkan kata-kata romantis tak ada seorangpun yang tahu,’ jawab Nick berseloroh. Sita tersenyum.
‘Kamu bisa merayu, Nick? Kupikir kamu orang yang paling kaku si seluruh jagad ini,’ Nick tertawa.
‘Lihat saja nanti kalau sudah ketemu ibumu,’
Mereka berjalan menuju pintu. Nick menekan bel. Dua-duanya gelisah. Seorang wanita tua muncul, dia memandang Nick dan Sita berganti-ganti, Nick menyapa.
‘Nick? ‘tanya wanita tua itu setelah lama memandang keduanya. Nick mengangguk dan menciumnya. Ibu Nina. Nick pernah bertemu wanita ini tiga kali dalam hidupnya. Pertama ketika melamar Nina untuk menjadi istrinya. Kedua di Washington pada waktu perkawinannya dan ketiga pada waktu kelahiran Sita. Ibu Nina mengajak mereka berdua masuk setelah mencium cucunya dengan puas. Sesampai di dalam wanita itu berbicara panjang kepada Nick. Sita tak tahu apa yang mereka bicarakan. Dia melihat Nick berkali-kali mengangguk tapi kemudian Nick duduk dengan lemas. Wajahnya pucat pasi. Nafasnya turun naik tak teratur
‘Nick, ada apa? Katakan Nick. Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,’ Sita berjongkok di depan lutut ayahnya. Nick memandang Sita lama dan dalam kemudian menutup matanya kembali. Kemudian dari sela-sela bibirnya yang pias terdengar bisikan.
‘Nina telah pergi, Sita. Dua bulan yang lalu. Ada tumor dalam otaknya,’ Nick berbicara terpatah-patah. Sudah berkali-kali Nick mengabarkan berita kematian kepada sanak keluarga dari pasiennya yang tidak dapat tertolong tapi kali ini lehernya seakan tercekat. Yang meninggal bukan pasiennya sedang yang dikabarinya juga bukan seorang yang asing baginya. Yang meninggal adalah orang yang dalam waktu tujuh tahun selalu dijumpainya setiap kali dia terbangun dari tidur di pagi hari, yang telah memberinya kasih yang tak pernah pupus dimakan aktu juga yang bayangannya tak pernah lepas dari hati dan pikirannya. Sedang yang harus dikabarinya adalah anaknya sendiri. Oh Tuhan kenapa ini harus terjadi.
Sita memandang ayahnya tak percaya kemudian kepada ibu Nina. Wanita tua itu mengangguk pelan. Sita terhuyung ke belakang. Matanya memandang nanar dan tubuhnya bergetar hebat kemudian dia menjerit.
‘Tidak! Tidak! Tidak mungkin mama pergi. Dia belum bertemu a… ‘dan dia roboh di lantai. Anyelir merah yang dibawanya tersebar di sekitar tubuhnya. Membuat suatu figura yang mengelilingi tubuhnya yang putih bagaikan kapas. Kalau saja pemandangan itu bukan pemandangan duka maka tubuh Sita dan anyelir merah tua akan membuat pemandangan yang indah untuk dilihat.
Nick memandang anaknya yang pingsan tanpa berusaha untuk menolong. Aku tak berani membangunkanmu, Sita. Aku tak punya sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu jika terbangun, bahkan sebuah mimpipun tidak. Aku yang melahirkanmu ke dunia ini dengan penuh harapan agar aku bisa membahagiakan hidupmu ternyata justru akulah yang menghancurkan kebahagiaanmu. Kalau saja aku tidak keras kepala, semuanya ini tidak harus terjadi.
Nick berjongkok di sisi tubuh anaknya, menyisihkan anyelir-anyelir yang berada di sekitar pipi anaknya dan kemudian dia membungkuk dan mencium pipi Sita yang dingin bagai batu marmer. Air matanya deras membasahi pipi anaknya. Hukumlah aku, Sita. Hukumlah aku yang seberat-beratnya ! Biar agak berkurang rasa berdosaku kepadamu dan kepada ibumu. Akulah laki-laki paling kejam di dunia ini. Hukumlah aku.
Awan tebal menutup langit kota Yogya malam itu. Hanya ada beberapa bintang yang nampak. Yogyaku muram dan angin malam menyenandungkan lagu-lagu duka. Sita duduk di bawah pohon sawo sambil memandang jauh ke depan ke tempat tukang-tukang becak berkumpul di bawah tiang listrik yang muram cahayanya. Disampingnya Nick duduk memandang anaknya sendu.
‘Sita, kita harus segera pulang. Sekolah sudah mulai,’ bisik Nick lembut.
‘Aku tidak mau pulang, Nick. Di sinilah tempatku,’ jawab Sita lirih. Suaranya seakan datang dari alam lain. Nick mencari kata-kata yang tepat. ‘Sita, tidakkah kamu rindu kepada teman-temanmu d Clayton. Rindu pada Nate dan Sue?’ Sita terpana. Sekilas terbayang wajah Nate, Sue dan yang terakhir David yang duduk di atas punggung kuda yang sedang mengucapkan kata-kata cinta untuk dirinya. Kamu berjanji untuk mempertimbangkannya, Sita. Sita menggeleng.
‘Mama menghendaki kita untuk tinggal di sini, Nick. Dan aku akan menuruti keinginan mama.’
‘Aku tidak bisa, Sita. Bagaimana dengan Rumah Sakit?’
‘Sudah banyak dokter sekarang. Tapi kalau kamu memang ingin pulang, pulanglah, Nick. Aku akan tetap berada di sini,’ Sita berbicara tanpa emosi. Tidak seperti biasanya jika dia menginginkan kemauannya untuk dituruti.
‘Sita, kamu tahu aku sangat membutuhkanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu.
‘Aku telah hidup bersamamu selama enam belas tahun penuh. Sekarang giliranku untuk tinggal bersama Mama.’
‘Tapi Nina telah tiada.’
‘Ada pusaranya, Nick. Dan aku akan merawat pusara mama. Tak ada orang lain yang melakukannya, Nick.’ Nick terdiam. Tiba-tiba terdengar panggilan dari dalam
‘Sita.’
‘Dalem, eyang,’ jawab Sita dari luar dengan bahasa Jawa yang halus. Nick memandang anaknya takjub.
‘Sudah malam, nak, mau hujan lagi, masuklah nanti sakit.’
‘Ya, eyang,’ jawab Sita. Dia berdiri kemudian menunduk mencium pipi Nick.
‘Selamat malam, Nick,’ Nick membalas ciuman Sita dan membiarkannya pergi.
Nick masih lama duduk di luar, mengamati awan hitam yang memuramkan suasana. Kamu telah berani melahirkan anakmu, Nick. Mengapa Kamu tak berani melakukan sesuatu untuknya? Apa yang akan kamu dapati di Clayton? Tak ada sesuatupun yang tersisa di sana untukmu, Nick. Jangan kau buat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya Nick. Akankah Kamu kehilangan anakmu untuk sesuatu yang tak kau ketahui.
Nick bangkit berjalan masuk dan berbisik di depan pintu kamar anaknya.
‘Aku selalu bersamamu, Sita.’
TAMAT
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota Daytona dan tinggal di sebuah hotel dekat pantai. Di sini dia berkenalan dengan Michelle, seorang peragawati.
Karena kebetulan, Lucy berkenalan dengan Mark Wayne, seorang mahasiswa yang bekerja musiman sebagai penjaga pantai. Mark berusaha bersahabat dengan Lucy, namun Lucy enggan, mengingat pesan Michelle bahwa semua penjaga pantai adalah play boy. Pandangan Lucy berubah, ketika pemuda itu menyelamatkan seorang anak yang hampir tenggelam di pantai.
Michelle menikah dan Lucy sendiri di hotel. Ia kesepian, tetapi Mark sering menemaninya, bahkan dia sudah mengutarakan cintanya. Ternyata Mark tahu kalau Lucy adalah saudara kembar David, temannya sekampus. David juga kenal seluruh keluarga Stanton, karena pertaniannya bersebelahan dengan pertanian keluarga Stanton. Mark juga membuka rahasia kalau Irene adalah adik Lucy, hasil perselingkuhan ayahnya dengan Mimo, adik perempuan Batista bersaudara. Perselingkuhan yang telah menyebabkan perceraian kedua orang tua Lucy dan David.
‘Kamu bohong,’ desisku tidak yakin. Aku mulai ragu. Kalau mendengar nada suara Mark, aku yakin dia telah berkata jujur, tapi untuk mempercayai Irene adalah adikku, anak ayahku, hatiku masih belum mau menerima. Mark memandangku lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seakan melalui kediamannya dia ingin meyakinkan hatiku.
‘Mark, katakanlah kalau kamu bohong,’ pintaku. Mark menggelengkan kepalanya.
‘Jadi …jadi … Irene benar-benar adikku? Irene anak papa? Oh… tahukah papa tentang hal ini? Mengapa Irene tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang ini? Mengapa? Mengapa, Mark?’ jeritku tak menentu. Mark menangkap bahuku kemudian mendekap tubuhku erat.
‘Lucy, tenang,’ bisik Mark lembut.
‘Irene adalah adikku. Dia adikku,’ bisikku berkali-kali.
‘Jangan salahkan Irene, Lucy. Dia tidak berdosa. Dia datang ke keluarga Stanton tanpa maksud buruk. Dia hanya ingin melihat orang yang menyebabkan dia ada di dunia ini. Dia tidak ingin menuntut apa-apa dari keluargamu. Itulah sebabnya tidak seorang pun yang mengetahui siapa dia sebenarnya. Tidak juga ayahmu,’ Mark menerangkan. Bayangan Irene berkelebat dalam otakku. Wajah murungnya. Ketertutupannya. Tatapan sendunya. Semua itu mendukung kebenaran cerita Mark.
Lama sekali Mark membiarkan aku tenggelam dalam alam pikiranku yang serba ruwet. Nasibku sendiri masih tidak menentu, kini harus di tambah dengan persoalan Irene. Alangkah malangnya anak itu.
‘Lucy,’ panggil Mark.
‘Mark, aku harus mencari Irene,’ kataku cepat. ‘Walau bagimana pun dia adalah adikku. Aku takut sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Dan lagi Irene berhak mendapatkan pengakuan dari Papa. Terlepas apakah Papa mau atau tidak. Papa harus bertanggung jawab,’ lanjutku berapi-api. Mark tersenyum lega. Sejak tadi dia kuatir aku akan mengutuk Irene karena dia (maksudku ibunya) telah menghancurkan keluargaku.
‘Jangan kuatir, Lucy, Irene pasti selamat. Dan Manuel tahu dimana dia berada,’ sahut Mark menenangkanku. ‘Sekarang bagaimana dengan dirimu sendiri. Kamu tidak akan tinggal di hotel ini untuk selamanya bukan?’ tanya Mark.
‘Aku tidak tahu, Mark. Aku tidak tahu.’
‘Bagaimana kalau kita pulang ke Kentucky?’ usul Mark.
‘Mark, jangan masukkan ide gila itu ke dalam otakmu. Aku tidak akan kembali ke Stanton lagi,’ protesku.
‘Aku tidak menyuruh kamu kembali kepada ayahmu. Aku bilang kita kembali ke Kentucky. Ke rumahku. Aku yakin Mommy, Daddy dan adik-adikku akan senang menerima calon istriku. Bagaimana? Setuju?’ tanya Mark. Kutatap dia lama sebelum menjawab.
‘Aku menunggu, Lucy,’ ucap Mark. Dan tanpa kusadari, kepalaku telah mengangguk dengan sendirinya. Sekejab kulihat mata Mark berbinar cerah. Hanya sekejab karena setelah itu Mark memelukku sehingga tidak memungkinkan bagiku untuk melihat ke dalam matanya.
Sambutan keluarga Mark benar-benar bukan main! Aku tidak pernah memimpikan adanya keluarga yang akan merangkulku sedemikian hangat. Dari si bungsu Eric, sampai ke Grannie Sally, begitu gembira menerima kedatanganku, seakan sejak dulu aku adalah bagian dari kelurga ini, yang telah menghilang untuk beberapa tahun dan kini kembali ke pangkuan lagi. Semua orang menyuguhiku kasih sayang dengan cara yang bermacam-macam. Grannie mulai merajut sweater untukku dalam menghadapi musim dingin nanti. Bahkan dia mulai merancang kaos tangan yang akan kukenankan pada pesta perkawinan dengan cucunya. Daddy menunjukkan perhatiannya dengan menggodaku terus menerus. Mommy mendekatiku melalui pendekatan batin yang lembut, melalui sikap keibuannya. Tonny dan Eric berusaha memasukkan aku ke dalam hidup mereka melalui kegiatan-kegiatan, cerita-cerita hangat dan perhatian mereka yang tulus. Sedang Mark menunjukkan cintanya melalui kedua matanya. Bila dia sudah menatapku, aku merasa siap untuk menghadapi segala tantangan hidup.
Hari demi hari kulalui dengan ceria. Kehidupan macam inilah yang sejak dulu ingin kumiliki. Menjadi bagian dari sebuah keluarga. Walau belum lagi ada ikatan resmi antara aku dan Mark, tapi aku adalah bagian dari keluarga Wayne ini. Aku adalah anak gadis satu-satunya dari keluarga Wayne. Aku dan Mark telah memutuskan untuk tidak menikah dulu sebelum usiakku genap dua puluh tahun. Kami sama-sama menyadari bahwa kami belum siap untuk mengarungi kehidupan rumah tangga, walau rasanya cinta kami yang menggunung cukup kuat untuk menahan serangan badai yang bagaimanpun besarnya.
Untuk sementara ini Mark akan melanjutkan kuliahnya dan aku sendiri pun juga sedang bersiap-siap untuk mendaftar pada sebuah college. Tidak ada lagi keinginan untuk masuk Universitas, apalagi Cincinnati. Kemungkinan berpapasan dengan David terlalu besar, sedang untuk keluar dari perkebunan Wayne saja aku tidak punya keberanian kecuali di malam hari. Ruang gerakku hanyalah di perkebunan Wayne, tapi cukup untuk membuatku sibuk sepanjang hari.
Sebegitu jauh aku belum mendengar kabar tentang Irene. Aku sudah yakin bahwa dia adikku. Malam ini Mommy telah menceritakan semua tentang Mama kepadaku. Mama mengalami kesukaran ketika mengandung aku dan David sehingga harus sering tinggal di Rumah Sakit. Pada saat sedang dalam kesulitan itu datanglah Mimo, teman kuliah Mama meminta ijin untuk mengadakan riset di perkebunan Stanton. Tanpa prasangka apapun Mama menerima Mimo, karena Mimo toh sahabat Mama. Ketika Mama melahirkan aku dan David, terjadilah apa yang sebenarnya tak boleh terjadi. Papa mengkhianati Mama! Mama tidak bisa memaafkannya. Dia terlampau mencintai Papa dan cinta Mama yang terlampau besar itulah yang akhirnya meracuni Mama.
Segala rintangan telah Mama hadapi dengan gigih untuk bisa mendampingi Papa, termasuk harus kehilangan keluarganya, karena keluarga Mama tak pernah menyetujui perkawinan itu. Mama telah berkoban terlalu besar. Tapi apa yang Mama peroleh dari pengorbanan itu? Selagi dia berjuang untuk menghidupi dua bocah buah kasih mereka, suaminya tengah main gila dengan sahabatnya. Demi aku dan David mama berusaha untuk bertahan. Tapi khirnya pertahanan itu hancur dan terjadilah perceraian itu. Perceraian yang menyebabkan keluarga Stanton terbagi.
‘Bagaimana dengan Mimo?’ tanyaku.
‘Mimo segera pergi dari perkebunan Stanton begitu dia merasa ibumu telah mencium hubungannya dengan ayahmu. Dan dia tak pernah muncul-muncul lagi sejak itu. Ternyata di meninggal ketika melahirkan Irene ke dunia,’ jawab Mommy. Aku tepekur. Kasihan Irene. Dia yang tidak berdosa harus mengalami nasib yang malang sejak dia dilahirkan.
‘Tahukah Papa bahwa Irene anaknya?’ tanyaku. Mommy menggeleng beberapa kali.
‘Ayahmu benar-benar bertaubat sejak itu. Tapi perkawinannya terlanjur tidak bisa lagi dipertahankan. Dia sebenarnya sangat mencintai ibumu. Hanya ibumulah satu-satunya wanita yang pernah singgah di hatinya. Ayahmu benar-benar terpukul dengan perceraian itu. Tahun-tahun pertama dia sama sekali tidak acuh dengan dirinya sendiri juga dengan David. Kerjanya hanyalah mengutuk dirinya sendiri karena telah melukai hati ibumu. Georgie dan Clemmielah yang menjalankan bahtera oleng itu,’ cerita Mommy. ‘Ayahmu baru sadarkan diri sesudah mendengar ibumu telah kawin lagi.’
‘Menurut saya, Mommy, Papa bukannya menyesali diri, lebih tepat kalau dikatakan Papa dendam terhadap Mama karena Mama tega meninggalkan David dan Papa,’ selaku.
‘Mengapa kamu berpikiran semacam itu, Lucy?’ tanya Mommy.
‘Kalau Papa ada sedikit saja perhatian terhadap Mama, mengapa Papa tak sekali pun menanyakan keadaan Mama?’
‘Oh, Lucy, menyebut nama ibumu pun, ayahmu merasa tidak pantas apalagi menanyakan keadaanya.’
‘Lalu alasan apa yang tepat untuk mengatakan pengusiran Papa terhadapku? Cinta kepada Mama?’
‘Pengusiran?’ tanya Mommy heran.
‘Mommy, saya pergi dari rumah itu karena Papa tidak menghendaki saya berada di situ,’ aku menjelaskan pelan.
‘Bukan karena David? Bukankah kalian bertengkar?’ tanya Mommy tak percaya. Kugelengkan kepalaku.
‘Well … e … e … memang saya dan David tidak bisa akrab. Tetapi itu tidak cukup untuk membuat saya minggat. Papa menginginkan saya kembali kepada Mama, tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Terlalu berat bagi Mama.’
‘Lucy, kamu yakin dengan apa yang kau katakan? Aku tidak bisa mengerti mengapa Bill, ayahmu, bisa berbuat seperti itu?’ Mommy bertanya dengan wajah yang bingung.
‘Mommy, saya pun tidak bisa mengerti. Tak pernah bisa. Papa tidak sanggup untuk mengasuhku. Itu saja yang dikatakan Papa.’
‘Tapi ayahmu begitu bahagia waktu menanti kedatanganmu,’ bantah Mommy. ‘Dia ceritakan kepada semua orang yang dikenalnya bahwa anak perempuannya akan kembali kepadanya.’
‘Tapi itulah yang dilakukan Papa. Memberiku uang setas penuh dan menyilahkan saya untuk angkat kaki dan mengatakan antara saya dan Stanton sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.’
‘Lucy, I can’t believe it!’ teriak Mama. ‘Bill mengatakan itu semua kepadamu? Apakah kamu mendengarnya? I just can’t believe it.’
Ya semuanya memang sulit untuk di percaya, tapi itulah kenyataan yang menimpaku.
Tidak kujumpai seorang pun di rumah ketika aku terbangun di pagi hari. Semua ruang telah kumasuki tapi semuanya lengang. Ke mana mereka semua.
‘Eric! Tonny!’ panggilku dari pintu ruang bawah, karena biasanya mereka sedang mengerjakan tugas musim panas mereka di lantai bawah. Tidak kudengar sahutan.
‘Eric!’ panggilku lagi sambil berlari keluar. Aku bertubrukan dengan Mark di depan pintu. Dia menangkapku kemudian menciumku ringan.
‘Siapa yang kamu cari sweetheart?’ tanyanya.
‘Di mana semua orang, Mark? Sepi sekali?’
‘Ada di Louisville Fair Ground, untuk mempersiapkan pasar malam. Masa kamu lupa? Kamu sudah di beritahu kan?’ Mark menerangkan. Aku Cuma bisa geleng-geleng kepal menyadari kealpaanku. Berkali-kali mereka sudah membicarakan mengenai pasar malam tahunan ini. Bahkan tadi malam di meja makan mereka berdiskusi seru mengenai stan pameran mereka dan apa saja yang akan mereka gelar di sana.
‘Hei, ada berita gembira untukmu,’ seru Mark, ‘Aku sudah menemukan alamat Irene.’
‘Mark?’ tanyaku untuk meyakinkan. Mark mengangguk mantap.
‘Antarkan aku ke sana Mark,’ pintaku.
‘Tentu sweetheart, tentu. Tapi aku harus balik ke fair ground dulu mengantarkan benih-benih. Atau kamu mau ikut?’ Mark menawarkan.
‘Ikut?’ ulangku sambil menggeleng. Begitu banyak orang yang berada di sana dan terlalu besar resikonya.
‘Aku segera kembali,Lucy,’ pesan Mark sebelum pergi lagi. Begitu Mark berlalu aku segera menuju ke kamarku untuk ganti baju. Tetapi belum lagi sepuluh menit kudengar suara mobilnya berhenti di depan rumah. Cepat amat, pikirku sambil berlari turun.
‘Kok cepat amat Mark, belum lagi a …’ dan kata-kataku berhenti di ujung lidah. Yang berdiri di depanku bukan Mark. Tetapi dia adalah orang yang selama ini kutakutkan untuk berjumpa. David Stanton. Ya dia adalah David dengan matanya yang sangat amat dingin. Tubuhku bergetar hebat.
‘Apa yang kau inginkan?’ tanyaku serak.
‘Ikut aku!’ perintah David dingin.
‘Apa?’
‘Ikut aku!’ ulang David sambil manarik tubuhku ke luar. Aku meronta, tapi cengkraman David pada pergelangan tanganku terlampau kencang sehingga sia-sia sajalah usahaku.
‘Lepaskan aku! Lepaskan aku!’ protesku berkali-kali. Tetapi telinga David seakan sudah tuli, dia terus saja menyeretku menuju mobilnya. Dibukanya pintu mobil dan dengan kasar dia mendorongku untuk duduk di kursi penumpang. Sebelum dia menuju ke tempat duduk kemudi dia menekan tombol otomatis yang diset untuk anak-anak sehingga tidak mungkin dibuka dari dalam. Tidak bakal ada kesempatan bagiku untuk meloncat turun selagi dia asyik dengan kemudinya.
Mobil David melaju meninggalkan perkebunan Wayne. Sementara itu aku tak henti-henti memuntahkan makian dan kata-kata kotor ke arahnya. David tak menggubrisku. Mulutnya tetap terkatup rapat dan tulang-tulang rahangnya yang kuat mencerminkan kekerasan hatinya. Aku putus asa.
‘Kamu tidak berhak melakukan ini terhadapku. Kamu bukan apa-apaku. Aku bebas menentukan apa-apa yang ingin kujalani dalam hidup ini. Demi Tuhan aku sangat membencimu. Kalau toh di dunia ini hanya ada dua orang, kamu dan aku, aku tetap tidak akan sudi bertegur sapa denganmu. Aku terlampau amat sangat membencimu. Camkanlah itu, Master Stanton!’ kataku menutup omelanku karena aku menyadari hati David tak akan tergugah dan memulangkanku ke perkebunan Wayne lagi. Aku sudah pasrah. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. David menoleh ke arahku sejenak tapi tak berucap apa-apa.
Oh, Mark pasti akan segera menyadari kepergianku. Tahukah dia kalau David telah membawaku, pikirku sedih. Hampir saja aku berjumpa dengan Irene, tapi kini David telah menghancurkan harapanku. Mengap David selalu memadamkan impian indahku?
Aku berdiam diri sesudah itu sambil menatap hutan-hutan buatan di sepanjang highway. David terus saja melaju meninggalkan negara bagian Kentucky dan masuk ke Ohio. Mobilnya berjalan kencang seakan tak ’kan pernah berhenti. Ternyata tiba pula saatnya bagi dia untuk menghentikan mobil itu yaitu di Akron untuk mengisi bensin.
‘Mau ke toilet dulu, Lucy?’ tanya David pelan sesudah tangki mobil terisi penuh. Aku terkejut mendengar nada suaranya yang lain. Tapi hanya sejenak. Cepat-cepat kugelengkan kepalaku sebagai jawabannya. Kembali dia menjalankan mobilnya.
Kami berhenti lagi di Pittsburg untuk makan siang. Kami duduk berhadap-hadapan di sebuah meja kecil, tapi hati kami ribuan mil jaraknya. Tragisnya hidup ini. Dia saudara kembarku. Sembilan bulan lebih kami meringkus di rahim yang sama. Tetapi mengapa aku tidak pernah bisa mendekati hatinya?
‘Apa yang akan kau lakukan terhadapku, David?’ tanyaku tidak segeram tadi. David mengangkat wajahnya, matanya tidak sesadis pagi tadi kemudian dia menggelengkan kepalanya pelan.
‘Kamu harus kembali ke Indonesia,’ desahnya.
‘Apa bedanya aku berada di sini dan aku berada di Indonesia?’ tanyaku berusaha tenang. ‘Aku tidak akan mengganggumu. Bukankah seperti katamu dulu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara aku dan Stanton. Aku tidak mengenakan nama Stanton lagi.’
‘Tidak!’ bantah David. ‘Lebih baik bagimu untuk tetap berada di Indonesia.’
‘David, aku tidak akan …,’ kataku berusaha protes tetapi David sudah beranjak dari kursinya dan mengajakku segera pergi.
‘Jadi kamu akan mengantarku pulang ke Indonesia?’ tanyaku setelah kembali berada di dalam mobil.
‘Ya, sampai JFK, New York,’ jawab David. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak membawa paspor.
‘Kamu tidak akan bisa mengeluarkanku dari Amerika,’ seruku sambil tertawa. David menoleh.
‘Mengapa tidak?’ tantangnya.
‘Pasporku tertinggal di rumah Wayne.’
‘Tidak jadi masalah,’ jawab David tenang. ‘Kita pergi dulu ke kedutaan besar Indonesia di Washington dan melaporkan bahwa paspormu telah hilang.’ Aku terdiam. David telah mempersiapkan segalanya dengan matang. Semua gertakanku tidak mempan baginya.
‘David, mengapa tak kamu kembalikan saja aku ke keluarga Wayne? Aku berjanji tak ’kan mengusikmu,’ bujukku merubah siasat.
‘Itu pantangan terbesar bagiku. Wayne adalah saingan Stanton yang paling besar.’
‘Mereka begitu baik tehadapku.’
‘Itu karena kamu sedang jatuh cinta. Sejak dulu kala sudah terjadi persaingan antara Stanton dan Wayne. Bahkan dulu Papa dan Mr. Wayne bersaing hebat dalam memperebutkan Mama,’ ucap David bangga. Aku terperanjat mendengar dia mengalamatkan Mama bukan ‘ibumu’.
‘Ah, Mr. Wayne sudah melupakan peristiwa itu,’ belaku.
‘Omong kosong,’ bantah David, ‘Mereka tetap dendam terhadap Stanton, apalagi setelah Deidre akrab denganku.’
‘Apa hubungannya Deidre dengan Wayne?’
‘Dia adalah satu-satunya gadis yang dicintai Mark.’
‘Tidak mungkin. Mark mencintai aku.’ sanggahku seketika.
‘Tidak sadarkah kau, Lucy, bahwa Mark berusaha membalas dendam melalui dirimu. Dia sangat mencintai Di tapi Di telah menolaknya. dan mendekatimu. Walau bagaimanapun juga kamu mempunyai darah Stanton. Mark berharap dengan melukai hatimu, dia juga melukai Stanton.’
‘Kamu bohong!’ geramku.
‘No, Lucy, no. Aku sungguh-sungguh. Sebelum kamu terlalu dekat dengan Mark, maka sebaiknya kamu menjauh. Dia tidak bersungguh-sungguh terhadapmu. Percayalah aku.’
‘Apa maksudmu dengan sebelum aku terlalu dekat dengan Mark? Aku sudah terlalu dekat dengan Mark. Aku dan dia sudah kawin dan saat ini aku sedang mengandung anaknya, anak yang berdarah Wayne,’ ucapku ingin melihat reaksinya.
‘Apa?!!!’ gelegar David.
‘Kamu telah mendengarnya tadi,’ jawabku berbohong lagi.
‘Oh God, no!’ desis David menyerupai sebuah erangan. Wajahnya mendadak menjadi pucat pasi dan dadanya turun naik tidak teratur. Aku tertegun, apalagi setelah melihat ke dalam matanya. tidak ada lagi ketegaran dan keangkuhan di sana. Mata itu menggambarkan hati yang sangat terluka, tiada gairah hidup yang ada hanyalah kekecewaan seakan dia telah menderita kekalahan total.
Tiba-tiba kulihat sebuah truck yang memasuki highway dengan kecepatan tinggi. David tidak melihatnya.
‘David, awas!!’ teriakku memperingatkan. David berusaha menguasai kemudi. Tetapi aku melihat tubuh dan tangan David bergetar. Dia masih shock dengan keteranganku tadi. Dia berusaha keras untuk menghindari tabarakan tanpa memperhitungkan bahwa di depan kami ada sebuah tikungan yang amat tajam. David menginjak rem dengan mendadak. Terdengar bunyi jeletit rem yang keras. Terlambat!! Mobil kami berguling dan kuteriakkan namanya sebelum sekelilingku menjadi gelap pekat. Aku tak sadarkan diri.
‘Lucy … Lucy … kamu sudah bangun?’ sayup-sayup kudengar sebuah pertanyaan dari suara yang asing. Ingin sekali aku membuka mata dan melihat siapa yang bertanya. Tidak berhasil.
‘Lucy, are you awake?’ kembali suara itu mengiang. Aku berusaha makin keras untuk membuka mataku.
‘Lucy, kamu mendengar suaraku?’ pertanyaan itu makin gencar. Hampir. Mataku hampir terbuka. Dan ketika mata ini terbuka kulihat siapa pemilik suara itu. Seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba putih. Rumah sakit! Mengapa aku ada di sini, pikirku kacau. Kucoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.
‘David!’ teriakku lantang. ‘Dimana David? Aku telah membunuhnya,’ teriakku berkali-kali setelah berhasil mengingat apa yang menyebabkanku berada di Rumah Sakit ini.
‘David! David! David!’ teriakku histeris. Aku telah membunuh saudara kembarku sendiri. Kalau saja aku tidak berbohong padanya tentang Mark, tentu dia tidak akan kehilangan keseimbangan dan peristiwa ini tidak harus terjadi. Aku benar-benar menyesal hingga tubuhku menjadi tegang setengah mati.
‘David!’ jeritku kalut.
‘Lucy, tenang. Kakakmu selamat. Dia sedang berusaha menghubungi ayahmu,’ hibur dokter itu. Aku tahu dia bohong.
‘Tidak! David telah mati. Aku yang membunuhnya. Antarkan aku melihat mayatnya,’ tuntutku sambil berusaha bangun. Tiba-tiba aku merasakan nyeri yang luar biasa di punggungku. Aku meringis menahan sakit dan tergeletak kembali. Tangisku tak lagi terbendung. Barulah aku menyadari bahwa aku menyayangi David. Tapi kini David telah tiada sebelum sempat aku nyatakan cintaku. Kututup mataku rapat untuk mengenangkan bayangan David.
‘David … David …’ kubisikkan namanya berkali-kali dengan harapan dia bisa mendengarnya.
‘Lucy …’ kudengar sapaan lembut. Suara David. Dari surgakah datangnya? Aku takut untuk membuka mataku. Tiba-tiba tanganku di sentuh dan namaku kembali di bisikkan. Pelan sekali kubuka mataku kembali.
‘David?’ tanyaku tidak yakin. Dia memang berdiri di dekatku. Tapi sadarkah aku atau ini hanya sekedar impian?’
‘Lucy, …’ bisik David serak.
‘David!’ teriakku gembira. Kupeluk dirinya erat dan takkan kulepaskan lagi. David menangis sesunggukan di pelukanku.
‘Maafkan aku, Lucy. Maafkan aku,’ isaknya.
‘David, aku yang salah. Hampir saja aku membunuhmu.’
‘Tidak, Lucy. Akulah yang terlalu egoistis. Hanya diriku saja yang kupikirkan tanpa pernah memikirkan hati dan perasaanmu. Seminggu ini aku seperti orang gila saja. Kalau kamu belum juga sadar hari ini aku sudah siap untuk membunuh diri.’
‘Seminggu?’ tanyaku. ‘Selama itu aku tak sadarkan diri?’
‘Ya dan itu membuatku gila. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kamu mau memaafkan aku ‘kan, Lucy? Berilah aku kesempatan untuk memperbaiki diri! Berilah aku kesempatan untuk mencintaimu dengan tulus,’ bisik David.
Kupandang dia lama dan dalam. Kucari pandangan dingin dalam matanya. Tidak lagi bersisa. Mata itu kini berisi cinta dan dan penyesalan. Mampukah untuk mengecewakan dia sedang sesungguhnya aku sangat mencintainya? Pelan sekali kuanggukkan kepalaku. Mata david bersinar cerah kemudian dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan tangis kebahagiaan kamipun tumpahlah.
‘Aduh!’ jeritku tak tertahan ketika tangan David menyentuh punggungku.
‘Maaf, Lucy,’ ucap David sambil melepaskan pelukannya.
‘Ada apa di punggungku, Dave? Nyeri sekali.’ Tanyaku.
‘Mereka terpaksa memecah kaca mobil waktu menolong kita. Dan punggungmu tergores pecahan kaca waktu mengeluarkan kamu,’ jawab David. ‘Sudah di jahit sekarang,’ lanjutnya.
‘David,’ panggilku setelah kami berdiam diri untuk waktu yang agak lama. Devid menatapku sambil kedua tangannya memainkan tanganku.
‘Ya?’ tanya david.
‘Ah, tak usah saja,’ sahutku ragu.
‘Katakanlah apa yang ingin kau katakan,’ kata David.
‘Tentang Mark. Benarkah hanya Deidre saja yang dicintainya? Apakah aku sama sekali tidak ada dalam hatinya?’
‘Kamu mencintai dia?’ tanya David sambil memandangku dalam. Aku mengangguk pasti. Memang aku mencintai Mark. David tersenyum lebar. Sayang aku tidak mengerti arti senyumannya.
‘Tidak ada gadis lain yang dapat mengalahkanmu, Lucy. Aku yakin Mark pasti mencintaimu. Lupakan tentang Deidre. Mark tidak pernah merasa memiliki Deidre, jadi sudah tentu dia tidak merasa kehilangan Deidre.’
‘Tapi …’
‘Tapi apa. Lucy?’
‘Kamu pernah bilang bahwa …’
‘Lupakan itu, Lucy, lupakanlah. Aku tidak sadar dengan apa yang kuucapkan. Percayalah bahwa Mark mencintaimu. Sudah berapa bulan usia kandunganmu?’ tanya David mengejutkan.
‘David,’ bisikku lirih, ‘Aku tidak sedang hamil dan antara aku dan Mark belum ada ikatan perkawinan.’
‘Jadi?!’ tanya David sambil menahan tawa.
‘Ya, Dave, kita saling membohongi untuk saling menyakiti,’ jawabku sambil tertawa. David juga tertawa. Inilah pertama kalinya kami tertawa bersama.
‘Kita mulai dari awal lagi, Lus. Marilah kita berjanji untuk senantiasa terbuka satu sama lainnya. Tidak ada lagi dusta dan sandiwara. Kita sudah begitu menderita dengan ulah kita sendiri.’
‘Apakah kamu menderita? Kukira hanya aku saja yang menderita. Kamu begitu keras kepala dan angkuh.’
‘Bukankah hati kita hanya satu, Lus?’ jawab David. ‘Akupun menderita sepertimu.’
‘Tapi mengapa kamu begitu saja memusuhiku? Aku datang dengan cinta, Dave, tapi kau sambut aku dengan kebencian,’ tanyaku hati-hati. David terdiam lama sebelum menjawab.
‘Aku tidak sadar dengan diriku sendiri, lucy. Deidre terlalu mempengaruhiku dengan gagasannya tentang warisan Papa. Padahal sesungguhnya aku tidak begitu perduli dengan warisan itu. Hanya … mungkin … mungkin, Lucy, aku iri dengan kebahagiaanmu. Kamu selalu mendapatkan yang terbaik.’
‘Apa maksudmu, Dave?’
‘Mungkin aku terlalu kekanak-kanakan. Aku begitu sakit hati ketika Mama memilih kamu untuk ikut dia. Mengapa bukan aku? Mengapa Mama membiarkan aku ikut Papa, padahal Mama tahu pasti Papa tidak akan memperdulikanku?’ ucap David sentimentil.
‘David, kamu ingin tahu jaawbannya? Aku perna bertanya kepada Mama tentang hal ini. Waktu itu aku bertanya mengapa bukan aku yang iktu Papa. Mengapa harus David? Lalu jawab Mama, ‘kalau saja aku berhak, maka kalian akan kubawa semua. Tapi karena aku hanya berhak membawa satu dari kalian mak kupilih kamu, karena aku yakin Davidlah yang kuat mendampingi ayahmu. Dan lagi kamu dulu sakit-sakitan maka kuputuskan kamu yang kubawa.’
David termenung mendengar kata-kataku.
‘Pernahkah Mama berpikir tentang aku?’ tanya David kemudian.
‘David!’ seruku. ‘Setiap menit Mama selalu memikirkanmu. Kau pikir Mama melupakanmu begitu saja?’ David tersenyum malu mendengar teguranku.
‘Seperti kataku tadi, Lucy, aku terlalu berpikir tentang diriku sendiri. Setiap saat Papa berbicara denganku tentang dirimu maka waktu itu pula aku menyadari bahwa kamu begitu diperhatikan. Itulah yang membuatku iri, seakan aku tidak berarti apa-apa di mata Papa. Aku takut bila kamu tetap berada di samping Papa kedudukanku akan tergeser dan aku akan hilang begitu saja.’
‘Masihkah kamu mempunyai perasaan seperti itu?’ tanyaku.
‘Tidak lagi, Lucy. Tidak lagi.’ Jawab David. Kuambil tangan david dan kucium. David tersenyum.
‘Apakah berarti bahwa aku boleh tetap berada di sini?’
‘Tidak!’ jawab David cepat.
‘David!’ protesku tak habis pikir.
‘Kamu tidak boleh tetap berada di sini. Ingat ini Rumah Sakit, Lucy. Rumahmu ada di Louisville,’ jawabnya sambil tertawa. Kucubit dia sekuat tenaga dan David menjerit. Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka dan muncullah wajah-wajah terkasih; Papa. Mark dan Irene. Aku tidak tahu nama siapa yang harus kuteriakkan pertama kali. Akibatnya aku hanya menatap mereka tak berkedip tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tahu-tahu aku telah di hujani ciuman mereka.
‘Bagaimana kalian tahu aku berada di sini?’ akhirnya mampu juga aku untuk bertanya.
‘Orang tua Mark datang menemuiku dan mengatakan bahwa menantu mereka telah menghilang.’ Jawab Papa sambil mengedipkan sebelah matanya. semua tertawa kecuali aku dan Mark. ‘Ternyata menantu mereka itu adalah anakku yang juga pernah menghilang dua bulan yang lalu. Karena waktu menantu mereka menghilang itu bersamaan waktunya dengan menghilangnya anak laki-lakiku, maka kami sepakati untuk menganggap mereka menghilangnya bersama-sama. Hingga akhirnya kuterima telepon dari anak laki-lakiku tentang kecelakaan yang menimpa mereka. Nah, cukup jelas sekarang?’ lanjut Papa berbelit-belit.
‘Irene?’ tanyaku untuk menyingkap kehadiran Irene di kamar ini. Papa menghela nafas sejenak kemudian memandang kami semua silih berganti.
‘Mengapa tak kau katakan kepada Papa begitu kamu mengetahuinya, Lucy? Mengapa orang lain yang harus bercerita kepada Papa?’ Papa ganti bertanya.
‘Saya menanti saat yang tepat, Papa,’ jawabku. ‘Siapa yang memberitahu Papa?’
‘Menantuku ini dan orang tuanya,’ jawab Papa sambil menepuk bahu Mark. Mak tersenyum jengah.
‘Hei, apa-apaan ini? Apa yang kalian perbincangkan?’ tanya David kebingungan.
‘Irene adalah adikmu, Dave,’ jawab Papa. David terperanjat. Matanya bergerak cepat dari Papa ke Irene, kembali lagi ke Papa kemudian berhenti padaku. Kuanggukkan kepalaku untuk meyakinkan dirinya. Dengan cepat dia berdir dari sisiku dan berjalan mendekati Irene yang berdiri dengan tegang. Diambilnya wajah Irene dengan kedua tangannya dan dipelajarinya lama.
‘Mengapa tak kau katakan dari dulu, Irene?’ bisik David lembut. Mata Irene berkaca-kaca menatap David dan bibirnya bergetar menahan haru.
‘Irene adikku,’ desah David sambil memeluk Irene.
Angin sore berhembus lembut, mempermainkan pucuk-pucuk pinus di depan sana. Bunga-bunga Dandelion kuning bergoyang-goyang mengucapkan salam kepada kuda-kuda jantan Kentucky yang sedang bercanda riang. Dan di atas salah satu punggung kuda itu David bertengger. Sinar matanya menimpa dadanya yang telanjang hingga dari tubuhnya seakan memancarkan cahaya.
Kutoleh Papa yang duduk di samping Irene, pandangan Papa juga berada pada David.
‘Aku gembira David bisa lepas dari Deidre. Gadis itu berpengaruh tidak baik padanya,’ bisik Papa. Aku, Mark dan Irene tidak berkomentar walau dalam hati kami sependapat dengan Papa.
‘Dan, Lucy … kapan kamu melangsungkan perkawinanmu dan memberi Papa cucu-cucu yang manis?’ tanya Papa kepadaku. Kulirik Mark yang duduk di sampingku, dia tersenyum lebar ke arahku.
‘Ah, tidak seharusnya Papa bertanya kepadaku. Lucy sih sudah siap Cuma Mark saja yang belum,’ jawabku. Mark membelalakkan matanya.
‘Jangan membalikkan fakta, Miss,’ protesnya. ‘Detik ini pun aku mau,’ lanjutnya. Papa dan Irene tertawa.
‘Kalau begitu tunggu apa lagi?’ tanya Papa.
‘Begini, Papa,’ aku menerangkan, ‘Mark dan David akan pergi ke Indonesia dulu. Meminta ijin kepada Mama. Na, kalau Mama sudah memberi lampu hijau baru …’
‘Kapan kalian akan pergi?’ potong Papa ke arah Mark.
‘Secepatnya,’ jawab Mark pasti.
‘Bagus! Aku yakin Mama Lucy akan mengijinkan,’ jawab Papa.
‘Papa begitu yakin?’ tanyaku. Papa tidak menjawab. Tapi seperti juga Papa aku yakin Mama akan mengijinkan perkawinan kami. Mark terlampau baik untuk di tolak.
‘Nona, Lucinda …’ panggil David yang entah kapan telah ada di depan kami. ‘Maukah Anda berkuda denganku?’
‘Dengan senang hati, tuan muda,’ jawabku sambil beranjak dari sisi Mark. ‘Sebentar ya, Mark?’ bisikku pada Mark. ‘Ngobrol-ngobrollah dulu dengan mertua dan adik ipar,’ Mark mengangguk dan memperhatikan kami berlalu.
Aku duduk di belakang David sambil memeluk tubuhnya erat. Tiba-tiba terpandang olehku sebuah bekas luka di punggungnya.
‘David, apa ini?’ tanyaku.
‘Setahun yang lalu aku terjatuh dari sepeda motor,’
‘Lucu ya, Dave? Aku juga mempunyai bekas luka dipunggung.’
‘Apanya yang lucu? Bukankah kita saudara kembar? Kalau kamu terluka aku pun ikut terluka,’ jawab David berkelakar sambil mempercepat lari kudanya.
‘David,’ bisikku.
‘Hmm?’ tanya David tanpa berusaha memelankan lari kuda.
‘Aku mencintaimu,’ ucapku. Aku tahu aku harus mengucapkan kata-kata itu. Serta merta David menghentikan kudanya, kemudian dia menoleh ke arahku. Ditatapnya aku lama dan dalam.
‘Siapa yang lebih kau cintai, aku atau Mark?’ tanyanya.
‘Oh, David, engku gila!’ teriakku sambil memukul punggungnya. ‘Jangan katakan kalau kamu cemburu pada Mark,’ David tertawa terbahak-bahak dan matanya berputar-putar dengan kocaknya.
‘Tentu saja tidak. Cuma … rasanya belum lama aku memilikimu kini kamu akan menjadi milik Mark,’ ucap David polos.
‘David, kamu tahu aku akan tetap menjadi milikmu. Aku akan selalu membutuhkanmu. Bukankah kita hanya mempunyai satu hati?’ David mengangguk. Sebuah senyum hangat tersungging di bibirnya. Kemudian dia mencium dahiku lembut.
‘Akupun mencintaimu, Lucy,’ bisiknya. Dan entah dari mana datangnya tahu-tahu dunia ini penuh dengan cinta. Bahkan burung-burng yang terbang bergerombol di atas pun bergerak karena cinta. Alangkah indahnya dunia ini.
Tamat.
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota Daytona dan tinggal di sebuah hotel dekat pantai. Di sini dia berkenalan dengan Michelle, seorang peragawati.
Karena kebetulan, Lucy berkenalan dengan Mark Wayne, seorang mahasiswa yang bekerja musiman sebagai penjaga pantai. Mark berusaha bersahabat dengan Lucy, namun Lucy enggan, mengingat pesan Michelle bahwa semua penjaga pantai adalah play boy. Pandangan Lucy berubah, ketika pemuda itu menyelamatkan seorang anak yang hampir tenggelam di pantai.
Aku tahu Mark merasa aneh mendengar jawabanku tetapi aku tidak peduli. Dia kemudian bertanya tentang bermacam hal. Tentang Indonesia dan tentang diriku. Bila dia bertanya tentang Indonesia maka aku akan menjawab dengan jujur, tetapi bila dia mulai bertanya tentang diriku maka akan kucari jawab yang kira-kira akan memuaskannya.
‘Hei, aku telah terlalu banyak bercerita tentang diriku, bagaimana dengan dirimu sendiri?’ kualihkan percakapan kami karena aku sangat tertekan bila bercerita tentang keluargaku.
‘Aku berasal dari Kentucky,’ Mark memulai ceritanya.
‘Kentucky?’ potongku cepat, ‘Dekat dengan Louisville?’
‘Kamu pernah ke Louisville?’ ganti Mark yang bertanya.
‘Belum. Cuma pernah dengar saja. Rumah Kolonel Sandersnya KFC.’ jawabku mencoba bercanda. Ya Tuhan hampir saja…
‘Rumahku di luar kota Louisville,’ lanjut Mark. Ingin benar aku bertanya luar kota sebelah mana. Tapi kalau aku bertanya tentu dia akan curiga, maka kubiarkan rasa ingin tahuku tidak terpenuhi. ‘Di sana ada Mom, ada Dad dan ada dua adik laki-lakiku, Tony dan Eric. Waktu mereka belum lahir, aku pernah di ajak berlibur oleh orangtuaku di pantai di Delaware dan di sana aku hampir mati tenggelam, untung aku di selamatkan oleh seorang lifeguard. Sejak saat itu aku bercita-cita untuk menjadi seorang lifeguard.’
‘Sudah berapa lama kamu menjadi lifeguard, Mark?’
‘Sudah tiga kali musim panas.’
‘Jadi kamu hanya beredar disini pada waktu musim panas?’ tanyaku. Mark mengangguk.
‘Musim-musim lainnya kuhabiskan di kampus. Menjengkelkan memang, tapi Mom dan Dad sangat mengharapkanku untuk melanjutkan sekolah,’ keluh Mark.
‘Dan kamu sekolah sekolah di…?’ selidikku.
‘Cincinnati,’ jawab Mark lesu. Cincinnati!!? Bukankah David juga kuliah di sana? Pernahkah Mark ketemu David? Saling kenalkah mereka, pikirku kalut. Tentu tidak. Bantahku sendiri. Kalau Mark kenal David tentu dia akan segera menyadari kemiripanku dengan David. Dalam kebingunganku itu tanpa kusadari aku melihat ke jam tanganku. Astaga, sudah saatnya makan malam!
‘Sorry, Mark, aku harus segera kembali ke hotel. Sudah jam makan malam,’ kataku sambil bangkit. Tentu Michelle sudah menantiku, pikirku sambil mengibas-ngibaskan pasir yang menempel di celanaku. Mengapa aku jadi lupa waktu? Mark juga ikut berdiri.
‘Besok kamu main di pantai?’ tanya Mark. Aku mengangguk.
‘Kunanti kamu di sini, OK?’ kata Mark sebelum aku berlari menuju hotel.
Michelle telah pergi ke ruang makan ketika aku sampai di hotel karena kujumpai kamarnya gelap dan terkunci. Bergegas aku menyusulnya.
‘Dari mana saja, Non?’ tegur Michelle.
‘Jalan-jalan di pantai,’ sahutku sambil duduk di seberangnya.
‘Jalan-jalan di pantai atau pacaran di pantai?’ selidik Michelle sambil menahan senyum. ‘Tadi aku menyusulmu ke pantai, tapi karena engkau begitu asyik maka kubiarkan saja,’ lanjutnya. Aku tidak tahu bagaimana warna wajahku waktu itu tapi aku merasa semua darahku mengalir ke sana.
‘Ah, kami hanya ngobrol saja,’ belaku.
‘Apakah dia mulai merayumu?’
‘Michelle . . . ! dia tidak punya maksud apa-apa, jadi tidak diperlukan rayuan,’ balasku sengit. Tapi Michelle malah tertawa. Cepat-cepat kupanggil Les untuk menyiapkan makananku dan tak bercerita apa-apa kepada Michelle hingga makan malam selesai.
‘Lucy, kamu marah?’ tanya Michelle dalam perjalanan menuju kamar kami. Aku diam saja. Marah sih tidak, cuma dongkol.
‘Sorry kalau aku membuatmu tersinggung. Aku hanya berseloroh tadi,’ kata Michelle penuh penyesalan.
‘Aku sama sekali tidak marah, cuma . . . ah, tak tahu mengapa.’
‘Oke, hati-hati sajalah. Bagaimana pun juga dia seorang lifeguard dan reputasi lifeguard tidak bisa kita anggap enteng. Tapi apa yang dia lakukan tadi pagi membuat nilai dirinya naik. Mungkin saja dia dia tidak seburuk lifeguard lainnnya. Mungkin dia benar-benar mencintaimu.
‘Wow… siapa yang bicara tentang cinta?’ potongku.
‘Aku bilang mungkin, dear Lucy.’ Mengapa sekarang kamu jadi mudah tersinggung? Mungkin yang mungkin itu tengah terjadi pada dirimu saat ini,’ bantah Michelle. Kupelototi dia, tapi dia tenag-tenang saja.
‘Mau menemaniku jalan-jalan, Lucy?’ tanya Michelle. Aku menggeleng.
‘Oke, aku akan jalan-jalan sendiri, siapa tahu ketemu sama lifeguardmu,’ goda Michelle lagi. Dia masih tetap menggodaku hingga kuturuti permintaannya untuk menemaninya jalan-jalan.
Kami melangkah pelan menelusuri pantai yang remang-remang. Michelle berjalan dengan wajah menunduk dan kakinya mengais-ngais pasir yang di laluinya.
‘Lucy, bagaimana bila kukatakan kepadamu kalau aku akan kawin besok pagi?’ tiba-tiba Michelle berbisik lirih.
‘Apa?’ aku masih juga bertanya walau kalimat yang di ucapkan Michelle sudah kudengar dengan jelas.
‘Besok pagi aku akan kawin, Lucy.’
‘Michelle, jangan bercanda!’ tegurku. Tapi kulihat Michelle menggelengkan kepalanya.
‘Aku sendiri pun pada mulanya tidak percaya ketika dia menyatakan bahwa kami akan kawin besok pagi. ‘Kukira dia sedang bergurau, ternyata tidak. ‘Kami benar-benar akan kawin besok pagi di Presbitarian Church di Orlando.’
‘Dengan siapa kamu akan kawin dan mengapa sangat mendadak dan tanpa rencana?’
‘Dengan Bob Turner.’
‘Bosmu?’ tanyaku kurang yakin. Hanya seorang Bob Turner yang kukenal yaitu pemilik Daytona Fashion Center.
Kalau Michelle benar-benar kawin, tinggalah aku sendiri di hotel ini tanpa kawan. Mengapa semuanya begitu cepat berlalu? Mengapa pertemuan dan perpisahan selalu membayangi langkahku?
‘Kamu tidak mengucapkan selamat kepadaku?’ tanya Michelle membuyarkan lamunanku.
‘Oh, tentu saja. Selamat Michelle! I’m so happy for you” ucapku sambil memeluk Michelle erat. ‘Tapi kamu tahu aku sedih untuk berpisah denganmu.’
‘Kamu kira hanya kamu saja yang sedih? Tapi kita akan tetap berhubungan, Lucy. Kamu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri,” bisik Michelle sambil melepaskan pelukan. ‘Kamu harus hadir pada perkawinanku dan menemaniku selama seminggu di Orlando.’
‘Menemanimu? Yang benar saja, kamu sudah ditemani Bob.”
‘Lucy . . ., Bob akan sibuk selama itu. Dia akan mengurus keberangkatan kami ke Eropa. Dia akan mengadakan pameran di Paris dan Milan, sekaligus bulan madu kami. Kita masih punya waktu, Lucy. Kita dapat jalan-jalan bersama. Ke Disney World, misalnya. Oke, Lucy?’
‘Michelle, aku . . . aku.’
‘Kenapa?’
‘Kalau saja kamu memberitahunya tadi pagi maka aku akan menjawab ya dengan pasti. Tapi kalau sekarang . . . Oh, Michelle, kamu tahu aku tidak membawa sebuah baju pun yang pantas untuk suatu perkawinan. Semua pakaianku terlalu santai,”
‘Lucy . . . Lucy,’ desah Michelle. ‘Apa gunanya aku berkeja di rumah mode kalau aku tidak bisa meyediakan sebuah baju untukmu.’
Malam itu kami berdua sama-sama tidak bisa tidur. Tapi alasan yang mendasarinya berbeda. Kalau Michelle tegang menghadapi perkawinan dan masa depannya yang penuh dengan impian indah, sementara aku gelisah menghadapi masa depanku yang semakin tak pasti dan harus kutempuh sendiri.
Alun ombak malam ini sangat tenang, setenang mataku yang menatap kosong pada langit-langit kamar yang tidak ada seekor cicaknya pun. Michelle telah terbang ke Eropa tadi pagi dan kini aku kembali ke kamar hotel ini, entah untuk berapa lama lagi. Sudah kuputuskan diriku untuk tidak kembali ke Indonesia sebelum sakit hatiku hilang dan sebelum aku bisa berdiri sendiri dengan tegar.
Sebuah ketukan lirih tergetar di pintuku. Sekejab bayangan Michelle melintas. Ah bukan! Michelle telah pergi. Lalu siapa? Perlahan aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu. Dengan ragu pintu kubuka dan . . .
‘Mark!’ seruku kaget melihat siapa yang berdiri di depanku.
‘Lucy, are you okay?’ tanya Mark kuatir.
‘Apa?’ aku tidak mengerti yang ditanyakannya.
‘Kamu tidak apa-apa?’ ulang Mark. Aku menggeleng.
‘Memangnya ada apa?’ tanyaku.
‘Seminggu yang lalu kamu berjanji untuk menemuiku di pantai tetapi sejak saat itu pula kamu tidak pernah muncul.’
‘Oh, itu,’ sahutku dengan tawa. ‘Mark menatapku tidak mengerti. Kemudian kujelaskan semuanya. Tentang perkawinan Michelle yang dadakan dan tentang tempat-tempat yang kukunjungi bersama Michelle selama seminggu di Orlando. Baru sesudah aku menyelesaikan kisahku. Mark bernafas lega.
‘Kukira kamu telah pulang ke Indonesia, tanpa mengucapkan selamat tinggal,’ ucapnya. Kemudian dia menatapku lama dan dalam. Jantungku berdetak lebih kencang. Tuhan, jangan biarkan aku jatuh cinta pada mahluk satu ini. Mark masih juga belum memindahkan matanya dari wajahku membuat diriku salah tingkah.
‘Mark, jangan pandang aku seperti itu,’ pintaku.
‘Kenapa?’ tanyanya sambil tersenyum dan meraih bahuku. Aku menghindar. Ini tidak boleh terjadi. Sama sekali tidak boleh. Aku di sini bukan untuk jatuh cinta. Tapi kalau aku sedang tidak jatuh cinta, mengapa aku tidak kuasa untuk menentang pandang matanya?
‘Tak ingin jalan-jalan ke pantai, Lus? Malam sangat indah untuk dinikmati,’ usul Mark. Aku ragu. Berbahayakah bila aku berjalan bersama dengannya?
‘Lucy?’ Mark meminta kepastian.
‘Baik,’ jawabku terlepas begitu saja. Aku sendiri pun terkejut waktu mendengarnya. Ada apa dengan dirimu, Lucy? Tidak bisakah kamu mengontrol dirimu sendiri? Sudah masuk dalam perangkapnyakah kau?
Malam memang sangat indah dengan bulan yang bersinar penuh di atas laut. Ada segumpal awan putih tipis yang membentuk peta pulau Jawa di bawah bulan. Dan di awan itu kulihat tawa manja Yani, gelak Anto dan senyum manis Adit. Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku rindu mereka. Seharusnya malam ini aku berada di samping mereka dan menceritakan kisah-kisah yang dulu pernah diceritakan mama kepadaku. Tapi apa yang kukerjakan sekarang ini? Berjalan di tanah yang asing dengan ditemani oleh seseorang yang asing pula. Apa yang sebenarnya kucari di sini? Cinta seorang ayah dan saudara kembar?
‘Lucy,’ panggilan Mark menyadarkanku. Dia berjalan di sampingku dengan kedua tangannya berada di saku jacketnya.
‘Ya?’ sahutku.
‘Kok diam saja? Bicaralah.’
‘Bicara tentang apa?’
‘Bicara apa saja. Tentang bulan, misalnya. Atau laut. Atau tentang cintamu kepadaku,’ sambung Mark.
‘Apa?!! Ih memangnya aku cinta padamu?’ tangkisku cepat.
‘Apakah benar-benar tidak?’ tantang Mark penuh keyakinan.
‘Tidak,’ jawabku tak kalah yakin.
‘Kamu bohong,’ tuduh Mark.
‘Mark, yang punya hati kan aku. Aku bilang tidak, ya tidak. Kamu pikir setiap gadis akan jatuh cinta kepadamu? Kamu salah, Mark. Memang banyak gadis-gadis yang tergila-gila pada lifeguard tapi aku tidak termasuk di dalamnya,” bantahku emosi. Aku menyangka Mark akan mengelak dan menangkis seranganku, ternyata dia hanya tersenyum manis.
‘Lucy, kamu tahu mengapa aku begitu kuatir waktu kamu tidak muncul-muncul? Aku takut kamu telah kembali ke Indonesia.” Tanya Mark yang disusul dengan jawabannya sekalian. Aku senang karena dia telah mengalihkan pembicaraan tentang cinta.
‘Kalau aku kembali ke Indonesia kenapa?’
‘Nah itu yang tidak kuinginkan. Aku belum mengatakannya kepadamu.’
‘Mengatakan apa?’
‘Mengatakan kalau aku mencintaimu,’ jawab Mark biasa. Kembali lagi ke masalah cinta. Apakah karena bulan purnama, apakah karena ombak yang mencumbu pantai dengan lembut yang membuat malam ini begitu romantis hingga apa-apa yang di ucapkan harus berbau cinta?
‘Jangan ngaco kamu,’ kuperingatkan dia.
‘Aku serius, Lucy. Aku mencintaimu,’ bantah Mark sengit. Awas, lucy, dia telah mengeluarkan serangannya. Waspadalah!
‘Lucy, mengapa tidak berkomentar?’ kejar Mark ketika melihat aku tidak bereaksi atas ungkapan cintanya.
‘Bagaimana aku harus berkomentar? Kamu becanda melulu sih. Mark, jangan bicara lagi tentang cinta, oke?’
‘Mengapa tidak?’
‘Karena aku tidak menginginkannya,’ jawabku pendek. Mark menatapku lama. Gila, manusia ini pandai sekali bermain sandiwara. Dia bisa menatapku seakan dia benar-benar mencintaiku. Mata itu. . ., mata itu berisi sejuta cinta.
‘Aku tidak bercanda, Lucy,’ bisik Mark. Aku diam saja dan aku masih tetap diam ketika Mark mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku sudah bisa merasakan hangat nafasnya, tetapi aku masih saja tidak bergeming. Kakiku seakan sudah menyatu dengan pasir di bawahnya dan tidak mau kuajak beranjak. Wajah Mark semakin dekat. Sedetik kemudian bibirnya mulai menyentuh bibirku dengan lembut.
Aku sedang mandi ketika telepon di kamarku berdering. Pasti Michelle, tebakku yakin. Cepat-cepat aku menyambar handuk dan keluar dari bak mandi.
‘Michelle!’ sapaku penuh semangat.
‘Bukan Michelle, Lucy,’ kudengar sebuah sahutan dari ujung sana yang memang bukan suara Michelle.
‘Oh, halo Mark,’ tegurku tidak seantusias tadi.
‘Kecewa, Lucy? Kamu menanti telepon dari Michelle?’ tanya Mark.
‘Emmm, Michelle berjanji untuk meneleponku. Tadi kukira dia.’
‘Ingat, dia ‘kan pengantin baru. Maklumi saja kalau dia belum sempat menghubungimu dan lagian baru beberapa hari Michelle pergi.”
‘Ya, benar juga,’ kuhibur diriku sendiri.
‘Lucy, kamu lagi ngapain?’ tanya Mark. Kupandang tubuhku yang dililiti handuk di cermin. Tiba-tiba aku tersenyum. Mark tidak boleh tahu ini. Dia bisa bangga bisa bercakap-cakap dengan gadis yang hanya terbungkus handuk minim.
‘Tidak ada, Mark. kamu tahu aku tidak punya pekerjaan.’
‘Bersiap-siaplah kalau begitu. Sebentar lagi kujemput,’ kata Mark.
‘Ke mana?’
‘Ada sebuah restoran Italia yang eksotik di luar kota. Aku ingin mengajakmu ke sana,’
‘Mark . . .’ aku mencoba memprotes tapi Mark sudah tidak mendengarnya.
Beberapa saat kemudian dia muncul di depan pintu kamarku. Tapi Mark yang kali ini lain dari Mark yang biasa kukenal. Dia bukan Mark yang mengenakan celana renang, bertelanjang dada dengan pluit tergantung di lehernya dan kaca mata hitam pekat melekat di matanya. Bukan pula Mark yang bercelana jeans dengan T shirt putih dengan tulisan ‘lifeguard’ berwarna merah menyala melintang di dadanya. Mark kali ini adalah Mark yang resmi dengan pakaian yang resmi pula. Kemeja berwarna biru langit dan celana panjang berwarna biru gelap. Sangat serasi pada tubuhnya. Untung tadi aku segera tanggap ketika Mark memintaku untuk bersiap-siap pergi ke rumah makan yang eksotik sehingga pakaian yang kukenakan pun bukan pakaian yang biasa kupakai. Melainkan salah satu pakaian pemberian Michelle sebelum dia terbang ke Eropa. Pakaian dari rumah modenya.
Rumah makan yang kami tuju benar-benar seperti yang dikatakan Mark. Eksotik, Artistik . . ., pokoknya, wah. Sebuah bangunan kuno dengan pilar-pilar marmer putih polos, tanpa guratan penanda umur. Dari karpet, taplak meja hingga ke tirai-tirai jendela berwarna merah tua sangat cocok dengan kursi-kursi kayu bersandaran tinggi yang ada. Di mana-mana bergantungan lampu-lampu kristal yang bersinar redup. Di setiap meja terdapat jembangan yang juga kristal dengan dua tangkai anyelir merah muda di dalamnya. Semuanya menawan.
‘Mark, jangan tertawakan aku bila aku membuat tindakan-tindakan yang konyol. ‘Aku belum pernah masuk restoran yang semewah ini,’ bisikku di telinga Mark sambil menanti greeter yang akan menempatkan kami di meja yang telah di pesan Mark,
‘Jangan kuatir, aku juga belum pernah,’ jawab Mark juga berbisik. Kami saling melempar pandangan dan tersenyum bersama.
Seorang greeter berpakaian tuxedo lengkap mengantar kami ke sebuah meja di balkon yang menghadap ke luar. Dari tempat kami duduk terlihat laut Atlantik yang membentang di kejauhan.
Tidak selang berapa lama kemudian waiter yang akan melayani kami muncul. Pengetahuan tentang makanan yang ditawarkan di restoran tersebut dia kuasai dengan benar, sehingga mudah bagiku untuk memilih makanan yang ingin aku coba.
‘Senang tempat ini, Lucy?’ tanya Mark ketika waiter kami telah pergi mengambil pesanan kami. Aku mengangguk. Untuk berbicara rasanya aku tak sanggup. Mata Mark menatapku dengan lembut. Betapa aku menyukai mata itu. Mata yang seolah tak ‘kan mampu untuk berubah menjadi dingin. Mata yang berisi sejuta cinta dan tak pernah sempat untuk memancarkan kebencian dan dendam. Kalau saja David mempunyai mata seperti yang dipunyai Mark.
Selagi Mark menuangkan anggur ke dalam gelasnya, kutebarkan pandanganku ke sekeliling. Tiba-tiba mataku terpaut pada seorang gadis kulit hitam yang duduk seorang diri di pojok balkon. Ada sesuatu padanya yang menggerakkan mataku untuk memandang dia sekali lagi. Gadis itu pernah kulihat sebelumnya. Aku yakin tentang hal itu. Tulang pipinya yang menonjol serta rambut keriting yang di tarik kebelakang, aku pernah melihatnya,. Di mana? Di mana? Kutelusuri garis kenanganku yang belum begitu panjang di negeri ini dan …
‘Gabriella,’ bisik hatiku. Yah, gadis itu bernama Gabriella, yang kujumpai di JFK Airport waktu itu. Dia yang dulu memeriksa pasporku dan dia pula yang mengantarku menemui pilot. Aku harus menegurnya, putus hatiku. Tetapi belum lagi teguran itu keluar dari mulutku, kulihat seorang pria mendekatinya. Kutangguhkan niatku dan mengamati si pria.
‘Ya Tuhan,’ keluhku tidak sadar. Aku kenal benar dengan pria itu. Manuel Batista! Tiba-tiba aku panik luar biasa. Manuel tidak boleh melihatku berada di sini. Dia akan segera melapor ke Papa. Aku harus pergi sebelum dia sempat melihatku.
‘Ada apa, Lucy?’ tanya Mark yang mungkin mendengar keluhanku.
‘Mark, aku harus pergi. Harus pergi,’ kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. Mark memandangku tidak mengerti.
‘Maafkan aku, Mark,’ bisikku sepenuh hati.
‘Lucy, kenapa?’ tanya Mark heran. Aku sudah tidak sadar dengan sekelilingku lagi. Yang kuinginkan hanyalah segera keluar dari tempat ini sebelum Manuel mengenaliku. Maka tanpa menjawab pertanyaan Mark aku berjalan setengah berlari meninggalkan dirinya.
‘Lucy, tunggu dulu!’ kudengar panggilan Mark. Tapi aku sudah terlampau panik untuk menghentikan langkah. Aku berjalan terus dan berjalan kadang kuselingi dengan lari-lari kecil. Ketika kulihat sebuah toko kecil, segera aku masuk ke sana dan dari sana aku memesan taxi untuk mengantarku pulang ke hotel.
Tangisku tumpah di kamar. Ketakutan dan penyesalan berbaur menjadi satu di dadaku. Takut Manuel melihatku dan menyesal harus mengecewakan Mark. Kenapa dia yang begitu baik harus kukecewakan? Tidak itu saja, dia harus menanggung malu karena gadis yang diajak kencan telah melarikan diri darinya. Orang lain tidak akan mau tahu. Bagi mereka tidak diperlukan alasan yang mendasari sikapku. Yang terang aku telah meninggalkan Mark. Oh, Mark pasti tersinggung dengan ulahku. Dia tidak akan sudi unutk menemuiku lagi. Tapi apakah aku memang punya muka untuk menemui Mark lagi? Tidak! Aku tak punya keberanian untuk itu. Aku tidak berani menatp wajahnya lagi. Aku tak berhak. Aku telah membuat malu dia, walau untuk alasan yang bagaimanapun.
Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidurku. Kukeluarkan ransel dan pakaian-pakaianku dari dalam lemari. Besok pagi-pagi benar aku akan pergi dari tempat ini untuk menghindari kewajiban bertatap muka dengan Mark. Sebuah kesedihan yang dahsyat tiba-tiba dan tanpa rencana menyerang ulu hatiku. Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada hari-hari indah yang sempat terkecap di Daytona. Dan harus mengucapkan salam perpisahan pada cinta yang sempat mekar dalam pelarianku. Mark, aku mencintaimu.
Kutahan sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi masih juga air mata ini keluar dan membasahi pipi. Sampai kapan engkau akan berlari, Lucy?
‘Lucy . . ‘ kugelengkan kepalaku. Bukan, itu bukan suara Mark.
‘Lucy . . .’ suara itu masih juga kudengar. Kegelengkan kepalaku lebih keras lagi.
‘Lucy, aku tahu kamu ada di dalam. Bukalah pintu untukku, please?” suara itu makin jelas. Kulihat jam yang melilit di pergelangan tanganku. Jam setengah satu! Tidak mungkin suara itu nyata. Suara itu hanya ada dalam bayanganku.
‘Lucy, please?’ pinta suara itu lagi, kali ini di tambah dengan ketukan di pintu. Aku diam tak begeming. Tiba-tiba gerendel pintu bergerak dan sesaat kemudian pintu terbuka. Ya, aku lupa menguncinya tadi.
‘Lucy! Seru Mark. Sesaat aku terpana. Aku tidak mengharapkan dia akan muncul malam ini.
‘Lucy . . .’ panggil Mark lirih sambil memegang bahuku. Aku tidak percaya dengan pendengaranku. Yang kunantikan adalah bentak dan caci maki Mark atas tingkahku bukan suara halus dan tatapan lembutnya.
‘Mark, maafkan aku,’ ucapku tersendat sambil menjatuhkan diri dalam pelukannya. Air mata yang kuharapkan akan berhenti kini justru membanjir dengan deras. Mark makin mempererat pelukannya. Dalam pelukan itu aku merasa terlindung.
‘Tidak ada yang perlu kau takutkan, Lucy,’ bisik Mark sambil membelai rambutku.
‘Mark, pria itu . . . pria itu,’ aku mencoba untuk menerangkan pada Mark. Ternyata sangat sulit.
‘Emanuel maksudmu?’ tanya Mark pelan. Aku tertengadah kaget.
‘Mark, kamu kenal dia?’ tanyaku tenang. Mark mengangguk.
‘Tentu saja aku kenal dia. Emanuel Batista bekerja pada perkebunan Stanton dan perkebunan itu bersebelahan dengan perkebunan kami.’
‘Kamu tahu siapa Mister Stanton itu?’
‘Bukankah dia ayahmu?’
‘Mark!!’ seruku kaget, sambil melepaskan diri darinya. Mataku nanar menatapnya. Sekonyong-konyong tidak ada lagi air mata yang mengalir.
‘Sejak kapan kamu tahu bahwa aku anak Stanton?” tanyaku berang. Tiba-tiba saja aku merasa di khianati. Selama ini Mark pasti sudah tahu siapa aku dan dia pura-pura tidak tahu. Munafik.
‘Terus terang sejak aku melihatmu aku menduga kalau kamu mempunyai darah Stanton. Tetapi aku ragu. Mungkin kebetulan saja kamu mempunyai wajah yang mirip dengan David Stanton. Aku lupa bahwa David mempunyai saudara kembar yang ikut ibunya. Aku benar-benar lupa. Aku baru ingat malam ini, itu pun sesudah berbincang dengan Emanuel. Jangan kira kalau selama ini aku membohongimu, Lucy,’ Mark menerangkan dengan sabar. Tiba-tiba saja seluruh tubuhku menjadi lemas seakan tak bertulang. A ku merasakan suatu kelelahan yang luar biasa dan aku terduduk tak berdaya.
‘Aku akan pulang ke Indonesia segera. Tak ada gunanya main sembunyi-sembunyian lagi. Mata Stanton ada di mana-mana yang akan segera melihatku di mana pun aku berada,’ pikirku pasrah.
‘Lucy, kamu tidak akan menyerah begitu saja’kan?’ tanya Mark. Jadi aku tadi tidak hanya berpikir tapi juga telah mengucapkannya.
‘Apa saja yang telah diceritakan Emanuel kepadamu?’ tanyaku sekedar bertanya karena aku sama sekali tidak menanti jawaban.
‘Semuanya, Lucy.’
‘Oh, dia tidak tahu. Dia akan segera melapor kepada Papa dan Papa akan . . . Apa yang harus kulakukan kini? Berlari lagi?’ gumamku pada diri sendiri.
‘Take it easy, Lucy. Dia tidak akan melapor pada ayahmu karena dia telah berjanji pada Irene untuk tidak menceritakan kepada siapapun di mana kamu berada,”
‘Irene?’ tanyaku sama sekali tidak tahu hubungannya.
‘Ya. Irene telah menceritakan semuanya pada Emanuel.’
‘Irene? Mengapa Irene mengingkari janjinya?’
‘Lucy, dengar baik-baik,’ perintah Mark. “Sejak kamu pergi dari Louisville, Irene pun ikut pergi pula meninggalkan perkebunan Stanton. Tapi dia merasa mempunyai kewajiban untuk menyembunyikan pengetahuannya tentang di mana kamu berada. Maka dia menceritakannya pada Emanuel yang kebetulan adalah paman Irene dengan syarat Emanuel harus meneruskan tugas-tugas yang kau bebankan pada Irene, seperti mengumpulkan surat-surat yang datang dari Indonesia.
‘Jadi Irene adalah kemenakan Batista? Mengapa dia tidak pernah bercerita dan mengapa pula dia harus pergi dari perkebunan Stanton? Aku benar-benar bingung,” keluhku.
‘Menurut Batista, Irene merasa berdosa kepadamu. Dia yakin ketidakakrabanmu dengan David yang menyebabkan kamu melarikan diri dari Louisville gara-gara dirinya,”
‘Mark, kamu membuatku semakin bingung,’ ucapku. Mark berjalan mendekat kemudian duduk di sampingku. Di raihnya kedua tanganku dan digenggamnya dalam genggaman yang hangat. Sebelum dia bercerita, dia menatapku lama untuk mengukur apakah aku siap mendengar kisahnya atau tidak.
‘Irene adalah adikmu, Lucy,’ bisik Mark pelan. Aku membelalak tidak mengerti.
‘Ibu Irenelah yang menyebabkan keretakkan perkawinan orang tuamu. Aku tidak tahu banyak tentang hal itu tapi Mom tahu segalanya dan kamu bisa bertanya kepadanya langsung nanti bila kamu bertemu ibuku.”
‘Mark, jangan main-main!’ hardikku. Aku benar-benar tersinggung dengan kelakar Mark. Ini sudah keterlaluan.
‘Lucy, aku tidak main-main, ibuku tahu tentang hal ini. Manuel dan Mauricio juga tahu tentang ini. Mimo, ibu Irene adalah Batista yang paling kecil. Batista bungsu. Irene adalah hasil hubungan Mimo dengan ayahmu.’
to be continued ….