Blog Archives
Istana Pasir
Posted by Laily Lanisy
Senja telah turun dan menyemburatkan warna merah tembaga pada langit kota Yogya. Jalanan mulai memamerkan kerlap-kerlip lampunya. Sementara angin yang bertiup membawa serta suara adzan Maghrib
Tisa melihat jam yang melilit di pergelangan tangannya. Jam enam kurang seperempat. Sudah waktunya untuk pulang. Tetapi nampaknya dosen muda yang berada di atas mimbar sana masih enggan untuk mengakhiri kuliahnya. Suaranya yang membahana masih juga terdengar. Tisa benar-benar resah. Semakin malam berarti semakin jarang Colt yang melewati kampus.
‘Tisa,’ Numpy yang duduk di belakangnya memanggilnya dengan berbisik. Tisa menoleh. Dengan cepat Numpy mengulurkan kertas yang ada dalam genggamannya.
‘Dari Tegar,’ Numpy menjelaskan. Tisa langsung memasukkan lipatan kertas tersebut ke dalam tasnya. Tanpa membukanya pun dia sudah tahu apa isinya. Setiap ada kuliah sore, Tegar selalu memberinya lipatan kertas semacam itu. Lipatan kertas bertuliskan ‘Tis, kuantar pulang ya?’ Dan setiap ada kuliah sore, Tisa selalu menghindari Tegar.
Begitu Pak Iskandar mengemasi buku-bukunya, Tisa segera menyelinap keluar. Setengah berlari dia menuju ke sayap selatan dan turun di Cemara Tujuh. Dia bernafas lega ketika melihat sebuah Colt kampus yang berhenti di depan Perpustakaan Sarjana Muda.
‘Tamansiswa, mbak?’ tanya Kernet Colt kampus tersebut. Tisa mengangguk sambil mempergegas langkahnya.
‘Duduk di depan saja, mbak. Belakang sudah penuh,’ saran sang kernet ketika melihat Tisa menuju ke pintu belakang. Tisa mengikuti saran tersebut. Baginya, duduk di depan tidak jadi masalah. Yang penting dia bisa segera meninggalkan Gedung Pusat sebelum Tegar melihat dan menyusulnya.
Sang kernet membukakan pintu depan. Dengan sigap Tisa meloncat naik dan duduk di samping sopir. Setelah Tisa duduk dengan rapi, Colt tersebut mulai berjalan dengan lembut. Ketika melewati tempat parkir, Tisa sempat menoleh untuk mencari Tegar dengan matanya. Tegar tidak kelihatan. Tisa menghembuskan nafas panjang dan meluruskan pandangannya ke depan.
‘Tadi Pak Is nerangkan apa, Tis?’ tiba-tiba sopir Colt yang duduk di samping Tisa bertanya. Jantung Tisa melonjak ke kerongkongannya. Dia kaget setengah mati mendengar pertanyaan itu.
‘Kamu?!’ tanyanya tidak percaya. Matanya membulat. Dia hampir pingsan ketika menyadari siapa yang duduk di sampingnya. Ternyata sopir itu adalah Tegar, manusia yang ingin dihindarinya.
‘Ya. Kaget?’ ucap Tegar sambil tersenyum lebar. Dia benar-benar bangga, seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertandingan besar. Sudah lebih dari enam bulan dia berusaha mendekati Tisa, tetapi gadis pendiam itu selalu berhasil melarikan diri darinya. Kini dia berhasil menjeratnya. Tetapi … bahagiakah aku ? Tegar bertanya pada dirinya sendiri. Lihat dia sangat ketakutan. Dia sangat tersiksa berada di dekatmu. Rasa bersalah membuat Tegar bungkam.
Di depan Panti Rapih lampu sinyal di depan Tegar menyala merah. Ada penumpang
yang akan turun. Tegar menepikan Coltnya. Hatinya merasa yakin kalau Tisa juga akan turun di tempat itu. Ternyata Tisa tidak beranjak dari tempatnya. Beban berat di hati Tegar agak berkurang sedikit.
‘Rumahmu di mana, Tis?’ tanya Tegar sambil menjalankan kendaraannya kembali. Bukan sekedar pertanyaan basa-basi. Walaupun sudah lebih dari setahun dia menjadi
kawan kuliah Tisa, tetapi tak ada satu pun yang dia ketahui tentang gadis ini.
‘Tamansiswa,’ jawab Tisa pelan.
‘Sebelah mana?’
‘Guest House Sailendra ke timur. “
‘Kalau pulang kamu selalu naik Colt?’ tanya Tegar persis seperti petugas sensus. Tisa mengangguk.
‘Kenapa kamu tidak pernah mau kuantar?’ akhirnya Tegar mengeluarkan pertanyaan yang sudah berbulan-bulan menggumpal di dadanya. Tisa tidak menyahut.
‘Kamu takut padaku?’ selidik Tegar. Tisa menggeleng.
‘Benci padaku?’ kejar Tegar. Kembali Tisa menggeleng.
‘Lalu?’ Pertanyaan itu tidak terjawab. Susahnya mengajakmu bicara, keluh Tegar dalam hati. Barangkali kalau aku dosen Kamu akan menjawab semua pertanyaanku dengan lancar.
Sesudah itu mereka berdiam diri, Tegar pura-pura sibuk dengan kemudinya. Sekali-kali dia menurunkan penumpang. Di pertigaan Sentul penumpang terakhir turun. Kini satu-satunya penumpang yang masih ada hanyalah Tisa. Sepanjang perjalanan tadi Tegar tidak menaikkan penumpang lain. Sekarang dia bisa melaju sepanjang jalan Tamansiswa tanpa harus menurunkan penumpang.
‘Turunkan aku di depan Guest House.‘ Tisa memecahkan kebisuan di antara mereka. Guest House Sailendra masih beberapa puluh meter lagi.
‘Nanti kuantar masuk ke timur,’ sahut Tegar.
‘Tidak usah. Aku turun di depan Guest House saja,’ tolak Tisa.
‘Sudah tidak ada penumpang lain, jadi aku bebas membel … “
‘Tidak. Aku turun di sini,’ potong Tisa begitu mereka tiba di depan Guest House. Nada suaranya membuat Tegar menuruti permintaannya. Dia menghentikan Coltnya dan menatap Tisa dengan heran. Tisa ingin mengucapkan sesuatu kepada Tegar, tetapi diurungkannya. Dia turun dari Colt dengan hati-hati.
‘Terima kasih,’ ucapnya sebelum menutup pintu.
‘Tis!’ panggil Tegar sebelum Tisa melangkah. Tisa menoleh.
‘Boleh pinjam catatan kuliahmu tadi?’ ucap Tegar ragu. Tisa mengangguk dan mengulurkan buku catatannya lewat jendela.
‘Besok kukembalikan,’ janji Tegar. Tisa mengangguk kemudian mulai melangkah pelan-pelan ke timur. Tegar memperhatikannya hingga hilang ditelan kegelapan malam.
‘Mau di sini terus, boss’ tiba-tiba kernetnya berteriak dari belakang. Tegar tersadar. Dia tertawa dan menjalankan kendaraannya kembali. Tisa tidak lagi berada di sampingnya, tetapi bayangannya masih memenuhi pikiran Tegar.
♣
Tisa merasa tidak enak ketika melihat lampu halaman depan belum dinyalakan. Ini benar-benar di luar adat. Biasanya jam lima sore lampu itu sudah menyala. Hatinya semakin tidak enak ketika mendapatkan pintu rumah terkunci.
‘Pa!’ panggil Tisa sambil menggedor pintu. Tidak terdengar sahutan.
‘Pa, ini Tisa pulang, pa,’ seru Tisa lebih keras. Masih tidak ada sahutan. Tisa baru saja akan memanggil ayahnya sekali lagi ketika mendengar tante Narti, tetangga sebelah memanggil namanya.
‘Tisa,’ panggil tante Narti sambil mendatangi Tisa.
‘Ya, Tante,’ sahut Tisa.
‘Ini kunci rumah tante bawa.’
‘Lho, memangnya Papa ke mana?’ tanya Tisa heran.
‘Tadi dibawa Oom Darma ke Puri Nirmala. Papamu kambuh lagi,’ cerita tante Narti. Tisa terpana. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya, tetapi lehernya tiba-tiba menjadi kering sehingga suara tidak mau keluar. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang ingin tumpah.
Tanpa bersuara Tisa menerima kunci yang diulurkan tante Narti ke arahnya. Kemudian dia membuka pintu dan masuk. Tante Narti menguntit di belakangnya. Karena Tisa tidak berniat menyalakan lampu, maka tante Nartilah yang menekan tombol sehingga ruangan menjadi terang.
Tisa memperhatikan keadaan rumahnya dengan hati yang teriris. Meja yang terbalik. Kursi-kursi yang kehilangan kaki. Vas bunga yang hancur. Ensiklopedia yang berserakan di lantai. Piring-piring porselin antik yang remuk. Keadaan yang dulu hanya dilihatnya dalam filem-filem detektif, kini menimpa kehidupannya.
‘Ya Tuhan, apa salah kami?’ bisik Tisa lirih. Sukar dipercaya bahwa ayahnya yang biasanya lembut dan penuh kasih sekali-sekali bisa berubah sangat buas seperti ini. Ini bukan kali yang pertama ayahnya kehilangan kontrol. Bukan kali yang kedua, ketiga atau keempat. Tapi sudah belasan kali. Dan setiap kali terjadi, Tisa selalu shock.
‘Sudahlah, Tisa. Sekarang sholat dan istirahat dulu. Nanti biar mbok Siyem yang membereskan rumah ini,’ bujuk tante Narti ketika melihat Tisa membungkuk dan mengumpulkan pecahan kaca.
‘Tidak usah, tante. Tisa bisa membereskannya sendiri. Terima kasih atas bantuan tante dan Oom,’ Tisa menolak jasa tante Narti. Sudah terlalu banyak pertolongan mereka untuk kami, pikir Tisa.
Sesudah rumahnya beres, Tisa segera menuju ke Puri Nirmala untuk melihat keadaan ayahnya. Untung rumah sakit itu tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga
Tisa bisa berjalan kaki ke sana.
Sebelum memasuki rumah sakit, Tisa berhenti lama di luar. Setelah merasa yakin kalau dia kuat menghadapi kemungkinan yang paling buruk barulah dia melangkah masuk.
‘Tisa!’ seru dokter Sayekti ketika kedatangan Tisa. Dokter wanita inilah yang biasa merawat pak Haryanto, ayah Tisa.
‘Bagaimana papa?’ tanya Tisa. Tanpa menjawab, dokter Sayekti membimbing Tisa masuk. Setelah melewati lorong-lorong yang muram akhirnya mereka berhenti di depan sebuah kamar bercat kelabu. Dari jendela kaca mereka bisa melihat ke dalam kamar. Tisa menutup kedua matanya dengan erat. Pemandangan di dalam sangat melukai hatinya. Di tempat tidur, Tisa melihat ayahnya terbaring dengan lemah. Kedua kaki dan tangannya diikat dengan erat tak ubahnya seperti penjahat yang baru saja ketangkap polisi. Ayahnya yang biasanya sekuat Hercules, kini lemah bagai boneka karet yang bocor. Hati Tisa tidak rela melihat ayahnya diperlakukan seperti itu. Tiba-tiba Tisa merasa lelah luar biasa. Dia terduduk di bangku di depan kamar dengan lesu. Dokter Sayekti mendekati dan duduk di sampingnya.
‘Ayahmu tidak apa-apa, Tisa,’ hiburnya.
‘Ya,’ sahut Tisa sumbang.
‘Sekarang papamu sedang tidur dan tidak akan bangun sampai besok pagi. Mengapa kamu tidak pulang saja dan kembali kemari bila papamu sudah bangun?’ saran dokter Sayekti. Tisa menahan nafas.
‘Akan kupanggil Pak Santo untuk mengantarmu pulang,’ lanjut dokter Sayekti sambil bangkit. Kemudian dia melangkah ke belakang. Selang beberapa saat kemudian dokter itu muncul kembali bersama seorang laki-laki tua berjalan di belakangnya.
Tisa tidak membantah ketika sekali lagi dokter Sayekti menyuruhnya untuk pulang.
Betapa pun inginnya dia menemani ayahnya, tetapi Tisa sadar kalau tenaganya tidak
dibutuhkan di sini. Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk ayahnya.
‘Nggak usah diantar, Pak Santo, Tisa berani pulang sendiri,’ ucap Tisa kepada Pak Santo ketika mereka sudah berada di luar rumah sakit.
‘Bu dokter menyuruh saya untuk mengantar nak Tisa sampai di rumah. Lagi pula bapak tidak ada pekerjaan. Bapak senang bisa keluar dari rumah sakit. Terus menerus berada di dalam sana bikin sumpek pikiran. Bisa-bisa bapak jadi pasien bu dokter,’ ujar Pak Santo lugu. Tisa tersenyum dan membiarkan Pak Santo mengantarnya pulang. Berdua mereka berjalan dengan berdiam diri di bawah taburan berjuta bintang.
Selama tiga hari Tisa tidak berhasil menemui ayahnya. Dia hanya bisa melihat ayahnya dari kaca jendela. Keadaan pada hari pertama. Justru kelihatan semakin parah. Tidak ada yang bisa Tisa lakukan kecuali berdoa kepada Tuhannya.
Pada hari keempat dokter Sayekti memberinya kabar gembira. Pak Haryanto sudah boleh dijenguk. Tisa benar-benar bahagia. Dengan berlari-lari kecil dia menuju ke kamar ayahnya.
Sebelum memasuki kamar itu, Tisa mengintip dulu lewat jendela. Dia melihat ayahnya tengah berbaring dengan mata mengembara di langit-langit kamar. Kaki dan tangannya tidak lagi diikat. Tisa tersenyum.
‘Pagi, pa,’ sapa Tisa sambil membuka pintu. Kemudian dia mendekati ayahnya dan memberinya ciuman lembut di pipi. Ayahnya membalas dengan mencium dahi Tisa.
‘Tidak kuliah, Tis?’ tanyanya.
‘Dosennya lagi ikut seminar, jadi kuliah ditiadakan,’ jawab Tisa berbohong. Sudah empat hari ini dia ngabur dari kampus. Kuliah jadi tidak berarti bila dibandingkan dengan keselamatan ayahnya.
‘Bagaimana dengan Papa? Masih pusing?’ tanya Tisa.
‘Sedikit,’ jawab Pak Haryanto. Dia pandang Tisa dengan penuh cinta. Tisa tersenyum kemudian mulai memijit kaki ayahnya.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto.
‘Ya?’ sahut Tisa sambil memandang ayahnya.
‘Apa yang telah papa lakukan sebelum dibawa ke tempat ini?’
‘Tisa tidak tahu. Tisa sedang kuliah waktu itu,’ jawab Tisa dengan menundukkan wajahnya.
‘Kamu mengerti maksud papa. Apakah papa merusaki barang-barang kita lagi?’
‘Sudahlah, pa,’ sela Tisa. Dia tidak ingin ayahnya mengungkit-ungkit peristiwa yang sudah berlalu. Dia tidak ingin ayahnya merasa bersalah dan menyesali dirinya sendiri. Sekarang ayahnya sudah sadar kembali, itu yang paling penting bagi Tisa.
‘Ini bukan masalah biasa, Tis. Masalah yang sangat serius. Kita musti membicarakannya sekarang juga,’ bantah Pak Haryanto.
‘Kita tidak harus membicarakannya sekarang, Pa. Nanti kalau Papa sudah sehat benar baru kita bicarakan,’ bujuk Tisa. Pak Haryanto memandang Tisa lama. Kemudian menggeleng-geleng kepalanya seperti orang yang tengah putus asa.
‘Papa rasa papa tidak bakal sembuh lagi. Sudah berapa kali papa keluar masuk rumah sakit ini? Sudah berapa kali papa menghancurkan rumah kita tanpa papa sadari? Sudah berapa kali Kamu ngeri menghadapi ayahmu sendiri? Kamu akui atau tidak, Tis, papamu sudah gila. Sudah gila dan tidak bisa disembuhkan lagi.’
‘Pa!’ pekik Tisa. ‘Papa tidak gila.’
‘Betapa inginnya papa mempercayai ucapanmu itu,’ keluh ayah Tisa.
‘Tetapi papa tidak bisa. Setiap waktu ayahmu bisa kumat lagi. Gila. Ngamuk! Bahkan papa pernah hampir membunuhmu. Kamu ingat! Hanya orang gila saja yang punya niat untuk membunuh anaknya. “
‘Jangan diteruskan, pa,’ Tisa memohon dengan memelas. Air mata mulai membanjir
di pipinya. Melihat tangis anaknya, Pak Haryanto terpukamu. Betapa aku mencintainya, pikirnya.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto setelah terdiam untuk beberapa saat. Tisa mendongakkan wajahnya dan menatap ayahnya. Sisa air mata di pipi dia hapus dengan punggung tangan.
‘Kamu ingat Oom Heru?’ tanya Pak Haryanto. Tisa mengangguk. Oom Heru adalah
satu-satunya adik ayahnya yang sudah belasan tahun menetap di Jerman Barat.
‘Kamu ingat alamatnya?’ tanya Pak Haryanto lagi. Kembali Tisa mengangguk.
‘Sekarang dengar papa baik-baik,’ pesan Pak Haryanto sebelum mulai memberikan order. ‘Papa minta Kamu menulis surat kepada Oommu. Ceritakan kepada Oommu keadaan papa yang sesungguhnya. Sesungguhnya. Bagaimana papa merusak rumah kita. Bagaimana tetangga-tetangga mulai takut sama papa. Bagaimana papa hampir membunuhmu. Ceritakan semuanya. Juga mengenai papa yang keluar masuk rumah
sakit syaraf ini. Lalu bilang pada Oommu kalau papa menginginkan agar Kamu tinggal bersamanya. “
‘Pa!’ teriak Tisa protes.
‘Jangan menyela, Tis,’ Pak Haryanto memperingatkan.’ Dengar dulu penjelasan papa. Sekarang ini papa sedang waras. Besok mungkin sudah tidak lagi. Itulah sebabnya papa ingin menyelesaikan persoalan ini selagi masih ada kesempatan,’ Pak Haryanto menerangkan. ‘Papa menyayangimu, Tis. Kamu tahu itu. Papa tidak ingin kamu menjadi korban kebuasan papa di saat papa kehilangan pikiran sehat … di saat papa gila. Papa ingin kamu mempunyai kehidupan normal seperti remaja-remaja
lainnya, tanpa harus mengurusi ayah yang seperti papa ini. Setelah kamu tinggal dengan Oommu papa akan tinggal di rumah sakit jiwa selamanya. Di sini papa tidak akan membahayakan orang lain.’
‘Tisa tidak mau. Tisa akan terus bersama papa. Papa sama sekali tidak gila. Papa hanya sakit. Dokter Sayekti akan menyembuhkan papa,’ bantah Tisa sambil menubruk ayahnya dan memeluknya dengan erat. Pak Haryanto menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Tisa Kamu tahu Oom Heru menyayangimu seperti papa menyayangimu. Kamu tidak
akan terlantar di sana, Tis. Sedang kalau Kamu tetap tinggal bersama papa … Ya Allah … Untung sore itu Kamu ada kuliah, kalau tidak, papa tidak berani untuk membayangkannya. Tisa, turutilah permintaan papa,’ desah Pak Haryanto. Tisa menggeleng.
‘Tidak, pa. Tisa akan selalu bersama papa. “
‘Tisa..’
‘Papa, jangan bicarakan itu lagi. Tisa tidak mau mendengarnya. Papa tidak gila dan Tisa akan selalu bersama papa. Itu keputusan Tisa. Papa tidak berhak memaksa Tisa,’ kata Tisa mantap. Sia-sia Pak Haryanto membujuk Tisa untuk melakukan perintahnya. Kalau sudah keras kepala. Tisa bisa keras dari batu hitam.
♣
Tegar duduk di anak tangga teratas Balairung sambil memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang lalu lalang. Dia berharap dapat menemukan wajah Tisa di antara mereka. Namun harapannya sia-sia. Sudah lebih dari satu jam dia menunggu di sana, tetapi Tisa tidak muncul-muncul juga.
‘Ke mana anak itu?’ tanya Tegar dalam hati sambil menimang-nimang catatan Moneter yang dipinjamnya dari Tisa delapan hari yang lalu. Dia heran mengapa sejak malam itu Tisa tidak pernah menampakkan dirinya di kampus. Ingin benar Tegar mengetahui keadaan Tisa, tetapi tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya. Tisa tidak mempunyai kawan akrab. Dia selalu menyendiri dan mengambil jarak dari siapa pun.
Setelah merasa pasti kalau hari ini Tisa juga tidak datang, Tegar kemudian bangkit dan berjalan menuju ke lantai tiga. Langkah kakinya membawa dia ke perpustakaan.
Di depan pintu langkahnya terhenti dengan sendirinya. Dia tertegun. Di sana, di pojok selatan dia melihat Tisa yang tengah menekuni sebuah buku teks.
Pelan-pelan Tegar mendekati Tisa dan duduk di depannya. Menyadari kalau ada seorang yang mendatanginya. Tisa mendongakkan wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Tegar.
‘Hai,’ sapa Tegar. ‘Kok lama tidak kelihatan? Kemana?’
‘Repot,’ jawab Tisa tanpa senyum.
‘Aku ingin mengembalikan bukumu. Sebenarnya aku bisa mengantarkannya ke rumahmu, tetapi aku tahu kamu tidak senang kukunjungi,’ ucap Tegar sambil berharap kalau Tisa akan membantah ucapannya dan mengundangnya untuk datang ke rumahnya. Tetapi seperti biasanya, Tisa cuma membisu.
Terima kasih,’ ucap Tegar sambil mengangsurkan buku Tisa. Tisa mengangguk. Tak ada harapan bagimu, Gar, keluh Tegar dalam hati sambil gadis di depannya dengan gemas. Tetapi yang dipandang acuh saja dan tetap menekuni bukunya.
‘Kamu mestinya membutuhkan catatan kuliah selama delapan hari ini. Mau pinjam catatanku?’ Tegar menawarkan dengan manis. Tisa memandang Tegar sejenak dan berpikir.
‘Tulisanku memang tidak sebagus tulisanmu, tetapi masih bisa dibaca kok,’ sambung Tegar cepat ala penjual jamu di Malioboro yang tengah menawarkan minyak kalajengking. Tisa tersenyum. Tegar terpukamu. Belum pernah Tisa melemparkan senyum ke arahnya.
‘Siasat yang bagus!’ sorak hati di dalam dada Tegar. Cepat-cepat dikeluarkannya semua buku catatan yang ada di dalam tasnya dan digelar di depan Tisa. Tisa menggelengkan kepalanya.
‘Aku tidak mungkin menyalin semuanya dalam satu hari. Sebaliknya aku pinjam dua catatan dulu. Moneter dan Cost. Kapan-kapan aku pinjam yang lain,’ ucap Tisa. Kalimat terpanjang pertama yang pernah kamu ucapkan kepadaku, Tegar menyadarinya. Seratus persen dia menyetujui keinginan Tisa. Semua terserah kamu, Tis. Terserah kamu.
‘Oh, iya,’ Tegar teringat sesuatu. ‘Minggu yang lalu kita mendapat tugas untuk membuat paper Cost. Tugas beregu. Satu regu empat anak. Karena Kamu tidak masuk, aku langsung mendaftarmu ke dalam reguku bersama Numpy dan Yoyok,’ ujar Tegar hati-hati. Dia kuatir jangan-jangan Tisa akan menuduhnya lancang.
‘Numpy dan Yoyok tidak keberatan aku ikut regu kalian?’ tanya Tisa kuatir.
‘Mengapa mereka harus keberatan?’ Tegar balik bertanya.’ Lagian justru Numpy yang usul agar kamu masuk regunya,’ lanjut Tegar. Tisa paham sekarang. Sejak SMA dulu Tisa selalu satu regu dengan Numpy. Regu Pramuka. Regu Prakarya. Regu bahasa. Sejak dulu Numpy selalu baik. Seorang sahabat sejati. Sayang aku tidak bisa membalas persahabatannya, sesal Tisa dalam hati.
‘Kapan kita akan mengerjakan paper itu?’ tanya Tisa.
‘Rencananya besok siang sehabis kuliah Internasional kita akan membahasnya. Kamu ada waktu?’ jawab Tegar diikuti pertanyaan. Tisa mengangguk. Bagus! pekik Tegar dalam hati. Tidak salah aku memasukkan Kamu ke dalam reguku. Sebuah awal yang baik. Dan Tegar serasa ingin terbang ke langit.
♣
Tisa berdiri bersandar pada pagar pengaman menanti Numpy, Tegar dan Yoyok
yang masih ribut di ruang I. Tadi Pak Alex memberikan responsi mendadak.
Tidak ada seorang pun yang siap dan sekarang mereka tengah membicarakan hasil responsi mereka yang kedodoran.
Yoyok keluar lebih dahulu dan berdiri di samping Tisa.
‘Bisa?’ tanyanya pada Tisa. Tisa menggeleng.
‘Keterlaluan sekali deh dosen satu itu,’ gerutu Yoyok. ‘Kuliah sering kosong. Eh, sekalinya masuk, ngasih responsi,’ lanjutnya geram. Tisa tersenyum . Belum lagi gerutuan Yoyok habis, Numpy sudah keluar lengkap dengan makian-makian kotornya. Tisa sudah hafal dengan kebiasaan Numpy yang satu ini. Setiap menghadapi persoalan-persoalan yang agak rumit, Numpy selalu mengumpat.
‘Sekarang kita mau kemana?’ Tegar muncul dengan pertanyaan.
‘Dikerjakan di rumahku saja yuk,’ Numpy menawarkan tempat. Semua setuju. Berempat mereka kemudian menuju rumah Numpy. Numpy nggonceng Yoyok dan Tisa nggonceng Tegar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Tegar bisa memboncengkan Tisa.
‘Entah karena grogi memboncengkan Tisa atau entah karena memikirkan responsi Ekonomi Internasionalnya yang gagal di Bunderan Bulaksumur tiba-tiba Tegar tidak
bisa menguasai sepeda motornya. Hampir saja dia menabrak bis kota yang melaju dari arah timur. Dia menggapai rem dengan mendadak. Akibatnya fatal. Sepeda motornya selip dan terbalik. Untuk beberapa detik Tegar sempat kehilangan kesadarannya. Ketika tersadar, dia melihat Tisa yang tengah ditolong oleh para penjual majalah yang membuka kios di sekitar Bunderan.
‘Ya Tuhan,’ keluh Tegar sambil berusaha untuk bangkit. Lututnya terasa sangat nyeri. Dia meringis kesakitan. Tepat saat itu Yoyok datang menolong. Sementara itu
beberapa orang tengah berusaha meminggirkan sepeda motor Tegar.
‘Bagaimana keadaan Tisa?’ tanya Tegar pada Yoyok.
‘Parah,’ jawab Yoyok sambil tersenyum lebar.
‘Babi kamu! maki Tegar. ‘Aku serius,’ lanjutnya geram. Yoyok terbahak melihat Tegar sewot.
‘Lain kali hati-hati,’ nasehat Yoyok bergurau ketika mereka sudah berada di pinggir jalan, di dekat Numpy dan Tisa. Seorang penjual majalah menawari Tegar segelas teh, Tegar menolaknya dengan halus. Dia memandang Tisa yang duduk di dekat Numpy. Wajahnya seputih kapas.
‘Bagaimana, Tis?’ tanya Tegar sambil berjongkok di depan Tisa. Nyeri di lututnya tidak dia hiraukan.
‘Tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit,’ jawab Tisa sambil menunjukkan tangan kanannya. Tegar ternganga. Dari siku sampai ujung tangan Tisa nampak baret merah bekas gesekan aspal jalan yang keras. Dan kulit sikunya megelupas.
‘Ke Panti Rapih dulu yuk minta suntikan ATS,’ usul Tegar. Dia takut kuman tetanus
ada yang menempel di luka Tisa.
‘Nggak perlu. Kelihatannya saja ini mengerikan, tapi tidak apa-apa. sungguh,’ Tisa berusaha meyakinkan Tegar. Tegar memandang Numpy untuk mencari dukungan agar Tisa mau di bawa ke dokter, Numpy mengangkat bahu dan memasrahkan semuanya pada Tegar.
Sesudah beristirahat sejenak dan sesudah mengucapkan terima kasih kepada para penolong, mereka kembali meneruskan perjalanan. Tegar kini berada di goncengan Yoyok dan Numpy memboncengkan Tisa.
‘Pantas Tisa tidak pernah mau kamu antar. Sekali nggonceng kamu sudah kamu jatuhkan. Tiga, empat kali pasti sudah kamu ajak melanglang ke akherat,’ komentar Numpy ke arah Tegar sambil menjalankan sepeda motor Tegar yang untung tidak rusak. Tegar tidak membalas komentar itu. Dia lebih senang memperhatikan Tisa yang duduk di belakang Numpy. Tiba-tiba Tegar melihat barut merah yang memanjang di pipi Tisa. Astaga, aku telah merusak pipimu pula, sesalnya dalam hati.
♣
Ibu Numpy sedang membuat macramé di teras ketika mereka berempat datang. Padangannya segera terpaku pada Tisa.
‘Tisa!’ serunya gembira. ‘Ngumpet di mana selama ini?’
‘Di rumah saja, tante,’ jawab Tisa dengan senyum.
‘Bagaimana papamu?’ tanya Ibu Numpy kemudian.
‘Baik,’ jawab Tisa ragu sambil mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu Numpy. Wanita cantik itu melihat luka di tangan Tisa.
‘Kena apa ini?’ tanyanya kaget.
‘Jatuh, tante,’ kali ini Yoyok yang menjawab.
‘Duh, Gusti Numpy!!’ teriak ibu Numpy. Numpy yang tengah membuka pintu paviliun menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah ibunya.
‘Sudah berapa kali mama peringatkan jangan ugal-ugalan di jalan. “
‘Bukan Numpy, Ma. Tapi pemuda ganteng yang sekarang berdiri di depan mama itu yang ngejatuhin Tisa,’ Numpy membela diri. Tegar tersenyum kecut. Ibu Numpy menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Nggak disengaja, tante,’ Tisa menyumbang suara.
‘Aduh anak muda sekarang. Ayo tante bersihkan dulu lukamu,’ ucap Ibu Numpy sambil mengajak Tisa masuk dan meninggalkan Tegar serta Yoyok berdua di luar. Untung Numpy segera memanggil mereka untuk masuk ke paviliun.
Semenit kemudian Ibu Numpy menyusul ke paviliun. Tanpa Tisa.
‘Tante harap lain kali kalau di jalan hati-hati. Lebih-lebih bila dengan Tisa,’ ucap Ibu Numpy. Ucapan yang lebih ditujukan buat Tegar.
‘Rasanya saya tadi sudah ekstra hati-hati, tante nggak tahu kenapa sepeda motor saya nggak mau diatur,’ Tegar memberikan alasan.
‘Yah, namanya kecelakaan,’ gumam Ibu Numpy. ‘Kamu tidak apa-apa? Luka barangkali?’
‘Enggak tante,’ jawab Tegar melupakan nyeri di lututnya. Ibu Numpy mengangguk kemudian menanyakan kepada Numpy di mana alkohol yang dipakai Numpy beberapa hari yang lalu. Numpy bangkit dan mengambilkan alkohol yang diminta ibunya.
Sesudah Ibu Numpy berlalu, Tegar bertanya pada Numpy.
‘Kok tadi mamamu bilang agar hati-hati di jalan lebih-lebih bila dengan Tisa. Apa sih maksudnya?’
‘Oh, itu,’ desah Numpy. ‘Mama tidak ingin Tisa mengalami trauma … Gimana sih ngomongnya. Gini nih, dulu Ibu Tisa meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. “
‘Maksudmu Tisa sudah tidak punya ibu lagi?’ tanya Tegar. Numpy mengangguk.
‘Kejadiannya sekitar dua … emm … lebih, hampir tiga tahun yang lalu,’ cerita Numpy. ‘Mobil yang dikendarai ayah Tisa tabrakan dengan tangki minyak. Tisa selamat, ayahnya cidera agak berat, tapi ibunya tidak tertolong lagi. Tisa yang melihat ibunya meninggal dan ayahnya terluka, sangat shock. Untuk beberapa waktu dia tidak berani keluar ke jalan. Dia ngeri setiap kali melihat kendaraan. Apalagi kecelakaan. Kamu lihat betapa pucatnya dia tadi? Aku sudah mengira kalau dia akan histeris. Untung tidak,’ Numpy menutup ceritanya. Tegar dan Yoyok terpana. Baru sekali ini mereka mendengar cerita tentang Tisa, si gadis pemurung.
Kalau saja aku tahu … sesal Tegar. Saat itu Tisa muncul di paviliun. Luka di tangan dan barut di pipinya sudah dibersihkan dan diberi obat merah.
Sebelum duduk. Tisa memandang ke setiap sudut paviliun. Dulu tempat itu sangat akrab dengannya. Tiba-tiba mata Tisa terpaku pada pesawat CB yang ada di atas meja di depan jendela. Numpy menyadari ke arah mana mata Tisa tertuju.
‘Kok Kamu tidak pernah ngebreak lagi, Tis?’ tanyanya.
‘CB-ku rusak,’ jawab Tisa pendek sambil duduk di samping Yoyok.
‘Apanya yang rusak?’ kejar Numpy.
‘Nggak tahu. Nggak bisa dipakai lagi,’ jawab Tisa seakan-akan tidak ingin subyek
itu diangkat menjadi topik.
‘Heran kok aku belum pernah memonitormu,’ sela Tegar.
‘Sudah lama aku tidak muncul,’Tisa menerangkan.
‘Sebelum Kamu datang ke Yogya Tisa sudah tidak muncul lagi,’ tambah Numpy.
‘Apanya sih yang rusak, Tis? Apa enggak bisa direparasi?’ tanya Numpy beruntun. ‘Hei, Gar Kamu bisa kan memperbaiki pesawat? Punya Ade Kamu kan yang ‘mbetulin?’ Numpy beralih ke Tegar.
‘Lihat-lihat dulu rusaknya. Kalau cuma yang enteng-enteng sih bisa aja,’ jawab Tegar.
‘Nah tuh, Tisa, ada tenaga nganggur,’ ujar Yoyok, ’Suruh aja dia mbetulin pesawatmu.’
‘Nggak tahu apa masih bisa dibetulin atau tidak,’ ucap Tisa. ‘Barangkali antenanya sudah berkarat. Lagian aku sudah tidak tertarik lagi untuk … ‘
‘Ya ampun, Tis, sekarang ini lagi ramai-ramainya,’ potong Numpy.
‘Tanya aja pada Yoyok dan Tegar. Banyak deh sekarang teman kita. Minggu lalu kita rujakan di rumah Ade. Ayo dong, Tis. Banyak yang menanyakan kamu lho,’ bujuk Numpy gencar. Dia ingat Tisa dulu teman di udaranya yang paling setia. Kalau sudah ngobrol mereka sering lupa waktu.
‘Iya deh kapan-kapan. Sekarang mari kita pikir tentang Cost,’ Tisa mengakhiri pembicaraan mereka tentang CB. Walaupun dulu dia sangat gandrung dengan benda
yang satu itu, tetapi saat ini dia tidak berniat untuk menggunakannya lagi. Selain pernah memuaskan hatinya pesawat itu juga pernah menghancurkan hidupnya.
♣
Sepulang dari rumah Numpy, Tisa langsung masuk ke ruang kecil di samping kamar tidurnya. Sudah setahun lebih dia tidak masuk ke ruang itu. Di dekat jendela, dia melihat pesawat CB-nya yang penuh dengan debu. Pesawat itu hadiah dari Oom Heru ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas.
Tisa membuka jendela. Udara segar memasuki ruang yang pengap itu. Dengan jari-jari tangannya Tisa menyentuh debu yang menyelimuti pesawatnya. Dia sengaja mengatakan kepada Numpy kalau CB-nya rusak agar dia tidak didesak untuk menjawab mengapa sudah sekian lama dia tidak berhandai-handai di udara.
Tisa mendudukkan dirinya di kursi. Ditariknya mike, dan didekatkannya ke wajahnya.
‘C.Q. calling … C.Q. calling … apakah ada yang memonitor?’ bisiknya pelan. ‘C.Q. calling … apakah ada yang bisa memonitor?’ ulangnya. Tentu saja tidak seorang pun yang bisa menangkap suaranya. Pesawat itu tidak dihidupkannya.
Pelan-pelan Tisa bersandar di kursi dan memejamkan matanya. Sebuah peristiwa menyakitkan kembali tergambar di pikirannya.
Waktu itu Tisa berniat untuk mencari teman ngobrol di udara. Seperti biasanya sebelum ngebreak, Tisa memonitor dulu percakapan para breakers yang sudah mengudara.
‘Modulasi anda lantang sekali. Roger. Di mana sih lokasi anda? Ganti,’ terdengar sebuah pertanyaan.
‘Roger … Nyutran gitu. Guest House Sailendra ke timur dua ratus meteran … Ganti,’ jawaban pertanyaan itu terdengar lantang sekali. Tisa tersenyum. Dia mengenali suara si penjawab. Agus, tetangga di depan rumah.
‘Dekat rumah Tisa, correct ?’ si suara pertama kembali bertanya. Senyum Tisa semakin lebar. Dia juga mengenali suara yang satu ini. Suara milik Donny teman sekelasnya.
‘Correct. Kok anda tahu Tisa? Ganti. “
‘Dia kan tanggo mike saya … Roger … Lebih tepat papa charlie saya gitu … ganti,’ sahut Donny. Tak salah lagi pasti Donny. Hanya Donny yang berani mengaku di depan umum kalau Tisa adalah pacarnya. Saat itu pula Tisa ingin masuk ke dalam percakapan, tetapi dia menunggu apa yang akan mereka obrolkan selanjutnya.
‘Roger,’ sahut Agus. ‘Tapi hati-hati lho. Cantiknya sih cantik, tapi kalau saya harus mikir seribu kali dulu sebelum jadi pacarnya. Ganti. “
‘Roger … Memangnya kenapa?’ tanya Donny. Tisa semakin memasang telinga. Percakapan semakin hangat. Agus tidak langsung menjawab. Tisa penasaran.
‘Ayah Tisa itu golf lima. Ganti,’ bisik Agus.
‘Gila, correct?’ Donny menegaskan.
‘Correct. Sedang anda tahu kan golf lima itu penyakit menurun. Jadinya ya hati-hati aja, Tisa pasti juga agak-agak gitu. Ganti. “
‘Roger … anda jangan main fitnah lho,’ ancam Donny.
‘Sumpah mati … Roger … Kemarin siang beliaunya masuk Puri Nirmala setelah hampir membunuh Tisa. Untung tetangga pada meli …’ Tisa tidak mendengar kelanjutan kata-kata Agus. Dia matikan pesawat CB-nya. Wajahnya merah menahan marah. Dia keluar dari ruang itu dan tak pernah kembali lagi ke sana. Sejak saat itu pula dia tidak pernah menyentuh lagi hadiah ulang tahun dari Oom Heru tersebut.
Tisa tidak menyalahkan Agus. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Dia juga tidak menyalahkan Donny, bila sejak saat itu Donny yang biasanya selalu membanggakan Tisa, tidak lagi menyapanya. Tisa seakan-akan mengidap penyakit menular yang harus disingkiri. Kabar telah tersebar. Tisa tidak bisa menariknya kembali. Ingin benar dia berteriak kepada semua orang bahwa ayahnya tidak gila. Tetapi siapa yang mau mempercayainya?
Sejak saat itulah Tisa mulai menarik diri dari pergaulan. Sebelum dia disingkirkan lebih baik dia menyingkirkan diri. Dan mulailah dia membangun dunianya sendiri. Dunia yang mirip istana pasir. Kelihatannya kokoh, tetapi setiap saat selalu ketakutan akan datangnya ombak. Ombak yang paling kecil pun akan mampu merobohkan istananya.
♣
Kaki Tegar ternyata membengkak. Walaupun sudah dikompres, namun bengkak itu tidak kempes juga. Kalau tidak ingat absensinya yang harus diselamatkan, mau rasanya Tegar meninggalkan kuliah dan tinggal di rumah. Untung sepupunya, Nies, mau mengantarkannya ke fakultas, sehingga dia tidak harus naik motor sendiri.
‘Bisa naik tidak?’ kata Nies sambil menghentikan mobilnya di depan Balairung. Tegar melayangkan matanya ke lantai III dan mengeluh dalam hati.
‘Jangan kuatir, Nies. Aku pasti sampai ke sana,’ ucap Tegar sambil turun dari mobil. Nyeri di lututnya terasa menikam. Dia meringis sejenak, kemudian melambai
ke arah Nies.
Menaiki anak-anak tangga ke Balairung merupakan siksaan bagi Tegar. Beberapa kali dia terpaksa berhenti untuk meredakan nyeri di kakinya. Dia benar-benar merasa lega ketika akhirnya bisa sampai di Balairung. Baru di Balairung, belum di tingkat III. Tegar merasa tidak sanggup lagi untuk berjalan. Dia bersandar pada salah satu pilar.
‘Tegar, kenapa kakimu? Tadi kulihat Kamu terpincang-pincang,’ entah dari mana tiba-tiba Tisa muncul di depannya. Sebuah kejutan yang manis buat Tegar.
‘Emm … bengkak,’ jawab Tegar sambil berusaha untuk tersenyum.
‘Karena jatuh kemarin?’ tanya Tisa kuatir.
‘Iya. “
‘Ada tulangmu yang patah?’
‘Enggak cuma memar saja,’ sahut Tegar. Dia melepaskan diri dari pilar yang disandarinya dan mulai berjalan. Tisa mengikuti di sampingnya. Di depan anak-anak tangga yang menuju ke lantai atas Tegar menghentikan langkahnya. Tisa memandang sejenak.
‘Mari kubantu,’ katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Tegar. Tegar terpukau. Tetapi tidak lama. Tisa sudah mengambil lengannya dan membantunya untuk menaiki anak-anak tangga. Tegar tidak pernah menyangka kalau dia bisa sedekat ini dengan Tisa. Mimpi apa aku semalam? Salah. Salah! Mimpi apa Tisa semalam sehingga pagi ini mau beramah tamah denganku?
‘Seharusnya kamu istirahat di rumah. Tidak usah kuliah,’ Tisa membuyarkan lamunannya.
‘Itu niatku tadi. Tapi absensiku untuk Pak Kris payah. Sudah empat kali aku ngabur. Sekali lagi berarti tidak boleh ikut ujian.’ Tegar menerangkan sambil menatap Tisa lekat-lekat. Barut di pipi Tisa masih nampak. Untung tidak dalam. Kalau dalam pasti akan meninggalkan bekas yang mengerikan.
Sesampai di lantai tiga mereka berhenti. Dengan cepat Tegar meraih tangan Tisa yang tadinya digunakan untuk menuntunnya agar gadis itu tidak melarikan diri. Sesaat Tisa nampaknya akan protes, Tetapi kemudian membiarkan tangan Tegar menggenggam tangannya.
‘Aku belum meminta maaf kemarin,’ bisik Tegar.
‘Meminta maaf?’
‘Ya, karena telah menjatuhkanmu serta telah membuat tangan dan pipinya terluka,’ awab Tegar sambil menatap langsung ke mata Tisa. Tisa gugup setengah mati. Rona merah menjalar di pipinya yang membuatnya nampak semakin cantik di mata Tegar.
‘Lupakanlah. Kecelakaan bisa terjadi di mana-mana,’ kata Tisa setelah reda kegugupannya. Tegar tersenyum. Dan dalam hati Tisa harus mengakui kalau senyum itu sangat menawan.
Karena mereka datangnya bersama, mereka dapat duduk bersebelahan. Sehingga selama kuliah berlangsung Tegar bebas untuk memperhatikan Tisa. Setiap gerakan Tisa, bahkan yang paling kecil pun tak luput dari mata Tegar. Dia melihat Tisa menghapus keringat di keningnya dengan tissue berwarna merah muda. Dan melihat Tisa mengeluarkan Tipp-Ex untuk menutup tulisan yang salah. Dia melihat Tisa menjejakan kakinya ke depan karena capai. Dia melihat Tisa meringis kesakitan ketika luka di tangannya terbentur pada sisi bangku. Dia melihat semuanya. Tisa bukannya tidak menyadari ke mana perhatian Tegar di arahkan. Dalam keadaan seperti itu muncul sifat istana pasirnya. Dia seakan melihat ombak besar yang mendekat dan mengancam istananya . Akankah kamu memandangku dengan sebelah matamu bila kamu sudah tahu keadaan papa?
Satu seperempat jam berlalu dengan cepat. Rasanya terlalu berlebihan bila Tegar berharap Tisa akan menggandengnya turun. Dia tetap duduk di tempatnya dan memperhatikan Tisa bangkit dari kursinya.
‘Kamu mau pulang naik apa?’ tanpa disangka-sangka Tisa mengeluarkan pertanyaannya.
‘Sepupuku berjanji akan menjemputku,’ jawab Tegar.
‘Kamu bisa turun sendiri?’
‘Entahlah. Mungkin bisa.’
‘Kamu membutuhkan bantuanku?’
‘Kalau kamu tak keberatan,’ jawab Tegar penuh harapan. Tisa tersenyum. Tegar tertawa.
‘Baiklah, tapi tunggu hingga anak-anak turun semua dulu,’ janji Tisa.
Sesudah semua bayangan teman-teman mereka menghilang, Tisa mengajak Tegar untuk meninggalkan ruang kuliah.
Nies yang sudah menunggu Tegar di depan Balairung terheran-heran ketika melihat sepupunya itu muncul dalam gandengan seorang gadis cantik. Nies mengernyitkan dahinya. Rasa-rasanya aku kenal dia. Ya. Tentu saja aku kenal dia. Bukankah dia Tisa?
‘Tisa!’ seru Nies riang. Matanya berbinar cerah. Jadi ini dia gadis yang selalu dibangga-banggakan Tegar kepadaku.
Tisa yang berdiri beberapa langkah dari Nies terpaku di tempatnya. Terror membayang di matanya.
‘Nies,’ gumamnya lirih sambil melepaskan tangannya dari tangan Tegar.
‘Kalian sudah saling kenal?’ tanya Tegar heran. Nies dan Tisa mengangguk bersama. Kalau Nies mengangguknya penuh semangat, maka Tisa adalah kebalikannya.
‘Aku tidak menyangka kalau ‘Tisa‘ yang sering diceritakan Tegar kepadaku adalah kamu,’ celoteh Nies. Tegar mendelik sengit ke arah sepupunya.
‘Yuk pulang sama-sama , Tis,’ ajak Nies tak mempedulikan Tegar. Tisa menggelengkan kepalanya.
‘Terima kasih, aku bisa naik Colt. “
‘Hei, nggak usah sungkan. Kita kan saudara,‘ dalih Nies sambil mengerling Tegar.
‘Nggak usah repot-repot, Nies,’ tolak Tisa.
‘Nggak ngerepotin kok. Kebetulan aku juga harus jemput mama di rumah sakit,’ bujuk Nies gencar. Tegar tidak ikut membujuk, karena dia tahu hasilnya akan sia-sia.
‘Bukan begitu. Aku masih harus ke perpustakaan. Pulanglah kalian dulu,’ jawab Tisa yang tidak mungkin mau ikut bersama Nies dan Tegar. Pulang sendiri bersama Tegar saja dia harus mikir apalagi ditambah dengan Nies.
Sesudah dibujuk berkali-kali dan Tisa tetap pada pendiriannya, akhirnya Nies dan Tegar meninggalkannya seorang diri. Tisa memperhatikan mobil mereka hingga hilang dari pandangan matanya. Tiba-tiba dia merasa terluka. Ombak itu telah datang. Istanaku telah roboh. Pelan-pelan dia melangkah dan terus melangkah.
Dalam kepalanya muncul suatu bayangan yang jelas. Sangat jelas. Dia melihat Tegar yang duduk berdekatan dengan Nies. Dia melihat Tegar yang bertanya kepada
Nies bagaimana Nies bisa kenal dengan Tisa. Dan dia melihat Nies yang menjawab sambil tertawa : ‘Ayah Tisa kan pasien mama yang paling setia. “
‘Memangnya ayah Tisa sakit apa?’
‘Lha mama dokter apa? Dokter jiwa kan? Masa kamu lupa?’
‘Jadi ayah Tisa sakit jiwa?’
‘Iya. Gila! “
Tisa menggelengkan kepalanya dengan keras. Dadanya terasa sangat sesak. Sekarang semuanya sudah berubah. Tegar sudah tahu latar belakang kehidupannya, tentu dia akan menilainya dengan pandangan yang berbeda. Bahkan mungkin akan mencoret namanya dari daftar regu Costnya. Lebih buruk lagi bila dia akan menceritakan riwayatnya kepada teman-temannya yang belum tahu menahu tentang dirinya. Kejadian dua tahun yang lalu kembali terulang. Ombak kembali datang menggempur istana pasirnya yang rapuh. Dulu Tisa sudah menduga
akan datangnya hari seperti ini, tetapi dia tidak menyangka kalau hari itu datangnya begitu cepat.
Sebutir air mata bergulir di pipi Tisa. Tisa tidak berniat untuk menghapusnya. Dia terus saja berjalan dan membiarkan angin yang bertiup mengeringkan matanya.
♣
Pagi itu Tisa terbangun dengan kepala yang sangat berat. Dengan merayap dia berhasil sampai ke dapur. Mbok Jah, wanita tua yang bekerja pada keluarga Tisa dari pagi hingga sore sudah datang dan berada di dapur. Dia sangat terkejut melihat Tisa yang muncul dengan wajah pucat pasi dan tubuh menggigil.
‘Duh Gusti, mbak Tisa, kena apa?’ tanyanya kuatir.
‘Pening,’ sahut Tisa sambil memegang keningnya dan mendudukkan dirinya di kursi.
‘Tentu masuk angin. Mari mbok keriki. “
‘Tidak usah, mbok Jah. Tisa minta air hangat saja,’ jawab Tisa lesu. Cepat-cepat mbok Jah menyiapkan segelas susu hangat yang kemudian dicampurnya dengan dua sendok madu. Lalu diulurkannya ke arah Tisa. Dia memperhatikan Tisa meminum susu itu, kemudian berjalan ke belakang Tisa dan mulai memijit-mijit tengkuknya.
‘Nih kaku sekali. Pasti mbak Tisa terlalu banyak pikiran,’ komentar mbok Jah. ‘Jangan terlalu dipikirkan, mbak Tisa, bapak akan segera sembuh kembali,’ lanjutnya menghibur.
‘Mbok Jah,’ panggil Tisa lirih.
‘Menurut mbok Jah apakah papa gila?’ tanya Tisa.
‘Hush! Jangan bicara seperti itu tentang bapak,’ mbok Jah menegurnya.
‘Tisa hanya ingin mendengar pendapat mbok Jah,’ tuntut Tisa dengan suara berat. Untuk beberapa saat mbok Jah terdiam. Dia sadar anak asuhannya ini sedang terombang-ambing jiwanya dan membutuhkan tempat untuk berpijak yang kokoh.
‘Tentu saja bapak tidak gila,’ akhirnya mbok Jah mengeluarkan pendapatnya. ‘Menurut embok yang bodoh ini, bapak hanya dilanda kekecewaan dan rasa bersalah karena kecelakaan yang menewaskan ibu dahulu. Bapak sangat mencintai ibu dan bapak merasa bahwa bapaklah yang mengakibatkan kecelakaan itu. Mbak Tisa ingat, bapak mulai sakit beberapa saat sesudah kecelakaan. Tapi embok yakin bapak akan sembuh dengan berjalannya waktu. Percayalah pada embok. Jangan sekali-kali mendengarkan omongan usil para tetangga. Mbok Jah sudah bekerja pada keluarga bapak sejak duluuu … Sejak eyang buyut mbak Tisa masih sugeng. Tidak ada seorang pun dari keluarga bapak yang sakit jiwa. Tetangga-tetangga itu hanya mengada-ada. Jangan didengarkan,’ nasehat mbok Jah. Tisa merasa lega luar biasa. Ternyata ada juga seseorang yang sependapat dengannya.
‘Terima kasih, mbok,’ bisik Tisa. Mbok Jah tersenyum senang.
Sekarang mbak Tisa kembali saja ke kamar dan bobo lagi. Embok yakin semalam mbak Tisa pasti tidak tidur. Nanti kalau mbak Tisa bangun mbok bikinkan sup ayam,’ tutur mbok Jah seperti membujuk anak kecil. Tisa tersenyum dan menuruti anjuran mbok Jah. Tisa tidak seperti tadi malam, kali ini Tisa cepat terlelap.
Beberapa jam kemudian ketika dia terbangun, dia merasa kepalanya sudah ringan dan dadanya tidak sesak lagi. Dia seakan mempunyai kekuatan untuk menghadapi dunia.
Sesudah makan. Tisa pamit pada mbok Jah untuk menjenguk ayahnya. Mbok Jah mengantarnya hingga ke halaman depan. Dia lega ketika melihat wajah Tisa tidak sekelabu tadi pagi. Dia ikut merawat Tisa, sejak gadis itu baru berumur beberapa hari. Luka di hati gadis itu merupakan lukanya pula.
Pak Haryanto sedang tidur ketika tiba di sana. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan ayahnya. Tisa menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. Dari tempatnya Tisa menatap wajah ayahnya dengan segenap cintanya.
Alangkah tololnya aku membiarkan orang-orang mengira kalau papa gila,’ dengan hatinya Tisa mencoba berbicara dengan ayahnya. ‘Dan alangkah tololnya aku membiarkan pikiran picik mereka mengacaukan hidupku. Papa, Tisa bangga kepada papa. Justru dengan keadaan papa yang sekarang ini papa menunjukkan betapa besar cinta papa terhadap mendiang mama. Tisa tidak malu menjadi anak papa. “
Pak Haryanto menggeliat dan membuka matanya. Tisa telah siap dengan senyum
manisnya.
‘Tisa,’ gumam Pak Haryanto tidak jelas. ‘Kapan datang?’
‘Barusan, pa,’ sahut Tisa.
‘Papa sudah lama menunggumu. Saking capainya papa sampai tertidur,’ ucap Pak Haryanto sambil bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk menghadapi Tisa.
‘Papa nunggu Tisa?’Tisa meyakinkan.
‘Ya,’ seru Pak Haryanto mantap. ‘Ada kabar gembira untukmu,’ sambungnya sambil
tersenyum.
‘Tisa siap mendengarnya.’
‘Oke, sekarang dengar baik-baik. Papa minta Kamu segera menulis surat untuk
Oom Heru … ‘
‘Papa, sudah Tisa katakan Tisa tidak mau hidup bersama Oom Heru walau sebaik apa pun dia. Tisa tetap akan hidup bersama papa. Papa tidak boleh membuang Tisa begitu saja,’ potong Tisa emosi.
‘Nah itu. Belum-belum sudah menyela,’ goda Pak Haryanto. ‘Bukan kamu yang akan tinggal bersama Oom Heru. Melainkan papa,’ lanjut Pak Haryanto berteka-teki.
‘Bagaimana, pa? Tisa tidak jelas,’ cerocos Tisa. Pak Haryanto tertawa.
‘Semalam dokter Sayekti memberi tahu papa bahwa papa tidak menderita kelainan
jiwa. Bukan jiwa papa yang sakit. Papa tidak gila. “
‘Na, kan sejak dulu sudah Tisa katakan,’ sela Tisa.
‘Nona muda, Kamu mau mendengarkan papa atau mau membuat diagnosa sendiri?’ tegur Pak Haryanto sambil tersenyum.
‘Maaf, pa. Sekarang Tisa mau mendengarkan,’ ucap Tisa.
‘Bukan psychis papa yang sakit tetapi fisik papa. Kamu ingat kecelakaan yang menimpa kita tiga tahun yang lalu? Waktu itu otak papa mengalami pendarahan. Setelah sembuh ternyata ada penyempitan pada pembuluh tersebut yang menyebabkan papa diserang rasa pening yang luar biasa dan papa tidak lagi bisa mengendalikan … mengendalikan apa sih istilah dokter Sayekti semalam? Pokoknya semacam emosi begitulah sehingga papa sering ngamuk dan tidak terkontrol. Nah, satu-satunya jalan untuk menyembuhkan penyakit papa ini adalah dengan operasi,’ Pak Haryanto menerangkan. Tisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Harapan yang besar membayang di wajahnya.
‘Papa akan menjalani operasi itu?’ tanya Tisa antusias.
‘Operasi itu merupakan operasi yang berat, Tis. Karena menyangkut otak. Dan di Indonesia belum tersedia peralatan yang memadai.’
‘Oh,’ keluh Tisa. Harapannya yang tadi melambung tiba-tiba terhempas lagi. Melihat kekecewaan di wajah Tisa Pak Haryanto segera mengulurkan tangannya dan meraih
Tisa ke dalam pelukannya.
‘Kamu belum mendengarkan kelanjutan cerita papa,’ bisik Pak Haryanto di telinga Tisa. Tisa menengadahkan wajahnya untuk memandang ayahnya. Matanya meminta penjelasan. Pak Haryanto tersenyum.
‘Kamu tahu negara yang sering mengadakan operasi semacam itu? Jerman Barat,
Tis. Tempat Oommu berada. Itulah sebabnya papa menyuruhmu untuk menyurati Oom Heru dan mengabarkan kepadanya bahwa papa akan berobat di sana. Kamu mau melakukannya untuk papa?’
‘Oh, pa!’ pekik Tisa sambil memeluk ayahnya dengan erat.
‘Oh, pa,’ ulangnya. Tak ada kata-kata lain yang mampu diucapkannya kecuali Oh, pa. Tangis bahagia membanjir dari kedua matanya seakan-akan semua butir air mata dan semua duka yang masih tersisa di dalam dirinya ingin ditumpahkannya sekarang juga. Dadanya terasa sangat lapang. Batu besar yang menindih hatinya selama tiga tahun kini terhempaslah sudah.
Untuk beberapa menit berikutnya Tisa masih juga belum mampu untuk berkata apa-apa. Kabar yang baru saja didengarnya terlampau berharga untuk didiskusikan dengan kata-kata. Sekali-sekali dia memandang ayahnya dan tersenyum.
‘Sekarang Tisa mau pulang,’ tiba-tiba Tisa berseru sambil bangkit dari sisi ayahnya. Tentu saja Pak Haryanto memandangnya tak percaya. ‘Sekarang juga Tisa mau menulis surat buat Oom Heru. Tisa tidak mau menundanya, ‘lanjut Tisa sambil mengambil pakaian kotor ayahnya untuk dibawa pulang. Sebelum keluar, Tisa menghadiahi ayahnya dua buah ciuman manis di pipi kiri dan pipi kanan.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto ketika Tisa sudah memegang gerendel pintu siap untuk membukanya.
‘Ya?’ sahut Tisa sambil memutar badannya dengan indah.
‘Temui dokter Sayekti dulu sebelum pulang. Beliau tadi ingin bicara denganmu,’ pesan Pak Haryanto. Tisa mengangguk. Tanpa dipesan pun sebenarnya Tisa sudah berniat untuk menemui dokter itu. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Mudah-mudahan saja aku tidak lupa dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kuajukan.
Dokter Sayekti sedang menerima tamu ketika Tisa mengintip ke kamar kerjanya. Tisa memutuskan untuk menunggunya. Untung tamu itu tidak mengobrol terlalu lama dengan dokter Sayekti. Begitu tamu itu keluar, Tisa segera menjulurkan kepalanya melalui pintu yang terbuka sedikit. Dokter Sayekti yang melihatnya segera
memberikan isyarat agar Tisa mendekat.
‘Mau bicara dengan saya, tante dokter?’ tanya Tisa begitu dia sudah berada di depan dokter Sayekti. Hanya Tisa seorang yang mengalamatkan dokter Sayekti dengan sebutan ‘tante dokter “. Entah dari mana sebutan aneh itu didapatnya. Namun yang terang dokter Sayekti sangat menyukainya.
‘Iya, Tis,’ jawab dokter Sayekti. ‘Duduklah dulu,’ lanjutnya menyilakan Tisa. Sementara dia membereskan mejanya yang penuh dengan kertas.
‘Ayahmu sudah bercerita kepadamu?’ tanya dokter Sayekti setelah mejanya rapi
‘Sudah. Apakah yang dikatakan papa benar? Saya kuatir jangan-jangan papa hanya
merekanya untuk menggembirakan hati saya,’ ucap Tisa. Dokter Sayekti tertawa ramai. Setelah tawanya surut, mulailah dia bercerita.
Sebenarnya pihak rumah sakit sudah lama mengetahui keadaan ayah Tisa yang sebenarnya. Tetapi seperti yang telah diceritakan ayah Tisa tadi, untuk menjalani operasi tersebut di Indonesia masih belum mungkin. Sedang untuk menyarankan agar Pak Haryanto berobat di luar negeri tidak pernah terpikirkan oleh para dokter yang merawatnya. Mereka tidak ingin menambah beban di pundak Tisa. Beban yang saat ini berada di pundak Tisa sudah terlampau berat untuk di tanggung gadis seusia
dia.
Memang Tisa tidak memikirkan masalah keuangan, karena semua biaya pengobatan ditanggung perusahaan ayahnya. Tetapi justru beban mentalnya itu yang berat. Kalau pihak rumah sakit memberi tahu perihal keadaan ayahnya yang tidak bakal tersembuhkan bila tanpa melalui operasi, maka sudah dapat dipastikan kalau Tisa akan tersiksa. Sedang kalau untuk membawanya ke luar negeri, akan mampukah dia? Akhirnya para dokter sepakat untuk tidak menceritakannya kepada Tisa maupun kepada Pak Haryanto sendiri, sementara itu mereka tetap berusaha untuk penyembuhan Pak Haryanto.
‘Lalu apa yang membuat tante dokter berubah pikiran dan menceritakan kepada kami,’ tanya Tisa.
‘Sebenarnya tidak sengaja, Tisa,’ jawab dokter Sayekti. ‘Selama ini kami menyangka hanya Kamulah satu-satunya kerabat ayahmu. Well… Kamu sendiri sewaktu membawa ayahmu ke sini pertama kali mengatakan bahwa kalian tidak mempunyai famili yang bisa dihubungi. Lalu Kamu sendiri yang mengurusi ayahmu. Kamu sendiri pula yang selalu menjenguknya dan menguatirkan keadaannya. Jadi kami menyimpulkan bahwa kami telah melakukan kebijaksanaan yang paling baik dengan
merahasiakan penyakit ayahmu. Baru kemarin pagi kami mengetahui kalau ayahmu mempunyai adik kandung yang tinggal di Jerman.”
‘Papa bercerita tentang Oom Heru?’ tanya Tisa. Dokter Sayekti menggeleng.
‘Kemarin pagi, ayahmu meminta tolong tante untuk menuliskan surat buat adiknya.
Papamu bilang Kamu tidak mau menulis surat untuknya,’ kisah dokter Sayekti. ‘Tentu saja tante kaget setengah mati ketika mengetahui hal itu. Tapi tante tulis juga permintaan ayahmu. “
‘Ya, ampun!’ seru Tisa kaget. ‘Pasti deh papa punya rencana untuk menitipkan saya pada Oom Heru, iya kan? Heran, sudah puluhan kali saya katakan pada papa saya tidak mau ikut Oom Heru. Jadi tante dokter sudah menulis surat buat Oom Heru?’
‘Menulisnya sudah. Mengirimkannya belum,’ jawab dokter Sayekti.
‘Setelah tahu kalau ayahmu punya adik yang tinggal di Jerman, kami segera mengadakan rapat kilat dan memutuskan untuk memberitahu ayahmu tentang penyakitnya. Nah yang ingin tante bicarakan denganmu sekarang adalah apakah tante harus mengirimkan surat ayahmu yang kemarin atau tidak?’
‘Tentu saja tidak,’ sahut Tisa cepat. ‘Saya akan menulis surat untuk Oom Heru. Kapan kira-kira papa bisa berangkat ke sana?’
‘Jangan terlalu antusias, Tis,’ dokter Sayekti memperingatkan.
‘Secepat mungkin kami akan menghubungi rumah sakit di sana dan mengirimkan
catatan kondisi ayahmu selama ini. Nah kalau sana sudah oke, bolehlah ayahmu berangkat. “
‘Tante dokter tahu, saya ingin sekali melihat ayah sembuh.’
‘Iya, tante juga,’ jawab dokter Sayekti. ‘Kamu ingin melihat surat yang kemarin tante tulis?’
‘Nggak usah, tante dok. Saya sudah tahu apa isinya. Saya tidak bisa mengerti mengapa papa sampai berniat untuk membuang saya seperti itu.’
‘Tante rasa alasan ayahmu tepat juga, Tis. Menurut ayahmu, sejak beliau sakit Kamu menjadi sangat berubah. Kamu menjadi pemurung, pendiam dan tidak mempunyai teman. Padahal ayahmu bilang, dulu temanmu sangat banyak dan Kamu termasuk remaja-remaja yang agak ribut dan cerewet, itu kata ayahmu lho. Nah dengan mengirimkan Kamu kepada oommu, ayahmu berharap agar Kamu bisa menemukan kembali duniamu yang hilang. “
‘Itulah yang tidak saya mengerti. Papa pikir bila saya sudah berpisah dengan papa dan hidup bersama keluarga Oom Heru saya akan bisa melupakan papa. Padahal justru sebaliknya. Saya akan sangat menderita. Saya tidak bisa membayangkan papa berada di rumah sakit jiwa. Walau bagaimanapun juga papa adalah ayah saya. Dan saya sangat mencintainya,’ keluh Tisa panjang. ‘Tapi yah… sebentar lagi papa akan sembuh,’ sambungnya diiringi senyum. Semuanya akan kembali seperti sedia kala, pikir Tisa tenang.
Melihat kegembiraan di wajah Tisa, mau tidak mau dokter Sayekti ikut bergembira pula. Sejak pertama bertemu dokter Sayekti sudah mengagumi gadis di depannya ini. Tisa begitu telaten dan penuh cinta dalam merawat ayahnya. Alangkah sukarnya membayangkan Nies bersikap seperti Tisa dalam menghadapi ayahnya, suami dokter Sayekti. Apalagi Tegar. Tegar?
‘Astaga, hampir tante lupa!’ seru dokter Sayekti tiba-tiba. ‘Tadi Tegar menitipkan surat untukmu,’ sambungnya sambil mencari-cari ke dalam tasnya.
‘Surat apa?’ tanya Tisa heran.
‘Emm…, apa dia bilang tadi? Oh iya…. mau minta tolong untuk menandatangankan absensinya,’ jawab dokter Sayekti sambil mengulurkan sebuah amplop surat yang tertutup rapat.
‘Apakah kakinya masih bengkak?’ tanya Tisa.
‘Dia masuk Panti Rapih kemarin sore,’ sahut dokter Sayekti. ‘Kakinya ternyata retak dan perlu digibs. “
‘Retak,’ ulang Tisa tidak percaya. ‘Kemarin siang dia bilang kakinya tidak apa-apa. cuma bengkak saja. “
‘Oh, Tegar sok tahu. Dia pikir dia lebih ahli dari dokter. Sewaktu mau tante periksa dia menolak. Baru kemarin sore, setelah sakitnya tidak tertahankan lagi, dia
berlari ke tante. Langsung deh tante jewer kupingnya dan tante seret ke rumah sakit,’ cerita dokter Sayekti. Tisa tersenyum.
‘Tante heran, Tis, bagaimana Kamu akrab dengan anak sableng itu,’ lanjut dokter Sayekti. Tisa terdiam. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Akrab? Rasa-rasanya tidak.
♣
Surat Tegar untuk Tisa benar-benar menggambarkan sifat sablengnya. Pada kertas resep dengan kop nama dokter Sayekti di pojok kiri atas, dia menulis :
Pro :
Tisa Aribowo ( Namamu lebih keren deh bila digabungkan dengan namaku)
Begini, Tis, Kamu kan tahu absensiku untuk Pak Kris sangat rawan. Sekali lagi aku tidak kuliah berarti aku tidak diijinkan untuk ikut ujian akhir. Dus aku harus ngulang tahun depan. Nah demi masa depan kita bersama, kuharap Kamu mau mengisikan daftar presensiku. Tulisannya kira-kira seperti di bawah ini. Usahakan deh yang agak mirip sehingga beliaunya tidak curiga.
Tegar Aribowo.
Di bawah nama itu Tegar mencantumkan nomor mahasiswanya, kemudian sebuah tanda tangan. Tanda tangan yang simpel sehingga kelihatannya mudah untuk ditiru atau dipalsukan. Di bawahnya lagi , Tegar menyambung suratnya. Oh ya, Tis, sewaktu abangku sakit dulu dan harus diopname pacarnya nungguin dia terus. Aku
tahu aku tidak boleh mengharapkanmu untuk menungguiku harus. Tetapi kalau aku berharap agar sekali-sekali kamu kunjungi boleh kan?
Tisa tertawa ketika membaca surat itu. Pantas dokter Sayekti mengira kalau aku dan Tegar akrab. Pasti Tegar bercerita yang tidak-tidak kepada tantenya itu. Sesudah membaca ulang, Tisa kemudian mengambil selembar kertas dan mulai belajar menuliskan nama ‘ Tegar Aribowo ‘ hingga tulisannya mirip dengan tulisan tangan Tegar. Sebersit perasaan aneh tiba-tiba muncul di hatinya. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seakan-akan sejak dulu dia dan Tegar selalu berjalan bahu membahu. Dia merasa seakan-akan masalah yang dihadapi Tegar adalah masalahnya juga. Dan saat ini dia sedang berusaha membantu Tegar untuk menghadapi salah satu masalah tersebut.
♣
Usaha Tisa agar bisa menuliskan nama Tegar mirip dengan tulisan yang punya nama ternyata tidak ada gunanya. Pak Kris kosong. Berarti tidak ada daftar presensi yang harus diisinya. Dalam perjalanan pulang, sewaktu Colt yang ditumpanginya lewat di depan Panti Rapih tanpa disadarinya Tisa melambaikan tangannya kepada kernet untuk memberinya isyarat kalau dia ingin turun di tempat itu. Dan setengah sadar pula dia berjalan memasuki Panti Rapih. Tahu-tahu dia sudah berada di depan paviliun Albertus.
‘Apa yang kulakukan di sini?’ tanya Tisa pada dirinya sendiri. Serta merta Tisa sadar bahwa dia sebenarnya tidak mempunyai kewajiban untuk mengunjungi Tegar. Tetapi untuk keluar lagi dari Rumah Sakit itu rasanya lucu. Akhirnya dia memutuskan untuk menemui Tegar.
‘Hanya sekali ini,’ janjinya dalam hati sambil meneliti nama-nama para pasien dan kamar masing-masing. Tegar benar-benar surprise ketika tahu-tahu melihat Tisa sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dia tersenyum lebar dan menyilakan Tisa masuk. Tisa mendekati tempat tidur Tegar dengan ragu.
‘Aku senang kamu mau datang, Tis,’ ucap Tegar.
‘Emm… Kebetulan Pak Kris kosong,’ ucap Tisa yang tidak tahu harus berkata apa.
‘Kosong? Kalau begitu kamu tidak harus mengisikan presensiku dong,’ seru Tegar gembira. Tisa mengangguk sambil memperhatikan kaki kanan Tegar yang terbalut gibs.
‘Seumpama Pak Kris tadi masuk, Tis, apakah kamu akan menandatangankan resensiku?’ sambung Tegar dengan sebuah pertanyaan.
‘Kurasa aku tidak punya pilihan lain. Kalau sampai Kamu tidak boleh ikut ujian, kamu pasti akan menyalahkan aku,’ sahut Tisa. Tegar tergelak.
‘Aku memang brengsek dan tukang paksa,’ Tegar mengaku. ‘Soalnya kalau tidak kupaksa kamu tidak pernah mau melakukannya dengan suka rela. Coba kalau sore itu aku tidak bolos kuliah dan pura-pura jadi sopir Colt, tentu kamu tidak mau pulang bersamaku. Coba kalau aku tidak langsung menuliskan namamu dalam regu Costku, tentu kamu tidak mau seregu denganku. Coba kalau aku tidak langsung menuliskan namamu dalam regu Costku, tentu Kamu tidak mau seregu denganku. Coba kalau aku tidak memaksamu untuk mencintaiku, tentu Kamu tidak mau jadi pacarku.’
‘Apa?’ sergah Tisa sambil membelalakkan matanya.
‘Kamu sudah mendengarnya, Tis. Benar kan?’
‘Tidak lucu,’ desah Tisa.
‘Hei, ini memang bukan lelucon. Ini serius, Tis, Coba kalau tidak kupaksa, maukah Kamu jadi pacarku?’ bantah Tegar seenaknya. Tisa terdiam. Dia menyadari bahwa dia tidak mungkin bisa menghadapi Tegar bila dia tetap menggunakan caranya yang
sekarang ini. Dia harus menggunakan cara yang sama sekali lain. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Tisa menganggukkan kepalanya.
‘Mau,’ jawabnya mantap. Kini giliran Tegar yang terkejut. Dia menatap Tisa tidak percaya. Sama sekali dia tidak menyangka kalau Tisa akan menjawab seperti itu. Pelan-pelan Tegar mengembangkan senyumnya. Matanya menatap mata Tisa dengan
lembut dan dalam. Tisa segera menyadari kesalahannya.
‘Tegar, aku cuma bercanda. Tidak serius,’ ucapnya cepat. Tetapi sudah terlambat. Tegar seakan tidak mendengar suara Tisa. Dia masih juga menatap Tisa dengan segala cintanya. Tangannya terulur dan tahu-tahu tangan Tisa sudah berada dalam
genggaman tangannya.
♣
Siang itu matahari bersinar dengan garangnya seakan-akan ingin menghanguskan semua yang ada di atas permukaan bumi ini. Pohon-pohon mulai melayu daunnya dan burung-burung kehilangan nyanyiannya. Sementara orang lain memilih untuk tinggal di dalam rumah dan melindungi diri dari sengatan matahari, Tegar justru bertengger gagah di atas atap rumah Tisa. Matahari yang menggumuli kulitnya tidak. Hanya sekali-sekali saja dia menghapus keringat yang membasahi wajahnya. Dengan tekun dia memasang booster di antena pesawat CB Tisa. Dengan booster itu dia berharap agar kalau menghubungi Tisa di udara. Tisa bisa menangkap suaranya dengan jernih. Tegar baru saja selesai mengencangkan antena ketika dia mendengar suara lain di atas genteng itu. Ketika menoleh, dia melihat Tisa yang tengah berjalan ke arahnya.
‘Ya ampun, Tis, apa yang kamu lakukan di sini? Kamu bisa jatuh,’ seru Tegar kaget. Apalagi sewaktu melihat langkah Tisa yang terhuyung-huyung. Tisa tidak menyahut hanya melambai-lambaikan selembar kertas.
‘Dari Oom Heru. Kamu harus membacanya,’ ucapnya setelah dekat dengan Tegar. Kertas yang ternyata surat dari pamannya diulurkan kepada Tegar. Setelah menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali mulailah Tegar membaca surat itu. Sebuah surat yang sangat singkat. Oom Heru hanya menulis kalau operasi ayah Tisa telah berhasil dengan baik. Minggu depan Ayah Tisa sudah diijinkan keluar dari rumah sakit. Hanya itu isi surat tersebut. Oom Heru bahkan tidak menyebutkan kapan. Pak Haryanto akan kembali ke tanah air. Tapi surat yang singkat itu sangat berharga bagi Tisa. Juga bagi Tegar. Tegar menatap Tisa yang berada di dekatnya dengan kasih. Wajah yang biasanya diliputi mendung itu kini nampak secerah langit di atas sana. Tiba-tiba Tegar menyadari di mana mereka berada.
‘Tis, Kamu harus turun sekarang. Tempat ini terlalu berbahaya untukmu,’ perintahnya pada Tisa. Tisa memandangnya protes.
‘Aku tidak ingin melihat Kamu jatuh. Seharusnya Kamu tadi tidak usah naik kemari. Kamu memanggilku saja pasti aku akan segera turun,’ sambung Tegar.
‘Aku begitu antusias tadi,’ Tisa memberikan alasannya Tegar tersenyum. Seratus persen dia memakluminya.
‘Oke, tapi Kamu harus turun sekarang. Sebentar lagi aku selesai dan menyusulmu,’ kata Tegar. Tisa mengangguk.
‘Aku turun sekarang,’ ucapnya.
‘Hati-hatilah,’ pesan Tegar sambil memperhatikan Tisa berjalan menjauhinya. Ketika tiba di tepi atap Tisa menghentikan langkahnya dan berseru kaget.
‘Ada apa, Tis?’ tanya Tegar. ‘Kita tidak bisa turun,’ jawab Tisa ragu dan kecut.
‘Apa?’
‘Kita tidak bisa turun,’ ulang Tisa. ‘Kemari dan lihatlah,’ lanjutnya. Tegar meletakkan kawat yang dibawanya dan berjalan mendekati Tisa. Matanya terbelalak lebar. Tangga yang mereka gunakan untuk naik tadi kini tersangkut di rumpun melati jauh di bawah sana.
Posted in Novelette
Tags: Cerpen, Fiction, Fiksi, Indonesia, Istana Pasir, Laily Lanisy, Novelette, Short Stories
Be My Valentine
Posted by Laily Lanisy
Steve berjalan di depanku sambil menarik sled, kereta salju berwana merah menyala. Dari mulutnya terdengar siulan Poker Face-nya Lady Gaga. Sesekali dia menoleh ke belakang, melihat kalau-kalau aku sudah tertinggal jauh. Bila jarakku dengannya lumayan jauh dia akan menghentikan langkahnya dan memandangku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lucu. Bila sudah demikian aku merasa tertantang dan kupercepat langkahku.
‘Capai, Princess?’ tanya Steve ketika melihat langkahku mulai tidak karuan. Berjalan di salju yang begini tebalnya memang sulit. Sudah dingin, berat lagi, sehingga kaki malas untuk bergerak.
‘Duduklah di atas sled ini, nanti kutarik,’ usul Steve. Kakak AFS-ku yang satu ini memang selalu manis dan penuh perhatian. Aku menggeleng. Aku belum terlalu gila untuk membiarkan dia setengah mati menarikku seentara aku enak-enak duduk.’
‘Nggak mau ah. Nggak lucu,’ tolakku. Steve mengangkat bahu sambil meneruskan langkahnya lagi. Poker Face-nya kembali terdengar. Tiba-tiba kami melihat sebuah truk berhenti di jalan jauh di depan kami.
‘Nasib kita sedang mujur, Princess,’ seru Steve, ‘truk itu kelihatannya menunggu kita,’ lanjutnya sambil menarik tanganku dengan tangan kirinya agar aku bisa berjalan lebih cepat.
“Hai !!!’ teriak Steve setelah kami agak dekat dengan truk tersebut, ‘Boleh kami numpang?’ tanyanya, Sebuah kepala tersembul keluar dari jendela. Mati aku!!!
Kepala yang tersembul keluar dari jendela truk itu ternyata milik Timothy Clements, manusia paling kubenci di negerinya Obama ini. Jauh-jauh dari Indonesia aku datang ke negeri ini dengan berbekal cinta selautan India, tanpa seujung kuku kebencian. Kecuali untuk manusia bernama Timothy Clements ini. Aku tidak bisa membendung rasa ketikdaksukaanku terhadapnya. Aku tahu ini tidak sesuai dengan motto “AFS is Love…AFS is brotherhood”. Tapi mau dibilang apa, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Semakin hari semakin kuat, tanpa perlu dipupuk dan disemai.
♥
Aku tidak bisa melupakan pertemuan pertamaku dengannya. Hari itu hari pertamaku masuk sekolah. Semuanya serba baru dan asing, sehingga sedikt membuatku grogi. Pada waktu aku berdiri di depan pintu masuk tiba-tiba saja bel berdering dengan nyaringnya. Semua murid yang masih berada di halaman sekolah berlarian masuk dan melewatiku. Tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang. Semua buku dan ballpoint yang berada di tanganku jatuh dan berserak di bawahku. Belum lagi hilang rasa kagetku, pemuda yang menabrakku tadi berteriak.
‘Hei, tolol, jangan berdiri di depan pintu!’ Kupandang dia sekejab dan dalam hati aku berkata, aku tidak akan pernah melupakannya. Aku benar-benar sakit hati. Pelan-pelan aku menunduk dan memunguti buku-bukuku.
‘Jangan dengar omongannya,’ tiba-tiba seorang gadis telah berjongkok di depanku dan membantuku mengumpulkan buku-bukuku. Gadis tersebut kemudian kukenal sebagai Andrea Simons.
‘Itu tadi Tim. Timothy Clement,’ Andrea menerangkan, ‘murid paling urakan di sekolah ini. Dia pikir semua anak menyukainya karena dia cerdas dan bintang lapangan. Itulah sebabnya omongannya sering ngawur dan seenaknya. Engkau tidak perlu menggubrisnya,’ saran Andrea. Saran itu kemudian kuturuti dengan baik. Aku tidak pernah menggubrisnya. Sama sekali tidak pernah. Tersenyum padanya pun aku belum pernah, apalagi meluangkan waktu untuk bertegur sapa. Padahal banyak kelas-kelasku yang sama dengan kelasnya. Bahkan, pada mata perlajaran American Government, Tim duduk tepat di belakangku.
Dan kini kami akan numpang truknya? Aduh, harus kubuang kemana gengsi ini?
‘Steve, kita jalan kaki saja,’ bisikku pada Steve. Steve membelalakkan matanya tidak percaya. Tim yang mendengar bisikanku tersenyum lebar sambil membuka pintu truk-nya.
‘Cepat naik, Princess. Kamu bisa mati kedinginan di situ. Lihat, wajahmu sudah kebiru-biruan,’ ucap Tim. Aku benar-benar dongkol mendengar dia ikut-ikutan memanggilku Princess, panggilan sayang keluarga Amerikaku yang tidak bisa melafalkan namaku dengan benar.
‘Ayo, Princess!’ ajak Tim lagi. Tiba-tiba angin berhembus dari utara. Brrrr…. dinginnya. Terpaksa kuturuti ajakan Tim, meloncat naik ke dalam truknya dan duduk di sampingnya.
Selama perjalanan, aku diam bak patung Rara Jonggrang. Dingin dan angkuh. Semua perkataan Tim, Steve yang menimpalinya. Tak sekalipun aku menyumbang suara. Steve pula yang bercerita kalau kami baru saja pulang dari Sled Riding di bukit di belakang sekolah dan pulangnya ingin mengukur kekuatan dengan berjalan kaki…. dan ternyata tidak kuat.
‘Kamu bisa bermain sled, Princess?’ tanya Tim. Kudiamkan.
‘Oh, dia mahir,’ Steve yang menjawab. Aku tahu Steve merasa tidak enak mendengar pertanyaan Tim hilang ditelan keheningan.
‘Kalian ikut main ski di Crystal Mountain tanggal 12 yang akan datang?’ tanya Tim beberapa saat kemudian.
‘Ya,’ jawab Steve mantap. ‘Kamu ikut?’ sambung Steve dengan pertanyaan. Tim mengangguk sambil tersenyum. Aku berdoa agar cepat sampai di rumah sehingga tidak harus mengunci mulut macam ini.
Begitu sampai di depan halaman rumah, aku segera turun dan berlari meninggalkan Tim. Aku yakin Steve akan mengucapkan terima kasih untuk kami berdua, jadi aku tidak perlu mengucapkannya.
‘See you, Princess!’ teriakan Tim terdengar sebelum aku menghilang di balik pintu garasi. Sepatu boot kulepas di depan pintu dapur. Mom bisa histeris kalau aku masuk dapur dengan sepatu itu. Lantai dapur kami selalu dalam kondisi mengkilat tanpa noda.
‘Astaga, Princess, ada apa denganmu?’ seru Steve yang telah menyusulku sambil meletakkan sled di sudut garasi. ‘Kamu tidak mendadak menjadi bisu kan?’
‘Steve, kamu tahu jawabnya dengan pasti,’ sahutku sambil masuk ke dapur. Mom dan Robby yang ada di dapur menoleh ke arahku.
‘Hello, sudah pulang?’ tegur mereka serentak.
‘Ya,’ jawabku sambil melepas topi dan kaus tangan. Kugerak-gerakkan badanku untuk menghilangkan dinginnya udara luar.
‘Cepat mandi air hangat. Kalian terlalu lama bermain di luar,’ perintah Mom. Cepat-cepat aku berlari ke lantai atas untuk mandi.
♥
Kembali ke dapur kujumpai Robby tengah menggunting kertas merah muda menjadi guntingan-guntingan berbentuk hati. Begitu melihatku Robby langsung beranjak dari kursinya dan mengambil segelas cokelat susu panas lengkap dengan marshmallow. Gelas itu lalu diulurkannna kepadaku.
‘Untukmu, Princess,’ ucapnya. Aku heran.
‘Kok tumben? Kamu membuatku curiga, Rob. Biasanya kamu tidak semanis ini,’ komentarku.
‘Pasti ada apa-apanya,’ tebak Mom. Rob tersenyum dan dari senyuman itu aku tahu kalau tebakan Mom tepat.
‘Rob, aku mau juga segelas,’ kata Steve yang tiba-tiba muncul di dapur.
‘Buat sendiri,’ sahut Robby acuh. Steve tertawa keras, kemudian berjalan mendekati Robby dan meninju punggungya. Terpaksa dia harus membuat sendiri minuman yang diinginkannya.
‘Kamu bikin apa, Rob?’ tanyaku sambil duduk di dekat Robby dan mengambil salah satu hati kertasnya.
‘Kartu Valentine,’ jawab Robby sambil mengulurkan selembar kertas degan tulisan tangannya
‘Apa ini?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu tahu tulisanku jelek dan sulit dibaca, Princess. Sementara tulisan tanganmu sangat indah. Aku ingin mengirim kartu ini untuk gadis yang sangat istimewa. Aku tidak ingin dia tahu kalau tulisanku kacau. Aku minta tolong kamu untuk menuliskan kata-kataku ini,’ Robby menjelaskan. Mom dan Steve tergelak mendengar kata-kata Robby. Robby tetap menjaga sikap kalemnya seakan tidak mendengar gelak tawa ibu dan kakaknya.
‘Jadi ini nih upah membuatkan coklat susu tadi?’ tanyaku.
‘Ya, you can put it that way,’ sahut Robby tanpa sungkan-sungkan. Karena coklat susu sudah terlanjur kuminum, maka tidak ada jalan lain kecuali memenuhi permintaan Robby. Kusalin tulisan tangan Robby yang persis cakar ayam ke atas kertas merah mudanya. Kata-kata cinta Robby untuk gadis istimewanya benar-benar puitis. Lebih puitis dari lagu-lagunya Sheila on 7. Barangkali Robby mendapatkan kata-kata itu dari internet. Rasa-rasanya mustahil, Robby yang umurnya belum genap sebelas tahun bisa menuliskan kata-kata yang begitu cantik. Mau juga aku menerima kata-kata cinta seperti ini dari seorang pemuda. Biarpun pemuda itu mengambil kata-kata orang lain di internet.
‘Princess,’ panggil Mom begitu aku menyelesaikan tulisanku. ‘Kamu sudah menemukan Valentine-mu?’
‘Sudah!’ jawab Steve cepat. Kupelototi dia, tapi dia malah senyam-senyum kayak monyet dilemparin kacang rebus.
‘Siapa?’ tanya Mom dan Robby antusias.
‘Nggak marah kalau kukatakan kepada mereka?’ Steve meminta persetujuanku.
‘Steve, jangan mengada-ada,’ ancamku
‘Aku tidak mengada-ada. Apa yang mengantar kita tadi bukan Valentine-mu? Kalau bukan mengapa duduk di sampingnya saja membuatmu bisu?’ oceh Steve. Aku benar-benar gondok mendengar argumentasi Steve. Teganya dia menuduhku seperti itu. Kuambil spidol-spidol Robby dan kulemparkan ke arahnya. Dalam kesibukannya melindungi wajahnya dari spidol-spidol terbang itu, Steve masih sempat tertawa gelak. Uggh… menyebalkan!!!
♥
Tanggal sebelas Februari pagi, rombongan kami meninggalkan halaman parkir sekolah menuju ke Crystal Mountain, yang letaknya tidak jauh dari kawasan Mount Rainier National Park. Rombongan kami terdiri dari dua puluh delapan anak yang tergabung di dalam ski club dan dua guru pengawas yang kesemuanya mahir bermain ski (kecuali aku tentu saja). Kami akan mengadakan kegiatan ski di sana selama dua hari. Tanggal 13 sore kami akan pulang sehingga kami bisa merayakan Valentine’s Day di rumah. Namun, rencana tinggal rencana.
Dua hari pertama kami bisa melakukan kegiatan ski dengan baik. Udara bear-benar indah, dengan matahari yang bersinar cemerlang. Tetapi di hari ketiga, cuaca berubah drastis. Sejak dini hari salju turun dengan lebatnya, sesekali disela dengan hujan deras. Mulai jam enam pagi terjadilah badai salju yang seakan tidak pernah mau berhenti. Angin menderu-deru, menggoyang-goyangkan pohon besar ke sana ke mari. Kami tidak bisa keluar dan terkurung di penginapan kami. Dari televisi kami mendengar berita bahwa sebagian besar jalan di Negara Bagian Washington ditutup. Apalagi jalan menuju ke puncak-puncak pegunungan seperti ke Crystal Mountain ini. Tidak mungkin bagi kami untuk pulang ke Seattle. Lagi pula bis yang kami tumpangi telah terkubur salju di halaman parker penginapan.
‘Seharusnya salju tidak turun begini lebat di bulan Februari,’ kudengar sebuah komentar di belakangku. Saat itu aku sedang berdiri di depan jendela kaca sambil memperhatikan salju yang berputar-putar dipermainkan angin. Aku menoleh. Tim ada di belakangku ikut menyaksikan apa yang aku saksikan.
‘Kamu sudah menelpon keluargamua kalau kamu tidak bisa pulang hari ini?’ tanya Tim penuh perhatian. Aku bisa saja membiarkan pertanyaannya tidak terjawab. Tapi entah mengapa aku tidak tega untuk melakukannya.
‘Steve telah menelp0n tadi,’ jawabku. Tiba-tiba Tim mengembangkan senyumnya.
‘Kamu tahu, Princess, itu tadi kalimat pertama yang kamu ucapkan kepadaku,’ kata Tim dengan senyuman yang masih berkembang di bibirnya. Aku terdiam. ‘Aku tidak pernah mengerti mengapa kamu tidak pernah mau bicara kepadaku. Semua anak di sekolah mengatakan kalau kamu ramah dan banyak omong. Ratusan kali aku memancingmu untuk berbicara, tapi kamu seakan tidak mau tahu. Ada apa sebenarnya?’
Kupandang dia sejenak. Jadi kamu tidak tahu kalau aku membencimu? Kamu tidak tahu kalau kamu dulu pernah menyinggung perasaanku? Tapi semua itu hanya kubatin, tidak kuucapkan.
‘Tidak ada apa-apa,’ jawabku.
‘Kalau tidak ada apa-apa mengapa kamu tidak pernah mau bicara atau menjawab pertanyaanku?’ kejar Tim tidak puas. Untung saat itu Michelle dan Debby memanggilku untuk bergabung bersama mereka main monopoly, sehingga aku terhindar dari keajiban untuk menjawab pertanyaan Tim.
‘Sebentar, Princess,” ucap Tim menghadangku.
‘Apakah … apakah?’ Tim kelihatan ragu untuk melanjutkan. ‘Apakah kata-kataku di hari pertamamu di sekolah dulu sangat menyakitkan hatimu?’ akhirnya mampu juga dia meneruskan kalimatnya. Jantungku berhenti berdetak. Na……., akhirnya kamu tahu juga.
‘Ya, pasti itu sebabnya,’ gumam Tim. “Princess, maafkan aku. Saat itu aku benar-benar terburu-buru. Guru di homeclassku sangat keras. Telat sedetik pun kami harus minta surat ijin dari administrasi. Aku ingat waktu itu aku bersikap kasar terhadapmu. Maukah kamu memaafkanku, Princess. Please …,” pintanya. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Memaafkan dia?
♥
Puncak dari badai itu terjadi di malam hari. Di saat kami sudah berada di kamar masing-masing seiap dengan mimpi tentang Valentine besok pagi. Di tengah menderunya angin dan berisiknya pohon yang bertumbangan, tiba-tiba aliran listrik di seluruh penginapan terputus, berarti sebentar lagi kami semua akan kedinginan tanpa pemanas listrik.
‘Tetaplah disini, Princess, aku akn mencari lilin sebentar,’ pesan Andrea yang tidur sekamar denganku.
Sekeluar Andrea aku duduk mematung di atas tempat tidurku sambil mendengarkan angin yang menderu mengerikan seakan sanggup untuk menerbangkan semua yang ada di atas bumi ini. Tiba-tiba kudengar suara benda yang sangat berat jatuh dari atap disusul gemerincing suara kaca pecah. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi karena diselilingku hanyalah kepekatan. Tetapi sejenak kemudian aku mulai merasakan lelehan salju menyentuh kulitku. Astaga, yang jatuh tadi ternyata atap. Aku harus segera keluar dari kamar.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Tetapi begitu kakiku menyentuh lantai, secara refleks terangkat lagi. Kakiku terasa nyeri luar biasa. Kusentuh dengan tanganku dan kudapatkan potongan kaca menancap di sana. Pelan-pelan dan sambil menahan rasa sakit, kucabut potongan kaca itu. Untung keadaan kamarku gelap gulita, sehingga aku tidak bisa melihat darah yang mungkin mengalir dari telapak kakiku. Kalau tidak, bisa pingsan aku.
‘Princess! Princess!! tiba-tiba kudengar teriakan-teriakkan memanggil namaku. Juga kulihat sinar-sinar lampu senter yang menyorot kesana kemari. Dan akhirnya singgah di wajahku.
‘Oh, my God!’ kudengar sebuah seruan yang aku yakin berasal dari Tim. Kejadian yang berlangsung sesudahnya sangat cepat. Tim melepas T-shirt yang dikenakannya untuk membungkus kakiku yang ternyata sudah penuh dengan darah. Kemudian dia dan Steve membawaku ke lobby dimana semua temanku berkumpul di sekitar tungku api. Mereka semua lantas mengerumuniku dan memberondongiku dengan pertanyaan apakah aku tidak apa-apa, sementara Mr Toda dan Miss Morris mengganti T-shirt Tim dengan perban.
Sesudah lukaku bersih, Joe, si manager malam hotel, memberiku segelas kecil anggur untuk menenangkanku dan sebuah kamar di lantai dasar dengan pemanas api yang menyala hangat. Entah karena pengaruh anggur, malam itu aku bisa tidur nyenyak sementara kawan-kawanku terpaksa tidur di lantai lobby di sekitar tungku api. Bukan salahku jika aku harus terkena pecahan kaca.
♥
Pagi harinya cuaca kembali seperti semula. Cerah dan tenang. Badai telah berlalu. Yang ada sekarang hanyalah nyanyian burung yang bercanda di bawah sinar matahari.
Ketika keluar dari kamarku dengan kaki yang masih agak pincang, aku disambut dengan ciuman-ciuman dan ucapan ‘happy valentine’ dari mereka-mereka yang semalam tidur di lantai tapi kini toh mereka mempunyai wajah yang cerah. Wajah cinta. Wajah Valentine. Tetapi aku tidak menjumpai satu wajah di sana. Dimana dia?
‘Siapa yang kamu cari?’ tanya Steve.
‘Valentine-ku,’ sahutku.
‘Aku disini …,’ tiba-tiba Tim telah berdiri di depan pintu dengan bungkusan berbentuk hati berwarna merah muda dengan pita berwarna merah menyala di tangannya. Aku tidak tahu bagaimana warna mukaku saat itu. Malu bercampur senang. Tim kemudian berjalan mendekatiku. Diulurkan bungkusan yang dibawanya itu kepadaku.
‘Be my Valentine,’ ucapnya lirih tapi pasti. Memang ucapannya itu tidak sepuitis ucapan Robby kepada gadis istimewanya, tapi bagiku ucapan itu tidak kalah indahnya. Dan ketika Tim memberiku ciuman di pipiku, aku tahu aku telah menemukan Valentine-ku.
Happy Valentine, everybody.
Posted in Short Stories
Tags: Jadilah Valentine-ku, Laily Lanisy, Novelette, Stories, Valentine