Blog Archives
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Keempat)
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota lain
Taksi yang kutumpangi berjalan menyusur pantai meninggalkan keramaian kota Jacksonville. Pantai yang gersang tanpa pepohonan. Pasirnya berwarna putih kusam. Tidak ada yang menarik. Pantai ini kalah jauh dari pantai-pantai di Indonesia. Sekitar dua jam kemudian kami memasuki kota kecil Daytona. Ada sebaris pohon palem yang hampir meranggas di pusat kota. Walaupun demikian Daytona mempunyai karisma tersendiri. Suasana liburan serta merta terasa. Di mana-mana kelihatan orang berjalan kaki dengan riang. Mobil yang lalu lalang bisa di hitung dengan jari. Tak seorang pun bepenampilan murung, kecuali aku mungkin.
Sesudah agak lama berputar-putar di pusat kota, supir taksi membelokkan mobilnya ke kiri ke arah pantai. Suasanan pantai lebih menunjukkan suasana santai. Penuh dengan manusia yang sedang berenang dan sekedar berjemur di bawah terik matahari. Kemudian taksiku memasuki halaman sebuah hotel yang nampak begitu indah. Sebuah hotel butik yang ditujukan untuk penyewa jangka panjang dengan pelayanan lengkap, termasuk tiga kali makan.
Seorang room boy mengantarku ke kamar yang kupesan dari airport. Sebuah kamar yang luas dan terpisah dari bangunan induk hotel. Berderet dengan tiga kamar lainnya dan menghadap ke pantai. Sepanjang siang aku mengurung diri di kamar. Aku mersasa benar-benar sendirian kini. Setiap orang saling memiliki. Aku tidak. Mama memiliki adik-adikku dan Oom No. David memiliki Papa. Papa memiliki David. Tetapi aku? Tak seorang pun yang kumiliki kini. Tidak ada seorang pun yang mempedulikan apakah aku masih hidup atau sudah mati. Mama pasti mengira aku masih bersama Papa. Papa dan David pasti juga mengira kalau aku sudah kembali ke Mama dan mereka tidak peduli apakah aku benar-benar sudah pulang atau belum. Aku bukan Stanton lagi. Tak ada lagi hubungan antara diriku dengan Stanton. Oh tragisnya hidup ini. Tapi aku sudah memilih untuk menjalani hidup yang tragis ini.
Pukul tujuh, bel panggilan makan malam berdering. Aku tidak lapar tetapi bangkit juga dari tempat tidur. Kulihat diriku di dalam cermin. Mataku sangat merah dan mataku sembab oleh bekas air mata. Kubasuh mukaku dulu sebelum keluar dari kamar. Waktu keluar dari kamar, penghuni kamar sebelah kiriku juga keluar. Seorang gadis yang sangat cantik dengan perawakan yang begitu semampai.
‘Hello!’ sapanya ramah sambil menutup pintu kamarnya.
‘Hai,’ jawabku gugup.
‘Kamu penghuni kamar ini?’ tanyanya. Kuanggukkan kepalaku. ‘Sudah lama aku ingin punya tetangga dan baru sekarang kesampaian. Namaku Michelle,’ lanjut gadis itu memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya hangat.
‘Aku Lucy. Kamu sendirian saja?’ tanyaku sambil kujabat tangannya. Dia mengangguk.
‘Kamu mau makan malam ‘kan? Kita bisa duduk semeja,’ usul Michelle. Aku merasa sedikit terhibur. Makan sendirian benar-benar tidak nyaman terutama di tempat yang ramai seperti ruang makan di hotel ini.
Kami duduk di teras ruang makan yang menghadap ke laut lepas. Hembusan angin sore yang hangat kental beraroma garam. Michelle mulai menceritakan tentang dirinya. Dia seorang peragawati yang berasal dari Boston dan pada musim panas bekerja pada sebuah rumah mode di Daytona.
‘Kamu tinggal di hotel ini sepanjang musim panas?’ tanyaku.
‘Ya. Itu perjanjianku dengan boss. Aku tidak mau tinggal di apartemen, membereskan tempat tidur dan mengurusi hal-hal domestik lainnya,” jawab Michelle sambil tertawa. Aku menyadari gadis di depanku ini begitu banyak tawanya. ‘ Nah, itu waiter kita, Les,…’ ucap Michele sambil menunjuk pada seorang pemuda yang berjalan ke arah kami.
‘Selamat malam, Michelle!’ tegur waiter itu.
‘Malam, Les. Ada orang baru yang duduk di meja ini. Kamarnya di sebelah kanan kamarku. Lucy, kenalkan, Les,’ Michele memperkenalkan kami berdua.
‘Hallo,’ sapaku.
‘Senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Les sambil tersenyum. ‘Sekarang apa yang dapat kuambilkan untuk kalian?’ lanjutnya.
‘Seperti biasanya. Dan Lucy, apa yang kamu inginkan?’ tanya Michelle. ‘ Tidak banyak yang dapat kamu pilih di sini,’ sambung Michele berbisik tapi cukup keras untuk didengar Les. Les tersenyum tapi tidak membantah kata-kata Michelle.
‘Apa yang istimewa untuk hari ini?’ tanyaku.
‘Idaho red angus dilumuri mint lalu ditaburi suwiran lobster dan tumis sayuran dan dilengkapi dengan kentang mini kukus,’
‘Itu yang istimewanya apalagi yang biasa,’ komentar Michele diiringi tawanya yang khas.
‘Kamu membuat nafsu makan Lucy hilang,’ Les memperingatkan.
‘Oke, kuambil yang istimewannya tapi tanpa lobster,’ jawabku. Les tersenyum senang dan segera berlalu. Sesudah makan malam Michelle mengeluarkan rokoknya.
‘Rokok?’ Michelle menawarkan.
‘Terima kasih. Aku tidak merokok,’ jawabku. Michelle menyulut sebatang untuknya. Sisanya di letakkan di atas meja dan di putar-putarkan beberapa kali.
‘Lucy, kamu mempunyai darah Amerika Latin? Mexico atau Cuba?’ tanya Michele tiba-tiba. Kugelengkan kepalaku.
‘Amerika Asli?’ tanyanya tak percaya.
‘Juga bukan. Aku orang Indonesia.’
‘Indonesia?’ ulang Michele untuk meyakinkan. ‘Sangat jauh dari sini. Kamu datang ke sini sendirian? Berapa umurmu?’ tanya Michele dengan cepatnya. Aku tertawa mendengar kecepatan bicaranya itu.
‘Sembilan belas dan akan menjadi dua puluh tahun pada musim gugur,’
‘Sembilan belas? Ah, kamu pasti bercanda. Enam belas kukira lebih tepat,’ olok Michelle.
‘Mau lihat pasporku?’ gurauku.
‘Tidak . . . tidak,’ jawab Michelle sambil tertawa. Kemudian kami bercakap-cakap ringan. Tentang mode, tentang remaja, tentang pantai dan penjaga pantainya. Selama bercerita itu Michele merokok terus menerus. Aku heran mengapa giginya masih tetap putih dan bibirnya tidak rusak oleh tembakau.
‘Lifeguard . . .,” keluh Michele tentang penjaga pantai , ‘mereka benar-benar hebat tetapi juga bajingan’ lanjutnya.
‘Mengapa demikian?’ tanyaku antusias.
‘Kamu akan melihatnya sendiri,’ kilah Michele. ‘Mereka akan duduk di kursi mereka yang tinggi, begitu gagah dan begitu tampan. Bertelanjang dada dan berkacamata gekap pura-pura mengawasi keamanan pantai. Padahal yang sesungguhnya mereka awasi adalah gadis-gadis berbikini. Karena kaca mata hitam yang mereka kenakan, mata mereka bisa bebas berkelana ke sana ke mari,’ Aku terkesima mendengar cerita Michelle bak dengan begitu gadis kecil mendengar dongeng ibunya sebelum tidur.
”Tapi anehnya,’ lanjut Michelle, ‘w alaupun semua orang tahu kalau mereka itu petualang, masih juga mereka dipuja-puja. Dimana pun mereka berada, gadis-gadis cantik akan mengerumuni bahkan mau bermain cinta dengan mereka.’
‘Ah, ‘ cetusku tidak sadar.
‘Jangan heran, Lucy. Bahkan kalau ada kesempatan mau rasanya aku bercinta dengan mereka.’
‘Kamu mau?’
‘Yah. Mereka begitu tampan dan gagah. Begitu muda dan crunchy . Sebelum aku terikat dengan perkawinan nanti, aku mau bermain dengan mereka dulu,’ kata Michelle bermimpi. ‘Kamu harus hati-hati terhadap mereka. Mereka jago merayu. Tanpa kamu sadari kamu sudah masuk dalam perangkap mereka. Dan kalau mereka sudah mendapatkannya, finish.”
‘Selalu begitu?’
‘Selalu. Siang hari kamu berkenalan dengan salah satu dari mereka. Sedikit rayuan gombal, malam harinya kamu sudah ada dalam pelukannya. . . Kamu akan membawa kesan itu seumur hidupmu sedang si dia sudah lupa keesokan harinya dan siap dengan gadis yang lain,”
‘Sekejam itu?’
‘Mereka tidak kejam, Lucy. Kalau gadisnya mau, mau di bilang apa? Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini. Dan biasanya yang senang itu justru si gadis. Kalau gadisnya cerdas, dia akan cari lifeguard yang lain. Mereka benar-benar memikat,”
‘Apakah semua lifeguard demikian?’
‘Wah, tentang hal itu aku tidak tahu. Tapi kebanyakan, Lucy. Kebanyakan. Dari pengamatanku yang selalu tinggal disini setiap musim panas, kebanyakan dari mereka ya seperti itu. Kalau kamu tidak ingin jadi korban, jangan dekati mereka. Mereka tidak akan mendekatimu bila kamu tidak menunjukkan minat. Itu salah satu yang kukagumi dari mereka. Kalau kamu ingin selamat, hindarilah mereka,” nasehat Michele.
‘Engkau membuatku takut pada mereka,’ kataku jujur.
‘He, jangan!!’ teriak Michele. ‘Mereka tidak apa-apa jika, . . . seperti kataku tadi, engkau tak ada minat terhadap mereka. Mereka dapat menjadi teman yang baik. Engkau dapat saja bergaul dengan mereka tanpa harus berpacaran,’ jawab Michele blak-blakan.
Itulah awal perjumpaanku dengan Michelle. Aku bersyukur dapat berjumpa dengan gadis seperti dia. Dengan dia rasa asingku terhadap sekeliling bisa menghilang begitu saja. Setiap sore sehabis pulang dari kerja, Michelle selalu menemaniku berjalan-jalan sepanjang pantai. Atau kadang-kadang kami pergi ke kota nonton atau makan di tempat-tempat yang baru. Sembilan tahun yang membedakan umur kami tidak lagi terasa. Dengan dia aku dapat berbincang bebas. Dengan dia aku bisa tertawa lepas. Michelle juga menjanjikan sebuah pekerjaan untukku. Tapi untuk satu bulan pertama ini aku ingin rileks. Aku ingin menikmati liburan. Sesudah itu aku akan mulai memikirkan masa depanku.
‘Kamu benar-benar tidak mau ikut, Lucy?’ tanya Michelle sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Sebentar lagi dia akan pergi ke Orlando dalam suatu pegelaran mode selama seminggu.
‘Lucy?’ tanya Michelle lagi. Rupanya dia tidak melihat aku sudah menggeleng tadi.
‘Tidak, aku cuma akan merepotkanmu saja. Lagipula kamu pasti akan sibuk terus jadi tak ada waktu untuk jalan-jalan. Kamu pun pasti tidak mau mengajakku ke Disney World,’ jawabku. Michele tertawa renyah mendengar jawabanku.
‘Dengar, aku berjanji suatu saat akan mengajakmu ke sana. Oke?’ sahut Michelle.
‘Lucy, aku benar-benar tidak tega meninggalkanmu seorang diri di sini,’ ucap Michelle setelah terdiam beberapa saat.
‘Kamu pikir aku bakal mati bila kamu tinggal?’
‘Mati sih, enggak. Kalau setengah mati mungkin,’ ganggu Michelle. ‘Baik-baiklah menjaga diri. Aku akan selalu menelponmu,’ lanjut Michelle seperti seorang kakak kepada adiknya.
‘Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Chelle. Mungkin aku akan mencoba memacari lifeguard selagi kamu pergi’ gurauku.
‘Sure,’ cibir Michelle menantang. ‘Apa yang kamu inginkan sebagai oleh-oleh?’ lanjutnya. Aku menggeleng.
‘Tidak ada?’ tanya Michelle.
‘Kamu kembali dengan selamat saja aku sudah senang,’
‘Jangan ngamuk bila aku benar-benar tidak bawa oleh-oleh?’ pesan Michele sebelum pergi.
Kepergian Michelle ternyata berakibat juga pada diriku. Aku benar-benar merasa kesepian. Mau jalan-jalan malas karena tidak ada teman. Mau mengurung diri di kamar juga tidak enak. Akhirnya aku cuma duduk di pagar beton di depan kamarku sambil memandang laut dan melamun. Kalau sudah begini aku kembali teringat akan nasibku dan membuatku ingin menangis. Maka pada hari ketiga kuputuskan diriku untuk berenang sendiri di pantai.
Pakaian renangku sudah siap kupakai, jadi nanti tinggal melepas pakaian luarku saja sebelum berenang. Aku berjalan menyusur pantai mencari tempat yang agak lapang, tetapi rasanya semua tempat penuh dengan manusia. Aku berjalan terus dan berjalan hingga kudapatkan tempat yang benar-benar sepi.
Kuletakkan tas yang kubawa di pasir dan sebelum melepas pakaian aku berjalan dulu ke dalam air untuk melihat keadaan. Air laut itu begitu segar kontras dengan panasnya udara.
‘Hei, Miss!’ tiba-tiba kudengar sebuah panggilan. Secara refleks aku menoleh. Wow, seorang lifeguard. Persis seperti yang digambarkan Michelle, tampan dan gagah. Mau apa dia?
‘Memanggilku?’ tanyaku bodoh.
‘Ya. Sudah berkali-kali kamu kupanggil, bahkan aku sudah meniup peluit segala, tapi rupanya kamu tidak mendengar,’ jawab sang lifeguard sambil melepas kaca mata hitamnya. Matanya benar-benar biru, sebiru laut Atlantik kala itu.
‘Memanggilku untuk apa?’ aku bertanya. Dia mengembangkan sebuah senyum yang sangat menawan. Pantas mereka begitu di puja-puja. Gumam hatiku.
‘Kamu melihat buoys itu?’ tanyanya sambil menunjuk bola-bola karet berwarna jingga yang mengapung di atas air.
‘Ya,’ jawabku bingung.
‘Itu adalah batas daerah yang boleh di gunakan untuk berenang. Dari sini ke sana adalah daerah terlarang,’ dia menjelaskan dengan sabar. Ouch, alangkah tololnya aku. Mengapa aku tidak melihatnya tadi? Mengapa aku tidak curiga menjumpai daerah yang begini sepi sedang tak jauh dari sini berlimpah ruah manusianya?
Dengan cepat aku beranjak menuju ke tas yang tadi aku tinggalkan, memungutnya dan berlari menuju hotel, Lifeguard tadi masih berdiri di tempatnya ketika aku pergi. Aku begitu malu. Pasti dia menertawakanku dan akan diceritakannya kepada teman-teman sesama lifeguard tentang ketololan yang baru saja kubuat dan mereka akan tertawa bersama.
Sesampai di hotel aku segera mengunci diri di kamar, untung tidak lama kemudian Michelle menelponku sehingga aku bisa sedikit melupakan peristiwa tadi. Tentu saja peristiwa itu tidak kuceritakan kepada Michele. Bila kuceritakan kepadanya, tentu dia akan tertawa terpingkal-pingkal.
Keesokan harinya aku masih tidak berani keluar, apalagi ke pantai. Lifeguard itu pasti berada di sana dan tentu teman-temannya pun begitu antusias untuk melihat si gadis tolol. Maka sepanjang siang aku berada di kamar dan nonton drama serial di televisi. Sesudah dua hari mengurung diri, akhirnya aku bosan juga, maka kulangkahkan kakiku untuk menuju ke pusat kota. Berjalan-jalan di kompleks pertokoan membuatku teringat pada Irene. Aku pernah berjalan-jalan di Louisville Mall bersama Irene dan membeli ransel untuk Adit.
Tiba-tiba aku sadar kalau sudah lama aku tidak berkabar kepada Mama. Aku sadar bahwa aku seharusnya mengirim ransel untuk Adit dan dan sesuatu untuk Anto dan Yani. Aku sadar aku telah melalaikan kewajibanku. Aku akan mekukan hal itu sekarang juga selagi aku masih ingat.
Dengan gaya seorang ahli seperti Irene, aku mulai berbelanja. Pertama kali, kubeli ransel untuk Adit, karena ranselnya sudah kupakai kemudian sebuah iPod Nanountuk Anto dan Barbie untuk Yani. Sebelum semuanya itu kubungkus dengan rapi, kuselipkan selembar kertas yang kutulisi sedikit kabar tentang Mbak Lucy mereka (kabar bohong tentunya). Tapi itu sudah cukup untuk mengabarkan bahwa aku masih hidup.
Masalah yang timbul selanjutnya adalah menentukan letak kantor pos. Aku benar-benar tidak tahu, maka aku berjalan tidak tentu arah dengan harapan dapat menemukan kantor pos itu. Tetapi setelah berputar-putar lama dan tanpa petunjuk bakal menemukan kantor pos itu, maka kuberanikan diriku untuk bertanya kepada seorang wanita tua yang sedang berhenti di tepi jalan.
‘Maaf, anak muda, aku sendiri sorang pelancong,’ jawabnya. Aku hampir putus asa ketika tiba-tiba saja dia datang. Dia, si lifeguard yang telah melarangku berenang tempo hari. Sial, mengapa aku harus bertemu lagi dengannya?
‘Ada kesulitan?’ tegurnya ramah sambil tersenyum.
‘Tidak,’ jawabku cepat.
‘Dia ingin tahu letak kantor pos. Bisakah kamu menolongnya?’ wanita tua itu berkata tanpa kuminta. Aku kaget, tak menyangka dia akan berkata seperti itu. Si lifeguard sekarang tahu kalau aku telah membohonginya. Tetapi dia justru tersenyum lebar.
‘Mari kutunjukkan,’ katanya.
‘Engkau tidak harus mengantarku. Cukup kau beritahu dimana,’ cegahku.
‘Aku tidak akan menawarkan diri kalau tidak kebetulan saja harus berjalan ke arah yang sama. Aku harus pergi ke rumah temanku dan melewati kantor pos,’ jawabnya. Sesudah mengucapkan terima kasih kepada wanita tua itu, aku dan si lifeguard berjalan bersama menuju kantor pos. Selama perjalanan itu kami saling berdiam diri.
‘Itu kantor posnya,’ serunya dari seberang kantor pos, setelah kami berjalan bersama hampir selama sepuluh menit.
‘Terima kasih,’ ucapku dan berniat untuk meninggalkannya.
‘Sebentar, kuantar kamu ke sana,” katanya menawarkan diri. Aku tidak bisa menolaknya karena dia telah berjalan di sampingku menyeberangi jalan.
Ternyata bungkusan yang akan kukirim ke Indonesia di tolak karena bungkusnya kurang tebal. Barang itu harus kumasukkan ke dalam karton tebal dan di beri celotape yang kuat. Aku bingung darimana bisa mendapatkan kotak tebal.
‘Kawanku memiliki toko kecil di depan sana, aku yakin dia punya kotak seperti yang kamu butuhkan,’ si lifeguard menyelami kebingunganku. Letak toko temannya satu blok dari kantor pos. Sebuah toko kecil yang menjual barang-barang souvenir khas Florida.
Seorang gadis berambut keriting pirang sedang memeriksa perhiasan dagangannya ketika kami masuk. Dia tak menyadari kehadiran kami dan masih tetap menunduk. Si lifeguard menekan bel. Bunyinya benar-benar nyaring. Si gadis kaget dan menoleh ke arah kami.
‘Mark!!’ teriaknya riang. ‘Angin apa yang telah membawamu kemari?’ tanyanya sambil mengawasi si lifeguard yang ternyata bernama Mark. Tiba-tiba dia tertegun waktu menatapku.
‘Dona, kenalkan temanku, Lucy. Lucy . . . Donna.’ Mark memperkenalkan kami. Sejenak aku terpana. Dari mana dia bisa tahu namaku? Dan dia memperkenalkan aku senbagai temannya? Fuih sejak kapan pula itu? Tetapi aku tidak bisa terlalu lama keheranan karena Donna sudah menyapaku.
‘Hai,’ balasku.
‘Ada sesuatu yang dapat kubantu, Mark?’ tanya Donna.
‘Ya. Lucy membutuhkan sebuah kotak untuk mengirim barang lewat pos. Kamu mempunyainya kan?’
‘Kotak? Kotak macam ini?’ tanya Dona sambil memperlihatkan sebuah kotak berukuran sedang.
‘Ya,’ seruku gembira.
Donna memberikan kotak itu kepadaku dilengkapi pula dengan celotape. Sementara aku sibuk dengan pekerjaanku, Dona dan Mark asyik mengobrol. Aku tidak tahu apa yang mereka percakapkan. Tetapi sebentar-sebentar kudengar derai tawa mereka. Mudah-mudahan saja mereka tidak sedang mendiskusikan diriku.
Setelah selesai membungkus barang-barangku dan mencantumkan alamat, aku berpamitan kepada Donna dan Mark. Namun Mark tidak mengijinkan aku pergi ke kantor pos sendiri, dia takut aku tersesat. Maka kami berjalan beriringan lagi menuju ke kantor pos.
‘Mark, bagaimana kamu bisa tahu kalau namaku Lucy?’ kutanya dia dalam perjalanan. Mark tersenyum misterius sambil menggoyang-goyangkan kotakku yang dibawanya.
‘Orang sepertimu sangat pantas untuk mempunyai nama Lucy.’
‘Enggak lucu.’
‘Tapi benar kan namamu memang Lucy?’ tanyanya. Kudiamkan saja pertanyaan itu karena kami sudah masuk ke kantor pos.
‘Terima kasih atas bantuanmu, Mark,’ ucapku sekeluar dari kantor pos. Kemudian aku berjalan meninggalkannya. Baru saja aku berjalan tiga langkah, dia memanggilku.
‘Kamu mau kemana?’ tanyanya.
‘Pulang ke hotel,’
‘Kalau begitu kita dapat jalan bareng,” katanya sambil menyusulku.
‘Bukankah kamu harus pergi ke rumah temanmu?’ tanyaku heran. Mark tersenyum seakan dia tahu kalau senyumannya sangat menawan.
‘Aku sudah pergi ke sana tadi. Ingat Dona? Nah, dia itu temanku. Kita sudah pergi ke sana tadi,” jawab Mark seenaknya. Kutatap dia penuh kedongkolan. Aku tahu dia tadi sama sekali tidak berniat pergi ke toko Donna. Dia pergi ke sana karena aku butuh kotak.
‘Hei, jangan marah dulu. Kalau tadi kukatakan aku hanya ingin mengantarmu, tentu kamu tidak akan mau, benar kan?’
‘Benar,’ jawabku singkat. Kudengar Mark tertawa ringan. Sebenarnya apa sih maunya pemuda ini?
‘Mengapa kamu begitu ketakutan bila melihatku, Lucy?’ tanya Mark setelah kami terdiam beberapa saat. Aku kaget dan menatapnya lama. Bertemu saja baru dua kali ini bagaimana mungkin dia tahu kalau aku takut terhadapnya.
‘Kamu pantas untuk dicurigai,’ jawabku ngawur.
‘Dicurigai untuk apa?’ tanyanya penasaran.
‘Dicurigai sebagai orang jahat. Kalau kamu orang baik-baik kamu pasti ngaku dari mana bisa tahu namaku,’ serangku.
‘Jadi kamu masih penasaran?’ sahut Mark sambil tertawa. ‘Aku pernah dengar kakakmu memanggilmu Lucy,’ akhirnya Mark mengaku. Walau pengakuannya justru makin membingungkanku.
‘Kakakku? Kakakku yang mana?’
‘Gadis pirang yang sering jalan-jalan bersamamu di pantai.’
‘Oh,Michelle maksudmu? Dia bukan kakakku.’
‘Bukan kakakkmu?’
‘Bukan. Dia penghuni kamar sebelah.’
‘Tapi kalian berdua mirip dan sangat akrab,’ Mark tidak puas.
‘Dari mana kamu tahu kalau kami akrab?’
‘Aku sering melihat kalian berdua di pantai, di kota, di restoran Cina di depan Daytona Fashion Center,’ jawab Mark. Aku begitu terpana karena tempat-tempat yang baru saja disebutkannya memang tempat-tempat yang paling sering kukunjungi bersama Michele.
‘Bagaimana kamu bisa tahu? Aku belum pernah melihatmu disana?’ tanyaku keheranan.
‘Aku bisa tahu karena aku mengawasimu dan kamu tidak melihatku karena memang aku tidak ingin dilihat, jelas?’ tanyanya. Kutatap dia lama sebelum menjawab.
‘Kamu benar-benar pantas untuk dicurigai. Untuk apa kamu pakai mengawasi segala?’
‘Karena aku pengawas pantai,’ jawab Mark seenak perutnya. Aku benar-benar dongkol dan kupercepat langkahku untuk meninggalkannya. Mark juga mempercepat langkahnya hingga bisa mengiringi jalanku.
‘Marah?’ tanya Mark.
‘Ya,’
‘Oh, Lucy, aku tidak bermaksud buruk. Aku sendiri tidak sadar mengapa aku begitu suka memperhatikanmu. Mungkin karena . . .’ Mark tidak meneruskan kalimatnya.
‘Karena apa?’
‘Tidak. Kamu akan lebih marah bila kuteruskan.’
‘Teruskanlah.’
‘Oke, kamu yang meminta. Mungkin karena dorongan hati. Waktu aku melihatmu untuk yang pertama kali, hatiku membisikkan bahwa inilah gadis yang bakal menjadi istriku,’ jawab Mark kalem. Aku kaget setengah mati. Untung aku cepat teringat kata-kata Michelle sebelum keburu besar kepala, ‘Mereka jagoan merayu, Lucy, tanpa kamu sadari kamu sudah masuk ke dalam perangkap mereka.” Maka aku cuma tersenyum saja mendengar kata-kata itu.
‘Kok tersenyum?’ tanya Mark. Aku cuma mengangkat bahu saja. Sesudah itu kami saling berdiam diri.
‘Untuk siapa barang-barangmu tadi? Sahabat pena?’ tanya Mark memecah kebisuan.
‘Untuk adik-adikku.’
‘Adik-adikmu? Mereka berada di Indonesia? Dengan siapa mereka pergi ke sana? Mengapa kamu tidak ikut?’ tanya Mark beruntun.
‘Mereka tidak pergi ke Indonesia. Mereka tinggal di sana sejak mereka dilahirkan. Indonesia rumah kami,” jawabku. Aku senang bisa melihat wajah Mark yang kaget dan tidak percaya.
‘Jadi kamu orang Indonesia?’ tanyanya untuk meyakinkan. Aku mengangguk pasti. Mata Mark makin membelalak karena terkejut.
‘Dengan siapa kamu datang ke Florida?”
‘Sendiri,’ jawabku. Reaksi Mark benar-benar di luar dugaan. Dia begitu kaget hingga menghentikan langkahnya dan menatapku tidak berkedip.
‘Dengar, Lucy, jangan kau katakan kepada siapapun bahwa kamu berada di sini sendirian. Itu sangat berbahaya bagimu apalagi jika mereka tahu kamu orang asing.”
‘Mengapa?’
‘Mengapa? Karena kejahatan di musim panas seperti ini sangat meningkat, pencurian, perampokan, penodongan . . .”
‘Aku tak mempunyai barang-barang berharga,’potongku cepat.
‘Bagaimana dengan dirimu sendiri? Begitu banyak pemerkosaan yang terjadi setiap minggunya,’ sahut Mark. Aku terdiam mendengar kata-katanya. Apalagi kata-kata tersebut di ucapkan dengan serius seakan dia benar-benar ingin melindungiku.
‘Sorry, Lucy, aku tidak bermaksud menakut-nakutimu, hanya berhati-hatilah. Jangan katakan kepada siapapun bahwa kamu kemari tanpa pengawal.’
‘Aku telah mengatakannya kepadamu,’
‘Kamu dapat mempercayaiku. Aku seorang lifeguard, bertugas untuk menjaga keamanan pantai,’ jawab Mark.
‘Dan lagi, Lucy, bila berada di tempat umum jangan canggung dan takut-takut. Bersikaplah seolah-olah ada seorang yang siap untuk membelaimu,’ nasihat Mark dilanjutkan.
‘Apakah aku kelihatan canggung bila di depan umum?’ tanyaku. Mark hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
Mark mengantarku hingga ke depan hotel. Sebelum berpisah dia berpesan.
‘Ingat untuk mengunci pintu setiap akan keluar dan begitu masuk kamar walaupun kamu hanya berniat untuk keluar atau masuk sebentar. Jangan langsung kau bukakan pintu bila ada yang mengetuk, lihat dulu orangnya,’
‘Akan kuingat itu,’jawabku sambil tersenyum. Kalau mendengar nada suaranya dia benar-benar serius menasehati. Tapi kalau mengingat reputasi para lifeguard aku menjadi ragu.
Aku sering melihat Mark berada di pantai, tetapi terlalu jauh untuk menegurnya, apalagi dia selalu dikerubungi gadis-gadis manis. Kadang kulihat pula seakan dia mau tersenyum kepadaku, tapi aku pura-pura tak melihatnya karena di sampingku ada Michelle. Aku takut Michelle akan mengira kalau aku sudah bermain-main denga lifeguard. Tapi hari itu aku tidak bisa lagi untuk pura-pura tidak melihatnya.
Hari itu tanggal 4 Juli. Hari kemerdekaan Amerika Serikat. Sejak hari sebelumnya persiapan-persiapan untuk menyambut hari kemerdekaan itu sudah kentara. Toko-toko kecil sudah menghias diri dengan rumbai-rumbai berwarna biru, merah, serta putih. Warna bendera Amerika.
Jam lima sore aku dan Michelle sudah menunggu di pagar beton di depan kamar kami bersama dengan ratusan orang lainnya yang ingin menyaksikan karnaval. Semua manusia Daytona tumplek menjadi satu di sepanjang jalan pantai.
Jam setengah enam iring-iringan karnaval itu mulai tampak. Begitu riuh, begitu gaduh tapi tidak menyebabkan orang jengkel. Barisan pertama adalah barisan Drum Band dari SMA Daytona dengan pakaian yang gemerlapan. Beberapa majoret menari dengan lincahnya di tengah jalan. Dan mereka melangkah dengan lembut ketika ‘Star Spangled Banner’ berkumandang. Semua orang yang duduk di pinggi jalan berdiri menghormat. Telapak tangan kanan di letakkan di dada.
Drum Band berlalu, disusul dengan sebuah truck berhias dari walikota dan staffnya, diikuti oleh departemen pemadam kebakaran. Kemudian mobil-mobil berhias dari lembaga-lembaga, yayasan-yayasan dan klub-klub lainnya. Barisan itu sangat panjangnya seakan tak akan pernah berakhir. Malam telah turun tapi tak seorangpun ingat akan makan malam yang telah dijadwalkan jamnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan dan jeritan-jeritan histeris yang mayoritas berasal dari para gadis remaja. Ternyata mereka meneriaki sebuah truck yang akan lewat yang berisi rombongan Lifeguard.
Aku menahan nafas melihat mereka. Semuanya gagah dan tampan dalam pakaian kebesaran mereka yang lengkap minus kacamata hitam. Mereka melambai pada gadis-gadis yang mereka lalui dan dibalas dengan teriakan-teriakan histeris. Betapa hebat daya pikat mereka.
‘Lucy, lihatlah bajingan-bajingan itu,’ bisik Michele di telingaku. Aku tertawa mendengar komentarnya sebab ada nada kekaguman di dalamnya. Setelah mereka agak dekat, aku melihat Mark ada di antara mereka. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya kearahku. Aku tidak berani membalas lambaian tangan itu dan pura-pura tak melihatnya. Tapi malangnya rombongan itu berhenti di depan kami agak lama. Aku tidak bisa berpura-pura lagi, kubalas senyumannya.
‘Rupanya si kecil Lucy sudah mulai main-main dengan Lifeguard,’ kata Michelle pelan. Aku kaget setengah mati.
‘Siapa?’tanyaku pura-pura tidak tahu.
‘Kamu.’
‘Aku?’ tanyaku berusaha mengelak. Michelle tertawa senang.
‘Pura-pura, hmm?’
‘Mengapa harus pura-pura? Dia tidak melambai padaku tapi padamu,’ucapku. Tawa Michele makin menjadi tapi dia tidak menambah komentar apa-apa. Rombongan demi rombongan berlalu. Kemudian mobil-mobil pribadi berhias membuntuti di belakangnya. Hiasan mobil-mobil itu lucu-lucu, hingga segan rasanya untuk meninggalkan tempat.
‘Michele! Lucy!’ tiba-tiba terdengar panggilan untuk kami. Dan diantara mobil-mobil berhias itu tampak Les, waiter kami dan Ken, temannya yang juga waiter.
‘Ayo ikut!’ teriak les. Aku ragu tapi Michelle segera meloncat turun dan menarikku untuk mengikutinya. Tanpa kusadari aku telah berada di dalam mobil Les dan mengikuti rombongan karnaval.
‘Mau kemana kita?’ tanyaku sesudah agak sadar.
‘Putar-putar,’ jawab Les enak. Rombongan karnaval itu ternyata berputar-putar mengelilingi setiap jalanan yang ada di Daytona kemudian kembali lagi ke pantai, dan di sana diadakan pesta kembang api dan petasan yang sangat megah. Pesta itu berlangsung hingga pagi hari.
Ombak yang berdebur pagi ini lain dari biasanya. Lebih keras dan lebih gemuruh. Biasanya laut di pagi hari sangat tenang, nyaris tanpa suara. Tapi kali ini mampu membangunkanku dari tidur yang lelap.
Dari jendela kamarku aku dapat melihat air laut yang menggelora. Air laut itu hampir mencapai jalan raya. Sebentar lagi pasti akan sampai ke pagar di depan kamarku. Awan tebal menggelantung berat di atas laut. Burung-burung camar terbang hiruk pikuk kebingungan. Kantukku begitu saja hilang melihat semuanya. Dengan cepat aku keluar kamar. Michelle ternyata sudah bangun. Dia berdiri termangu. Tangannya ditompangkan di pagar beton dan menatap ombak laut.
‘Chelle,’ panggilku. Dia menoleh dan mengisyaratkan agar aku mendekat. Kudekati dia.
‘Ada anak tenggelam,’ bisiknya.
‘Apa?’
‘Ada anak tenggelam. Di sana!’ tunjuk Michelle ke satu arah. Di tempat yang ditunjuk kulihat ada kerumunan orang yang cukup banyak. Semuanya kelihatan panik dan memandang ke tengah laut.
‘Tidak ada yang memberi pertolongan?’ tanyaku.
‘Ada seorang Lifeguard yang masuk kedalam air tapi sampai kini belum muncul lagi.’
‘Hanya seorang?’
‘Yang lainnya masih tidur kukira. Mereka berpesta sampai pagi dan pasti mabuk-mabukkan,’ jawab Michele. Kemudian dia mengajakku untuk mendekati kerumunan tersebut.
Seorang wanita muda meratap, tentu dia ibu dari si anak yang dibawa ombak. Beberapa orang berusaha menghiburnya, yang lainnya berharap cemas, menanti munculnya si lifeguard dan anak yang ingin di tolongnya. Hujan mulai turun dan angin berhembus dengan kencangnya. Tak seorang pun yang berniat untuk beranjak dari situ. Tidak juga Michele dan tidak pula aku. Semua ingin tahu nasib si anak dan nasib si lifeguard.
Tiba-tiba nampak sebuah kepala yang menyembul di tengah-tengah ombak. Beberapa saat kemudian nampak sosok tubuhnya dan lebih kemudian lagi nampak tubuh bocah yang terdekap erat oleh tubuh yang lebih besar.
‘Anakku, . . . anakku,’ jerit si wanita yang tadi menangis sambil berusaha untuk berlari ke laut tapi di cegah oleh orang-orang yang mengelilinginya. Lifeguard yang masuk ke dalam laut tadi berenang mendekati pantai, melawan ombak besar yang berusaha mengembalikan dirinya ke tengah lagi. Tentu sangat sukar baginya untuk mempertahankan diri dengan seorang bocah dalam pelukannya. Begitu tiba di tempat yang dangkal dia menghentikan renangnya.
‘Mark!’ seruku tidak sadar ketika melihat siapa yang muncul. Dia begitu gagah dalam pakaian renangnya tapi tampak sangat kelelahan. Seorang bocah yang tidak bisa di sebut kecil lagi berada dalam dukungannya. Begitu sampai di pantai dia segera berlari menuju pos PPPK tanpa mempedulikan orang-orang yang berkerumun menantinya. Orang-orang tersebut kemudian mengikutinya menuju ke pos PPPK. Sementara itu aku dan Michele dengan pakaian yang sudah basah kuyup berjalan pulang.
Siang harinya cuaca berubah seratus delapan puluh derajat. Langit begitu jernih tanpa secuil awan pun dan laut begitu tenang. Tak ada sisa badai dan pantai kembali dipenuhi oleh manusia. Michelle menggerutu karena harus pergi ke rumah mode sedang hari sangat indah untuk dinikmati.
Walaupun hari sangat indah tetapi aku benar-benar ngantuk, maka siang itu kugunakan untuk tidur. Bangun-bangun sudah jam setengah lima. Kemudian aku berjalan-jalan di sepanjang pantai. Setelah lelah berjalan aku duduk di pasir. Pantai sudah agak sepi sehingga bisa melihat tenangnya laut tanpa terhalang oleh punggung atau paha orang di depanku. Kutekuk lututku dan kudekatkan ke dada, dan menikmati angin sore yang berhembus sejuk.
Keadaan sekelilingku membuatku merenungi hidup. Tiba-tiba segumpal kerinduan terhadap ibu dan adik-adikku memenuhi dada membuatku ingin menjerit dan menangis meraung-raung. Aku tidak menyukai kehidupan yang kutempuh saat ini. Aku benci, benci. Aku merindukan sebuah keluarga normal. Tetapi tidak ada sebuah keluarga pun yang mau menerimaku. Keluarga Oom No? Itu bukan untukku, aku bukan keturunan Oom No. Keluarga Papa? Apalagi, papa terang-terangan telah mengusirku. Sebenarnya aku ini milik siapa? Aku ingin dimiliki dan memiliki. Ingin sekali, Tuhan tahu itu.
Tiba-tiba sepasang kaki berhenti di depanku. Kutegadahkan wajahku. Mark berdiri di sana tampak begitu tinggi.
‘Boleh aku duduk di sini?’ tanyanya. Belum lagi sempat kujawab dia sudah menjatuhkan diri di sampingku.
‘Apa yang kamu lamunkan, Lucy?’ tanya Mark sesudah agak lama dia duduk dan kami belum membuka percakapan.
‘Tidak ada,’ jawabku bohong. ‘Aku sedang menikmati pemandangan di depanku’
‘Dan pikiranmu dimana?’
‘Di sini,’ kataku sambil menunjuk dahi. Mark tertawa ringan. Alangkah senangnya aku mendengar tawa itu. Penampilan Mark kali ini benar-benar berbeda dengan penampilannya pagi tadi. Tadi pagi dia tampak sangat kelelahan, sedang kali ini dia seakan siap untuk berlari mengelilingi dunia. Segar bugar.
‘Bagaimana kabar anak yang kamu tolong pagi tadi?’ tanyaku.
‘Sedikit shock. tapi selebihnya tidak ada masalah,” jawab Mark. “Hei, dari mana kamu tahu tentang anak yang tenggelam?’ lanjut Mark keheranan.
‘Aku melihatmu,’
‘Kamu?’ tanya Mark tidak percaya. ‘Pagi-pagi sudah bangun dan berhujan-hujan?’
‘Setiap hari aku bangun pagi,’ bantahku.
”Tapi tidak untuk hari ini. Semalam kulihat kamu berada di pantai hingga larut,’ ucap Mark mengejutkanku.
‘Kamu melihatku?’
‘Ya. Dengan Michelle dan dua orang pemuda,’ sahut Mark dengan nada aneh yang tidak bisa kumengerti.
‘Aku tidak melihatmu.’
‘Tentu saja tidak, kalian begitu asyik,’ olok Mark sambil tersenyum mengajuk. Aku tertawa dan tidak memberi ulasan atas pendapatnya.
‘Mengapa dia bisa tenggelam, Mark?’ aku kembali ke masalah semula.
‘Ibunya yang cari penyakit. Sudah tahu langit begitu gelap dan ombak sangat besar, masih juga dia mengajak anaknya untuk berenang. Begitu tahu kalau anaknya menghilang baru dia teriak-teriak meminta tolong,’ jawab Mark jengkel.
‘Tentu kamu sedang enak-enak tidur,’ tebakku.
‘Nope. Aku tidak bisa tidur semalam. Aku sedang jalan-jalan ketika kudengar teriakannya,’ sanggah Mark. ‘Kamu tahu mengapa aku tidak bisa tidur? Memikirkanmu, Lucy. Mengapa kamu bisa seakrab itu dengan pemuda-pemuda yang bersamamu semalam sedang denganku kamu selalu menghindar,’ lanjut Mark seenaknya. Aku tahu dia cuma bergurau maka aku tertawa saja mendengarnya.
‘Sekarang aku bersamamu,’ sahutku masih dengan tawa. Mark juga tertawa. Seorang lifeguard lain lewat di depan kami dengan seorang gadis di lengannya. Dia menyapa Mark. Pasti gadis itu baru saja di kenalnya, pikirku.
‘Lucy, . . ‘ panggil Mark. Aku sadar bahwa aku telah mengawasi Life Guard yang baru saja lewat dengan mata tidak berkedip.
‘Ya?’ tanyaku.
‘Mengapa kamu memilih berlibur ke sini bukankah pantai-pantai di Indonesia sangat eksotik?’
‘Mencari sesuatu yang lain,’ bohongku. Mark kelihatannya merenung, aku ragu apakah dia mendengar perkataanku atau tidak.
‘Kalau kamu mencari sesuatu yang lain, mengapa tidak pergi ke Alaska? Di sana kamu akan melihat salju yang aku yakin tak akan kamu jumpai di negerimu.
‘Sebab, . . .’ dan aku tak bisa meneruskan.
‘Apakah Daytona terkenal di Indonesia?’ Mark melepaskanku dari kewajiban untuk menjawab pertanyaannya yang lebih dulu. Aku menggeleng-geleng beberapa kali.
‘Aku belum pernah mendengar nama pantai ini sebelumnya. Aku baru mendengarnya dalam perjalananku ke Jacksonville,’ jawabku. Tanpa kusadari aku telah membongkar rahasiaku sendiri.
‘Jadi kamu berniat ke Jacksonville dan menyimpang kemari?’
‘Tidak juga,’
‘Lalu?’
‘Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti,’ jawabku. Aku tahu Mark merasa aneh mendengar jawabanku
to be continued ….
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Ketiga)
Kuhitung kancing bajuku; pulang, . . . tidak, . . . pulang, . . . tidak, . . . pulang tidak. Tidak pulang! Ya. Seharusnya aku tidak pulang. Pulang berarti permusuhan kembali dengan ibu Oom No dan itu akan membuat Mama berduka.
Lama aku merenung mencari jalan keluar. Aku harus pergi dari tempat ini tetapi aku tidak boleh pulang. Aku harus bisa meyakinkan Mama bahwa aku masih tetap tinggal bersam Papa. Bagaimana caranya? Kupandang pucuk-pucuk pinus untuk mencari jawab. Tidak kudapat. Sebagai gantinya kulihat tupai-tupai yang berloncat-loncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya dan tiba-tiba ide itu datang. Aku harus pergi dari sini tetapi aku akan tetap tinggal di Amerika.
Kucoba untuk menekan sakit hatiku dan memikirkan apa yang harus kulakukan kemudian. Besok pagi aku harus sudah pergi ke kota lain. Kupilih New York sebagai tempat pelarianku.
‘Tidak, itu telalu jauh dan penuh risiko,’ bantahku sendiri. ‘Colombus lebih dekat dan tidak terlampau bising,’ aku memutuskan. Di sana aku akan mencoba mencari pekerjaan dan melupakan bahwa aku pernah mempunyai ayah dan saudara kembar.
Sesudah itu hatiku menjadi lebih tenang. Tak ada masalah! Akan kubuktikan kepada David bahwa aku bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada ‘ayahnya’. Kemudian aku bangkit dari tempatku. Aku harus segera pulang.
‘Denver, pulanglah dulu, aku akan jalan kaki,’ kubisikkan kata-kata itu di dekat telinga Denver. Denver tidak bergeming.
‘Dengar, besok aku sudah tidak ada di sini lagi. Aku ingin berjalan melintasi padang rumput ini untuk terakhir kalinya. Kamu mengerti, bukan? Nah, pulanglah!’ Denver masih tetap tidak bergerak. Telinganya terangkat ke atas seakan mencoba untuk menyelami arti kata-kataku.
‘Pulanglah, Denver,’ kataku mulai tak sabar sambil kutepuk paha Denver. Denver memandang padaku, tetap tak bergerak.
‘Denver, go home!’ jeritku. Denver mengerti kemudian mulai melangkah pelan-pelan. ‘Run!’ teriakku nyaring. Dia menurut dan berlari tapi sejenak kemudian dia berhenti lagi dan menoleh. Kuisyaratkan dengan tangan agar dia tetap berlari. Denver berlari kencang tapi berkali-kali dia menolehkan kepalanya. Mungkin dia heran atas sikapku yang lain dari biasanya. Biasanya aku dan dia selalu pergi dan pulang bersama.
Ketika Denver sudah tidak nampak lagi, aku mulai melangkah pelan-pelan seperti prajurit yang kalah perang. Ya, aku telah kalah. Harapan inilah yang kubawa dari Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kentucky bukan untukku. Tanah dan padang rumput yang kuinjak ini bukan punyaku. Mister Stanton bukan ayahku. Dia ayah David. Tak ada lagi kekagumanku padanya. Kekaguman yang pernah singgah sejenak di hatiku.
Tiba-tiba aku melihat kuda yang datang dari arah yang berlawanan. David? Bukan! Kuda itu bukan kuda yang di tunggangi David tadi. Tetapi kuda itu adalah Blue Berry. Beberapa saat kemudian aku melihat pengendaranya, Irene. Mau apa dia?
‘Lucy, apa yang terjadi denganmu? Aku melihat Denver pulang sendiri,’ tanya Irene sambil menghentikan Blue Berry di sampingku. Alangkah penuh perhatiannya dia, pikirku.
‘Tidak apa-apa, Irene. Aku ingin jalan kaki saja.’
‘Oh, . . .’ Irene bernafas lega, ‘kusangka kamu mendapat kecelakaan. Oscar dan Georgie belum pulang. Terpaksa kuberanikan diri untuk naik kuda.’
‘Terima kasih, Irene,’ bisikku.
‘Untuk apa?’
‘Untuk perhatianmu,’ jawabku sambil berusaha untuk tersenyum. ‘Sekarang kamu boleh pulang. Kau lihat aku tidak apa-apa.’
‘Kamu benar-benar berniat untuk jalan kaki? Terlalu jauh, Lucy.’
‘Tidak apa-apa,’ jawabku. Irene mengangguk kemudian memacu Blue Berry pulang tanpa bertanya-tanya lagi.
Λ
Aku sedang mengepak barang-barangku ketika kudengar suara ban yang berdenyit kencang karena direm dengan mendadak. David telah pulang. Ingin benar aku keluar dan bertanya tentang keadaan Papa – Dari Clemmie aku mengetahui bahwa David terbang ke Colombus untuk menjenguk Papa – tetapi otakku melarang tubuhku untuk bergerak. Kalau memang ada sesuatu yang harus kuketahui tentu dia akan datang memberitahuku.
Sejenak kemudian kudengar langkah-langkah kaki David menaiki anak tangga. Lewat di depan kamarku. Berhenti di sana lama. Aku tegang. David tidak mengetuk pintu, dia kemudian berlalu. Kudengar suara pintu yang terbuka dan di tutup kembali, berarti David sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri. Keadaan Papa tidak mengkhawatirkan, kesimpulanku, dan kuteruskan pekerjaanku lagi.
Semua barang-barangku sudah siap ketika ketukan pintu itu terdengar. Mula-mula lirih kemudian makin keras. Kutenangkan hatiku sebelum membuka pintu. David berdiri di depanku.
‘Boleh aku masuk?’ tanyanya pelan. Kuperlebar pintu yang kubuka tanpa menjawab. David masuk dengan canggung. Dia tampak heran melihat kedua koperku yang terbuka dengan isi yang sudah rapi, namun tidak berkomentar. Kubiarkan dia dalam keheranannya. Sesudah David duduk barulah aku melihat David membawa sebuah tas kecil.
‘Aku baru saja melihat Papa,’ dia membuka percakapan. Aku diam saja tak memberi tanggapan. ‘Papa memberikan ini untukmu,’ lanjut David sambil membuka tas yang di bawanya. Nampak beberapa bundelan uang ratusan dollar. Semuanya masih baru dan berbau bank.
‘Untuk apa?’ tanyaku parau penuh kecurigaan.
‘Untuk hidupmu yang akan datang. Papa memutuskan untuk menafkahimu hingga kamu bisa berdiri sendiri. Uang ini cukup untuk kau gunakan selama lima belas tahun bila kamu bisa sedikit berhemat,’ ucap David lancar. ‘Sesudah itu . . .’
‘Kamu bohong,’ potongku geram.
‘Aku tidak bohong,’ bantah David sambil menahan agar suaranya tidak meninggi. ‘Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Papa mengakui bahwa kedatanganmu telah menggoncangkan jiwa Papa,’ lanjut David begitu kejamnya.
‘Dan Papa menginginkan agar aku segera angkat kaki?’
‘Ya. Besok sore Batista bersaudara akan mengantarmu sampai New York dan dari sana kamu ter . . .’
‘Tidak perlu!’ bantahku sakit hati. ‘Aku sudah siap untuk pergi sendiri tanpa perlu kau usir.’
‘Jangan konyol. Papa menyuruh aku untuk menemanimu hingga New York,’ kata David. Berarti ini bukan main-main. Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini. Aku benar-benar sakit hati. Ayah kandungku tak menginginkan aku. Apa artinya uang? Aku tak membutuhkan uangnya. Dan apa pula arti dari kebahagiaan yang diperlihatkan Papa ketika menyambut kedatanganku? Apakah itu semua hanya sebuah sandiwara? Berpacu di atas pelana dan obrolan-obrolan sesuai makan malam, tidak ada artinyakah itu?
‘Kamu dan ayahmu benar-benar manusia tanpa hati. Binatang!’ desisku. David tak mengubris omonganku. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.
‘Bawalah uangmu. Aku tidak membutuhkannya,’ teriakku.
‘Itu uangmu, Lucy. Kamu berhak untuk menggunakan sesuka hatimu. Mau kau bakar pun boleh,’ toleh David. Kudekati dia dan . . . Plaar! Tanganku melayang di pipinya. David menatap nanar padaku.
‘Lucy, aku kasihan padamu. Ibumu telah kawin lagi dan mau enaknya sendiri dengan menyuruh kamu datang kemari.’
‘Tutup mulutmu!’
‘Ibumu benar-benar licik. Dia tahu Papa akan segera membuat surat wasiat. Dengan hadirnya kamu di sini, ibumu mengira kamu akan mendapat bagian,’ oceh David tak mengacuhkan laranganku.
‘Itu hanya pikiran kotormu.’
‘Tapi Papa segera menyadari. Kamu jangan berharap lagi. Bagianmu hanyalah yang ada di dalam tas itu. Kamu tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan kami.’ tutup David dan bergegas meninggalkanku.
Sesudah David berlalu, aku berdiam tidak begeming. Mematung dan tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menangispun aku tak mampu. Tuduhan yang mereka lontarkan kepada Mama benar-benar tidak manusiawi. Dan ironinya tuduhan itu yang melancarkan anak kandung Mama sendiri.
Kubuka jendela kamarku. Malam benar-benar pekat. Tak ada sebuah bintang pun yang bersinar. Mendung yang menggelantung di langit menggambarkan kesedihanku. Dimana Oscar? Dimana Irene? Mengapa mereka tidak memainkan biolanya? Mengapa tidak kudengar Il Silenzio mereka?
Uang yang di berikan Papa terlampau banyak. Hampir saja semuanya kubakar tapi untung otak warasku masih bekerja. Begitu banyak hal-hal yang dapat kulakukan dengan uang sebanyak itu. Papa telah melicinkan jalanku. Kubongkar kembali koperku. Kupilih pakaian-pakaian santaiku dan kumasukkan ke dalam ransel yang kubeli bersama Irene tempo hari yang sedianya kukirim untuk Adit tapi belum jadi. Tas kecil dari David kuselipkan di antara baju-baju itu setelah terlebih dahulu kuambil beberapa lembar dan kumasukkan kedalam tas tanganku. Rencanaku sudah matang. Stanton boleh membenciku tetapi tidak boleh mengatur jalan hidupku. Aku mempunyai kehidupan sendiri yang harus kujalani sendiri pula.
Semalaman aku tak berhasil memejamkan mata. Terlampau tegang dan kuatir jika rencanaku gagal. Begitu langit di sebelah timur bersemu merah aku segera mandi dan ganti pakaian. Kuperiksa sekali lagi ranselku. Aku harus cepat atau David akan segera terbangun dan menggagalkan rencanaku.
‘Missy, mau kemana?’ tegur Clemmie di lantai bawah ketika melihatku sudah siap.
‘Dimana Georgie?’ bissikku.
‘Di garasi,’ jawab Clemmie ikut berbisik.
‘Aku akan ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku. ‘Aku membutuhkan Georgie untuk mengantarku ke airport,’
‘Kenapa tidak bilang dari kemarin hingga saya bisa menyiapkan sarapan untukmu.’
‘David baru memberitahu tadi malam dan sudah terlalu larut untuk membicarakan denganmu,’ jawabku setengah betul. ‘Clemmie, aku harus segera pergi,’ lanjutku memutuskan pembicaraan. Clemmie nampak agak bingung. Kubiarkan saja dan aku berlari menuju ke garasi. Kujumpai Georgie di sana sedang membersihkan mobil.
‘Georgie, maukah kamu mengantarku ke airport?’ tanyaku.
‘Airport?’
‘Ya. Aku harus terbang ke Colombus,’ jawabku. Georgie tidak bertanya untuk apa aku ke Colombus jadi aku tidak harus membohonginya. Dia tentu mengira aku akan menjenguk Papa.
Λ
Selamat tinggal, Stanton. Selamat tinggal semua dan selamat tinggal padang rumput, bisik hatiku ketika aku dan Georgie sudah berada di tengah-tengah padang rumput dan mulai menjauhi rumah. Untung hari masih terlalu pagi sehingga lalu lintas tidak begitu penuh dan Georgie dapat mengendarai mobilnya dengan bebas. Louisville masih tidur berselimut kabut pagi.
‘Terima kasih, Georgie,’ ucapku sambil meloncat turun dari mobil begitu sampai di airport. Georgie tampak sedikit heran. Dia berniat untuk mengantarku masuk tetapi segera kucegah. Kalau dia sampai masuk dia akan tahu kalau aku telah membohonginya.
‘Sampai di sini saja, Georgie, biarkan aku masuk sendiri.’
‘Tapi . . .’
‘Tidak apa-apa. Lihat aku tidak membawa barang berat jadi aku bisa membawanya sendiri,’ dustaku. Georgie bimbang. Dia pasti curiga sekarang.
‘Dengar, Georgie, kalau aku diantar masuk, rasanya aku akan pergi lama. Aku benci perpisahan,’ sambungku meyakinkan. Georgie tersenyum.
‘Paling tidak ijinkan aku mengantarmu hingga kamu bertemu dengan Batista. Sesudah itu aku akan pergi.’
‘Georgie . . .’
‘Oke, kalau itu maumu,’ sambung Georgie kecewa.
‘Terima kasih, Georgie. Sampai jumpa nanti malam,’ kataku untuk membunuh kecurigaannya. Georgie mengangguk dan menjalankan mobilnya. Begitu dia tak nampak lagi, aku segera masuk ke airport. Untuk pertama kalinya aku merasa terbebas dari tekanan yang menghimpit batinku. Kini aku bebas untuk menjalani kehidupanku. Bebas menentukan apa yang akan kujalani. Tak seorang pun yang akan merintangi jalanku. Tidak ibu Oom No, tidak Papa, tidak pula David. Aku adalah Lusi, bukan Lucinda Stanton lagi.
Begitu masuk ke airport segera kulihat jadwal penerbangan yang tergantung di atas meja informasi. Paling atas adalah flight nomor 304 dari pesawat United yang akan menuju ke Jacksonville, Florida. Kuteliti penerbangan yang ke Colombus, tidak ada! Aku mulai panik. Kalau Georgie sampai di rumah, David akan segera tahu kalau aku telah melarikan diri . Dia tentu akan menyusulku kemari. Aku harus segera keluar dari Louisville.
Penerbangan ke Jacksonville dijadwalkan pada jam 6.45. Kulihat jam yang melilit dipergelangan tanganku. Jam enam seperempat. Segera kuhubungi penjualan tiket. Aku harus keluar dari Louisville secepatnya. Tidak peduli tempat mana yang akan kutuju.
Sambil menunggu waktu yang di tentukan, aku berdiri mematung menatap para petugas airport yang sedang membersihkan dan membenahi ruangan.
‘Lucy!’ tiba-tiba kudengar sebuah panggilan. Panggilan itu begitu lirihnya tapi sanggup untuk membuat tubuhku terlonjak kaget. Secepat kilat aku memutar tubuh. Irene berdiri di depanku.
‘Irene, apa yang kamu lakukan di sini?’ bisikku.
‘Membuntutimu, Lusy,’
‘Membuntutiku? Aku tak mengerti maksudmu . Aku akan terbang ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku mulai tenang.
‘Kamu tidak akan ke Colombus, Lucy, aku melihat kamu membeli ticket untuk ke Jacksonville. Kamu tidak berniat untuk pergi ke Jaksonville, bukan?’ desak Irene. Aku benar-benar mati kutu. Irene telah mengetahui begitu banyak.
Sekarang apa yang akan di lakukannya?
‘Lucy,’ panggil Irene. Kutengadahkan wajahku dan menatap langsung ke matanya. Tidak ada niat jahat di mata itu.
‘Kita masih berteman, ‘kan?’ tanya Irene.
‘Ya,’ gumamku.
‘Kalau begitu dengarkan aku. Kamu tidak harus pergi ke Jacksonville. Aku bisa mencarikan kamu sebuah rumah di sekitar Louisville.’
‘Aku harus keluar dari Louisville, Irene,’
‘Siapa yang mengharuskanmu? Master David?’
‘Irene, bagaimana kamu bisa tahu?’ tanyaku benar-benar kaget.
‘Lucy, semua orang akan tahu dengan seketika. Kamu dan Master david adalah dua saudara kembar yang seharusnya bahagia bila di satukan lagi. Tapi tak pernah sekali pun kulihat kalian berbicara akrab. Dan aku tahu pula bukan kamu yang menyebabkan ketidakakraban itu. Master David terlalu sinis. Jadi sudah sewajarnya jika kamu tidak betah di rumah itu. Tapi kamu tidak harus melarikan diri. Hakmu atas rumah itu sebesar hak Master David. Kamu tidak akan mengalah terhadapnya ‘kan, Lucy,’ Irene menerangkan. Oh, jadi Irene tidak tahu. Dia tidak tahu kalau Papa pun telah mengusirku pula.
‘Irene, kamu keliru.’
‘Tidak, Lucy. Kemarin siang kamu bertengkar dengan Master David di hutan pinus ‘kan? Aku tidak tahu apa yang kalian pertengkarkan tapi aku melihat wajahmu begitu murung ketika aku menyusulmu. Saat itu aku yakin kamu bakal melakukan hal-hal nekat, maka kuputuskan diriku untuk mengawasimu. Jangan biarkan Master David menyakitimu,Lucy. Tetap tinggallah di Louisville,’ pinta Irene. Kugelengkan kepalaku.
‘Tidak bisa, Irene. Tidak bisa.’
‘Mengapa Lucy?’
‘Mereka akan mengirimku kembali ke Indonesia nanti sore,’ jawabku jujur. Dengan Irene rasa-rasanya tak ada yang perlu kurahasiakan lagi.
‘Siapa mereka?’
‘Papa dan David.’
‘Mister Stanton?’ tanya Irene tak percaya, ‘Mengapa?’
‘Aku tidak tahu. Mungkin Papa dendam kepada Mama karena Mama meninggalkan Papa. Menurut keputusan pengadilan, aku adalah tanggung jawab Mama. Aku tidak mau pulang ke Indonesia. Itulah sebabnya aku harus segera pergi dari Louisville.’ Irene terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba kulihat mata Irene berkaca-kaca.
‘Mengapa harus kamu yang mnderita? Mengapa bukan aku padahal aku yang berdosa,’ gumam Irene lirih. Aku tak mengerti makna dari ucapan itu. Tapi aku sudah tidak punya waktu untuk menganalisanya. Panggilan untuk menuju ke
pesawat sudah terdengar.
‘Irene, aku harus pergi,’ bisikku.
‘Lucy, jangan pergi, please?’ pinta Irene.
‘Kamu tahu aku tidak bisa.’
‘Lucy, kamu sama sekali tidak tahu daerah yang akan kau tuju,’ ucap Irene kuatir.
‘Jangan takut, Irene. Aku di lahirkan di Amerika. Ingat?’
‘Kamu yakin ini yang terbaik bagimu?’
‘Ya, Irene.’
‘Kalau begitu aku akan pergi menyertaimu. Aku tidak punya siapa-siapa disini. Aku bisa pergi kemana saja. Aku akan menemanimu.’
‘Apa?!’ teriakku tak percaya.
‘Aku akan pergi denganmu, Kita bisa cari kerja bersama.’
‘Irene, tidak!’ jawabku seketika.
‘Lucy,. . . ‘
‘Tidak, Irene. Aku akan pergi sendiri. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.’
‘Aku tidak akan menyulitkanmu. Aku akan menghidupi diriku sendiri. Tapi biarkan aku menjagamu.’
‘Menjagaku? Tidak! Aku tidak akan mengijinkanmu . Kamu kembalilah ke Stanton dan jangan katakan kemana aku pergi. Mereka akan curiga bila kita lari bersama.’
‘Lucy,…’
‘Tidak, Irene. Sekali lagi tidak!’
‘Lucy biarkan aku menebus dosa?
‘Menebus dosa? Irene, ini tidak ada hubungannya denganmu. Irene, jangan ngelantur. Aku bisa berdiri sendiri. Kamu akan benar-benar menolongku bila kamu mau pulang ke Stanton lagi. Aku akan menghubungimu, Irene. Kuminta kamu menyimpankan surat-surat yang datang dari Indonesia untukku. Mungkin suatu saat aku akan memintamu untuk mengirimkannya kepadaku. Oke?’
‘Kamu berjanji untuk menghubungiku dan memberi kabar?’
‘Ya, Irene, aku berjanji. Nah sekarang aku harus pergi.’
‘Lucy,’ panggil Irene. ‘Boleh aku memelukmu?’ tanyanya. Berdua kami berpelukan lama sekali. Enggan rasanya untuk melepaskan diri dari Irene.
‘Tuhan menyertaimu, Lucy,’ bisik Irene di tengah sedanya. Kupandang dia dari mataku yang mulai mengabur. Irene satu-satunya orang yang paling dekat denganku sesudah Mama. Aku tidak tahu apa yang telah mendekatkan kami berdua. Mengapa dengan David yang saudara kembarku sendiri aku tidak bisa sedekat ini. Mengapa?
to be continued ….
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kedua)
Di luar gelap sekali sehingga sia-sia saja usahaku. Tapi aku tahu dengan pasti dari mana datangnya suara itu, dari pohon oak di depan sana. Siapakah dia? Aku makin penasaran. Makin lama kudengarkan makin yakin aku kalau yang menggesek biola itu tidak hanya seorang. Dua orang telah memainkannya bersama dengan penuh penghayatan. Perasaanku pun ikut terhanyut. Il Silenzio, lagu kematian.
Tiba-tiba mereka menghentikan permainan mereka dan menoleh.
‘Maaf jika aku mengganggu kalian,’ ucapku pelan.
‘Miss Lucinda!’ tegur Irene dan Oscar berbarengan. Tak heran kalau Oscar memainkan Il Silenzio. Lagu itu pasti dipersembahkan untuk orang tua dan adik-adiknya yang telah tiada. Bagaimana dengan Irene? Apakah orang tua Irene juga sudah meninggal?
‘Tidak keberatan jika aku ikut mendengarkan di situ?’ tanyaku.
‘Kemarilah, Miss Lucinda,’ ajak Oscar. Aku mendekat dan duduk di samping Irene.
‘Belum tidur?’ tanya Irene halus
‘Hampir saja aku tertidur ketika mendengar permainan kalian.”
‘Apakah kami telah mengganggu tidurmu?’
‘Oh, sama sekali tidak. Kalian bermain begitu indahnya,” pujiku. “Kenapa kalian tidak main lagi? Anggap saja aku tidak ada di sini,’ lanjutku. Oscar segera mengangkat biolanya yang di susul oleh Irene. Sesaat kemudian mengalunlah Green Sleeves. Indah sekali. Menghias malam yang senyap. Wajah murung Irene tampak semakin murung ketika membawakan lagu itu.
‘Indah sekali,’ bisikku ketika mereka selesai bermain.
‘Anda tahu lagu tadi, Miss Lucinda?” tanya Oscar penuh minat.
‘Aku pernah mendengarnya,’
‘Engkau pasti mengerti musik,” kejar Oscar tidak puas.
‘Aku tidak mengerti, Oscar. Aku penggemar musik. Aku tahu mana musik yang baik dan mana musik yang tidak. Itu saja.”
“Bisa main biola?”
“No…,”
‘Anda pasti bisa. Tidak ada orang yang mau menyempatkan diri untuk datang kemari jika dia tidak bisa main biola,’ debat Oscar.
‘Itu karena permainan kalian bagus sekali hingga mampu mengundangku untuk datang,’
‘Aku tahu Anda bohong, Miss Lucinda. Ambillah biola ini dan mainkanlah sebuah lagu,’ desak Oscar sambil menyodorkan iolanya.
‘Oscar, aku tidak bisa,’
‘Anda bisa, Miss Lucinda. Anda juga pernah bilang kalau Anda tidak berkuda padahal Anda mahir. Mainkanlah sebuah lagu.’
‘Dengar baik-baik, Oscar, aku tidak bisa bermain sebagus kalian,’
‘Nah, benarkan? Anda bisa bermain. Mainkanlah lagu Indonesia, Miss Lucinda. Engkau mau ‘kan?’ pinta Oscar. Matanya benar-benar mengharapkanku. Kuturuti permintaannya dan kumainkan ‘Melati dari Jayagiri’. Aku berusaha untuk tidak membuat kesalahan. Irene dan Oscar pasti akan segera mengetahui jika kesalahan itu kubuat. Telinga mereka pasti sudah benar-benar terlatih.
‘Apa nama lagu itu, Miss Lucinda?’ tanya Oscar begitu aku menurunkan biola kembali.
‘Melati dari Jayagiri. Melati adalah nama sebuah bunga sejenis jasmine dan dalam lagu ini digunakan sebagai lambang untuk seorang gadis. Jayagiri adalah nama sebuah tempat,’ jawabku asal-asalan.
‘Mainkanlah sekali lagi,’ pinta Irene mengejutkan.
‘Kamu sungguh-sungguh memintaku?’ tanyaku tak percaya
‘Ya,” jawab Irene mantap. Kumainkan Melati dari Jayagiri sekali lagi. Aku tidak menyangka Irene bakal ikut bermain bersamaku. Daya tangkapnya luar biasa. Begitu aku selesai, kuminta dia untuk memainkannya sendiri. Dia menuruti tanpa cela.
‘I’ve got it,’ cetus Oscar tiba-tiba.
‘Engkau mau bermain pula, Oscar? Ini biolamu,’
‘Tidak perlu, Miss Lucinda . Aku membawa harmonika. Mengapa tidak kita mainkan sekali lagi bersama?’ usul Oscar. Aku dan Irene menyetujuinya. Maka mengalunlah lagu itu di malam yang sepi di tengah padang rumput, seakan lagu itu tercipta khusus untuk dimainkan di sini. B egitu pas dan sesuai dengan keadaan. Begitu mengena. Tentu pada waktu mencipta lagu ini Bimbo sedang berada di tengah-tengah padang rumput.
‘Apakah banyak komponis di Indonesia?’ tanya Oscar.
‘Ya, banyak juga. Cuma . . . mereka jarang yang bisa muncul ke dunia Internasional. Masalahnya bukan tak mampu tapi tidak ada kesempatan.’
‘Aku percaya’ bisik Irene dengan suaranya yang lembut. ‘Kalau mereka bisa mencipta lagu seindah tadi pasti masih ada lagi karya-karya lain yang indah. Aku berharap dapat ke Indonesia nanti di suatu saat,’ lanjutnya penuh harapan. Aku senang mendengar kata-kata Irene itu.
‘Nanti kita pergi bersama, Miss Irene,’ sela Oscar sambil tertawa. Giginya yang putih masih tetap tampak walau malam begitu pekat. Irene ikut tersenyum
‘Aku takut aku harus menunggumu terlalu lama,’ desah Irene.
‘Tidak,’ potong Oscar cepat. ‘Mulai besok aku akan menabung. Tidak ada lagi majalah sport yang kubeli begitu juga CD.’
‘Bukan itu, Oscar. Tetapi menunggu kamu hingga jadi musikus dan mempunyai cukup uang untuk membiayaiku,’ canda Irene.
‘Membiayaimu?’ tanya Oscar serius.
‘Ya, mengapa tidak? Aku yang mengajarimu main biola. Kamu nanti pasti akan menjadi pemain biola handal. Pasti nanti uangmu berlimpah,’ hibur Irene. Oscar berdecak senang. Oscar boleh mempunyai cita-cita setinggi itu. Dia mempunyai sesuatu yang kuat untuk menunjukkan cita-citanya. Usia muda, bakat, dan satu lagi, dia hidup di Amerika yang membuka banyak kesempatan untuk dirinya. Irene tahu itu, dia tidak hanya sekedar bergurau.
Kami masih bermain lagi, membawakan lagu-lagu ringan sebelum kami saling mengucapkan selamat malam karena kantuk yang tidak dapat di tahan lagi. Maka berlalulah sebuah malam yang indah.
Λ
Pagi itu aku kaget setengah mati ketika menjumpai Papa masih di rumah padahal aku sudah bangun terlambat.
‘Belum pergi, Papa?’
‘Aku sengaja menunggu hingga kamu bangun,’ jawab Papa.
‘Menungguku? Mengapa?’ tanyaku tak habis pikir sebab belum pernah Papa pamitan padaku sebelum pergi.
‘Aku harus pergi untuk beberapa hari, jadi kurasa aku wajib untuk memberitahumu. Semalam aku lupa mengatakannya.’
‘Mengapa Papa tidak membangunkanku?’
‘Tidak perlu tergesa-gesa. Konperensinya baru dibuka sore nanti.’
‘Konperensi?’
‘Ya. Konperensi di Universitas Ohio di Colombus.’
‘Universitas Ohio?’ tanpa kusadari aku telah membeo setiap ucapan Papa dan rupanya Papa menyadarinya.
‘Universitas Ohio memiliki fakultas pertanian yang terbaik di seluruh Amerika dan sering mengadakan konperensi dengan para petani. Karena Papa kebetulan seorang petani dan kebetulan pula Alumni dari sana, maka Papa mendapat undangan.”
‘O, . . . ‘ aku Cuma bisa melongo. Kemudian Papa mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar ratusan dollar yang segera di ulurkannya kepadaku.
‘Belilah sesuatu. Kamu belum pergi ke mana-mana sejak kedatanganmu kemari. Besok pagi Irene akan ke kota, kamu bisa ikut dengannya.’
‘Terimakasih, Papa, tapi aku masih mempunyai sisa uang pemberian Mama,’ tolakku sok aksi.
‘Lucy, kali ini pemberian Papa,” Papa memaksa. Kuterima juga akhirnya uang itu dan kumasukkan ke saku celanaku.
‘Aku sudah membuka rekening bank untukmu. Dua atau tiga hari lagi kamu akan menerima kartu ATM. Sementara itu, kalau engkau kekurangan uang, bisa meminta pada David. Oke, Lucy, Papa pergi dulu,” kata Papa. Meminta pada David? Huu . . . rasanya lebih baik aku mati kelaparan daripada meminta darinya. Kuantar Papa sampai ke mobilnya. Begitu mobil itu menghilang aku segera mencari Denver dan memacunya ke hutan pinus.
Λ
Irene begitu cekatan dalam membeli barang-barang yang di butuhkannya. Dia telah mencatat apa-apa yang akan dibelinya sehingga dia tinggal memberi tanda barang-barang apa saja yang sudah di ambilnya. Untuk berbelanja sebanyak empat kereta belanja dia tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam. Sedang aku . . . mencari sebuah ransel untuk Adit saja telah menghabiskan waktu beberapa jam! Mungkin karena kecekatannya itulah Irene di beri tugas untuk berbelanja ke kota seminggu sekali.
Sebelum ke kasir, irene mengeluarkan bundelan kertas yang ternyata merupakan kupon discount yang di kumpulkannya dari majalah-majalah atau bekas pembungkus yang lama.
‘Cara untuk mendapatkan uang ekstra,” bisik Irene lugu sambil tersenyum. Potongan harga yang di dapat Irene lebih dari sepuluh persen dari jumlah seluruh belanja. Dari uang itu dia membeli sebuah majalah sport dan CD untuk Oscar.
‘Irene, kamu begitu memperhatikan Oscar,’ cetusku tak bertahan dalam perjalanan pulang. Irene memandangku sejenak sebelum menjawab.
‘Saya tidak tahu mengapa, tapi saya menyayanginya.’
‘Yah, kurasa semua orang menyayangi Oscar,” pendapatku. ‘Apakah kamu mempunyai adik, Irene?’ tanyaku kemudian. Lama dia tak menjawab. Hampir saja aku mengira Irene tak mendengar apa yang kutanyakan kepadanya ketika tiba-tiba saja dia menghembuskan nafas panjang. Aku tahu Irene tak suka menceritakan tentang dirinya. Seharusnya aku tak bertanya tadi.
‘Engkau tidak harus menjawab,’ kataku. Aku sama sekali tak mengira hal itu ternyata justru memancing Irene untuk menjawab.
‘Tidak ada yang perlu di sembunyikan, Miss Lucinda. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tidak saudara dan tidak pula orang tua,” kata Irene datar. Astaga, . . sadisnya aku. Mengapa aku selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau tadi aku tak ertanya tentu Irene tidak harus menjawab dan kalau Irene tidak harus menjawab dia tidak akan teringat kisah sedihnya.
‘Irene,’ panggilku lirih, ‘Kamu mempunyai seseorang di dunia ini,. . . aku. Maukah engkau menjadi temanku, Irene?’ Irene menatapku tak percaya.
‘Miss Lucinda?’
‘Panggil aku Lusi. Kita sekarang adalah teman,’
‘Miss … ‘
‘Lusi,’ potongku cepat.
‘Oke, Lusi.’ Irene tergagap tetapi sebuah senyum manis tersinggung di bibirnya yang tipis. Ya Tuhan aku sangat kenal dengan senyum itu. Tetapi senyum siapa? Irene jarang tersenyum. Lalu senyum siapa yang persis dengan senyum itu?
Λ
Aku sedang membenamkan diri dalam lamunan di tepi telaga ketika kudengar kaki kuda berderap mendekatiku. Kulirik Denver. Dia masih berada di tempatnya semula. Lalu siapa? Georgie dan Oscar sejak tadi pagi sudah pergi ke ladang apel. Derap kaki kuda itu makin mendekat. Kusibakkan daun pinus yang ada dibelakangku dan mengintip. David?!! Mau apa dia kemari? Ingin benar aku melarikan diri tapi sudah tak mungkin lagi karena David sudah terlalu dekat. Dia akan segera melihatku. Kuurungkan niatku dan duduk lagi dengan cemas. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.
David dan kudanya muncul di dekat Denver. Dia tidak kaget ketika melihatku, berarti dia sudah tahu aku berada di sini. Tapi mengapa dia masih datang juga? Apa yang ingin dia lakukan? David meloncat turun dari kudanya dan berjalan ke arahku. Dia menatapku tajam. Kutantang matanya. Aku tidak mau menunjukkan rasa takutku, dia akan menertawakannya. Akibatnya kami saling memberingaskan mata berusaha menundukkan satu sama lainnya.
‘Aku membawa kabar buruk buatmu.’ David memulai tanpa emosi. Bayangan Mama melintas dalam pikiranku. Ada apa dengan Mama?
‘Ada apa?’ tanyaku lemah. Tidak lagi kuingat untuk menentang matanya. Aku tidak ingin apa-apa lagi.
‘Papa terkena serangan jantung sewaktu konperensi,’
‘Papa?’ tanyaku sumbang. Jadi bukan Mama.
‘Ya.’
‘Papa terkena serangan jantung?’ ulangku. ‘Apakah Papa sering mendapat serangan jantung seperti itu?’
‘Ya dan tidak,’ jawab David. “Ya, Papa mendapat serangan jantung tapi Papa belum pernah mendapat serangan jantung hingga kamu datang kemari.’
‘Apa maksudmu?’
‘Untuk apa sebenarnya engkau datang kemari?’ tanya David tak menjawab pertanyaanku.
‘Untuk apa kamu datang kemari, Lucinda?’ tanya David lagi ketika aku tidak menjawab pertanyaannya.
‘Apa hubungan antara kedatanganku dengan penyakit Papa?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ sahut David congkak.
‘Aku takkan menjawab sebelum engkau menjawab pertanyaanku.’
‘Aku yang bertanya lebih dahulu,’ bantah David keras.
‘Aku tidak harus menjawab pertanyaanmu,’ aku tidak mau kalah. Hutan yang tadi sepi kini mulai gaduh. Burung-burung mulai berterbangan dengan hingarnya, terganggu oleh pertengkaran kami.
‘Oke, dengar baik-baik, Miss Lucinda. Dokter Papa baru saja menelponku, bahwa Papa sudah dalam perawatan. Dan dokter tadi juga menanyakan apakah ada peristiwa mengejutkan yang terjadi dalam hidup Papa. Tak ada! Kecuali kedatanganmu kemari.’
‘Itu bukan alasan yang sesungguhnya. Engkau hanya menduga,’
‘Lalu apa?’ tantang David. ‘Bisakah kamu menamakan peristiwa yang telah mengejutkan Papa selain kedatanganmu?
‘Aku tidak tahu. Tapi aku yakin bukan aku penyebabnya.”
“Bukan kau? Lalu siapa? Aku?” David tertawa sinis.
‘Hentikan tuduhanmu yang tidak relevan itu,’ jeritku panas.
‘Memang tidak relevan, tapi masuk akal,’ bantah David geram. “Enam belas tahun yang lalu ibumu juga telah berlaku kejam terhadap Papa, meninggalkannya tanpa pesan. Dan sekarang kamu mau mengusik kehidupan Papa yang sudah tentram. Apa maumu, Lucinda?’
David mengalamatkan Mama dengan ‘ibumu’ bukan ibu kita atau Mama. Hal itu benar-benar menyakitkan hatiku.
‘Mama punya alasan kuat untuk meninggalkan Papa,’ belaku.
‘Alasan kuat? Bah!! Ibumu telah tergila-gila dengan pria hingga dia tega meninggalkan keluarganya. Apakah itu alasan kuat?’ kecam David. Aku seperti kena tampar mendengar kata-katanya yang kejam. Dia mengomentari wanita yang telah melahirkannya dengan kata-kata serendah itu. Kemarahanku mencapai puncaknya. Mama telah di hina, aku harus membelanya.
‘Tarik kembali kata-katamu yang kurang ajar itu!’ hardikku
‘Aku hanya mengatakan sebuah fakta tentang ibumu,’ ucap David begitu tenangnya.
‘Dia ibumu juga dan dia tidak serendah itu.’
‘Dia ibumu, bukan ibuku. Dia talah memailih untuk menjadi ibumu dan Papa telah memilih untuk menjadi ayahku. Aku tidak pernah mempunyai seorang ibu,’ sahut David. Tuhan apa jadinya jika Mama mendengar apa yang baru saja di ucapkan David?
‘Sekarang kamu harus menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ Tanya David lagi. Aku tidak menjawabnya. Tidak ada gunanya bercakap-cakap dengan manusia setan seperti dia.
‘Berarti dugaan Deidre benar,’ gumam David.
‘Apa dugaannya?’ tanyaku benar-benar ingin tahu.
‘Engkau datang untuk mencari warisan,’ jawab David seenaknya. Oh, dia mengira aku serendah itu? ‘Tapi harap kau ingat, Lucy. Engkau tak bakal menerima sesen pun dari Papa,’ lanjut David.
Kemarahanku sudah tak terkendalikan lagi. Bukan karena mendengar aku tak bakal menerima warisan, tetapi karena David mempercayai omongan wanita murahan macam Deidre.
‘Aku tidak datang untuk itu. Aku tak butuh uang ayahmu,’ teriakku. Aku pun ikut-ikutan dengan memanggil Papa sebagai ‘ayahmu’.
‘Oh ya? Lalu untuk apa?’ tanya David tak percaya.
‘Untuk menemui Ayahku.’
“Dia bukan ayahmu lagi.”
‘Hubungan Ayah dan anak tidak bisa hilang begitu saja sebagaimana hubungan ibu dan anak,” sanggahku. David tertawa sinis. Alangkah bencinya aku mendengar tawanya.
‘Kamu salah. Lucinda. Hubunganmu dengan Papa sudah putus sejak pengadilan memutuskan perceraian ibumu dengan ayahku dan kamu menjadi tanggung jawab ibumu. Kalau kamu masih menerima kiriman uang dari Papa itu karena Papa bermurah hati kepadamu dan kamu harus berterimakasih untuk itu.’
‘Sudah kewajibannya untuk membesarkanku..’
‘Benarkah itu? Apakah engkau belum besar sekarang? Berapa umurmu? Sembilan belas tahun. Padahal batas usia besar itu delapan belas tahun. Papa tidak mempunyai kewajiban lagi terhadapmu. Fair is fair, Miss Lucinda,’ kata David sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak bisa menjawab. Ingin benar aku menangis tapi sekuat tenaga kutahan. David akan lebih girang lagi bila dapat melihat aku menangis.
‘Maaf aku telah menghancurkan harapanmu,’ kata David sinis. Kemudian dia berjalan menjauhiku.
‘Aku benci kamu! Benci sekali!’ teriakku. David menoleh.
‘Sama-sama, Miss Lucinda. Aku juga membencimu. Benci sekali,’ ucapnya angkuh. Inilah dia … dua saudara kembar yang telah disatukan tetapi apa yang diucapkan adalah kata-kata penuh kebencian.
Setelah David berlalu barulah aku teringat kembali kepada Papa. Mengapa kami harus bertengkar sementara Papa sedang menderita? Apakah benar aku telah mengejutkan Papa? Tetapi mungkinkah itu? Bagaimanapun juga aku adalah anak Papa dan Mama toh sudah meminta persetujuan Papa apakah aku boleh tinggal bersamanya atau tidak.
Kembali aku teringat penghinaan David tadi. Dia begitu keras kepala dan angkuh. Apakah dengan kata-katanya tadi dia telah mengusirku secara tak langsung? Apakah aku harus pulang kepada Mama? Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi. Bukannya aku tidak mau bertemu dengan Mama. Tetapi jika aku pulang, Mama akan segera tahu apa yng sesungguhnya terjadi. Mama akan tahu aku tidak diinginkan di sini. Mama akan tahu anak sulungnya tidak menganggap Mama sebagai ibunya lagi. Tetapi jika aku tidak pulang, tidak malukah aku? Haruskah aku menebalkan muka dengan tetap tinggal di sini dan membiarkan David melakukan penghinaan seenak perutnya? Aku benar-benar bingung.
to be continued …