Blog Archives
Tentang Tami: Tembang Terakhir
Posted by Laily Lanisy
Adegan NCIS lagi tegang-tegangnya, ketika wajah Jethro Gibbs terhalang oleh munculnya pesan singkat Santi di layar TV-ku. Agar pesan dan telpon dari pelangganku tidak terlewatkan selagi aku terlena nonton TV, aku sengaja mengkaitkan telpon selulerku ke pesawat TV. Akibatnya ya seperti ini. Bukan hanya sms dari pelangganku saja yang sering mengganggu kenikmatanku menonton, tapi juga sms-sms dari teman yang tidak mendatangkan bisnis seperti sms Santi ini.
JANGAN LUPA PERTUNJUKAN MEGAN MALAM INI !!!!!!!! AJAK CLAY JUGA…. AKU SUDAH SIAPKAN MAKANAN TIDAK PEDAS UNTUKNYA !!!!!!!
Tulisannya persis seperti itu. Dengan huruf besar semua dan dengan belasan tanda seru, seolah untuk menekankan betapa pentingnya pertunjukan Megan ini untuk dirinya. Kalau sampai aku tidak muncul, dia akan murka sekali.
Mark Harmon seketika kehilangan daya tariknya. Aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih tebal. Udara di luar lumayan dingin dan untuk menuju ke rumah Santi di Port Orchard aku harus naik feri dulu dari Seattle ke Bremerton selama satu jam dilanjut dengan naik mobil selama kurang lebih dua puluh menit. Sekarang sudah jam lima lewat. Mudah-mudahan aku aku bisa naik feri yang enam sore. Aku harus buru-buru. Tidak ada waktu untuk menghubungi Clay. Kedua-duanya akan aku lakukan nanti di atas feri saja.
Kukeluarkan Mini Cooperku dari garasi. Untung kemarin aku sempat mengisi bensin, jadi aku bisa langsung ke terminal feri tanpa harus mampir di pompa bensin terlebih dahulu. Mobil miniku masuk di terminal feri pada detik-detik teakhir. Telat semenit saja, aku harus menunggu feri berikutnya satu jam lagi dan pertunjukan Megan sudah pasti akan terlewatkan. Megan, anak Santi dan Greg, dari umur belia sudah belajar memainkan harpa. Di usianya yang sekarang, 15 tahun, dia sudah piawai memainkan dawai. Sesekali ibunya mengundang teman-teman dekatnya untuk makan malam dan Megan akan memainkan dua atau tiga komposisi.
Setelah memarkir mobilku, yang tentu saja terletak di bagian paling belakang feri, aku segera naik ke lantai atas, membeli segelas kopi dan menuju ke anjungan kapal bagian belakang. Pada bulan Februari seperti ini, tidak ada seorang pun yang beminat untuk duduk di tempat terbuka. Jadi seluruh anjungan belakang menjadi milikku.
Perlahan dan pasti, MV Sealth, feri yang kutumpangi mulai meninggalkan sandaran dan berlayar menjauhi Seattle, yang mulai memamerkan kerlap-kerlip lampu malamnya. Bangunan-bangunan tinggi di Seattle yang kalau siang hari kelihatan gagah dan angkuh berubah menjadi romantis di senja hari. Di bagian paling kiri, terisolasi dari bangunan-bangunan tinggi lainnya, menjulang bangunan favoritku, Space Needle, yang di usianya yang ke 50 tahun masih tetap saja kelihatan kontemporer dan mampu bersaing dengan bangunan-bangunan lainnya.
Kucoba menelpon Clay. Seperti biasa, tidak peduli sesibuk apapun, pada dering yang kedua dia menjawab telponku.
‘Hi, hon, what’s up?’ sapanya antusias
‘Pertunjukan Megan ternyata malam ini, Clay,’ ucapku. Lebih dari dua minggu lalu, Santi sudah mengedarkan undangannya lewat sms dan aku benar-benar lupa.
‘Aku masih ada dua pasien, Tam. Kamu mau menunggu aku atau kamu mau berangkat duluan nanti aku susul?’ tanya Clay. Aku yakin dia pasti masih sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggunya.
‘Aku sudah ada di atas feri, Clay,’ sahutku. ‘Lagi pula kamu tidak harus datang. Nanti kupamitkan ke Santi kalau kamu masih ada pasien dan kubawakan lemper buatannya,’ janjiku. Bule satu ini demen sekali lemper isi ayam. Apalagi buatan Santi.
‘Kamu yakin …
‘Sangat yakin.’
‘OK, hati-hati nyetirnya. Jalanan licin kalau musim dingin seperti ini.’
‘Ya, kek…,’ sahutku seperti biasa kalau dia sudah mulai dengan nasehat-nasehatnya.
Setelah memasukkan telponku ke dalam tas, aku mulai menikmati indahnya Puget Sound, perairan di depan kota Seattle di saat matahari mulai tenggelam. Karena bentuknya teluk, perairan disini sangat tenang. Dari kejauhan menjulang deretan pegunungan Olympic yang berselimutkan salju. Di kiri dan kananku berderet pulau-pulau kecil yang nampak kabur terhalang kabut. Sesekali ada pancaran cahaya lampu dari pulau yang menyeruak menembus kabut.
Keheningan Puget Sound tiba-tiba terkoyak oleh derit pintu yang terbuka. Seorang pemuda keluar dan sontak jantungku berhenti berdetak. Di depanku berdiri Bara. Bara dari masa dua puluh tahun silam. Baraku yang masih berusia remaja. Kugelengkan kepalaku dengan keras untuk memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Ada yang salah dengan logikaku.. Remaja di depanku paling banter berusia tujuh belas tahun. Sementara Baraku sudah menjelang usia 40 tahun. Mustahil dia Bara. Kecuali Bara sudah berubah menjadi Edward Cullen dengan keabadian remajanya.
Pemuda di depanku mengembangkan senyumnya. Senyuman khas Bara. Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu mirip Bara. Anak Barakah dia?
‘Indonesia or Filipino?’ tanyaku membuka percakapan, walaupun seribu persen aku yakin kalau dia anak Indonesia dan mempunyai hubungan erat dengan Bara.
‘Indonesia,’ jawabnya hangat dan ramah.
‘Mau ke rumah tante Santi di Port Orchard?’ tebakku
‘Iya. Tante juga mau kesana?’ sahutnya sambil bersandar di pagar pengaman di depanku. Kuanggukkan kepalaku ‘Ibu saya teman kuliah tante Santi. Bunda minta saya untuk datang ke pertunjukan Megan,’ remaja itu menjelaskan. Dia menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lancar, namun aku bisa menangkap kalau bahasa Indonesia bukan bahasa pertamanya. Anak ini besar atau lahir di Amerika.
‘Teman tante Santi di Bloomington Indiana?’ tanyaku menyelidik Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mengetahui semua tentang anak ini. Barangkali dengan mengetahui tentang dia, aku bisa mengetahui ihwal Bara.
Tanpa ada peringatan terlebih dahulu, sekonyong-konyong anganku melintas balik ke hampir 20 tahun silam. Balik ke kampus Bulaksumur, Yogya. Balik ke masa remajaku yang penuh dengan kenangan manis yang sekaligus getir. Umurku waktu itu baru 17 tahun, mahasiswa baru yang jatuh cinta kepada kakak kelasnya, Bara. Betapa indahnya cinta remaja. Betapa tidak adilnya kehidupan.
Di saat dunia luas mulai terbuka di depan mataku, di saat aku begitu mencintai kehidupan dan siap mengepakkan sayap untuk menggapai cita-cita, Leukimia mengincar nyawaku dengan kejam. Aku yang pemain inti basket di universitas, yang doyan naik turun gunung, yang nilai ujian terendahnya B+, yang punya cowok ganteng bernama Bara, harus berperang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhku.
Pengobatan demi pengobatan kujalani dengan sabar. Dari chemotherapy yang merontokkan semua rambutku hingga pengobatan alternatif yang tidak jelas juntrungannya. Di sela-sela pengobatan itu, jalinan cintaku dengan Bara terajut dengan indah dan kokoh. Bara adalah alasan utamaku untuk mempertahankan hidup yang semakin hari semakin berat. Bara adalah batu cadasku di saat aku hampir putus asa. Di saat seluruh tubuhku bengkak dan penuh dengan benjolan, Bara masih menganggapku gadis tercantik dan dengan bangganya memamerkanku ke seluruh dunia. Bara adalah cahaya yang menerangi kelamnya masa depanku.
Namun, harapan hidupku semakin hari semakin tipis, hingga tidak ada lagi yang tersisa. Melihat Bara yang tadinya menguatkanku berubah menjadi beban. Setiap kali penyakitku kumat kulihat penderitaan hebat di mata Bara. Dia yang pada mulainya tenang, mulai sering panik. Dia mulai menelantarkan masa depannya. Dia lebih sering mangkir dari kampus dan beredar di rumah sakit menemaniku.
Di penghujung perjuanganku, di saat tubuhku menolak segala jenis pengobatan, datang undangan dari Universitas Washington di Seattle untuk menjadi salan satu pasien uji coba pengobatan dengan sistem stem-cell. Semua biaya mereka tanggung. Karena sudah tidak ada alternatif lain, akhirnya berangkatlah aku ke Seatlle.
Bara masih sempat mengantarku di Bandara Soetta. Sebelum keberangkatku, aku memaksanya berjanji untuk melupakanku dan melanjutkan hidupnya. Aku tidak mempunyai apa-apa yang bisa aku janjikan untuknya. Sama sekali tidak ada. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa tidak mempunyai peluang di Seattle. Aku pergi untuk tidak kembali
Ternyata, pengobatan di Seattle menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah lebih dari tiga tahun aku dinyatakan bersih dari Leukimia. Aku mendapatkan masa depanku kembali. Aku punya waktu untuk bercinta lagi. Aku bisa menghubungi Bara kembali.
‘Jangan,’ cegah abangku Tommy saat kuungkapkan keinginanku untuk menghubungi Bara. ‘Bara sudah melanjutkan hidupnya. Dia sedang mengambil S2 dan sebentar lagi akan kawin dengan gadis lain. Kamu sendiri yang menginginkn itu. Jangan kamu ganggu dia.’
Aku pun maklum. Inilah harga yang harus kubayar untuk kesembuhanku. Aku mendapatkan hidupku tapi aku harus melepaskan cintaku. Merasa tidak ada lagi alasan untuk balik ke Yogya, akupun memutuskan untuk tinggal di Amerika. Walaupun pahit dan menyesakkan dada, kukubur dalam-dalam kenanganku bersama Bara.
‘Tante ..’ panggilan anak itu menyadarkanku dan menarikku kembali ke masa kini.
‘Maaf, kamu mengingatkanku pada seseorang,’ ucapku. ‘Pertanyaannya tadi apa?’ lanjutku. Anak itu tertawa. Gelak tawanya persis seperti gelak tawa Bara kala menertawakan kekonyolanku.
‘Saya tadi bilang ke tante, nama saya Tommy, tante siapa?’ ucapnya sabar. Untuk beberapa detik aku diam terpana. Bara menamakan anaknya Tommy, seperti nama kakakku? Apakah kalau anaknya perempuan dia akan menamakanya Tami?
‘Nama tante Tami.’ ucapku. Pemuda di depanku yang ternyata bernama Tommy tertawa membahana. Jika tadi aku belum yakin kalau dia anak Bara, kini aku yakin sekali. Seyakin matahari terbit dari timur setiap paginya.
‘Nama kita mirip ya?’ olokku.
‘Bukan itu saja, tante,’ jawab Tommy. ‘Pacar ayah saya dulu namanya juga Tami, makanya saya dinamakan Tommy. Dari nama pacar ayah,’ lanjut Tommy. Aku terkesima. Bara sama sekali tidak merahasiaka masa lalunya.
‘Bundamu tidak keberatan kamu dinamakan Tommy?’ tanyaku menyelidik. Tommy terdiam beberapa saat.
‘Ayah saya orangnya sangat keras dan kaku, Tante,’ ucapnya kemudian. ‘Bunda memilih untuk mengalah. Bunda selalu mengalah. Mereka pernah mengalami masa-masa sulit. Sekarang sudah jauh lebih baik,’ sambungnya ringan. Dia bercerita seolah aku adalah tantenya yang sudah dia kenal sejak lahir.
‘Jangan-jangan tante adalan Tami, cewek ayahmu dulu,’ pancingku juga berlagak ringan.
‘Tidak mungkin, Tante,’ jawab Tommy cepat. ‘Taminya ayah sudah meninggal sebelum ayah ketemu Bunda.’ Aku terdiam. Hatiku seketika membeku. Ternyata bagi Bara aku sudah mati. Untung saat itu peluit panjang sudah dibunyikan, pertanda kapal mulai merapat di Bremerton. Karena Tommy tidak membawa mobil, kutawarkan kepadanya untuk ikut bersamaku.
Selama dua puluh menit perjalanan dari Brementon ke Port Orchard, aku mencoba menggali informasi dari Tommy. Mencoba memahami apa yang membuat Bara yang dulu kukenal sangat lembut dan penuh pengertian berubah menjadi kaku dan berkeras untuk menamakan anaknya Tommy, tanpa mempertimbangkan perasaan istrinya.
Sudah banyak mobil yang parkir di halaman rumah Santi ketika kami sampai di sana. Rumah Santi letaknya terpencil, jauh dari tetangga. Di kiri dan kanan bangunan utamanya yang besar dipenuhi dengan hutan pinus dan halaman belakangnya adalah pantai pribadi. Kalau musim panas, kami sering mencari kerang untuk dimasak bersama. Greg, suami Santi adalah seorang dokter bedah jantung, dan bekerja di rumah sakit yang sama dengan Clay. Clay lah yang memerkenalkan aku dengan Santi dan Greg, bukan sebaliknya.
Santi sudah menunggu di depan pintu ketika kami datang. Sama sekali di luar kebiasaanya. Sambil memelukku dia berkata ke arah Tommy.
‘Ayah dan Bundamu ada di kamar tamu atas, Tom.’
Aku membelalakkan mataku, tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Santi. Tommy segera menghambur ke dalam.
‘Kamu tahu siapa ayah Tommy?’ tanya Santi berbisik. Kuanggukkan kepalaku.
‘Bara ada disini?’ tanyaku tidak percaya. Santi menggangguk, menggamit lenganku dan menggandengku menjauhi rumah menuju pantai. Lampu-lampu di sepanjang jalan setapak menuju ke pantai sudah menyala dengan terang.
‘Dan kamu tidak memberitahuku kalau dia ada disini? Kukira kamu temanku, San,’ protesku.
‘Aku temanmu, Tam, percayalah. ‘Bara memintaku untuk tidak memberitahumu. Kalau kamu tahu kamu pasti tidak akan datang,’
‘Tentu saja aku tidak akan datang,’ sergahku. ‘Kamu sadar enggak sih, San, betapa canggungnya pertemuan ini? Lagian dari mana Bara bisa tahu tentang keberadaanku?’
‘Dari Facebook,’ jawab Santi singkat
‘Aku tidak punya akun Facebook, San’ bantahku sengit.
‘Dari akunku. Mita mengunggah beberapa foto perkawinannya. Ada foto kita berdua disana. Bara melihat foto itu dan menanyakan tentang kamu. Karena aku tidak tahu kalau aku harus merahasiakan keberadaanmu, ya aku jawab apa adanya,’ Santi menjelaskan. ‘Bara dan istrinya, Maya ingin bertemu denganmu. Aku katakan kepada mereka kalau kamu akan datang pada acara Megan ini. Dan mereka sengaja datang untuk menemuimu.’
‘Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia?’
‘Mereka tinggal di Portland, Tam. Setelah lulus dari Indiana mereka kerja di Portland.’ Aku tertegun. Tidak menyangka kalau selama ini Bara berada hanya tiga jam dari tempat tinggalku.
‘Apa yang kamu ketahui tentang aku dan Bara?’ selidikku.
‘Banyak,’ jawab Santi. ‘Aku roommate Maya dari tingkat satu hingga lulus, Tam. Aku menjadi saksi perubahan dramatis Maya sejak kemunculan Bara di Bloomington. Dia jungkir balik mencoba menggapai cinta Bara yang sudah habis kikis untukmu. Aku kasihan melihat dia bersaing dengan hantumu. Seingatku Bara pernah bilang kalau hatinya sudah mati bersamaan dengan kematian gadisnya. Aku dan Maya mengira kalau kamu benar-benar sudah mati, Tam. Belasan tahun aku mengenalmu dan aku tidak pernah tahu kalau kamu adalah gadis Bara’
‘Bagi Bara aku sudah lama mati, San,’ bisikku.
‘Omong kosong,’ bantah Santi sengit. ‘Bara tidak pernah bisa melupakanmu. Di matanya kamu sempurna sehingga Maya harus berjuang keras untuk bersaing dengan bayanganmu. Dan kurasa kamupun demikian juga. Bara adalah tolok ukurmu. Dia juga yang membuatmu menolak lamaran Clay kan?’
‘Clay tidak pernah melamarku..’ bantahku. Tiba-tiba aku membutuhkan Clay di berada di sampingku saat ini juga. Membutuhkan dia untuk mengatakan apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi Bara yang tiba-tiba berada dalam jangkauanku. Tanpa aku sadari ternyata selama ini aku banyak mengandalkan Clay dalam memutuskan sesuatu.
‘Untung dia tidak melamarmu,’ sahut Santi. ‘Kalau sampai dia melamarmu, kamu akan terbirit-birit meninggalkannya. Dan kamu akan menjadi wanita tua yang kesepian tanpa teman sekaligus kekasih,’ ucap Santi sambil melihat ke arah rumah.
‘Temuilah mereka, Tam,’ lanjut Santi. ‘Sudah saatnya kalian menghadapi hantu masa lalu kalian dan melangkah maju. Yuk masuk, sudah saatnya untuk makan malam..’ ajaknya mengalihkan pembicaraan.
‘Kamu masuklah dulu, San. Aku butuh waktu sebentar untuk menyendiri,’ ucapku. Santi memandangku sejenak kemudian menganggukkam kepalanya. Setelah berpesan agar aku segera menyusulnya dia meninggalkanku.
Aku duduk mematung di atas batang pohon yang tumbang terbawa arus. Memandang ke depan. Ke gelapnya malam yang menggelantung di atas laut yang mendesah halus. Cepat atau lambat aku harus menemui Bara dan istrinya. Pada saat aku siap untuk beranjak dan menuju ke rumah utama, aku melihat sesosok bayangan yang berjalan dengan cepat dan pasti ke arahku. Aku berdiri dan menanti dengan cemas. Aku kenal betul pemilik bayangan itu. Seribu tahun dari sekarang pun aku masih akan tetap mengenalinya.
‘Tami…?’ bisiknya ragu. Hanya sekejab. Sekejab kemudian dia sudah merengkuhku ke dalam pelukannya yang erat. Erat sekali hingga aku nyaris tidak bisa bernafas. Dua puluh tahun yang memisahkan kami sirna sudah. Tanpa bekas. Kami kembali ke masa lalu. Ke masa dimana pelukan Bara mampu menghilangkan semua ketakutan di dalam diriku. Tidak ada kata-kata yang terucap, takut kalau kata-kata justru akan membuyarkan momen yang indah ini. Lama kami berada dalam keadaan seperti itu. Hingga sebutir air mata Bara bergulir menimpa pipiku. Aku tersadar dan melepaskan diri dari pelukan Bara, mengambil jarak, namun masih tetap menggenggam kedua tangannya.
‘Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, Bar,’ kataku dengan susah payah sambil menghapus air mata dari pipinya.
‘Mereka semua membohongiku, Tam,’ ucapnya serak. ‘Mereka membohongiku. Membohongiku,’ ucapnya berkali-kali.
‘Siapa yang membohongimu?’ tanyaku bingung.
‘Semuanya … Ayahmu, ibumu. kakakmu Tommy dan istrinya, Oki. Kira-kira dua bulan setelah keberangkatanmu ke Amerika, mereka bilang kalau pengobatanmu gagal. Mereka bilang kalau kamu sudah meninggal.’
‘Mungkin kamu salah mengerti ..’
‘Tidak, Tam,’ sanggah Bara. ‘Itu yang mereka katakan. Aku tidak percaya ketika mereka bilang kalau kamu sudah meninggal. Aku masih merasakan keberadaanmu. Aku masih merasakan detak jantungmu. Tapi mereka terus meyakinkanku. Mereka bahkan mengadakan tahlilan dan peringatan 40 harimu dengan mengundang anak-anak panti asuhan. Mengapa kamu tidak berusaha untuk menghubungiku, Tam?’
‘Pengobatanku sangat berat, Bar.’ kataku. ‘Mempertahankan hidupku saja sulit. Aku tidak punya daya untuk memikirkan hal lainnya. Aku tidak tahu mengapa mereka membohongimu. Tapi aku yakin mereka melakukan itu karena mereka menyayangimu, Bar. Kalau aku di posisi mereka, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku pasti tidak akan rela melihat kamu menyia-nyiakan hidupmu, menungguku tanpa ada kepastian. Sekarang lihatlah, kamu punya Maya dan Tommy. Oh ya, aku ketemu Tommy di atas feri, dia benar-benar mirip kamu.’
Wajah Bara yang tadinya tegang seketika menjadi santai mendengar nama anaknya kusebut. Dia berusaha untuk tersenyum.
‘Untuk beberapa bulan setelah kepergianmu, aku depresi berat. Aku sangat menderita. Aku gila, Tam. Aku masih merasakan kehadiranmu. Satu-satunya jalan untuk mengabaikan kehadiranmu hanya belajar dan belajar. Kuliah kukebut dan aku lulus dengan predikat mahasiswa terbaik. Aku tidak bahagia, Tam. Aku juga tidak bahagia ketika mendapat beasiswa penuh tanpa ikatan ke Bloomington. Untung disana aku ketemu Maya. Dia yang menyelamatkan hidupku. Dia yang mengajariku untuk tersenyum lagi dan menunjukkan kepadaku kalau hidup ini masih layak untuk dinikmati,’ tutur Bara. Untuk pertama kalinya, dalam hatiku, aku berterimakasih kepada Maya yang pantang putus asa dalam mencintai Bara.
‘Kamu cinta Maya, Bar?’ tanyaku terlepas begitu saja. Tidak pada tempatnya bagiku untuk menanyakan hal itu. Aku sama sekali tidak berhak untuk menanyakannya. Bara tersenyum.
‘Awalnya tidak, Tam,’ akunya. ‘Hatiku terlampau hampa untuk mencinta. Tapi aku tahu Maya wanita baik, wanita yang sangat baik. Aku tahu dia mencintaiku tanpa syarat. Mencintai aku yang sudah remuk dan tidak lagi memiliki hati. Aku tahu aku tidak akan menemukan wanita sebaik dia. Setelah selesai kuliah, terdorong naluriku yang kuat kulamar dia untuk jadi istriku. Aku tidak tahu kapan aku mulai mencintainya. Yang jelas sejak bersamanya, memikirkanmu tidak lagi menyesakkan dadaku. Kamu menjadi kenangan yang indah, sementara Maya adalah cintaku yang nyata,’ lanjut Bara sepenuh hati. Kupeluk dia kembali dan kudaratkan kecupan di pipi kiri dan kanannya untuk menghapus segala kepedihan yang pernah dia derita gara-gara kepergianku.
‘Aku bahagia untukmu, Bar. Benar-benar bahagia untuk kamu, Maya dan Tommy. Maafkan aku bila aku pernah menjadi sumber penderitaanmu.’
‘Bagaimana dengan dirimu, Tam? Apakah kamu bahagia?’ tanya Bara konsern. Bahagiakah aku?
‘Aku tidak tahu, Bar,’ sahutku jujur. ‘Umurku 38 tahun. Masih hidup. Sehat. Punya usaha disain perhiasan sendiri. Punya rumah yang baru lunas kalau umurku 55 tahun nanti. Punya teman setia yang bernama Clay, yang kata Santi tidak berani melamarku karena takut aku akan lari terbirit-birit meninggalkannya… Mungkin kalau disimpulkan, ya aku cukup bahagia,’ Bara tersenyum mendengar penuturan singkatku yang sudah mencakup semua yang ingin dia ketahui.
‘Apakah kamu mencintai Clay?’ tanya Bara diluar dugaan. Kalau aku boleh menanyakan apakah dia mencintai Maya, tentunya dia pun boleh menanyakan hal yang sama kepadaku.
‘Mungkin seperti kamu, Bar, aku agak lamban untuk menyadarinya,’ sahutku. Clay masih dokter intern ketika aku mulai menjalani pengobatan. Dokter termuda di dalam tim dokter yang menanganiku, sehingga lebih mudah bagiku untuk berkomunikasi dengannya ketimbang dengan dokter-dokter lainnya. Setelah aku sembuh pun, Clay selalu berada di dekatku. Dia yang membantuku untuk kembali kuliah. Membantuku mendirikan usaha sendiri setelah kuliahku selesai. Ketika rumah di sebelah rumah Clay dijual, Clay yang mendorongku untuk membelinya. Jadi secara fisik kami memang dekat. Sementara secara perasaan, aku tidak pernah menganalisanya.
‘Sebaiknya kita masuk ke rumah, Bar. Pertunjukan Megan pasti sudah dimulai dan aku ingin ketemu Maya,’ ajakku mengalihkan pembicaraan. Bara setuju. Berdua kami mulai melangkah menuju ke rumah utama. Lengan kanan Bara memeluk pundakku. Kebiasaan lama… berjaga kalau-kalau aku mendadak pingsan selagi berjalan. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.
‘Aku sudah sehat sekarang, Bar. Kamu tidak perlu menjagaku lagi,’ bisikku. Dia tertawa pelan, tapi tetap memelukku. Dia masih juga memelukku ketika kami memasuki ruang keluarga yang luasnya hampir seluas Balairung, kampus Bulaksumur. Kutebarkan pandangku keseluruh ruangan. Megan sudah siap dengan harpanya dan sebagian besar tamu sudah duduk manis membentuk setengah lingkaran di depannya. Beberapa masih berdiri di dekat meja makan. Megan yang pertama menyadari kehadiran kami.
‘Tante Tami, mau mengiringiku dengan piano?’ Megan menawarkan ke arahku. Semua menoleh ke arah kami. Termasuk seorang wanita cantik yang berdiri di samping Santi di dekat meja makan, yang memandangku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Inilah Maya. Istri Bara dan bunda Tommy. Aku tersenyum ke arahnya. Melalui senyumku ingin kusampaikan terima kasihku karena telah menyelamatkan Bara.
‘Tidak malam ini, Meg,’ ucapku ke arah Megan sambil melepaskan diri dari pelukan Bara dan menghampiri Maya. Bara berjalan tepat di belakangku. Belum sempat Bara memperkenalkan aku dengan Maya. Aku sudah memeluk Maya dan mencium pipi kirinya.
‘Bunda, ini Tami,’ kata Bara. ‘Tam, ini Maya istriku.’
‘Aku tahu!!’ Aku dan Maya menyahut serentak. Dengan sahutan itu, kekakuan di antara kami pun mencair. Hilang tanpa bekas.
‘Kukira kalian sudah berada di atas feri dan melarikan diri berdua,’ seloroh Maya.
‘Rencananya seperti itu,’ sahut Bara. ‘Ternyata Tami lebih senang melarikan diri dengan orang lain’
‘Makasih, Tam,’ sahut Maya. ‘Wah, aku harus lebih waspada sekarang. Sebagai hantu saja, Tami sudah saingan berat, apalagi segar bugar kayak remaja gini,’ lanjutnya ringan. Baru saja aku mau membalas ucapan Maya, Megan sudah mulai memainkan jari-jari lentiknya. Aku bergegas mencari tempat duduk yang kosong. Kulihat sofa satu dudukan di bawah lukisan Thomas Kinkade. Aku menuju ke sana. Dengan sudut mataku, aku melihat Bara dan Maya mengambil tempat duduk berdampingan, agak jauh dari tempatku. Sebelum larut dalam permainan Megan aku panjatkan syukur kepada Tuhan karena telah menyatukan Bara dan Maya. Mereka berdua adalah pasangan yang sangat serasi.
Ketika Megan mulai memainkan komposisi kedua, tiba-tiba ada yang duduk di lengan sofaku. Aku menoleh dan mendongakkan wajahku. Clay mengembangkan senyum manisnya. Belum pernah aku segembira ini melihat kehadirannya. Aku bergeser dan mempersilahkan dia untuk berbagi sofa denganku.
‘Kukira kamu tidak datang, Clay,’ bisikku.
‘Dan membiarkanmu menemui mantan pacarmu seorang diri? Not a chance,’ jawab Clay tepat di telingaku. Aku tersenyum dan otomatis menoleh ke arah Bara dan Maya yang ternyata sedang memandang ke arah kami. ‘Clay’ kuucapkan nama Clay tanpa suara ke arah Bara dan Maya. Bara menganggukkan kepalanya sambil mengacungkan jempol tangan kanannya seakan memberikan persetujuannya. Aku bernafas lega. Kusandarkan kepalaku ke dada Clay. Kutemukan kedamaian disana.
‘Pertemuanku dengan Bara adalah sebuah encore, Clay. Tembang terakhir sebelum pertunjukan usai. Mulai sekarang, hanya ada kita berdua. Tidak ada lagi hantu masa lalu yang berkeliaran di antara kita,’ janjiku.
Austin, February 2014
Have a Romantic Valentine, Friend…
Posted in Short Stories, Stories
Tags: Cerita Valentine, Cerpen, Indonesia, Short Stories, Stories, Valentine, Valentine Stories
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Pertama)
Posted by Laily Lanisy
Wanita cantik berkulit hitam itu menerima paspor yang kuulurkan kepadanya. Sekejab dia memandangku dengan matanya yang jernih, kemudian memeriksa pasporku dengan seksama. Selagi dia menunduk, kuamati dirinya. Kulitnya licin bercahaya, rambutnya yang keriting di tarik ke belakang kemudian diikat dengan pita berwarna biru sewarna dengan pakaian yang di kenakannya. Profil wajahnya begitu apik. Tulang pipinya yang menonjol sengaja di tunjukkannya dengan menggunakan makeup yang samar-samar. Secara keseluruhan dia sangat menarik.
‘Miss Lucinda Stanton?’ tanyanya sambil menengadahkan kepala. Kuanggukan kepalaku walau nama itu sangat asing bagi telingaku. Sepanjang hidupku, namaku adalah Lusi. Tanpa embel-embel Stanton di belakangnya. Setelah yakin kalau foto di paspor itu adalah fotoku, si hitam manis pegawai imigrasi tersebut kemudian dia membubuhkan cap di halaman pasporku. Setelah selesai dia membuka pintu yang memisahkanku dengan dirinya.
‘Would you follow me, please?’ katanya lembut sembari menyerahkan pasporku kembali. Sejenak aku terpana. Untuk apa?
‘Anda telah dinanti,’ lanjut wanita tersebut membunuh keherananku. Aku pun bisa bernafas lega dan mengikuti dia. Setelah berjalan melalui lorong-lorong yang panjang, akhirnya kami sampai di depan pintu dengan tulisan ‘Private Airlines’.
‘Gabriella!’ teriak seseorang begitu kami memasuki ruangan. Aku memandang sekeliling mencari wajah yang mungkin kukenal. Tidak ada! Lalu siapa yang menjemputku?
‘Miss Stanton, . . .?’ panggil si hitam manis yang ternyata bernama Gabriella. Secara spontan aku menoleh.
‘Ini Emanuel Batista yang bertugas menjemput anda,’ lanjut Gabriella memperkenalkan pria yang tadi meneriakkan namanya. Melihat wajahnya yang mirip-mirip George Lopez, aku yakin kalau dia pria Mexico.
‘Senang sekali bertugas menjemput anda, Miss Stanton,’ ucap Emanuel sambil menjabat tanganku hangat.
‘Dia seorang pilot yang hebat, keselamatan Anda akan terjamin bersamanya.’ Gabriella menerangkan. Emanuel hanya mampu tertawa canggung.
‘Oke, saya harus bertugas. Selamat jalan, Miss Stanton, semoga Anda betah di Amerika,” ucap Gabriella sebelum berlalu.
‘Terima kasih,’ bisikku. Ya, mudah-mudahan aku betah di sini.
‘Anda sudah siap, Miss Stanton?’ tanya Emanuel memecahkan lamunanku.
‘Ya, ya,’ sahutku gagap. ‘Tapi bagaimana barang-barangku?’ lanjutku.
‘Sudah kami urus,’ jawab Emanuel mantap. Kemudian kami keluar dari ruang tersebut. Berjalan lagi di lorong-lorong yang panjang dan lengang yang bertolak belakang dengan sisi lain dari airport ini.
‘Bagaimana dengan perjalanan Anda dari Indonesia kemari?’ tanya Emanuel.
‘Melelahkan dan membosankan,” jawabku jujur. Emanuel tertawa. Giginya begitu putih dan rata. Kalau dia tertawa seperti itu, kerut-kerut di sekeliling matanya bertambah dalam dan matanya tampak lebih bercahaya.
‘Anda boleh tidur selama perjalanan nanti,’ janji Emanuel. Aku mengangguk untuk menyenangkan hatinya.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku bisa menghirup udara luar lagi. Beberapa pesawat kecil ada di depan kami. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah pesawat bercat putih dengan garis biru melintang. Di pintu pesawat tersebut ada tulisan STANTON dengan huruf besar berwarna biru pula dan di bawah pesawat itu aku melihat kedua koperku. Aku terkejut. Milik siapakah pesawat kecil ini? Milik ayah kandungku? Apakah dia sekaya itu? Tetapi aku tak berani menanyakan hal itu kepada Emanuel.
Setelah kedua koperku masuk ke dalam bagasi, Emanuel memperkenalkan co-pilotnya. Mauricio Batista, adik kandungnya sendiri. Memasuki pesawat, aku kembali dibuat tertegun. Dari luar, pesawat itu sudah tampak mewah dan ternyata di dalamnya jauh lebih mewah lagi. Tempat duduknya yang empuk berlapis kulit berwarna krem yang lebih menjurus ke putih. Panel dindin dan langit-langitnya begitu detail dan berselera yang tinggi.
Begitu waktu yang dijadwalkan tiba, pesawat itu mulai berjalan. Pelan dan pasti, kemudian dengan lembut meninggalkan landasan. Barulah aku percaya pada apa yang dikatakan Gabriella bahwa Emanuel adalah seorang pilot yang hebat. Pesawat kami berjalan dengan tenang meninggalkan kota New York. Beberapa saat kemudian kami terbang agak rendah. Kini yang ada di bawah bukan lagi bangunan-bangunan tinggi menjulang melainkan hamparan padang rumput. Di tengah-tengah padang rumput itu ada sebuah jalan yang mulus dan berkelok-kelok. Itulah country road John Denver. Bila kami tiba di atas sebuah kota, Mauricio dan Manuel akan mengatakan nama kota itu serta memberikan keterangan singkat.
‘Philadelphia,’ kata Mauricio. Kemudian dia akan menerangkan segala sesuatu tentang Philadelphia. Dari Liberty Bell hingga perjuangan orang-orang Amerika untuk mencapai kemerdekaan seakan dia ahli dalam sejarah Amerika Serikat. Aku benar-benar senang mempunyai penjemput seperti mereka. Janji Emanuel untuk membiarkan aku tidur dalam perjalanan tak menjadi kenyataan. Mereka menyuguhiku dengan pemandangan-pemandangan yang terlalu indah untuk diabaikan.
‘Mister Batista, kota apakah itu?’ tanyaku ketika melewati sebuah kota dan tak kudengar sebuah komentar pun. Mauricio menoleh.
‘Anda tidak akan memanggil kami dengan sebutan mister seperti itu bukan, Miss Stanton?’ tanyanya.
‘Mengapa?’ tanyaku tak mengerti.
‘Mengapa? Panggil saja kami Manny dan Morris’
‘Tetapi kalian memangilku Miss Stanton.’
‘Karena itu sudah kewajiban kami.’
‘Aku tidak mengerti maksudmu,’ ucapku. Mauricio atau Morris memandangku tidak percaya.
‘Ayah Anda, Mister Stanton, boss besar kami. Dia adalah pemilik kami. Dan sebutan miss untuk Anda rasanya begitu lumrah.’
‘Aku tak menyukai itu!’ bantahku sengit. Apa-apaan ini? Ayahku pemilik orang lain? Waduh.! ‘ Dengar, aku tak ingin sebutan miss lagi. Panggil saja aku Lusi dan aku akan memanggil kalian Morris dan Manny. Adil bukan?’ usulku. Mauricio terdiam. Tiba-tiba kudengar suara Manuel.
‘Ayah Anda tidak akan menyukainya,’
‘Biar dia tak menyukainya. Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku tadi,” seruku mengalihkan pembicaraan. Untuk pertama kalinya aku mempunyai perasaan bahwa aku tidak akan menyukai orang yang akan kutemui kali ini. Orang yang menurut hukum adalah ayahku. Orang yang pernah kawin dengan mama dan orang yang harus kupanggil daddy atau papa. Aku tidak yakin apakah jika nanti bertemu dengannya aku sanggup untuk memanggil dirinya papa. Rasanya lebih pas bagiku untuk memanggil dia Mister Stanton.
‘Maafkan kami,’ ucap Mauricio, ‘Itu tadi Cincinnati. Kota yang sangat indah. Master David kuliah di sana.’
‘Dan bangsawan dari manakah Master David itu?’ tanyaku bergurau karena aku tahu siapa yang dimaksudnya, David Stanton, saudara kembarku. Mauricio dan Manuel tidak menjawab hanya tersenyum lebar.
‘Selamat datang di Kentucky, sebentar lagi kita sampai,’ seru Manny. Kemudian dia mulai mengadakan kontak dengan Louisville Airport. Beberapa saat kemudian dia mendaratkan pesawatnya dengan indah.
‘Penerbangan yang menyenangkan, Manny,’ pujiku sambil membuka sabuk pengamanku.
‘Saya senang Anda menyukainya Miss . . ‘
‘Lusi. Ingat?’ potongku.
‘Oke, Lusi,’ dia meralat sambil tersenyum, “Morris akan mengantarmu ke dalam. Georgie pasti sudah menunggumu. Aku harus mengurus pesawat ini dulu,’ kata Manuel.
‘Manny, siapakah Georgie itu, apakah aku kenal dia? bisikku. Manuel mambelalakkan matanya tidak percaya.
‘Kamu tidak ingat Georgie?’ desisnya. Aku menggeleng.
‘Dia bilang kamu dulu sangat akrab dengannya dan tidak mungkin melupakannya. Sepanjang hidupnya dia bekerja untuk keluarga Stanton. Sekarang dia buttler, tapi dia dulu adalah nanny kalian,” Manuel menerangkan. Kuangkat bahuku sebagai tanda aku benar-benar tak ingat Georgie. Nannyku seroang laki-laki. Mengapa Mama tidak pernah mengungkapkan hal itu. Kapankah dulu itu? Enam belas tahun yang lalu? Waktu umurku masih tiga tahun? Dan dia berharap aku masih mengingatnya?
Georgie adalah seorang pria yang telah melampaui usia enam puluh tahun. Rambutnya sudah putih semua. Walau badannya masih tegap tapi kerut-kerut di wajahnya tidak bisa menyembunyikan usianya. Aku tidak tahu apakah matanya yang kelabu itu merupakan gambaran umur tuanya atau aslinya memang kelabu. Ekspresi gembira terpancar dari wajahnya ketika dia menampak kedatanganku di samping Mauricio. Aku benar-benar menyesal tidak bisa mengingat dia lagi.
‘Miss Lucinda!’ teriaknya nyaring dan tergesa-gesa menemuiku. ‘Aku selalu berdoa untuk bisa bertemu lagi denganmu dan ternyata Tuhan menjawab doaku.’
‘Halo, Georgie,’ sapaku sambil kugenggam tangannya.
‘Kamu sudah dewasa sekarang,’ bisik Georgie.
‘Ya, Georgie.’
‘Bagaimana kabar Nyonya Stanton?’ tanya Georgie tiba-tiba. Aku tahu yang dimaksud pastilah Mama.
‘Baik-baik saja. Tetap seperti dulu kurasa,’ jawabku. Georgie mengangguk-anggukan kepalanya.
‘Wanita hebat, kita semua merindukannya . . . wanita hebat,’ bisiknya berkali-kali.
Λ
Sebuah limousine hitam berkilat telah menanti kami di luar. Georgie membuka bagasi dan Morris memasukkan kedua koperku ke dalamnya. Kemudian Georgie membuka pintu belakang dan menyilakanku masuk. Fuih . . . feodalisme lagi, yang akan memisahkan supir dan anak majikannya.
‘Keberatan bila aku duduk di depan?’ aku meminta persetujuan. Georgie dan Mauricio berpandang-pandangan sejenak.
‘Tentu saja tidak,’ akhirnya Georgie berkata sambil menutup pintu belakang lagi kemudian membuka pintu depan. Aku masuk.
‘Morris, terima kasih,’ itu saja yang dapat kuucapkan kepada Morris sebelum Georgie meluncurkan mobilnya meninggalkan halaman parkir airport.
‘Masih ingat daerah ini?’ tanya Georgie ketika kami melewati pusat kota Louisville. Kota kelahiran Muhammad Ali dan Kolonel Sanders-nya Kentucky Fried Chicken. Aku menggeleng. Ingin benar kukatakan kepadanya bahwa tak ada satu pun yang aku ingat dari tanah Amerika ini. Semuanya serba asing. Bahkan aku tak ingat lagi pada Georgie.
‘Ah, kamu masih terlalu kecil waktu itu,’ akhirnya Georgie sendiri yang mengucapkannya. Aku benar-benar merasa lega.
Lalu lintas begitu ramainya di Louisville sehingga berkali-kali kami harus berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ingin aku bertanya pada Georgie apakah rumah ayahku masih jauh, tapi keinginan itu segera kupadamkan. Bertanya atau tidak bertanya toh itu tak akan mendekatiku. Kota Louisville telah kami lalui, tetapi Georgie seakan tak pernah berniat untuk menghentikan mobil kami. Dia masih melaju menuju luar kota. Keramaian kota berganti dengan kesegaran daerah pertanian. Mobil-mobil lain yang kami jumpai makin berkurang. Paling-paling satu mobil setiap lima menit. Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, kami tiba di atas sebuah bukit. Georgie memperlambat jalan mobilnya dan menoleh padaku.
‘Kita sudah sampai,’ katanya sambil tersenyum. Aku memandang ke sekeliling. Perkebunan anggur di kiri dan kananku dan di depanku adalah jalan yang panjang dan landai. Tidak ada sebuah rumah pun.
‘Kamu juga tidak ingat, Miss Lucinda, kalau tanah ini adalah tanahmu dan kebun anggur di sana itu kebunmu?’ tanya Georgie sedih. Bukan salahku jika aku tak ingat lagi, tapi nyatanya aku masih tetap merasa bersalah. Seharusnya paling tidak aku ingat tanah ini, karena aku pernah tinggal di sini.
‘Georgie, engkau tahu aku seperti seorang yang terkena amnesia. Aku begitu ingin mengingat semuanya, tapi aku tidak mampu. Masa kecilku seakan hilang begitu saja. Maafkan aku, Georgie,” kuputuskan diriku untuk berkata jujur kepada Georgie dan Georgie seakan memahamiku. Dia tersenyum penuh pengertian.
Begitu kebun anggur itu habis, di ganti dengan pohon-pohon apel yang mulai berbunga. Bunganya kecil-kecil berkelompok dan berwarna putih agak kekuning-kuningan. Tidak ada daun di pohon, sehingga tampaknya hanya pohon dengan batang dan bunganya saja. Georgie menjelaskan kalau daun baru akan muncul kalau bunganya sudah berubah menjadi buah.
‘Kapan kita panen apel, Georgie’ tanyaku memecah kesunyian yang timbul di antara kami.
‘Awal musim gugur,’ jawab Georgie.
‘Banyak hasilnya?’
‘Terlalu banyak. Kamu pasti akan bosan melihatnya dan Clemmie, . . . setiap hari dia akan membuat apple pie. Oh, Clemmie yang malang, dia mengira setiap orang akan menyukai apple pienya,’ jawab Georgie . Aku mengerutkan dahi mencoba untuk mengingat siapa Clemmie yang dimaksudnya.
‘Kamu pasti sudah lupa sama Clemmie, istriku yang tercinta,’ lanjut Georgie menjawab pertanyaanku yang tak terucap.
Sesudah bosan dengan tanaman apel, kami disuguhi kebun jeruk yang juga mulai berbunga. Bau kembang jeruk yang segar masih juga tercium walau semua jendela mobil tertutup rapat.
‘Georgie, boleh kubuka jendelanya,?’
‘Ya, bukalah,’ kata Georgie setelah dia mematikan air conditioner. Begitu jendela terbuka, harum bunga yang segar menyerangku.
‘Persis Nyonya Stanton,’ gumam Georgie.
‘Apa?’
‘Nyonya Stanton selalu membuka jendela setiba di daerah ini.’
‘Aku mewarisi kebiasaan Mama, begitu bukan, Georgie?’ tanyaku. Georgie mengangguk setuju.
‘Kamu mewarisi semuanya. Wajahmu begitu mirip dengan nyonya Stanton,’ puji Georgie.
Setelah perkebunan jeruk habis, diganti dengan padang rumput yang menghijau. Di kejauhan tampak berpuluh-puluh ekor kuda. Kuda-kuda Kentucky, coklat mengkilap. Begitu gagah, begitu kuat.
‘Apakah itu juga kuda-kuda Stanton?’ tanyaku ingin tahu. Aku ingin tahu sekaya apakah ayahku. Pesawat pribadi, limosine, perkebunan yang ribu-ribu hektar dan mungkin juga kuda-kuda itu.
‘Ya. Masih banyak lagi kuda-kuda jantan yang lebih bagus dari mereka. Kuda-kuda yang menjadi finalis di kejuaraan Derby,’ Georgie menerangkan. Dugaanku tepat. Ayahku terlalu kaya. Sedang Mama? Satu mobil pribadi, kijang saja sudah disayang-sayang …. tidak pernah bermimpi untuk memiliki pesawat pribadi. Dari istri seorang jutawan, Mama berganti status menjadi istri seorang pegawai negeri. Tapi mama menerima semua itu dengan tabah. Aku tak pernah mendengar Mama mengeluh tentang keadaan ekonomi kami. Oom No begitu baik. Aku tahu dia begitu ingin membahagiakan Mama.
Setelah mencapai ujung tanjakan, kami membelok, dan kini kami berada di tengah-tengah padang rumput. Jalan yang kami lalui kini adalah jalan pribadi. Sebuah bangunan mulai tampak, dan makin lama makin jelas. Bangunan itu bergaya Victoria dengan empat buah pilar besar. Temboknya bercat putih sedang pintu-pintu dan jendela-jendelanya bercat hitam. Oh, ternyata bukan bercat hitam melainkan cokelat mahogani. Georgie menghentikan mobilnya di depan teras. Seorang wanita setengah tua berpakaian hitam dengan celemek putih berlari-lari menuruni anak tangga. Aku begitu yakin bahwa wanita itu Clemmie, mungkin dari cara dia memandang Georgie. Aku segera turun, takut Georgie keburu membukakan pintu untukku.
‘Miss Lucinda!’ teriak wanita itu.
‘Clemmie? tanyaku meyakinkan.
‘Ya, Tuhan, engkau masih ingat pada si tua Clemmie?” seru Clemmie senang. Dia memamndang pada tiga gadis manis yang telah muncul di situ dengan bangga, kemudian dia memelukku dan mencium pipi kiriku.
‘Engkau benar-benar mirip Nyonya Stanton, Missy,’ bisiknya sambil melepaskan pelukannya. Kemudian dia memerintahkan kepada tiga gadis yang berdiri di belakangnya untuk membawa koperku ke dalam setelah terlebih dahulu mereka diperkenalkan kepadaku; Helen. Judy dan Irene, petugas rumah tangga. Dengan dibimbing Clemmie aku masuk ke dalam. Aku belum bisa meyakinkan diri bahwa rumah ini juga rumahku. Ruang tamu yang luas dan mewah dengan kursi-kursi antik yang tampak begitu anggun dan sesuai dengan cat temboknya. Bahkan hiasan-hiasan di dindingpun seakan khusus di ciptakan untuk ruangan ini.
‘Di mana Ayah?’ akhirnya keluar juga pertanyaan yang sejak dari New York tadi ingin kuutarakan.
‘Ada urusan bisnis di Cleveland. Mister Stanton baru akan pulang nanti menjelang makan malam,” jawab Clemmie. “Sedang Mister David saya tidak tahu kemana perginya,” lanjut Clemmie tanpa kuminta.
Dari ruang tamu kami masuk ke kamar tengah kemudian menuju ke kamar yang disediakan untukku di tingkat dua. Pintu kamar itu begitu berat dan ketika terkuak tampaklah seisi kamar. Tempat tidur yang ekstra besar, perapian, kursi malas, kaca rias yang semuanya serba lux dan belum pernah kuimpikan. Aku masuk dengan ragu kemudian menuju ke dekat jendela. Kusingkapkan tirainya. Pemandangan di luar jauh lebih indah dari pemandangan di dalam. Padang rumput yang menghijau dengan kuda-kuda yang sedang memakan rumput. Semuanya sangat memukau.
‘Clemmie, kamar siapakah ini?’ tanyaku sesaat sehabis mandi sambil menghadapi makan siangku. Aku benar-benar heran karena kamar ini seluruhnya menggambarkan citra seorang wanita, sedang di rumah ini tak ada wanita lain kecuali para pembantu. Dan kamar ini terlampau indah buat kamar seorang pembantu. Adakah wanita lain di rumah ini?
‘Kamarmu, miss Lucinda,’
‘Maksudku, siapakah yang biasanya menggunakan kamar ini?’
‘Tidak ada, kamar ini memang di biarkan kosong,” jawab Clemmie.
‘Untuk berjaga-jaga bila ada tamu yang bermalam?’
‘Bukan,’ sahut Clemmie cepat. ‘Ada dua kamar yang di biarkan kosong. Yang satunya lagi di pojok sana, di seberang master bedroom. Mister Stanton menyediakannya untuk Missy dan nyonya Stanton… Siapa tahu kalau mereka pulang, itu yang selalu dikatakan Mister Stanton.’ Aku tertegun. Jadi ayahku selalu mengharapkan aku dan Mama untuk kembali lagi kemari.
‘Kalau begitu kamar yang satunya lagi akan selalu kosong,’ bisikku tidak sadar. Mama tidak akan pernah kembali lagi.
‘Apa, Missy?’ tanya Clemmie.
‘Mama tidak akan pernah kembali lagi, Clemmie.’
‘Mengapa?’ desak Clemmie cepat sekali.
‘Mama sudah kawin dengan orang lain.’
‘Sudah kawin? Mengapa mister Stanton tidak pernah mengatakannya? Clemmie kaget. Apakah dia tidak tahu? Apakah Ayahku juga tidak tahu? Ah mustahil! Tetapi mengapa dia merahasiakan perkawinan Mama dan masih juga menyediakan sebuah kamar untuk Mama?
‘Ya, Clemmie, dan Mama sudah mempunyai tiga anak dari perkawinannya. Dua orang pemuda dan seorang gadis cilik. Adik-adikku,’ kuucapkan kata-kata itu karena kulihat Clemmie yang masih tertegun seakan tak mendengar apa yang tadi kuucapkan.
‘Oh!’ keluh Clemmie. Aku kasihan padanya. Sepertinya dia juga berharap agar suatu saat Mama akan kembali lagi . ‘Apakah Nyonya Stanton bahagia?’ tanya Clemmie lirih
‘Ya, Mama sangat bahagia,’ jawabku pasti. Aku tahu Mama bahagia. Kalau toh ada sesuatu yang tak membahagiakan hati Mama, hanyalah pertengkaranku yang rutin dengan ibu mertua Mama. Kini dengan tiadanya aku di sisi Mama berarti tak ada lagi pertengkaran yang terjadi dan tak ada lagi yang tak membahagiakan hati Mama.
‘Nyonya Stanton pantas untuk mendapatkan kebahagiaan itu,’ bisik Clemmie. Aku tahu hatinya terluka. Walau bagaimana pun juga dia adalah pengikut Stanton yang setia yang masih tetap mengharapkan Mama menyandang nama Stanton.
Sesudah selesai makan, Clemmie menekan bel untuk memanggil Irene. Kemudian dia menyibukkan diri dengan mengatur tempat tidurku. Irene masuk dengan tergopoh-gopoh dan dengan cepat membersihkan piring-piring kotor dan berlalu.
‘Sudah seberapa besar anak-anak Nyonya Stanton?’ tiba-tiba Clemmie bertanya dan menoleh ke arahku. Dia masih memanggil Mama dengan ‘Nyonya Stanton’, memang berat untuk merubah sebutan.
‘Adit, yang sulung sudah berumur dua belas tahun.’
‘Dua belas tahun?’ ulang Clemmie kaget. ‘ Jadi sudah lama Nyonya Stanton kawin lagi?’ tanyanya tak percaya.
‘Ya, sudah lama juga. Yang kedua Anto berumur delapan tahun dan si bungsu Yani, lima tahun,’ jawabku. Aku selalu bangga bila harus bercerita tentang mereka. Betapa aku mencintai Adit, Anto dan Yani. Tiba-tiba aku rindu pada mereka . Rindu tawa manja Yani, rindu pada cerita-cerita konyol Anto dan rindu pada senyum manis Adit.
‘Tentu mereka tampan dan cantik,’ tebak Clemmie tepat.
‘Ya. Ayah mereka juga ganteng, sih,’ sahutku. ‘Oom No sangat baik, Clemmie’ tiba-tiba aku harus mengatakan hal itu pada Clemmie. Aku tidak bisa memanggil Oom No dengan panggilan papa seperti yang digunakan adik-adikku. Walau tak ada yang mengatakan bahwa aku anak tirinya, tapi orang akan segera tahu aku bukan anak kandung Oom No. Aku begitu lain dengan adik-adikku. Aku terlalu cenderung ke papa dengan mata agak biru dan kulit yang terlampau puith. Kesan Indonesiaku tidak sekuat mereka, walaupun ada persamaan-persamaan tertentu yang di wariskan oleh Mama. Jadi apa gunanya memanggil papa kalau semua orang akhirnya akan tahu kalau dia bukan papaku. Lagipula Oom No dan Mama tidak keberatan aku memanggil demikian. Satu-satunya orang yang keberatan adalah ibu Oom No, dan itu tidak masuk hitungan, karena aku tahu, walaupun aku memanggil anaknya dengan panggilan papa, dia masih juga akan menemukan kesalahanku yan lain. Sejak pertama kali Mama kawin dengan Oom No dia telah mengibarkan bendera permusuhan denganku.
Λ
Aku baru saja bangun ketika Clemmie memasuki kamarku.
‘Apakah aku membangunkanmu, Missy?’ tanyanya kuatir.
‘Tidak, Clemmie, aku memang sudah bangun,’
‘Mister Stanton menyuruh saya untuk melihat apakah Missy sudah bangun. Beliau ingin bertemu dengan Missy.’
‘Di mana Papa? Sudah lama Papa pulang?’ tanyaku beruntun.
‘Mister Stanton pulang lebih awal. Sudah tiga kali saya masuk kemari tapi Missy tidur begitu nyenyak sedangkan Mister Stanton melarang saya membangunkan Missy.’
‘Oke sebentar lagi saya siap,’ kataku sambil masuk ke kamar mandi, membasuh muka dan kumur. Kulirik wajahku di cermin, masih tampak mengantuk dan lelah. Kemudian kukenakan baju biru mudaku, aku ingin tampak menarik pada pertemuanku yang pertama dengan Papa. Sesudah semua siap, Clemmie mengantarku hingga ke ruang perpustakaan. Seorang laki-laki setengah baya berperawakkan tegap berdiri ketika aku masuk. Tuhan, aku tak pernah melupakannya. Laki-laki inilah yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Dialah ayahku.
‘Lucinda dear!’ teriaknya sambil merentangkan kedua tangannya siap untuk memelukku. Belum sempat aku memutuskan untuk memanggil dirinya Papa atau Mister Stanton, aku telah berada dalam pelukannya. Pelukannya yang hangat dari seorang ayah kandung. Tanpa kusadari aku telah menangis.
‘Aku selalu merindukanmu, Lucy,’ bisik Papa sambil menghapus air di sudut mataku. Aku tak mampu untuk berkata-kata. Lama sekali Papa baru melepas pelukannya. ‘Maafkan aku tak bisa menjemputmu di New York.’
‘Tidak apa-apa. Mauricio dan Manuel telah melakukan tugas mereka dengan baik,’ ucapku sambil duduk di kursi yang rendah. Sekarang aku sempat menyaksikan seluruh ruangan. Rak-rak buku yang bersatu dengan dinding, meja kerja, sebuah televisi kecil . . .
‘Oh, . . . Batista bersaudara,’ seru Papa dengan tawanya yang empuk dan enak didengar,’ Yah, mereka penerbang yang hebat. Sudah hampir tiga tahun mereka bergabung dengan kita.’ Tak kudengar nada meremehkan dari Papa. Papa seakan begitu sempurna.
‘Kamu menyukai kamarmu, Lucy?’ tanyanya tiba-tiba.
‘Ya, kamar yang bagus,’ jawabku gagap.
Tiba-tiba pintu di depanku terbuka. Seorang pemuda masuk. David! Ya dia pasti David. Kami berpandang-pandangan lama sekali, rambut David adalah rambutku, mata David adalah mataku, hidung David adalah hidungku, bahkan tahi lalat di dagu David sebelah kanan adalah tahi lalatku. Yang membedakan antara aku dan David hanyalah besar tubuh kami. David tinggi dan kekar serta dia seorang pemuda. Lainnya tidak ada, bahkan baju yang kami kenakan pun sama warnanya, biru muda. Tetapi sekonyong-konyong mata David berubah menjadi sangat dingin. Aku bergidik seakan mata itu sanggup untuk membunuhku. Bukan, mata itu bukan mataku! Aku tidak pernah memandang orang dengan mata sedingin itu, mata yang memancarkan sejuta benci. Aku kaget dan kecut melihat kenyataan ini. Kebahagiaan yang sempat muncul ketika aku melihat dirinya, menghilang begitu saja. Dia saudara kembarku, tapi mengapa aku tidak senang bertemu dengannya?
‘Lucy, kamu pasti sudah menduga siapa dia!’ kata Papa menengahi. ‘David, adikmu Lucy,’ lanjut Papa memperkenalkan. Jadi aku adiknya David. Siapa yang lahir terlebih dahulu?
‘Hai!’ sapa David sedingin es di kutub selatan. Aku Cuma mengangguk. Inilah dia, dua saudara kembar yang telah bepisah sekian lama dan hanya hai dan anggukkan saja yang keluar pada pertemuan yang pertama.
David kemudian duduk di samping kiriku. Kuusahakan untuk tidak bertatapan mata dengannya. Mengapa dia bisa sedingin ini?
‘Bagaimana dengan sekolahmu, Lucy?’
‘Tahun ini tahun keduaku di Universitas. Aku mengambil kuliah Ekonomi.’
‘Ekonomi?’ ulang Papa. ‘ David juga belajar Ekonomi,’ tanpa sadar aku menoleh ke arah David tapi segera kualihkan ketika kutangkap sinar matanya. David tak berkomentar.
‘Akhirnya musim panas nanti engkau bisa mendaftar. Kukira David akan senang untuk membantumu,’ lanjut Papa.
‘Jangan terlalu mengharapkanku,’ sahut David datar. Aku benar-benar tersinggung mendengar suaranya yang ketus.
‘Kurasa aku mampu untuk mengurus diriku sendiri,’ jawabku tak kalah ketusnya. Kudengar David mendengus. Setan! makiku dalam hati. Apa yang ingin di tunjukkan oleh manusia satu ini? Aku berharap Papa akan menegurnya, ternyata tidak. Papa seakan menganggap kata-kata David yang menyakitkan itu sebagai sesuatu yang normal.
‘David, tolong dilihat apakah makan malam sudah siap,” perintah Papa . Dengan malas David bangkit. Sebelum keluar dia masih sempat menatapku tajam.
‘Jangan dimasukkan dalam hati,’ kudengar suara Papa, seakan dia bisa membaca hatiku. Aku cuma bisa menganggukkan kepala. Kejadian ini tak pernah terbayang dalam kepalaku. Kukira David akan senang bertemu denganku seperti halnya aku yang selalu merindukan pertemuan dengannya. Aku sangat kecewa. Kalau saja aku boleh memilih, maka aku akan memilih makan di kamar saja. Aku tidak bisa makan dengan santai. Mata dingin David selalu mengawasi gerak-gerikku, hingga makanan yang kumakan, kadang terhenti di tenggorokanku. Aku merasa benar-benar tolol. Tapi untung kami hanya menggunakan lilin sebagai penerangnya, kalau tidak, David tentu akan lebih senang lagi bisa memperhatikan wajahku yang sebentar merah sebentar putih.
‘Tambah lagi, Lucy?’ Papa menawarkan penuh perhatian. Aku menggeleng, takut jika aku bersuara, mereka akan bisa menangkap apa yang sebenarnya ada dalam hatiku. ‘Seharusnya Clemmie memasak nasi buatmu, tentu kamu tidak terbiasa dengan makanan seperti ini,’ Papa merasa bersalah. Oh, Mister Stanton yang malang, bukan makanan penyebabnya melainkan anak laki-lakimu itulah yang menyebabkan nafsu makanku hilang.
‘Bukan itu sebabnya,’ sanggahku, ‘Mungkin aku masih lelah saja,’ kulirik David untuk melihat reaksinya. Dia tersenyum sinis.
‘Ya, kamu membutuhkan istirahat yang cukup,’ kata Papa.
Sehabis makan malam, David langsung menghilang. Aku masih duduk lama dengan Papa. Terlalu banyak yang harus di ceritakan. Enam belas tahun berpisah bukan waktu yang singkat. Baru sesudah berbaring di tempat tidur, aku sadar bahwa tak sekali pun Papa bertanya tentang Mama. Tak sekali pun. Aneh! Padahal Papa menyediakan sebuah kamar untuk Mama.
Λ
Aku terbangun dalam keadaan yang benar-benar segar. Sengaja tak kutekan bel untuk memanggil Clemmie. Kalau hanya untuk menyiapkan bak mandi saja aku masih mampu. Sambil menunggu air di bak mandi penuh, kubuka jendela kamarku lebar-lebar untuk mengijinkan udara segar memasukinya. Padang rumput yang hijau masih basah oleh sisa-sisa embun pagi. Kuda-kuda gagah berlarian dengan lincahnya menyambut sang matahari. Sehabis mandi aku segera turun ke bawah.
‘Ya ampun, Missy, mengapa tidak memanggil saya?’ teriak Clemmie ketika melihat aku sudah berada di kamar tengah.
‘Aku tidak ingin merepotkanmu.’
‘Sama sekali tidak merepotkan. Ayo, Missy duduk, sementara kusiapkan sarapanmu. Mau cereal atau toast?’
‘Cereal saja, Clemmie, aku tidak biasa makan berat di pagi hari,’ jawabku sambil duduk.
‘Engkau juga ingin kubuatkan kopi?’
‘Tidak usah, teh saja sudah cukup,’ jawabku. Rasanya seperti di restoran pakai memilih segala. Clemmie segera pergi. Lima menit kemudian dia datang lagi dengan sebuah meja dorong dengan beberapa kotak cereal, susu dingin, gelas kosong dan air panas di atasnya. Semuanya itu dia atur di atas meja makan.
‘Segelas air jeruk baik untuk mempertahankan berat badan,’ ujar Clemmie sambil menuangkan air jeruk dingin ke dalam sebuah gelas kecil. Kupandangi saja gelas itu. ‘Minumlah, Missy!’ perintah Clemmie halus. Kuturuti perintahnya sementara dia menyiapkan cawan untukku. ‘Missy ingin cereal yang mana? Rice cripies, cornflake, . . . semuanya buatan Kellog dan Kellog mengambil jagungnya dari perkebunan Stanton. Jadi dengan makan ini, Missy telah menikmati hasil kebun sendiri,’ lanjut Clemmie. Aku tidak tahu apakah kata-kata itu benar atau hanya sekedar menarik seleraku.
‘Papa sudah pergi?’ tanyaku sambil menuang rice cripies ke dalam mangkukku kemudian kutambah susu dingin dan gula.
‘Ya, sebelum matahari terbit.
‘David?’ tanyaku pelan, takut bila tiba-tiba dia sudah berada di belakangku dan mendengar apa yang kutanyakan.
‘Sudah pergi juga. Tadi di jemput Miss Deidre.’
‘Siapa?’
‘Pacar Master David. Kalau nyonya Stanton ada di sini, aku yakin beliau tidak akan setuju dengan pilihan Master David.’
‘Memangnya kenapa?’ tanyaku ingin tahu.
‘Murahan,” jawab Clemmie tenang. Aku kaget setengah mati mendengar jawaban Clemmie. Cereal yang sudah berada di kerongkonganku terhenti, aku terbatuk. Clemmie menyadari kekagetanku, sejenak kemudian dia meralat kata-katanya. ‘Bukan murahan, tapi selera rendah. Sebenarnya dia cukup cantik, hanya, . . . bagian-bagian yang seharusnya dibuat misterius justru di tunjukkan dengan terang-terangan,’ komentar Clemmie kalem. Dia pasti sudah begitu dekat dengan keluarga ini, karena untuk memberikan komentar seperti itu dibutuhkan keberanian yang sangat besar.
‘Cinta memang buta, Clemmie,’
‘Bukan cinta, tapi nafsu,” bantah Clemmie, ‘Saya tidak bisa membayangkan anak Nyonya Stanton jatuh cinta pada wanita yang bertolak belakang dengan ibunya. Engkau mengerti maksud saya, Missy?”
Sehabis sarapan aku keluar. Udara benar-benar sejuk walau matahari bersinar dengan cerahnya. Beribu taman hias di depan rumah berbunga aneka warna. Dari halaman depan aku memutari rumah menuju halaman belakang. Aku tidak menyangka halaman belakang lebih indah dari halaman depan dan samping. Di sana ada ratusan pohon mawar yang sedang berbunga lebat. Bunganya besar-besar serta berbau harum. Sejenak aku terpana. Tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh bergerak-gerak di antara pohon-pohon itu. Aku harus menanti lama sebelum mengetahui siapa dia. Ternyata Irene yang membawa sebuah keranjang bunga.
‘Selamat pagi, Irene,’ sapaku. Dia terlonjak. Aku menyesal telah mengejutkannya. Seharusnya aku tahu tempat semacam ini merupakan tempat yang paling tepat untuk melamun. Tentu Irene sedang melamun ketika kutegur tadi.
‘Oh, selamat pagi, Miss Lucinda,’ balas Irene setelah reda kekagetannya. ‘Tidur nyenyak semalam?’ dia bertanya.
‘Ya. Apa yang kau kerjakan?’ tanyaku. Aku tahu dia sedang memetik bunga, tapi caranya memotong bunga itu tak kumengerti. Dia memotong sebatas bunga tanpa menyertakan tangkainya sedikit pun.
‘Memetik bunga,” jawab Irene tepat.
‘Tanpa menyertakan tangkainya?’
‘Ini bukan untuk hiasan, Miss Lucinda.’
‘Lalu?’
‘Untuk membuat air freshener,’
‘Penyegar ruangan?’
‘Ya,’ jawab Irene sambil tersenyum. Dia senang aku menunjukkan minat. ‘Bunga-bunga ini nanti di rebus dalam cairan lilin kemudian di beri warna dan di bentuk menurut selera kita, lalu kita letakkan di ruang-ruang yang ingin kita beri air freshener. Tak nampak kalau itu air freshener tapi harumnya dapat tahan lama,’ tutur Irene. Aku Cuma mengangguk-angguk saja. Kagum.
“Apakah ikan di kamar mandiku itu juga air freshener buatanmu?’ tiba-tiba aku teringat ada sebuah ikan lilin berwarna kuning di pojok kamar mandiku. Kemarin aku keheranan waktu melihatnya. Irene mengangguk sambil tersenyum manis.
‘Sayang saya bukan seorang seniman yang dapat membuat bentuk-bentuk yang menarik,’ Irene merendah. Padahal ikan itu benar-benar sempurna buatannya. Persis ikan hidup. Irene pastilah seorang yang ahli dalam bidang pahat memahat.
‘Engkau pernah belajar seni, Irene?’ tanyaku. Dia kaget dan tampak ragu untuk menjawab.
‘Ya, Miss Lucinda. Tapi berhenti di tengah jalan,’ jawab Irene. Aku tidak bertanya lebih lanjut, nampaknya Irene tidak ingin membicarakan hal itu. Seorang gadis manis, pernah belajar seni dan kini bersembunyi di pertanian ini. Benar-benar mengundang tanya.
‘Engkau membawa keranjang lain?’ kualihkan pembicaraan kami.
‘Untuk apa?’ tanya Irene heran.
‘Aku ingin membantumu.’
‘Jangan, Miss Lucinda, nanti tanganmu kotor.’ Ya,Tuhan . . . memangnya tanganku ini tangan apa hingga tidak diijinkan untuk memegang bunga.
‘Irene,engkau bisa memegang bunga, aku pun bisa, oke?’ Ia bimbang tapi kemudian menyerahkan keranjangnya. Untuk dia sendiri dia terpaksa mengambil lagi yang lain.
Berjalan-jalan menyusup di bawah pohon mawar merupakan sesuatu yang baru bagiku. Kadang aku harus mengiris bila terkena duri dan Irene akan segera datang dan menanyakan kalau aku tidak apa-apa. Tanpa kusadari keranjang bunga yang kubawa sudah penuh dengan bunga dan aku pun sudah sampai ke tepian kebun. Ada pagar kayu yang memisahkan kebun mawar dengan padang rumput. tak jauh dariku kulihat Georgie dengan sorang bocah laki-laki berkulit gelap kecil sedang menyikat seokor kuda.
‘Hello, Georgie!’ tegurku. Georgie menoleh demikian pula si anak berkulit gelap, berambut ikal.
‘Hello, Miss Lucinda. Sedang apa kau di situ?’
‘Memetik bunga,’ jawabku. Georgie tersenyum lebar.
‘Apakah dia Miss Lucinda?’ kudengar bisikkan si bocah berambut ikal.
‘Hello, siapa namamu?’ teriakku. Mata anak iu bersinar. Senyumnya menawan memperlihatkan giginya yang putih.
‘Oscar,’ jawabnya malu.
‘Nama yang bagus,’ pujiku.
‘Ingin berkuda, Miss Lucinda?’ tanya Georgie. Kuperhatikan kuda yang sedang disikatnya. Begitu besar. Kalau jatuh dari kuda itu dapat di pastikan tulang-tulangku akan remuk semuanya.
Aku tidak bisa,’ jawabku sambil menggeleng. Baik Georgie maupun Oscar tidak percaya mendengar jawabanku.
‘Kamu dapat berlatih,’ bujuk Georgie selang beberapa saat.
‘Tidak sukar, Miss Lucinda,’ Oscar ikut membujuk.
‘Aku takut, Oscar,’ jawabku jujur. Oscar tertawa girang.
‘Ayo, miss Lucinda, kamu dulu lebih mahir dari master David dan mengendarai kuda yang lebih besar dari ini.’ Kejar Georgie.
‘Aku?’ tanyaku heran.
‘Ya. Kamu lebih mahir dari master David,” cerita Georgie. Aku tidak ingat itu semua . Bahkan aku tidak ingat pernah melihat kuda sebesar itu.
‘Bagaimana, Miss Lucinda?’ tantang Georgie lagi.
‘Engkau pasti salah ingat, Georgie. Waktu aku pergi dari sini umurku baru tiga tahun,’ sanggahku.
‘Aku selalu ingat bagaimana mamamu selalu berteriak-teriak menyuruhmu turun dari kuda sementara papamu justru memberi semangat agar kamu mempercepat lari kudamu. Kamu dulu gadis paling berani di seluruh Louisville bahkan di seluruh Kentucky.’ Aku mendengarkan kata-kata Georgie seperti mendengarkan kisah seorang gadis pemberani, tetapi bukan tentang diriku. Sejak dulu aku di kenal sebagai gadis penakut. Menggonceng sepeda motor saja membuat mulutku komat-kamit berdoa tak henti-henti mohon selamat.
Λ
Aku mulai santai. Tangan kiriku tidak lagi erat berpegangan pada pelana. Aku mempercayakan diri pada Denver. Dia tidak akan melemparkanku. Dia adalah sahabatku. Kami telah mencapai tepi padang rumput sebelah selatan. Di depan kami menghadang hutan pinus yang lebat. Kutarik tali kendali Denver agar dia memperlambat jalannya untuk menunggu Georgie. Georgie datang dengan senyum puas di bibirnya.
‘Apakah aku telah mengendarainya dengan benar?’ tanyaku.
‘Tanpa cacat,’ jawab Georgie. ‘Aku bangga kamu masih bisa berkuda setangkas itu.’ Oh Georgie bukan engkau saja yang bangga, aku pun bangga juga, kata hatiku. Kemudian kami memasuki hutan pinus itu dengan berjalan pelan-pelan. Tidal memungkinkan bagi kami untuk berlari cepat di tengah pohonpohon yang begitu besar. Nyanyian burung di hutan benar-benar menawan. Bersahut-sahutan dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Dan tupai-tupai menari lincah diiringi nyanyian tersebut. Benar-benar damai di sini. Tiba-tiba aku menampak sebuah telaga dengan air yang jernih di depanku. Bunga-bunga teratai merah dan putih bermekaran di atasnya. Inilah surga!
‘Georgie, aku ingin turun,’ kataku pada Georgie.
‘Turunlah.’
‘Aku tidak bisa,’ jawabku. Georgie meloncat turun dari Blue Berry kemudian berjalan ke dekatku. Dia memberi petunjuk bagaimana cara turun yang benar. Sedetik kemudian aku sudah berada di atas tanah dengan gagah.
Kubuka sepatu canvasku dan berjalan di tepi telaga. Kemudian kumasukkan kedua kakiku ke dalamnya . Dingin sekali. Tapi nikmat. Sesudah berada disana cukup lama, kami memacu kuda kami dan pulang. Aku telah menjadi penunggang kuda yang ahli.
Aku ketemu papa dan David setiap makan malam. Aku mulai tenang menghadapi sikap David, bukan karena sikapnya berubah tetapi aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Biar mata David sampai sebesar mata ikan mas tetapi aku tetap bisa memasukkan makanan ke dalam mulutku. David selalu meminta ijin untuk pergi begitu makan malam selesai dan aku bisa bernafas lebih longgar. Bukan kehidupan seperti ini yang kuinginkan tetapi aku ttidak bisa berharap yang lebih baik lagi. Bagaimanapun tidak menyenangkannya kehidupan ini, tapi inilah kehidupan yang seharusnya kutempuh . Di sisi Papa dan saudara kembarkulah seharusnya aku berada.
Malam itu sebelum tidur kutulis surat buat adik-adikku. Aku tidak menulis untuk Mama dan Oom No, karena aku tahu mereka toh akan membaca juga surat yang kukirim buat Adit, Anto dan Yani. Sengaja aku tidak menceritakan tentang Papa dan David. Aku kuatir jika aku bercerita tentang Papa, kenangan lama Mama akan terbayang dan Oom No cemburu. Aku heran mengapa aku berpikiran semacam itu. Mungkin karena aku telah melihat kegantengan ayahku, jadi sudah sepantasnya kalau Oom No menyemburuinya. Sedang tentang David, ini masalah pribadi. Aku tidak menyukainya jadi mengapa aku harus menulis tentang dirinya. Kalau toh aku harus menceritakan tentang David tentu hanya yang jelek-jelek saja yang kutulis. Akibatnya tentu sangat parah. Mama akan berduka karena anak sulungnya ternyata tidak semanis yang dia duga dan Mama akan menyesal telah mengirimku kemari.
Mama menginginkan kebahagiaan bagiku. Sejak ibu Oom No tinggal bersama kami, Mama tahu batinku tertekan. Terlebih setiap tanggal sepuluh bila ada pertemuan keluarga besar Oom No. Aku tidak diijinkan untuk turut karena aku bukan keturunan Oom No yang asli. Setiap tanggal sepuluh, Adit, Anto dan Yani akan berdandan rapi untuk pertemuan itu sedang aku harus tinggal di rumah. Aku tidak pernah mengeluh tentang hal itu, tetapi Mama mengetahui aku merasa di bedakan.
Karena pertengkaranku dengan ibu Oom No makin sering, akhirnya Mama memutuskan untuk menyerahkanku pada Papa dengan harapan aku akan menemukan kebahagiaanku di sini karena di sini ada saudara kembarku jadi aku akan merasa lebih tentram. Alangkah melesetnya dugaan Mama. Tapi aku tidak ingin mengatakan kepada Mama bahwa perhitungan Mama salah. Biarlah Mama mengira aku bahagia di sini karena hal itu akan membahagiakan hati Mama.
Λ
Minggu pagi papa mengajakku untuk melihat-lihat kebun. Dua ekor kuda telah disiapkan untuk kami, yang kukenali sebagai Denver dan Blue Berry. Aku senang bisa bertemu dengan Denver kembali. Kami berjalan ke arah utara dengan perlahan-lahan. Setiap saat yang berlangsung ingin kami lalui dengan baik. Mengendarai kuda di samping ayah kandungku. Hal yang tak pernah berani kubayangkan, tetapi kini benar-benar terjadi. Papa begitu gagah dalam pakaian berkudanya. Celana jeans ketat yang ujungnya dimasukkan ke dalam bootnya, kemeja kotak-kotak dengan rompi berwarna biru dan topi cowboy yang juga berwarna biru. Betapa aku mengaguminya. Pasti waktu masih muda dulu, Papa sangat tampan. Tak heran akhirnya Mama memilihnya untuk menjadi suaminya.
‘Kamu masih mahir berkuda, Lucy,’ puji Papa sambil memperhatikan caraku berkuda.
‘Georgie yang mengajariku.’
‘Georgie?’ ulang papa sambil mengerutkan dahi.
‘Ya,’
‘Kamu tidak pernah berkuda selama di Indonesia?’
‘Seingatku tidak,’ jawabku.
‘Mau berlomba denganku, Lucy?’ tantang Papa mengejutkan.
‘Berlomba?’ tanyaku tak percaya. ‘Aku tidak bisa.’
‘Mengapa tidak bisa? Mulai dari sini sampai di kebun jeruk di depan sana. Siapa yang sampai terlebih dahulu dia yang menang.’ Kelihatannya sangat menarik, tetapi aku yakin aku tidak bakal mengalahkan Papa. Papa bergaul dengan kuda selama hidupnya, sedang aku, . . . lihat kuda saja baru tiga hari yang lalu. Tapi kalau hanya untuk bersenang-senang saja, mengapa tidak.
‘Oke,’ jawabku mantap. Papa tersenyum mendengar jawabanku.
‘One . . . two . . .run!’ Papa memberi aba-aba. Kuberi tarikan kuat pada tali kendali Denver yang segera kukendorkan lagi. Denver meloncat dan berlari dengan kencang. Blue Berry sudah beberapa jengkal di depanku. Papa tidak main-main dengan lomba ini.
‘Come on, Denver. Faster! Faster!’ jeritku sambil menepuk badan Denver dengan kakiku. Denver mempercepat larinya berusaha menyusul Blue Berry.
Aku kalah dalam pertandingan itu, tapi puas. Keringat mengalir deras di dahi dan punggungku hingga blus yang kukenakan basah. Keringat di wajahku segera kuhapus dengan sapu tangan sementara itu Papa tersenyum puas dan matanya bersinar cerah.
‘Engkau hampir mengalahkanku, Lucy.’
‘Ah, Papa, . . . kita selisih jauh sekali.’
‘Tidak, Lucy. Kalau engkau berlatih terus dalam waktu seminggu aku sudah tidak mampu menyusulmu lagi,’ kata Papa serius. Kemudian kami bergerak pelan-pelan lagi. Menyusup di antara pohon-pohon jeruk yang sedang berbunga. Kelopak-kelopak bunga itu sebagian berwarna keputih-putihan. Buah-buah kecil berwarna hijau gelap menggantikan kedudukan bunga-bunga tersebut. Kami bertemu beberapa orang pekerja yang sedang memeriksa kebun dan tanamannya. Papa berbincang dengan mereka sejenak kemudian berjalan lagi. Aku benar-benar kagum atas kewibawaan Papa.
Di kebun apel panasnya bukan main, karena tidak ada daun yang melindungi kami dari sengatan matahari. Tubuhku rasanya seperti terbakar dan aku benar-benar kehausan.
‘Ingin istirahat, Lucy?’ tanya Papa seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
‘Aku tidak lelah, cuma haus.’
‘Sebentar lagi kita istirahat di gudang, ucap Papa. Setelah mendaki sebuah bukit kecil akhirnya tampaklah apa yang di sebut gudang. Sebuah bangunan tinggi dari papan bercat hitam. Dari luar tampak seram seperti rumah tukang sihir, tetapi dalamnya bersih dengan dinding yang bercat putih. Ada beberapa keranjang kosong di sudut gudang. Tiga orang pria yang tadi duduk-duduk di sana segera berdiri ketika melihat kehadiran Papa.
‘Ada minuman untuk anakku? Dia kehausan,’ kata Papa ringan.
‘Ya Tuhan, Miss Lucinda? Andakah itu? Sudah sebesar ini?’ kata salah satu di antara pria itu. Aku heran bagaimana dia bisa mengenaliku.
‘Ya, Peter, dia Lucinda, tapi jika engkau tidak segera mengambilkan minuman untuknya dia akan mati kehausan,’ gurau Papa. Peter tertawa.
‘Maafkan saya. Apa yang Anda inginkan, Miss Lucinda?’ kusebut minuman yang kuinginkan dan Peter segera berlari. Papa kemudian mengenalkanku pada dua pria lainnya. Pengelola kebun apel. Kemudian kududukkan diriku di tumpukan jerami dan bersandar. Peter datang dengan membawa sekaleng minuman lalu duduk di sampingku dan menceritakan tentang masa kecilku yang semuanya sudah kabur dari ingatanku.
Pulangnya kami lewat jalan yang lain yang di kiri dan kanannya tumbuh pohon pinus yang teduh. Daun-daun kering kadang luruh dan menimpa kepala kami. Kira-kira satu kilometer dari rumah, kami berpapasan dengan sebuah mobil. Kupinggirkan Denver untuk memberi jalan. Mobil itu berhenti. Papa yang berada di depanku juga berhenti dan aku pun ikut berhenti. Dari dalam mobil keluar David dan seorang gadis, Deidre, tebakku ketika melihat caranya berpakaian; selana pendek sebatas pangkal paha dan T-shirt yang benar-benar ketat sehigga menimbulkan kesan yang hii . . .
‘Afternoon, mister Stanton.” Sapa gadis itu.
‘Hello, Deidre.’ Sahut Papa. ‘Sudah ketemu Lucy?’ Deidre memandang padaku dengan tatapan mata yang aneh yang tidak bisa kutafsirkan artinya. Apakah karena kemiripanku dengan David ataukah ada hal lainnya.
‘Lucy, kenalkan Deidre Melore,’ Papa mengenalkan kami berdua.
‘Hello,’ sapaku.
‘Hi, senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Deidre. Aku tahu itu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya, matanya menunjukkan hal itu dengan jelas. Mungkin David telah menerangkan padanya tentang diriku. Dan karena David membenciku maka sudah selayaknya dia sebagai pacar David untuk membenciku pula.
‘Mau kemana kalian?’ tanya Papa.
‘Mau renang ke County Club House. Mau ikut, Lucy?’ Deidre menawarkan. Sekali lagi basa-basi yang memuakkan. David memandang Deidre tidak setuju. Jangan kuatir master David, aku tidak akan ikut.
‘Terima kasih, mungkin lain kali,’ jawabku pendek. Deidre dan David saling melempar senyum misterius. Kemudian mereka masuk kembali ke dalam mobil dan segera berlalu. Kami pun meneruskan perjalanan kami yang sempat terhenti. Ingin benar aku mendengar komentar Papa tentang calon menantunya tetapi tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut Papa tentang mereka.
Hari-hari yang berlangsung selanjutnya berlalu dengan malas seperti matahari musim panas yang enggan untuk menggelincir ke barat. Sepuluh hari sudah aku berada di samping Papa dan David tapi rasanya sudah puluhan tahun aku berada di sini. Sudah banyak yang kuketahui tentang perkebunan serta orang-orang yang berada di sekelilingku. Papa yang selalu pergi sebelum aku sempat bangun dan pulang menjelang makan malam sampai saat ini belum pernah sekali pun menanyakan tentang Mama dan aku pun tidak berniat menceritakannya.
Aku jarang bertemu dengan David. Kalau toh kebetulan kami berpapasan di rumah, tak ada komunikasi yang terjalin di antara kami. Ini benar-benar menyedihkan. Pada mulanya kukira dia akan berubah, tetapi ternyata tidak. Dia benar-benar tidak acuh dan dingin. Ingin sekali aku duduk dan berbincang dengannya, tetapi jika kulihat wajahnya yang masam maka keinginanku pun hilang begitu saja.
Demi Tuhan aku ingin mulai beramah tamah dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah saudara kembarku yang selama sembilan bulan lebih pernah bermukim di dalam sebuah rahim yang sama, rahim Mama. Apa sebenarnya pandangan David tentang diriku? Aku melihat dirinya sebagai melihat diriku sendiri. Hatiku terasa sakit bila harus membencinya seakan aku telah membenci diriku sendiri dan bila aku memaki dalam hati atas sikapnya maka makian itu seakan kutujukan untuk diriku sendiri . Ah anehnya hati in. Tetapi mengapa David tidak memiliki perasaan yang sama?
Clemmie dan Georgie adalah pembantu tertua di dalam keluarga Stanton. Mereka sudah ikut Stanton sejak Papa masih kanak-kanak. Pada waktu Mama melahirkan aku dan David, Georgie menawarkan diri untuk menjadi pengasuh kami. Saat ini mereka adalah pengurus rumah tangga sekaligus penasehat Papa dan David. Hal inilah yang kadang membuat iri para staf yang lain. Clemmie dan Georgie tidak mempunyai anak kandung dan sebagai gantinya mereka telah mengadopsi Oscar yang kedua orang tuanya serta adik-adiknya tewas dalam suatu kecelakaan lalu lintas tak jauh dari perkebunan kami empat tahun yang silam.
Kemudian si kakak beradik Judy dan Helen yang tidak mirip satu dan yang lainnya. Mereka adalah anak Peter yang kujumpai di kebun apel tempo hari. Tugas mereka adalah mengatur dan menjaga kebersihan rumah. Dan yang terakhir adalah si gadis pemurung Irene. Dia begitu misterius dan tertutup. Wajahnya begitu sendu, mungkin itulah yang menyebabkan dia disayangi semua orang. Dia datang kepada keluarga Stanton setahun yang lalu dan minta pekerjaan. Jika semua tugas-tugasnya telah selesai dia akan mengurung diri di dalam kamarnya yang berfungsi pula sebagai studio; memahat ataupun melukis. Sekali-sekali aku datang ke kamarnya untuk melihat dia melukis. Umur Irene setahun lebih muda dariku, tetapi wajahnya yang sendu telah menyebabkan dirinya tampak jauh lebih tua. Tak seorang pun tahu siapa sebenarnya dia dan dari mana asalnya karena dia tak pernah bercerita dan tak seorang pun berniat untuk mengusiknya.
Malam itu aku sudah siap untuk tidur ketika kudengar gesekan biola yang indah dan syahdu. Kutelengkan kepalaku agar dapat mendengar lebih jelas. Il Silenzio! Siapa yang membawakannya? Aku berdiri dan mengintip dari jendela. Sengaja lampu tidak kunyalakan agar orang yang di luar tidak menyadari sedang di intip.
To be continued ……
Be My Valentine
Posted by Laily Lanisy
Steve berjalan di depanku sambil menarik sled, kereta salju berwana merah menyala. Dari mulutnya terdengar siulan Poker Face-nya Lady Gaga. Sesekali dia menoleh ke belakang, melihat kalau-kalau aku sudah tertinggal jauh. Bila jarakku dengannya lumayan jauh dia akan menghentikan langkahnya dan memandangku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lucu. Bila sudah demikian aku merasa tertantang dan kupercepat langkahku.
‘Capai, Princess?’ tanya Steve ketika melihat langkahku mulai tidak karuan. Berjalan di salju yang begini tebalnya memang sulit. Sudah dingin, berat lagi, sehingga kaki malas untuk bergerak.
‘Duduklah di atas sled ini, nanti kutarik,’ usul Steve. Kakak AFS-ku yang satu ini memang selalu manis dan penuh perhatian. Aku menggeleng. Aku belum terlalu gila untuk membiarkan dia setengah mati menarikku seentara aku enak-enak duduk.’
‘Nggak mau ah. Nggak lucu,’ tolakku. Steve mengangkat bahu sambil meneruskan langkahnya lagi. Poker Face-nya kembali terdengar. Tiba-tiba kami melihat sebuah truk berhenti di jalan jauh di depan kami.
‘Nasib kita sedang mujur, Princess,’ seru Steve, ‘truk itu kelihatannya menunggu kita,’ lanjutnya sambil menarik tanganku dengan tangan kirinya agar aku bisa berjalan lebih cepat.
“Hai !!!’ teriak Steve setelah kami agak dekat dengan truk tersebut, ‘Boleh kami numpang?’ tanyanya, Sebuah kepala tersembul keluar dari jendela. Mati aku!!!
Kepala yang tersembul keluar dari jendela truk itu ternyata milik Timothy Clements, manusia paling kubenci di negerinya Obama ini. Jauh-jauh dari Indonesia aku datang ke negeri ini dengan berbekal cinta selautan India, tanpa seujung kuku kebencian. Kecuali untuk manusia bernama Timothy Clements ini. Aku tidak bisa membendung rasa ketikdaksukaanku terhadapnya. Aku tahu ini tidak sesuai dengan motto “AFS is Love…AFS is brotherhood”. Tapi mau dibilang apa, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Semakin hari semakin kuat, tanpa perlu dipupuk dan disemai.
♥
Aku tidak bisa melupakan pertemuan pertamaku dengannya. Hari itu hari pertamaku masuk sekolah. Semuanya serba baru dan asing, sehingga sedikt membuatku grogi. Pada waktu aku berdiri di depan pintu masuk tiba-tiba saja bel berdering dengan nyaringnya. Semua murid yang masih berada di halaman sekolah berlarian masuk dan melewatiku. Tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang. Semua buku dan ballpoint yang berada di tanganku jatuh dan berserak di bawahku. Belum lagi hilang rasa kagetku, pemuda yang menabrakku tadi berteriak.
‘Hei, tolol, jangan berdiri di depan pintu!’ Kupandang dia sekejab dan dalam hati aku berkata, aku tidak akan pernah melupakannya. Aku benar-benar sakit hati. Pelan-pelan aku menunduk dan memunguti buku-bukuku.
‘Jangan dengar omongannya,’ tiba-tiba seorang gadis telah berjongkok di depanku dan membantuku mengumpulkan buku-bukuku. Gadis tersebut kemudian kukenal sebagai Andrea Simons.
‘Itu tadi Tim. Timothy Clement,’ Andrea menerangkan, ‘murid paling urakan di sekolah ini. Dia pikir semua anak menyukainya karena dia cerdas dan bintang lapangan. Itulah sebabnya omongannya sering ngawur dan seenaknya. Engkau tidak perlu menggubrisnya,’ saran Andrea. Saran itu kemudian kuturuti dengan baik. Aku tidak pernah menggubrisnya. Sama sekali tidak pernah. Tersenyum padanya pun aku belum pernah, apalagi meluangkan waktu untuk bertegur sapa. Padahal banyak kelas-kelasku yang sama dengan kelasnya. Bahkan, pada mata perlajaran American Government, Tim duduk tepat di belakangku.
Dan kini kami akan numpang truknya? Aduh, harus kubuang kemana gengsi ini?
‘Steve, kita jalan kaki saja,’ bisikku pada Steve. Steve membelalakkan matanya tidak percaya. Tim yang mendengar bisikanku tersenyum lebar sambil membuka pintu truk-nya.
‘Cepat naik, Princess. Kamu bisa mati kedinginan di situ. Lihat, wajahmu sudah kebiru-biruan,’ ucap Tim. Aku benar-benar dongkol mendengar dia ikut-ikutan memanggilku Princess, panggilan sayang keluarga Amerikaku yang tidak bisa melafalkan namaku dengan benar.
‘Ayo, Princess!’ ajak Tim lagi. Tiba-tiba angin berhembus dari utara. Brrrr…. dinginnya. Terpaksa kuturuti ajakan Tim, meloncat naik ke dalam truknya dan duduk di sampingnya.
Selama perjalanan, aku diam bak patung Rara Jonggrang. Dingin dan angkuh. Semua perkataan Tim, Steve yang menimpalinya. Tak sekalipun aku menyumbang suara. Steve pula yang bercerita kalau kami baru saja pulang dari Sled Riding di bukit di belakang sekolah dan pulangnya ingin mengukur kekuatan dengan berjalan kaki…. dan ternyata tidak kuat.
‘Kamu bisa bermain sled, Princess?’ tanya Tim. Kudiamkan.
‘Oh, dia mahir,’ Steve yang menjawab. Aku tahu Steve merasa tidak enak mendengar pertanyaan Tim hilang ditelan keheningan.
‘Kalian ikut main ski di Crystal Mountain tanggal 12 yang akan datang?’ tanya Tim beberapa saat kemudian.
‘Ya,’ jawab Steve mantap. ‘Kamu ikut?’ sambung Steve dengan pertanyaan. Tim mengangguk sambil tersenyum. Aku berdoa agar cepat sampai di rumah sehingga tidak harus mengunci mulut macam ini.
Begitu sampai di depan halaman rumah, aku segera turun dan berlari meninggalkan Tim. Aku yakin Steve akan mengucapkan terima kasih untuk kami berdua, jadi aku tidak perlu mengucapkannya.
‘See you, Princess!’ teriakan Tim terdengar sebelum aku menghilang di balik pintu garasi. Sepatu boot kulepas di depan pintu dapur. Mom bisa histeris kalau aku masuk dapur dengan sepatu itu. Lantai dapur kami selalu dalam kondisi mengkilat tanpa noda.
‘Astaga, Princess, ada apa denganmu?’ seru Steve yang telah menyusulku sambil meletakkan sled di sudut garasi. ‘Kamu tidak mendadak menjadi bisu kan?’
‘Steve, kamu tahu jawabnya dengan pasti,’ sahutku sambil masuk ke dapur. Mom dan Robby yang ada di dapur menoleh ke arahku.
‘Hello, sudah pulang?’ tegur mereka serentak.
‘Ya,’ jawabku sambil melepas topi dan kaus tangan. Kugerak-gerakkan badanku untuk menghilangkan dinginnya udara luar.
‘Cepat mandi air hangat. Kalian terlalu lama bermain di luar,’ perintah Mom. Cepat-cepat aku berlari ke lantai atas untuk mandi.
♥
Kembali ke dapur kujumpai Robby tengah menggunting kertas merah muda menjadi guntingan-guntingan berbentuk hati. Begitu melihatku Robby langsung beranjak dari kursinya dan mengambil segelas cokelat susu panas lengkap dengan marshmallow. Gelas itu lalu diulurkannna kepadaku.
‘Untukmu, Princess,’ ucapnya. Aku heran.
‘Kok tumben? Kamu membuatku curiga, Rob. Biasanya kamu tidak semanis ini,’ komentarku.
‘Pasti ada apa-apanya,’ tebak Mom. Rob tersenyum dan dari senyuman itu aku tahu kalau tebakan Mom tepat.
‘Rob, aku mau juga segelas,’ kata Steve yang tiba-tiba muncul di dapur.
‘Buat sendiri,’ sahut Robby acuh. Steve tertawa keras, kemudian berjalan mendekati Robby dan meninju punggungya. Terpaksa dia harus membuat sendiri minuman yang diinginkannya.
‘Kamu bikin apa, Rob?’ tanyaku sambil duduk di dekat Robby dan mengambil salah satu hati kertasnya.
‘Kartu Valentine,’ jawab Robby sambil mengulurkan selembar kertas degan tulisan tangannya
‘Apa ini?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu tahu tulisanku jelek dan sulit dibaca, Princess. Sementara tulisan tanganmu sangat indah. Aku ingin mengirim kartu ini untuk gadis yang sangat istimewa. Aku tidak ingin dia tahu kalau tulisanku kacau. Aku minta tolong kamu untuk menuliskan kata-kataku ini,’ Robby menjelaskan. Mom dan Steve tergelak mendengar kata-kata Robby. Robby tetap menjaga sikap kalemnya seakan tidak mendengar gelak tawa ibu dan kakaknya.
‘Jadi ini nih upah membuatkan coklat susu tadi?’ tanyaku.
‘Ya, you can put it that way,’ sahut Robby tanpa sungkan-sungkan. Karena coklat susu sudah terlanjur kuminum, maka tidak ada jalan lain kecuali memenuhi permintaan Robby. Kusalin tulisan tangan Robby yang persis cakar ayam ke atas kertas merah mudanya. Kata-kata cinta Robby untuk gadis istimewanya benar-benar puitis. Lebih puitis dari lagu-lagunya Sheila on 7. Barangkali Robby mendapatkan kata-kata itu dari internet. Rasa-rasanya mustahil, Robby yang umurnya belum genap sebelas tahun bisa menuliskan kata-kata yang begitu cantik. Mau juga aku menerima kata-kata cinta seperti ini dari seorang pemuda. Biarpun pemuda itu mengambil kata-kata orang lain di internet.
‘Princess,’ panggil Mom begitu aku menyelesaikan tulisanku. ‘Kamu sudah menemukan Valentine-mu?’
‘Sudah!’ jawab Steve cepat. Kupelototi dia, tapi dia malah senyam-senyum kayak monyet dilemparin kacang rebus.
‘Siapa?’ tanya Mom dan Robby antusias.
‘Nggak marah kalau kukatakan kepada mereka?’ Steve meminta persetujuanku.
‘Steve, jangan mengada-ada,’ ancamku
‘Aku tidak mengada-ada. Apa yang mengantar kita tadi bukan Valentine-mu? Kalau bukan mengapa duduk di sampingnya saja membuatmu bisu?’ oceh Steve. Aku benar-benar gondok mendengar argumentasi Steve. Teganya dia menuduhku seperti itu. Kuambil spidol-spidol Robby dan kulemparkan ke arahnya. Dalam kesibukannya melindungi wajahnya dari spidol-spidol terbang itu, Steve masih sempat tertawa gelak. Uggh… menyebalkan!!!
♥
Tanggal sebelas Februari pagi, rombongan kami meninggalkan halaman parkir sekolah menuju ke Crystal Mountain, yang letaknya tidak jauh dari kawasan Mount Rainier National Park. Rombongan kami terdiri dari dua puluh delapan anak yang tergabung di dalam ski club dan dua guru pengawas yang kesemuanya mahir bermain ski (kecuali aku tentu saja). Kami akan mengadakan kegiatan ski di sana selama dua hari. Tanggal 13 sore kami akan pulang sehingga kami bisa merayakan Valentine’s Day di rumah. Namun, rencana tinggal rencana.
Dua hari pertama kami bisa melakukan kegiatan ski dengan baik. Udara bear-benar indah, dengan matahari yang bersinar cemerlang. Tetapi di hari ketiga, cuaca berubah drastis. Sejak dini hari salju turun dengan lebatnya, sesekali disela dengan hujan deras. Mulai jam enam pagi terjadilah badai salju yang seakan tidak pernah mau berhenti. Angin menderu-deru, menggoyang-goyangkan pohon besar ke sana ke mari. Kami tidak bisa keluar dan terkurung di penginapan kami. Dari televisi kami mendengar berita bahwa sebagian besar jalan di Negara Bagian Washington ditutup. Apalagi jalan menuju ke puncak-puncak pegunungan seperti ke Crystal Mountain ini. Tidak mungkin bagi kami untuk pulang ke Seattle. Lagi pula bis yang kami tumpangi telah terkubur salju di halaman parker penginapan.
‘Seharusnya salju tidak turun begini lebat di bulan Februari,’ kudengar sebuah komentar di belakangku. Saat itu aku sedang berdiri di depan jendela kaca sambil memperhatikan salju yang berputar-putar dipermainkan angin. Aku menoleh. Tim ada di belakangku ikut menyaksikan apa yang aku saksikan.
‘Kamu sudah menelpon keluargamua kalau kamu tidak bisa pulang hari ini?’ tanya Tim penuh perhatian. Aku bisa saja membiarkan pertanyaannya tidak terjawab. Tapi entah mengapa aku tidak tega untuk melakukannya.
‘Steve telah menelp0n tadi,’ jawabku. Tiba-tiba Tim mengembangkan senyumnya.
‘Kamu tahu, Princess, itu tadi kalimat pertama yang kamu ucapkan kepadaku,’ kata Tim dengan senyuman yang masih berkembang di bibirnya. Aku terdiam. ‘Aku tidak pernah mengerti mengapa kamu tidak pernah mau bicara kepadaku. Semua anak di sekolah mengatakan kalau kamu ramah dan banyak omong. Ratusan kali aku memancingmu untuk berbicara, tapi kamu seakan tidak mau tahu. Ada apa sebenarnya?’
Kupandang dia sejenak. Jadi kamu tidak tahu kalau aku membencimu? Kamu tidak tahu kalau kamu dulu pernah menyinggung perasaanku? Tapi semua itu hanya kubatin, tidak kuucapkan.
‘Tidak ada apa-apa,’ jawabku.
‘Kalau tidak ada apa-apa mengapa kamu tidak pernah mau bicara atau menjawab pertanyaanku?’ kejar Tim tidak puas. Untung saat itu Michelle dan Debby memanggilku untuk bergabung bersama mereka main monopoly, sehingga aku terhindar dari keajiban untuk menjawab pertanyaan Tim.
‘Sebentar, Princess,” ucap Tim menghadangku.
‘Apakah … apakah?’ Tim kelihatan ragu untuk melanjutkan. ‘Apakah kata-kataku di hari pertamamu di sekolah dulu sangat menyakitkan hatimu?’ akhirnya mampu juga dia meneruskan kalimatnya. Jantungku berhenti berdetak. Na……., akhirnya kamu tahu juga.
‘Ya, pasti itu sebabnya,’ gumam Tim. “Princess, maafkan aku. Saat itu aku benar-benar terburu-buru. Guru di homeclassku sangat keras. Telat sedetik pun kami harus minta surat ijin dari administrasi. Aku ingat waktu itu aku bersikap kasar terhadapmu. Maukah kamu memaafkanku, Princess. Please …,” pintanya. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Memaafkan dia?
♥
Puncak dari badai itu terjadi di malam hari. Di saat kami sudah berada di kamar masing-masing seiap dengan mimpi tentang Valentine besok pagi. Di tengah menderunya angin dan berisiknya pohon yang bertumbangan, tiba-tiba aliran listrik di seluruh penginapan terputus, berarti sebentar lagi kami semua akan kedinginan tanpa pemanas listrik.
‘Tetaplah disini, Princess, aku akn mencari lilin sebentar,’ pesan Andrea yang tidur sekamar denganku.
Sekeluar Andrea aku duduk mematung di atas tempat tidurku sambil mendengarkan angin yang menderu mengerikan seakan sanggup untuk menerbangkan semua yang ada di atas bumi ini. Tiba-tiba kudengar suara benda yang sangat berat jatuh dari atap disusul gemerincing suara kaca pecah. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi karena diselilingku hanyalah kepekatan. Tetapi sejenak kemudian aku mulai merasakan lelehan salju menyentuh kulitku. Astaga, yang jatuh tadi ternyata atap. Aku harus segera keluar dari kamar.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Tetapi begitu kakiku menyentuh lantai, secara refleks terangkat lagi. Kakiku terasa nyeri luar biasa. Kusentuh dengan tanganku dan kudapatkan potongan kaca menancap di sana. Pelan-pelan dan sambil menahan rasa sakit, kucabut potongan kaca itu. Untung keadaan kamarku gelap gulita, sehingga aku tidak bisa melihat darah yang mungkin mengalir dari telapak kakiku. Kalau tidak, bisa pingsan aku.
‘Princess! Princess!! tiba-tiba kudengar teriakan-teriakkan memanggil namaku. Juga kulihat sinar-sinar lampu senter yang menyorot kesana kemari. Dan akhirnya singgah di wajahku.
‘Oh, my God!’ kudengar sebuah seruan yang aku yakin berasal dari Tim. Kejadian yang berlangsung sesudahnya sangat cepat. Tim melepas T-shirt yang dikenakannya untuk membungkus kakiku yang ternyata sudah penuh dengan darah. Kemudian dia dan Steve membawaku ke lobby dimana semua temanku berkumpul di sekitar tungku api. Mereka semua lantas mengerumuniku dan memberondongiku dengan pertanyaan apakah aku tidak apa-apa, sementara Mr Toda dan Miss Morris mengganti T-shirt Tim dengan perban.
Sesudah lukaku bersih, Joe, si manager malam hotel, memberiku segelas kecil anggur untuk menenangkanku dan sebuah kamar di lantai dasar dengan pemanas api yang menyala hangat. Entah karena pengaruh anggur, malam itu aku bisa tidur nyenyak sementara kawan-kawanku terpaksa tidur di lantai lobby di sekitar tungku api. Bukan salahku jika aku harus terkena pecahan kaca.
♥
Pagi harinya cuaca kembali seperti semula. Cerah dan tenang. Badai telah berlalu. Yang ada sekarang hanyalah nyanyian burung yang bercanda di bawah sinar matahari.
Ketika keluar dari kamarku dengan kaki yang masih agak pincang, aku disambut dengan ciuman-ciuman dan ucapan ‘happy valentine’ dari mereka-mereka yang semalam tidur di lantai tapi kini toh mereka mempunyai wajah yang cerah. Wajah cinta. Wajah Valentine. Tetapi aku tidak menjumpai satu wajah di sana. Dimana dia?
‘Siapa yang kamu cari?’ tanya Steve.
‘Valentine-ku,’ sahutku.
‘Aku disini …,’ tiba-tiba Tim telah berdiri di depan pintu dengan bungkusan berbentuk hati berwarna merah muda dengan pita berwarna merah menyala di tangannya. Aku tidak tahu bagaimana warna mukaku saat itu. Malu bercampur senang. Tim kemudian berjalan mendekatiku. Diulurkan bungkusan yang dibawanya itu kepadaku.
‘Be my Valentine,’ ucapnya lirih tapi pasti. Memang ucapannya itu tidak sepuitis ucapan Robby kepada gadis istimewanya, tapi bagiku ucapan itu tidak kalah indahnya. Dan ketika Tim memberiku ciuman di pipiku, aku tahu aku telah menemukan Valentine-ku.
Happy Valentine, everybody.
Posted in Short Stories
Tags: Jadilah Valentine-ku, Laily Lanisy, Novelette, Stories, Valentine