Blog Archives
Tentang Tami: Tembang Terakhir
Posted by Laily Lanisy
Adegan NCIS lagi tegang-tegangnya, ketika wajah Jethro Gibbs terhalang oleh munculnya pesan singkat Santi di layar TV-ku. Agar pesan dan telpon dari pelangganku tidak terlewatkan selagi aku terlena nonton TV, aku sengaja mengkaitkan telpon selulerku ke pesawat TV. Akibatnya ya seperti ini. Bukan hanya sms dari pelangganku saja yang sering mengganggu kenikmatanku menonton, tapi juga sms-sms dari teman yang tidak mendatangkan bisnis seperti sms Santi ini.
JANGAN LUPA PERTUNJUKAN MEGAN MALAM INI !!!!!!!! AJAK CLAY JUGA…. AKU SUDAH SIAPKAN MAKANAN TIDAK PEDAS UNTUKNYA !!!!!!!
Tulisannya persis seperti itu. Dengan huruf besar semua dan dengan belasan tanda seru, seolah untuk menekankan betapa pentingnya pertunjukan Megan ini untuk dirinya. Kalau sampai aku tidak muncul, dia akan murka sekali.
Mark Harmon seketika kehilangan daya tariknya. Aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih tebal. Udara di luar lumayan dingin dan untuk menuju ke rumah Santi di Port Orchard aku harus naik feri dulu dari Seattle ke Bremerton selama satu jam dilanjut dengan naik mobil selama kurang lebih dua puluh menit. Sekarang sudah jam lima lewat. Mudah-mudahan aku aku bisa naik feri yang enam sore. Aku harus buru-buru. Tidak ada waktu untuk menghubungi Clay. Kedua-duanya akan aku lakukan nanti di atas feri saja.
Kukeluarkan Mini Cooperku dari garasi. Untung kemarin aku sempat mengisi bensin, jadi aku bisa langsung ke terminal feri tanpa harus mampir di pompa bensin terlebih dahulu. Mobil miniku masuk di terminal feri pada detik-detik teakhir. Telat semenit saja, aku harus menunggu feri berikutnya satu jam lagi dan pertunjukan Megan sudah pasti akan terlewatkan. Megan, anak Santi dan Greg, dari umur belia sudah belajar memainkan harpa. Di usianya yang sekarang, 15 tahun, dia sudah piawai memainkan dawai. Sesekali ibunya mengundang teman-teman dekatnya untuk makan malam dan Megan akan memainkan dua atau tiga komposisi.
Setelah memarkir mobilku, yang tentu saja terletak di bagian paling belakang feri, aku segera naik ke lantai atas, membeli segelas kopi dan menuju ke anjungan kapal bagian belakang. Pada bulan Februari seperti ini, tidak ada seorang pun yang beminat untuk duduk di tempat terbuka. Jadi seluruh anjungan belakang menjadi milikku.
Perlahan dan pasti, MV Sealth, feri yang kutumpangi mulai meninggalkan sandaran dan berlayar menjauhi Seattle, yang mulai memamerkan kerlap-kerlip lampu malamnya. Bangunan-bangunan tinggi di Seattle yang kalau siang hari kelihatan gagah dan angkuh berubah menjadi romantis di senja hari. Di bagian paling kiri, terisolasi dari bangunan-bangunan tinggi lainnya, menjulang bangunan favoritku, Space Needle, yang di usianya yang ke 50 tahun masih tetap saja kelihatan kontemporer dan mampu bersaing dengan bangunan-bangunan lainnya.
Kucoba menelpon Clay. Seperti biasa, tidak peduli sesibuk apapun, pada dering yang kedua dia menjawab telponku.
‘Hi, hon, what’s up?’ sapanya antusias
‘Pertunjukan Megan ternyata malam ini, Clay,’ ucapku. Lebih dari dua minggu lalu, Santi sudah mengedarkan undangannya lewat sms dan aku benar-benar lupa.
‘Aku masih ada dua pasien, Tam. Kamu mau menunggu aku atau kamu mau berangkat duluan nanti aku susul?’ tanya Clay. Aku yakin dia pasti masih sangat sibuk. Aku tidak ingin mengganggunya.
‘Aku sudah ada di atas feri, Clay,’ sahutku. ‘Lagi pula kamu tidak harus datang. Nanti kupamitkan ke Santi kalau kamu masih ada pasien dan kubawakan lemper buatannya,’ janjiku. Bule satu ini demen sekali lemper isi ayam. Apalagi buatan Santi.
‘Kamu yakin …
‘Sangat yakin.’
‘OK, hati-hati nyetirnya. Jalanan licin kalau musim dingin seperti ini.’
‘Ya, kek…,’ sahutku seperti biasa kalau dia sudah mulai dengan nasehat-nasehatnya.
Setelah memasukkan telponku ke dalam tas, aku mulai menikmati indahnya Puget Sound, perairan di depan kota Seattle di saat matahari mulai tenggelam. Karena bentuknya teluk, perairan disini sangat tenang. Dari kejauhan menjulang deretan pegunungan Olympic yang berselimutkan salju. Di kiri dan kananku berderet pulau-pulau kecil yang nampak kabur terhalang kabut. Sesekali ada pancaran cahaya lampu dari pulau yang menyeruak menembus kabut.
Keheningan Puget Sound tiba-tiba terkoyak oleh derit pintu yang terbuka. Seorang pemuda keluar dan sontak jantungku berhenti berdetak. Di depanku berdiri Bara. Bara dari masa dua puluh tahun silam. Baraku yang masih berusia remaja. Kugelengkan kepalaku dengan keras untuk memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi. Ada yang salah dengan logikaku.. Remaja di depanku paling banter berusia tujuh belas tahun. Sementara Baraku sudah menjelang usia 40 tahun. Mustahil dia Bara. Kecuali Bara sudah berubah menjadi Edward Cullen dengan keabadian remajanya.
Pemuda di depanku mengembangkan senyumnya. Senyuman khas Bara. Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu mirip Bara. Anak Barakah dia?
‘Indonesia or Filipino?’ tanyaku membuka percakapan, walaupun seribu persen aku yakin kalau dia anak Indonesia dan mempunyai hubungan erat dengan Bara.
‘Indonesia,’ jawabnya hangat dan ramah.
‘Mau ke rumah tante Santi di Port Orchard?’ tebakku
‘Iya. Tante juga mau kesana?’ sahutnya sambil bersandar di pagar pengaman di depanku. Kuanggukkan kepalaku ‘Ibu saya teman kuliah tante Santi. Bunda minta saya untuk datang ke pertunjukan Megan,’ remaja itu menjelaskan. Dia menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lancar, namun aku bisa menangkap kalau bahasa Indonesia bukan bahasa pertamanya. Anak ini besar atau lahir di Amerika.
‘Teman tante Santi di Bloomington Indiana?’ tanyaku menyelidik Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mengetahui semua tentang anak ini. Barangkali dengan mengetahui tentang dia, aku bisa mengetahui ihwal Bara.
Tanpa ada peringatan terlebih dahulu, sekonyong-konyong anganku melintas balik ke hampir 20 tahun silam. Balik ke kampus Bulaksumur, Yogya. Balik ke masa remajaku yang penuh dengan kenangan manis yang sekaligus getir. Umurku waktu itu baru 17 tahun, mahasiswa baru yang jatuh cinta kepada kakak kelasnya, Bara. Betapa indahnya cinta remaja. Betapa tidak adilnya kehidupan.
Di saat dunia luas mulai terbuka di depan mataku, di saat aku begitu mencintai kehidupan dan siap mengepakkan sayap untuk menggapai cita-cita, Leukimia mengincar nyawaku dengan kejam. Aku yang pemain inti basket di universitas, yang doyan naik turun gunung, yang nilai ujian terendahnya B+, yang punya cowok ganteng bernama Bara, harus berperang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhku.
Pengobatan demi pengobatan kujalani dengan sabar. Dari chemotherapy yang merontokkan semua rambutku hingga pengobatan alternatif yang tidak jelas juntrungannya. Di sela-sela pengobatan itu, jalinan cintaku dengan Bara terajut dengan indah dan kokoh. Bara adalah alasan utamaku untuk mempertahankan hidup yang semakin hari semakin berat. Bara adalah batu cadasku di saat aku hampir putus asa. Di saat seluruh tubuhku bengkak dan penuh dengan benjolan, Bara masih menganggapku gadis tercantik dan dengan bangganya memamerkanku ke seluruh dunia. Bara adalah cahaya yang menerangi kelamnya masa depanku.
Namun, harapan hidupku semakin hari semakin tipis, hingga tidak ada lagi yang tersisa. Melihat Bara yang tadinya menguatkanku berubah menjadi beban. Setiap kali penyakitku kumat kulihat penderitaan hebat di mata Bara. Dia yang pada mulainya tenang, mulai sering panik. Dia mulai menelantarkan masa depannya. Dia lebih sering mangkir dari kampus dan beredar di rumah sakit menemaniku.
Di penghujung perjuanganku, di saat tubuhku menolak segala jenis pengobatan, datang undangan dari Universitas Washington di Seattle untuk menjadi salan satu pasien uji coba pengobatan dengan sistem stem-cell. Semua biaya mereka tanggung. Karena sudah tidak ada alternatif lain, akhirnya berangkatlah aku ke Seatlle.
Bara masih sempat mengantarku di Bandara Soetta. Sebelum keberangkatku, aku memaksanya berjanji untuk melupakanku dan melanjutkan hidupnya. Aku tidak mempunyai apa-apa yang bisa aku janjikan untuknya. Sama sekali tidak ada. Jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa tidak mempunyai peluang di Seattle. Aku pergi untuk tidak kembali
Ternyata, pengobatan di Seattle menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah lebih dari tiga tahun aku dinyatakan bersih dari Leukimia. Aku mendapatkan masa depanku kembali. Aku punya waktu untuk bercinta lagi. Aku bisa menghubungi Bara kembali.
‘Jangan,’ cegah abangku Tommy saat kuungkapkan keinginanku untuk menghubungi Bara. ‘Bara sudah melanjutkan hidupnya. Dia sedang mengambil S2 dan sebentar lagi akan kawin dengan gadis lain. Kamu sendiri yang menginginkn itu. Jangan kamu ganggu dia.’
Aku pun maklum. Inilah harga yang harus kubayar untuk kesembuhanku. Aku mendapatkan hidupku tapi aku harus melepaskan cintaku. Merasa tidak ada lagi alasan untuk balik ke Yogya, akupun memutuskan untuk tinggal di Amerika. Walaupun pahit dan menyesakkan dada, kukubur dalam-dalam kenanganku bersama Bara.
‘Tante ..’ panggilan anak itu menyadarkanku dan menarikku kembali ke masa kini.
‘Maaf, kamu mengingatkanku pada seseorang,’ ucapku. ‘Pertanyaannya tadi apa?’ lanjutku. Anak itu tertawa. Gelak tawanya persis seperti gelak tawa Bara kala menertawakan kekonyolanku.
‘Saya tadi bilang ke tante, nama saya Tommy, tante siapa?’ ucapnya sabar. Untuk beberapa detik aku diam terpana. Bara menamakan anaknya Tommy, seperti nama kakakku? Apakah kalau anaknya perempuan dia akan menamakanya Tami?
‘Nama tante Tami.’ ucapku. Pemuda di depanku yang ternyata bernama Tommy tertawa membahana. Jika tadi aku belum yakin kalau dia anak Bara, kini aku yakin sekali. Seyakin matahari terbit dari timur setiap paginya.
‘Nama kita mirip ya?’ olokku.
‘Bukan itu saja, tante,’ jawab Tommy. ‘Pacar ayah saya dulu namanya juga Tami, makanya saya dinamakan Tommy. Dari nama pacar ayah,’ lanjut Tommy. Aku terkesima. Bara sama sekali tidak merahasiaka masa lalunya.
‘Bundamu tidak keberatan kamu dinamakan Tommy?’ tanyaku menyelidik. Tommy terdiam beberapa saat.
‘Ayah saya orangnya sangat keras dan kaku, Tante,’ ucapnya kemudian. ‘Bunda memilih untuk mengalah. Bunda selalu mengalah. Mereka pernah mengalami masa-masa sulit. Sekarang sudah jauh lebih baik,’ sambungnya ringan. Dia bercerita seolah aku adalah tantenya yang sudah dia kenal sejak lahir.
‘Jangan-jangan tante adalan Tami, cewek ayahmu dulu,’ pancingku juga berlagak ringan.
‘Tidak mungkin, Tante,’ jawab Tommy cepat. ‘Taminya ayah sudah meninggal sebelum ayah ketemu Bunda.’ Aku terdiam. Hatiku seketika membeku. Ternyata bagi Bara aku sudah mati. Untung saat itu peluit panjang sudah dibunyikan, pertanda kapal mulai merapat di Bremerton. Karena Tommy tidak membawa mobil, kutawarkan kepadanya untuk ikut bersamaku.
Selama dua puluh menit perjalanan dari Brementon ke Port Orchard, aku mencoba menggali informasi dari Tommy. Mencoba memahami apa yang membuat Bara yang dulu kukenal sangat lembut dan penuh pengertian berubah menjadi kaku dan berkeras untuk menamakan anaknya Tommy, tanpa mempertimbangkan perasaan istrinya.
Sudah banyak mobil yang parkir di halaman rumah Santi ketika kami sampai di sana. Rumah Santi letaknya terpencil, jauh dari tetangga. Di kiri dan kanan bangunan utamanya yang besar dipenuhi dengan hutan pinus dan halaman belakangnya adalah pantai pribadi. Kalau musim panas, kami sering mencari kerang untuk dimasak bersama. Greg, suami Santi adalah seorang dokter bedah jantung, dan bekerja di rumah sakit yang sama dengan Clay. Clay lah yang memerkenalkan aku dengan Santi dan Greg, bukan sebaliknya.
Santi sudah menunggu di depan pintu ketika kami datang. Sama sekali di luar kebiasaanya. Sambil memelukku dia berkata ke arah Tommy.
‘Ayah dan Bundamu ada di kamar tamu atas, Tom.’
Aku membelalakkan mataku, tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Santi. Tommy segera menghambur ke dalam.
‘Kamu tahu siapa ayah Tommy?’ tanya Santi berbisik. Kuanggukkan kepalaku.
‘Bara ada disini?’ tanyaku tidak percaya. Santi menggangguk, menggamit lenganku dan menggandengku menjauhi rumah menuju pantai. Lampu-lampu di sepanjang jalan setapak menuju ke pantai sudah menyala dengan terang.
‘Dan kamu tidak memberitahuku kalau dia ada disini? Kukira kamu temanku, San,’ protesku.
‘Aku temanmu, Tam, percayalah. ‘Bara memintaku untuk tidak memberitahumu. Kalau kamu tahu kamu pasti tidak akan datang,’
‘Tentu saja aku tidak akan datang,’ sergahku. ‘Kamu sadar enggak sih, San, betapa canggungnya pertemuan ini? Lagian dari mana Bara bisa tahu tentang keberadaanku?’
‘Dari Facebook,’ jawab Santi singkat
‘Aku tidak punya akun Facebook, San’ bantahku sengit.
‘Dari akunku. Mita mengunggah beberapa foto perkawinannya. Ada foto kita berdua disana. Bara melihat foto itu dan menanyakan tentang kamu. Karena aku tidak tahu kalau aku harus merahasiakan keberadaanmu, ya aku jawab apa adanya,’ Santi menjelaskan. ‘Bara dan istrinya, Maya ingin bertemu denganmu. Aku katakan kepada mereka kalau kamu akan datang pada acara Megan ini. Dan mereka sengaja datang untuk menemuimu.’
‘Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia?’
‘Mereka tinggal di Portland, Tam. Setelah lulus dari Indiana mereka kerja di Portland.’ Aku tertegun. Tidak menyangka kalau selama ini Bara berada hanya tiga jam dari tempat tinggalku.
‘Apa yang kamu ketahui tentang aku dan Bara?’ selidikku.
‘Banyak,’ jawab Santi. ‘Aku roommate Maya dari tingkat satu hingga lulus, Tam. Aku menjadi saksi perubahan dramatis Maya sejak kemunculan Bara di Bloomington. Dia jungkir balik mencoba menggapai cinta Bara yang sudah habis kikis untukmu. Aku kasihan melihat dia bersaing dengan hantumu. Seingatku Bara pernah bilang kalau hatinya sudah mati bersamaan dengan kematian gadisnya. Aku dan Maya mengira kalau kamu benar-benar sudah mati, Tam. Belasan tahun aku mengenalmu dan aku tidak pernah tahu kalau kamu adalah gadis Bara’
‘Bagi Bara aku sudah lama mati, San,’ bisikku.
‘Omong kosong,’ bantah Santi sengit. ‘Bara tidak pernah bisa melupakanmu. Di matanya kamu sempurna sehingga Maya harus berjuang keras untuk bersaing dengan bayanganmu. Dan kurasa kamupun demikian juga. Bara adalah tolok ukurmu. Dia juga yang membuatmu menolak lamaran Clay kan?’
‘Clay tidak pernah melamarku..’ bantahku. Tiba-tiba aku membutuhkan Clay di berada di sampingku saat ini juga. Membutuhkan dia untuk mengatakan apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi Bara yang tiba-tiba berada dalam jangkauanku. Tanpa aku sadari ternyata selama ini aku banyak mengandalkan Clay dalam memutuskan sesuatu.
‘Untung dia tidak melamarmu,’ sahut Santi. ‘Kalau sampai dia melamarmu, kamu akan terbirit-birit meninggalkannya. Dan kamu akan menjadi wanita tua yang kesepian tanpa teman sekaligus kekasih,’ ucap Santi sambil melihat ke arah rumah.
‘Temuilah mereka, Tam,’ lanjut Santi. ‘Sudah saatnya kalian menghadapi hantu masa lalu kalian dan melangkah maju. Yuk masuk, sudah saatnya untuk makan malam..’ ajaknya mengalihkan pembicaraan.
‘Kamu masuklah dulu, San. Aku butuh waktu sebentar untuk menyendiri,’ ucapku. Santi memandangku sejenak kemudian menganggukkam kepalanya. Setelah berpesan agar aku segera menyusulnya dia meninggalkanku.
Aku duduk mematung di atas batang pohon yang tumbang terbawa arus. Memandang ke depan. Ke gelapnya malam yang menggelantung di atas laut yang mendesah halus. Cepat atau lambat aku harus menemui Bara dan istrinya. Pada saat aku siap untuk beranjak dan menuju ke rumah utama, aku melihat sesosok bayangan yang berjalan dengan cepat dan pasti ke arahku. Aku berdiri dan menanti dengan cemas. Aku kenal betul pemilik bayangan itu. Seribu tahun dari sekarang pun aku masih akan tetap mengenalinya.
‘Tami…?’ bisiknya ragu. Hanya sekejab. Sekejab kemudian dia sudah merengkuhku ke dalam pelukannya yang erat. Erat sekali hingga aku nyaris tidak bisa bernafas. Dua puluh tahun yang memisahkan kami sirna sudah. Tanpa bekas. Kami kembali ke masa lalu. Ke masa dimana pelukan Bara mampu menghilangkan semua ketakutan di dalam diriku. Tidak ada kata-kata yang terucap, takut kalau kata-kata justru akan membuyarkan momen yang indah ini. Lama kami berada dalam keadaan seperti itu. Hingga sebutir air mata Bara bergulir menimpa pipiku. Aku tersadar dan melepaskan diri dari pelukan Bara, mengambil jarak, namun masih tetap menggenggam kedua tangannya.
‘Aku tidak menyangka kita bisa bertemu lagi, Bar,’ kataku dengan susah payah sambil menghapus air mata dari pipinya.
‘Mereka semua membohongiku, Tam,’ ucapnya serak. ‘Mereka membohongiku. Membohongiku,’ ucapnya berkali-kali.
‘Siapa yang membohongimu?’ tanyaku bingung.
‘Semuanya … Ayahmu, ibumu. kakakmu Tommy dan istrinya, Oki. Kira-kira dua bulan setelah keberangkatanmu ke Amerika, mereka bilang kalau pengobatanmu gagal. Mereka bilang kalau kamu sudah meninggal.’
‘Mungkin kamu salah mengerti ..’
‘Tidak, Tam,’ sanggah Bara. ‘Itu yang mereka katakan. Aku tidak percaya ketika mereka bilang kalau kamu sudah meninggal. Aku masih merasakan keberadaanmu. Aku masih merasakan detak jantungmu. Tapi mereka terus meyakinkanku. Mereka bahkan mengadakan tahlilan dan peringatan 40 harimu dengan mengundang anak-anak panti asuhan. Mengapa kamu tidak berusaha untuk menghubungiku, Tam?’
‘Pengobatanku sangat berat, Bar.’ kataku. ‘Mempertahankan hidupku saja sulit. Aku tidak punya daya untuk memikirkan hal lainnya. Aku tidak tahu mengapa mereka membohongimu. Tapi aku yakin mereka melakukan itu karena mereka menyayangimu, Bar. Kalau aku di posisi mereka, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku pasti tidak akan rela melihat kamu menyia-nyiakan hidupmu, menungguku tanpa ada kepastian. Sekarang lihatlah, kamu punya Maya dan Tommy. Oh ya, aku ketemu Tommy di atas feri, dia benar-benar mirip kamu.’
Wajah Bara yang tadinya tegang seketika menjadi santai mendengar nama anaknya kusebut. Dia berusaha untuk tersenyum.
‘Untuk beberapa bulan setelah kepergianmu, aku depresi berat. Aku sangat menderita. Aku gila, Tam. Aku masih merasakan kehadiranmu. Satu-satunya jalan untuk mengabaikan kehadiranmu hanya belajar dan belajar. Kuliah kukebut dan aku lulus dengan predikat mahasiswa terbaik. Aku tidak bahagia, Tam. Aku juga tidak bahagia ketika mendapat beasiswa penuh tanpa ikatan ke Bloomington. Untung disana aku ketemu Maya. Dia yang menyelamatkan hidupku. Dia yang mengajariku untuk tersenyum lagi dan menunjukkan kepadaku kalau hidup ini masih layak untuk dinikmati,’ tutur Bara. Untuk pertama kalinya, dalam hatiku, aku berterimakasih kepada Maya yang pantang putus asa dalam mencintai Bara.
‘Kamu cinta Maya, Bar?’ tanyaku terlepas begitu saja. Tidak pada tempatnya bagiku untuk menanyakan hal itu. Aku sama sekali tidak berhak untuk menanyakannya. Bara tersenyum.
‘Awalnya tidak, Tam,’ akunya. ‘Hatiku terlampau hampa untuk mencinta. Tapi aku tahu Maya wanita baik, wanita yang sangat baik. Aku tahu dia mencintaiku tanpa syarat. Mencintai aku yang sudah remuk dan tidak lagi memiliki hati. Aku tahu aku tidak akan menemukan wanita sebaik dia. Setelah selesai kuliah, terdorong naluriku yang kuat kulamar dia untuk jadi istriku. Aku tidak tahu kapan aku mulai mencintainya. Yang jelas sejak bersamanya, memikirkanmu tidak lagi menyesakkan dadaku. Kamu menjadi kenangan yang indah, sementara Maya adalah cintaku yang nyata,’ lanjut Bara sepenuh hati. Kupeluk dia kembali dan kudaratkan kecupan di pipi kiri dan kanannya untuk menghapus segala kepedihan yang pernah dia derita gara-gara kepergianku.
‘Aku bahagia untukmu, Bar. Benar-benar bahagia untuk kamu, Maya dan Tommy. Maafkan aku bila aku pernah menjadi sumber penderitaanmu.’
‘Bagaimana dengan dirimu, Tam? Apakah kamu bahagia?’ tanya Bara konsern. Bahagiakah aku?
‘Aku tidak tahu, Bar,’ sahutku jujur. ‘Umurku 38 tahun. Masih hidup. Sehat. Punya usaha disain perhiasan sendiri. Punya rumah yang baru lunas kalau umurku 55 tahun nanti. Punya teman setia yang bernama Clay, yang kata Santi tidak berani melamarku karena takut aku akan lari terbirit-birit meninggalkannya… Mungkin kalau disimpulkan, ya aku cukup bahagia,’ Bara tersenyum mendengar penuturan singkatku yang sudah mencakup semua yang ingin dia ketahui.
‘Apakah kamu mencintai Clay?’ tanya Bara diluar dugaan. Kalau aku boleh menanyakan apakah dia mencintai Maya, tentunya dia pun boleh menanyakan hal yang sama kepadaku.
‘Mungkin seperti kamu, Bar, aku agak lamban untuk menyadarinya,’ sahutku. Clay masih dokter intern ketika aku mulai menjalani pengobatan. Dokter termuda di dalam tim dokter yang menanganiku, sehingga lebih mudah bagiku untuk berkomunikasi dengannya ketimbang dengan dokter-dokter lainnya. Setelah aku sembuh pun, Clay selalu berada di dekatku. Dia yang membantuku untuk kembali kuliah. Membantuku mendirikan usaha sendiri setelah kuliahku selesai. Ketika rumah di sebelah rumah Clay dijual, Clay yang mendorongku untuk membelinya. Jadi secara fisik kami memang dekat. Sementara secara perasaan, aku tidak pernah menganalisanya.
‘Sebaiknya kita masuk ke rumah, Bar. Pertunjukan Megan pasti sudah dimulai dan aku ingin ketemu Maya,’ ajakku mengalihkan pembicaraan. Bara setuju. Berdua kami mulai melangkah menuju ke rumah utama. Lengan kanan Bara memeluk pundakku. Kebiasaan lama… berjaga kalau-kalau aku mendadak pingsan selagi berjalan. Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.
‘Aku sudah sehat sekarang, Bar. Kamu tidak perlu menjagaku lagi,’ bisikku. Dia tertawa pelan, tapi tetap memelukku. Dia masih juga memelukku ketika kami memasuki ruang keluarga yang luasnya hampir seluas Balairung, kampus Bulaksumur. Kutebarkan pandangku keseluruh ruangan. Megan sudah siap dengan harpanya dan sebagian besar tamu sudah duduk manis membentuk setengah lingkaran di depannya. Beberapa masih berdiri di dekat meja makan. Megan yang pertama menyadari kehadiran kami.
‘Tante Tami, mau mengiringiku dengan piano?’ Megan menawarkan ke arahku. Semua menoleh ke arah kami. Termasuk seorang wanita cantik yang berdiri di samping Santi di dekat meja makan, yang memandangku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan. Inilah Maya. Istri Bara dan bunda Tommy. Aku tersenyum ke arahnya. Melalui senyumku ingin kusampaikan terima kasihku karena telah menyelamatkan Bara.
‘Tidak malam ini, Meg,’ ucapku ke arah Megan sambil melepaskan diri dari pelukan Bara dan menghampiri Maya. Bara berjalan tepat di belakangku. Belum sempat Bara memperkenalkan aku dengan Maya. Aku sudah memeluk Maya dan mencium pipi kirinya.
‘Bunda, ini Tami,’ kata Bara. ‘Tam, ini Maya istriku.’
‘Aku tahu!!’ Aku dan Maya menyahut serentak. Dengan sahutan itu, kekakuan di antara kami pun mencair. Hilang tanpa bekas.
‘Kukira kalian sudah berada di atas feri dan melarikan diri berdua,’ seloroh Maya.
‘Rencananya seperti itu,’ sahut Bara. ‘Ternyata Tami lebih senang melarikan diri dengan orang lain’
‘Makasih, Tam,’ sahut Maya. ‘Wah, aku harus lebih waspada sekarang. Sebagai hantu saja, Tami sudah saingan berat, apalagi segar bugar kayak remaja gini,’ lanjutnya ringan. Baru saja aku mau membalas ucapan Maya, Megan sudah mulai memainkan jari-jari lentiknya. Aku bergegas mencari tempat duduk yang kosong. Kulihat sofa satu dudukan di bawah lukisan Thomas Kinkade. Aku menuju ke sana. Dengan sudut mataku, aku melihat Bara dan Maya mengambil tempat duduk berdampingan, agak jauh dari tempatku. Sebelum larut dalam permainan Megan aku panjatkan syukur kepada Tuhan karena telah menyatukan Bara dan Maya. Mereka berdua adalah pasangan yang sangat serasi.
Ketika Megan mulai memainkan komposisi kedua, tiba-tiba ada yang duduk di lengan sofaku. Aku menoleh dan mendongakkan wajahku. Clay mengembangkan senyum manisnya. Belum pernah aku segembira ini melihat kehadirannya. Aku bergeser dan mempersilahkan dia untuk berbagi sofa denganku.
‘Kukira kamu tidak datang, Clay,’ bisikku.
‘Dan membiarkanmu menemui mantan pacarmu seorang diri? Not a chance,’ jawab Clay tepat di telingaku. Aku tersenyum dan otomatis menoleh ke arah Bara dan Maya yang ternyata sedang memandang ke arah kami. ‘Clay’ kuucapkan nama Clay tanpa suara ke arah Bara dan Maya. Bara menganggukkan kepalanya sambil mengacungkan jempol tangan kanannya seakan memberikan persetujuannya. Aku bernafas lega. Kusandarkan kepalaku ke dada Clay. Kutemukan kedamaian disana.
‘Pertemuanku dengan Bara adalah sebuah encore, Clay. Tembang terakhir sebelum pertunjukan usai. Mulai sekarang, hanya ada kita berdua. Tidak ada lagi hantu masa lalu yang berkeliaran di antara kita,’ janjiku.
Austin, February 2014
Have a Romantic Valentine, Friend…
Posted in Short Stories, Stories
Tags: Cerita Valentine, Cerpen, Indonesia, Short Stories, Stories, Valentine, Valentine Stories
Istana Pasir
Posted by Laily Lanisy
Senja telah turun dan menyemburatkan warna merah tembaga pada langit kota Yogya. Jalanan mulai memamerkan kerlap-kerlip lampunya. Sementara angin yang bertiup membawa serta suara adzan Maghrib
Tisa melihat jam yang melilit di pergelangan tangannya. Jam enam kurang seperempat. Sudah waktunya untuk pulang. Tetapi nampaknya dosen muda yang berada di atas mimbar sana masih enggan untuk mengakhiri kuliahnya. Suaranya yang membahana masih juga terdengar. Tisa benar-benar resah. Semakin malam berarti semakin jarang Colt yang melewati kampus.
‘Tisa,’ Numpy yang duduk di belakangnya memanggilnya dengan berbisik. Tisa menoleh. Dengan cepat Numpy mengulurkan kertas yang ada dalam genggamannya.
‘Dari Tegar,’ Numpy menjelaskan. Tisa langsung memasukkan lipatan kertas tersebut ke dalam tasnya. Tanpa membukanya pun dia sudah tahu apa isinya. Setiap ada kuliah sore, Tegar selalu memberinya lipatan kertas semacam itu. Lipatan kertas bertuliskan ‘Tis, kuantar pulang ya?’ Dan setiap ada kuliah sore, Tisa selalu menghindari Tegar.
Begitu Pak Iskandar mengemasi buku-bukunya, Tisa segera menyelinap keluar. Setengah berlari dia menuju ke sayap selatan dan turun di Cemara Tujuh. Dia bernafas lega ketika melihat sebuah Colt kampus yang berhenti di depan Perpustakaan Sarjana Muda.
‘Tamansiswa, mbak?’ tanya Kernet Colt kampus tersebut. Tisa mengangguk sambil mempergegas langkahnya.
‘Duduk di depan saja, mbak. Belakang sudah penuh,’ saran sang kernet ketika melihat Tisa menuju ke pintu belakang. Tisa mengikuti saran tersebut. Baginya, duduk di depan tidak jadi masalah. Yang penting dia bisa segera meninggalkan Gedung Pusat sebelum Tegar melihat dan menyusulnya.
Sang kernet membukakan pintu depan. Dengan sigap Tisa meloncat naik dan duduk di samping sopir. Setelah Tisa duduk dengan rapi, Colt tersebut mulai berjalan dengan lembut. Ketika melewati tempat parkir, Tisa sempat menoleh untuk mencari Tegar dengan matanya. Tegar tidak kelihatan. Tisa menghembuskan nafas panjang dan meluruskan pandangannya ke depan.
‘Tadi Pak Is nerangkan apa, Tis?’ tiba-tiba sopir Colt yang duduk di samping Tisa bertanya. Jantung Tisa melonjak ke kerongkongannya. Dia kaget setengah mati mendengar pertanyaan itu.
‘Kamu?!’ tanyanya tidak percaya. Matanya membulat. Dia hampir pingsan ketika menyadari siapa yang duduk di sampingnya. Ternyata sopir itu adalah Tegar, manusia yang ingin dihindarinya.
‘Ya. Kaget?’ ucap Tegar sambil tersenyum lebar. Dia benar-benar bangga, seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertandingan besar. Sudah lebih dari enam bulan dia berusaha mendekati Tisa, tetapi gadis pendiam itu selalu berhasil melarikan diri darinya. Kini dia berhasil menjeratnya. Tetapi … bahagiakah aku ? Tegar bertanya pada dirinya sendiri. Lihat dia sangat ketakutan. Dia sangat tersiksa berada di dekatmu. Rasa bersalah membuat Tegar bungkam.
Di depan Panti Rapih lampu sinyal di depan Tegar menyala merah. Ada penumpang
yang akan turun. Tegar menepikan Coltnya. Hatinya merasa yakin kalau Tisa juga akan turun di tempat itu. Ternyata Tisa tidak beranjak dari tempatnya. Beban berat di hati Tegar agak berkurang sedikit.
‘Rumahmu di mana, Tis?’ tanya Tegar sambil menjalankan kendaraannya kembali. Bukan sekedar pertanyaan basa-basi. Walaupun sudah lebih dari setahun dia menjadi
kawan kuliah Tisa, tetapi tak ada satu pun yang dia ketahui tentang gadis ini.
‘Tamansiswa,’ jawab Tisa pelan.
‘Sebelah mana?’
‘Guest House Sailendra ke timur. “
‘Kalau pulang kamu selalu naik Colt?’ tanya Tegar persis seperti petugas sensus. Tisa mengangguk.
‘Kenapa kamu tidak pernah mau kuantar?’ akhirnya Tegar mengeluarkan pertanyaan yang sudah berbulan-bulan menggumpal di dadanya. Tisa tidak menyahut.
‘Kamu takut padaku?’ selidik Tegar. Tisa menggeleng.
‘Benci padaku?’ kejar Tegar. Kembali Tisa menggeleng.
‘Lalu?’ Pertanyaan itu tidak terjawab. Susahnya mengajakmu bicara, keluh Tegar dalam hati. Barangkali kalau aku dosen Kamu akan menjawab semua pertanyaanku dengan lancar.
Sesudah itu mereka berdiam diri, Tegar pura-pura sibuk dengan kemudinya. Sekali-kali dia menurunkan penumpang. Di pertigaan Sentul penumpang terakhir turun. Kini satu-satunya penumpang yang masih ada hanyalah Tisa. Sepanjang perjalanan tadi Tegar tidak menaikkan penumpang lain. Sekarang dia bisa melaju sepanjang jalan Tamansiswa tanpa harus menurunkan penumpang.
‘Turunkan aku di depan Guest House.‘ Tisa memecahkan kebisuan di antara mereka. Guest House Sailendra masih beberapa puluh meter lagi.
‘Nanti kuantar masuk ke timur,’ sahut Tegar.
‘Tidak usah. Aku turun di depan Guest House saja,’ tolak Tisa.
‘Sudah tidak ada penumpang lain, jadi aku bebas membel … “
‘Tidak. Aku turun di sini,’ potong Tisa begitu mereka tiba di depan Guest House. Nada suaranya membuat Tegar menuruti permintaannya. Dia menghentikan Coltnya dan menatap Tisa dengan heran. Tisa ingin mengucapkan sesuatu kepada Tegar, tetapi diurungkannya. Dia turun dari Colt dengan hati-hati.
‘Terima kasih,’ ucapnya sebelum menutup pintu.
‘Tis!’ panggil Tegar sebelum Tisa melangkah. Tisa menoleh.
‘Boleh pinjam catatan kuliahmu tadi?’ ucap Tegar ragu. Tisa mengangguk dan mengulurkan buku catatannya lewat jendela.
‘Besok kukembalikan,’ janji Tegar. Tisa mengangguk kemudian mulai melangkah pelan-pelan ke timur. Tegar memperhatikannya hingga hilang ditelan kegelapan malam.
‘Mau di sini terus, boss’ tiba-tiba kernetnya berteriak dari belakang. Tegar tersadar. Dia tertawa dan menjalankan kendaraannya kembali. Tisa tidak lagi berada di sampingnya, tetapi bayangannya masih memenuhi pikiran Tegar.
♣
Tisa merasa tidak enak ketika melihat lampu halaman depan belum dinyalakan. Ini benar-benar di luar adat. Biasanya jam lima sore lampu itu sudah menyala. Hatinya semakin tidak enak ketika mendapatkan pintu rumah terkunci.
‘Pa!’ panggil Tisa sambil menggedor pintu. Tidak terdengar sahutan.
‘Pa, ini Tisa pulang, pa,’ seru Tisa lebih keras. Masih tidak ada sahutan. Tisa baru saja akan memanggil ayahnya sekali lagi ketika mendengar tante Narti, tetangga sebelah memanggil namanya.
‘Tisa,’ panggil tante Narti sambil mendatangi Tisa.
‘Ya, Tante,’ sahut Tisa.
‘Ini kunci rumah tante bawa.’
‘Lho, memangnya Papa ke mana?’ tanya Tisa heran.
‘Tadi dibawa Oom Darma ke Puri Nirmala. Papamu kambuh lagi,’ cerita tante Narti. Tisa terpana. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya, tetapi lehernya tiba-tiba menjadi kering sehingga suara tidak mau keluar. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang ingin tumpah.
Tanpa bersuara Tisa menerima kunci yang diulurkan tante Narti ke arahnya. Kemudian dia membuka pintu dan masuk. Tante Narti menguntit di belakangnya. Karena Tisa tidak berniat menyalakan lampu, maka tante Nartilah yang menekan tombol sehingga ruangan menjadi terang.
Tisa memperhatikan keadaan rumahnya dengan hati yang teriris. Meja yang terbalik. Kursi-kursi yang kehilangan kaki. Vas bunga yang hancur. Ensiklopedia yang berserakan di lantai. Piring-piring porselin antik yang remuk. Keadaan yang dulu hanya dilihatnya dalam filem-filem detektif, kini menimpa kehidupannya.
‘Ya Tuhan, apa salah kami?’ bisik Tisa lirih. Sukar dipercaya bahwa ayahnya yang biasanya lembut dan penuh kasih sekali-sekali bisa berubah sangat buas seperti ini. Ini bukan kali yang pertama ayahnya kehilangan kontrol. Bukan kali yang kedua, ketiga atau keempat. Tapi sudah belasan kali. Dan setiap kali terjadi, Tisa selalu shock.
‘Sudahlah, Tisa. Sekarang sholat dan istirahat dulu. Nanti biar mbok Siyem yang membereskan rumah ini,’ bujuk tante Narti ketika melihat Tisa membungkuk dan mengumpulkan pecahan kaca.
‘Tidak usah, tante. Tisa bisa membereskannya sendiri. Terima kasih atas bantuan tante dan Oom,’ Tisa menolak jasa tante Narti. Sudah terlalu banyak pertolongan mereka untuk kami, pikir Tisa.
Sesudah rumahnya beres, Tisa segera menuju ke Puri Nirmala untuk melihat keadaan ayahnya. Untung rumah sakit itu tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga
Tisa bisa berjalan kaki ke sana.
Sebelum memasuki rumah sakit, Tisa berhenti lama di luar. Setelah merasa yakin kalau dia kuat menghadapi kemungkinan yang paling buruk barulah dia melangkah masuk.
‘Tisa!’ seru dokter Sayekti ketika kedatangan Tisa. Dokter wanita inilah yang biasa merawat pak Haryanto, ayah Tisa.
‘Bagaimana papa?’ tanya Tisa. Tanpa menjawab, dokter Sayekti membimbing Tisa masuk. Setelah melewati lorong-lorong yang muram akhirnya mereka berhenti di depan sebuah kamar bercat kelabu. Dari jendela kaca mereka bisa melihat ke dalam kamar. Tisa menutup kedua matanya dengan erat. Pemandangan di dalam sangat melukai hatinya. Di tempat tidur, Tisa melihat ayahnya terbaring dengan lemah. Kedua kaki dan tangannya diikat dengan erat tak ubahnya seperti penjahat yang baru saja ketangkap polisi. Ayahnya yang biasanya sekuat Hercules, kini lemah bagai boneka karet yang bocor. Hati Tisa tidak rela melihat ayahnya diperlakukan seperti itu. Tiba-tiba Tisa merasa lelah luar biasa. Dia terduduk di bangku di depan kamar dengan lesu. Dokter Sayekti mendekati dan duduk di sampingnya.
‘Ayahmu tidak apa-apa, Tisa,’ hiburnya.
‘Ya,’ sahut Tisa sumbang.
‘Sekarang papamu sedang tidur dan tidak akan bangun sampai besok pagi. Mengapa kamu tidak pulang saja dan kembali kemari bila papamu sudah bangun?’ saran dokter Sayekti. Tisa menahan nafas.
‘Akan kupanggil Pak Santo untuk mengantarmu pulang,’ lanjut dokter Sayekti sambil bangkit. Kemudian dia melangkah ke belakang. Selang beberapa saat kemudian dokter itu muncul kembali bersama seorang laki-laki tua berjalan di belakangnya.
Tisa tidak membantah ketika sekali lagi dokter Sayekti menyuruhnya untuk pulang.
Betapa pun inginnya dia menemani ayahnya, tetapi Tisa sadar kalau tenaganya tidak
dibutuhkan di sini. Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk ayahnya.
‘Nggak usah diantar, Pak Santo, Tisa berani pulang sendiri,’ ucap Tisa kepada Pak Santo ketika mereka sudah berada di luar rumah sakit.
‘Bu dokter menyuruh saya untuk mengantar nak Tisa sampai di rumah. Lagi pula bapak tidak ada pekerjaan. Bapak senang bisa keluar dari rumah sakit. Terus menerus berada di dalam sana bikin sumpek pikiran. Bisa-bisa bapak jadi pasien bu dokter,’ ujar Pak Santo lugu. Tisa tersenyum dan membiarkan Pak Santo mengantarnya pulang. Berdua mereka berjalan dengan berdiam diri di bawah taburan berjuta bintang.
Selama tiga hari Tisa tidak berhasil menemui ayahnya. Dia hanya bisa melihat ayahnya dari kaca jendela. Keadaan pada hari pertama. Justru kelihatan semakin parah. Tidak ada yang bisa Tisa lakukan kecuali berdoa kepada Tuhannya.
Pada hari keempat dokter Sayekti memberinya kabar gembira. Pak Haryanto sudah boleh dijenguk. Tisa benar-benar bahagia. Dengan berlari-lari kecil dia menuju ke kamar ayahnya.
Sebelum memasuki kamar itu, Tisa mengintip dulu lewat jendela. Dia melihat ayahnya tengah berbaring dengan mata mengembara di langit-langit kamar. Kaki dan tangannya tidak lagi diikat. Tisa tersenyum.
‘Pagi, pa,’ sapa Tisa sambil membuka pintu. Kemudian dia mendekati ayahnya dan memberinya ciuman lembut di pipi. Ayahnya membalas dengan mencium dahi Tisa.
‘Tidak kuliah, Tis?’ tanyanya.
‘Dosennya lagi ikut seminar, jadi kuliah ditiadakan,’ jawab Tisa berbohong. Sudah empat hari ini dia ngabur dari kampus. Kuliah jadi tidak berarti bila dibandingkan dengan keselamatan ayahnya.
‘Bagaimana dengan Papa? Masih pusing?’ tanya Tisa.
‘Sedikit,’ jawab Pak Haryanto. Dia pandang Tisa dengan penuh cinta. Tisa tersenyum kemudian mulai memijit kaki ayahnya.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto.
‘Ya?’ sahut Tisa sambil memandang ayahnya.
‘Apa yang telah papa lakukan sebelum dibawa ke tempat ini?’
‘Tisa tidak tahu. Tisa sedang kuliah waktu itu,’ jawab Tisa dengan menundukkan wajahnya.
‘Kamu mengerti maksud papa. Apakah papa merusaki barang-barang kita lagi?’
‘Sudahlah, pa,’ sela Tisa. Dia tidak ingin ayahnya mengungkit-ungkit peristiwa yang sudah berlalu. Dia tidak ingin ayahnya merasa bersalah dan menyesali dirinya sendiri. Sekarang ayahnya sudah sadar kembali, itu yang paling penting bagi Tisa.
‘Ini bukan masalah biasa, Tis. Masalah yang sangat serius. Kita musti membicarakannya sekarang juga,’ bantah Pak Haryanto.
‘Kita tidak harus membicarakannya sekarang, Pa. Nanti kalau Papa sudah sehat benar baru kita bicarakan,’ bujuk Tisa. Pak Haryanto memandang Tisa lama. Kemudian menggeleng-geleng kepalanya seperti orang yang tengah putus asa.
‘Papa rasa papa tidak bakal sembuh lagi. Sudah berapa kali papa keluar masuk rumah sakit ini? Sudah berapa kali papa menghancurkan rumah kita tanpa papa sadari? Sudah berapa kali Kamu ngeri menghadapi ayahmu sendiri? Kamu akui atau tidak, Tis, papamu sudah gila. Sudah gila dan tidak bisa disembuhkan lagi.’
‘Pa!’ pekik Tisa. ‘Papa tidak gila.’
‘Betapa inginnya papa mempercayai ucapanmu itu,’ keluh ayah Tisa.
‘Tetapi papa tidak bisa. Setiap waktu ayahmu bisa kumat lagi. Gila. Ngamuk! Bahkan papa pernah hampir membunuhmu. Kamu ingat! Hanya orang gila saja yang punya niat untuk membunuh anaknya. “
‘Jangan diteruskan, pa,’ Tisa memohon dengan memelas. Air mata mulai membanjir
di pipinya. Melihat tangis anaknya, Pak Haryanto terpukamu. Betapa aku mencintainya, pikirnya.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto setelah terdiam untuk beberapa saat. Tisa mendongakkan wajahnya dan menatap ayahnya. Sisa air mata di pipi dia hapus dengan punggung tangan.
‘Kamu ingat Oom Heru?’ tanya Pak Haryanto. Tisa mengangguk. Oom Heru adalah
satu-satunya adik ayahnya yang sudah belasan tahun menetap di Jerman Barat.
‘Kamu ingat alamatnya?’ tanya Pak Haryanto lagi. Kembali Tisa mengangguk.
‘Sekarang dengar papa baik-baik,’ pesan Pak Haryanto sebelum mulai memberikan order. ‘Papa minta Kamu menulis surat kepada Oommu. Ceritakan kepada Oommu keadaan papa yang sesungguhnya. Sesungguhnya. Bagaimana papa merusak rumah kita. Bagaimana tetangga-tetangga mulai takut sama papa. Bagaimana papa hampir membunuhmu. Ceritakan semuanya. Juga mengenai papa yang keluar masuk rumah
sakit syaraf ini. Lalu bilang pada Oommu kalau papa menginginkan agar Kamu tinggal bersamanya. “
‘Pa!’ teriak Tisa protes.
‘Jangan menyela, Tis,’ Pak Haryanto memperingatkan.’ Dengar dulu penjelasan papa. Sekarang ini papa sedang waras. Besok mungkin sudah tidak lagi. Itulah sebabnya papa ingin menyelesaikan persoalan ini selagi masih ada kesempatan,’ Pak Haryanto menerangkan. ‘Papa menyayangimu, Tis. Kamu tahu itu. Papa tidak ingin kamu menjadi korban kebuasan papa di saat papa kehilangan pikiran sehat … di saat papa gila. Papa ingin kamu mempunyai kehidupan normal seperti remaja-remaja
lainnya, tanpa harus mengurusi ayah yang seperti papa ini. Setelah kamu tinggal dengan Oommu papa akan tinggal di rumah sakit jiwa selamanya. Di sini papa tidak akan membahayakan orang lain.’
‘Tisa tidak mau. Tisa akan terus bersama papa. Papa sama sekali tidak gila. Papa hanya sakit. Dokter Sayekti akan menyembuhkan papa,’ bantah Tisa sambil menubruk ayahnya dan memeluknya dengan erat. Pak Haryanto menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Tisa Kamu tahu Oom Heru menyayangimu seperti papa menyayangimu. Kamu tidak
akan terlantar di sana, Tis. Sedang kalau Kamu tetap tinggal bersama papa … Ya Allah … Untung sore itu Kamu ada kuliah, kalau tidak, papa tidak berani untuk membayangkannya. Tisa, turutilah permintaan papa,’ desah Pak Haryanto. Tisa menggeleng.
‘Tidak, pa. Tisa akan selalu bersama papa. “
‘Tisa..’
‘Papa, jangan bicarakan itu lagi. Tisa tidak mau mendengarnya. Papa tidak gila dan Tisa akan selalu bersama papa. Itu keputusan Tisa. Papa tidak berhak memaksa Tisa,’ kata Tisa mantap. Sia-sia Pak Haryanto membujuk Tisa untuk melakukan perintahnya. Kalau sudah keras kepala. Tisa bisa keras dari batu hitam.
♣
Tegar duduk di anak tangga teratas Balairung sambil memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang lalu lalang. Dia berharap dapat menemukan wajah Tisa di antara mereka. Namun harapannya sia-sia. Sudah lebih dari satu jam dia menunggu di sana, tetapi Tisa tidak muncul-muncul juga.
‘Ke mana anak itu?’ tanya Tegar dalam hati sambil menimang-nimang catatan Moneter yang dipinjamnya dari Tisa delapan hari yang lalu. Dia heran mengapa sejak malam itu Tisa tidak pernah menampakkan dirinya di kampus. Ingin benar Tegar mengetahui keadaan Tisa, tetapi tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya. Tisa tidak mempunyai kawan akrab. Dia selalu menyendiri dan mengambil jarak dari siapa pun.
Setelah merasa pasti kalau hari ini Tisa juga tidak datang, Tegar kemudian bangkit dan berjalan menuju ke lantai tiga. Langkah kakinya membawa dia ke perpustakaan.
Di depan pintu langkahnya terhenti dengan sendirinya. Dia tertegun. Di sana, di pojok selatan dia melihat Tisa yang tengah menekuni sebuah buku teks.
Pelan-pelan Tegar mendekati Tisa dan duduk di depannya. Menyadari kalau ada seorang yang mendatanginya. Tisa mendongakkan wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Tegar.
‘Hai,’ sapa Tegar. ‘Kok lama tidak kelihatan? Kemana?’
‘Repot,’ jawab Tisa tanpa senyum.
‘Aku ingin mengembalikan bukumu. Sebenarnya aku bisa mengantarkannya ke rumahmu, tetapi aku tahu kamu tidak senang kukunjungi,’ ucap Tegar sambil berharap kalau Tisa akan membantah ucapannya dan mengundangnya untuk datang ke rumahnya. Tetapi seperti biasanya, Tisa cuma membisu.
Terima kasih,’ ucap Tegar sambil mengangsurkan buku Tisa. Tisa mengangguk. Tak ada harapan bagimu, Gar, keluh Tegar dalam hati sambil gadis di depannya dengan gemas. Tetapi yang dipandang acuh saja dan tetap menekuni bukunya.
‘Kamu mestinya membutuhkan catatan kuliah selama delapan hari ini. Mau pinjam catatanku?’ Tegar menawarkan dengan manis. Tisa memandang Tegar sejenak dan berpikir.
‘Tulisanku memang tidak sebagus tulisanmu, tetapi masih bisa dibaca kok,’ sambung Tegar cepat ala penjual jamu di Malioboro yang tengah menawarkan minyak kalajengking. Tisa tersenyum. Tegar terpukamu. Belum pernah Tisa melemparkan senyum ke arahnya.
‘Siasat yang bagus!’ sorak hati di dalam dada Tegar. Cepat-cepat dikeluarkannya semua buku catatan yang ada di dalam tasnya dan digelar di depan Tisa. Tisa menggelengkan kepalanya.
‘Aku tidak mungkin menyalin semuanya dalam satu hari. Sebaliknya aku pinjam dua catatan dulu. Moneter dan Cost. Kapan-kapan aku pinjam yang lain,’ ucap Tisa. Kalimat terpanjang pertama yang pernah kamu ucapkan kepadaku, Tegar menyadarinya. Seratus persen dia menyetujui keinginan Tisa. Semua terserah kamu, Tis. Terserah kamu.
‘Oh, iya,’ Tegar teringat sesuatu. ‘Minggu yang lalu kita mendapat tugas untuk membuat paper Cost. Tugas beregu. Satu regu empat anak. Karena Kamu tidak masuk, aku langsung mendaftarmu ke dalam reguku bersama Numpy dan Yoyok,’ ujar Tegar hati-hati. Dia kuatir jangan-jangan Tisa akan menuduhnya lancang.
‘Numpy dan Yoyok tidak keberatan aku ikut regu kalian?’ tanya Tisa kuatir.
‘Mengapa mereka harus keberatan?’ Tegar balik bertanya.’ Lagian justru Numpy yang usul agar kamu masuk regunya,’ lanjut Tegar. Tisa paham sekarang. Sejak SMA dulu Tisa selalu satu regu dengan Numpy. Regu Pramuka. Regu Prakarya. Regu bahasa. Sejak dulu Numpy selalu baik. Seorang sahabat sejati. Sayang aku tidak bisa membalas persahabatannya, sesal Tisa dalam hati.
‘Kapan kita akan mengerjakan paper itu?’ tanya Tisa.
‘Rencananya besok siang sehabis kuliah Internasional kita akan membahasnya. Kamu ada waktu?’ jawab Tegar diikuti pertanyaan. Tisa mengangguk. Bagus! pekik Tegar dalam hati. Tidak salah aku memasukkan Kamu ke dalam reguku. Sebuah awal yang baik. Dan Tegar serasa ingin terbang ke langit.
♣
Tisa berdiri bersandar pada pagar pengaman menanti Numpy, Tegar dan Yoyok
yang masih ribut di ruang I. Tadi Pak Alex memberikan responsi mendadak.
Tidak ada seorang pun yang siap dan sekarang mereka tengah membicarakan hasil responsi mereka yang kedodoran.
Yoyok keluar lebih dahulu dan berdiri di samping Tisa.
‘Bisa?’ tanyanya pada Tisa. Tisa menggeleng.
‘Keterlaluan sekali deh dosen satu itu,’ gerutu Yoyok. ‘Kuliah sering kosong. Eh, sekalinya masuk, ngasih responsi,’ lanjutnya geram. Tisa tersenyum . Belum lagi gerutuan Yoyok habis, Numpy sudah keluar lengkap dengan makian-makian kotornya. Tisa sudah hafal dengan kebiasaan Numpy yang satu ini. Setiap menghadapi persoalan-persoalan yang agak rumit, Numpy selalu mengumpat.
‘Sekarang kita mau kemana?’ Tegar muncul dengan pertanyaan.
‘Dikerjakan di rumahku saja yuk,’ Numpy menawarkan tempat. Semua setuju. Berempat mereka kemudian menuju rumah Numpy. Numpy nggonceng Yoyok dan Tisa nggonceng Tegar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Tegar bisa memboncengkan Tisa.
‘Entah karena grogi memboncengkan Tisa atau entah karena memikirkan responsi Ekonomi Internasionalnya yang gagal di Bunderan Bulaksumur tiba-tiba Tegar tidak
bisa menguasai sepeda motornya. Hampir saja dia menabrak bis kota yang melaju dari arah timur. Dia menggapai rem dengan mendadak. Akibatnya fatal. Sepeda motornya selip dan terbalik. Untuk beberapa detik Tegar sempat kehilangan kesadarannya. Ketika tersadar, dia melihat Tisa yang tengah ditolong oleh para penjual majalah yang membuka kios di sekitar Bunderan.
‘Ya Tuhan,’ keluh Tegar sambil berusaha untuk bangkit. Lututnya terasa sangat nyeri. Dia meringis kesakitan. Tepat saat itu Yoyok datang menolong. Sementara itu
beberapa orang tengah berusaha meminggirkan sepeda motor Tegar.
‘Bagaimana keadaan Tisa?’ tanya Tegar pada Yoyok.
‘Parah,’ jawab Yoyok sambil tersenyum lebar.
‘Babi kamu! maki Tegar. ‘Aku serius,’ lanjutnya geram. Yoyok terbahak melihat Tegar sewot.
‘Lain kali hati-hati,’ nasehat Yoyok bergurau ketika mereka sudah berada di pinggir jalan, di dekat Numpy dan Tisa. Seorang penjual majalah menawari Tegar segelas teh, Tegar menolaknya dengan halus. Dia memandang Tisa yang duduk di dekat Numpy. Wajahnya seputih kapas.
‘Bagaimana, Tis?’ tanya Tegar sambil berjongkok di depan Tisa. Nyeri di lututnya tidak dia hiraukan.
‘Tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit,’ jawab Tisa sambil menunjukkan tangan kanannya. Tegar ternganga. Dari siku sampai ujung tangan Tisa nampak baret merah bekas gesekan aspal jalan yang keras. Dan kulit sikunya megelupas.
‘Ke Panti Rapih dulu yuk minta suntikan ATS,’ usul Tegar. Dia takut kuman tetanus
ada yang menempel di luka Tisa.
‘Nggak perlu. Kelihatannya saja ini mengerikan, tapi tidak apa-apa. sungguh,’ Tisa berusaha meyakinkan Tegar. Tegar memandang Numpy untuk mencari dukungan agar Tisa mau di bawa ke dokter, Numpy mengangkat bahu dan memasrahkan semuanya pada Tegar.
Sesudah beristirahat sejenak dan sesudah mengucapkan terima kasih kepada para penolong, mereka kembali meneruskan perjalanan. Tegar kini berada di goncengan Yoyok dan Numpy memboncengkan Tisa.
‘Pantas Tisa tidak pernah mau kamu antar. Sekali nggonceng kamu sudah kamu jatuhkan. Tiga, empat kali pasti sudah kamu ajak melanglang ke akherat,’ komentar Numpy ke arah Tegar sambil menjalankan sepeda motor Tegar yang untung tidak rusak. Tegar tidak membalas komentar itu. Dia lebih senang memperhatikan Tisa yang duduk di belakang Numpy. Tiba-tiba Tegar melihat barut merah yang memanjang di pipi Tisa. Astaga, aku telah merusak pipimu pula, sesalnya dalam hati.
♣
Ibu Numpy sedang membuat macramé di teras ketika mereka berempat datang. Padangannya segera terpaku pada Tisa.
‘Tisa!’ serunya gembira. ‘Ngumpet di mana selama ini?’
‘Di rumah saja, tante,’ jawab Tisa dengan senyum.
‘Bagaimana papamu?’ tanya Ibu Numpy kemudian.
‘Baik,’ jawab Tisa ragu sambil mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu Numpy. Wanita cantik itu melihat luka di tangan Tisa.
‘Kena apa ini?’ tanyanya kaget.
‘Jatuh, tante,’ kali ini Yoyok yang menjawab.
‘Duh, Gusti Numpy!!’ teriak ibu Numpy. Numpy yang tengah membuka pintu paviliun menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah ibunya.
‘Sudah berapa kali mama peringatkan jangan ugal-ugalan di jalan. “
‘Bukan Numpy, Ma. Tapi pemuda ganteng yang sekarang berdiri di depan mama itu yang ngejatuhin Tisa,’ Numpy membela diri. Tegar tersenyum kecut. Ibu Numpy menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Nggak disengaja, tante,’ Tisa menyumbang suara.
‘Aduh anak muda sekarang. Ayo tante bersihkan dulu lukamu,’ ucap Ibu Numpy sambil mengajak Tisa masuk dan meninggalkan Tegar serta Yoyok berdua di luar. Untung Numpy segera memanggil mereka untuk masuk ke paviliun.
Semenit kemudian Ibu Numpy menyusul ke paviliun. Tanpa Tisa.
‘Tante harap lain kali kalau di jalan hati-hati. Lebih-lebih bila dengan Tisa,’ ucap Ibu Numpy. Ucapan yang lebih ditujukan buat Tegar.
‘Rasanya saya tadi sudah ekstra hati-hati, tante nggak tahu kenapa sepeda motor saya nggak mau diatur,’ Tegar memberikan alasan.
‘Yah, namanya kecelakaan,’ gumam Ibu Numpy. ‘Kamu tidak apa-apa? Luka barangkali?’
‘Enggak tante,’ jawab Tegar melupakan nyeri di lututnya. Ibu Numpy mengangguk kemudian menanyakan kepada Numpy di mana alkohol yang dipakai Numpy beberapa hari yang lalu. Numpy bangkit dan mengambilkan alkohol yang diminta ibunya.
Sesudah Ibu Numpy berlalu, Tegar bertanya pada Numpy.
‘Kok tadi mamamu bilang agar hati-hati di jalan lebih-lebih bila dengan Tisa. Apa sih maksudnya?’
‘Oh, itu,’ desah Numpy. ‘Mama tidak ingin Tisa mengalami trauma … Gimana sih ngomongnya. Gini nih, dulu Ibu Tisa meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. “
‘Maksudmu Tisa sudah tidak punya ibu lagi?’ tanya Tegar. Numpy mengangguk.
‘Kejadiannya sekitar dua … emm … lebih, hampir tiga tahun yang lalu,’ cerita Numpy. ‘Mobil yang dikendarai ayah Tisa tabrakan dengan tangki minyak. Tisa selamat, ayahnya cidera agak berat, tapi ibunya tidak tertolong lagi. Tisa yang melihat ibunya meninggal dan ayahnya terluka, sangat shock. Untuk beberapa waktu dia tidak berani keluar ke jalan. Dia ngeri setiap kali melihat kendaraan. Apalagi kecelakaan. Kamu lihat betapa pucatnya dia tadi? Aku sudah mengira kalau dia akan histeris. Untung tidak,’ Numpy menutup ceritanya. Tegar dan Yoyok terpana. Baru sekali ini mereka mendengar cerita tentang Tisa, si gadis pemurung.
Kalau saja aku tahu … sesal Tegar. Saat itu Tisa muncul di paviliun. Luka di tangan dan barut di pipinya sudah dibersihkan dan diberi obat merah.
Sebelum duduk. Tisa memandang ke setiap sudut paviliun. Dulu tempat itu sangat akrab dengannya. Tiba-tiba mata Tisa terpaku pada pesawat CB yang ada di atas meja di depan jendela. Numpy menyadari ke arah mana mata Tisa tertuju.
‘Kok Kamu tidak pernah ngebreak lagi, Tis?’ tanyanya.
‘CB-ku rusak,’ jawab Tisa pendek sambil duduk di samping Yoyok.
‘Apanya yang rusak?’ kejar Numpy.
‘Nggak tahu. Nggak bisa dipakai lagi,’ jawab Tisa seakan-akan tidak ingin subyek
itu diangkat menjadi topik.
‘Heran kok aku belum pernah memonitormu,’ sela Tegar.
‘Sudah lama aku tidak muncul,’Tisa menerangkan.
‘Sebelum Kamu datang ke Yogya Tisa sudah tidak muncul lagi,’ tambah Numpy.
‘Apanya sih yang rusak, Tis? Apa enggak bisa direparasi?’ tanya Numpy beruntun. ‘Hei, Gar Kamu bisa kan memperbaiki pesawat? Punya Ade Kamu kan yang ‘mbetulin?’ Numpy beralih ke Tegar.
‘Lihat-lihat dulu rusaknya. Kalau cuma yang enteng-enteng sih bisa aja,’ jawab Tegar.
‘Nah tuh, Tisa, ada tenaga nganggur,’ ujar Yoyok, ’Suruh aja dia mbetulin pesawatmu.’
‘Nggak tahu apa masih bisa dibetulin atau tidak,’ ucap Tisa. ‘Barangkali antenanya sudah berkarat. Lagian aku sudah tidak tertarik lagi untuk … ‘
‘Ya ampun, Tis, sekarang ini lagi ramai-ramainya,’ potong Numpy.
‘Tanya aja pada Yoyok dan Tegar. Banyak deh sekarang teman kita. Minggu lalu kita rujakan di rumah Ade. Ayo dong, Tis. Banyak yang menanyakan kamu lho,’ bujuk Numpy gencar. Dia ingat Tisa dulu teman di udaranya yang paling setia. Kalau sudah ngobrol mereka sering lupa waktu.
‘Iya deh kapan-kapan. Sekarang mari kita pikir tentang Cost,’ Tisa mengakhiri pembicaraan mereka tentang CB. Walaupun dulu dia sangat gandrung dengan benda
yang satu itu, tetapi saat ini dia tidak berniat untuk menggunakannya lagi. Selain pernah memuaskan hatinya pesawat itu juga pernah menghancurkan hidupnya.
♣
Sepulang dari rumah Numpy, Tisa langsung masuk ke ruang kecil di samping kamar tidurnya. Sudah setahun lebih dia tidak masuk ke ruang itu. Di dekat jendela, dia melihat pesawat CB-nya yang penuh dengan debu. Pesawat itu hadiah dari Oom Heru ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas.
Tisa membuka jendela. Udara segar memasuki ruang yang pengap itu. Dengan jari-jari tangannya Tisa menyentuh debu yang menyelimuti pesawatnya. Dia sengaja mengatakan kepada Numpy kalau CB-nya rusak agar dia tidak didesak untuk menjawab mengapa sudah sekian lama dia tidak berhandai-handai di udara.
Tisa mendudukkan dirinya di kursi. Ditariknya mike, dan didekatkannya ke wajahnya.
‘C.Q. calling … C.Q. calling … apakah ada yang memonitor?’ bisiknya pelan. ‘C.Q. calling … apakah ada yang bisa memonitor?’ ulangnya. Tentu saja tidak seorang pun yang bisa menangkap suaranya. Pesawat itu tidak dihidupkannya.
Pelan-pelan Tisa bersandar di kursi dan memejamkan matanya. Sebuah peristiwa menyakitkan kembali tergambar di pikirannya.
Waktu itu Tisa berniat untuk mencari teman ngobrol di udara. Seperti biasanya sebelum ngebreak, Tisa memonitor dulu percakapan para breakers yang sudah mengudara.
‘Modulasi anda lantang sekali. Roger. Di mana sih lokasi anda? Ganti,’ terdengar sebuah pertanyaan.
‘Roger … Nyutran gitu. Guest House Sailendra ke timur dua ratus meteran … Ganti,’ jawaban pertanyaan itu terdengar lantang sekali. Tisa tersenyum. Dia mengenali suara si penjawab. Agus, tetangga di depan rumah.
‘Dekat rumah Tisa, correct ?’ si suara pertama kembali bertanya. Senyum Tisa semakin lebar. Dia juga mengenali suara yang satu ini. Suara milik Donny teman sekelasnya.
‘Correct. Kok anda tahu Tisa? Ganti. “
‘Dia kan tanggo mike saya … Roger … Lebih tepat papa charlie saya gitu … ganti,’ sahut Donny. Tak salah lagi pasti Donny. Hanya Donny yang berani mengaku di depan umum kalau Tisa adalah pacarnya. Saat itu pula Tisa ingin masuk ke dalam percakapan, tetapi dia menunggu apa yang akan mereka obrolkan selanjutnya.
‘Roger,’ sahut Agus. ‘Tapi hati-hati lho. Cantiknya sih cantik, tapi kalau saya harus mikir seribu kali dulu sebelum jadi pacarnya. Ganti. “
‘Roger … Memangnya kenapa?’ tanya Donny. Tisa semakin memasang telinga. Percakapan semakin hangat. Agus tidak langsung menjawab. Tisa penasaran.
‘Ayah Tisa itu golf lima. Ganti,’ bisik Agus.
‘Gila, correct?’ Donny menegaskan.
‘Correct. Sedang anda tahu kan golf lima itu penyakit menurun. Jadinya ya hati-hati aja, Tisa pasti juga agak-agak gitu. Ganti. “
‘Roger … anda jangan main fitnah lho,’ ancam Donny.
‘Sumpah mati … Roger … Kemarin siang beliaunya masuk Puri Nirmala setelah hampir membunuh Tisa. Untung tetangga pada meli …’ Tisa tidak mendengar kelanjutan kata-kata Agus. Dia matikan pesawat CB-nya. Wajahnya merah menahan marah. Dia keluar dari ruang itu dan tak pernah kembali lagi ke sana. Sejak saat itu pula dia tidak pernah menyentuh lagi hadiah ulang tahun dari Oom Heru tersebut.
Tisa tidak menyalahkan Agus. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Dia juga tidak menyalahkan Donny, bila sejak saat itu Donny yang biasanya selalu membanggakan Tisa, tidak lagi menyapanya. Tisa seakan-akan mengidap penyakit menular yang harus disingkiri. Kabar telah tersebar. Tisa tidak bisa menariknya kembali. Ingin benar dia berteriak kepada semua orang bahwa ayahnya tidak gila. Tetapi siapa yang mau mempercayainya?
Sejak saat itulah Tisa mulai menarik diri dari pergaulan. Sebelum dia disingkirkan lebih baik dia menyingkirkan diri. Dan mulailah dia membangun dunianya sendiri. Dunia yang mirip istana pasir. Kelihatannya kokoh, tetapi setiap saat selalu ketakutan akan datangnya ombak. Ombak yang paling kecil pun akan mampu merobohkan istananya.
♣
Kaki Tegar ternyata membengkak. Walaupun sudah dikompres, namun bengkak itu tidak kempes juga. Kalau tidak ingat absensinya yang harus diselamatkan, mau rasanya Tegar meninggalkan kuliah dan tinggal di rumah. Untung sepupunya, Nies, mau mengantarkannya ke fakultas, sehingga dia tidak harus naik motor sendiri.
‘Bisa naik tidak?’ kata Nies sambil menghentikan mobilnya di depan Balairung. Tegar melayangkan matanya ke lantai III dan mengeluh dalam hati.
‘Jangan kuatir, Nies. Aku pasti sampai ke sana,’ ucap Tegar sambil turun dari mobil. Nyeri di lututnya terasa menikam. Dia meringis sejenak, kemudian melambai
ke arah Nies.
Menaiki anak-anak tangga ke Balairung merupakan siksaan bagi Tegar. Beberapa kali dia terpaksa berhenti untuk meredakan nyeri di kakinya. Dia benar-benar merasa lega ketika akhirnya bisa sampai di Balairung. Baru di Balairung, belum di tingkat III. Tegar merasa tidak sanggup lagi untuk berjalan. Dia bersandar pada salah satu pilar.
‘Tegar, kenapa kakimu? Tadi kulihat Kamu terpincang-pincang,’ entah dari mana tiba-tiba Tisa muncul di depannya. Sebuah kejutan yang manis buat Tegar.
‘Emm … bengkak,’ jawab Tegar sambil berusaha untuk tersenyum.
‘Karena jatuh kemarin?’ tanya Tisa kuatir.
‘Iya. “
‘Ada tulangmu yang patah?’
‘Enggak cuma memar saja,’ sahut Tegar. Dia melepaskan diri dari pilar yang disandarinya dan mulai berjalan. Tisa mengikuti di sampingnya. Di depan anak-anak tangga yang menuju ke lantai atas Tegar menghentikan langkahnya. Tisa memandang sejenak.
‘Mari kubantu,’ katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Tegar. Tegar terpukau. Tetapi tidak lama. Tisa sudah mengambil lengannya dan membantunya untuk menaiki anak-anak tangga. Tegar tidak pernah menyangka kalau dia bisa sedekat ini dengan Tisa. Mimpi apa aku semalam? Salah. Salah! Mimpi apa Tisa semalam sehingga pagi ini mau beramah tamah denganku?
‘Seharusnya kamu istirahat di rumah. Tidak usah kuliah,’ Tisa membuyarkan lamunannya.
‘Itu niatku tadi. Tapi absensiku untuk Pak Kris payah. Sudah empat kali aku ngabur. Sekali lagi berarti tidak boleh ikut ujian.’ Tegar menerangkan sambil menatap Tisa lekat-lekat. Barut di pipi Tisa masih nampak. Untung tidak dalam. Kalau dalam pasti akan meninggalkan bekas yang mengerikan.
Sesampai di lantai tiga mereka berhenti. Dengan cepat Tegar meraih tangan Tisa yang tadinya digunakan untuk menuntunnya agar gadis itu tidak melarikan diri. Sesaat Tisa nampaknya akan protes, Tetapi kemudian membiarkan tangan Tegar menggenggam tangannya.
‘Aku belum meminta maaf kemarin,’ bisik Tegar.
‘Meminta maaf?’
‘Ya, karena telah menjatuhkanmu serta telah membuat tangan dan pipinya terluka,’ awab Tegar sambil menatap langsung ke mata Tisa. Tisa gugup setengah mati. Rona merah menjalar di pipinya yang membuatnya nampak semakin cantik di mata Tegar.
‘Lupakanlah. Kecelakaan bisa terjadi di mana-mana,’ kata Tisa setelah reda kegugupannya. Tegar tersenyum. Dan dalam hati Tisa harus mengakui kalau senyum itu sangat menawan.
Karena mereka datangnya bersama, mereka dapat duduk bersebelahan. Sehingga selama kuliah berlangsung Tegar bebas untuk memperhatikan Tisa. Setiap gerakan Tisa, bahkan yang paling kecil pun tak luput dari mata Tegar. Dia melihat Tisa menghapus keringat di keningnya dengan tissue berwarna merah muda. Dan melihat Tisa mengeluarkan Tipp-Ex untuk menutup tulisan yang salah. Dia melihat Tisa menjejakan kakinya ke depan karena capai. Dia melihat Tisa meringis kesakitan ketika luka di tangannya terbentur pada sisi bangku. Dia melihat semuanya. Tisa bukannya tidak menyadari ke mana perhatian Tegar di arahkan. Dalam keadaan seperti itu muncul sifat istana pasirnya. Dia seakan melihat ombak besar yang mendekat dan mengancam istananya . Akankah kamu memandangku dengan sebelah matamu bila kamu sudah tahu keadaan papa?
Satu seperempat jam berlalu dengan cepat. Rasanya terlalu berlebihan bila Tegar berharap Tisa akan menggandengnya turun. Dia tetap duduk di tempatnya dan memperhatikan Tisa bangkit dari kursinya.
‘Kamu mau pulang naik apa?’ tanpa disangka-sangka Tisa mengeluarkan pertanyaannya.
‘Sepupuku berjanji akan menjemputku,’ jawab Tegar.
‘Kamu bisa turun sendiri?’
‘Entahlah. Mungkin bisa.’
‘Kamu membutuhkan bantuanku?’
‘Kalau kamu tak keberatan,’ jawab Tegar penuh harapan. Tisa tersenyum. Tegar tertawa.
‘Baiklah, tapi tunggu hingga anak-anak turun semua dulu,’ janji Tisa.
Sesudah semua bayangan teman-teman mereka menghilang, Tisa mengajak Tegar untuk meninggalkan ruang kuliah.
Nies yang sudah menunggu Tegar di depan Balairung terheran-heran ketika melihat sepupunya itu muncul dalam gandengan seorang gadis cantik. Nies mengernyitkan dahinya. Rasa-rasanya aku kenal dia. Ya. Tentu saja aku kenal dia. Bukankah dia Tisa?
‘Tisa!’ seru Nies riang. Matanya berbinar cerah. Jadi ini dia gadis yang selalu dibangga-banggakan Tegar kepadaku.
Tisa yang berdiri beberapa langkah dari Nies terpaku di tempatnya. Terror membayang di matanya.
‘Nies,’ gumamnya lirih sambil melepaskan tangannya dari tangan Tegar.
‘Kalian sudah saling kenal?’ tanya Tegar heran. Nies dan Tisa mengangguk bersama. Kalau Nies mengangguknya penuh semangat, maka Tisa adalah kebalikannya.
‘Aku tidak menyangka kalau ‘Tisa‘ yang sering diceritakan Tegar kepadaku adalah kamu,’ celoteh Nies. Tegar mendelik sengit ke arah sepupunya.
‘Yuk pulang sama-sama , Tis,’ ajak Nies tak mempedulikan Tegar. Tisa menggelengkan kepalanya.
‘Terima kasih, aku bisa naik Colt. “
‘Hei, nggak usah sungkan. Kita kan saudara,‘ dalih Nies sambil mengerling Tegar.
‘Nggak usah repot-repot, Nies,’ tolak Tisa.
‘Nggak ngerepotin kok. Kebetulan aku juga harus jemput mama di rumah sakit,’ bujuk Nies gencar. Tegar tidak ikut membujuk, karena dia tahu hasilnya akan sia-sia.
‘Bukan begitu. Aku masih harus ke perpustakaan. Pulanglah kalian dulu,’ jawab Tisa yang tidak mungkin mau ikut bersama Nies dan Tegar. Pulang sendiri bersama Tegar saja dia harus mikir apalagi ditambah dengan Nies.
Sesudah dibujuk berkali-kali dan Tisa tetap pada pendiriannya, akhirnya Nies dan Tegar meninggalkannya seorang diri. Tisa memperhatikan mobil mereka hingga hilang dari pandangan matanya. Tiba-tiba dia merasa terluka. Ombak itu telah datang. Istanaku telah roboh. Pelan-pelan dia melangkah dan terus melangkah.
Dalam kepalanya muncul suatu bayangan yang jelas. Sangat jelas. Dia melihat Tegar yang duduk berdekatan dengan Nies. Dia melihat Tegar yang bertanya kepada
Nies bagaimana Nies bisa kenal dengan Tisa. Dan dia melihat Nies yang menjawab sambil tertawa : ‘Ayah Tisa kan pasien mama yang paling setia. “
‘Memangnya ayah Tisa sakit apa?’
‘Lha mama dokter apa? Dokter jiwa kan? Masa kamu lupa?’
‘Jadi ayah Tisa sakit jiwa?’
‘Iya. Gila! “
Tisa menggelengkan kepalanya dengan keras. Dadanya terasa sangat sesak. Sekarang semuanya sudah berubah. Tegar sudah tahu latar belakang kehidupannya, tentu dia akan menilainya dengan pandangan yang berbeda. Bahkan mungkin akan mencoret namanya dari daftar regu Costnya. Lebih buruk lagi bila dia akan menceritakan riwayatnya kepada teman-temannya yang belum tahu menahu tentang dirinya. Kejadian dua tahun yang lalu kembali terulang. Ombak kembali datang menggempur istana pasirnya yang rapuh. Dulu Tisa sudah menduga
akan datangnya hari seperti ini, tetapi dia tidak menyangka kalau hari itu datangnya begitu cepat.
Sebutir air mata bergulir di pipi Tisa. Tisa tidak berniat untuk menghapusnya. Dia terus saja berjalan dan membiarkan angin yang bertiup mengeringkan matanya.
♣
Pagi itu Tisa terbangun dengan kepala yang sangat berat. Dengan merayap dia berhasil sampai ke dapur. Mbok Jah, wanita tua yang bekerja pada keluarga Tisa dari pagi hingga sore sudah datang dan berada di dapur. Dia sangat terkejut melihat Tisa yang muncul dengan wajah pucat pasi dan tubuh menggigil.
‘Duh Gusti, mbak Tisa, kena apa?’ tanyanya kuatir.
‘Pening,’ sahut Tisa sambil memegang keningnya dan mendudukkan dirinya di kursi.
‘Tentu masuk angin. Mari mbok keriki. “
‘Tidak usah, mbok Jah. Tisa minta air hangat saja,’ jawab Tisa lesu. Cepat-cepat mbok Jah menyiapkan segelas susu hangat yang kemudian dicampurnya dengan dua sendok madu. Lalu diulurkannya ke arah Tisa. Dia memperhatikan Tisa meminum susu itu, kemudian berjalan ke belakang Tisa dan mulai memijit-mijit tengkuknya.
‘Nih kaku sekali. Pasti mbak Tisa terlalu banyak pikiran,’ komentar mbok Jah. ‘Jangan terlalu dipikirkan, mbak Tisa, bapak akan segera sembuh kembali,’ lanjutnya menghibur.
‘Mbok Jah,’ panggil Tisa lirih.
‘Menurut mbok Jah apakah papa gila?’ tanya Tisa.
‘Hush! Jangan bicara seperti itu tentang bapak,’ mbok Jah menegurnya.
‘Tisa hanya ingin mendengar pendapat mbok Jah,’ tuntut Tisa dengan suara berat. Untuk beberapa saat mbok Jah terdiam. Dia sadar anak asuhannya ini sedang terombang-ambing jiwanya dan membutuhkan tempat untuk berpijak yang kokoh.
‘Tentu saja bapak tidak gila,’ akhirnya mbok Jah mengeluarkan pendapatnya. ‘Menurut embok yang bodoh ini, bapak hanya dilanda kekecewaan dan rasa bersalah karena kecelakaan yang menewaskan ibu dahulu. Bapak sangat mencintai ibu dan bapak merasa bahwa bapaklah yang mengakibatkan kecelakaan itu. Mbak Tisa ingat, bapak mulai sakit beberapa saat sesudah kecelakaan. Tapi embok yakin bapak akan sembuh dengan berjalannya waktu. Percayalah pada embok. Jangan sekali-kali mendengarkan omongan usil para tetangga. Mbok Jah sudah bekerja pada keluarga bapak sejak duluuu … Sejak eyang buyut mbak Tisa masih sugeng. Tidak ada seorang pun dari keluarga bapak yang sakit jiwa. Tetangga-tetangga itu hanya mengada-ada. Jangan didengarkan,’ nasehat mbok Jah. Tisa merasa lega luar biasa. Ternyata ada juga seseorang yang sependapat dengannya.
‘Terima kasih, mbok,’ bisik Tisa. Mbok Jah tersenyum senang.
Sekarang mbak Tisa kembali saja ke kamar dan bobo lagi. Embok yakin semalam mbak Tisa pasti tidak tidur. Nanti kalau mbak Tisa bangun mbok bikinkan sup ayam,’ tutur mbok Jah seperti membujuk anak kecil. Tisa tersenyum dan menuruti anjuran mbok Jah. Tisa tidak seperti tadi malam, kali ini Tisa cepat terlelap.
Beberapa jam kemudian ketika dia terbangun, dia merasa kepalanya sudah ringan dan dadanya tidak sesak lagi. Dia seakan mempunyai kekuatan untuk menghadapi dunia.
Sesudah makan. Tisa pamit pada mbok Jah untuk menjenguk ayahnya. Mbok Jah mengantarnya hingga ke halaman depan. Dia lega ketika melihat wajah Tisa tidak sekelabu tadi pagi. Dia ikut merawat Tisa, sejak gadis itu baru berumur beberapa hari. Luka di hati gadis itu merupakan lukanya pula.
Pak Haryanto sedang tidur ketika tiba di sana. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan ayahnya. Tisa menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. Dari tempatnya Tisa menatap wajah ayahnya dengan segenap cintanya.
Alangkah tololnya aku membiarkan orang-orang mengira kalau papa gila,’ dengan hatinya Tisa mencoba berbicara dengan ayahnya. ‘Dan alangkah tololnya aku membiarkan pikiran picik mereka mengacaukan hidupku. Papa, Tisa bangga kepada papa. Justru dengan keadaan papa yang sekarang ini papa menunjukkan betapa besar cinta papa terhadap mendiang mama. Tisa tidak malu menjadi anak papa. “
Pak Haryanto menggeliat dan membuka matanya. Tisa telah siap dengan senyum
manisnya.
‘Tisa,’ gumam Pak Haryanto tidak jelas. ‘Kapan datang?’
‘Barusan, pa,’ sahut Tisa.
‘Papa sudah lama menunggumu. Saking capainya papa sampai tertidur,’ ucap Pak Haryanto sambil bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk menghadapi Tisa.
‘Papa nunggu Tisa?’Tisa meyakinkan.
‘Ya,’ seru Pak Haryanto mantap. ‘Ada kabar gembira untukmu,’ sambungnya sambil
tersenyum.
‘Tisa siap mendengarnya.’
‘Oke, sekarang dengar baik-baik. Papa minta Kamu segera menulis surat untuk
Oom Heru … ‘
‘Papa, sudah Tisa katakan Tisa tidak mau hidup bersama Oom Heru walau sebaik apa pun dia. Tisa tetap akan hidup bersama papa. Papa tidak boleh membuang Tisa begitu saja,’ potong Tisa emosi.
‘Nah itu. Belum-belum sudah menyela,’ goda Pak Haryanto. ‘Bukan kamu yang akan tinggal bersama Oom Heru. Melainkan papa,’ lanjut Pak Haryanto berteka-teki.
‘Bagaimana, pa? Tisa tidak jelas,’ cerocos Tisa. Pak Haryanto tertawa.
‘Semalam dokter Sayekti memberi tahu papa bahwa papa tidak menderita kelainan
jiwa. Bukan jiwa papa yang sakit. Papa tidak gila. “
‘Na, kan sejak dulu sudah Tisa katakan,’ sela Tisa.
‘Nona muda, Kamu mau mendengarkan papa atau mau membuat diagnosa sendiri?’ tegur Pak Haryanto sambil tersenyum.
‘Maaf, pa. Sekarang Tisa mau mendengarkan,’ ucap Tisa.
‘Bukan psychis papa yang sakit tetapi fisik papa. Kamu ingat kecelakaan yang menimpa kita tiga tahun yang lalu? Waktu itu otak papa mengalami pendarahan. Setelah sembuh ternyata ada penyempitan pada pembuluh tersebut yang menyebabkan papa diserang rasa pening yang luar biasa dan papa tidak lagi bisa mengendalikan … mengendalikan apa sih istilah dokter Sayekti semalam? Pokoknya semacam emosi begitulah sehingga papa sering ngamuk dan tidak terkontrol. Nah, satu-satunya jalan untuk menyembuhkan penyakit papa ini adalah dengan operasi,’ Pak Haryanto menerangkan. Tisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Harapan yang besar membayang di wajahnya.
‘Papa akan menjalani operasi itu?’ tanya Tisa antusias.
‘Operasi itu merupakan operasi yang berat, Tis. Karena menyangkut otak. Dan di Indonesia belum tersedia peralatan yang memadai.’
‘Oh,’ keluh Tisa. Harapannya yang tadi melambung tiba-tiba terhempas lagi. Melihat kekecewaan di wajah Tisa Pak Haryanto segera mengulurkan tangannya dan meraih
Tisa ke dalam pelukannya.
‘Kamu belum mendengarkan kelanjutan cerita papa,’ bisik Pak Haryanto di telinga Tisa. Tisa menengadahkan wajahnya untuk memandang ayahnya. Matanya meminta penjelasan. Pak Haryanto tersenyum.
‘Kamu tahu negara yang sering mengadakan operasi semacam itu? Jerman Barat,
Tis. Tempat Oommu berada. Itulah sebabnya papa menyuruhmu untuk menyurati Oom Heru dan mengabarkan kepadanya bahwa papa akan berobat di sana. Kamu mau melakukannya untuk papa?’
‘Oh, pa!’ pekik Tisa sambil memeluk ayahnya dengan erat.
‘Oh, pa,’ ulangnya. Tak ada kata-kata lain yang mampu diucapkannya kecuali Oh, pa. Tangis bahagia membanjir dari kedua matanya seakan-akan semua butir air mata dan semua duka yang masih tersisa di dalam dirinya ingin ditumpahkannya sekarang juga. Dadanya terasa sangat lapang. Batu besar yang menindih hatinya selama tiga tahun kini terhempaslah sudah.
Untuk beberapa menit berikutnya Tisa masih juga belum mampu untuk berkata apa-apa. Kabar yang baru saja didengarnya terlampau berharga untuk didiskusikan dengan kata-kata. Sekali-sekali dia memandang ayahnya dan tersenyum.
‘Sekarang Tisa mau pulang,’ tiba-tiba Tisa berseru sambil bangkit dari sisi ayahnya. Tentu saja Pak Haryanto memandangnya tak percaya. ‘Sekarang juga Tisa mau menulis surat buat Oom Heru. Tisa tidak mau menundanya, ‘lanjut Tisa sambil mengambil pakaian kotor ayahnya untuk dibawa pulang. Sebelum keluar, Tisa menghadiahi ayahnya dua buah ciuman manis di pipi kiri dan pipi kanan.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto ketika Tisa sudah memegang gerendel pintu siap untuk membukanya.
‘Ya?’ sahut Tisa sambil memutar badannya dengan indah.
‘Temui dokter Sayekti dulu sebelum pulang. Beliau tadi ingin bicara denganmu,’ pesan Pak Haryanto. Tisa mengangguk. Tanpa dipesan pun sebenarnya Tisa sudah berniat untuk menemui dokter itu. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Mudah-mudahan saja aku tidak lupa dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kuajukan.
Dokter Sayekti sedang menerima tamu ketika Tisa mengintip ke kamar kerjanya. Tisa memutuskan untuk menunggunya. Untung tamu itu tidak mengobrol terlalu lama dengan dokter Sayekti. Begitu tamu itu keluar, Tisa segera menjulurkan kepalanya melalui pintu yang terbuka sedikit. Dokter Sayekti yang melihatnya segera
memberikan isyarat agar Tisa mendekat.
‘Mau bicara dengan saya, tante dokter?’ tanya Tisa begitu dia sudah berada di depan dokter Sayekti. Hanya Tisa seorang yang mengalamatkan dokter Sayekti dengan sebutan ‘tante dokter “. Entah dari mana sebutan aneh itu didapatnya. Namun yang terang dokter Sayekti sangat menyukainya.
‘Iya, Tis,’ jawab dokter Sayekti. ‘Duduklah dulu,’ lanjutnya menyilakan Tisa. Sementara dia membereskan mejanya yang penuh dengan kertas.
‘Ayahmu sudah bercerita kepadamu?’ tanya dokter Sayekti setelah mejanya rapi
‘Sudah. Apakah yang dikatakan papa benar? Saya kuatir jangan-jangan papa hanya
merekanya untuk menggembirakan hati saya,’ ucap Tisa. Dokter Sayekti tertawa ramai. Setelah tawanya surut, mulailah dia bercerita.
Sebenarnya pihak rumah sakit sudah lama mengetahui keadaan ayah Tisa yang sebenarnya. Tetapi seperti yang telah diceritakan ayah Tisa tadi, untuk menjalani operasi tersebut di Indonesia masih belum mungkin. Sedang untuk menyarankan agar Pak Haryanto berobat di luar negeri tidak pernah terpikirkan oleh para dokter yang merawatnya. Mereka tidak ingin menambah beban di pundak Tisa. Beban yang saat ini berada di pundak Tisa sudah terlampau berat untuk di tanggung gadis seusia
dia.
Memang Tisa tidak memikirkan masalah keuangan, karena semua biaya pengobatan ditanggung perusahaan ayahnya. Tetapi justru beban mentalnya itu yang berat. Kalau pihak rumah sakit memberi tahu perihal keadaan ayahnya yang tidak bakal tersembuhkan bila tanpa melalui operasi, maka sudah dapat dipastikan kalau Tisa akan tersiksa. Sedang kalau untuk membawanya ke luar negeri, akan mampukah dia? Akhirnya para dokter sepakat untuk tidak menceritakannya kepada Tisa maupun kepada Pak Haryanto sendiri, sementara itu mereka tetap berusaha untuk penyembuhan Pak Haryanto.
‘Lalu apa yang membuat tante dokter berubah pikiran dan menceritakan kepada kami,’ tanya Tisa.
‘Sebenarnya tidak sengaja, Tisa,’ jawab dokter Sayekti. ‘Selama ini kami menyangka hanya Kamulah satu-satunya kerabat ayahmu. Well… Kamu sendiri sewaktu membawa ayahmu ke sini pertama kali mengatakan bahwa kalian tidak mempunyai famili yang bisa dihubungi. Lalu Kamu sendiri yang mengurusi ayahmu. Kamu sendiri pula yang selalu menjenguknya dan menguatirkan keadaannya. Jadi kami menyimpulkan bahwa kami telah melakukan kebijaksanaan yang paling baik dengan
merahasiakan penyakit ayahmu. Baru kemarin pagi kami mengetahui kalau ayahmu mempunyai adik kandung yang tinggal di Jerman.”
‘Papa bercerita tentang Oom Heru?’ tanya Tisa. Dokter Sayekti menggeleng.
‘Kemarin pagi, ayahmu meminta tolong tante untuk menuliskan surat buat adiknya.
Papamu bilang Kamu tidak mau menulis surat untuknya,’ kisah dokter Sayekti. ‘Tentu saja tante kaget setengah mati ketika mengetahui hal itu. Tapi tante tulis juga permintaan ayahmu. “
‘Ya, ampun!’ seru Tisa kaget. ‘Pasti deh papa punya rencana untuk menitipkan saya pada Oom Heru, iya kan? Heran, sudah puluhan kali saya katakan pada papa saya tidak mau ikut Oom Heru. Jadi tante dokter sudah menulis surat buat Oom Heru?’
‘Menulisnya sudah. Mengirimkannya belum,’ jawab dokter Sayekti.
‘Setelah tahu kalau ayahmu punya adik yang tinggal di Jerman, kami segera mengadakan rapat kilat dan memutuskan untuk memberitahu ayahmu tentang penyakitnya. Nah yang ingin tante bicarakan denganmu sekarang adalah apakah tante harus mengirimkan surat ayahmu yang kemarin atau tidak?’
‘Tentu saja tidak,’ sahut Tisa cepat. ‘Saya akan menulis surat untuk Oom Heru. Kapan kira-kira papa bisa berangkat ke sana?’
‘Jangan terlalu antusias, Tis,’ dokter Sayekti memperingatkan.
‘Secepat mungkin kami akan menghubungi rumah sakit di sana dan mengirimkan
catatan kondisi ayahmu selama ini. Nah kalau sana sudah oke, bolehlah ayahmu berangkat. “
‘Tante dokter tahu, saya ingin sekali melihat ayah sembuh.’
‘Iya, tante juga,’ jawab dokter Sayekti. ‘Kamu ingin melihat surat yang kemarin tante tulis?’
‘Nggak usah, tante dok. Saya sudah tahu apa isinya. Saya tidak bisa mengerti mengapa papa sampai berniat untuk membuang saya seperti itu.’
‘Tante rasa alasan ayahmu tepat juga, Tis. Menurut ayahmu, sejak beliau sakit Kamu menjadi sangat berubah. Kamu menjadi pemurung, pendiam dan tidak mempunyai teman. Padahal ayahmu bilang, dulu temanmu sangat banyak dan Kamu termasuk remaja-remaja yang agak ribut dan cerewet, itu kata ayahmu lho. Nah dengan mengirimkan Kamu kepada oommu, ayahmu berharap agar Kamu bisa menemukan kembali duniamu yang hilang. “
‘Itulah yang tidak saya mengerti. Papa pikir bila saya sudah berpisah dengan papa dan hidup bersama keluarga Oom Heru saya akan bisa melupakan papa. Padahal justru sebaliknya. Saya akan sangat menderita. Saya tidak bisa membayangkan papa berada di rumah sakit jiwa. Walau bagaimanapun juga papa adalah ayah saya. Dan saya sangat mencintainya,’ keluh Tisa panjang. ‘Tapi yah… sebentar lagi papa akan sembuh,’ sambungnya diiringi senyum. Semuanya akan kembali seperti sedia kala, pikir Tisa tenang.
Melihat kegembiraan di wajah Tisa, mau tidak mau dokter Sayekti ikut bergembira pula. Sejak pertama bertemu dokter Sayekti sudah mengagumi gadis di depannya ini. Tisa begitu telaten dan penuh cinta dalam merawat ayahnya. Alangkah sukarnya membayangkan Nies bersikap seperti Tisa dalam menghadapi ayahnya, suami dokter Sayekti. Apalagi Tegar. Tegar?
‘Astaga, hampir tante lupa!’ seru dokter Sayekti tiba-tiba. ‘Tadi Tegar menitipkan surat untukmu,’ sambungnya sambil mencari-cari ke dalam tasnya.
‘Surat apa?’ tanya Tisa heran.
‘Emm…, apa dia bilang tadi? Oh iya…. mau minta tolong untuk menandatangankan absensinya,’ jawab dokter Sayekti sambil mengulurkan sebuah amplop surat yang tertutup rapat.
‘Apakah kakinya masih bengkak?’ tanya Tisa.
‘Dia masuk Panti Rapih kemarin sore,’ sahut dokter Sayekti. ‘Kakinya ternyata retak dan perlu digibs. “
‘Retak,’ ulang Tisa tidak percaya. ‘Kemarin siang dia bilang kakinya tidak apa-apa. cuma bengkak saja. “
‘Oh, Tegar sok tahu. Dia pikir dia lebih ahli dari dokter. Sewaktu mau tante periksa dia menolak. Baru kemarin sore, setelah sakitnya tidak tertahankan lagi, dia
berlari ke tante. Langsung deh tante jewer kupingnya dan tante seret ke rumah sakit,’ cerita dokter Sayekti. Tisa tersenyum.
‘Tante heran, Tis, bagaimana Kamu akrab dengan anak sableng itu,’ lanjut dokter Sayekti. Tisa terdiam. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Akrab? Rasa-rasanya tidak.
♣
Surat Tegar untuk Tisa benar-benar menggambarkan sifat sablengnya. Pada kertas resep dengan kop nama dokter Sayekti di pojok kiri atas, dia menulis :
Pro :
Tisa Aribowo ( Namamu lebih keren deh bila digabungkan dengan namaku)
Begini, Tis, Kamu kan tahu absensiku untuk Pak Kris sangat rawan. Sekali lagi aku tidak kuliah berarti aku tidak diijinkan untuk ikut ujian akhir. Dus aku harus ngulang tahun depan. Nah demi masa depan kita bersama, kuharap Kamu mau mengisikan daftar presensiku. Tulisannya kira-kira seperti di bawah ini. Usahakan deh yang agak mirip sehingga beliaunya tidak curiga.
Tegar Aribowo.
Di bawah nama itu Tegar mencantumkan nomor mahasiswanya, kemudian sebuah tanda tangan. Tanda tangan yang simpel sehingga kelihatannya mudah untuk ditiru atau dipalsukan. Di bawahnya lagi , Tegar menyambung suratnya. Oh ya, Tis, sewaktu abangku sakit dulu dan harus diopname pacarnya nungguin dia terus. Aku
tahu aku tidak boleh mengharapkanmu untuk menungguiku harus. Tetapi kalau aku berharap agar sekali-sekali kamu kunjungi boleh kan?
Tisa tertawa ketika membaca surat itu. Pantas dokter Sayekti mengira kalau aku dan Tegar akrab. Pasti Tegar bercerita yang tidak-tidak kepada tantenya itu. Sesudah membaca ulang, Tisa kemudian mengambil selembar kertas dan mulai belajar menuliskan nama ‘ Tegar Aribowo ‘ hingga tulisannya mirip dengan tulisan tangan Tegar. Sebersit perasaan aneh tiba-tiba muncul di hatinya. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seakan-akan sejak dulu dia dan Tegar selalu berjalan bahu membahu. Dia merasa seakan-akan masalah yang dihadapi Tegar adalah masalahnya juga. Dan saat ini dia sedang berusaha membantu Tegar untuk menghadapi salah satu masalah tersebut.
♣
Usaha Tisa agar bisa menuliskan nama Tegar mirip dengan tulisan yang punya nama ternyata tidak ada gunanya. Pak Kris kosong. Berarti tidak ada daftar presensi yang harus diisinya. Dalam perjalanan pulang, sewaktu Colt yang ditumpanginya lewat di depan Panti Rapih tanpa disadarinya Tisa melambaikan tangannya kepada kernet untuk memberinya isyarat kalau dia ingin turun di tempat itu. Dan setengah sadar pula dia berjalan memasuki Panti Rapih. Tahu-tahu dia sudah berada di depan paviliun Albertus.
‘Apa yang kulakukan di sini?’ tanya Tisa pada dirinya sendiri. Serta merta Tisa sadar bahwa dia sebenarnya tidak mempunyai kewajiban untuk mengunjungi Tegar. Tetapi untuk keluar lagi dari Rumah Sakit itu rasanya lucu. Akhirnya dia memutuskan untuk menemui Tegar.
‘Hanya sekali ini,’ janjinya dalam hati sambil meneliti nama-nama para pasien dan kamar masing-masing. Tegar benar-benar surprise ketika tahu-tahu melihat Tisa sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dia tersenyum lebar dan menyilakan Tisa masuk. Tisa mendekati tempat tidur Tegar dengan ragu.
‘Aku senang kamu mau datang, Tis,’ ucap Tegar.
‘Emm… Kebetulan Pak Kris kosong,’ ucap Tisa yang tidak tahu harus berkata apa.
‘Kosong? Kalau begitu kamu tidak harus mengisikan presensiku dong,’ seru Tegar gembira. Tisa mengangguk sambil memperhatikan kaki kanan Tegar yang terbalut gibs.
‘Seumpama Pak Kris tadi masuk, Tis, apakah kamu akan menandatangankan resensiku?’ sambung Tegar dengan sebuah pertanyaan.
‘Kurasa aku tidak punya pilihan lain. Kalau sampai Kamu tidak boleh ikut ujian, kamu pasti akan menyalahkan aku,’ sahut Tisa. Tegar tergelak.
‘Aku memang brengsek dan tukang paksa,’ Tegar mengaku. ‘Soalnya kalau tidak kupaksa kamu tidak pernah mau melakukannya dengan suka rela. Coba kalau sore itu aku tidak bolos kuliah dan pura-pura jadi sopir Colt, tentu kamu tidak mau pulang bersamaku. Coba kalau aku tidak langsung menuliskan namamu dalam regu Costku, tentu kamu tidak mau seregu denganku. Coba kalau aku tidak langsung menuliskan namamu dalam regu Costku, tentu Kamu tidak mau seregu denganku. Coba kalau aku tidak memaksamu untuk mencintaiku, tentu Kamu tidak mau jadi pacarku.’
‘Apa?’ sergah Tisa sambil membelalakkan matanya.
‘Kamu sudah mendengarnya, Tis. Benar kan?’
‘Tidak lucu,’ desah Tisa.
‘Hei, ini memang bukan lelucon. Ini serius, Tis, Coba kalau tidak kupaksa, maukah Kamu jadi pacarku?’ bantah Tegar seenaknya. Tisa terdiam. Dia menyadari bahwa dia tidak mungkin bisa menghadapi Tegar bila dia tetap menggunakan caranya yang
sekarang ini. Dia harus menggunakan cara yang sama sekali lain. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Tisa menganggukkan kepalanya.
‘Mau,’ jawabnya mantap. Kini giliran Tegar yang terkejut. Dia menatap Tisa tidak percaya. Sama sekali dia tidak menyangka kalau Tisa akan menjawab seperti itu. Pelan-pelan Tegar mengembangkan senyumnya. Matanya menatap mata Tisa dengan
lembut dan dalam. Tisa segera menyadari kesalahannya.
‘Tegar, aku cuma bercanda. Tidak serius,’ ucapnya cepat. Tetapi sudah terlambat. Tegar seakan tidak mendengar suara Tisa. Dia masih juga menatap Tisa dengan segala cintanya. Tangannya terulur dan tahu-tahu tangan Tisa sudah berada dalam
genggaman tangannya.
♣
Siang itu matahari bersinar dengan garangnya seakan-akan ingin menghanguskan semua yang ada di atas permukaan bumi ini. Pohon-pohon mulai melayu daunnya dan burung-burung kehilangan nyanyiannya. Sementara orang lain memilih untuk tinggal di dalam rumah dan melindungi diri dari sengatan matahari, Tegar justru bertengger gagah di atas atap rumah Tisa. Matahari yang menggumuli kulitnya tidak. Hanya sekali-sekali saja dia menghapus keringat yang membasahi wajahnya. Dengan tekun dia memasang booster di antena pesawat CB Tisa. Dengan booster itu dia berharap agar kalau menghubungi Tisa di udara. Tisa bisa menangkap suaranya dengan jernih. Tegar baru saja selesai mengencangkan antena ketika dia mendengar suara lain di atas genteng itu. Ketika menoleh, dia melihat Tisa yang tengah berjalan ke arahnya.
‘Ya ampun, Tis, apa yang kamu lakukan di sini? Kamu bisa jatuh,’ seru Tegar kaget. Apalagi sewaktu melihat langkah Tisa yang terhuyung-huyung. Tisa tidak menyahut hanya melambai-lambaikan selembar kertas.
‘Dari Oom Heru. Kamu harus membacanya,’ ucapnya setelah dekat dengan Tegar. Kertas yang ternyata surat dari pamannya diulurkan kepada Tegar. Setelah menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali mulailah Tegar membaca surat itu. Sebuah surat yang sangat singkat. Oom Heru hanya menulis kalau operasi ayah Tisa telah berhasil dengan baik. Minggu depan Ayah Tisa sudah diijinkan keluar dari rumah sakit. Hanya itu isi surat tersebut. Oom Heru bahkan tidak menyebutkan kapan. Pak Haryanto akan kembali ke tanah air. Tapi surat yang singkat itu sangat berharga bagi Tisa. Juga bagi Tegar. Tegar menatap Tisa yang berada di dekatnya dengan kasih. Wajah yang biasanya diliputi mendung itu kini nampak secerah langit di atas sana. Tiba-tiba Tegar menyadari di mana mereka berada.
‘Tis, Kamu harus turun sekarang. Tempat ini terlalu berbahaya untukmu,’ perintahnya pada Tisa. Tisa memandangnya protes.
‘Aku tidak ingin melihat Kamu jatuh. Seharusnya Kamu tadi tidak usah naik kemari. Kamu memanggilku saja pasti aku akan segera turun,’ sambung Tegar.
‘Aku begitu antusias tadi,’ Tisa memberikan alasannya Tegar tersenyum. Seratus persen dia memakluminya.
‘Oke, tapi Kamu harus turun sekarang. Sebentar lagi aku selesai dan menyusulmu,’ kata Tegar. Tisa mengangguk.
‘Aku turun sekarang,’ ucapnya.
‘Hati-hatilah,’ pesan Tegar sambil memperhatikan Tisa berjalan menjauhinya. Ketika tiba di tepi atap Tisa menghentikan langkahnya dan berseru kaget.
‘Ada apa, Tis?’ tanya Tegar. ‘Kita tidak bisa turun,’ jawab Tisa ragu dan kecut.
‘Apa?’
‘Kita tidak bisa turun,’ ulang Tisa. ‘Kemari dan lihatlah,’ lanjutnya. Tegar meletakkan kawat yang dibawanya dan berjalan mendekati Tisa. Matanya terbelalak lebar. Tangga yang mereka gunakan untuk naik tadi kini tersangkut di rumpun melati jauh di bawah sana.
Posted in Novelette
Tags: Cerpen, Fiction, Fiksi, Indonesia, Istana Pasir, Laily Lanisy, Novelette, Short Stories