Blog Archives

Tentang Tami: Tembang Terakhir

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Adegan NCIS lagi tegang-tegangnya, ketika wajah Jethro Gibbs terhalang oleh  munculnya pesan singkat Santi di layar TV-ku.  Agar pesan dan telpon dari pelangganku tidak terlewatkan selagi aku terlena nonton TV, aku sengaja mengkaitkan telpon selulerku ke pesawat TV.  Akibatnya ya seperti ini.  Bukan hanya sms dari pelangganku saja yang sering mengganggu kenikmatanku menonton, tapi juga sms-sms dari teman yang tidak mendatangkan bisnis seperti sms Santi ini.

 JANGAN LUPA  PERTUNJUKAN MEGAN MALAM INI !!!!!!!!  AJAK CLAY JUGA…. AKU SUDAH SIAPKAN MAKANAN TIDAK PEDAS UNTUKNYA !!!!!!!

Tulisannya persis seperti itu.  Dengan huruf besar semua dan dengan belasan tanda seru, seolah untuk menekankan betapa pentingnya pertunjukan Megan ini untuk dirinya.  Kalau sampai aku tidak muncul, dia akan murka sekali.

Mark Harmon seketika kehilangan daya tariknya.  Aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih tebal.  Udara di luar lumayan dingin dan untuk menuju ke rumah Santi di Port Orchard aku harus naik feri dulu dari Seattle ke Bremerton selama satu jam dilanjut dengan naik mobil selama kurang lebih dua puluh menit.  Sekarang sudah jam lima lewat.  Mudah-mudahan aku aku bisa naik feri yang enam sore.  Aku harus buru-buru. Tidak ada waktu untuk menghubungi Clay.  Kedua-duanya akan aku lakukan nanti di atas feri saja.

Kukeluarkan Mini Cooperku dari garasi.  Untung kemarin aku sempat mengisi bensin, jadi aku bisa langsung ke terminal feri tanpa harus mampir di pompa bensin terlebih dahulu.  Mobil miniku masuk di terminal feri pada detik-detik teakhir.  Telat semenit saja, aku harus menunggu feri berikutnya satu jam lagi dan pertunjukan Megan sudah pasti akan terlewatkan.  Megan, anak Santi dan Greg, dari umur belia sudah belajar memainkan harpa.  Di usianya yang sekarang, 15 tahun, dia sudah piawai memainkan dawai.  Sesekali ibunya mengundang teman-teman dekatnya untuk makan malam dan Megan akan memainkan dua atau tiga komposisi.

Setelah memarkir mobilku, yang tentu saja terletak di bagian paling belakang feri, aku segera naik ke lantai atas, membeli segelas kopi dan menuju ke anjungan kapal bagian belakang.  Pada bulan Februari seperti ini, tidak ada seorang pun yang beminat untuk duduk di tempat terbuka.  Jadi seluruh anjungan belakang menjadi milikku.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Perlahan dan pasti, MV Sealth, feri yang kutumpangi mulai meninggalkan sandaran dan berlayar menjauhi Seattle, yang mulai memamerkan kerlap-kerlip lampu malamnya.  Bangunan-bangunan tinggi di Seattle yang kalau siang hari kelihatan gagah dan angkuh berubah menjadi romantis di senja hari. Di bagian paling kiri, terisolasi dari bangunan-bangunan tinggi lainnya, menjulang bangunan favoritku, Space Needle, yang di usianya yang ke 50 tahun masih tetap saja kelihatan kontemporer dan mampu bersaing dengan bangunan-bangunan lainnya.

Kucoba menelpon Clay.  Seperti biasa, tidak peduli sesibuk apapun, pada dering yang kedua dia menjawab telponku.

Hi, hon, what’s up?’ sapanya antusias

‘Pertunjukan Megan ternyata malam ini, Clay,’ ucapku.  Lebih dari dua minggu lalu, Santi sudah mengedarkan undangannya lewat sms dan aku benar-benar lupa.

‘Aku masih ada dua pasien, Tam.  Kamu mau menunggu aku atau kamu mau berangkat duluan nanti aku susul?’ tanya Clay.  Aku yakin dia pasti masih sangat sibuk.  Aku tidak ingin mengganggunya.

‘Aku sudah ada di atas feri, Clay,’ sahutku.  ‘Lagi pula kamu tidak harus datang.  Nanti kupamitkan ke Santi kalau kamu masih ada pasien dan kubawakan lemper buatannya,’ janjiku.  Bule satu ini demen sekali lemper isi ayam.  Apalagi buatan Santi.

‘Kamu yakin …

‘Sangat yakin.’

‘OK, hati-hati nyetirnya.  Jalanan licin kalau musim dingin seperti ini.’

‘Ya, kek…,’ sahutku seperti biasa kalau dia sudah mulai dengan nasehat-nasehatnya.

Setelah memasukkan telponku ke dalam tas, aku mulai menikmati indahnya Puget Sound, perairan di depan kota Seattle di saat matahari mulai tenggelam.  Karena bentuknya teluk, perairan disini sangat tenang.  Dari kejauhan menjulang deretan pegunungan Olympic yang berselimutkan salju.  Di kiri dan kananku berderet pulau-pulau kecil yang nampak kabur terhalang kabut.  Sesekali ada pancaran cahaya lampu dari pulau yang menyeruak menembus kabut.

Keheningan Puget Sound tiba-tiba terkoyak oleh derit pintu yang terbuka.  Seorang pemuda keluar dan sontak jantungku berhenti berdetak.  Di depanku berdiri Bara.  Bara dari masa dua puluh tahun silam.  Baraku yang masih berusia remaja. Kugelengkan kepalaku dengan keras untuk memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi.   Ada yang salah dengan logikaku..  Remaja di depanku paling banter berusia tujuh belas tahun.  Sementara Baraku sudah menjelang usia 40 tahun.  Mustahil dia Bara.  Kecuali Bara sudah berubah menjadi Edward Cullen dengan keabadian remajanya.

Pemuda di depanku mengembangkan senyumnya.  Senyuman khas Bara.  Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu mirip Bara.  Anak Barakah dia?

‘Indonesia or Filipino?’ tanyaku membuka percakapan, walaupun seribu persen aku yakin kalau dia anak Indonesia dan mempunyai hubungan erat dengan Bara.

‘Indonesia,’ jawabnya hangat dan ramah.

‘Mau ke rumah tante Santi di Port Orchard?’ tebakku

‘Iya. Tante juga mau kesana?’ sahutnya  sambil bersandar di pagar pengaman di depanku.  Kuanggukkan kepalaku ‘Ibu saya teman kuliah tante Santi.  Bunda minta saya untuk datang ke pertunjukan Megan,’ remaja itu menjelaskan. Dia menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lancar, namun aku bisa menangkap kalau bahasa Indonesia bukan bahasa pertamanya.  Anak ini besar atau lahir di Amerika.

‘Teman tante Santi di Bloomington Indiana?’ tanyaku menyelidik  Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mengetahui semua tentang anak ini.  Barangkali dengan mengetahui tentang dia, aku bisa mengetahui ihwal Bara.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Tanpa ada peringatan terlebih dahulu, sekonyong-konyong anganku melintas balik ke hampir 20 tahun silam.  Balik ke kampus Bulaksumur, Yogya. Balik ke masa remajaku yang penuh dengan kenangan manis yang sekaligus getir.  Umurku waktu itu baru 17 tahun, mahasiswa baru yang jatuh cinta kepada kakak kelasnya,  Bara.  Betapa indahnya cinta remaja.  Betapa tidak adilnya kehidupan.

Di saat dunia luas mulai terbuka di depan mataku, di saat aku begitu mencintai kehidupan dan siap mengepakkan sayap untuk menggapai cita-cita, Leukimia mengincar nyawaku dengan kejam.  Aku yang pemain inti basket di universitas, yang doyan naik turun gunung, yang nilai ujian terendahnya B+, yang punya cowok ganteng bernama Bara, harus berperang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhku.

Pengobatan demi pengobatan kujalani dengan sabar.  Dari chemotherapy yang merontokkan semua rambutku hingga pengobatan alternatif yang tidak jelas juntrungannya.  Di sela-sela pengobatan itu, jalinan cintaku dengan Bara terajut dengan indah dan kokoh.  Bara adalah alasan utamaku untuk mempertahankan hidup yang semakin hari semakin berat.  Bara adalah batu cadasku di saat aku hampir putus asa.  Di saat seluruh tubuhku bengkak dan penuh dengan benjolan, Bara masih menganggapku gadis tercantik dan dengan bangganya memamerkanku ke seluruh dunia.  Bara adalah cahaya yang menerangi kelamnya masa depanku.

Namun, harapan hidupku semakin hari semakin tipis, hingga tidak ada lagi yang tersisa.  Melihat Bara yang tadinya menguatkanku berubah menjadi beban.  Setiap kali penyakitku kumat kulihat penderitaan hebat di mata Bara.  Dia yang pada mulainya tenang, mulai sering panik.  Dia mulai menelantarkan masa depannya.  Dia lebih sering mangkir dari kampus dan beredar di rumah sakit menemaniku.

Di penghujung perjuanganku, di saat tubuhku menolak segala jenis pengobatan, datang undangan dari Universitas Washington di Seattle untuk menjadi salan satu pasien uji coba pengobatan dengan sistem stem-cell.  Semua biaya mereka tanggung.  Karena sudah tidak ada alternatif lain, akhirnya berangkatlah aku ke Seatlle.

Bara masih sempat mengantarku di Bandara Soetta.  Sebelum keberangkatku, aku memaksanya berjanji untuk melupakanku dan melanjutkan hidupnya.  Aku tidak mempunyai apa-apa yang bisa aku janjikan untuknya.  Sama sekali tidak ada.   Jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa tidak mempunyai peluang di Seattle.  Aku pergi untuk tidak kembali

Ternyata, pengobatan di Seattle menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah lebih dari tiga tahun aku dinyatakan bersih dari Leukimia.  Aku mendapatkan masa depanku kembali.  Aku punya waktu untuk bercinta lagi. Aku bisa menghubungi Bara kembali.

‘Jangan,’ cegah abangku Tommy saat kuungkapkan keinginanku untuk menghubungi Bara.  ‘Bara sudah melanjutkan hidupnya.  Dia sedang mengambil S2 dan sebentar lagi akan kawin dengan gadis lain.  Kamu sendiri yang menginginkn itu.  Jangan kamu ganggu dia.’

Aku pun maklum.  Inilah harga yang harus kubayar untuk kesembuhanku. Aku mendapatkan hidupku tapi aku harus melepaskan cintaku. Merasa tidak ada lagi alasan untuk balik ke Yogya, akupun memutuskan untuk tinggal di Amerika.   Walaupun pahit dan menyesakkan dada, kukubur dalam-dalam kenanganku bersama Bara.

 OLYMPUS DIGITAL CAMERA

‘Tante ..’ panggilan anak itu menyadarkanku dan menarikku kembali ke masa kini.

‘Maaf, kamu mengingatkanku pada seseorang,’ ucapku.  ‘Pertanyaannya tadi apa?’ lanjutku. Anak itu tertawa.  Gelak tawanya persis seperti gelak tawa Bara kala menertawakan kekonyolanku.

‘Saya tadi bilang ke tante, nama saya Tommy, tante siapa?’ ucapnya sabar.  Untuk beberapa detik aku diam terpana.  Bara menamakan anaknya Tommy, seperti nama kakakku?  Apakah kalau anaknya perempuan dia akan menamakanya Tami?

‘Nama tante Tami.’ ucapku.  Pemuda di depanku yang ternyata bernama Tommy  tertawa membahana.  Jika tadi aku belum yakin kalau dia anak Bara, kini aku yakin sekali.  Seyakin matahari terbit dari timur setiap paginya.

‘Nama kita mirip ya?’ olokku.

‘Bukan itu saja, tante,’ jawab Tommy.  ‘Pacar ayah saya dulu namanya juga Tami, makanya saya dinamakan Tommy.  Dari nama pacar ayah,’ lanjut Tommy.  Aku terkesima.  Bara sama sekali tidak merahasiaka masa lalunya.

‘Bundamu tidak keberatan kamu dinamakan Tommy?’ tanyaku menyelidik.  Tommy terdiam beberapa saat.

‘Ayah saya orangnya sangat keras dan kaku, Tante,’ ucapnya kemudian.  ‘Bunda memilih untuk mengalah.  Bunda selalu mengalah. Mereka pernah mengalami masa-masa sulit.  Sekarang sudah jauh lebih baik,’ sambungnya ringan.  Dia bercerita seolah aku adalah tantenya yang sudah dia kenal sejak lahir.

‘Jangan-jangan tante adalan Tami, cewek ayahmu dulu,’ pancingku juga berlagak ringan.

‘Tidak mungkin, Tante,’ jawab Tommy cepat.  ‘Taminya ayah sudah meninggal sebelum ayah ketemu Bunda.’  Aku terdiam.  Hatiku seketika membeku.  Ternyata bagi Bara aku sudah mati.  Untung saat itu peluit panjang sudah dibunyikan, pertanda kapal mulai merapat di Bremerton.  Karena Tommy tidak membawa mobil, kutawarkan kepadanya untuk ikut bersamaku.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Selama dua puluh menit perjalanan dari Brementon ke Port Orchard, aku mencoba menggali informasi dari Tommy.  Mencoba memahami apa yang membuat Bara yang dulu kukenal sangat lembut dan penuh pengertian berubah menjadi kaku dan berkeras untuk menamakan anaknya Tommy, tanpa mempertimbangkan perasaan istrinya.

Sudah banyak mobil yang parkir di halaman rumah Santi ketika kami sampai di sana.  Rumah Santi letaknya terpencil, jauh dari tetangga.  Di kiri dan kanan bangunan utamanya yang besar dipenuhi dengan hutan pinus dan halaman belakangnya adalah pantai pribadi.  Kalau musim panas, kami sering mencari kerang untuk dimasak bersama.  Greg, suami Santi adalah seorang dokter bedah jantung, dan bekerja di rumah sakit yang sama dengan Clay.  Clay lah yang memerkenalkan aku dengan Santi dan Greg, bukan sebaliknya.

Santi sudah menunggu di depan pintu ketika kami datang.  Sama sekali di luar kebiasaanya.  Sambil memelukku dia berkata ke arah Tommy.

‘Ayah dan Bundamu ada di kamar tamu atas, Tom.’

Aku membelalakkan mataku, tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Santi.  Tommy segera menghambur ke dalam.

‘Kamu tahu siapa ayah Tommy?’ tanya Santi berbisik.  Kuanggukkan kepalaku.

‘Bara ada disini?’ tanyaku tidak percaya.  Santi menggangguk, menggamit lenganku dan menggandengku menjauhi rumah menuju pantai.  Lampu-lampu di sepanjang jalan setapak menuju ke pantai sudah menyala dengan terang.

‘Dan kamu tidak memberitahuku kalau dia ada disini?  Kukira kamu temanku, San,’ protesku.

‘Aku temanmu, Tam, percayalah.  ‘Bara memintaku untuk tidak memberitahumu.  Kalau kamu tahu kamu pasti tidak akan datang,’

‘Tentu saja aku tidak akan datang,’ sergahku.  ‘Kamu sadar enggak sih, San, betapa canggungnya pertemuan ini?  Lagian dari mana Bara bisa tahu tentang keberadaanku?’

‘Dari Facebook,’ jawab Santi singkat

‘Aku tidak punya akun Facebook, San’ bantahku sengit.

‘Dari akunku.  Mita mengunggah beberapa foto perkawinannya.  Ada foto kita berdua disana.  Bara melihat foto itu dan menanyakan tentang kamu.  Karena aku tidak tahu kalau aku harus merahasiakan keberadaanmu, ya aku jawab apa adanya,’ Santi menjelaskan.  ‘Bara dan istrinya, Maya ingin bertemu denganmu.  Aku katakan kepada mereka kalau kamu akan datang pada  acara Megan ini.  Dan mereka sengaja datang untuk menemuimu.’

‘Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia?’

‘Mereka tinggal di Portland, Tam.  Setelah lulus dari Indiana mereka  kerja di Portland.’  Aku tertegun.  Tidak menyangka kalau selama ini Bara berada hanya tiga jam dari tempat tinggalku.

‘Apa yang kamu ketahui tentang aku dan Bara?’ selidikku.

‘Banyak,’ jawab Santi.  ‘Aku roommate Maya dari tingkat satu hingga lulus, Tam.  Aku menjadi saksi perubahan dramatis Maya sejak kemunculan Bara di Bloomington.  Dia jungkir balik mencoba menggapai cinta Bara yang sudah habis kikis untukmu.  Aku kasihan melihat dia bersaing dengan hantumu.  Seingatku Bara pernah bilang kalau hatinya sudah mati bersamaan dengan kematian gadisnya.  Aku dan Maya mengira kalau kamu benar-benar sudah mati, Tam.  Belasan tahun aku mengenalmu dan aku tidak pernah tahu kalau kamu adalah gadis Bara’

‘Bagi Bara aku sudah lama mati, San,’ bisikku.

‘Omong kosong,’ bantah Santi sengit. ‘Bara tidak pernah bisa melupakanmu.  Di matanya kamu sempurna sehingga Maya harus berjuang keras untuk bersaing dengan bayanganmu.  Dan kurasa kamupun demikian juga.  Bara adalah tolok ukurmu.  Dia juga yang membuatmu menolak lamaran Clay kan?’

‘Clay tidak pernah melamarku..’ bantahku.  Tiba-tiba aku membutuhkan Clay di berada di sampingku saat ini juga.  Membutuhkan dia untuk mengatakan apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi Bara yang tiba-tiba berada dalam jangkauanku.  Tanpa aku sadari ternyata selama ini aku banyak mengandalkan Clay dalam memutuskan sesuatu.

‘Untung dia tidak melamarmu,’ sahut Santi.  ‘Kalau sampai dia melamarmu, kamu akan terbirit-birit meninggalkannya.  Dan kamu akan menjadi wanita tua yang kesepian tanpa teman sekaligus kekasih,’ ucap Santi sambil melihat ke arah rumah.

‘Temuilah mereka, Tam,’ lanjut Santi.  ‘Sudah saatnya kalian menghadapi hantu masa lalu kalian dan melangkah maju. Yuk masuk, sudah saatnya untuk makan malam..’ ajaknya mengalihkan pembicaraan.

‘Kamu masuklah dulu, San.  Aku butuh waktu sebentar untuk menyendiri,’ ucapku.  Santi memandangku sejenak kemudian menganggukkam kepalanya.  Setelah berpesan agar aku segera menyusulnya dia meninggalkanku.

Tentang Tami 7

Aku duduk mematung di atas batang pohon yang tumbang terbawa arus. Memandang ke depan.  Ke gelapnya malam yang menggelantung di atas laut yang mendesah halus.  Cepat atau lambat aku harus menemui Bara dan istrinya.  Pada saat aku siap untuk beranjak dan menuju ke rumah utama, aku melihat sesosok bayangan yang berjalan dengan cepat dan pasti ke arahku.  Aku berdiri dan menanti dengan cemas.  Aku kenal betul pemilik bayangan itu.  Seribu tahun dari sekarang pun aku masih akan tetap mengenalinya.

‘Tami…?’ bisiknya ragu.  Hanya sekejab.  Sekejab kemudian dia sudah merengkuhku ke dalam pelukannya yang erat.  Erat sekali hingga aku nyaris tidak bisa bernafas.  Dua puluh tahun yang memisahkan kami sirna sudah. Tanpa bekas. Kami kembali ke masa lalu.  Ke masa dimana pelukan Bara mampu menghilangkan semua ketakutan di dalam diriku. Tidak ada kata-kata yang terucap, takut kalau kata-kata justru akan membuyarkan momen yang indah ini.  Lama kami berada dalam keadaan seperti itu.  Hingga sebutir air mata Bara bergulir menimpa pipiku.  Aku tersadar dan melepaskan diri dari pelukan Bara, mengambil jarak, namun masih tetap menggenggam kedua tangannya.

‘Aku tidak menyangka  kita bisa bertemu lagi, Bar,’ kataku dengan susah payah sambil menghapus air mata dari pipinya.

‘Mereka semua membohongiku, Tam,’ ucapnya serak.  ‘Mereka membohongiku.  Membohongiku,’ ucapnya berkali-kali.

‘Siapa yang membohongimu?’ tanyaku bingung.

‘Semuanya … Ayahmu, ibumu. kakakmu Tommy dan istrinya, Oki.  Kira-kira dua bulan setelah keberangkatanmu ke Amerika, mereka bilang kalau pengobatanmu gagal.  Mereka bilang kalau kamu sudah meninggal.’

‘Mungkin kamu salah mengerti ..’

‘Tidak, Tam,’ sanggah Bara.  ‘Itu yang mereka katakan.  Aku tidak percaya ketika mereka bilang kalau kamu sudah meninggal.  Aku masih merasakan keberadaanmu.  Aku masih merasakan detak jantungmu.  Tapi mereka terus meyakinkanku.  Mereka bahkan mengadakan tahlilan dan peringatan 40 harimu dengan mengundang anak-anak panti asuhan.  Mengapa kamu tidak berusaha untuk menghubungiku, Tam?’

‘Pengobatanku sangat berat, Bar.’ kataku.  ‘Mempertahankan hidupku saja sulit.  Aku tidak punya daya untuk memikirkan hal lainnya.  Aku tidak tahu mengapa mereka membohongimu.  Tapi aku yakin mereka melakukan itu karena mereka menyayangimu, Bar.  Kalau aku di posisi mereka, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama.  Aku pasti tidak akan rela melihat kamu menyia-nyiakan hidupmu, menungguku tanpa ada kepastian.  Sekarang lihatlah, kamu punya Maya dan Tommy.  Oh ya, aku ketemu Tommy di atas feri, dia benar-benar mirip kamu.’

Wajah Bara yang tadinya tegang seketika menjadi santai mendengar nama anaknya kusebut.  Dia berusaha untuk tersenyum.

‘Untuk beberapa bulan setelah kepergianmu, aku depresi berat.  Aku sangat menderita.  Aku gila, Tam.   Aku masih merasakan kehadiranmu.    Satu-satunya jalan untuk mengabaikan kehadiranmu hanya belajar dan belajar.  Kuliah kukebut dan aku lulus dengan predikat mahasiswa terbaik.  Aku tidak bahagia, Tam.  Aku juga tidak bahagia ketika mendapat beasiswa penuh tanpa ikatan ke Bloomington.  Untung disana aku ketemu Maya.  Dia yang menyelamatkan hidupku.  Dia yang mengajariku untuk tersenyum lagi dan menunjukkan kepadaku kalau hidup ini masih layak untuk dinikmati,’ tutur Bara.  Untuk pertama kalinya, dalam hatiku, aku berterimakasih kepada Maya yang pantang putus asa dalam mencintai Bara.

‘Kamu cinta Maya, Bar?’ tanyaku terlepas begitu saja.  Tidak pada tempatnya bagiku untuk menanyakan hal itu. Aku sama sekali tidak berhak untuk menanyakannya.  Bara tersenyum.

‘Awalnya tidak, Tam,’ akunya. ‘Hatiku terlampau hampa untuk mencinta.  Tapi aku tahu Maya wanita baik, wanita yang sangat baik.  Aku tahu dia mencintaiku tanpa syarat.  Mencintai aku yang sudah remuk dan tidak lagi memiliki hati. Aku tahu aku tidak akan menemukan wanita sebaik dia.  Setelah selesai kuliah, terdorong naluriku yang kuat kulamar dia untuk jadi istriku.  Aku tidak tahu kapan aku mulai mencintainya.  Yang jelas sejak bersamanya, memikirkanmu tidak lagi menyesakkan dadaku.  Kamu menjadi kenangan yang indah, sementara Maya adalah cintaku yang nyata,’ lanjut Bara sepenuh hati.  Kupeluk dia kembali dan kudaratkan kecupan di pipi kiri dan kanannya untuk menghapus segala kepedihan yang pernah dia derita gara-gara kepergianku.

‘Aku bahagia untukmu, Bar. Benar-benar bahagia untuk kamu, Maya dan Tommy.  Maafkan aku bila aku pernah menjadi sumber penderitaanmu.’

‘Bagaimana dengan dirimu, Tam?  Apakah kamu bahagia?’ tanya Bara konsern.  Bahagiakah aku?

‘Aku tidak tahu, Bar,’ sahutku jujur.  ‘Umurku 38 tahun.  Masih hidup.  Sehat. Punya usaha disain perhiasan sendiri.  Punya rumah yang baru lunas kalau umurku 55 tahun nanti.  Punya teman setia yang bernama Clay, yang kata Santi tidak berani melamarku karena takut aku akan lari terbirit-birit meninggalkannya… Mungkin kalau disimpulkan, ya aku cukup bahagia,’  Bara tersenyum mendengar penuturan singkatku yang sudah mencakup semua yang ingin dia ketahui.

‘Apakah kamu mencintai Clay?’ tanya Bara diluar dugaan.  Kalau aku boleh menanyakan apakah dia mencintai Maya, tentunya dia pun boleh menanyakan hal yang sama kepadaku.

‘Mungkin seperti kamu, Bar, aku agak lamban untuk menyadarinya,’ sahutku.  Clay masih dokter intern ketika aku mulai menjalani pengobatan.  Dokter termuda di dalam tim dokter yang menanganiku, sehingga lebih mudah bagiku untuk berkomunikasi dengannya ketimbang dengan dokter-dokter lainnya.  Setelah aku sembuh pun, Clay selalu berada di dekatku.  Dia yang membantuku untuk kembali kuliah. Membantuku mendirikan usaha sendiri setelah kuliahku selesai.   Ketika rumah di sebelah rumah Clay dijual,  Clay yang mendorongku untuk membelinya.  Jadi secara fisik kami memang dekat.  Sementara secara perasaan, aku tidak pernah menganalisanya.

‘Sebaiknya kita masuk ke rumah, Bar.  Pertunjukan Megan pasti sudah dimulai dan aku ingin ketemu Maya,’ ajakku mengalihkan pembicaraan.  Bara setuju.   Berdua kami mulai melangkah menuju ke rumah utama.  Lengan kanan Bara memeluk pundakku. Kebiasaan lama… berjaga kalau-kalau aku mendadak pingsan selagi berjalan.  Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.

‘Aku sudah sehat sekarang, Bar.  Kamu tidak perlu menjagaku lagi,’ bisikku.  Dia tertawa pelan, tapi tetap memelukku.  Dia masih juga memelukku ketika kami memasuki ruang keluarga yang luasnya hampir seluas Balairung, kampus Bulaksumur.  Kutebarkan pandangku keseluruh ruangan.  Megan sudah siap dengan harpanya dan sebagian besar  tamu sudah duduk manis membentuk setengah lingkaran di depannya. Beberapa masih berdiri di dekat meja makan.  Megan yang pertama menyadari kehadiran kami.

‘Tante Tami, mau mengiringiku dengan piano?’ Megan menawarkan ke arahku.  Semua   menoleh ke arah kami.  Termasuk seorang wanita cantik yang berdiri di  samping Santi di dekat meja makan, yang memandangku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.  Inilah Maya.  Istri Bara dan bunda Tommy.  Aku tersenyum ke arahnya.  Melalui senyumku ingin kusampaikan terima kasihku karena telah menyelamatkan Bara.

‘Tidak malam ini, Meg,’ ucapku ke arah Megan sambil melepaskan diri dari pelukan Bara dan menghampiri Maya.  Bara berjalan tepat di belakangku.  Belum sempat Bara memperkenalkan aku dengan Maya.  Aku sudah memeluk Maya dan mencium pipi kirinya.

‘Bunda, ini Tami,’ kata Bara. ‘Tam, ini Maya istriku.’

‘Aku tahu!!’  Aku dan Maya menyahut serentak.  Dengan sahutan itu, kekakuan di antara kami pun mencair.  Hilang tanpa bekas.

‘Kukira kalian sudah berada di atas feri dan melarikan diri berdua,’ seloroh Maya.

‘Rencananya seperti itu,’ sahut Bara.  ‘Ternyata Tami lebih senang melarikan diri dengan orang lain’

‘Makasih, Tam,’ sahut Maya.  ‘Wah, aku harus lebih waspada sekarang.  Sebagai hantu saja, Tami sudah saingan berat, apalagi segar bugar kayak remaja gini,’ lanjutnya ringan.  Baru saja aku mau membalas ucapan Maya, Megan sudah mulai memainkan jari-jari lentiknya.  Aku bergegas mencari tempat duduk yang kosong.  Kulihat sofa satu dudukan di bawah lukisan Thomas Kinkade.  Aku menuju ke sana.  Dengan sudut mataku, aku melihat Bara dan Maya mengambil tempat duduk berdampingan, agak jauh dari tempatku.  Sebelum larut dalam permainan Megan aku panjatkan syukur  kepada Tuhan karena telah menyatukan Bara dan Maya.  Mereka berdua adalah pasangan yang sangat serasi.

Ketika Megan mulai memainkan komposisi kedua, tiba-tiba ada yang duduk di lengan sofaku.  Aku menoleh dan mendongakkan wajahku.  Clay mengembangkan senyum manisnya.  Belum pernah aku segembira ini melihat kehadirannya.  Aku bergeser dan mempersilahkan dia untuk berbagi sofa denganku.

‘Kukira kamu tidak datang, Clay,’ bisikku.

‘Dan membiarkanmu menemui mantan pacarmu seorang diri? Not a chance,’ jawab Clay tepat di telingaku. Aku tersenyum dan otomatis menoleh ke arah Bara dan Maya yang ternyata sedang memandang ke arah kami.  ‘Clay’ kuucapkan nama Clay tanpa suara ke arah Bara dan Maya.   Bara menganggukkan kepalanya sambil mengacungkan jempol tangan kanannya seakan memberikan persetujuannya.  Aku bernafas lega.  Kusandarkan kepalaku ke dada Clay.  Kutemukan kedamaian disana.

‘Pertemuanku dengan Bara adalah sebuah encore, Clay.  Tembang terakhir sebelum pertunjukan usai.  Mulai sekarang, hanya ada kita berdua.  Tidak ada lagi hantu masa lalu yang berkeliaran di antara kita,’ janjiku.

Austin, February 2014

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Have a Romantic Valentine, Friend…

 

Istana Pasir

Senja telah  turun  dan menyemburatkan  warna  merah tembaga  pada  langit kota  Yogya.  Jalanan mulai  memamerkan  kerlap-kerlip lampunya.  Sementara angin  yang bertiup  membawa  serta suara  adzan  Maghrib

Tisa  melihat jam  yang  melilit di  pergelangan  tangannya. Jam  enam  kurang seperempat.  Sudah  waktunya untuk  pulang.  Tetapi nampaknya  dosen  muda  yang  berada di  atas mimbar  sana  masih enggan  untuk  mengakhiri kuliahnya.  Suaranya  yang membahana  masih  juga  terdengar.  Tisa  benar-benar resah.  Semakin  malam berarti  semakin  jarang Colt  yang  melewati kampus.

‘Tisa,’  Numpy  yang  duduk di  belakangnya  memanggilnya dengan  berbisik.  Tisa  menoleh. Dengan  cepat  Numpy mengulurkan  kertas  yang ada  dalam  genggamannya.

‘Dari  Tegar,’ Numpy  menjelaskan.  Tisa  langsung  memasukkan  lipatan  kertas  tersebut  ke  dalam  tasnya.  Tanpa  membukanya  pun  dia  sudah  tahu  apa  isinya.  Setiap  ada   kuliah  sore,  Tegar  selalu  memberinya  lipatan  kertas  semacam  itu.  Lipatan  kertas  bertuliskan  ‘Tis,  kuantar  pulang  ya?’   Dan  setiap  ada  kuliah  sore, Tisa  selalu  menghindari  Tegar.

Begitu  Pak  Iskandar  mengemasi  buku-bukunya,  Tisa  segera  menyelinap  keluar.  Setengah  berlari  dia  menuju  ke  sayap  selatan  dan  turun  di  Cemara  Tujuh.  Dia  bernafas  lega  ketika  melihat  sebuah  Colt  kampus  yang  berhenti  di  depan  Perpustakaan  Sarjana  Muda.

‘Tamansiswa,  mbak?’ tanya  Kernet  Colt  kampus  tersebut.  Tisa  mengangguk  sambil  mempergegas  langkahnya.

‘Duduk  di  depan  saja,  mbak.  Belakang  sudah  penuh,’ saran  sang  kernet  ketika  melihat  Tisa  menuju  ke  pintu  belakang.  Tisa  mengikuti  saran  tersebut.  Baginya,  duduk  di  depan  tidak  jadi  masalah.  Yang  penting  dia  bisa  segera  meninggalkan  Gedung  Pusat  sebelum  Tegar  melihat  dan  menyusulnya.

Sang  kernet  membukakan  pintu  depan.  Dengan  sigap  Tisa  meloncat  naik  dan  duduk  di  samping  sopir.  Setelah  Tisa  duduk  dengan  rapi,  Colt  tersebut  mulai   berjalan  dengan  lembut.  Ketika  melewati  tempat  parkir,  Tisa  sempat  menoleh  untuk  mencari  Tegar  dengan  matanya.  Tegar  tidak  kelihatan.  Tisa  menghembuskan  nafas  panjang  dan  meluruskan  pandangannya  ke  depan.

‘Tadi  Pak  Is  nerangkan  apa,  Tis?’ tiba-tiba  sopir  Colt  yang  duduk  di  samping  Tisa  bertanya.  Jantung  Tisa  melonjak  ke  kerongkongannya.  Dia  kaget  setengah  mati  mendengar  pertanyaan  itu.

‘Kamu?!’ tanyanya  tidak  percaya.  Matanya  membulat.  Dia  hampir  pingsan  ketika  menyadari  siapa  yang  duduk  di  sampingnya.  Ternyata  sopir  itu  adalah  Tegar,  manusia  yang  ingin  dihindarinya.

‘Ya.  Kaget?’ ucap  Tegar  sambil  tersenyum  lebar.  Dia  benar-benar  bangga,  seakan-akan  baru  saja  memenangkan  sebuah  pertandingan  besar.  Sudah  lebih  dari  enam bulan  dia  berusaha  mendekati  Tisa,  tetapi  gadis  pendiam  itu  selalu  berhasil  melarikan diri  darinya.    Kini dia  berhasil menjeratnya.  Tetapi …  bahagiakah aku ?  Tegar  bertanya pada  dirinya  sendiri. Lihat  dia  sangat  ketakutan. Dia  sangat  tersiksa berada  di  dekatmu. Rasa  bersalah  membuat Tegar  bungkam.

Di  depan  Panti  Rapih  lampu  sinyal  di depan  Tegar  menyala  merah.   Ada  penumpang
yang  akan  turun.  Tegar  menepikan  Coltnya.  Hatinya  merasa  yakin  kalau  Tisa  juga  akan  turun  di  tempat  itu.  Ternyata  Tisa  tidak  beranjak  dari  tempatnya.  Beban  berat  di  hati  Tegar  agak  berkurang  sedikit.

‘Rumahmu  di  mana,  Tis?’ tanya  Tegar  sambil  menjalankan  kendaraannya  kembali.  Bukan  sekedar  pertanyaan  basa-basi.  Walaupun  sudah  lebih  dari  setahun dia menjadi
kawan  kuliah  Tisa,  tetapi  tak  ada  satu pun  yang  dia  ketahui  tentang  gadis  ini.

‘Tamansiswa,’ jawab Tisa  pelan.

‘Sebelah  mana?’

‘Guest  House  Sailendra  ke  timur. “

‘Kalau  pulang  kamu  selalu  naik  Colt?’ tanya  Tegar  persis  seperti  petugas  sensus.  Tisa  mengangguk.

‘Kenapa  kamu  tidak  pernah  mau  kuantar?’ akhirnya  Tegar  mengeluarkan  pertanyaan  yang  sudah  berbulan-bulan  menggumpal  di  dadanya.  Tisa  tidak  menyahut.

‘Kamu  takut  padaku?’ selidik  Tegar. Tisa  menggeleng.

‘Benci  padaku?’ kejar  Tegar.  Kembali  Tisa  menggeleng.

‘Lalu?’ Pertanyaan  itu  tidak  terjawab.  Susahnya  mengajakmu  bicara,  keluh  Tegar  dalam  hati.  Barangkali  kalau  aku  dosen  Kamu  akan  menjawab  semua  pertanyaanku  dengan  lancar.

Sesudah  itu  mereka  berdiam  diri,  Tegar  pura-pura  sibuk dengan kemudinya.  Sekali-kali  dia  menurunkan  penumpang.   Di  pertigaan  Sentul  penumpang  terakhir  turun.   Kini  satu-satunya  penumpang  yang  masih  ada  hanyalah  Tisa.  Sepanjang  perjalanan  tadi  Tegar  tidak  menaikkan  penumpang  lain.  Sekarang  dia  bisa  melaju  sepanjang  jalan  Tamansiswa  tanpa  harus  menurunkan  penumpang.

‘Turunkan  aku  di  depan  Guest  House.‘  Tisa  memecahkan  kebisuan  di  antara mereka.  Guest  House  Sailendra  masih  beberapa  puluh  meter  lagi.

‘Nanti  kuantar  masuk  ke  timur,’ sahut  Tegar.

‘Tidak  usah.   Aku  turun  di  depan  Guest  House  saja,’ tolak Tisa.

‘Sudah  tidak  ada  penumpang  lain,  jadi  aku  bebas  membel … “

‘Tidak.   Aku  turun  di  sini,’ potong  Tisa  begitu  mereka  tiba  di  depan  Guest  House.   Nada  suaranya  membuat  Tegar  menuruti  permintaannya.  Dia  menghentikan  Coltnya  dan  menatap  Tisa  dengan  heran.  Tisa  ingin  mengucapkan  sesuatu  kepada  Tegar,  tetapi  diurungkannya.  Dia  turun  dari  Colt  dengan  hati-hati.

‘Terima  kasih,’ ucapnya  sebelum  menutup  pintu.

‘Tis!’ panggil  Tegar  sebelum  Tisa  melangkah.   Tisa  menoleh.

‘Boleh  pinjam  catatan  kuliahmu  tadi?’ ucap  Tegar  ragu.  Tisa  mengangguk  dan  mengulurkan  buku  catatannya  lewat  jendela.

‘Besok  kukembalikan,’ janji  Tegar.   Tisa  mengangguk  kemudian  mulai  melangkah   pelan-pelan  ke  timur.  Tegar  memperhatikannya  hingga  hilang  ditelan  kegelapan  malam.

‘Mau  di  sini  terus, boss’ tiba-tiba kernetnya  berteriak  dari  belakang.  Tegar  tersadar.  Dia  tertawa  dan  menjalankan  kendaraannya  kembali.  Tisa  tidak  lagi  berada di sampingnya,  tetapi bayangannya  masih  memenuhi pikiran  Tegar.

Tisa  merasa  tidak  enak  ketika  melihat  lampu  halaman  depan  belum  dinyalakan. Ini  benar-benar  di  luar  adat.   Biasanya  jam  lima  sore  lampu  itu  sudah  menyala.  Hatinya  semakin  tidak  enak  ketika  mendapatkan  pintu  rumah  terkunci.

‘Pa!’ panggil  Tisa  sambil  menggedor  pintu.  Tidak  terdengar  sahutan.

‘Pa,  ini  Tisa  pulang,  pa,’ seru  Tisa  lebih  keras.  Masih  tidak  ada  sahutan.  Tisa  baru  saja  akan  memanggil  ayahnya  sekali  lagi  ketika  mendengar  tante  Narti,  tetangga  sebelah  memanggil  namanya.

‘Tisa,’  panggil  tante  Narti  sambil  mendatangi Tisa.

‘Ya,  Tante,’ sahut  Tisa.

‘Ini  kunci  rumah  tante  bawa.’

‘Lho,  memangnya  Papa  ke  mana?’ tanya  Tisa  heran.

‘Tadi  dibawa  Oom  Darma  ke  Puri  Nirmala.  Papamu  kambuh  lagi,’ cerita  tante  Narti.  Tisa  terpana.   Begitu  banyak  pertanyaan yang ingin diajukannya,  tetapi  lehernya  tiba-tiba  menjadi  kering  sehingga  suara tidak  mau  keluar.   Dia  menggigit  bibir  bawahnya  untuk  menahan  tangis  yang  ingin  tumpah.

Tanpa  bersuara  Tisa  menerima  kunci  yang  diulurkan  tante  Narti  ke arahnya.  Kemudian  dia  membuka  pintu  dan  masuk.  Tante  Narti  menguntit  di  belakangnya.  Karena  Tisa  tidak  berniat  menyalakan  lampu,  maka  tante  Nartilah  yang  menekan  tombol  sehingga  ruangan  menjadi  terang.

Tisa  memperhatikan  keadaan  rumahnya  dengan  hati  yang  teriris.   Meja  yang  terbalik.   Kursi-kursi  yang  kehilangan  kaki.  Vas  bunga  yang  hancur.  Ensiklopedia  yang  berserakan  di lantai.   Piring-piring  porselin  antik  yang  remuk.  Keadaan  yang  dulu  hanya  dilihatnya  dalam  filem-filem  detektif,  kini  menimpa  kehidupannya.

‘Ya  Tuhan,  apa  salah  kami?’ bisik  Tisa  lirih.   Sukar  dipercaya  bahwa  ayahnya  yang  biasanya  lembut  dan  penuh  kasih  sekali-sekali  bisa  berubah  sangat  buas  seperti  ini.  Ini  bukan  kali  yang  pertama  ayahnya  kehilangan  kontrol.  Bukan  kali  yang  kedua,  ketiga  atau  keempat.  Tapi  sudah  belasan  kali.   Dan  setiap  kali  terjadi,  Tisa  selalu  shock.

‘Sudahlah,  Tisa.  Sekarang  sholat  dan  istirahat  dulu.  Nanti  biar  mbok  Siyem  yang  membereskan  rumah  ini,’ bujuk  tante  Narti  ketika  melihat  Tisa  membungkuk  dan  mengumpulkan  pecahan  kaca.

‘Tidak  usah,  tante.  Tisa  bisa  membereskannya  sendiri.  Terima  kasih  atas  bantuan  tante  dan  Oom,’ Tisa  menolak  jasa  tante  Narti.  Sudah  terlalu  banyak  pertolongan  mereka  untuk  kami, pikir Tisa.

Sesudah  rumahnya  beres,  Tisa  segera  menuju  ke  Puri  Nirmala  untuk  melihat  keadaan  ayahnya.  Untung  rumah  sakit  itu  tidak  begitu jauh dari rumahnya,  sehingga
Tisa  bisa  berjalan  kaki  ke sana.

Sebelum  memasuki  rumah  sakit,  Tisa  berhenti  lama  di luar.  Setelah  merasa  yakin  kalau  dia  kuat  menghadapi  kemungkinan  yang  paling  buruk  barulah  dia  melangkah  masuk.

‘Tisa!’  seru  dokter  Sayekti  ketika  kedatangan  Tisa.  Dokter  wanita  inilah  yang  biasa  merawat  pak  Haryanto,  ayah  Tisa.

‘Bagaimana  papa?’ tanya  Tisa.    Tanpa  menjawab,  dokter  Sayekti  membimbing  Tisa  masuk.  Setelah  melewati  lorong-lorong  yang  muram  akhirnya  mereka  berhenti  di  depan  sebuah  kamar  bercat  kelabu.  Dari  jendela  kaca  mereka  bisa  melihat  ke  dalam  kamar.  Tisa  menutup  kedua  matanya  dengan  erat.  Pemandangan  di dalam  sangat  melukai  hatinya.  Di  tempat  tidur,  Tisa  melihat  ayahnya  terbaring  dengan  lemah.  Kedua  kaki  dan  tangannya  diikat  dengan  erat  tak  ubahnya  seperti  penjahat  yang  baru  saja  ketangkap  polisi.   Ayahnya  yang  biasanya  sekuat  Hercules,  kini  lemah  bagai  boneka  karet  yang  bocor.   Hati  Tisa  tidak  rela  melihat  ayahnya  diperlakukan  seperti  itu.   Tiba-tiba  Tisa  merasa  lelah  luar  biasa.   Dia  terduduk  di  bangku  di  depan  kamar  dengan  lesu.   Dokter  Sayekti  mendekati  dan  duduk  di sampingnya.

‘Ayahmu  tidak  apa-apa,  Tisa,’  hiburnya.

‘Ya,’ sahut Tisa  sumbang.

‘Sekarang  papamu  sedang  tidur  dan   tidak  akan  bangun sampai besok pagi.   Mengapa  kamu  tidak  pulang  saja dan kembali kemari  bila papamu sudah bangun?’ saran  dokter  Sayekti.  Tisa  menahan  nafas.

‘Akan  kupanggil  Pak  Santo  untuk  mengantarmu  pulang,’ lanjut  dokter  Sayekti  sambil  bangkit.   Kemudian  dia  melangkah  ke belakang.  Selang  beberapa  saat  kemudian  dokter  itu  muncul  kembali  bersama  seorang  laki-laki  tua  berjalan  di  belakangnya.

Tisa  tidak  membantah  ketika  sekali  lagi  dokter  Sayekti  menyuruhnya  untuk  pulang.
Betapa  pun  inginnya  dia  menemani  ayahnya,  tetapi  Tisa  sadar  kalau  tenaganya  tidak
dibutuhkan  di sini.  Dia  tidak  bisa  melakukan  apa-apa  untuk  ayahnya.

 ‘Nggak  usah  diantar,  Pak  Santo,  Tisa  berani  pulang  sendiri,’ ucap  Tisa  kepada  Pak  Santo  ketika  mereka  sudah  berada  di  luar  rumah  sakit.

‘Bu  dokter  menyuruh  saya  untuk  mengantar  nak  Tisa  sampai  di  rumah.  Lagi  pula  bapak  tidak  ada  pekerjaan.  Bapak  senang  bisa  keluar  dari  rumah  sakit.  Terus  menerus  berada  di  dalam  sana  bikin  sumpek  pikiran.  Bisa-bisa  bapak  jadi  pasien  bu  dokter,’ ujar  Pak  Santo  lugu.  Tisa  tersenyum  dan  membiarkan  Pak  Santo mengantarnya  pulang.   Berdua  mereka  berjalan  dengan  berdiam  diri  di  bawah  taburan  berjuta  bintang.

Selama  tiga  hari  Tisa  tidak  berhasil  menemui  ayahnya.   Dia  hanya  bisa  melihat  ayahnya  dari  kaca  jendela.  Keadaan  pada  hari  pertama.  Justru  kelihatan  semakin  parah.  Tidak  ada  yang  bisa  Tisa  lakukan  kecuali  berdoa  kepada  Tuhannya.

Pada  hari  keempat  dokter  Sayekti  memberinya  kabar  gembira.   Pak  Haryanto  sudah  boleh  dijenguk.  Tisa  benar-benar  bahagia.  Dengan  berlari-lari  kecil  dia  menuju  ke kamar  ayahnya.

Sebelum  memasuki  kamar  itu,  Tisa  mengintip  dulu  lewat  jendela.   Dia  melihat ayahnya  tengah  berbaring  dengan  mata  mengembara  di  langit-langit  kamar.  Kaki  dan  tangannya  tidak  lagi  diikat. Tisa  tersenyum.

‘Pagi,  pa,’ sapa  Tisa  sambil  membuka  pintu.   Kemudian  dia  mendekati  ayahnya  dan  memberinya  ciuman  lembut  di  pipi.  Ayahnya  membalas  dengan  mencium  dahi Tisa.

‘Tidak  kuliah, Tis?’ tanyanya.

‘Dosennya  lagi  ikut  seminar,  jadi  kuliah  ditiadakan,’ jawab  Tisa  berbohong.   Sudah  empat  hari  ini  dia  ngabur  dari  kampus.  Kuliah  jadi  tidak  berarti  bila  dibandingkan  dengan  keselamatan  ayahnya.

‘Bagaimana  dengan Papa?  Masih  pusing?’ tanya Tisa.

‘Sedikit,’ jawab  Pak  Haryanto.  Dia  pandang  Tisa  dengan  penuh  cinta.   Tisa  tersenyum  kemudian  mulai  memijit  kaki  ayahnya.

‘Tisa,’  panggil  Pak  Haryanto.

‘Ya?’ sahut  Tisa  sambil  memandang  ayahnya.

‘Apa  yang  telah  papa  lakukan  sebelum  dibawa  ke  tempat  ini?’

‘Tisa  tidak  tahu.  Tisa  sedang  kuliah  waktu  itu,’ jawab  Tisa  dengan  menundukkan  wajahnya.

‘Kamu  mengerti  maksud  papa.  Apakah  papa  merusaki  barang-barang  kita  lagi?’

‘Sudahlah, pa,’ sela  Tisa.  Dia  tidak  ingin  ayahnya  mengungkit-ungkit  peristiwa  yang  sudah  berlalu.  Dia  tidak  ingin  ayahnya  merasa  bersalah  dan  menyesali  dirinya  sendiri.   Sekarang  ayahnya  sudah  sadar  kembali,  itu  yang  paling  penting  bagi  Tisa.

‘Ini  bukan  masalah  biasa, Tis.  Masalah  yang  sangat  serius.   Kita  musti membicarakannya  sekarang  juga,’ bantah  Pak  Haryanto.

‘Kita  tidak  harus  membicarakannya  sekarang,  Pa.  Nanti  kalau Papa  sudah  sehat  benar  baru  kita  bicarakan,’ bujuk  Tisa.  Pak  Haryanto  memandang  Tisa  lama.   Kemudian  menggeleng-geleng  kepalanya  seperti  orang  yang  tengah  putus  asa.

‘Papa  rasa  papa  tidak  bakal  sembuh  lagi.  Sudah  berapa  kali  papa  keluar  masuk  rumah  sakit  ini?  Sudah  berapa  kali  papa  menghancurkan  rumah  kita  tanpa  papa sadari?  Sudah  berapa  kali  Kamu  ngeri  menghadapi  ayahmu  sendiri?   Kamu  akui  atau  tidak,  Tis,  papamu  sudah  gila.  Sudah  gila  dan  tidak  bisa  disembuhkan  lagi.’

‘Pa!’ pekik  Tisa.  ‘Papa  tidak  gila.’

‘Betapa  inginnya  papa  mempercayai  ucapanmu  itu,’ keluh  ayah Tisa.

‘Tetapi  papa  tidak  bisa.  Setiap  waktu  ayahmu  bisa  kumat  lagi.  Gila.  Ngamuk!  Bahkan  papa  pernah  hampir  membunuhmu.   Kamu  ingat!  Hanya  orang  gila  saja  yang  punya  niat  untuk  membunuh  anaknya. “

‘Jangan  diteruskan, pa,’ Tisa  memohon  dengan  memelas.  Air  mata  mulai  membanjir
di  pipinya.  Melihat  tangis  anaknya,  Pak  Haryanto  terpukamu.  Betapa  aku  mencintainya,  pikirnya.

‘Tisa,’  panggil  Pak  Haryanto  setelah  terdiam  untuk  beberapa  saat.  Tisa mendongakkan  wajahnya  dan  menatap  ayahnya.  Sisa  air  mata  di  pipi  dia  hapus  dengan  punggung  tangan.

‘Kamu  ingat  Oom  Heru?’ tanya  Pak  Haryanto.  Tisa  mengangguk.   Oom  Heru  adalah
satu-satunya  adik  ayahnya  yang  sudah belasan tahun menetap  di  Jerman  Barat.

‘Kamu  ingat  alamatnya?’ tanya  Pak  Haryanto  lagi.  Kembali  Tisa  mengangguk.

‘Sekarang  dengar  papa  baik-baik,’ pesan  Pak  Haryanto  sebelum  mulai  memberikan  order.  ‘Papa  minta  Kamu  menulis  surat  kepada  Oommu.  Ceritakan  kepada  Oommu  keadaan  papa  yang  sesungguhnya.  Sesungguhnya.  Bagaimana  papa  merusak  rumah  kita.  Bagaimana  tetangga-tetangga  mulai  takut  sama  papa.  Bagaimana  papa  hampir  membunuhmu.   Ceritakan  semuanya.  Juga  mengenai  papa  yang  keluar  masuk  rumah
sakit  syaraf  ini.   Lalu  bilang  pada  Oommu  kalau  papa  menginginkan  agar  Kamu  tinggal  bersamanya. “

‘Pa!’ teriak Tisa  protes.

‘Jangan  menyela,  Tis,’ Pak  Haryanto  memperingatkan.’  Dengar  dulu  penjelasan  papa.   Sekarang  ini  papa  sedang  waras.  Besok  mungkin  sudah  tidak  lagi.  Itulah  sebabnya  papa  ingin  menyelesaikan  persoalan  ini  selagi  masih  ada  kesempatan,’ Pak  Haryanto  menerangkan.  ‘Papa  menyayangimu,  Tis.  Kamu  tahu  itu.  Papa  tidak  ingin  kamu  menjadi  korban  kebuasan  papa  di  saat  papa  kehilangan  pikiran  sehat …  di  saat  papa gila.  Papa  ingin  kamu  mempunyai  kehidupan  normal seperti  remaja-remaja
lainnya,  tanpa  harus  mengurusi  ayah  yang  seperti  papa  ini.   Setelah  kamu  tinggal  dengan  Oommu  papa  akan  tinggal  di  rumah  sakit  jiwa  selamanya.  Di  sini  papa  tidak  akan  membahayakan  orang  lain.’

‘Tisa  tidak  mau.  Tisa  akan  terus  bersama  papa.   Papa  sama  sekali  tidak  gila.  Papa  hanya  sakit.  Dokter  Sayekti  akan  menyembuhkan  papa,’ bantah  Tisa  sambil menubruk  ayahnya  dan  memeluknya  dengan  erat.   Pak  Haryanto  menggeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Tisa  Kamu  tahu  Oom  Heru  menyayangimu  seperti  papa  menyayangimu.  Kamu  tidak
akan  terlantar  di  sana,  Tis.   Sedang  kalau  Kamu  tetap  tinggal  bersama  papa  …  Ya  Allah  …  Untung  sore  itu  Kamu  ada  kuliah,  kalau  tidak,  papa  tidak  berani untuk membayangkannya.  Tisa,  turutilah  permintaan  papa,’ desah  Pak  Haryanto. Tisa  menggeleng.

‘Tidak, pa.  Tisa  akan  selalu  bersama  papa. “

‘Tisa..’

‘Papa,  jangan  bicarakan  itu  lagi.  Tisa  tidak  mau  mendengarnya.  Papa  tidak  gila  dan  Tisa  akan  selalu  bersama  papa.  Itu  keputusan  Tisa.   Papa  tidak  berhak  memaksa  Tisa,’  kata  Tisa  mantap.   Sia-sia  Pak  Haryanto  membujuk  Tisa  untuk  melakukan  perintahnya.  Kalau  sudah  keras  kepala.   Tisa  bisa  keras  dari  batu  hitam.

Tegar  duduk  di  anak  tangga  teratas  Balairung  sambil  memperhatikan  mahasiswa-mahasiswa  yang  lalu  lalang.  Dia  berharap  dapat  menemukan  wajah  Tisa  di  antara  mereka.  Namun  harapannya  sia-sia.  Sudah   lebih  dari  satu  jam  dia  menunggu  di  sana,  tetapi  Tisa  tidak  muncul-muncul  juga.

‘Ke  mana  anak  itu?’ tanya  Tegar  dalam  hati  sambil  menimang-nimang  catatan  Moneter  yang  dipinjamnya  dari  Tisa  delapan  hari  yang  lalu.  Dia  heran  mengapa  sejak  malam  itu  Tisa  tidak  pernah  menampakkan  dirinya  di  kampus.  Ingin  benar  Tegar  mengetahui  keadaan Tisa,  tetapi  tidak  tahu  kepada  siapa  dia  harus  bertanya.  Tisa  tidak  mempunyai  kawan  akrab.  Dia  selalu  menyendiri  dan  mengambil  jarak  dari  siapa pun.

Setelah  merasa  pasti  kalau  hari  ini  Tisa  juga  tidak  datang,  Tegar  kemudian  bangkit  dan  berjalan  menuju  ke  lantai  tiga.  Langkah  kakinya  membawa  dia  ke  perpustakaan.
Di  depan  pintu  langkahnya  terhenti  dengan  sendirinya.  Dia tertegun.  Di  sana,  di  pojok  selatan  dia  melihat  Tisa  yang  tengah  menekuni  sebuah  buku  teks.

Pelan-pelan  Tegar  mendekati  Tisa  dan  duduk  di depannya.  Menyadari  kalau  ada   seorang  yang  mendatanginya.  Tisa  mendongakkan  wajahnya.  Matanya  bertemu  dengan  mata  Tegar.

‘Hai,’ sapa  Tegar.   ‘Kok  lama  tidak  kelihatan?  Kemana?’

‘Repot,’ jawab  Tisa  tanpa  senyum.

‘Aku  ingin  mengembalikan  bukumu.  Sebenarnya  aku  bisa  mengantarkannya  ke  rumahmu,  tetapi  aku  tahu  kamu  tidak  senang  kukunjungi,’ ucap  Tegar  sambil  berharap  kalau  Tisa  akan  membantah  ucapannya  dan  mengundangnya  untuk  datang  ke rumahnya.   Tetapi  seperti  biasanya,  Tisa  cuma  membisu.

Terima  kasih,’ ucap  Tegar  sambil  mengangsurkan  buku  Tisa.  Tisa  mengangguk.  Tak  ada  harapan  bagimu,  Gar,  keluh  Tegar  dalam  hati  sambil  gadis  di  depannya  dengan  gemas.  Tetapi  yang   dipandang  acuh  saja  dan  tetap  menekuni  bukunya.

‘Kamu  mestinya  membutuhkan  catatan  kuliah  selama  delapan  hari ini.  Mau  pinjam  catatanku?’ Tegar  menawarkan  dengan  manis.  Tisa  memandang  Tegar  sejenak  dan  berpikir.

‘Tulisanku  memang  tidak  sebagus  tulisanmu, tetapi masih bisa dibaca kok,’ sambung  Tegar  cepat  ala  penjual  jamu  di  Malioboro  yang  tengah  menawarkan  minyak  kalajengking.  Tisa  tersenyum.   Tegar  terpukamu.  Belum  pernah  Tisa  melemparkan  senyum  ke arahnya.

‘Siasat  yang  bagus!’ sorak  hati  di  dalam  dada  Tegar.  Cepat-cepat  dikeluarkannya  semua  buku  catatan  yang  ada  di  dalam  tasnya  dan  digelar  di  depan  Tisa.  Tisa  menggelengkan  kepalanya.

‘Aku  tidak  mungkin  menyalin  semuanya  dalam  satu  hari.   Sebaliknya  aku  pinjam  dua  catatan  dulu.   Moneter  dan  Cost.   Kapan-kapan  aku  pinjam  yang  lain,’ ucap  Tisa.  Kalimat  terpanjang  pertama  yang  pernah  kamu  ucapkan  kepadaku,  Tegar  menyadarinya.   Seratus  persen  dia  menyetujui  keinginan  Tisa.  Semua  terserah  kamu,  Tis.  Terserah  kamu.

‘Oh,  iya,’ Tegar  teringat  sesuatu.  ‘Minggu  yang  lalu  kita  mendapat  tugas  untuk  membuat  paper  Cost.  Tugas  beregu.  Satu  regu  empat  anak.   Karena  Kamu  tidak  masuk,  aku  langsung  mendaftarmu  ke  dalam  reguku  bersama  Numpy  dan  Yoyok,’ ujar  Tegar  hati-hati.  Dia  kuatir  jangan-jangan  Tisa  akan  menuduhnya  lancang.

‘Numpy  dan  Yoyok  tidak  keberatan  aku  ikut  regu  kalian?’ tanya Tisa  kuatir.

‘Mengapa  mereka  harus  keberatan?’  Tegar  balik  bertanya.’  Lagian  justru  Numpy  yang  usul  agar  kamu  masuk  regunya,’ lanjut  Tegar.   Tisa  paham  sekarang.  Sejak  SMA  dulu  Tisa  selalu  satu  regu  dengan  Numpy.  Regu  Pramuka.  Regu  Prakarya.   Regu  bahasa.  Sejak  dulu  Numpy  selalu  baik.  Seorang  sahabat  sejati.  Sayang  aku  tidak  bisa  membalas  persahabatannya,  sesal  Tisa  dalam  hati.

‘Kapan  kita  akan  mengerjakan  paper  itu?’ tanya Tisa.

‘Rencananya  besok  siang  sehabis  kuliah  Internasional  kita  akan  membahasnya.  Kamu  ada  waktu?’ jawab  Tegar  diikuti  pertanyaan.  Tisa  mengangguk.   Bagus!  pekik  Tegar  dalam  hati.  Tidak  salah  aku  memasukkan  Kamu  ke  dalam  reguku.  Sebuah  awal  yang  baik.  Dan  Tegar  serasa  ingin  terbang  ke  langit.

Tisa  berdiri  bersandar  pada  pagar  pengaman  menanti  Numpy,  Tegar  dan  Yoyok
yang  masih  ribut  di  ruang  I.   Tadi  Pak  Alex  memberikan  responsi  mendadak.
Tidak  ada  seorang pun  yang  siap  dan  sekarang  mereka  tengah  membicarakan  hasil  responsi  mereka  yang  kedodoran.

Yoyok  keluar  lebih  dahulu  dan  berdiri  di  samping  Tisa.

‘Bisa?’ tanyanya  pada Tisa. Tisa  menggeleng.

‘Keterlaluan  sekali  deh  dosen  satu  itu,’ gerutu  Yoyok.  ‘Kuliah  sering  kosong. Eh,  sekalinya masuk,  ngasih  responsi,’ lanjutnya  geram.  Tisa  tersenyum .  Belum  lagi  gerutuan  Yoyok  habis,  Numpy  sudah  keluar  lengkap  dengan  makian-makian  kotornya.  Tisa  sudah  hafal  dengan  kebiasaan  Numpy  yang  satu  ini.  Setiap  menghadapi  persoalan-persoalan  yang  agak  rumit,  Numpy  selalu  mengumpat.

‘Sekarang  kita  mau  kemana?’ Tegar  muncul  dengan  pertanyaan.

‘Dikerjakan  di  rumahku  saja  yuk,’ Numpy  menawarkan  tempat.  Semua  setuju.  Berempat  mereka  kemudian  menuju  rumah  Numpy.  Numpy  nggonceng  Yoyok  dan  Tisa  nggonceng  Tegar.  Jangan  ditanya  bagaimana  senangnya  hati  Tegar  bisa memboncengkan  Tisa.

‘Entah  karena  grogi  memboncengkan  Tisa  atau  entah  karena  memikirkan  responsi  Ekonomi  Internasionalnya  yang  gagal  di  Bunderan  Bulaksumur  tiba-tiba  Tegar  tidak
bisa  menguasai  sepeda  motornya.  Hampir  saja  dia  menabrak  bis  kota  yang  melaju  dari  arah  timur.  Dia  menggapai  rem  dengan  mendadak.  Akibatnya  fatal.   Sepeda  motornya  selip  dan  terbalik.  Untuk  beberapa  detik  Tegar  sempat  kehilangan  kesadarannya.   Ketika  tersadar,  dia  melihat  Tisa  yang  tengah  ditolong  oleh  para  penjual  majalah  yang  membuka  kios  di sekitar  Bunderan.

‘Ya  Tuhan,’ keluh  Tegar  sambil  berusaha  untuk  bangkit.   Lututnya  terasa  sangat nyeri.  Dia  meringis  kesakitan.  Tepat  saat  itu  Yoyok  datang  menolong.  Sementara  itu
beberapa  orang  tengah  berusaha  meminggirkan  sepeda  motor  Tegar.

‘Bagaimana  keadaan  Tisa?’ tanya  Tegar  pada  Yoyok.

‘Parah,’ jawab  Yoyok  sambil  tersenyum  lebar.

‘Babi  kamu!  maki  Tegar. ‘Aku  serius,’ lanjutnya  geram.   Yoyok  terbahak  melihat  Tegar  sewot.

‘Lain  kali  hati-hati,’ nasehat  Yoyok  bergurau  ketika  mereka  sudah  berada  di pinggir  jalan,  di dekat  Numpy  dan  Tisa.  Seorang  penjual  majalah  menawari  Tegar  segelas  teh,  Tegar  menolaknya  dengan  halus.   Dia  memandang  Tisa  yang  duduk  di  dekat  Numpy.  Wajahnya  seputih  kapas.

‘Bagaimana,  Tis?’ tanya  Tegar  sambil  berjongkok  di  depan  Tisa.  Nyeri  di  lututnya  tidak  dia  hiraukan.

‘Tidak  apa-apa.   Hanya  lecet  sedikit,’ jawab  Tisa  sambil  menunjukkan  tangan  kanannya.   Tegar  ternganga.  Dari  siku  sampai  ujung  tangan  Tisa  nampak  baret  merah  bekas  gesekan  aspal  jalan  yang  keras.  Dan  kulit  sikunya  megelupas.

‘Ke  Panti  Rapih  dulu  yuk  minta  suntikan  ATS,’ usul  Tegar.  Dia  takut  kuman  tetanus
ada  yang  menempel  di  luka  Tisa.

‘Nggak  perlu.   Kelihatannya  saja  ini  mengerikan,  tapi  tidak  apa-apa.  sungguh,’ Tisa  berusaha  meyakinkan  Tegar.  Tegar  memandang  Numpy  untuk  mencari  dukungan  agar  Tisa  mau  di bawa  ke  dokter,  Numpy  mengangkat  bahu  dan  memasrahkan  semuanya  pada  Tegar.

Sesudah  beristirahat  sejenak  dan  sesudah  mengucapkan  terima  kasih  kepada  para  penolong,  mereka  kembali  meneruskan  perjalanan.  Tegar  kini  berada  di  goncengan  Yoyok  dan  Numpy  memboncengkan  Tisa.

‘Pantas  Tisa  tidak  pernah  mau  kamu  antar.   Sekali  nggonceng  kamu  sudah  kamu  jatuhkan.   Tiga,  empat  kali  pasti  sudah  kamu  ajak  melanglang  ke  akherat,’   komentar  Numpy  ke  arah  Tegar  sambil  menjalankan  sepeda  motor  Tegar  yang  untung  tidak  rusak.   Tegar  tidak  membalas  komentar  itu.  Dia  lebih  senang  memperhatikan  Tisa  yang  duduk  di  belakang  Numpy.   Tiba-tiba  Tegar  melihat  barut  merah  yang  memanjang  di  pipi  Tisa.  Astaga,  aku  telah  merusak  pipimu  pula,  sesalnya  dalam  hati.

Ibu  Numpy  sedang  membuat  macramé  di  teras  ketika  mereka  berempat  datang.  Padangannya  segera  terpaku  pada Tisa.

‘Tisa!’ serunya  gembira.   ‘Ngumpet  di  mana  selama  ini?’

‘Di  rumah  saja,  tante,’ jawab  Tisa  dengan  senyum.

‘Bagaimana  papamu?’ tanya  Ibu  Numpy  kemudian.

‘Baik,’ jawab  Tisa  ragu  sambil  mengulurkan  tangannya  untuk  menyalami  ibu  Numpy.   Wanita cantik itu melihat  luka  di  tangan  Tisa.

‘Kena  apa  ini?’ tanyanya  kaget.

‘Jatuh,  tante,’ kali  ini  Yoyok  yang  menjawab.

‘Duh,  Gusti  Numpy!!’ teriak  ibu  Numpy.    Numpy yang  tengah  membuka  pintu  paviliun  menghentikan  pekerjaannya  dan  menoleh  ke  arah  ibunya.

 ‘Sudah  berapa  kali  mama  peringatkan  jangan  ugal-ugalan  di jalan. “

‘Bukan  Numpy, Ma.  Tapi  pemuda  ganteng  yang  sekarang  berdiri  di  depan  mama  itu  yang  ngejatuhin  Tisa,’ Numpy  membela  diri.  Tegar  tersenyum  kecut.  Ibu  Numpy  menggeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Nggak  disengaja,  tante,’ Tisa  menyumbang  suara.

‘Aduh  anak  muda  sekarang.  Ayo  tante  bersihkan  dulu  lukamu,’ ucap  Ibu  Numpy  sambil  mengajak  Tisa  masuk  dan  meninggalkan  Tegar  serta  Yoyok  berdua  di  luar.  Untung  Numpy  segera  memanggil  mereka  untuk  masuk  ke  paviliun.

Semenit  kemudian  Ibu  Numpy  menyusul  ke  paviliun.  Tanpa  Tisa.

‘Tante  harap lain  kali  kalau  di  jalan  hati-hati.  Lebih-lebih  bila  dengan  Tisa,’ ucap  Ibu  Numpy.  Ucapan  yang  lebih  ditujukan  buat  Tegar.

‘Rasanya  saya tadi  sudah  ekstra hati-hati,  tante  nggak tahu  kenapa  sepeda  motor  saya  nggak mau  diatur,’ Tegar  memberikan alasan.

‘Yah,  namanya  kecelakaan,’ gumam  Ibu  Numpy.   ‘Kamu  tidak  apa-apa?  Luka   barangkali?’

‘Enggak  tante,’ jawab  Tegar  melupakan  nyeri  di  lututnya.  Ibu  Numpy  mengangguk  kemudian  menanyakan  kepada  Numpy  di  mana  alkohol  yang  dipakai  Numpy  beberapa  hari  yang  lalu.  Numpy  bangkit  dan  mengambilkan  alkohol  yang  diminta  ibunya.

Sesudah  Ibu  Numpy  berlalu,  Tegar  bertanya  pada  Numpy.

‘Kok  tadi  mamamu  bilang  agar  hati-hati  di  jalan  lebih-lebih  bila  dengan  Tisa.  Apa  sih  maksudnya?’

‘Oh,  itu,’ desah  Numpy.  ‘Mama  tidak  ingin  Tisa  mengalami trauma …  Gimana  sih  ngomongnya.   Gini  nih,  dulu  Ibu  Tisa  meninggal  dunia  karena  kecelakaan  lalu  lintas. “

‘Maksudmu  Tisa  sudah  tidak  punya  ibu  lagi?’ tanya  Tegar.   Numpy  mengangguk.

‘Kejadiannya  sekitar  dua …  emm …  lebih, hampir tiga tahun yang lalu,’ cerita  Numpy.   ‘Mobil  yang  dikendarai  ayah  Tisa  tabrakan  dengan tangki minyak.  Tisa  selamat,  ayahnya  cidera  agak  berat,  tapi  ibunya  tidak  tertolong  lagi.   Tisa  yang  melihat  ibunya  meninggal  dan  ayahnya  terluka,  sangat  shock.  Untuk  beberapa  waktu  dia  tidak  berani  keluar  ke  jalan.  Dia  ngeri  setiap  kali  melihat  kendaraan.  Apalagi  kecelakaan.  Kamu  lihat  betapa  pucatnya  dia  tadi?   Aku  sudah  mengira  kalau  dia  akan  histeris.  Untung  tidak,’ Numpy menutup ceritanya.  Tegar  dan  Yoyok  terpana.   Baru  sekali  ini  mereka  mendengar  cerita  tentang  Tisa,  si  gadis  pemurung.

Kalau  saja  aku  tahu …  sesal  Tegar.  Saat  itu  Tisa  muncul  di  paviliun.  Luka  di  tangan  dan  barut  di  pipinya  sudah  dibersihkan  dan  diberi  obat  merah.

Sebelum  duduk.  Tisa  memandang  ke  setiap  sudut  paviliun.  Dulu  tempat  itu  sangat  akrab  dengannya.  Tiba-tiba  mata  Tisa  terpaku  pada  pesawat  CB  yang  ada  di  atas  meja  di  depan  jendela.   Numpy  menyadari  ke  arah  mana  mata Tisa  tertuju.

‘Kok  Kamu  tidak  pernah  ngebreak  lagi,  Tis?’ tanyanya.

‘CB-ku  rusak,’ jawab  Tisa  pendek  sambil  duduk  di  samping  Yoyok.

‘Apanya  yang  rusak?’ kejar  Numpy.

‘Nggak  tahu.   Nggak  bisa  dipakai   lagi,’ jawab  Tisa  seakan-akan  tidak  ingin  subyek
itu  diangkat  menjadi  topik.

‘Heran  kok  aku  belum  pernah  memonitormu,’ sela  Tegar.

‘Sudah  lama  aku  tidak  muncul,’Tisa  menerangkan.

‘Sebelum  Kamu  datang  ke  Yogya  Tisa  sudah  tidak  muncul  lagi,’ tambah  Numpy.

 ‘Apanya  sih  yang  rusak,  Tis?  Apa  enggak  bisa  direparasi?’ tanya  Numpy  beruntun.  ‘Hei,  Gar  Kamu  bisa  kan  memperbaiki  pesawat?  Punya  Ade  Kamu  kan  yang ‘mbetulin?’ Numpy  beralih  ke  Tegar.

‘Lihat-lihat  dulu  rusaknya.  Kalau  cuma  yang  enteng-enteng  sih  bisa  aja,’ jawab   Tegar.

‘Nah  tuh,  Tisa,  ada  tenaga  nganggur,’ ujar  Yoyok,  ’Suruh  aja  dia  mbetulin  pesawatmu.’

‘Nggak  tahu  apa  masih  bisa  dibetulin atau tidak,’ ucap Tisa. ‘Barangkali  antenanya  sudah  berkarat.  Lagian  aku  sudah  tidak  tertarik  lagi  untuk … ‘

‘Ya  ampun,  Tis,  sekarang  ini  lagi  ramai-ramainya,’ potong  Numpy.

‘Tanya  aja  pada  Yoyok  dan  Tegar.  Banyak  deh  sekarang  teman  kita.   Minggu  lalu  kita  rujakan  di  rumah  Ade.  Ayo  dong,  Tis.  Banyak  yang  menanyakan  kamu  lho,’ bujuk  Numpy  gencar.  Dia  ingat  Tisa  dulu  teman  di  udaranya  yang  paling  setia.   Kalau  sudah  ngobrol  mereka  sering  lupa  waktu.

‘Iya  deh  kapan-kapan.  Sekarang  mari  kita  pikir  tentang  Cost,’ Tisa  mengakhiri  pembicaraan  mereka  tentang  CB.  Walaupun  dulu  dia  sangat  gandrung  dengan  benda
yang  satu  itu,  tetapi  saat  ini  dia  tidak  berniat  untuk  menggunakannya  lagi.   Selain  pernah  memuaskan  hatinya  pesawat  itu  juga  pernah  menghancurkan  hidupnya.

Sepulang  dari  rumah  Numpy,  Tisa  langsung  masuk  ke  ruang  kecil  di  samping  kamar  tidurnya.   Sudah  setahun  lebih  dia  tidak  masuk  ke  ruang  itu.   Di  dekat  jendela,   dia  melihat   pesawat  CB-nya  yang  penuh  dengan  debu.  Pesawat  itu  hadiah  dari  Oom  Heru  ketika  dia  merayakan  ulang  tahunnya  yang  ketujuh  belas.

Tisa  membuka  jendela.  Udara  segar  memasuki  ruang  yang  pengap  itu.  Dengan  jari-jari  tangannya  Tisa  menyentuh  debu  yang  menyelimuti  pesawatnya.  Dia  sengaja  mengatakan  kepada  Numpy  kalau  CB-nya  rusak  agar  dia  tidak  didesak  untuk  menjawab  mengapa  sudah  sekian  lama  dia  tidak  berhandai-handai  di  udara.

Tisa  mendudukkan  dirinya  di  kursi.  Ditariknya  mike,  dan  didekatkannya  ke  wajahnya.

‘C.Q.  calling …  C.Q.  calling …  apakah  ada  yang memonitor?’ bisiknya  pelan.  ‘C.Q.  calling …  apakah  ada  yang  bisa  memonitor?’ ulangnya.  Tentu  saja  tidak  seorang pun  yang  bisa  menangkap  suaranya.   Pesawat  itu  tidak  dihidupkannya.

Pelan-pelan  Tisa  bersandar  di  kursi  dan  memejamkan  matanya.  Sebuah  peristiwa  menyakitkan  kembali  tergambar  di  pikirannya.

Waktu  itu  Tisa  berniat  untuk  mencari  teman  ngobrol  di  udara.  Seperti  biasanya  sebelum  ngebreak,   Tisa  memonitor  dulu  percakapan  para  breakers  yang  sudah  mengudara.

‘Modulasi  anda  lantang  sekali.  Roger.   Di  mana  sih  lokasi   anda?  Ganti,’ terdengar  sebuah  pertanyaan.

‘Roger …   Nyutran  gitu.  Guest  House  Sailendra  ke  timur  dua  ratus  meteran …  Ganti,’ jawaban  pertanyaan  itu  terdengar  lantang  sekali.   Tisa  tersenyum.  Dia   mengenali  suara  si  penjawab.   Agus,  tetangga  di  depan  rumah.

‘Dekat  rumah  Tisa,  correct ?’ si  suara  pertama  kembali  bertanya.   Senyum  Tisa  semakin  lebar.  Dia  juga  mengenali  suara  yang  satu  ini.  Suara  milik  Donny  teman  sekelasnya.

‘Correct.  Kok  anda  tahu Tisa?  Ganti. “

‘Dia  kan  tanggo  mike  saya …  Roger …  Lebih  tepat  papa  charlie  saya  gitu …  ganti,’ sahut  Donny.   Tak  salah  lagi  pasti  Donny.  Hanya  Donny  yang  berani  mengaku  di  depan  umum  kalau  Tisa  adalah  pacarnya.  Saat  itu  pula  Tisa  ingin  masuk  ke  dalam  percakapan,  tetapi  dia  menunggu  apa  yang  akan  mereka  obrolkan  selanjutnya.

‘Roger,’ sahut  Agus.  ‘Tapi  hati-hati  lho.  Cantiknya  sih  cantik,  tapi  kalau  saya  harus  mikir  seribu  kali  dulu  sebelum  jadi  pacarnya.   Ganti. “

‘Roger …  Memangnya  kenapa?’ tanya  Donny.  Tisa  semakin  memasang  telinga.   Percakapan  semakin  hangat.  Agus  tidak  langsung  menjawab.   Tisa  penasaran.

‘Ayah  Tisa  itu  golf  lima.  Ganti,’ bisik  Agus.

‘Gila,  correct?’ Donny  menegaskan.

‘Correct.  Sedang  anda  tahu  kan  golf  lima  itu  penyakit  menurun.  Jadinya  ya  hati-hati  aja,  Tisa  pasti  juga  agak-agak  gitu.  Ganti. “

‘Roger …  anda  jangan  main  fitnah  lho,’ ancam  Donny.

‘Sumpah  mati …  Roger …  Kemarin  siang  beliaunya  masuk  Puri  Nirmala  setelah  hampir  membunuh  Tisa.  Untung  tetangga  pada  meli …’  Tisa  tidak  mendengar  kelanjutan  kata-kata  Agus.  Dia  matikan  pesawat  CB-nya.  Wajahnya  merah  menahan  marah.   Dia  keluar  dari  ruang  itu  dan  tak  pernah  kembali  lagi  ke  sana.   Sejak  saat  itu  pula  dia  tidak  pernah  menyentuh  lagi  hadiah  ulang  tahun  dari  Oom  Heru  tersebut.

Tisa  tidak  menyalahkan  Agus.  Dia  tidak  menyalahkan  siapa-siapa.   Dia  juga  tidak  menyalahkan  Donny,  bila  sejak  saat  itu  Donny  yang  biasanya  selalu  membanggakan  Tisa,  tidak  lagi  menyapanya.   Tisa  seakan-akan  mengidap  penyakit  menular  yang harus  disingkiri.  Kabar  telah  tersebar.  Tisa  tidak  bisa  menariknya  kembali.   Ingin  benar  dia  berteriak  kepada  semua  orang  bahwa  ayahnya  tidak  gila.  Tetapi  siapa  yang  mau  mempercayainya?

Sejak  saat  itulah Tisa  mulai  menarik  diri  dari  pergaulan.  Sebelum dia  disingkirkan  lebih  baik  dia  menyingkirkan  diri.  Dan  mulailah  dia  membangun  dunianya sendiri.  Dunia  yang  mirip  istana  pasir.   Kelihatannya  kokoh,  tetapi  setiap  saat  selalu  ketakutan  akan  datangnya  ombak.  Ombak  yang  paling  kecil pun  akan  mampu  merobohkan  istananya.

 ♣

Kaki  Tegar  ternyata  membengkak.  Walaupun  sudah  dikompres,  namun  bengkak  itu  tidak  kempes  juga.  Kalau  tidak  ingat  absensinya  yang  harus  diselamatkan,  mau rasanya  Tegar  meninggalkan  kuliah  dan  tinggal  di  rumah.  Untung  sepupunya,  Nies,  mau  mengantarkannya  ke  fakultas,  sehingga  dia  tidak  harus  naik  motor  sendiri.

‘Bisa  naik  tidak?’ kata  Nies  sambil  menghentikan  mobilnya  di  depan  Balairung.  Tegar  melayangkan  matanya  ke  lantai  III  dan  mengeluh  dalam  hati.

‘Jangan  kuatir,  Nies.  Aku  pasti  sampai  ke  sana,’ ucap  Tegar  sambil  turun  dari  mobil.  Nyeri  di  lututnya  terasa  menikam.  Dia  meringis  sejenak,  kemudian  melambai
ke  arah  Nies.

Menaiki  anak-anak  tangga  ke  Balairung  merupakan  siksaan  bagi  Tegar.  Beberapa  kali  dia  terpaksa  berhenti  untuk  meredakan  nyeri  di  kakinya.  Dia  benar-benar  merasa  lega  ketika  akhirnya  bisa  sampai  di  Balairung.  Baru  di  Balairung,  belum  di  tingkat  III.  Tegar  merasa  tidak  sanggup  lagi  untuk  berjalan.  Dia  bersandar  pada  salah  satu  pilar.

‘Tegar,  kenapa  kakimu?  Tadi  kulihat  Kamu  terpincang-pincang,’ entah  dari mana  tiba-tiba  Tisa  muncul  di  depannya.  Sebuah  kejutan  yang  manis  buat  Tegar.

‘Emm …  bengkak,’ jawab  Tegar  sambil  berusaha  untuk  tersenyum.

‘Karena  jatuh  kemarin?’ tanya Tisa  kuatir.

‘Iya. “

‘Ada  tulangmu  yang  patah?’

‘Enggak  cuma  memar  saja,’ sahut  Tegar.  Dia  melepaskan  diri  dari  pilar  yang  disandarinya  dan  mulai  berjalan.  Tisa  mengikuti  di  sampingnya.  Di  depan  anak-anak  tangga  yang  menuju  ke  lantai  atas  Tegar  menghentikan  langkahnya.  Tisa  memandang  sejenak.

‘Mari  kubantu,’ katanya  sambil  mengulurkan  tangan  ke  arah  Tegar.  Tegar  terpukau.  Tetapi  tidak  lama.  Tisa  sudah  mengambil  lengannya  dan  membantunya  untuk  menaiki  anak-anak  tangga.  Tegar  tidak  pernah  menyangka  kalau  dia  bisa  sedekat  ini  dengan  Tisa.  Mimpi  apa  aku  semalam?  Salah.   Salah!  Mimpi  apa  Tisa  semalam  sehingga  pagi  ini  mau  beramah  tamah  denganku?

‘Seharusnya  kamu  istirahat  di  rumah.   Tidak  usah  kuliah,’ Tisa  membuyarkan  lamunannya.

‘Itu  niatku  tadi.  Tapi  absensiku  untuk  Pak  Kris  payah.  Sudah  empat  kali  aku  ngabur.   Sekali  lagi  berarti  tidak  boleh  ikut  ujian.’  Tegar  menerangkan  sambil  menatap Tisa  lekat-lekat.   Barut  di  pipi  Tisa  masih  nampak.   Untung  tidak  dalam.   Kalau  dalam  pasti  akan  meninggalkan  bekas  yang  mengerikan.

Sesampai  di lantai  tiga  mereka  berhenti.  Dengan  cepat  Tegar  meraih  tangan  Tisa  yang  tadinya  digunakan  untuk  menuntunnya  agar  gadis  itu  tidak  melarikan  diri.   Sesaat  Tisa  nampaknya  akan  protes,  Tetapi  kemudian  membiarkan  tangan  Tegar  menggenggam  tangannya.

‘Aku  belum  meminta  maaf  kemarin,’ bisik  Tegar.

‘Meminta  maaf?’

‘Ya,  karena  telah  menjatuhkanmu  serta  telah  membuat  tangan  dan  pipinya  terluka,’  awab  Tegar  sambil  menatap  langsung  ke  mata  Tisa.  Tisa  gugup  setengah  mati.   Rona  merah  menjalar  di  pipinya  yang  membuatnya  nampak  semakin  cantik  di  mata  Tegar.

‘Lupakanlah.  Kecelakaan  bisa  terjadi  di  mana-mana,’ kata  Tisa  setelah  reda  kegugupannya.  Tegar  tersenyum.  Dan  dalam  hati  Tisa  harus  mengakui kalau  senyum  itu  sangat  menawan.

Karena  mereka  datangnya  bersama,  mereka  dapat  duduk  bersebelahan.   Sehingga  selama  kuliah  berlangsung  Tegar  bebas  untuk  memperhatikan  Tisa.  Setiap  gerakan  Tisa,  bahkan  yang  paling  kecil pun  tak  luput  dari  mata  Tegar.  Dia  melihat  Tisa  menghapus  keringat  di  keningnya  dengan  tissue  berwarna  merah  muda.  Dan  melihat  Tisa  mengeluarkan  Tipp-Ex  untuk  menutup  tulisan  yang salah.  Dia  melihat  Tisa  menjejakan  kakinya  ke  depan  karena  capai.  Dia  melihat  Tisa  meringis  kesakitan  ketika  luka  di  tangannya  terbentur  pada  sisi  bangku.  Dia  melihat  semuanya.   Tisa  bukannya  tidak  menyadari  ke  mana  perhatian  Tegar  di  arahkan.  Dalam  keadaan  seperti  itu  muncul  sifat  istana  pasirnya.   Dia  seakan  melihat  ombak  besar  yang  mendekat  dan  mengancam  istananya .  Akankah  kamu  memandangku  dengan  sebelah  matamu  bila  kamu  sudah  tahu  keadaan  papa?

Satu  seperempat  jam  berlalu  dengan  cepat.  Rasanya  terlalu  berlebihan  bila  Tegar  berharap  Tisa  akan  menggandengnya  turun.  Dia  tetap  duduk  di tempatnya  dan  memperhatikan  Tisa  bangkit  dari  kursinya.

‘Kamu  mau  pulang  naik  apa?’ tanpa  disangka-sangka  Tisa  mengeluarkan  pertanyaannya.

‘Sepupuku  berjanji  akan  menjemputku,’ jawab  Tegar.

‘Kamu  bisa  turun  sendiri?’

‘Entahlah.  Mungkin  bisa.’

‘Kamu  membutuhkan  bantuanku?’

‘Kalau  kamu  tak  keberatan,’ jawab  Tegar  penuh  harapan.  Tisa  tersenyum.   Tegar  tertawa.

‘Baiklah,  tapi  tunggu  hingga  anak-anak  turun  semua  dulu,’ janji  Tisa.

Sesudah  semua  bayangan  teman-teman  mereka  menghilang,  Tisa  mengajak  Tegar  untuk  meninggalkan  ruang  kuliah.

Nies  yang  sudah  menunggu  Tegar  di depan  Balairung  terheran-heran  ketika  melihat  sepupunya  itu  muncul  dalam  gandengan  seorang  gadis  cantik.   Nies  mengernyitkan  dahinya.   Rasa-rasanya  aku  kenal  dia.  Ya.  Tentu  saja  aku  kenal  dia.  Bukankah  dia Tisa?

‘Tisa!’  seru  Nies  riang.   Matanya  berbinar  cerah.   Jadi  ini  dia  gadis  yang  selalu  dibangga-banggakan  Tegar  kepadaku.

Tisa  yang  berdiri  beberapa  langkah  dari  Nies  terpaku  di  tempatnya.   Terror  membayang  di  matanya.

‘Nies,’ gumamnya  lirih  sambil  melepaskan  tangannya  dari  tangan  Tegar.

‘Kalian  sudah  saling  kenal?’ tanya  Tegar  heran.  Nies  dan  Tisa  mengangguk  bersama.  Kalau  Nies  mengangguknya  penuh  semangat,  maka  Tisa  adalah  kebalikannya.

‘Aku  tidak  menyangka  kalau  ‘Tisa‘ yang  sering  diceritakan  Tegar  kepadaku  adalah  kamu,’ celoteh  Nies.   Tegar  mendelik  sengit  ke arah  sepupunya.

‘Yuk  pulang  sama-sama ,  Tis,’ ajak  Nies  tak  mempedulikan  Tegar.  Tisa menggelengkan  kepalanya.

‘Terima  kasih,  aku  bisa  naik  Colt. “

‘Hei,  nggak  usah  sungkan.  Kita  kan  saudara,‘ dalih  Nies  sambil  mengerling  Tegar.

‘Nggak  usah  repot-repot,  Nies,’ tolak Tisa.

‘Nggak  ngerepotin  kok.  Kebetulan  aku  juga  harus  jemput  mama  di  rumah  sakit,’ bujuk  Nies  gencar.   Tegar  tidak  ikut  membujuk,  karena  dia  tahu  hasilnya  akan  sia-sia.

‘Bukan  begitu.   Aku  masih  harus  ke  perpustakaan.  Pulanglah kalian dulu,’ jawab  Tisa  yang  tidak  mungkin  mau  ikut  bersama  Nies  dan  Tegar.   Pulang  sendiri  bersama Tegar  saja  dia  harus  mikir  apalagi  ditambah  dengan  Nies.

Sesudah  dibujuk  berkali-kali  dan  Tisa  tetap  pada  pendiriannya,  akhirnya  Nies  dan  Tegar  meninggalkannya  seorang diri.  Tisa  memperhatikan  mobil  mereka  hingga  hilang  dari  pandangan  matanya.  Tiba-tiba  dia  merasa  terluka.  Ombak  itu  telah  datang.   Istanaku  telah  roboh.   Pelan-pelan  dia  melangkah  dan  terus  melangkah.

Dalam  kepalanya  muncul  suatu  bayangan  yang  jelas.  Sangat  jelas.  Dia  melihat  Tegar  yang  duduk  berdekatan  dengan  Nies.  Dia  melihat  Tegar  yang  bertanya  kepada
Nies  bagaimana  Nies  bisa  kenal  dengan  Tisa.  Dan  dia  melihat  Nies  yang  menjawab  sambil  tertawa :  ‘Ayah  Tisa  kan  pasien  mama  yang  paling  setia. “

‘Memangnya  ayah Tisa sakit  apa?’

‘Lha  mama  dokter  apa?  Dokter jiwa kan?  Masa  kamu  lupa?’

‘Jadi  ayah Tisa  sakit  jiwa?’

‘Iya.  Gila! “

Tisa  menggelengkan  kepalanya  dengan  keras.   Dadanya  terasa  sangat  sesak.  Sekarang  semuanya  sudah  berubah.  Tegar  sudah  tahu  latar belakang  kehidupannya,  tentu  dia  akan  menilainya  dengan  pandangan  yang   berbeda.  Bahkan  mungkin  akan  mencoret  namanya  dari  daftar  regu  Costnya.  Lebih  buruk  lagi  bila  dia  akan  menceritakan  riwayatnya  kepada  teman-temannya  yang  belum  tahu  menahu  tentang  dirinya.  Kejadian  dua  tahun  yang  lalu  kembali  terulang.   Ombak  kembali  datang  menggempur  istana  pasirnya  yang  rapuh.  Dulu  Tisa  sudah  menduga
akan  datangnya  hari  seperti  ini,  tetapi  dia  tidak  menyangka  kalau  hari  itu  datangnya  begitu  cepat.

Sebutir  air mata  bergulir  di  pipi  Tisa.  Tisa  tidak  berniat  untuk  menghapusnya.   Dia  terus  saja  berjalan  dan  membiarkan  angin  yang  bertiup  mengeringkan  matanya.

Pagi  itu  Tisa  terbangun  dengan  kepala  yang  sangat  berat.   Dengan  merayap  dia  berhasil  sampai  ke  dapur.  Mbok  Jah,  wanita  tua  yang  bekerja  pada  keluarga  Tisa  dari  pagi  hingga  sore  sudah  datang  dan  berada  di  dapur.  Dia  sangat  terkejut  melihat  Tisa  yang  muncul  dengan  wajah  pucat  pasi  dan  tubuh  menggigil.

‘Duh  Gusti,  mbak  Tisa,  kena  apa?’ tanyanya  kuatir.

‘Pening,’ sahut  Tisa  sambil  memegang  keningnya  dan  mendudukkan  dirinya  di  kursi.

‘Tentu  masuk  angin.  Mari  mbok  keriki. “

‘Tidak  usah,  mbok  Jah.  Tisa  minta  air  hangat  saja,’ jawab  Tisa  lesu.  Cepat-cepat  mbok  Jah  menyiapkan  segelas  susu  hangat  yang  kemudian  dicampurnya  dengan  dua  sendok  madu.   Lalu  diulurkannya  ke  arah  Tisa.  Dia  memperhatikan Tisa  meminum  susu  itu,  kemudian  berjalan  ke  belakang  Tisa  dan  mulai  memijit-mijit  tengkuknya.

‘Nih  kaku  sekali.  Pasti  mbak  Tisa  terlalu  banyak  pikiran,’ komentar  mbok  Jah.  ‘Jangan  terlalu  dipikirkan,  mbak  Tisa,  bapak  akan  segera  sembuh  kembali,’ lanjutnya  menghibur.

‘Mbok  Jah,’ panggil  Tisa  lirih.

‘Menurut  mbok  Jah  apakah  papa  gila?’ tanya Tisa.

‘Hush!  Jangan  bicara  seperti  itu  tentang  bapak,’ mbok  Jah  menegurnya.

‘Tisa  hanya  ingin  mendengar  pendapat  mbok  Jah,’ tuntut  Tisa  dengan  suara  berat.   Untuk  beberapa  saat  mbok  Jah  terdiam.   Dia  sadar  anak  asuhannya  ini  sedang terombang-ambing  jiwanya  dan  membutuhkan  tempat  untuk  berpijak  yang  kokoh.

‘Tentu  saja  bapak  tidak  gila,’ akhirnya  mbok  Jah  mengeluarkan  pendapatnya.  ‘Menurut  embok  yang  bodoh  ini,  bapak  hanya  dilanda  kekecewaan  dan  rasa  bersalah  karena  kecelakaan  yang  menewaskan  ibu  dahulu.   Bapak  sangat  mencintai  ibu  dan  bapak  merasa  bahwa  bapaklah  yang  mengakibatkan  kecelakaan  itu.  Mbak  Tisa  ingat,  bapak  mulai sakit  beberapa  saat  sesudah  kecelakaan.  Tapi  embok  yakin  bapak  akan  sembuh  dengan  berjalannya  waktu.  Percayalah  pada  embok.  Jangan  sekali-kali  mendengarkan  omongan  usil  para  tetangga.  Mbok  Jah  sudah  bekerja  pada  keluarga  bapak  sejak  duluuu …  Sejak  eyang  buyut  mbak  Tisa  masih  sugeng.  Tidak  ada  seorang pun  dari  keluarga  bapak  yang  sakit  jiwa.  Tetangga-tetangga  itu  hanya  mengada-ada.  Jangan  didengarkan,’ nasehat  mbok  Jah.  Tisa  merasa  lega  luar  biasa.   Ternyata  ada  juga  seseorang  yang  sependapat  dengannya.

‘Terima  kasih,  mbok,’ bisik  Tisa.  Mbok  Jah  tersenyum  senang.

Sekarang  mbak  Tisa  kembali  saja  ke  kamar  dan  bobo  lagi.   Embok  yakin  semalam  mbak  Tisa  pasti  tidak  tidur.  Nanti  kalau  mbak  Tisa  bangun  mbok  bikinkan  sup  ayam,’ tutur  mbok  Jah  seperti  membujuk  anak  kecil.  Tisa  tersenyum  dan  menuruti  anjuran  mbok  Jah.  Tisa   tidak  seperti  tadi  malam,  kali  ini Tisa  cepat  terlelap.

Beberapa  jam  kemudian  ketika  dia  terbangun,  dia  merasa  kepalanya  sudah  ringan  dan  dadanya  tidak  sesak  lagi.  Dia  seakan  mempunyai  kekuatan  untuk  menghadapi  dunia.

Sesudah  makan.   Tisa  pamit  pada  mbok  Jah  untuk  menjenguk  ayahnya.  Mbok  Jah  mengantarnya  hingga  ke halaman  depan.  Dia  lega  ketika  melihat  wajah  Tisa  tidak  sekelabu  tadi  pagi.  Dia  ikut  merawat  Tisa,  sejak  gadis  itu  baru  berumur  beberapa  hari.  Luka  di  hati  gadis  itu  merupakan  lukanya  pula.

Pak  Haryanto  sedang  tidur  ketika  tiba  di  sana.  Dengan  hati-hati,  agar  tidak  membangunkan  ayahnya.  Tisa  menarik  sebuah  kursi  dan  duduk  di  atasnya.   Dari  tempatnya  Tisa  menatap  wajah  ayahnya  dengan  segenap  cintanya.

Alangkah  tololnya  aku  membiarkan  orang-orang  mengira  kalau  papa  gila,’ dengan  hatinya  Tisa  mencoba  berbicara  dengan  ayahnya.  ‘Dan  alangkah  tololnya  aku  membiarkan  pikiran  picik  mereka  mengacaukan  hidupku.  Papa,  Tisa  bangga  kepada  papa.  Justru  dengan  keadaan  papa  yang  sekarang  ini  papa  menunjukkan  betapa  besar  cinta  papa  terhadap  mendiang  mama.  Tisa  tidak  malu  menjadi  anak  papa. “

Pak  Haryanto  menggeliat  dan  membuka  matanya.  Tisa  telah  siap  dengan  senyum
manisnya.

‘Tisa,’  gumam  Pak  Haryanto  tidak  jelas.  ‘Kapan  datang?’

‘Barusan,  pa,’ sahut  Tisa.

‘Papa  sudah  lama  menunggumu.  Saking  capainya  papa  sampai  tertidur,’ ucap  Pak  Haryanto  sambil  bangkit  dari  posisi  berbaringnya  dan  duduk  menghadapi  Tisa.

‘Papa  nunggu  Tisa?’Tisa  meyakinkan.

‘Ya,’ seru  Pak  Haryanto  mantap.  ‘Ada  kabar  gembira  untukmu,’ sambungnya  sambil
tersenyum.

‘Tisa  siap  mendengarnya.’

‘Oke,  sekarang  dengar  baik-baik.  Papa  minta  Kamu  segera  menulis  surat  untuk
Oom  Heru …  ‘

‘Papa,  sudah  Tisa  katakan  Tisa  tidak  mau  hidup  bersama  Oom  Heru  walau  sebaik  apa pun  dia.  Tisa  tetap  akan  hidup  bersama  papa.  Papa  tidak  boleh  membuang  Tisa  begitu  saja,’ potong Tisa  emosi.

‘Nah  itu.  Belum-belum  sudah  menyela,’ goda  Pak  Haryanto.  ‘Bukan  kamu  yang  akan  tinggal  bersama  Oom  Heru.  Melainkan  papa,’ lanjut  Pak  Haryanto  berteka-teki.

‘Bagaimana, pa?  Tisa  tidak  jelas,’ cerocos  Tisa.  Pak  Haryanto  tertawa.

‘Semalam  dokter  Sayekti  memberi  tahu  papa  bahwa  papa  tidak  menderita  kelainan
jiwa.  Bukan  jiwa  papa  yang  sakit.   Papa  tidak  gila. “

‘Na, kan  sejak  dulu  sudah Tisa  katakan,’ sela Tisa.

‘Nona  muda,  Kamu  mau  mendengarkan  papa  atau  mau  membuat  diagnosa  sendiri?’ tegur  Pak  Haryanto  sambil  tersenyum.

‘Maaf,  pa.   Sekarang  Tisa  mau  mendengarkan,’ ucap Tisa.

‘Bukan  psychis  papa  yang  sakit  tetapi  fisik  papa.  Kamu  ingat  kecelakaan  yang  menimpa  kita  tiga  tahun  yang  lalu?  Waktu  itu  otak  papa  mengalami  pendarahan.  Setelah  sembuh  ternyata  ada  penyempitan  pada  pembuluh  tersebut  yang   menyebabkan  papa  diserang  rasa  pening  yang  luar  biasa  dan  papa  tidak  lagi  bisa  mengendalikan …  mengendalikan  apa  sih  istilah  dokter  Sayekti  semalam?  Pokoknya  semacam  emosi  begitulah  sehingga  papa  sering  ngamuk  dan  tidak  terkontrol.   Nah,  satu-satunya  jalan  untuk  menyembuhkan  penyakit  papa  ini  adalah  dengan  operasi,’ Pak  Haryanto  menerangkan.   Tisa  mendengarkannya  dengan  penuh  perhatian.  Harapan  yang  besar  membayang  di  wajahnya.

‘Papa  akan  menjalani  operasi  itu?’ tanya  Tisa  antusias.

‘Operasi  itu  merupakan  operasi  yang  berat,  Tis.  Karena  menyangkut otak.  Dan  di  Indonesia  belum  tersedia  peralatan  yang  memadai.’

‘Oh,’ keluh  Tisa.  Harapannya  yang  tadi  melambung tiba-tiba  terhempas  lagi.  Melihat  kekecewaan  di  wajah  Tisa  Pak  Haryanto  segera   mengulurkan  tangannya  dan  meraih
Tisa  ke  dalam  pelukannya.

‘Kamu  belum  mendengarkan  kelanjutan  cerita  papa,’ bisik  Pak    Haryanto  di  telinga  Tisa.  Tisa  menengadahkan  wajahnya  untuk  memandang  ayahnya.  Matanya  meminta  penjelasan.  Pak  Haryanto  tersenyum.

‘Kamu  tahu  negara  yang  sering  mengadakan  operasi  semacam  itu?  Jerman  Barat,
Tis.  Tempat  Oommu  berada.  Itulah  sebabnya  papa  menyuruhmu  untuk  menyurati  Oom  Heru  dan  mengabarkan  kepadanya  bahwa  papa  akan  berobat  di  sana.  Kamu  mau  melakukannya  untuk  papa?’

‘Oh, pa!’ pekik  Tisa  sambil  memeluk  ayahnya  dengan  erat.

‘Oh, pa,’ ulangnya.  Tak  ada  kata-kata  lain  yang  mampu  diucapkannya  kecuali  Oh, pa.  Tangis  bahagia  membanjir  dari  kedua  matanya  seakan-akan  semua  butir  air  mata  dan  semua duka  yang  masih  tersisa  di  dalam  dirinya  ingin  ditumpahkannya   sekarang  juga.  Dadanya  terasa  sangat  lapang.  Batu  besar  yang  menindih  hatinya  selama  tiga  tahun  kini  terhempaslah  sudah.

Untuk  beberapa menit  berikutnya  Tisa masih  juga  belum mampu  untuk  berkata apa-apa.  Kabar  yang baru  saja  didengarnya terlampau  berharga  untuk didiskusikan  dengan  kata-kata.  Sekali-sekali  dia  memandang ayahnya  dan  tersenyum.

‘Sekarang  Tisa  mau  pulang,’ tiba-tiba  Tisa  berseru  sambil  bangkit  dari  sisi  ayahnya.   Tentu  saja  Pak  Haryanto  memandangnya  tak  percaya.  ‘Sekarang  juga  Tisa  mau  menulis  surat  buat  Oom  Heru. Tisa  tidak  mau  menundanya,  ‘lanjut  Tisa  sambil  mengambil  pakaian  kotor  ayahnya  untuk  dibawa  pulang.  Sebelum  keluar,  Tisa  menghadiahi  ayahnya  dua  buah  ciuman  manis  di  pipi  kiri  dan  pipi  kanan.

‘Tisa,’ panggil  Pak Haryanto  ketika  Tisa  sudah  memegang  gerendel  pintu  siap  untuk  membukanya.

‘Ya?’ sahut  Tisa  sambil  memutar   badannya  dengan  indah.

‘Temui  dokter  Sayekti  dulu  sebelum  pulang.  Beliau  tadi  ingin  bicara  denganmu,’ pesan  Pak Haryanto.  Tisa  mengangguk.  Tanpa  dipesan pun  sebenarnya  Tisa  sudah  berniat  untuk  menemui  dokter  itu.  Begitu  banyak  pertanyaan  yang  ingin  diajukannya.  Mudah-mudahan  saja  aku  tidak  lupa  dengan  pertanyaan-pertanyaan  yang  ingin  kuajukan.

Dokter  Sayekti  sedang  menerima  tamu  ketika  Tisa  mengintip  ke kamar  kerjanya.  Tisa  memutuskan  untuk  menunggunya.  Untung  tamu  itu  tidak  mengobrol  terlalu  lama dengan  dokter  Sayekti.   Begitu  tamu  itu  keluar,  Tisa  segera  menjulurkan  kepalanya  melalui  pintu  yang  terbuka  sedikit.  Dokter  Sayekti  yang  melihatnya  segera
memberikan  isyarat  agar  Tisa  mendekat.

‘Mau  bicara  dengan  saya,  tante  dokter?’ tanya  Tisa  begitu  dia  sudah  berada  di depan  dokter  Sayekti.  Hanya  Tisa  seorang  yang  mengalamatkan  dokter  Sayekti  dengan  sebutan  ‘tante dokter “.  Entah  dari  mana  sebutan  aneh  itu  didapatnya.  Namun  yang  terang  dokter  Sayekti  sangat  menyukainya.

‘Iya,  Tis,’ jawab dokter  Sayekti.  ‘Duduklah dulu,’ lanjutnya  menyilakan  Tisa.  Sementara dia  membereskan  mejanya yang  penuh  dengan kertas.

‘Ayahmu  sudah bercerita  kepadamu?’ tanya  dokter Sayekti  setelah  mejanya rapi

‘Sudah.  Apakah  yang  dikatakan  papa benar?  Saya  kuatir jangan-jangan  papa  hanya
merekanya  untuk  menggembirakan  hati saya,’ ucap  Tisa.  Dokter  Sayekti  tertawa  ramai.  Setelah  tawanya  surut,  mulailah  dia  bercerita.

Sebenarnya  pihak rumah  sakit  sudah lama  mengetahui  keadaan ayah  Tisa  yang sebenarnya.  Tetapi  seperti yang  telah  diceritakan  ayah Tisa  tadi,  untuk menjalani  operasi  tersebut di  Indonesia  masih belum  mungkin.  Sedang untuk  menyarankan  agar Pak  Haryanto  berobat di luar  negeri  tidak pernah  terpikirkan  oleh para  dokter  yang merawatnya. Mereka  tidak  ingin menambah  beban  di pundak  Tisa.  Beban yang  saat  ini berada  di  pundak Tisa  sudah  terlampau berat  untuk  di tanggung  gadis  seusia
dia.

Memang  Tisa  tidak  memikirkan  masalah  keuangan,  karena  semua  biaya  pengobatan  ditanggung  perusahaan  ayahnya.  Tetapi  justru  beban  mentalnya  itu  yang  berat.  Kalau  pihak  rumah  sakit  memberi  tahu  perihal  keadaan  ayahnya  yang  tidak  bakal  tersembuhkan  bila tanpa  melalui operasi,  maka  sudah  dapat  dipastikan  kalau  Tisa  akan  tersiksa.  Sedang  kalau  untuk  membawanya  ke  luar  negeri,  akan  mampukah  dia?  Akhirnya  para  dokter  sepakat  untuk  tidak  menceritakannya  kepada  Tisa  maupun  kepada  Pak  Haryanto  sendiri,  sementara  itu  mereka  tetap  berusaha  untuk  penyembuhan  Pak  Haryanto.

‘Lalu  apa  yang  membuat  tante  dokter  berubah  pikiran  dan  menceritakan  kepada  kami,’ tanya  Tisa.

‘Sebenarnya  tidak  sengaja, Tisa,’ jawab  dokter  Sayekti.  ‘Selama  ini  kami  menyangka  hanya  Kamulah  satu-satunya  kerabat  ayahmu.  Well…  Kamu  sendiri  sewaktu  membawa  ayahmu  ke  sini  pertama  kali  mengatakan  bahwa  kalian  tidak  mempunyai  famili  yang  bisa  dihubungi.   Lalu  Kamu  sendiri  yang  mengurusi  ayahmu.   Kamu  sendiri  pula  yang  selalu  menjenguknya  dan  menguatirkan  keadaannya.   Jadi  kami  menyimpulkan  bahwa  kami  telah  melakukan  kebijaksanaan  yang  paling  baik  dengan
merahasiakan  penyakit  ayahmu.   Baru  kemarin  pagi  kami  mengetahui  kalau  ayahmu  mempunyai  adik  kandung  yang  tinggal  di  Jerman.”

‘Papa  bercerita  tentang  Oom  Heru?’ tanya  Tisa.   Dokter  Sayekti  menggeleng.

‘Kemarin  pagi,  ayahmu  meminta  tolong  tante  untuk  menuliskan  surat  buat  adiknya.
Papamu  bilang  Kamu  tidak  mau  menulis  surat  untuknya,’ kisah  dokter  Sayekti.   ‘Tentu  saja  tante  kaget  setengah  mati  ketika  mengetahui  hal  itu.  Tapi  tante  tulis  juga  permintaan  ayahmu. “

‘Ya,  ampun!’ seru  Tisa  kaget.  ‘Pasti  deh  papa  punya  rencana  untuk  menitipkan  saya  pada  Oom  Heru,  iya  kan?  Heran,  sudah  puluhan  kali  saya  katakan  pada  papa  saya  tidak  mau  ikut  Oom  Heru.  Jadi  tante  dokter  sudah  menulis  surat  buat  Oom  Heru?’

‘Menulisnya  sudah.   Mengirimkannya  belum,’ jawab  dokter  Sayekti.

‘Setelah  tahu  kalau  ayahmu  punya  adik  yang  tinggal  di  Jerman,  kami  segera   mengadakan  rapat  kilat  dan  memutuskan  untuk  memberitahu  ayahmu  tentang  penyakitnya.  Nah  yang  ingin  tante  bicarakan  denganmu  sekarang  adalah  apakah  tante  harus  mengirimkan  surat  ayahmu  yang  kemarin  atau  tidak?’

‘Tentu  saja  tidak,’ sahut  Tisa  cepat.   ‘Saya  akan  menulis  surat  untuk  Oom  Heru.  Kapan  kira-kira  papa  bisa  berangkat  ke sana?’

‘Jangan  terlalu  antusias, Tis,’ dokter  Sayekti  memperingatkan.

‘Secepat  mungkin  kami  akan  menghubungi  rumah  sakit  di  sana  dan  mengirimkan
catatan  kondisi  ayahmu  selama  ini.  Nah  kalau  sana  sudah  oke,  bolehlah  ayahmu  berangkat. “

‘Tante  dokter  tahu,  saya  ingin  sekali  melihat  ayah  sembuh.’

‘Iya,  tante  juga,’ jawab  dokter  Sayekti.  ‘Kamu  ingin  melihat  surat  yang  kemarin  tante  tulis?’

‘Nggak  usah,  tante  dok.  Saya  sudah  tahu  apa  isinya.  Saya  tidak  bisa  mengerti   mengapa  papa  sampai  berniat  untuk  membuang  saya  seperti  itu.’

‘Tante  rasa  alasan  ayahmu  tepat  juga, Tis.  Menurut  ayahmu,  sejak  beliau  sakit  Kamu  menjadi  sangat  berubah.  Kamu  menjadi  pemurung,  pendiam  dan  tidak  mempunyai  teman.  Padahal  ayahmu  bilang,  dulu  temanmu  sangat  banyak  dan  Kamu  termasuk  remaja-remaja  yang  agak  ribut  dan  cerewet,  itu  kata  ayahmu  lho.  Nah  dengan  mengirimkan  Kamu  kepada  oommu,  ayahmu  berharap  agar  Kamu  bisa  menemukan  kembali  duniamu  yang  hilang. “

‘Itulah  yang  tidak  saya  mengerti.  Papa  pikir  bila  saya  sudah  berpisah  dengan  papa  dan  hidup  bersama  keluarga  Oom  Heru  saya akan  bisa  melupakan  papa.  Padahal  justru  sebaliknya.  Saya  akan  sangat  menderita.  Saya  tidak  bisa  membayangkan  papa  berada  di  rumah  sakit  jiwa.  Walau  bagaimanapun  juga  papa  adalah  ayah  saya.  Dan  saya  sangat  mencintainya,’ keluh  Tisa  panjang.   ‘Tapi  yah…  sebentar  lagi  papa  akan  sembuh,’ sambungnya  diiringi  senyum.   Semuanya  akan  kembali  seperti  sedia  kala, pikir  Tisa  tenang.

Melihat  kegembiraan  di  wajah  Tisa,  mau  tidak  mau  dokter  Sayekti  ikut  bergembira  pula.  Sejak  pertama  bertemu  dokter  Sayekti  sudah  mengagumi  gadis  di  depannya  ini.  Tisa  begitu  telaten  dan  penuh  cinta  dalam  merawat  ayahnya.  Alangkah  sukarnya  membayangkan  Nies  bersikap  seperti  Tisa  dalam  menghadapi  ayahnya,  suami  dokter  Sayekti.  Apalagi  Tegar.  Tegar?

‘Astaga,  hampir  tante  lupa!’ seru  dokter  Sayekti  tiba-tiba.  ‘Tadi  Tegar  menitipkan  surat  untukmu,’ sambungnya  sambil  mencari-cari  ke  dalam  tasnya.

‘Surat  apa?’ tanya Tisa  heran.

‘Emm…, apa  dia  bilang  tadi?  Oh  iya…. mau  minta  tolong untuk  menandatangankan  absensinya,’ jawab  dokter  Sayekti  sambil  mengulurkan  sebuah  amplop  surat  yang  tertutup  rapat.

‘Apakah  kakinya  masih  bengkak?’ tanya Tisa.

‘Dia  masuk  Panti  Rapih  kemarin  sore,’ sahut  dokter  Sayekti.  ‘Kakinya  ternyata  retak  dan  perlu  digibs. “

‘Retak,’ ulang  Tisa  tidak  percaya.  ‘Kemarin  siang  dia  bilang  kakinya  tidak  apa-apa.  cuma  bengkak  saja. “

‘Oh,  Tegar  sok  tahu.  Dia  pikir  dia  lebih  ahli  dari  dokter.   Sewaktu  mau  tante  periksa  dia  menolak.  Baru  kemarin  sore,   setelah  sakitnya  tidak  tertahankan  lagi,  dia
berlari  ke  tante.  Langsung  deh  tante  jewer  kupingnya  dan  tante  seret  ke  rumah  sakit,’ cerita  dokter  Sayekti. Tisa  tersenyum.

‘Tante  heran,  Tis,  bagaimana  Kamu  akrab  dengan  anak  sableng  itu,’ lanjut  dokter  Sayekti. Tisa  terdiam.  Dia  tidak  tahu  harus  berkomentar apa. Akrab?  Rasa-rasanya  tidak.

Surat  Tegar  untuk  Tisa  benar-benar  menggambarkan  sifat  sablengnya.   Pada  kertas  resep  dengan  kop  nama  dokter  Sayekti  di  pojok  kiri  atas,  dia  menulis :

Pro :
Tisa  Aribowo ( Namamu  lebih  keren  deh  bila  digabungkan  dengan  namaku)

Begini,  Tis,  Kamu  kan  tahu  absensiku  untuk  Pak  Kris  sangat  rawan.  Sekali  lagi  aku  tidak  kuliah  berarti  aku  tidak  diijinkan  untuk  ikut  ujian  akhir.  Dus  aku  harus  ngulang  tahun  depan.   Nah  demi  masa  depan  kita  bersama,  kuharap  Kamu  mau  mengisikan  daftar  presensiku.  Tulisannya  kira-kira  seperti  di  bawah  ini.  Usahakan  deh  yang  agak  mirip  sehingga  beliaunya  tidak  curiga.
Tegar  Aribowo.

Di  bawah  nama  itu  Tegar  mencantumkan  nomor  mahasiswanya,  kemudian  sebuah  tanda  tangan.  Tanda  tangan  yang  simpel  sehingga  kelihatannya  mudah  untuk  ditiru  atau  dipalsukan.  Di  bawahnya  lagi ,  Tegar  menyambung  suratnya.  Oh  ya,  Tis,  sewaktu  abangku  sakit  dulu  dan  harus  diopname  pacarnya  nungguin  dia  terus.  Aku
tahu  aku  tidak  boleh  mengharapkanmu  untuk  menungguiku  harus.  Tetapi  kalau  aku  berharap  agar  sekali-sekali  kamu  kunjungi  boleh  kan?

Tisa  tertawa  ketika  membaca  surat  itu.  Pantas  dokter  Sayekti  mengira  kalau  aku  dan  Tegar  akrab.  Pasti  Tegar  bercerita  yang  tidak-tidak  kepada  tantenya   itu.   Sesudah  membaca  ulang,  Tisa  kemudian  mengambil  selembar  kertas  dan  mulai  belajar  menuliskan  nama ‘ Tegar   Aribowo ‘  hingga  tulisannya  mirip  dengan  tulisan  tangan  Tegar.   Sebersit  perasaan  aneh  tiba-tiba  muncul  di  hatinya.  Perasaan  yang  belum  pernah  dia  rasakan  sebelumnya.  Dia  merasa  seakan-akan  sejak  dulu  dia  dan  Tegar  selalu  berjalan  bahu  membahu.   Dia  merasa  seakan-akan  masalah yang dihadapi  Tegar  adalah  masalahnya  juga.  Dan  saat  ini  dia  sedang  berusaha  membantu  Tegar  untuk  menghadapi  salah  satu  masalah  tersebut.

Usaha  Tisa  agar  bisa  menuliskan  nama  Tegar  mirip  dengan  tulisan  yang  punya  nama  ternyata  tidak  ada  gunanya.  Pak  Kris  kosong.  Berarti  tidak  ada  daftar  presensi  yang  harus  diisinya.   Dalam  perjalanan  pulang,   sewaktu  Colt  yang  ditumpanginya  lewat  di  depan  Panti  Rapih  tanpa  disadarinya  Tisa  melambaikan  tangannya  kepada  kernet  untuk  memberinya  isyarat  kalau  dia  ingin  turun  di  tempat  itu.  Dan  setengah  sadar  pula  dia  berjalan  memasuki  Panti  Rapih.  Tahu-tahu  dia  sudah  berada  di  depan  paviliun  Albertus.

‘Apa  yang  kulakukan  di  sini?’ tanya  Tisa  pada  dirinya  sendiri.   Serta  merta  Tisa  sadar  bahwa  dia  sebenarnya  tidak  mempunyai  kewajiban  untuk  mengunjungi  Tegar.  Tetapi  untuk  keluar  lagi  dari  Rumah  Sakit  itu  rasanya  lucu.  Akhirnya  dia  memutuskan  untuk  menemui  Tegar.

‘Hanya  sekali  ini,’ janjinya  dalam  hati  sambil  meneliti  nama-nama  para  pasien  dan  kamar  masing-masing.   Tegar  benar-benar  surprise  ketika  tahu-tahu  melihat  Tisa  sudah  berdiri  di  depan  pintu  kamarnya.  Dia  tersenyum  lebar  dan  menyilakan  Tisa  masuk.  Tisa  mendekati  tempat  tidur  Tegar  dengan  ragu.

‘Aku  senang  kamu  mau  datang,  Tis,’ ucap  Tegar.

‘Emm…  Kebetulan  Pak  Kris  kosong,’ ucap  Tisa  yang  tidak  tahu  harus  berkata  apa.

‘Kosong?  Kalau  begitu  kamu  tidak  harus  mengisikan  presensiku  dong,’ seru  Tegar  gembira.  Tisa  mengangguk  sambil  memperhatikan  kaki  kanan  Tegar  yang  terbalut  gibs.

‘Seumpama  Pak  Kris  tadi  masuk,  Tis,  apakah  kamu  akan  menandatangankan  resensiku?’ sambung  Tegar  dengan  sebuah  pertanyaan.

‘Kurasa  aku  tidak  punya  pilihan  lain.  Kalau  sampai  Kamu  tidak  boleh  ikut  ujian,  kamu  pasti  akan  menyalahkan  aku,’ sahut  Tisa. Tegar  tergelak.

‘Aku  memang  brengsek  dan  tukang  paksa,’ Tegar  mengaku.  ‘Soalnya  kalau  tidak  kupaksa  kamu  tidak  pernah  mau  melakukannya  dengan  suka  rela.  Coba  kalau  sore  itu  aku  tidak  bolos  kuliah  dan  pura-pura  jadi  sopir  Colt,  tentu  kamu  tidak  mau  pulang  bersamaku.   Coba  kalau  aku  tidak  langsung  menuliskan  namamu  dalam  regu  Costku,  tentu  kamu  tidak  mau  seregu   denganku.  Coba  kalau  aku  tidak  langsung  menuliskan  namamu  dalam  regu  Costku,  tentu  Kamu  tidak  mau  seregu  denganku. Coba  kalau  aku  tidak  memaksamu  untuk  mencintaiku,  tentu  Kamu  tidak  mau  jadi  pacarku.’

‘Apa?’  sergah  Tisa  sambil  membelalakkan  matanya.

‘Kamu  sudah  mendengarnya,  Tis.  Benar kan?’

‘Tidak  lucu,’ desah  Tisa.

‘Hei,  ini  memang  bukan  lelucon.  Ini  serius,  Tis,  Coba  kalau  tidak  kupaksa,  maukah  Kamu  jadi  pacarku?’ bantah  Tegar  seenaknya.  Tisa  terdiam.   Dia  menyadari  bahwa  dia  tidak  mungkin  bisa  menghadapi  Tegar  bila  dia  tetap  menggunakan  caranya  yang
sekarang  ini.  Dia  harus  menggunakan  cara  yang  sama  sekali  lain.  Setelah  berpikir  beberapa  saat,  akhirnya  Tisa  menganggukkan  kepalanya.

‘Mau,’  jawabnya  mantap.  Kini  giliran  Tegar  yang  terkejut.  Dia  menatap  Tisa  tidak  percaya.  Sama  sekali  dia  tidak  menyangka  kalau  Tisa  akan  menjawab  seperti  itu.  Pelan-pelan  Tegar  mengembangkan  senyumnya.  Matanya  menatap  mata  Tisa  dengan
lembut  dan  dalam.  Tisa  segera  menyadari  kesalahannya.

‘Tegar,  aku  cuma  bercanda.  Tidak  serius,’ ucapnya  cepat.  Tetapi  sudah  terlambat.  Tegar  seakan  tidak  mendengar  suara  Tisa.  Dia  masih  juga  menatap  Tisa  dengan  segala  cintanya.  Tangannya  terulur  dan  tahu-tahu  tangan  Tisa  sudah  berada  dalam
genggaman  tangannya.

Siang  itu  matahari  bersinar  dengan  garangnya  seakan-akan  ingin  menghanguskan  semua  yang  ada  di  atas  permukaan  bumi  ini.  Pohon-pohon  mulai  melayu  daunnya  dan  burung-burung  kehilangan  nyanyiannya.   Sementara  orang  lain  memilih  untuk  tinggal  di  dalam  rumah  dan  melindungi  diri  dari  sengatan  matahari,  Tegar  justru   bertengger  gagah  di  atas  atap  rumah  Tisa.  Matahari  yang  menggumuli  kulitnya  tidak.  Hanya  sekali-sekali  saja  dia  menghapus  keringat  yang membasahi  wajahnya.  Dengan  tekun  dia  memasang  booster  di  antena  pesawat  CB  Tisa.   Dengan  booster  itu  dia  berharap  agar  kalau  menghubungi  Tisa  di  udara.  Tisa  bisa  menangkap  suaranya  dengan  jernih.   Tegar  baru  saja  selesai  mengencangkan  antena  ketika  dia  mendengar suara lain  di  atas  genteng  itu.   Ketika  menoleh,  dia  melihat  Tisa  yang  tengah  berjalan  ke  arahnya.

‘Ya  ampun,  Tis,  apa  yang  kamu  lakukan  di  sini?  Kamu  bisa  jatuh,’ seru  Tegar  kaget. Apalagi sewaktu melihat langkah Tisa  yang terhuyung-huyung.  Tisa  tidak  menyahut  hanya  melambai-lambaikan  selembar  kertas.

‘Dari  Oom  Heru.  Kamu  harus  membacanya,’ ucapnya  setelah  dekat  dengan  Tegar.  Kertas  yang  ternyata  surat  dari  pamannya  diulurkan  kepada  Tegar.  Setelah  menggeleng-gelengkan  kepalanya  berkali-kali  mulailah  Tegar  membaca  surat  itu. Sebuah  surat  yang  sangat  singkat.   Oom  Heru  hanya  menulis  kalau  operasi  ayah  Tisa  telah  berhasil  dengan  baik.   Minggu  depan  Ayah  Tisa  sudah  diijinkan  keluar  dari  rumah  sakit.  Hanya  itu  isi  surat  tersebut.  Oom  Heru  bahkan  tidak   menyebutkan  kapan.  Pak  Haryanto  akan  kembali  ke  tanah  air.  Tapi  surat  yang  singkat  itu  sangat  berharga  bagi  Tisa.  Juga  bagi  Tegar.  Tegar  menatap  Tisa  yang  berada  di  dekatnya  dengan  kasih.  Wajah  yang  biasanya  diliputi  mendung  itu  kini  nampak  secerah  langit di  atas  sana.   Tiba-tiba  Tegar  menyadari  di  mana  mereka  berada.

‘Tis,  Kamu  harus turun  sekarang. Tempat  ini  terlalu berbahaya untukmu,’ perintahnya  pada  Tisa.  Tisa  memandangnya  protes.

‘Aku  tidak  ingin  melihat  Kamu  jatuh.  Seharusnya  Kamu  tadi  tidak  usah  naik   kemari.  Kamu  memanggilku  saja  pasti  aku  akan  segera  turun,’ sambung  Tegar.

‘Aku  begitu antusias  tadi,’ Tisa  memberikan  alasannya   Tegar  tersenyum.  Seratus  persen  dia  memakluminya.

‘Oke,  tapi  Kamu  harus  turun  sekarang.  Sebentar  lagi  aku  selesai  dan  menyusulmu,’ kata  Tegar.  Tisa mengangguk.

‘Aku  turun  sekarang,’ ucapnya.

‘Hati-hatilah,’  pesan  Tegar  sambil  memperhatikan  Tisa  berjalan  menjauhinya.  Ketika  tiba  di  tepi  atap  Tisa  menghentikan  langkahnya  dan  berseru  kaget.

‘Ada  apa, Tis?’ tanya  Tegar.  ‘Kita  tidak  bisa  turun,’ jawab  Tisa  ragu  dan  kecut.

‘Apa?’

‘Kita  tidak  bisa  turun,’ ulang  Tisa.  ‘Kemari  dan  lihatlah,’ lanjutnya.  Tegar  meletakkan  kawat  yang  dibawanya  dan  berjalan  mendekati  Tisa.  Matanya  terbelalak  lebar.  Tangga  yang  mereka  gunakan  untuk  naik  tadi  kini  tersangkut  di  rumpun  melati  jauh  di  bawah  sana.