“Bu Kar dan Bung Aznen Yang Terhormat …”
Posted by Laily Lanisy
Belum pernah aku merasa begitu khawatir akan umurku seperti sekarang ini. Setiap hari matahari datang dan pergi tanpa meninggalkan pengaruh bagiku. Tahun demi tahun berlalu tanpa sekalipun aku merasa terancam. Setiap tanggal 9 April dengan gembira kurayakan pertambahan umurku. Aku selalu merasa muda. Juga ketika umurku berubah dari 29 menjadi 30 pada tanggal 9 April lalu. Mungkin sampai saat ini aku masih merasa belum perlu khawatir kalau saja Riris, teman kantorku tidak merencanakan perkawinannya.
Ketika Riris mengatakan kalau dia dan Joko akan menikah, aku menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Mereka sudah enam tahun berpacaran. Tetapi beberapa jam kemudian aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Bukan pada Riris atau Joko, tetapi pada diriku sendiri.
Aku sadar bahwa semua temanku sudah pada kawin, sudah mempunyai keluarga sendiri. Bahkan sudah sejak bertahun-tahun yang lalu. Nita teman SMU-ku anaknya sudah tiga. Yani, karibku waktu mahasiswa, anak sulungnya sudah masuk SD.
Semakin aku menoleh ke belakang, semakin nyata kalau semua orang yang dekat denganku sudah kawin. Tinggal aku sendiri yang belum. Mending kalau aku sudah merencanakannya seperti Riris. Tapi masalahnya, pacar pun aku tidak punya. Nah, memang benar ‘kan kalau ada sesuatu yang tidak beres pada diriku? Tapi apa?
Aku memang tidak secantik Bunga Citra Lestari. Tapi aku tidak jelek. Orang bilang mataku indah dan hidungku bagus. Tinggiku sedang dan tubuhku proporsional. Dengan IQ 138, aku tergolong cerdas. Aku supel dalam pergaulan sehingga aku bisa diangkat sebagai Manajer Pemasaran pada sebuah perusahaan multinasional. Teman wanitaku banyak. Teman priaku tidak kalah banyak. Hanya sayang tidak seorang pun dari mereka yang merasa cukup dekat denganku untuk melamarku menjadi istri.
Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, pikiran itu begitu menggangguku. Aku yakin ada yang salah dengan diriku. Tapi apa aku tidak tahu. Aku membutuhkan bantuan seorang psikolog. Barangkali.. Ya, barangkali, Ira, psikolog di Departemen personalia bisa membantuku untuk menemukan jawabannya.
Aku tengah memasukkan data ke dalam komputerku, ketika telepon di meja kerjaku berteriak-teriak minta diangkat. Meja kerjaku dengan meja kumputer sengaja aku pisahkan agar tidak setiap saat mataku menatap layar. Kudiamkan saja dengan harapan akan berhenti dengan sendirinya. Ternyata tidak. Krang kring itu masih juga berlanjut hingga semua ujung syarafku berdiri tegang. Terpaksa kutinggalkan komputerku untuk meladeni penelpon yang bawel itu.
‘Selamat siang, Lely di sini.’ Sedongkol-dongkolnya hatiku, ternyata aku masih bisa ramah juga.
‘Buset, Lel, kok lama banget baru diangkat?’ terdengar gerutuan dari seberang. Hanya dua orang di kantor ini yang berani membusetkan aku. General Managerku dan Riris. Dan yang ini jelas suara Riris.
‘Kamu sendiri juga tidak tahu etika,’ sahtku ringan. ‘Kalau lama tidak diangkat letakkan lagi dong. Barangkali saja aku sedang ke toilet.’
Riris tertawa gelak, ‘Aku tahu dengan pasti kalau kamu ada di kamarmu, Lel. Sebelum aku menelpon kusuruh Lusi untuk mengintip ke kamarmu,’ jawab Riris setelah tawanya reda.
‘Ada keperluan apa sih pakai nyuruh orang ngintip segala?’
‘Ini sudah hampir jam dua, Lel. Tidak lapar?’ jawab Riris. Tentu saja dia benar. Kalau kami berdua sedang berada di kantor, kami selalu makan siang bersama di kantin.
‘Sorry, Ris,’ aku mengaku salah. “Sebentar lagi ya? Aku lagi nanggung nih. Sepuluh menit lagi aku ke kamarmu,’ janjiku.
‘Oke, kutunggu kamu sepuluh menit lagi. Jangan lebih. Bisa pingsan aku,’ pesan Riris sebelum menmutuskan hubungan.
Cepat-cepat aku kembali ke komputerku. Beberapa data yang tersisa segera kuinput, untuk mendapatkan analisa kotor. Tepat sepuluh menit kemudian aku sudah berdiri di depan kamar kerja Riris. Dari luar aku bisa mendengar tawa Riris yang nyaring. Bukan tawa orang yang hampir pingsan karena kelaparan.
Masuk ke dalam, aku melihat Riris dan Lusi, sekretarisnya, sedang menghadapi sebuah edisi majalah Femina.
‘Ini kantor atau perpustakaan?’ tanyaku dengan suara yang kubuat seserius mungkin. ‘Perempuan tertawa ngakak. Terdengar si Elang bisa-bisa kalian kena PHK,’ sambungku sambil menyebut nama General Manager kami.
‘Dengar ini, Lel,’ kata Riris tidak menanggapi omonganku. ‘Seorang ibu mengirim surat ke Bu Kar. Dia bilang anak perempuannya yang selama ini merupakan kambing hitam di keluarga, setelah kawin dan punya rumah sendiri jarang mengunjungi ibunya. Padahal si ibu yang menjodohkan mereka dulu. Si anak merasa lebih bebas dan lebih bahagia daripada dulu. Kini si ibu merasa kecewa karena telah menjodohkan anaknya,’ lanjut Riris. Setelah terdiam beberapa detik dia menambahkan. “Lusi, bilang jangan-jangan yang mengirim surat itu ibu Lusi,’ Riris tertawa. Lusi nyengir lucu.
Aku terpana. Sebuah kesadaran menghantam tepat di otak kecilku. Ibu itu mempunyai masalah yang mengganggunya sehingga dia menulis surat kepada Bu Kar. Aku juga sedang mempunyai masalah. Masalah itu juga menggangguku. Mengapa tidak kubawa masalahku ke Bu Kar dan Bung Aznen? Menghadapi Ira yang psikolog dan teman kerjaku sendiri, agak sungkan dan mungkin akan menyiksaku.
Ternyata menulis surat buat Bu Kar lebih sulit daripada menulis cerpen atau membuat laporan tahunan bagi para pemegang saham. Berhari-hari lamanya hanya satu kalimat yang berhasil kutulis. “Bu Kar dan Bung Aznen yang terhormat”. Tidak lebih.
Pernah aku menambahkan seperti ini.
Bu Kar dan Bung Aznen yang terhormat,
Saya seorang gadis Jawa, 30 tahun, manajer pemasaran pada sebuah perusahaan asing, tinggi 161, berat 48, kulit kuning, mata indah, hidung bagus. Berpenampilan menarik. Mendambakan…
Tetapi segera kusobek. Surat seperti ini lebih cocok untuk Kontak jodohnya Kompas daripada rubrik Dari Hati ke Hati.
Pernah pula aku menulisnya dengan lebih hati-hati. Lebih serius dan lebih terinci. Tetapi setelah selesai dan kubaca ulang, aku sadar kalau orang yang kugambarkan di surat itu adalah tokoh fiktif, bukan diriku sendiri. Kuulangi lagi dari awal, tetapi hasilnya masih belum diriku. Begitu terus. Akhirnya Cuma kembali ke Bu Kar dan Bung Aznen yang terhormat.
Sejak aku berniat menulis surat buat Bu Kar dan Bung Aznen, aku selalu meninggalkan kantor sesudah jam tujuh malam. Sesudah jam lima sore, saat jam kerja usai, aku akan segera mengambil flashdisk-ku dan mulai menyusun surat keluhanku.
Sesudah hari kesepuluh dan hampir setengah boks kertas masuk ke keranjang sampah, baru suratku yang berisi curahan hati yang kurasa tidak cengeng berhasil kutulis. Karena waktu itu sudah agak larut, sehabis kucetak segera saja kumatikan komputerku. Tanpa sempat mengambil suratku dari printer, bergegas kukunci kamar kerjaku dan kutinggalkan kantor. Pikirku toh tidak ada seorang pun yang berani mengotak-atik kamarku.
Ternyata aku salah perhitungan. Esok paginya, sesampai di kantor, kulihat kamar kerjaku terbuka. Dan hampir saja aku pingsan ketika melihat suratku buat Bu Kar dan Bung Aznen sudah terletak dengan rapi di atas meja kerjaku dan di sampingnya ada lagi sebuah surat yang lain. Surat balasan!! Dengan kemarahan setinggi Empire Building, kubaca surat tersebut. Begini bunyinya.
Anakku Lely,
Bu Kar dan Bung Aznen sudah mempelajari masalahmu dengan matang. Jawabannya cukup mudah. Hentikan memikirkan dirimu sendiri. Buka matamu lebar-lebar. Ada seseorang yang ingin menjadikanmu sebagai istrinya. Dia begitu dekat. Tetapi karena kamu terlalu memikirkan dirimu sendiri dengan persyaratan-persyaratan yang tidak masuk akal, maka kamu tidak bisa melihatnya dengan jelas. Buka mata hatimu, kamu akan mengetahui siapa dia.
Salam,
Bu Kar dan Bung Aznen.
‘Mbak Harti!’ teriakku lantang begitu surat tersebut selesai kubaca. Mbak Harti, sekretarisku datang dengan tergesa-gesa. Belum lagi dia berhenti, sudah kuberondong dia dengan pertanyaan.
‘Mbak Harti, siapa tadi yang membuka kamar saya? Siapa saja yang masuk ke sini dan menggunakan komputer saya? Siapa …’ aku berhenti ketika melihat mbak Harti memandangku bingung.
‘Waktu saya datang pintu kamar Mbak sudah sudah terbuka, saya pikir mbak datang lebih dulu. Dan dari tadi saya tidak meihat ada orang yang masuk ke kamar mbak. Kenapa, Mbak? Ada data yang hilang?’ tanya mbak Harti khawatir. Kugelengkan kepalaku sambil mencoba mengingat-ingat apakah aku kemarin lupa mengunci pintu. Tetapi rasanya mustahil. Lalu siapa yang membuka kamarku? Siapa yang telah membaca suratku buat Bu Kar dan Bung Aznen dan menulis surat balasan yang kurang ajar itu?
Hanya aku, mbak Harti dan Karlan, Office Buy kami yang punya kunci pintu kamarku. Dan aku yakin mbak Harti dan Karlan tidak akan berani berbuat sekurangajar itu kepadaku. Jangan-jangan sewaktu membersihkan kamar kerjaku tadi pagi, Karlan lupa menguncinya kembali dan orang lain masuk ke kamarku. Tapi siapa?
‘Mbak Harti, tolong dong panggil Karlan,’ ucapku pelan.
Begitu aku selesai meminta tolong keoada mbak Harti, teleponku berdering. Erlangga, General Manageku. Dia meminta aku segera menemui dia di kantornya. Kalau dia bilang segera, itu berarti benar-benar segera. Dia tidak mau menunggu. Terpaksa urusan pribadiku kutunda.
‘Mbak Harti, saya ke kantor GM dulu. Kalau Karlan datang, suruh dia menunggu sebentar,’ pesanku sambil berlari.
Erlangga Waskita atau si Elang sedang berbicara di telepon ketika aku tiba di depan pintu kamarnya yang terbuka. Dia memberiku tanda untuk masuk dan duduk di depannya. Sementara dia meneruskan pembicaraan teleponnya, aku duduk di depannya dan merasa beruntung mempunyai kesempatan untuk mengamati dirinya dari dekat.
Garis-garis wajahnya adalah garis-garis wajah tipikal orang yang mempunyai kemauan keras, galak, angkuh dan agak dingin. Persis dengan seekor elang. Untung matanya yang kelam selalu bersinar hangat, Dan kalau dia mau tersenyum kerut-kerut di sekeliling bibir dan matanya akan bertambah dalam dan kesan angkuh dan dinginnya sama sekali tidak tampak. Pada umurnya yang hampir empat puluh, Erlangga nampak masih belia. Aku tidak bisa melihat sehelai rambut kelabu pun di rambutnya yang hitam
‘Oke, Lel, bagaimana menurut pendapatmu?’ tanya Erlangga memecah konsentrasiku. Aku tidak tahu sejak kapan dia menghentikan pembicaraan telponnya.
‘Tentang apa?’ tanyaku gelagapan.
‘Tentang aku. Apakah menurutmu aku tergolong ganteng?’ sahutnya ringan. Jadi rupanya di sadar juga kalau aku tengah menilai dirinya. Untuk menutupi rasa maluku aku tertawa.
‘Ya lumayanlah,’ selorohku.
‘Hanya lumayan Hmm..?’ gumam Erlangga dengan senyum di sudut bibirnya. Tapi hanya sedetik. Sedetik kemudian dia sudah kembali angker dan serius.
Dengan singkat dia memberitahu aku bahwa beberapa direksi dari Kantor Pusat dan para manajer pemasaran dari negara-negara Asia Pasifik hari ini tiba di Indonesia dan langsung menuju ke pabrik kami di Surabaya. Erlangga menginginkan agar aku pergi bersamanya ke Surabaya hari ini.
‘Kenapa mendadak?’ tanyaku heran. Baru kali ini orang-orang kantor pusat dan orang-orang penting dari Asia Pasifik datang tanpa gembar-gembor terlebih dahulu.
‘Strategi pemasaran kita untuk bulan depan bocor. Saingan kita, Wheelco, mulai menggunakan strategi yang sama dua hari yang lalu. Kita harus merombak total strategi kita. Ada kemungkinan proposalmu yang tadinya ditolak akan dipakai, asal kamu bisa meyakinkan mereka,’ kata Erlangga. Matanya yang kelam bersinar. Walau sekejap, aku sempat menangkap ada kekaguman dan harapan dalam mata kelam itu.
‘Lalu kapan kita akan berangkat ke Surabaya?’ tanyaku. Adanya kemungkinan bagiku untuk mempertahankan proposal benar-benar membuatku bersemangat.
‘Secepat kamu bisa mempersiapkan bahan presentasi dan perlengkapanmu,’ ucapnya. ‘Kita mungkin harus tinggal di Surabaya untuk dua atau tiga hari,’
‘Oke beri saya waktu dua jam. Saya harus mempersiapkan data terkini dan minta sopir ibu saya untuk mengantar koper dari rumah,’ janjiku.
Kembali ke kamar kerjaku, mbak Harti melaorkan bahwa Karlan hari ini tidak masuk. Laporan yang seharusnya membuatku semakin bingung lagi. Tapi karena ada hal yang lebih penting di kepalaku, aku tidak begitu menanggapinya. Dalam saat-saat seperti ini, aku beranggapan bahwa karierku jauh lebih penting daripada kehidupan asmaraku. Aku tidak peduli kalau aku satu-satunya wanita yang belum kawin. Aku tidak peduli ada orang Aung usil dan mengetahui bahwa sesungguhnya aku kesepian. Sebagai gantinya aku meminta tolong mbak Harti untuk membantuku mempersiapkan bahan presentasi yang harus aku bawa ke Surabaya.
Aku dan Erlangga tiba di Bandara Soetta agak awal. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum penumpang dipersilakan naik ke pesawat. Kesempatan yang ada kugunakan untuk membuka-buka kembali proposal strategi pemasaranku. Aku tidak ingin kedodoran dalam rapat nanti.
Erlangga duduk di sampingku di ruang tunggu eksekutif. Kakinya yang panjang dia selonjorkan ke depan dan bahunya bersandar dengan santai. Matanya mengawasi dengan penuh perhatian ke orang-orang yang ada di ruang tunggu tersebut. Jarang aku melihat dia dalam keadaan santai seperti itu. Biasanya dia selalu serius. Tak peduli dimana pun dia berada, dia tidak bisa duduk dengan diam.
Beberapa menit berlalu. Erlangga berdiri. Menggerak-gerakkan badannya sebentar kemudian melangkah meninggalkanku. Aku tidak tahu berapa lama dia pergi, tahu-tahu dia sudah kembali dengan membawa dua teh botol di tangannya. Yang satu dia ulurkan ke arahku.
‘Terima kasih,’ ucapku sambil memindahkan perhatianku dari dokumen yang ada di pangkuanku.
‘Kamu benar-benar ingin proposalmu yang dipakai ya?’ komentarnya. Aku mengangguk dengan pasti. Dengan Erlangga aku tidak harus malu untuk menunjukkan ambisiku. Ambisi, kata yang kadang dianggap berkonotasi negatif. Tapi bukan oleh Erlangga. Dia tahu dengan pasti aku sudah mencurahkan semua pengetahuan dan keringatku untuk menyusun proposal strategi pemasaran itu.
Sekali lagi Erlangga tersenyum misterius dan kembali duduk di sampingku. Sesudah berdiam diri beberapa saat, Erlangga mendehem. Kututup lagi proposalku dan memandang dia.
‘Lel, boleh aku menanyakan sesuatu?’ ucapnya ragu.
‘Silakan,’
‘Siapa sih Bu Kar dan Bung Aznen itu?’ tanyanya. Dia mengeluarkan pertanyaan itu dengan pelan. Tapi efeknya pada diriku benar-benar hebat. Aku membelalak tidak percaya. Jantungku seakan terbang meninggalkan dadaku.
‘Jadi kamu yang membaca suratku!’ tuduhku dengan kemarahan penuh. Aku tidak tahu bagaimana warna wajahku saat itu. Hanya aku yakin semua darahku naik ke kepala.
‘Tidak dengan sengaja,’ ucap Erlangga seenaknya.
‘Tidak dengan sengaja?’ jeritku.
‘Ayo dong, Lel, jangan teriak-teriak,’ bujuk Erlangga. ‘Surat itu tidak berada di dalam amplop, jadi kukira boleh dibaca oleh semua orang,’ dalihnya.
‘Tapi surat itu ada di dalam kamarku. Dan semua yang ada di dalam kamarku adalah rahasia. Lagi pula untuk apa kamu blusukan ke kamarku?’
‘Dengar baik-baik,’ kata Erlangga dengan nada perintah seorang boss kepada bawahannya. ‘Tadi malam aku menerima telepon dari New York tentang rapat darurat ini. Aku membutuhkan proposalmu. Kutelpon HP-mu tidak aktif. Kutelpon ke rumahmu kamu belum pulang. Aku langsung balik ke kantor. Aku pinjam kunci dari Karlan, masuk ke kamarmu dan mulai menggunakan komputermu. Ketika aku mau mencetak proposalmu, aku melihat suratmu itu masih ada di printer. Maaf, seharusnya aku memang tidak membacanya.’ Kalimat terakhir dia ucapkan dengan tulus.
‘Aku juga teledor,‘ gumamku. Setengah untuk diriku sendiri dan setengahnya untuk Erlangga. ‘Tapi kamu tidak perlu membuat komentar konyol dan menyakitkan seperti itu,’ lanjutku buru-buru.
‘Aku hanya berusaha untuk membantumu,’
‘Oh, ya?’ dengusku tidak percaya.
‘Selama ini aku mengenalmu sebagai orang yang tidak membutuhkan orang lain,’ Erlangga meneruskan tanpa mengindahkan komentarku. ‘Kamu tahu apa yang kamu inginkan dan kamu tahu bagaimana cara mendapatkannya. Bukan kebiasaanmu untuk meminta bantuan orang lain bila menemui kesulitan. Jadi kalau kamu sampai menulis surat seperti itu, aku menyimpulkan kalau kamu benar-benar membutuhkan bantuan. Nah, aku berniat untuk membantumu.’
‘Dengan merasa iba dan membuat lelucon seperti itu?’
‘Demi Tuhan, Lel, itu bukan lelucon,’ potong Erlangga tajam. ‘Dan tentang iba .. Aku sama sekali tidak kasihan kepadamu. Kalau ada yang harus aku kasihani, itu bukan dirimu. Melainkan pria-pria di sekelilingmu yang selalu merasa yakin kamu tahu apa yang mereka inginkan. Yang merasa tahu kamu menyadari perasaan mereka. Aduh, Lel, sebegitu tololnyakah kamu sehingga kamu tidak tahu kalau cinta itu tidak harus diomongkan, tapi cukup ditunjukkan dengan tingkah laku nyata?’ Sebenarnya Erlangga masih ingin meneruskan pidatonya, untung panggilan untuk menaiki pesawat keburu terdengar. Cepat-cepat kukemasi kertas-kertasku dan kumasukkan ke dalam tas jinjingku.
Selama penerbangan ke Surabaya aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak memulai percakapan dengan Erlangga. Aku takut percakapan itu nanti akan kembali ke masalah surat yang ingin kukirim buat Bu Kar dan Bung Aznen. Dan kalau itu terjadi, aku yakin aku tidak akan bisa mengendalikan emosiku.
Aku berusaha memusatkan pikiranku pada rapat yang akan datang. Mencoba membayangkan situasinya dan kata-kata yang ingin kukemukakan. Tetapi karena Erlangga duduk begitu dekat dan memperhatikan semua gerak-gerikku, hal itu benar-benar sulit. Akhirnya aku menyerah.
‘Kalau kamu begitu pandai membaca orang, mengapa sampai setua ini kamu juga belum kawin?’ serangku tiba-tiba. Kalau aku mengharapkan dia kehilangan keseimbangan, aku salah besar. Erlangga justru tertawa senang mendengar pertanyaanku, Kembali aku merasa dibodohkan.
‘Jadi menurutmu aku sudah begitu tua, ya?’ rajuknya.
‘Bukan itu pertanyaan saya?’
‘Kalau kamu benar-benar ingin tahu jawabannya, Lel,’ ucapnya. ‘aku telah jatuh cinta pada wanita yang tidak tahu bahwa aku sangat mencintainya. Dia sama sekali tidak mempunyai gambaran. Sama sekali,’
Aku tahu dia cuma bermaksud untuk menggodaku dengan pernyataan seperti itu. Tapi aku tidak mau kalah dengan mudah.
‘Kalau dia tidak tahu kalau kamu mencintainya, mengapa tidak kamu beritahu dia?’
‘Terus terang aku takut dia akan menolakku. Persyaratan-persyaratan yang dia ajukan benar-benar tidak masuk akal,’ jawab Erlangga, persis kata-kata yang dia tulis untukku. Kini aku benar-benar bernafsu untuk melecehkannya.
‘Dalam posisimu sebagai general manager, aku tidak percaya kamu tidak berani mengambil resiko,’
‘Aku menunggu saat yang tepat, Lel. Menunggu saat yang tepat,’ gumam Erlangga sambil memejamkan matanya.
Rapat hari itu berjalan dengan alot. Banyak ide baru yang dilontarkan, tapi langsung dibantai dengan sadis. Semua saling beradu kepintaran, beradu pengalaman dan beradu argumentasi. Suara melengking tinggi, dianggap lumrah. Juga gebrakan meja. Dinginnya AC sama sekali tidak mampu untuk mendinginkan kepala.
Ketika giliranku untuk membawakan proposalku tiba, aku tahu aku bakal diserang habis-habisan. Aku sadar aku berada di tengah-tengah dunia yang didominasi pria. Kenyataan bahwa aku wanita semakin membangkitkan ego kelakian mereka. Komentar-komentar sinis, sanggahan-sanggahan keras harus aku hadapi dengan kepala dingin.
Selama aku mempertahankan proposalku dari serangan para manager pemasaran negara lain, Erlangga duduk dengan tenang dan memperhatikan aku dari jauh. Baru kalau aku benar-benar tersudut, dia akan membantuku dengan argumentasi-argumentasinya.
Aku benar-benar lega ketika menjelang rapat ditutup, ide dasar dari proposalku bisa diterima oleh peserta rapat. Besok tinggal membahas dengan tim kecil untuk pekerjaan rincinya.
Keluar dari ruang sidang baru aku merasakan kelelahan yang luar biasa. Dan sewaktu berada di dalam mobil perusahaan yang membawa kami berdua dari pabrik menuju hotel tangan Erlangga merangkul pundakku, aku menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Aku merasa begitu lelah dan membutuhkan perlindungannya.
‘Melihat ketenangamu waktu menangkis serangan para gurita marketing di dalam rapat tadi, aku tidak bisa mempercayai kalau malam sebelumnya kamu menulis surat seperti itu,’ bisik Erlangga di samping telingaku. Suratku untuk bu Kar tentu maksudnya. Tidak ada nada menghina dalam suaranya.
‘Ada saat-saat tertentu dimana aku sama sekali tidak peduli dengan karierku. Saat-saat dimana aku sangat membutuhkan orang yang mengerti aku. Orang yang mengerti kalau aku tidak sekuat yang orang-orang bayangkan,’ sahutku. Aku tidak peduli apakah sopir kami menguping percakapan kami atau tidak.
‘Saat seperti ini?’ ajuk Erlangga sambil mempererat pelukannya. Entah mengapa aku menganggukkan kepalaku. Barangkali karena kau sudah terlalu capai untuk berdebat.
‘Kalau begitu tidak ada saat yang lebih tepat dari sekarang ini,’ ucap Erlangga. Aku tidak tahu arah dari ucapannya itu. Aku melepaskan diri dari tangannya dan memandang dia dengan heran.
‘Kamu ingat pertanyaanmu yang terakhir di pesawat siang tadi?’ tanyanya. ‘Kamu bertanya mengapa aku tidak mau mengambil resiko dan melamar gadis yang kucintai. Dan kujawab, ‘Aku menunggu saat yang tepat, Lel’ Ingat?’ tanya Erlangga. Setelah mengambil nafas dalam dia melanjutkan. “Kurasa sekarang adalah saat yang sangat tepat. Kamu terlalu capai untuk menolak lamaranku. Ya ‘kan?’
‘Erlangga Waskita, mengapa berbelit-belit? Aapakah kamu sedang mencoba mengatakan sesuatu kepadaku?’ tanyaku tidak sabar.
‘Tentu saja, tolol,’ tukasnya. ‘Aku sedang melamarmu. Aku tidak berani melakukannya selama kamu penuh energi dan merasa tidak membutuhkan orang lain.’
Aku tergelak mendengarkan ocehannya. ‘Elang, aku benar-benar menghargai niatmu untuk membantuku,’ kataku. “Tapi kamu tidak harus mengorbankan dirimu sendiri dengan melamarku seperti itu,’
‘Lely, ternyata kamu lebih buta dari yang kuperkirakan. Ketika aku menulis surat balasan kemarin malam, aku memang mencoba untuk membantumu untuk membuka mata hatimu. Tapi kalau aku melamarmu sekarang, ini untuk kepentinganku sendiri. Sudah terlalu lama aku menunggumu untuk menyadari bahwa aku mempunyai perhatian khusus kepadamu. Menyadari kalau diam-diam aku ingin lebih dari sekedar atasanmu. Terlalu lama aku makan hati mendengar jawabanmu setiap kali ada orang yang menanyakan kapan kamu berniat untuk kawin. Oh, sampai sekarang saya belum butuh suami. Saya lebih suka hidup sendiri. Kamu pikir enak mendengar perkataan seperti itu setiap saat?’
‘Ayo dong, Lang, berhentilah bercanda. Aku lagi capai,’
‘Siapa yang bercanda? Kamu benar-benar tidak masuk akal. Kalau orang menyatakan cintanya melalui isyarat, kamu tidak bisa menangkap artinya. Kalau diucapkan, kamu tidak menganggapnya serius. Bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkanmu?’
‘Jadi kamu serius?’
‘Tentu saja aku serius. Sesampai di hotel nanti, aku ingin kamu menelpon orangtuamu dan membertahukan kepada mereka kalau sekembali kita dari Surabaya aku akan meminangmu dan kita akan segera kawin.’
‘Erlangga kamu benar-benar gila. Kamu mengajak kawin dan sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk berpikir dan mencernanya terlebih dahulu.’
‘Betul. Aku ingin mendengar jawabanmu sekarang. Aku tidak mau menunggu. Apalagi menunggu setelah proposal pemasaranmu diterima dan dilaksanakan. Kamu akan merasa terlalu sukses dan tidak membutuhkan teman hidup lagi,’
‘Kamu salah, Lang. Kesuksesan itu tidak akan berarti bagiku kalau tidak ada orang lain yang ikut menikmatinya.
‘Apakah itu berarti kamu menerima lamaranku?’
“Aku tidak tahu. Berilah aku kesempatan. Paling tidak sampai kita tiba di hotel,’
Malam itu, sesudah menelpon ayah dan bunda di Jakarta dan sebelum tertidur, aku sempat memikirkan tentang Bu Kar dan Bung Aznen. Belum sempat suratku kukirim, aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Terima kasih, Bu Kar. Terima kasih, Bung Aznen.
Posted on March 28, 2014, in Short Stories and tagged Cerpen, Femina, Fiction, Indonesian Fiction, Indonesian Short Story. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0