Blog Archives

“Bu Kar dan Bung Aznen Yang Terhormat …”

Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

 

Belum pernah aku merasa begitu khawatir akan umurku seperti sekarang ini.  Setiap hari matahari datang dan pergi tanpa meninggalkan pengaruh bagiku. Tahun demi tahun berlalu tanpa sekalipun aku merasa terancam.  Setiap tanggal 9 April dengan gembira kurayakan pertambahan umurku.  Aku selalu merasa muda.  Juga ketika umurku berubah dari 29 menjadi 30 pada tanggal 9 April lalu. Mungkin sampai saat ini aku masih merasa belum perlu khawatir kalau saja Riris, teman kantorku tidak merencanakan perkawinannya.

Ketika Riris mengatakan kalau dia dan Joko akan menikah, aku menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.  Mereka sudah enam tahun berpacaran.  Tetapi beberapa jam kemudian aku menyadari ada sesuatu yang tidak beres.  Bukan pada Riris atau Joko, tetapi pada diriku sendiri.

Aku sadar bahwa semua temanku sudah pada kawin, sudah mempunyai keluarga sendiri.  Bahkan sudah sejak bertahun-tahun yang lalu.  Nita teman SMU-ku anaknya sudah tiga.  Yani, karibku waktu mahasiswa, anak sulungnya sudah masuk SD.

Semakin aku menoleh ke belakang, semakin nyata kalau semua orang yang dekat denganku sudah kawin.  Tinggal aku sendiri yang belum.  Mending kalau aku sudah merencanakannya seperti Riris.  Tapi masalahnya, pacar pun aku tidak punya.  Nah, memang benar ‘kan kalau ada sesuatu yang tidak beres pada diriku? Tapi apa?

Aku memang tidak secantik Bunga Citra Lestari. Tapi aku tidak jelek. Orang bilang mataku indah dan hidungku bagus.  Tinggiku sedang dan tubuhku proporsional.  Dengan IQ 138, aku tergolong cerdas.  Aku supel dalam pergaulan sehingga aku bisa diangkat sebagai Manajer Pemasaran pada sebuah perusahaan multinasional.  Teman wanitaku banyak.  Teman priaku tidak kalah banyak.  Hanya sayang tidak seorang pun dari mereka yang merasa cukup dekat denganku untuk melamarku menjadi istri.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, pikiran itu begitu menggangguku.  Aku yakin ada yang salah dengan diriku.  Tapi apa aku tidak tahu.  Aku membutuhkan bantuan seorang psikolog.  Barangkali.. Ya, barangkali, Ira, psikolog di Departemen personalia bisa membantuku untuk menemukan jawabannya.

Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

Aku tengah memasukkan data ke dalam komputerku, ketika telepon di meja kerjaku berteriak-teriak minta diangkat. Meja kerjaku dengan meja kumputer sengaja aku pisahkan agar tidak setiap saat mataku menatap layar. Kudiamkan saja dengan harapan akan berhenti dengan sendirinya.  Ternyata tidak. Krang kring itu masih juga berlanjut hingga semua ujung syarafku berdiri tegang.  Terpaksa kutinggalkan komputerku untuk meladeni penelpon yang bawel itu.

‘Selamat siang, Lely di sini.’ Sedongkol-dongkolnya hatiku, ternyata aku masih bisa ramah juga.

‘Buset, Lel, kok lama banget baru diangkat?’ terdengar gerutuan dari seberang.  Hanya dua orang di kantor ini yang berani membusetkan aku. General Managerku dan Riris. Dan yang ini jelas suara Riris.

‘Kamu sendiri juga tidak tahu etika,’ sahtku ringan. ‘Kalau lama tidak diangkat letakkan lagi dong.  Barangkali saja aku sedang ke toilet.’

Riris tertawa gelak, ‘Aku tahu dengan pasti kalau kamu ada di kamarmu, Lel.  Sebelum aku menelpon kusuruh Lusi untuk mengintip ke kamarmu,’ jawab Riris setelah tawanya reda.

‘Ada keperluan apa sih pakai nyuruh orang ngintip segala?’

‘Ini sudah hampir jam dua, Lel.  Tidak lapar?’ jawab Riris.  Tentu saja dia benar. Kalau kami berdua sedang berada di kantor, kami selalu makan siang bersama di kantin.

‘Sorry, Ris,’ aku mengaku salah. “Sebentar lagi ya? Aku lagi nanggung nih. Sepuluh menit lagi aku ke kamarmu,’ janjiku.

‘Oke, kutunggu kamu sepuluh menit lagi.  Jangan lebih. Bisa pingsan aku,’ pesan Riris sebelum menmutuskan hubungan.

Cepat-cepat aku kembali ke komputerku. Beberapa data yang tersisa segera kuinput, untuk mendapatkan analisa kotor.  Tepat sepuluh menit kemudian aku sudah berdiri di depan kamar kerja Riris. Dari luar aku bisa mendengar tawa Riris yang nyaring.  Bukan tawa orang yang hampir pingsan karena kelaparan.

Masuk ke dalam, aku melihat Riris dan Lusi, sekretarisnya, sedang menghadapi sebuah edisi majalah Femina.

‘Ini kantor atau perpustakaan?’ tanyaku dengan suara yang kubuat seserius mungkin. ‘Perempuan tertawa ngakak. Terdengar si Elang bisa-bisa kalian kena PHK,’ sambungku sambil menyebut nama General Manager kami.

‘Dengar ini, Lel,’ kata Riris tidak menanggapi omonganku.  ‘Seorang ibu mengirim surat ke Bu Kar.  Dia bilang anak perempuannya yang selama ini merupakan kambing hitam di keluarga, setelah kawin dan punya rumah sendiri jarang mengunjungi ibunya. Padahal si ibu yang menjodohkan mereka dulu.  Si anak merasa lebih bebas dan lebih bahagia daripada dulu.  Kini si ibu merasa kecewa karena telah menjodohkan anaknya,’ lanjut Riris. Setelah terdiam beberapa detik dia menambahkan.  “Lusi, bilang jangan-jangan yang mengirim surat itu ibu Lusi,’ Riris tertawa. Lusi nyengir lucu.

Aku terpana. Sebuah kesadaran menghantam tepat di otak kecilku.  Ibu itu mempunyai masalah yang mengganggunya sehingga dia menulis surat kepada Bu Kar. Aku juga sedang mempunyai masalah. Masalah itu juga menggangguku. Mengapa tidak kubawa masalahku ke Bu Kar dan Bung Aznen?  Menghadapi Ira yang psikolog dan teman kerjaku sendiri, agak sungkan dan mungkin akan menyiksaku.

 Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

Ternyata menulis surat buat Bu Kar lebih sulit daripada menulis cerpen atau membuat laporan tahunan bagi para pemegang saham.  Berhari-hari lamanya hanya satu kalimat yang berhasil kutulis. “Bu Kar dan Bung Aznen yang terhormat”. Tidak lebih.

Pernah aku menambahkan seperti ini.

Bu Kar dan Bung Aznen yang terhormat,

Saya seorang gadis Jawa, 30 tahun, manajer pemasaran pada sebuah perusahaan asing, tinggi 161, berat 48, kulit kuning, mata indah, hidung bagus. Berpenampilan menarik. Mendambakan…

Tetapi segera kusobek.  Surat seperti ini lebih cocok untuk Kontak jodohnya Kompas daripada rubrik Dari Hati ke Hati.

Pernah pula aku menulisnya dengan lebih hati-hati. Lebih serius dan lebih terinci. Tetapi setelah selesai dan kubaca ulang, aku sadar kalau orang yang kugambarkan di surat itu adalah tokoh fiktif, bukan diriku sendiri.  Kuulangi lagi dari awal, tetapi hasilnya masih belum diriku.  Begitu terus.  Akhirnya Cuma kembali ke Bu Kar dan Bung Aznen yang terhormat.

Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

Sejak aku berniat menulis surat buat Bu Kar dan Bung Aznen, aku selalu meninggalkan kantor sesudah jam tujuh malam.  Sesudah jam lima sore, saat jam kerja usai, aku akan segera mengambil flashdisk-ku dan mulai menyusun surat keluhanku.

Sesudah hari kesepuluh dan hampir setengah boks kertas masuk ke keranjang sampah, baru suratku yang berisi curahan hati yang kurasa tidak cengeng berhasil kutulis.  Karena waktu itu sudah agak larut, sehabis kucetak segera saja kumatikan komputerku. Tanpa sempat mengambil suratku dari printer, bergegas kukunci kamar kerjaku dan kutinggalkan kantor. Pikirku toh tidak ada seorang pun yang berani mengotak-atik kamarku.

Ternyata aku salah perhitungan.  Esok paginya, sesampai di kantor, kulihat kamar kerjaku terbuka.  Dan hampir saja aku pingsan ketika melihat suratku buat Bu Kar dan Bung Aznen sudah terletak dengan rapi di atas meja kerjaku dan di sampingnya ada lagi sebuah surat yang lain.  Surat balasan!!  Dengan kemarahan setinggi Empire Building, kubaca surat tersebut.  Begini bunyinya.

Anakku Lely,

Bu Kar dan Bung Aznen sudah mempelajari masalahmu dengan matang. Jawabannya cukup mudah. Hentikan memikirkan dirimu sendiri. Buka matamu lebar-lebar. Ada seseorang  yang ingin menjadikanmu sebagai istrinya. Dia begitu dekat. Tetapi karena kamu terlalu memikirkan dirimu sendiri dengan persyaratan-persyaratan yang tidak masuk akal, maka kamu tidak bisa melihatnya dengan jelas.  Buka mata hatimu, kamu akan mengetahui siapa dia.

Salam,

Bu Kar dan Bung Aznen.

‘Mbak Harti!’ teriakku lantang begitu surat tersebut selesai kubaca.  Mbak Harti, sekretarisku datang dengan tergesa-gesa.  Belum lagi dia berhenti, sudah kuberondong dia dengan pertanyaan.

‘Mbak Harti, siapa tadi yang membuka kamar saya? Siapa saja yang masuk ke sini dan menggunakan komputer saya? Siapa …’ aku berhenti ketika melihat mbak Harti memandangku bingung.

‘Waktu saya datang pintu kamar Mbak sudah sudah terbuka, saya pikir mbak datang lebih dulu.  Dan dari tadi saya tidak meihat ada orang yang  masuk ke kamar mbak.  Kenapa, Mbak?  Ada data yang hilang?’ tanya mbak Harti khawatir.  Kugelengkan kepalaku sambil mencoba mengingat-ingat apakah aku kemarin lupa mengunci pintu. Tetapi rasanya mustahil. Lalu siapa yang membuka kamarku? Siapa yang telah membaca suratku buat Bu Kar dan Bung Aznen dan menulis surat balasan yang kurang ajar itu?

Hanya aku, mbak Harti dan Karlan, Office Buy kami yang punya kunci pintu kamarku.  Dan aku yakin mbak Harti dan Karlan tidak akan berani berbuat sekurangajar itu kepadaku. Jangan-jangan sewaktu membersihkan kamar kerjaku tadi pagi, Karlan lupa menguncinya kembali dan orang lain masuk ke kamarku.  Tapi siapa?

‘Mbak Harti, tolong dong panggil Karlan,’ ucapku pelan.

Begitu aku selesai meminta tolong keoada mbak Harti, teleponku berdering. Erlangga, General Manageku. Dia meminta aku segera menemui dia di kantornya.  Kalau dia bilang segera, itu berarti benar-benar segera.  Dia tidak mau menunggu.  Terpaksa urusan pribadiku kutunda.

‘Mbak Harti, saya ke kantor GM dulu. Kalau Karlan datang, suruh dia menunggu sebentar,’ pesanku sambil berlari.

Erlangga Waskita atau si Elang sedang berbicara di telepon ketika aku tiba di depan pintu kamarnya yang terbuka.  Dia memberiku tanda untuk masuk dan duduk di depannya.  Sementara dia meneruskan pembicaraan teleponnya, aku duduk di depannya dan merasa beruntung mempunyai kesempatan untuk mengamati dirinya dari dekat.

Garis-garis wajahnya adalah garis-garis wajah tipikal orang yang mempunyai kemauan keras, galak, angkuh dan agak dingin. Persis dengan seekor elang. Untung matanya yang kelam selalu bersinar hangat,  Dan kalau dia mau tersenyum kerut-kerut di sekeliling bibir dan matanya akan bertambah dalam dan kesan angkuh dan dinginnya sama sekali tidak tampak.  Pada umurnya yang hampir empat puluh, Erlangga nampak masih belia. Aku tidak bisa melihat sehelai rambut kelabu pun di rambutnya yang hitam

‘Oke, Lel, bagaimana menurut pendapatmu?’ tanya Erlangga memecah konsentrasiku. Aku tidak tahu sejak kapan dia menghentikan pembicaraan telponnya.

‘Tentang apa?’ tanyaku gelagapan.

‘Tentang aku. Apakah menurutmu aku tergolong ganteng?’ sahutnya ringan.  Jadi rupanya di sadar juga kalau aku tengah menilai dirinya.  Untuk menutupi rasa maluku aku tertawa.

‘Ya lumayanlah,’ selorohku.

‘Hanya lumayan Hmm..?’ gumam Erlangga dengan senyum di sudut bibirnya. Tapi hanya sedetik. Sedetik kemudian dia sudah kembali angker dan serius.

Dengan singkat dia memberitahu aku bahwa beberapa direksi dari Kantor Pusat dan para manajer pemasaran dari negara-negara Asia Pasifik hari ini tiba di Indonesia dan langsung menuju ke pabrik kami di Surabaya.  Erlangga menginginkan agar aku pergi bersamanya ke Surabaya hari ini.

‘Kenapa mendadak?’ tanyaku heran. Baru kali ini orang-orang kantor pusat dan orang-orang penting dari Asia Pasifik datang tanpa gembar-gembor terlebih dahulu.

‘Strategi pemasaran kita untuk bulan depan bocor. Saingan kita, Wheelco, mulai menggunakan strategi yang sama dua hari yang lalu.  Kita harus merombak total strategi kita.  Ada kemungkinan proposalmu yang tadinya ditolak akan dipakai, asal kamu bisa meyakinkan mereka,’ kata Erlangga.  Matanya yang kelam bersinar.  Walau sekejap, aku sempat menangkap ada kekaguman dan harapan dalam mata kelam itu.

‘Lalu kapan kita akan berangkat ke Surabaya?’ tanyaku. Adanya kemungkinan bagiku untuk mempertahankan proposal benar-benar membuatku bersemangat.

‘Secepat kamu bisa mempersiapkan bahan presentasi dan perlengkapanmu,’ ucapnya. ‘Kita mungkin harus tinggal di Surabaya untuk dua atau tiga hari,’

‘Oke beri saya waktu dua jam. Saya harus mempersiapkan data terkini dan minta sopir ibu saya untuk mengantar koper dari rumah,’ janjiku.

Kembali ke kamar kerjaku, mbak Harti melaorkan bahwa Karlan hari ini tidak masuk. Laporan yang seharusnya membuatku semakin bingung lagi.  Tapi karena ada hal yang lebih penting di kepalaku, aku tidak begitu menanggapinya. Dalam saat-saat seperti ini, aku beranggapan bahwa karierku jauh lebih penting daripada kehidupan asmaraku. Aku tidak peduli kalau aku satu-satunya wanita yang belum kawin.  Aku tidak peduli ada orang Aung usil dan mengetahui bahwa sesungguhnya aku kesepian. Sebagai gantinya aku meminta tolong mbak Harti untuk membantuku mempersiapkan bahan presentasi yang harus aku bawa ke Surabaya.

 Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

Aku dan Erlangga tiba di Bandara Soetta agak awal.  Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum penumpang dipersilakan naik ke pesawat. Kesempatan yang ada kugunakan untuk membuka-buka kembali proposal strategi pemasaranku. Aku tidak ingin kedodoran dalam rapat nanti.

Erlangga duduk di sampingku di ruang tunggu eksekutif.  Kakinya yang panjang dia selonjorkan ke depan dan bahunya bersandar dengan santai.  Matanya mengawasi dengan penuh perhatian ke orang-orang yang ada di ruang tunggu tersebut. Jarang aku melihat dia dalam keadaan santai seperti itu.  Biasanya dia selalu serius.  Tak peduli dimana pun dia berada, dia tidak bisa duduk dengan diam.

Beberapa menit berlalu.  Erlangga berdiri. Menggerak-gerakkan badannya sebentar kemudian melangkah meninggalkanku.  Aku tidak tahu berapa lama dia pergi, tahu-tahu dia sudah kembali dengan membawa dua teh botol di tangannya.  Yang satu dia ulurkan ke arahku.

‘Terima kasih,’ ucapku sambil memindahkan perhatianku dari dokumen yang ada di pangkuanku.

‘Kamu benar-benar ingin proposalmu yang dipakai ya?’ komentarnya.  Aku mengangguk dengan pasti.  Dengan Erlangga aku tidak harus malu untuk menunjukkan ambisiku. Ambisi, kata yang kadang dianggap berkonotasi negatif.  Tapi bukan oleh Erlangga. Dia tahu dengan pasti aku sudah mencurahkan semua pengetahuan dan keringatku untuk menyusun proposal strategi pemasaran itu.

Sekali lagi Erlangga tersenyum misterius dan kembali duduk di sampingku. Sesudah berdiam diri beberapa saat, Erlangga mendehem.  Kututup lagi proposalku dan memandang dia.

‘Lel, boleh aku menanyakan sesuatu?’ ucapnya ragu.

‘Silakan,’

‘Siapa sih Bu Kar dan Bung Aznen itu?’ tanyanya. Dia mengeluarkan pertanyaan itu dengan pelan.  Tapi efeknya pada diriku benar-benar hebat.  Aku membelalak tidak percaya.  Jantungku seakan terbang meninggalkan dadaku.

‘Jadi kamu yang membaca suratku!’ tuduhku dengan kemarahan penuh.  Aku tidak tahu bagaimana warna wajahku saat itu.  Hanya aku yakin semua darahku naik ke kepala.

‘Tidak dengan sengaja,’ ucap Erlangga seenaknya.

‘Tidak dengan sengaja?’ jeritku.

‘Ayo dong, Lel, jangan teriak-teriak,’ bujuk Erlangga.  ‘Surat itu tidak berada di dalam amplop, jadi kukira boleh dibaca oleh semua orang,’ dalihnya.

‘Tapi surat itu ada di dalam kamarku. Dan semua yang ada di dalam kamarku adalah rahasia.  Lagi pula untuk apa kamu blusukan ke kamarku?’

‘Dengar baik-baik,’ kata Erlangga dengan nada perintah seorang boss kepada bawahannya. ‘Tadi malam aku menerima telepon dari New York tentang rapat darurat ini.  Aku membutuhkan proposalmu.  Kutelpon HP-mu tidak aktif.  Kutelpon ke rumahmu kamu belum pulang.  Aku langsung balik ke kantor. Aku pinjam kunci dari Karlan, masuk ke kamarmu dan mulai menggunakan komputermu.  Ketika aku mau mencetak proposalmu, aku melihat suratmu itu masih ada di printer.  Maaf, seharusnya aku memang tidak membacanya.’  Kalimat terakhir dia ucapkan dengan tulus.

‘Aku juga teledor,‘ gumamku.  Setengah untuk diriku sendiri dan setengahnya untuk Erlangga. ‘Tapi kamu tidak perlu membuat komentar konyol dan menyakitkan seperti itu,’ lanjutku buru-buru.

‘Aku hanya berusaha untuk membantumu,’

‘Oh, ya?’ dengusku tidak percaya.

‘Selama ini aku mengenalmu sebagai orang yang tidak membutuhkan orang lain,’ Erlangga meneruskan tanpa mengindahkan komentarku.  ‘Kamu tahu apa yang kamu inginkan dan kamu tahu bagaimana cara mendapatkannya.  Bukan kebiasaanmu untuk meminta bantuan orang lain bila menemui kesulitan. Jadi kalau kamu sampai menulis surat seperti itu, aku menyimpulkan kalau kamu benar-benar membutuhkan bantuan. Nah, aku berniat untuk membantumu.’

‘Dengan merasa iba dan membuat lelucon seperti itu?’

‘Demi Tuhan, Lel, itu bukan lelucon,’ potong Erlangga tajam.  ‘Dan tentang iba .. Aku sama sekali tidak kasihan kepadamu. Kalau ada yang harus aku kasihani, itu bukan dirimu.  Melainkan pria-pria di sekelilingmu yang selalu merasa yakin kamu tahu apa yang mereka inginkan. Yang merasa tahu kamu menyadari perasaan mereka.  Aduh, Lel, sebegitu tololnyakah kamu sehingga kamu tidak tahu kalau cinta itu tidak harus diomongkan, tapi cukup ditunjukkan dengan tingkah laku nyata?’  Sebenarnya Erlangga masih ingin meneruskan pidatonya, untung panggilan untuk menaiki pesawat keburu terdengar.  Cepat-cepat kukemasi kertas-kertasku dan kumasukkan ke dalam tas jinjingku.

Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

Selama penerbangan ke Surabaya aku berusaha sekuat tenaga untuk tidak memulai percakapan dengan Erlangga.  Aku takut percakapan itu nanti akan kembali ke masalah surat yang ingin kukirim buat Bu Kar dan Bung Aznen.  Dan kalau itu terjadi, aku yakin aku tidak akan bisa mengendalikan emosiku.

Aku berusaha memusatkan pikiranku pada rapat yang akan datang. Mencoba membayangkan situasinya dan kata-kata yang ingin kukemukakan.  Tetapi karena Erlangga duduk begitu dekat dan memperhatikan semua gerak-gerikku, hal itu benar-benar sulit.  Akhirnya aku menyerah.

‘Kalau kamu begitu pandai membaca orang, mengapa sampai setua ini kamu juga belum kawin?’ serangku tiba-tiba.  Kalau aku mengharapkan dia kehilangan keseimbangan, aku salah besar.  Erlangga justru tertawa senang mendengar pertanyaanku, Kembali aku merasa dibodohkan.

‘Jadi menurutmu aku sudah begitu tua, ya?’ rajuknya.

‘Bukan itu pertanyaan saya?’

‘Kalau kamu benar-benar ingin tahu jawabannya, Lel,’ ucapnya. ‘aku telah jatuh cinta pada wanita yang tidak tahu bahwa aku sangat mencintainya. Dia sama sekali tidak mempunyai gambaran.  Sama sekali,’

Aku tahu dia cuma bermaksud untuk menggodaku dengan pernyataan seperti itu. Tapi aku tidak mau kalah dengan mudah.

‘Kalau dia tidak tahu kalau kamu mencintainya, mengapa tidak kamu beritahu dia?’

‘Terus terang aku takut dia akan menolakku.  Persyaratan-persyaratan yang dia ajukan benar-benar tidak masuk akal,’ jawab Erlangga, persis kata-kata yang dia tulis untukku. Kini aku benar-benar bernafsu untuk melecehkannya.

‘Dalam posisimu sebagai general manager, aku tidak percaya kamu tidak berani mengambil resiko,’

‘Aku menunggu saat yang tepat, Lel.  Menunggu saat yang tepat,’ gumam Erlangga sambil memejamkan matanya.

Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

Rapat hari itu berjalan dengan alot.  Banyak ide baru yang dilontarkan, tapi langsung dibantai dengan sadis. Semua saling beradu kepintaran, beradu pengalaman dan beradu argumentasi.  Suara melengking tinggi, dianggap lumrah.  Juga gebrakan meja.  Dinginnya AC sama sekali tidak mampu untuk mendinginkan kepala.

Ketika giliranku untuk membawakan proposalku tiba, aku tahu aku bakal diserang habis-habisan.  Aku sadar aku berada di tengah-tengah dunia yang didominasi pria.  Kenyataan bahwa aku wanita semakin membangkitkan ego kelakian mereka. Komentar-komentar sinis, sanggahan-sanggahan keras harus aku hadapi dengan kepala dingin.

Selama aku mempertahankan proposalku dari serangan para manager pemasaran negara lain, Erlangga duduk dengan tenang dan memperhatikan aku dari jauh. Baru kalau aku benar-benar tersudut, dia akan membantuku dengan argumentasi-argumentasinya.

Aku benar-benar lega ketika menjelang rapat ditutup, ide dasar dari proposalku bisa diterima oleh peserta rapat.  Besok tinggal membahas dengan tim kecil untuk pekerjaan rincinya.

Keluar dari ruang sidang baru aku merasakan kelelahan yang luar biasa. Dan sewaktu berada di dalam mobil perusahaan yang membawa kami berdua dari pabrik menuju hotel tangan Erlangga merangkul pundakku, aku menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar. Aku merasa begitu lelah dan membutuhkan perlindungannya.

‘Melihat ketenangamu waktu menangkis serangan para gurita marketing di dalam rapat tadi, aku tidak bisa mempercayai kalau malam sebelumnya kamu menulis surat seperti itu,’ bisik Erlangga di samping telingaku.  Suratku untuk bu Kar tentu maksudnya.  Tidak ada nada menghina dalam suaranya.

‘Ada saat-saat tertentu dimana aku sama sekali tidak peduli dengan karierku. Saat-saat dimana aku sangat membutuhkan orang yang mengerti aku.  Orang yang mengerti kalau aku tidak sekuat  yang orang-orang bayangkan,’ sahutku.  Aku tidak peduli apakah sopir kami menguping percakapan kami atau tidak.

‘Saat seperti ini?’ ajuk Erlangga sambil mempererat pelukannya.  Entah mengapa aku menganggukkan kepalaku. Barangkali karena kau sudah terlalu capai untuk berdebat.

‘Kalau begitu tidak ada saat yang lebih tepat dari sekarang ini,’ ucap Erlangga. Aku tidak tahu arah dari ucapannya itu. Aku melepaskan diri dari tangannya dan memandang dia dengan heran.

‘Kamu ingat pertanyaanmu yang terakhir di pesawat siang tadi?’ tanyanya. ‘Kamu bertanya mengapa aku tidak mau mengambil resiko dan melamar gadis yang kucintai. Dan kujawab, ‘Aku menunggu saat yang tepat, Lel’  Ingat?’ tanya Erlangga. Setelah mengambil nafas dalam dia melanjutkan.  “Kurasa sekarang adalah saat yang sangat tepat.  Kamu terlalu capai untuk menolak lamaranku.  Ya ‘kan?’

‘Erlangga Waskita, mengapa berbelit-belit?  Aapakah kamu sedang mencoba mengatakan sesuatu kepadaku?’ tanyaku tidak sabar.

‘Tentu saja, tolol,’ tukasnya.  ‘Aku sedang melamarmu. Aku tidak berani melakukannya selama kamu penuh energi dan merasa tidak membutuhkan orang lain.’

Aku tergelak mendengarkan ocehannya. ‘Elang, aku benar-benar menghargai niatmu untuk membantuku,’ kataku.  “Tapi kamu tidak harus mengorbankan dirimu sendiri dengan melamarku seperti itu,’

‘Lely, ternyata kamu lebih buta dari yang kuperkirakan.  Ketika aku menulis surat balasan kemarin malam, aku memang mencoba untuk membantumu untuk membuka mata hatimu.  Tapi kalau aku melamarmu sekarang, ini untuk kepentinganku sendiri. Sudah terlalu lama aku menunggumu untuk menyadari bahwa aku mempunyai perhatian khusus kepadamu. Menyadari kalau diam-diam aku ingin lebih dari sekedar atasanmu. Terlalu lama aku makan hati mendengar jawabanmu setiap kali ada orang yang menanyakan kapan kamu berniat untuk kawin.  Oh, sampai sekarang saya belum butuh suami.  Saya lebih suka hidup sendiri.  Kamu pikir enak mendengar perkataan seperti itu setiap saat?’

‘Ayo dong, Lang, berhentilah bercanda.  Aku lagi capai,’

‘Siapa yang bercanda?  Kamu benar-benar tidak masuk akal.  Kalau orang menyatakan cintanya melalui isyarat, kamu tidak bisa menangkap artinya. Kalau diucapkan, kamu tidak menganggapnya serius.  Bagaimana caranya agar aku bisa meyakinkanmu?’

‘Jadi kamu serius?’

‘Tentu saja aku serius.  Sesampai di hotel nanti, aku ingin kamu menelpon orangtuamu dan membertahukan kepada mereka kalau sekembali kita dari Surabaya aku akan meminangmu dan kita akan segera kawin.’

‘Erlangga kamu benar-benar gila.  Kamu mengajak kawin dan sama sekali tidak memberiku kesempatan untuk berpikir dan mencernanya terlebih dahulu.’

‘Betul. Aku ingin mendengar jawabanmu sekarang. Aku tidak mau menunggu. Apalagi menunggu setelah proposal pemasaranmu diterima dan dilaksanakan.  Kamu akan merasa terlalu sukses dan tidak membutuhkan teman hidup lagi,’

‘Kamu salah, Lang.  Kesuksesan itu tidak akan berarti bagiku kalau tidak ada orang lain yang ikut menikmatinya.

‘Apakah itu berarti kamu menerima lamaranku?’

“Aku tidak tahu.  Berilah aku kesempatan. Paling tidak sampai kita tiba di hotel,’

Malam itu, sesudah menelpon ayah dan bunda di Jakarta dan sebelum tertidur, aku sempat memikirkan tentang Bu Kar dan Bung Aznen.  Belum sempat suratku kukirim, aku sudah menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaanku. Terima kasih, Bu Kar. Terima kasih, Bung Aznen.

Bu Kar dan Bung Aznen Terhomat

 

 

Gotehan

Gotehan

Nita, sepupuku, menentangku ketika kukatakan aku akan menyetir mobil sendiri ke Gotehan.  Dia mengingatkan kalau aku belum terbiasa untuk menyetir di ruas jalan sebelah kiri dan menawarkan sopirnya untuk mengantarku.  Dengan tegas kutolak tawarannya.   Nita tidak kenal putus asa dan terus beragumentasi dengan panjang lebar.   Dia   baru berhenti sesudah kukatakan kalau aku ingin menghadapi masalahku seorang diri.

Namun begitu keluar dari kota Surabaya aku mulai menyesali keputusanku.   Truk-truk, bis-bis serta kendaran-kendaraan lain yang berseliweran tak beraturan benar-benar membuatku ngeri.  Menghadapi kemacetan di depan pasar Krian nyaris membuatku berputar dan mengurungkan niatku.  Untung aku segera sadar kalau jalan yang aku tempuh sudah terlampau panjang.   Aku sadar kalau kehidupanku tidak akan kembali normal sebelum aku pergi ke Gotehan.

Gotehan

Minggu lalu kehidupanku masih berjalan dengan normal.   Senin pagi aku masih menuju ke kantorku yang berada di Embarcadero, San Francisco dengan berbagai proposal investasi yang aku siapkan selama akhir pekan.  Namun kenormalran itu  seakan berhenti di depan meja Pam, resepsionis kami.  Setelah mendesahkan sapaan selamat paginya yang khas, Pam menjelaskan kalau ada seseorang yang sedang menungguku di meeting room.

‘Pam, ini baru jam setengah enam.’ protesku.  ‘Kamu tahu aku tidak pernah menerima tamu sebelum jam sembilan.’

Karena waktu New York yang tiga jam lebih awal  dibanding San Francisco, para fund manager  perusahaan-perusahaan investasi di San Fransisco,  sudah harus siaga di kantor sebelum jam enam pagi untuk menunggu saat dibukanya bursa efek di New York.  Sudah berkali-kali kuingatkan Pam, walaupun aku sudah berada di kantor aku belum mau menemui tamu sebelum jam sembilan pagi.  Tiga jam pertama biasa kumanfaatkan untuk bekerja  di depan monitor.

‘Bukan tamu biasa, Lei,’ kilah Pam,  ‘Dia saudaramu dan dia sudah menunggu lebih dari setengah jam.’

‘Saudara?  Ayolah,  Pam, aku tidak punya saudara disini.’

‘Aku yakin dia saudaramu.  Wajah kalian mirip sekali.’  Jawab Pam pasti.  Aku tidak mau berdebat lagi.  Bagi Pam semua orang berkulit coklat mempunyai wajah yang sama.  Bila bertemu orang Hawaii dia akan bilang kalau mereka mirip aku.  Bertemu orang Thailand dia bilang saudaraku.  Bertemu orang Philipina  apalagi.  Jadi waktu memasuki ruang rapat aku sudah siap untuk bertemu dengan orang yang berasal dari negara manapun.  Bahkan orang Brazil atau Argentina sekalipun.

Ternyata observasi Pam kali ini tepat. Bukannya tamuku mirip aku, tapi dia memang orang Indonesia.  Berusia sekitar empat puluhan dengan postur dan tinggi yang sedang.   Ketika melihat aku masuk ruangan dia segera meletakkan dokumen yang sedang dibacanya, berdiri dan mengulurkan tangannya ke arahku.

‘Leily ?’ tanyanya.  ‘Saya Satrio dari Kantor Pengacara Satrio, Bonar dan……’ siapa aku tidak ingat.  Mungkin gara-gara  terkejut mendengar kelanjutan  kata-katanya.

‘Saya  diminta keluarga Sukarsono untuk menemui Anda…’ lanjut Satrio pelan.  Namun yang pelan itu mampu untuk menggoncangkan diriku dengan dahsyat.  Lututku bergetar dengan hebat.  Cepat-cepat aku duduk di kursi yang terdekat.

‘Leily, Anda masih ingat kan dengan keluarga Sukarsono ?’ tanya Satrio menyalahartikan kebisuanku.  Tentu saja aku masih ingat.  Bagaimana aku bisa melupakan mereka  bila aku pernah sangat mencintai salah satu  di antara mereka.

‘Leily..?’ tanya Satrio.  Kuanggukkan kepalaku sambil menunggu kata-kata selanjutnya.

‘Apakah Anda tahu kalau Bapak dan Ibu Nugra Sukarsono sudah meninggal dunia?’ tanya Satrio tanpa ekspresi.  Aku tersentak.

‘Kenapa  ? Kapan ?’ tanyaku kaget.

‘Ibu Sukarsono meninggal tiga tahun lalu karena sakit jantung dan Bapak meninggal selang beberapa bulan kemudian karena gagal ginjal.’  Aku terpaku.   Apapun yang pernah mereka lakukan terhadapku, kabar tersebut tetap menyedihkanku juga.  Kasihan Pra..  Dia pasti sangat kehilangan mereka.

‘Sejak beliau berdua meninggal dunia, kami berusaha mencari Anda.  Semua keluarga Anda yang kami hubungi tidak ada yang bersedia memberitahu dimana Anda berada.  Keluarga Anda sangat setia.  Beberapa bulan kami sempat menghentikan pencarian kami, karena jejak yang kami telusuri berkali-kali buntu .’

‘Mengapa kalian mencari saya ?  Apakah kalian akan menuduh saya sebagai penyebab kematian mereka ?’ tanyaku defensif.  Satrio menggelengkan kepalanya.

‘Nama Anda tercantum sebagai salah seorang yang mendapatkan pekebunan cengkih di Gotehan, Jombang serta…’

‘Apa ?’ sergahku.

‘Lima tahun yang lalu Bapak dan Ibu Sukarsono membuat wasiat yang mencantumkan Anda dan Pradipta sebagai ahli waris terhadap perkebunan cengkih mereka.  Ada juga beberapa kekayaan lain diserahkan khusus untuk Anda.  Saya membawa daftarnya disini.’ Satrio menjelaskan sambil menunjuk tas kerjanya.

‘Anak-anak keluarga Sukarsono juga heran mengapa Anda masuk sebagai ahli waris.   Tidak dijelaskan alasan mengapa mereka memasukkan nama Anda.  Sekarang, dengan harga cengkih yang jatuh Pradipta berniat untuk menjual kebun tersebut.  Ada seorang pengusaha yang berniat membeli tanah tersebut untuk dijadikan hotel.  Namun, tanpa persetujuan Anda, Pradipta tidak bisa menjualnya.’

‘Saya tidak mau kekayaan mereka.  Mereka boleh melakukan apa saja terhadap kekayaan mereka.   Saya tidak peduli.  Saya akan menulis pernyataan bahwa saya menolak manjadi ahli waris mereka dan Anda bisa menjadi saksinya.’  ucapku cepat.

‘Untuk kekayaan yang lain mungkin bisa kita lakukan,’ ucap Satrio sabar, ‘tapi khusus tanah yang di Gotehan ada klausal khusus yang menyatakan bahwa Anda dan Pra– boleh bersama maupun sendiri– harus menandatangani persetujuan penjualan di depan lurah Gotehan.  Kalau saja lurah Gotehan tidak terlalu tua untuk saya ajak kesini, akan saya ajak kesini sehingga kami tidak harus menyusahkan Anda.  Pradipta berpesan kepada saya agar  kami  tidak menyusahkan Anda.’

‘Bagaima kabarnya ?’ aku tidak kuasa untuk tidak menanyakannya.

‘Pradipta ?  Oh, dia baik-baik saja.  Dia sangat sukses dalam memimpin perusahaan keluarganya,’  cerita Satrio.   ‘Sebelum berangkat kesini saya sempat makan siang di kantornya  dengan dia dan anak…’

‘Anak ?’ potongku tanpa sadar.

‘Oh, Anda belum tahu?   Pra mempunyai anak perempuan berusia empat atau lima tahunan yang sangat dibanggakannya.  Cantik mirip sekali dengan Pra…’ lanjut Satrio tanpa menyadari kebekuanku.  Tiba-tiba wajah  Anggita berkelebatan di kepalaku.   Anggi yang tidak pernah dikenal ayahnya apalagi dibanggakannya.   Hatiku seakan terhimpit batu.  Tiba-tiba muncul tekadku untuk melepaskan diriku dan Anggita dari semua ikatan masa laluku.  Aku ingin bebas sebebas-bebasnya dari pengaruh keluarga Sukarsono.  Bila untuk itu aku harus datang ke Gotehan aku akan datang.

Gotehan

Setelah beberapa kali  jip yang kupinjam dari Nita nyaris tergilas truk gandeng akhirnya sampai juga aku di depan menara air menjelang kota Jombang. Kubelokkan mobil ke kiri meninggalkan kebisingan jalan raya dengan kendaran-kendaraan kelas beratnya.  Beberapa saat kemudian aku mulai memasuki jalan desa yang mulus yang diteduhi rindangnya pohon-pohon yang berjajar di kiri dan kanannya.  Hanya sesekali mobilku berpapasan dengan sepeda motor dan gerobag sapi

Tanpa kusadari anganku membawaku kembali ke masa lampau. Ke masa ketika aku masih begitu naif.  Masa ketika  duniaku berputar di sekeliling Pra. Masa dimana Pra mengajakku melewati jalan-jalan desa ini sambil mengunyah kacang rebus yang kami beli di mulut pinto tol Mojokerto. Sambil sesekali kami ikrarkan cinta dan kesetiaan.

Setamat sekolah aku bekerja di bagian Marketing Perusahaan Keluarga Sukarsono, salah satu perusahaan terbesar di Surabaya.     Pada waktu itu  Perusahan memegang lisensi beberapa sepatu olahraga dari Korea dan sedang mencoba menjajagi kemungkinan untuk sepatu kulitnya.   Karena aku seorang akuntan dan lumayan dalam menulis proposal aku dilibatkan di dalam team Pradipta yang bertanggung jawab terhadap Pengembangan Perusahaan.  Kami sering mengerjakan proyek bersama.

Lama kelamaan, hubungan yang tadinya bersifat profesional berubah menjadi pribadi.  Sangat pribadi.  Agar tidak menjadi gunjingan di kantor, Pradipta meminta agar hubungan kami dirahasiakan. Aku menurutinya.  Pradipta menjelaskan kalau dia tidak bisa mengajakku jalan-jalan di Surabaya karena takut ketahuan orang.  Aku memahaminya.   Sebagai gantinya setiap akhir pekan Pradipta mengajaku menyusuri jalan-jalan desa ini menuju perkebunan cengkihnya.

Alangkah bodohnya aku.  Tentu saja Pradipta tidak menginginkan hubungan kami diketahui orang.  Dia sudah bertunangan dan akan kawin dalam waktu dekat.   Sayangnya aku terlambat mengetahui hal tesebut.    Sangat terlambat.

Seumur hidupku aku tidak akan pernah melupakan hari itu.  Saat itu Pradipta sedang berada di Jepang.  Dari Jepang dia mengabarkan kalau Perusahaan kami telah memenangkan tender. Ayah Pradipta merayakan keberhasilan tersebut dengan mengundang kami semua makan malam bersama keluarganya di rumah mereka.

Pada saat kami tengah menikmati hidangan, Pak Nugra memperkenalkan anggota keluarganya.  Sebagai wakil dari Pradipta yang belum pulang, dia memperkenalkan calon istri Pradipta.  Ratih.  Wanita yang sangat cantik, anggun dan nampak sangat dewasa.  Wanita yang pas sekali dengan Pra.

‘Tiga bulan lagi Pradipta dan Ratih akan melangsungkan perkawinan mereka.  Kami harap kalian semua bisa menghadirinya.’ Pak Nugra mengakhiri sambutannya dan sekaligus mengakhiri hidupku.

Kepedihanku tidak berhenti disitu.  Usai makan malam, pak Nugra meminta aku untuk tinggal.  Kemudian di depan istri,  anak-anak dan calon menantunya dia mengatakan kalau Pradipta telah meminta dia untuk menyampaikan kepadaku agar aku tidak salah menafsirkan perhatian Pradipta.  Pradipta tidak pernah mencintaiku dan berharap agar aku tidak mengejar-ngejar dia lagi.

‘Kami mengerti perasaanmu, Leily.’ ucap ibu Pradipta manis tapi berbisa.  ‘Untuk menghindari rasa malumu di depan teman-teman kantor, mulai besok kamu tidak perlu ke kantor lagi.  Pak Nugra telah menyuruh bagian penggajian untuk mentransfer gaji terakhirmu serta sekedar uang jasa yang dapat kamu pergunakan untuk biaya hidup sebelum kamu mendapatkan pekerjaan lain……’ Aku tidak mendengar kelanjutan kata-katanya.  Aku berlari dan berlari tanpa pernah menoleh lagi.

Enam bulan kemudian kulahirkan Anggita.


Gotehan

Jalan di depanku mulai menanjak dan berkelok.  Kumatikan AC mobil dan kubuka jendela lebar-lebar.  Kubiarkan angin pegunungan yang lembut membelai rambutku.  Sebutir air mata bergulir di pipiku.  Oh, betapa aku mencintai tempat ini.

Karena tidak mengetahui dimana rumah lurah Gotehan, mobil kuarahkan langsung ke rumah kebun keluarga Sukarsono.  Aku akan meminta ibu Warti, perawat rumah itu untuk mengantarku ke rumah pak lurah.

Rumah kayu di atas bukit  berlatar belakang rimbunnya hutan cengkih itu masih persis seperti yang kuingat.  Rasa-rasanya baru minggu lalu aku dan Pra menghabiskan waktu kami disitu.

Kuparkir mobilku di tempat pengeringan cengkih.  Begitu aku meloncat dari mobil, entah dari mana munculnya, ibu Warti telah berdiri di depanku.

‘Non Leily, saya tidak percaya kalau Non benar-benar datang.’ isaknya dengan mata berkaca-kaca.  ‘Mas Pra meminta saya membersihkan dan menyiapkan kamar untuk Non.  Katanya sewaktu-waktu  Non akan datang.’

‘Mas Pra sering kesini ?’

‘Enggak, Non.  Sejak Non pergi mas Pra enggak pernah kesini lagi.’ jawab bu Warti.  ‘Tiba-tiba minggu lalu mas Pra muncul dan bilang kalau Non akan datang.’

Sesudah ditelpon Satrio, pikirku.

Setelah selesai meributkan aku yang tidak membawa koper dan tidak berniat untuk tinggal lama di Gotehan, bu Warti  menuntunku memasuki rumah  Kalau dari luar rumah itu nampak tidak berubah, ternyata di dalamnya banyak perubahan.  Di salah satu sisi ruang tamu yang tadinya hanya jendela-jendela kecil sekarang telah berubah menjadi kaca besar sehingga dengan bebas dapat memandang keluar.  Pohon-pohon cengkih yang tadinya menghadang di depannya sudah ditebang diganti dengan hamparan padang rumput.  Dari tempatku berdiri aku bisa memandang ke bukit seberang.  Di atas bukit seberang ada sebuah rumah peristirahatan dengan kolam renang infinity di bibir tebing.

‘Non, ini ada titipan surat dari ibu,’ ibu Warti muncul kembali memecahkan keheningan.  ‘Ibu berpesan kalau saya harus menyimpan surat ini baik-baik dan hanya memberikannya kepada Non’ lanjutnya sambil mengangurkan sebuah amplop.

‘Kapan diberikannya ?’

‘Sebulan sebelum beliau wafat.’ jawab bu Warti.  Aku duduk dan pelan-pelan kubuka surat tersebut.  Surat dengan tulisan tangan yang indah.

Gotehan

 Leily, anakku (kalau engkau mengijinkan aku untuk memanggilmu demikian)..

Sebenarnya aku berharap dapat mengatakan ini semua langsung kepadamu.  Tapi dengan kondisi kesehatanku yang semakin memburuk, aku tidak yakin kalau Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu lagi denganmu.  Namun aku percaya suatu saat nanti kamu akan datang ke Gotehan dan membaca suratku ini.

Pertemuan kita yang terakhir telah berubah menjadi tragedi.  Bukan hanya untukmu, Leil, tapi juga untuk keluarga kami.  Kami telah lancang mencampuri urusan pribadi kalian.   Kami merasa kamilah yang paling tahu apa yang akan membuat Pradipta berbahagia.  Kami sadar tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan kami terhadap kalian berdua.

Sewaktu Pra pulang dan mengetahui apa yang terjadi, hidupnya berakhir disitu.  Baginya matahari tidak pernah bersinar lagi.  Seketika Pra menjadi orang asing bagi kami.  Tanpa emosi sama sekali.  Kalau dia marah kepada kami dia tidak tunjukkan kemarahannya.   Tapi sejak saat itu kami tidak pernah lagi mendengar tawa dan candanya.  Kami tidak bisa meraih hatinya. 

Pernah kusarankan kepadanya untuk mencarimu.   Dia tidak mau.  Dia bilang kalau kau benar-benar mencintainya dan mempercayainya, kamu tidak akan meninggalkannya.

Kami tidak menyalahkanmu, Leil.  Kamu masih begitu muda dan kami terlalu kejam terhadapmu.

Karena Pra tidak mau mencarimu, maka aku dan ayah Pra melakukannya untuknya.  Ternyata mencarimu sangat sulit..  Keluargamu tidak ada yang bersedia berbicara kepada kami.   Permintaan maaf kami yang bertubi-tubi tidak menggemingkan mereka.  Itu merupakan awal dari kecurigaan kami kalau hubuganmu dengan Pra lebih dalam dari dugaan kami.

Dari bu Warti kami mendengar kalau kamu dan Pra sering menghabiskan waktu kalian di Gotehan.  Gotehan merupakan rumah cinta kalian berdua.  Firasatku mengatakan kalau pada waktu kamu meninggalkan Surabaya, kamu tengah mengandung anak Pra, cucu kami.

 Aku hampir gila memikirkan itu.  Setelah aku mengemis ribuan kali dan penyakit mulai menggerogotiku, akhirnya ibumu mau mengatakan kalau kamu telah melahirkan anak perempuan.  Tanpa informasi mengenai nama anakmu, dan dimana kamu dan cucuku berada.   Ibumu juga meminta kami untuk tidak mengatakan hal itu kepada Pradipta.   Beliau meminta kami untuk tidak mengganggu ketenanganmu.

Aku hormati permintaan itu, walau dengan hati yang sangat berat.  Ingin rasanya aku menuntut, tapi setelah apa yang kami lakukan terhadapmu apakah kami masih mempunyai hak ?

Leily, anakku..

Sampai saat ini Pra belum tahu mengenai anak kalian.   Aku pulangkan hal itu kepadamu..  Walaupun aku ingin Pra mengetahuinya, mungkin kamu punya alasan untuk tidak melakukannya.  Mungkin pada waktu kamu baca surat ini baik kamu dan Pra sudah punya keluarga sendiri-sendiri.  Dan untuk kebaikan semua orang kamu memilih untuk melupakan semua masa lalu.  Aku hormati itu.

Tapi, Leil, aku dan ayah Pra tahu kalau kami mempunyai cucu.  Kami ingin meninggalkan sesuatu untuknya. Jangan kamu tolak pemberian kami.  Dan mengenai Gotehan….Aku tahu tempat ini akan selalu mempunyai arti khusus bagimu.  Kami memberikannya untukmu dan Pra.

Harapanku yang terakhir, Leil, kamu bisa memaafkan kami semua

Nenek anakmu.

Gotehan

Kucoba untuk mengevaluasi perasaanku setelah membaca surat ibu Pra.  Tidak ada.  Kosong.  Hampa.  Bahkan rasa benci, dendam ataupun sebercik kepuasan yang kuharapkan muncul, ternyata tidak muncul.  Apakah aku sudah terbebas dari masa laluku?

Kuhembuskan nafas panjang dan berdiri termenung di depan jendela.  Rumah peristirahatan di bukit seberang kelihatan cantik.  Perkebunan ini akan segera berubah menjadi rumah-rumah peristirahatan cantik seperti itu, pikirku.

‘Rumah di seberang itu rumah mas Pra ?’ cerita ibu Warti,  ‘Waktu kesini minggu lalu Mas Pra bilang kalau dia akan segera memboyong istri dan anaknya.’

‘Saya kira tanah ini akan dijual untuk dijadikan hotel,’ bisikku.

‘Mas Pra tidak akan mengijinkannya.  Dia menyayangi tempat ini.’

‘Sekarang siapa yang tinggal di tempat itu?’ tanyaku

‘Tidak ada.’  sahut bu Warti.

Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mengintip tempat itu.  Aku ingin tahu tempat seperti apa yang disiapkan Pra untuk istri dan anaknya.  Setelah itu aku akan memberikan bagian tanahku untuknya dan benar-benar berlalu dari hidupnya.

Pelan-pelan kudaki bukit untuk menuju ke rumah Peristirahatan Pra.  Aku muncul di samping kiri kolam renang dan langsung berhadapan dengan rumpun anyelir yang sedang berbunga lebat. Aku meneruskan perjalanan menuju teras dengan dipan kayu dan bantal-bantal hiasnya.  Tiba-tiba pintu teras terbuka lebar dan di depanku berdiri Pradipta.  Pradiptaku dulu.  Duniaku tiba-tiba berputar keras.  Aku jatuh sempoyongan dan Pra menangkapku.

‘Jangan berani pingsan sekarang.’  ancam Pra sambil mendudukkanku di dipan.  ‘Banyak yang harus kita bicarakan.  Sesudah itu kamu boleh tidur sesukamu.’ lanjutnya.  Pelan-pelan kubuka mataku.  Pra duduk dekat sekali di sampingku sambil memandangku kuatir.  Kulihat kerinduan di matanya.  Pelan-pelan senyumnya terkuak.

‘Selamat datang kembali ke rumah, Leil. ‘ bisiknya.  ‘Kamu pergi terlalu lama.  Anggi dan aku sangat merindukanmu.’

‘Anggi  ??’ aku tersentak kaget  ‘Kamu tahu tentang Anggi ??’  Pra tersenyum sedih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

‘Secara kebetulan.’ ucap Pra.  ‘Suatu hari adikku Rini bertemu Nita di Tunjungan Plaza sedang jalan-jalan dengan Anggi.  Begitu melihat Anggi yang mirip aku, Rini segera menyadari kalau Anggi adalah anakku.  Rini melaporkannya kepadaku.  Waktu kutemui Nita membantah dan berkeras kalau Anggi adalah anak kandungnya.   Setelah aku yakinkan dan berjanji kalau aku tidak akan mengambil Anggi tanpa persetujuanmu, barulah Nita menyerah.  Aku juga meminta Nita untuk memberitahu kamu kalau aku sudah tahu semuanya.  Melihat reasksimu tadi, aku rasa Nita tidak pernah memenuhi permintaanku.  Kamu belum tahu kalau aku sudah mengetahui tentang Anggi dan Anggi sering menginap di rumahku’

‘Bagiamana reaksi istrimu ?’ tanyaku kuatir.

‘Istri ?’ ulang Pra diikuti tawanya yang nyaring.  ‘Kamu pikir aku akan kawin dengan orang lain selain dirimu ?’

‘Bu Warti bilang kalau kamu akan segera memboyong istri dan anakmu kesini..’ ucapku.

‘Benar.  Aku akan memboyong kamu dan Anggi kesini, Leil.’ bisiknya.  ‘Kalau kamu mau.’

Tentu saja aku mau.

Tentang Tami: Tembang Terakhir

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Adegan NCIS lagi tegang-tegangnya, ketika wajah Jethro Gibbs terhalang oleh  munculnya pesan singkat Santi di layar TV-ku.  Agar pesan dan telpon dari pelangganku tidak terlewatkan selagi aku terlena nonton TV, aku sengaja mengkaitkan telpon selulerku ke pesawat TV.  Akibatnya ya seperti ini.  Bukan hanya sms dari pelangganku saja yang sering mengganggu kenikmatanku menonton, tapi juga sms-sms dari teman yang tidak mendatangkan bisnis seperti sms Santi ini.

 JANGAN LUPA  PERTUNJUKAN MEGAN MALAM INI !!!!!!!!  AJAK CLAY JUGA…. AKU SUDAH SIAPKAN MAKANAN TIDAK PEDAS UNTUKNYA !!!!!!!

Tulisannya persis seperti itu.  Dengan huruf besar semua dan dengan belasan tanda seru, seolah untuk menekankan betapa pentingnya pertunjukan Megan ini untuk dirinya.  Kalau sampai aku tidak muncul, dia akan murka sekali.

Mark Harmon seketika kehilangan daya tariknya.  Aku bergegas ke kamar untuk berganti pakaian yang lebih tebal.  Udara di luar lumayan dingin dan untuk menuju ke rumah Santi di Port Orchard aku harus naik feri dulu dari Seattle ke Bremerton selama satu jam dilanjut dengan naik mobil selama kurang lebih dua puluh menit.  Sekarang sudah jam lima lewat.  Mudah-mudahan aku aku bisa naik feri yang enam sore.  Aku harus buru-buru. Tidak ada waktu untuk menghubungi Clay.  Kedua-duanya akan aku lakukan nanti di atas feri saja.

Kukeluarkan Mini Cooperku dari garasi.  Untung kemarin aku sempat mengisi bensin, jadi aku bisa langsung ke terminal feri tanpa harus mampir di pompa bensin terlebih dahulu.  Mobil miniku masuk di terminal feri pada detik-detik teakhir.  Telat semenit saja, aku harus menunggu feri berikutnya satu jam lagi dan pertunjukan Megan sudah pasti akan terlewatkan.  Megan, anak Santi dan Greg, dari umur belia sudah belajar memainkan harpa.  Di usianya yang sekarang, 15 tahun, dia sudah piawai memainkan dawai.  Sesekali ibunya mengundang teman-teman dekatnya untuk makan malam dan Megan akan memainkan dua atau tiga komposisi.

Setelah memarkir mobilku, yang tentu saja terletak di bagian paling belakang feri, aku segera naik ke lantai atas, membeli segelas kopi dan menuju ke anjungan kapal bagian belakang.  Pada bulan Februari seperti ini, tidak ada seorang pun yang beminat untuk duduk di tempat terbuka.  Jadi seluruh anjungan belakang menjadi milikku.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Perlahan dan pasti, MV Sealth, feri yang kutumpangi mulai meninggalkan sandaran dan berlayar menjauhi Seattle, yang mulai memamerkan kerlap-kerlip lampu malamnya.  Bangunan-bangunan tinggi di Seattle yang kalau siang hari kelihatan gagah dan angkuh berubah menjadi romantis di senja hari. Di bagian paling kiri, terisolasi dari bangunan-bangunan tinggi lainnya, menjulang bangunan favoritku, Space Needle, yang di usianya yang ke 50 tahun masih tetap saja kelihatan kontemporer dan mampu bersaing dengan bangunan-bangunan lainnya.

Kucoba menelpon Clay.  Seperti biasa, tidak peduli sesibuk apapun, pada dering yang kedua dia menjawab telponku.

Hi, hon, what’s up?’ sapanya antusias

‘Pertunjukan Megan ternyata malam ini, Clay,’ ucapku.  Lebih dari dua minggu lalu, Santi sudah mengedarkan undangannya lewat sms dan aku benar-benar lupa.

‘Aku masih ada dua pasien, Tam.  Kamu mau menunggu aku atau kamu mau berangkat duluan nanti aku susul?’ tanya Clay.  Aku yakin dia pasti masih sangat sibuk.  Aku tidak ingin mengganggunya.

‘Aku sudah ada di atas feri, Clay,’ sahutku.  ‘Lagi pula kamu tidak harus datang.  Nanti kupamitkan ke Santi kalau kamu masih ada pasien dan kubawakan lemper buatannya,’ janjiku.  Bule satu ini demen sekali lemper isi ayam.  Apalagi buatan Santi.

‘Kamu yakin …

‘Sangat yakin.’

‘OK, hati-hati nyetirnya.  Jalanan licin kalau musim dingin seperti ini.’

‘Ya, kek…,’ sahutku seperti biasa kalau dia sudah mulai dengan nasehat-nasehatnya.

Setelah memasukkan telponku ke dalam tas, aku mulai menikmati indahnya Puget Sound, perairan di depan kota Seattle di saat matahari mulai tenggelam.  Karena bentuknya teluk, perairan disini sangat tenang.  Dari kejauhan menjulang deretan pegunungan Olympic yang berselimutkan salju.  Di kiri dan kananku berderet pulau-pulau kecil yang nampak kabur terhalang kabut.  Sesekali ada pancaran cahaya lampu dari pulau yang menyeruak menembus kabut.

Keheningan Puget Sound tiba-tiba terkoyak oleh derit pintu yang terbuka.  Seorang pemuda keluar dan sontak jantungku berhenti berdetak.  Di depanku berdiri Bara.  Bara dari masa dua puluh tahun silam.  Baraku yang masih berusia remaja. Kugelengkan kepalaku dengan keras untuk memastikan kalau aku tidak sedang bermimpi.   Ada yang salah dengan logikaku..  Remaja di depanku paling banter berusia tujuh belas tahun.  Sementara Baraku sudah menjelang usia 40 tahun.  Mustahil dia Bara.  Kecuali Bara sudah berubah menjadi Edward Cullen dengan keabadian remajanya.

Pemuda di depanku mengembangkan senyumnya.  Senyuman khas Bara.  Bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu mirip Bara.  Anak Barakah dia?

‘Indonesia or Filipino?’ tanyaku membuka percakapan, walaupun seribu persen aku yakin kalau dia anak Indonesia dan mempunyai hubungan erat dengan Bara.

‘Indonesia,’ jawabnya hangat dan ramah.

‘Mau ke rumah tante Santi di Port Orchard?’ tebakku

‘Iya. Tante juga mau kesana?’ sahutnya  sambil bersandar di pagar pengaman di depanku.  Kuanggukkan kepalaku ‘Ibu saya teman kuliah tante Santi.  Bunda minta saya untuk datang ke pertunjukan Megan,’ remaja itu menjelaskan. Dia menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang lancar, namun aku bisa menangkap kalau bahasa Indonesia bukan bahasa pertamanya.  Anak ini besar atau lahir di Amerika.

‘Teman tante Santi di Bloomington Indiana?’ tanyaku menyelidik  Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mengetahui semua tentang anak ini.  Barangkali dengan mengetahui tentang dia, aku bisa mengetahui ihwal Bara.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Tanpa ada peringatan terlebih dahulu, sekonyong-konyong anganku melintas balik ke hampir 20 tahun silam.  Balik ke kampus Bulaksumur, Yogya. Balik ke masa remajaku yang penuh dengan kenangan manis yang sekaligus getir.  Umurku waktu itu baru 17 tahun, mahasiswa baru yang jatuh cinta kepada kakak kelasnya,  Bara.  Betapa indahnya cinta remaja.  Betapa tidak adilnya kehidupan.

Di saat dunia luas mulai terbuka di depan mataku, di saat aku begitu mencintai kehidupan dan siap mengepakkan sayap untuk menggapai cita-cita, Leukimia mengincar nyawaku dengan kejam.  Aku yang pemain inti basket di universitas, yang doyan naik turun gunung, yang nilai ujian terendahnya B+, yang punya cowok ganteng bernama Bara, harus berperang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhku.

Pengobatan demi pengobatan kujalani dengan sabar.  Dari chemotherapy yang merontokkan semua rambutku hingga pengobatan alternatif yang tidak jelas juntrungannya.  Di sela-sela pengobatan itu, jalinan cintaku dengan Bara terajut dengan indah dan kokoh.  Bara adalah alasan utamaku untuk mempertahankan hidup yang semakin hari semakin berat.  Bara adalah batu cadasku di saat aku hampir putus asa.  Di saat seluruh tubuhku bengkak dan penuh dengan benjolan, Bara masih menganggapku gadis tercantik dan dengan bangganya memamerkanku ke seluruh dunia.  Bara adalah cahaya yang menerangi kelamnya masa depanku.

Namun, harapan hidupku semakin hari semakin tipis, hingga tidak ada lagi yang tersisa.  Melihat Bara yang tadinya menguatkanku berubah menjadi beban.  Setiap kali penyakitku kumat kulihat penderitaan hebat di mata Bara.  Dia yang pada mulainya tenang, mulai sering panik.  Dia mulai menelantarkan masa depannya.  Dia lebih sering mangkir dari kampus dan beredar di rumah sakit menemaniku.

Di penghujung perjuanganku, di saat tubuhku menolak segala jenis pengobatan, datang undangan dari Universitas Washington di Seattle untuk menjadi salan satu pasien uji coba pengobatan dengan sistem stem-cell.  Semua biaya mereka tanggung.  Karena sudah tidak ada alternatif lain, akhirnya berangkatlah aku ke Seatlle.

Bara masih sempat mengantarku di Bandara Soetta.  Sebelum keberangkatku, aku memaksanya berjanji untuk melupakanku dan melanjutkan hidupnya.  Aku tidak mempunyai apa-apa yang bisa aku janjikan untuknya.  Sama sekali tidak ada.   Jauh di dalam lubuk hatiku, aku merasa tidak mempunyai peluang di Seattle.  Aku pergi untuk tidak kembali

Ternyata, pengobatan di Seattle menunjukkan hasil yang berbeda. Setelah lebih dari tiga tahun aku dinyatakan bersih dari Leukimia.  Aku mendapatkan masa depanku kembali.  Aku punya waktu untuk bercinta lagi. Aku bisa menghubungi Bara kembali.

‘Jangan,’ cegah abangku Tommy saat kuungkapkan keinginanku untuk menghubungi Bara.  ‘Bara sudah melanjutkan hidupnya.  Dia sedang mengambil S2 dan sebentar lagi akan kawin dengan gadis lain.  Kamu sendiri yang menginginkn itu.  Jangan kamu ganggu dia.’

Aku pun maklum.  Inilah harga yang harus kubayar untuk kesembuhanku. Aku mendapatkan hidupku tapi aku harus melepaskan cintaku. Merasa tidak ada lagi alasan untuk balik ke Yogya, akupun memutuskan untuk tinggal di Amerika.   Walaupun pahit dan menyesakkan dada, kukubur dalam-dalam kenanganku bersama Bara.

 OLYMPUS DIGITAL CAMERA

‘Tante ..’ panggilan anak itu menyadarkanku dan menarikku kembali ke masa kini.

‘Maaf, kamu mengingatkanku pada seseorang,’ ucapku.  ‘Pertanyaannya tadi apa?’ lanjutku. Anak itu tertawa.  Gelak tawanya persis seperti gelak tawa Bara kala menertawakan kekonyolanku.

‘Saya tadi bilang ke tante, nama saya Tommy, tante siapa?’ ucapnya sabar.  Untuk beberapa detik aku diam terpana.  Bara menamakan anaknya Tommy, seperti nama kakakku?  Apakah kalau anaknya perempuan dia akan menamakanya Tami?

‘Nama tante Tami.’ ucapku.  Pemuda di depanku yang ternyata bernama Tommy  tertawa membahana.  Jika tadi aku belum yakin kalau dia anak Bara, kini aku yakin sekali.  Seyakin matahari terbit dari timur setiap paginya.

‘Nama kita mirip ya?’ olokku.

‘Bukan itu saja, tante,’ jawab Tommy.  ‘Pacar ayah saya dulu namanya juga Tami, makanya saya dinamakan Tommy.  Dari nama pacar ayah,’ lanjut Tommy.  Aku terkesima.  Bara sama sekali tidak merahasiaka masa lalunya.

‘Bundamu tidak keberatan kamu dinamakan Tommy?’ tanyaku menyelidik.  Tommy terdiam beberapa saat.

‘Ayah saya orangnya sangat keras dan kaku, Tante,’ ucapnya kemudian.  ‘Bunda memilih untuk mengalah.  Bunda selalu mengalah. Mereka pernah mengalami masa-masa sulit.  Sekarang sudah jauh lebih baik,’ sambungnya ringan.  Dia bercerita seolah aku adalah tantenya yang sudah dia kenal sejak lahir.

‘Jangan-jangan tante adalan Tami, cewek ayahmu dulu,’ pancingku juga berlagak ringan.

‘Tidak mungkin, Tante,’ jawab Tommy cepat.  ‘Taminya ayah sudah meninggal sebelum ayah ketemu Bunda.’  Aku terdiam.  Hatiku seketika membeku.  Ternyata bagi Bara aku sudah mati.  Untung saat itu peluit panjang sudah dibunyikan, pertanda kapal mulai merapat di Bremerton.  Karena Tommy tidak membawa mobil, kutawarkan kepadanya untuk ikut bersamaku.

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Selama dua puluh menit perjalanan dari Brementon ke Port Orchard, aku mencoba menggali informasi dari Tommy.  Mencoba memahami apa yang membuat Bara yang dulu kukenal sangat lembut dan penuh pengertian berubah menjadi kaku dan berkeras untuk menamakan anaknya Tommy, tanpa mempertimbangkan perasaan istrinya.

Sudah banyak mobil yang parkir di halaman rumah Santi ketika kami sampai di sana.  Rumah Santi letaknya terpencil, jauh dari tetangga.  Di kiri dan kanan bangunan utamanya yang besar dipenuhi dengan hutan pinus dan halaman belakangnya adalah pantai pribadi.  Kalau musim panas, kami sering mencari kerang untuk dimasak bersama.  Greg, suami Santi adalah seorang dokter bedah jantung, dan bekerja di rumah sakit yang sama dengan Clay.  Clay lah yang memerkenalkan aku dengan Santi dan Greg, bukan sebaliknya.

Santi sudah menunggu di depan pintu ketika kami datang.  Sama sekali di luar kebiasaanya.  Sambil memelukku dia berkata ke arah Tommy.

‘Ayah dan Bundamu ada di kamar tamu atas, Tom.’

Aku membelalakkan mataku, tidak percaya dengan kata-kata yang keluar dari mulut Santi.  Tommy segera menghambur ke dalam.

‘Kamu tahu siapa ayah Tommy?’ tanya Santi berbisik.  Kuanggukkan kepalaku.

‘Bara ada disini?’ tanyaku tidak percaya.  Santi menggangguk, menggamit lenganku dan menggandengku menjauhi rumah menuju pantai.  Lampu-lampu di sepanjang jalan setapak menuju ke pantai sudah menyala dengan terang.

‘Dan kamu tidak memberitahuku kalau dia ada disini?  Kukira kamu temanku, San,’ protesku.

‘Aku temanmu, Tam, percayalah.  ‘Bara memintaku untuk tidak memberitahumu.  Kalau kamu tahu kamu pasti tidak akan datang,’

‘Tentu saja aku tidak akan datang,’ sergahku.  ‘Kamu sadar enggak sih, San, betapa canggungnya pertemuan ini?  Lagian dari mana Bara bisa tahu tentang keberadaanku?’

‘Dari Facebook,’ jawab Santi singkat

‘Aku tidak punya akun Facebook, San’ bantahku sengit.

‘Dari akunku.  Mita mengunggah beberapa foto perkawinannya.  Ada foto kita berdua disana.  Bara melihat foto itu dan menanyakan tentang kamu.  Karena aku tidak tahu kalau aku harus merahasiakan keberadaanmu, ya aku jawab apa adanya,’ Santi menjelaskan.  ‘Bara dan istrinya, Maya ingin bertemu denganmu.  Aku katakan kepada mereka kalau kamu akan datang pada  acara Megan ini.  Dan mereka sengaja datang untuk menemuimu.’

‘Mereka datang jauh-jauh dari Indonesia?’

‘Mereka tinggal di Portland, Tam.  Setelah lulus dari Indiana mereka  kerja di Portland.’  Aku tertegun.  Tidak menyangka kalau selama ini Bara berada hanya tiga jam dari tempat tinggalku.

‘Apa yang kamu ketahui tentang aku dan Bara?’ selidikku.

‘Banyak,’ jawab Santi.  ‘Aku roommate Maya dari tingkat satu hingga lulus, Tam.  Aku menjadi saksi perubahan dramatis Maya sejak kemunculan Bara di Bloomington.  Dia jungkir balik mencoba menggapai cinta Bara yang sudah habis kikis untukmu.  Aku kasihan melihat dia bersaing dengan hantumu.  Seingatku Bara pernah bilang kalau hatinya sudah mati bersamaan dengan kematian gadisnya.  Aku dan Maya mengira kalau kamu benar-benar sudah mati, Tam.  Belasan tahun aku mengenalmu dan aku tidak pernah tahu kalau kamu adalah gadis Bara’

‘Bagi Bara aku sudah lama mati, San,’ bisikku.

‘Omong kosong,’ bantah Santi sengit. ‘Bara tidak pernah bisa melupakanmu.  Di matanya kamu sempurna sehingga Maya harus berjuang keras untuk bersaing dengan bayanganmu.  Dan kurasa kamupun demikian juga.  Bara adalah tolok ukurmu.  Dia juga yang membuatmu menolak lamaran Clay kan?’

‘Clay tidak pernah melamarku..’ bantahku.  Tiba-tiba aku membutuhkan Clay di berada di sampingku saat ini juga.  Membutuhkan dia untuk mengatakan apa yang harus aku lakukan dalam menghadapi Bara yang tiba-tiba berada dalam jangkauanku.  Tanpa aku sadari ternyata selama ini aku banyak mengandalkan Clay dalam memutuskan sesuatu.

‘Untung dia tidak melamarmu,’ sahut Santi.  ‘Kalau sampai dia melamarmu, kamu akan terbirit-birit meninggalkannya.  Dan kamu akan menjadi wanita tua yang kesepian tanpa teman sekaligus kekasih,’ ucap Santi sambil melihat ke arah rumah.

‘Temuilah mereka, Tam,’ lanjut Santi.  ‘Sudah saatnya kalian menghadapi hantu masa lalu kalian dan melangkah maju. Yuk masuk, sudah saatnya untuk makan malam..’ ajaknya mengalihkan pembicaraan.

‘Kamu masuklah dulu, San.  Aku butuh waktu sebentar untuk menyendiri,’ ucapku.  Santi memandangku sejenak kemudian menganggukkam kepalanya.  Setelah berpesan agar aku segera menyusulnya dia meninggalkanku.

Tentang Tami 7

Aku duduk mematung di atas batang pohon yang tumbang terbawa arus. Memandang ke depan.  Ke gelapnya malam yang menggelantung di atas laut yang mendesah halus.  Cepat atau lambat aku harus menemui Bara dan istrinya.  Pada saat aku siap untuk beranjak dan menuju ke rumah utama, aku melihat sesosok bayangan yang berjalan dengan cepat dan pasti ke arahku.  Aku berdiri dan menanti dengan cemas.  Aku kenal betul pemilik bayangan itu.  Seribu tahun dari sekarang pun aku masih akan tetap mengenalinya.

‘Tami…?’ bisiknya ragu.  Hanya sekejab.  Sekejab kemudian dia sudah merengkuhku ke dalam pelukannya yang erat.  Erat sekali hingga aku nyaris tidak bisa bernafas.  Dua puluh tahun yang memisahkan kami sirna sudah. Tanpa bekas. Kami kembali ke masa lalu.  Ke masa dimana pelukan Bara mampu menghilangkan semua ketakutan di dalam diriku. Tidak ada kata-kata yang terucap, takut kalau kata-kata justru akan membuyarkan momen yang indah ini.  Lama kami berada dalam keadaan seperti itu.  Hingga sebutir air mata Bara bergulir menimpa pipiku.  Aku tersadar dan melepaskan diri dari pelukan Bara, mengambil jarak, namun masih tetap menggenggam kedua tangannya.

‘Aku tidak menyangka  kita bisa bertemu lagi, Bar,’ kataku dengan susah payah sambil menghapus air mata dari pipinya.

‘Mereka semua membohongiku, Tam,’ ucapnya serak.  ‘Mereka membohongiku.  Membohongiku,’ ucapnya berkali-kali.

‘Siapa yang membohongimu?’ tanyaku bingung.

‘Semuanya … Ayahmu, ibumu. kakakmu Tommy dan istrinya, Oki.  Kira-kira dua bulan setelah keberangkatanmu ke Amerika, mereka bilang kalau pengobatanmu gagal.  Mereka bilang kalau kamu sudah meninggal.’

‘Mungkin kamu salah mengerti ..’

‘Tidak, Tam,’ sanggah Bara.  ‘Itu yang mereka katakan.  Aku tidak percaya ketika mereka bilang kalau kamu sudah meninggal.  Aku masih merasakan keberadaanmu.  Aku masih merasakan detak jantungmu.  Tapi mereka terus meyakinkanku.  Mereka bahkan mengadakan tahlilan dan peringatan 40 harimu dengan mengundang anak-anak panti asuhan.  Mengapa kamu tidak berusaha untuk menghubungiku, Tam?’

‘Pengobatanku sangat berat, Bar.’ kataku.  ‘Mempertahankan hidupku saja sulit.  Aku tidak punya daya untuk memikirkan hal lainnya.  Aku tidak tahu mengapa mereka membohongimu.  Tapi aku yakin mereka melakukan itu karena mereka menyayangimu, Bar.  Kalau aku di posisi mereka, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama.  Aku pasti tidak akan rela melihat kamu menyia-nyiakan hidupmu, menungguku tanpa ada kepastian.  Sekarang lihatlah, kamu punya Maya dan Tommy.  Oh ya, aku ketemu Tommy di atas feri, dia benar-benar mirip kamu.’

Wajah Bara yang tadinya tegang seketika menjadi santai mendengar nama anaknya kusebut.  Dia berusaha untuk tersenyum.

‘Untuk beberapa bulan setelah kepergianmu, aku depresi berat.  Aku sangat menderita.  Aku gila, Tam.   Aku masih merasakan kehadiranmu.    Satu-satunya jalan untuk mengabaikan kehadiranmu hanya belajar dan belajar.  Kuliah kukebut dan aku lulus dengan predikat mahasiswa terbaik.  Aku tidak bahagia, Tam.  Aku juga tidak bahagia ketika mendapat beasiswa penuh tanpa ikatan ke Bloomington.  Untung disana aku ketemu Maya.  Dia yang menyelamatkan hidupku.  Dia yang mengajariku untuk tersenyum lagi dan menunjukkan kepadaku kalau hidup ini masih layak untuk dinikmati,’ tutur Bara.  Untuk pertama kalinya, dalam hatiku, aku berterimakasih kepada Maya yang pantang putus asa dalam mencintai Bara.

‘Kamu cinta Maya, Bar?’ tanyaku terlepas begitu saja.  Tidak pada tempatnya bagiku untuk menanyakan hal itu. Aku sama sekali tidak berhak untuk menanyakannya.  Bara tersenyum.

‘Awalnya tidak, Tam,’ akunya. ‘Hatiku terlampau hampa untuk mencinta.  Tapi aku tahu Maya wanita baik, wanita yang sangat baik.  Aku tahu dia mencintaiku tanpa syarat.  Mencintai aku yang sudah remuk dan tidak lagi memiliki hati. Aku tahu aku tidak akan menemukan wanita sebaik dia.  Setelah selesai kuliah, terdorong naluriku yang kuat kulamar dia untuk jadi istriku.  Aku tidak tahu kapan aku mulai mencintainya.  Yang jelas sejak bersamanya, memikirkanmu tidak lagi menyesakkan dadaku.  Kamu menjadi kenangan yang indah, sementara Maya adalah cintaku yang nyata,’ lanjut Bara sepenuh hati.  Kupeluk dia kembali dan kudaratkan kecupan di pipi kiri dan kanannya untuk menghapus segala kepedihan yang pernah dia derita gara-gara kepergianku.

‘Aku bahagia untukmu, Bar. Benar-benar bahagia untuk kamu, Maya dan Tommy.  Maafkan aku bila aku pernah menjadi sumber penderitaanmu.’

‘Bagaimana dengan dirimu, Tam?  Apakah kamu bahagia?’ tanya Bara konsern.  Bahagiakah aku?

‘Aku tidak tahu, Bar,’ sahutku jujur.  ‘Umurku 38 tahun.  Masih hidup.  Sehat. Punya usaha disain perhiasan sendiri.  Punya rumah yang baru lunas kalau umurku 55 tahun nanti.  Punya teman setia yang bernama Clay, yang kata Santi tidak berani melamarku karena takut aku akan lari terbirit-birit meninggalkannya… Mungkin kalau disimpulkan, ya aku cukup bahagia,’  Bara tersenyum mendengar penuturan singkatku yang sudah mencakup semua yang ingin dia ketahui.

‘Apakah kamu mencintai Clay?’ tanya Bara diluar dugaan.  Kalau aku boleh menanyakan apakah dia mencintai Maya, tentunya dia pun boleh menanyakan hal yang sama kepadaku.

‘Mungkin seperti kamu, Bar, aku agak lamban untuk menyadarinya,’ sahutku.  Clay masih dokter intern ketika aku mulai menjalani pengobatan.  Dokter termuda di dalam tim dokter yang menanganiku, sehingga lebih mudah bagiku untuk berkomunikasi dengannya ketimbang dengan dokter-dokter lainnya.  Setelah aku sembuh pun, Clay selalu berada di dekatku.  Dia yang membantuku untuk kembali kuliah. Membantuku mendirikan usaha sendiri setelah kuliahku selesai.   Ketika rumah di sebelah rumah Clay dijual,  Clay yang mendorongku untuk membelinya.  Jadi secara fisik kami memang dekat.  Sementara secara perasaan, aku tidak pernah menganalisanya.

‘Sebaiknya kita masuk ke rumah, Bar.  Pertunjukan Megan pasti sudah dimulai dan aku ingin ketemu Maya,’ ajakku mengalihkan pembicaraan.  Bara setuju.   Berdua kami mulai melangkah menuju ke rumah utama.  Lengan kanan Bara memeluk pundakku. Kebiasaan lama… berjaga kalau-kalau aku mendadak pingsan selagi berjalan.  Aku menoleh ke arahnya dan tersenyum.

‘Aku sudah sehat sekarang, Bar.  Kamu tidak perlu menjagaku lagi,’ bisikku.  Dia tertawa pelan, tapi tetap memelukku.  Dia masih juga memelukku ketika kami memasuki ruang keluarga yang luasnya hampir seluas Balairung, kampus Bulaksumur.  Kutebarkan pandangku keseluruh ruangan.  Megan sudah siap dengan harpanya dan sebagian besar  tamu sudah duduk manis membentuk setengah lingkaran di depannya. Beberapa masih berdiri di dekat meja makan.  Megan yang pertama menyadari kehadiran kami.

‘Tante Tami, mau mengiringiku dengan piano?’ Megan menawarkan ke arahku.  Semua   menoleh ke arah kami.  Termasuk seorang wanita cantik yang berdiri di  samping Santi di dekat meja makan, yang memandangku dengan pandangan yang sulit untuk diartikan.  Inilah Maya.  Istri Bara dan bunda Tommy.  Aku tersenyum ke arahnya.  Melalui senyumku ingin kusampaikan terima kasihku karena telah menyelamatkan Bara.

‘Tidak malam ini, Meg,’ ucapku ke arah Megan sambil melepaskan diri dari pelukan Bara dan menghampiri Maya.  Bara berjalan tepat di belakangku.  Belum sempat Bara memperkenalkan aku dengan Maya.  Aku sudah memeluk Maya dan mencium pipi kirinya.

‘Bunda, ini Tami,’ kata Bara. ‘Tam, ini Maya istriku.’

‘Aku tahu!!’  Aku dan Maya menyahut serentak.  Dengan sahutan itu, kekakuan di antara kami pun mencair.  Hilang tanpa bekas.

‘Kukira kalian sudah berada di atas feri dan melarikan diri berdua,’ seloroh Maya.

‘Rencananya seperti itu,’ sahut Bara.  ‘Ternyata Tami lebih senang melarikan diri dengan orang lain’

‘Makasih, Tam,’ sahut Maya.  ‘Wah, aku harus lebih waspada sekarang.  Sebagai hantu saja, Tami sudah saingan berat, apalagi segar bugar kayak remaja gini,’ lanjutnya ringan.  Baru saja aku mau membalas ucapan Maya, Megan sudah mulai memainkan jari-jari lentiknya.  Aku bergegas mencari tempat duduk yang kosong.  Kulihat sofa satu dudukan di bawah lukisan Thomas Kinkade.  Aku menuju ke sana.  Dengan sudut mataku, aku melihat Bara dan Maya mengambil tempat duduk berdampingan, agak jauh dari tempatku.  Sebelum larut dalam permainan Megan aku panjatkan syukur  kepada Tuhan karena telah menyatukan Bara dan Maya.  Mereka berdua adalah pasangan yang sangat serasi.

Ketika Megan mulai memainkan komposisi kedua, tiba-tiba ada yang duduk di lengan sofaku.  Aku menoleh dan mendongakkan wajahku.  Clay mengembangkan senyum manisnya.  Belum pernah aku segembira ini melihat kehadirannya.  Aku bergeser dan mempersilahkan dia untuk berbagi sofa denganku.

‘Kukira kamu tidak datang, Clay,’ bisikku.

‘Dan membiarkanmu menemui mantan pacarmu seorang diri? Not a chance,’ jawab Clay tepat di telingaku. Aku tersenyum dan otomatis menoleh ke arah Bara dan Maya yang ternyata sedang memandang ke arah kami.  ‘Clay’ kuucapkan nama Clay tanpa suara ke arah Bara dan Maya.   Bara menganggukkan kepalanya sambil mengacungkan jempol tangan kanannya seakan memberikan persetujuannya.  Aku bernafas lega.  Kusandarkan kepalaku ke dada Clay.  Kutemukan kedamaian disana.

‘Pertemuanku dengan Bara adalah sebuah encore, Clay.  Tembang terakhir sebelum pertunjukan usai.  Mulai sekarang, hanya ada kita berdua.  Tidak ada lagi hantu masa lalu yang berkeliaran di antara kita,’ janjiku.

Austin, February 2014

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Have a Romantic Valentine, Friend…

 

Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Keempat)

ribuanmi4

Cerita Sebelumnya:

Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika.  Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.  

Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.  

Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat.  Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan.  Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.

Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak.  David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya.  Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja.  David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota lain

Taksi yang kutumpangi berjalan menyusur pantai meninggalkan keramaian kota Jacksonville.  Pantai yang gersang tanpa pepohonan.   Pasirnya berwarna putih kusam.  Tidak ada yang menarik.  Pantai ini kalah jauh dari pantai-pantai di Indonesia.  Sekitar dua jam kemudian kami memasuki kota kecil Daytona.   Ada sebaris pohon palem yang hampir meranggas di pusat kota.  Walaupun demikian Daytona mempunyai karisma tersendiri.  Suasana liburan serta merta terasa. Di mana-mana kelihatan orang berjalan kaki dengan riang.  Mobil yang lalu lalang bisa di hitung dengan jari.  Tak seorang pun bepenampilan murung, kecuali aku mungkin.

Sesudah agak lama berputar-putar di pusat kota, supir taksi membelokkan mobilnya ke kiri ke arah pantai. Suasanan pantai lebih menunjukkan suasana santai. Penuh dengan manusia yang sedang berenang dan sekedar berjemur di bawah terik matahari. Kemudian taksiku memasuki halaman sebuah hotel yang nampak begitu indah.  Sebuah hotel butik yang ditujukan untuk penyewa jangka panjang dengan pelayanan lengkap, termasuk tiga kali makan.

Seorang room boy mengantarku ke kamar yang kupesan dari airport.  Sebuah kamar yang luas dan  terpisah dari bangunan induk hotel.  Berderet dengan tiga kamar lainnya dan menghadap ke pantai.   Sepanjang siang aku mengurung diri di kamar.   Aku mersasa benar-benar sendirian kini.  Setiap orang saling memiliki. Aku tidak.  Mama memiliki adik-adikku dan Oom No.  David memiliki Papa.  Papa memiliki David.  Tetapi aku?  Tak seorang pun yang kumiliki kini.  Tidak ada seorang pun yang mempedulikan apakah aku masih hidup atau sudah mati.  Mama pasti mengira aku masih bersama Papa.  Papa dan David pasti juga mengira kalau aku sudah kembali ke Mama dan mereka tidak peduli apakah aku benar-benar sudah pulang atau belum.  Aku bukan Stanton lagi.  Tak ada lagi hubungan antara diriku dengan Stanton.  Oh tragisnya hidup ini.   Tapi aku sudah memilih untuk menjalani  hidup yang tragis ini.

ribuanmi4

Pukul tujuh, bel panggilan makan malam berdering.  Aku tidak lapar tetapi bangkit juga dari tempat tidur.  Kulihat diriku di dalam cermin.  Mataku sangat merah dan mataku sembab oleh bekas air mata. Kubasuh mukaku dulu sebelum keluar dari kamar.  Waktu keluar dari kamar, penghuni kamar sebelah kiriku  juga keluar. Seorang gadis yang sangat cantik dengan perawakan yang begitu semampai.

‘Hello!’  sapanya ramah sambil menutup pintu kamarnya.

‘Hai,’   jawabku gugup.

‘Kamu penghuni kamar ini?’ tanyanya.  Kuanggukkan kepalaku.  ‘Sudah lama aku ingin punya tetangga dan baru sekarang kesampaian. Namaku Michelle,’ lanjut gadis itu memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya hangat.

‘Aku Lucy.  Kamu sendirian saja?’  tanyaku sambil kujabat tangannya. Dia mengangguk.

‘Kamu  mau makan malam ‘kan?  Kita bisa duduk semeja,’  usul  Michelle. Aku merasa sedikit terhibur.  Makan sendirian benar-benar tidak nyaman terutama di tempat yang ramai seperti ruang makan di hotel ini.

Kami duduk di teras ruang makan yang menghadap  ke laut lepas. Hembusan angin sore yang hangat kental beraroma garam.   Michelle mulai menceritakan tentang dirinya. Dia seorang peragawati yang berasal dari Boston dan pada musim panas bekerja pada sebuah rumah mode di Daytona.

‘Kamu tinggal di hotel ini sepanjang musim panas?’  tanyaku.

‘Ya.  Itu perjanjianku dengan boss.  Aku tidak mau tinggal di apartemen, membereskan tempat tidur dan mengurusi hal-hal domestik lainnya,” jawab Michelle sambil tertawa.  Aku menyadari gadis di depanku ini begitu banyak tawanya. ‘ Nah, itu waiter kita, Les,…’ ucap Michele sambil menunjuk pada seorang pemuda yang berjalan ke arah kami.

‘Selamat malam, Michelle!’ tegur waiter itu.

‘Malam, Les.  Ada orang baru yang duduk di meja ini.  Kamarnya di sebelah kanan kamarku.  Lucy, kenalkan, Les,’ Michele memperkenalkan kami berdua.

‘Hallo,’  sapaku.

‘Senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Les sambil tersenyum.   ‘Sekarang apa yang dapat kuambilkan untuk kalian?’ lanjutnya.

‘Seperti biasanya. Dan Lucy, apa yang kamu inginkan?’ tanya Michelle. ‘ Tidak banyak yang dapat kamu pilih di sini,’ sambung Michele berbisik tapi cukup keras untuk didengar Les. Les tersenyum tapi tidak membantah kata-kata Michelle.

‘Apa yang istimewa untuk hari ini?’ tanyaku.

‘Idaho red angus dilumuri mint lalu ditaburi suwiran lobster dan tumis sayuran dan dilengkapi dengan kentang mini kukus,’

‘Itu yang istimewanya apalagi yang biasa,’ komentar Michele diiringi tawanya yang khas.

‘Kamu membuat nafsu makan Lucy hilang,’ Les memperingatkan.

‘Oke, kuambil yang istimewannya tapi tanpa lobster,’ jawabku.   Les tersenyum senang dan segera berlalu.  Sesudah makan malam Michelle mengeluarkan rokoknya.

‘Rokok?’ Michelle menawarkan.

‘Terima kasih.  Aku tidak merokok,’ jawabku. Michelle menyulut sebatang untuknya.  Sisanya di letakkan di atas meja dan di putar-putarkan beberapa kali.

‘Lucy, kamu mempunyai darah Amerika Latin? Mexico atau Cuba?’  tanya Michele tiba-tiba. Kugelengkan kepalaku.

‘Amerika Asli?’ tanyanya tak percaya.

‘Juga bukan. Aku orang Indonesia.’

‘Indonesia?’ ulang Michele untuk meyakinkan.  ‘Sangat jauh dari sini.  Kamu datang ke sini sendirian? Berapa umurmu?’ tanya Michele dengan cepatnya. Aku tertawa mendengar kecepatan bicaranya itu.

‘Sembilan belas dan akan menjadi dua puluh tahun pada musim gugur,’

‘Sembilan belas? Ah, kamu pasti bercanda. Enam belas kukira lebih tepat,’ olok Michelle.

‘Mau lihat pasporku?’ gurauku.

‘Tidak . . . tidak,’ jawab Michelle sambil tertawa.  Kemudian kami bercakap-cakap ringan.  Tentang mode,  tentang remaja,  tentang pantai dan penjaga pantainya.  Selama bercerita itu Michele merokok terus menerus.  Aku heran mengapa giginya masih tetap putih dan bibirnya tidak rusak oleh tembakau.

Lifeguard . . .,” keluh Michele tentang penjaga pantai , ‘mereka benar-benar hebat tetapi juga bajingan’ lanjutnya.

‘Mengapa demikian?’ tanyaku antusias.

‘Kamu akan melihatnya sendiri,’ kilah Michele.  ‘Mereka akan duduk di kursi mereka yang tinggi, begitu gagah dan begitu tampan.  Bertelanjang dada dan berkacamata gekap pura-pura mengawasi keamanan pantai. Padahal yang sesungguhnya mereka awasi adalah gadis-gadis berbikini. Karena kaca mata hitam yang mereka kenakan,  mata mereka bisa bebas berkelana ke sana ke mari,’ Aku terkesima mendengar cerita Michelle bak dengan begitu gadis kecil mendengar dongeng ibunya sebelum tidur.

”Tapi anehnya,’ lanjut Michelle, ‘w alaupun semua orang tahu kalau mereka itu petualang, masih juga mereka dipuja-puja. Dimana pun mereka berada, gadis-gadis cantik akan mengerumuni bahkan mau bermain cinta dengan mereka.’

‘Ah, ‘ cetusku tidak sadar.

‘Jangan heran, Lucy.  Bahkan kalau ada kesempatan mau rasanya aku bercinta dengan mereka.’

‘Kamu mau?’

‘Yah.  Mereka begitu tampan dan gagah. Begitu muda dan crunchy . Sebelum aku terikat dengan perkawinan nanti,  aku mau bermain dengan mereka dulu,’ kata Michelle bermimpi.  ‘Kamu harus hati-hati terhadap mereka.  Mereka jago merayu.  Tanpa kamu sadari kamu sudah masuk dalam perangkap mereka. Dan kalau mereka sudah mendapatkannya, finish.

‘Selalu begitu?’

‘Selalu.  Siang hari  kamu berkenalan dengan salah satu dari mereka.  Sedikit rayuan gombal, malam harinya kamu sudah ada dalam pelukannya. . . Kamu akan membawa kesan itu seumur hidupmu sedang si dia sudah lupa keesokan harinya dan siap dengan gadis yang lain,”

‘Sekejam itu?’

‘Mereka tidak kejam, Lucy. Kalau gadisnya mau, mau di bilang apa?  Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini. Dan biasanya yang senang itu justru si gadis. Kalau gadisnya cerdas, dia akan cari lifeguard yang lain.  Mereka benar-benar memikat,”

‘Apakah semua lifeguard demikian?’

‘Wah, tentang hal itu aku tidak tahu.  Tapi kebanyakan, Lucy. Kebanyakan.  Dari pengamatanku yang selalu tinggal disini setiap musim panas, kebanyakan dari mereka ya seperti itu.   Kalau kamu tidak ingin jadi korban, jangan dekati mereka.  Mereka tidak akan mendekatimu bila kamu tidak menunjukkan minat.  Itu salah satu yang kukagumi dari mereka.  Kalau kamu ingin selamat, hindarilah mereka,” nasehat Michele.

‘Engkau membuatku takut pada mereka,’  kataku jujur.

‘He, jangan!!’ teriak Michele.  ‘Mereka tidak apa-apa jika, . . . seperti kataku tadi, engkau tak ada minat terhadap mereka.  Mereka dapat menjadi teman yang baik. Engkau dapat saja bergaul dengan mereka tanpa harus berpacaran,’  jawab Michele blak-blakan.

ribuanmi4

Itulah awal perjumpaanku dengan Michelle.  Aku bersyukur dapat berjumpa dengan gadis seperti dia.  Dengan dia rasa asingku terhadap sekeliling bisa menghilang begitu saja.  Setiap sore sehabis pulang dari kerja, Michelle selalu menemaniku berjalan-jalan sepanjang pantai.  Atau kadang-kadang kami pergi ke kota nonton atau makan di tempat-tempat yang baru.  Sembilan tahun yang membedakan umur kami tidak lagi terasa.  Dengan dia aku dapat berbincang bebas. Dengan dia aku bisa tertawa lepas.  Michelle juga menjanjikan sebuah pekerjaan untukku.  Tapi untuk satu bulan pertama ini aku ingin rileks.  Aku ingin menikmati liburan.  Sesudah itu aku akan mulai memikirkan masa depanku.

‘Kamu benar-benar tidak mau ikut, Lucy?’  tanya Michelle sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.  Sebentar lagi dia akan pergi ke Orlando dalam suatu pegelaran mode selama seminggu.

‘Lucy?’  tanya Michelle lagi.  Rupanya dia tidak melihat aku sudah menggeleng tadi.

‘Tidak, aku cuma akan merepotkanmu saja. Lagipula kamu pasti akan sibuk terus jadi tak ada waktu untuk jalan-jalan. Kamu pun pasti tidak mau mengajakku ke Disney World,’ jawabku. Michele tertawa renyah mendengar jawabanku.

‘Dengar, aku berjanji suatu saat akan mengajakmu ke sana. Oke?’  sahut Michelle.

‘Lucy, aku benar-benar tidak tega meninggalkanmu seorang diri di sini,’ ucap Michelle setelah terdiam beberapa saat.

‘Kamu pikir aku bakal mati bila kamu tinggal?’

‘Mati sih, enggak.  Kalau setengah mati  mungkin,’ ganggu Michelle. ‘Baik-baiklah menjaga diri.  Aku akan selalu menelponmu,’ lanjut Michelle seperti seorang kakak kepada adiknya.

‘Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Chelle.  Mungkin aku akan mencoba memacari lifeguard selagi kamu pergi’ gurauku.

Sure,’ cibir Michelle menantang.  ‘Apa yang kamu inginkan sebagai oleh-oleh?’ lanjutnya.  Aku menggeleng.

‘Tidak ada?’ tanya Michelle.

‘Kamu kembali dengan selamat saja aku sudah senang,’

‘Jangan ngamuk bila aku benar-benar tidak bawa oleh-oleh?’  pesan Michele sebelum pergi.

Kepergian Michelle ternyata berakibat juga pada diriku.  Aku benar-benar merasa kesepian.  Mau jalan-jalan malas karena tidak ada teman.  Mau mengurung diri di kamar juga tidak enak.  Akhirnya aku cuma duduk di pagar beton di depan kamarku sambil memandang laut dan melamun. Kalau sudah begini aku kembali teringat akan nasibku dan membuatku ingin menangis.  Maka pada hari ketiga kuputuskan diriku untuk berenang sendiri di pantai.

Pakaian renangku sudah siap kupakai, jadi nanti tinggal melepas pakaian luarku saja sebelum berenang.  Aku berjalan menyusur pantai mencari tempat yang agak lapang, tetapi rasanya semua tempat penuh dengan manusia. Aku berjalan terus dan berjalan hingga kudapatkan tempat yang benar-benar sepi.

Kuletakkan tas yang kubawa di pasir dan sebelum melepas pakaian aku berjalan dulu ke dalam air untuk melihat keadaan. Air laut itu begitu segar kontras dengan panasnya udara.

‘Hei, Miss!’  tiba-tiba kudengar sebuah panggilan.  Secara refleks aku menoleh.   Wow, seorang lifeguard.  Persis seperti yang digambarkan Michelle, tampan dan gagah.  Mau apa dia?

‘Memanggilku?’ tanyaku bodoh.

‘Ya.  Sudah berkali-kali kamu kupanggil,  bahkan aku sudah meniup peluit segala, tapi rupanya kamu tidak mendengar,’  jawab sang lifeguard sambil melepas kaca mata hitamnya.  Matanya benar-benar biru, sebiru laut Atlantik kala itu.

‘Memanggilku untuk apa?’  aku bertanya.  Dia mengembangkan sebuah senyum yang sangat menawan.  Pantas mereka begitu di puja-puja.  Gumam hatiku.

‘Kamu melihat buoys  itu?’ tanyanya sambil menunjuk bola-bola karet berwarna jingga yang mengapung di atas air.

‘Ya,’  jawabku bingung.

‘Itu adalah batas daerah yang boleh di gunakan untuk berenang.  Dari sini ke sana adalah daerah terlarang,’  dia menjelaskan dengan sabar. Ouch, alangkah tololnya aku. Mengapa aku tidak melihatnya tadi? Mengapa aku tidak curiga menjumpai daerah yang begini sepi sedang tak jauh dari sini berlimpah ruah manusianya?

Dengan cepat aku beranjak menuju ke tas yang tadi aku tinggalkan, memungutnya dan berlari menuju hotel, Lifeguard tadi masih berdiri di tempatnya ketika aku pergi. Aku begitu malu. Pasti dia menertawakanku dan akan diceritakannya kepada teman-teman sesama lifeguard tentang ketololan yang baru saja kubuat dan mereka akan tertawa bersama.

Sesampai di hotel aku segera mengunci diri di kamar, untung tidak lama kemudian Michelle menelponku sehingga aku bisa sedikit melupakan peristiwa tadi. Tentu saja peristiwa itu tidak kuceritakan kepada Michele.  Bila kuceritakan kepadanya, tentu dia akan tertawa terpingkal-pingkal.

Keesokan harinya aku masih tidak berani keluar, apalagi ke pantai. Lifeguard itu pasti berada di sana dan tentu teman-temannya pun begitu antusias untuk melihat si gadis tolol.  Maka sepanjang siang aku berada di kamar dan nonton drama serial di televisi.  Sesudah dua hari mengurung diri, akhirnya aku bosan juga, maka kulangkahkan kakiku untuk menuju ke pusat kota.  Berjalan-jalan di kompleks pertokoan membuatku teringat pada Irene.  Aku pernah berjalan-jalan di Louisville Mall bersama Irene dan membeli  ransel untuk Adit.

Tiba-tiba aku sadar kalau sudah lama aku tidak berkabar kepada Mama. Aku sadar bahwa aku seharusnya mengirim ransel untuk Adit dan dan sesuatu untuk Anto  dan Yani.  Aku sadar aku telah melalaikan kewajibanku.  Aku akan mekukan hal itu sekarang juga selagi aku masih ingat.

Dengan gaya seorang ahli seperti Irene, aku mulai berbelanja.  Pertama kali, kubeli ransel untuk Adit, karena ranselnya sudah kupakai kemudian sebuah iPod Nanountuk Anto dan Barbie untuk Yani. Sebelum semuanya itu kubungkus dengan rapi, kuselipkan selembar kertas yang kutulisi sedikit kabar tentang Mbak Lucy mereka (kabar bohong tentunya).  Tapi itu sudah cukup untuk mengabarkan bahwa aku masih hidup.

Masalah yang timbul selanjutnya adalah menentukan letak kantor pos. Aku benar-benar tidak tahu, maka aku berjalan tidak tentu arah dengan harapan dapat menemukan kantor pos itu. Tetapi setelah berputar-putar lama dan tanpa petunjuk bakal menemukan kantor pos itu, maka kuberanikan diriku untuk bertanya kepada seorang wanita tua yang sedang berhenti di tepi jalan.

‘Maaf, anak muda, aku sendiri sorang pelancong,’ jawabnya.  Aku hampir putus asa ketika tiba-tiba saja dia datang.  Dia, si lifeguard yang telah melarangku berenang tempo hari.  Sial, mengapa aku harus bertemu lagi dengannya?

‘Ada kesulitan?’ tegurnya ramah sambil tersenyum.

‘Tidak,’  jawabku cepat.

‘Dia ingin tahu letak kantor pos.  Bisakah kamu menolongnya?’  wanita tua itu berkata tanpa kuminta.  Aku kaget, tak menyangka dia akan berkata seperti itu. Si lifeguard sekarang tahu kalau aku telah membohonginya.  Tetapi dia justru  tersenyum lebar.

‘Mari kutunjukkan,’  katanya.

‘Engkau tidak harus mengantarku.  Cukup kau beritahu dimana,’ cegahku.

‘Aku tidak akan menawarkan diri kalau tidak kebetulan saja harus berjalan ke arah yang sama. Aku harus pergi ke rumah temanku dan melewati kantor pos,’ jawabnya.   Sesudah mengucapkan terima kasih kepada wanita tua itu, aku dan si lifeguard berjalan bersama menuju kantor pos. Selama perjalanan itu kami saling berdiam diri.

‘Itu kantor posnya,’ serunya dari seberang kantor pos, setelah kami berjalan bersama hampir selama sepuluh menit.

‘Terima kasih,’ ucapku dan berniat untuk meninggalkannya.

‘Sebentar,  kuantar kamu ke sana,” katanya menawarkan diri.  Aku tidak bisa menolaknya karena dia telah berjalan di sampingku menyeberangi jalan.

Ternyata bungkusan yang akan kukirim ke Indonesia di tolak karena bungkusnya kurang tebal.  Barang itu harus kumasukkan ke dalam karton tebal dan di beri celotape yang kuat. Aku bingung darimana bisa mendapatkan kotak tebal.

‘Kawanku memiliki toko kecil di depan sana, aku yakin dia punya kotak seperti yang kamu butuhkan,’  si lifeguard menyelami kebingunganku. Letak toko temannya satu blok dari kantor pos.  Sebuah toko kecil yang menjual barang-barang souvenir khas Florida.

Seorang gadis berambut keriting pirang sedang memeriksa perhiasan dagangannya ketika kami masuk. Dia tak menyadari kehadiran kami dan masih tetap menunduk. Si lifeguard menekan bel.  Bunyinya benar-benar nyaring. Si gadis kaget dan menoleh ke arah kami.

‘Mark!!’ teriaknya riang. ‘Angin apa yang telah membawamu kemari?’  tanyanya sambil mengawasi si lifeguard yang ternyata bernama Mark. Tiba-tiba dia tertegun waktu menatapku.

‘Dona, kenalkan temanku, Lucy.   Lucy . . . Donna.’ Mark memperkenalkan kami.  Sejenak aku terpana.  Dari mana dia bisa tahu namaku?  Dan dia memperkenalkan aku senbagai temannya?  Fuih sejak kapan pula itu?  Tetapi aku tidak bisa terlalu lama keheranan karena Donna sudah menyapaku.

‘Hai,’  balasku.

‘Ada sesuatu yang dapat kubantu, Mark?’  tanya Donna.

‘Ya. Lucy membutuhkan sebuah kotak untuk mengirim barang lewat pos.  Kamu mempunyainya kan?’

‘Kotak? Kotak macam ini?’  tanya Dona sambil memperlihatkan sebuah kotak berukuran sedang.

‘Ya,’ seruku gembira.

Donna memberikan kotak itu kepadaku dilengkapi pula dengan celotape.  Sementara aku sibuk dengan pekerjaanku, Dona dan Mark asyik mengobrol.  Aku tidak tahu apa yang mereka percakapkan.  Tetapi sebentar-sebentar kudengar derai tawa mereka.  Mudah-mudahan saja mereka tidak sedang mendiskusikan diriku.

Setelah selesai membungkus barang-barangku dan mencantumkan alamat, aku berpamitan kepada Donna dan Mark.  Namun Mark tidak mengijinkan aku pergi ke kantor pos sendiri, dia takut aku tersesat.  Maka kami berjalan beriringan lagi  menuju ke kantor pos.

‘Mark, bagaimana kamu bisa tahu kalau namaku Lucy?’ kutanya dia dalam perjalanan. Mark tersenyum misterius sambil menggoyang-goyangkan kotakku yang dibawanya.

‘Orang sepertimu sangat pantas untuk mempunyai nama Lucy.’

‘Enggak lucu.’

‘Tapi benar kan namamu memang Lucy?’ tanyanya.  Kudiamkan saja pertanyaan itu karena kami sudah masuk ke kantor pos.

‘Terima kasih atas bantuanmu, Mark,’  ucapku sekeluar dari kantor pos. Kemudian aku berjalan meninggalkannya. Baru saja aku berjalan tiga langkah, dia memanggilku.

‘Kamu mau kemana?’  tanyanya.

‘Pulang ke hotel,’

‘Kalau begitu kita dapat jalan bareng,” katanya sambil menyusulku.

‘Bukankah kamu harus pergi ke rumah temanmu?’ tanyaku heran.  Mark tersenyum seakan dia tahu kalau senyumannya sangat menawan.

‘Aku sudah pergi ke sana tadi. Ingat Dona?  Nah, dia itu temanku. Kita sudah pergi ke sana tadi,” jawab Mark seenaknya.  Kutatap dia penuh kedongkolan.  Aku tahu dia tadi sama sekali tidak berniat pergi ke toko Donna. Dia pergi ke sana karena aku butuh kotak.

‘Hei, jangan marah dulu. Kalau tadi kukatakan aku hanya ingin mengantarmu, tentu kamu tidak akan mau, benar kan?’

‘Benar,’  jawabku singkat.  Kudengar Mark tertawa ringan. Sebenarnya apa sih maunya pemuda ini?

‘Mengapa kamu begitu ketakutan bila melihatku, Lucy?’  tanya Mark setelah kami terdiam beberapa saat.  Aku kaget dan menatapnya lama.  Bertemu saja baru dua kali ini bagaimana mungkin dia tahu kalau aku takut terhadapnya.

‘Kamu pantas untuk dicurigai,’  jawabku ngawur.

‘Dicurigai untuk apa?’  tanyanya penasaran.

‘Dicurigai sebagai orang jahat.  Kalau kamu orang baik-baik kamu pasti ngaku dari mana bisa tahu namaku,’ serangku.

‘Jadi kamu masih penasaran?’  sahut Mark sambil tertawa.  ‘Aku pernah dengar kakakmu memanggilmu Lucy,’ akhirnya Mark mengaku. Walau pengakuannya justru makin membingungkanku.

‘Kakakku? Kakakku yang mana?’

‘Gadis pirang yang sering jalan-jalan bersamamu di pantai.’

‘Oh,Michelle maksudmu?  Dia bukan kakakku.’

‘Bukan kakakkmu?’

‘Bukan. Dia penghuni kamar sebelah.’

‘Tapi kalian berdua mirip dan sangat akrab,’  Mark tidak puas.

‘Dari mana kamu tahu kalau kami akrab?’

‘Aku sering melihat kalian berdua di pantai, di kota, di restoran Cina di depan Daytona Fashion Center,’ jawab Mark. Aku begitu terpana karena tempat-tempat yang baru saja disebutkannya memang tempat-tempat yang paling sering kukunjungi bersama Michele.

‘Bagaimana kamu bisa tahu? Aku belum pernah melihatmu disana?’  tanyaku keheranan.

‘Aku bisa tahu karena aku mengawasimu dan kamu tidak melihatku karena memang aku tidak ingin dilihat, jelas?’  tanyanya. Kutatap dia lama sebelum menjawab.

‘Kamu benar-benar pantas untuk dicurigai.  Untuk apa  kamu pakai mengawasi segala?’

‘Karena aku pengawas pantai,’ jawab Mark seenak perutnya. Aku benar-benar dongkol dan kupercepat langkahku untuk meninggalkannya. Mark juga mempercepat langkahnya hingga bisa mengiringi jalanku.

‘Marah?’ tanya Mark.

‘Ya,’

‘Oh, Lucy, aku tidak bermaksud buruk. Aku sendiri tidak sadar mengapa aku begitu suka memperhatikanmu. Mungkin karena . . .’ Mark tidak meneruskan kalimatnya.

‘Karena apa?’

‘Tidak. Kamu akan lebih marah bila kuteruskan.’

‘Teruskanlah.’

‘Oke, kamu yang meminta. Mungkin karena dorongan hati. Waktu aku melihatmu untuk yang pertama kali, hatiku membisikkan bahwa inilah gadis yang bakal menjadi istriku,’ jawab Mark kalem.  Aku kaget setengah mati.  Untung aku cepat teringat kata-kata Michelle sebelum keburu besar kepala, ‘Mereka jagoan merayu, Lucy,  tanpa kamu sadari kamu sudah masuk ke dalam perangkap mereka.” Maka aku cuma tersenyum saja mendengar kata-kata itu.

‘Kok tersenyum?’  tanya Mark. Aku cuma mengangkat bahu saja. Sesudah itu kami saling berdiam diri.

‘Untuk siapa barang-barangmu tadi? Sahabat pena?’  tanya Mark memecah kebisuan.

‘Untuk adik-adikku.’

‘Adik-adikmu? Mereka berada di Indonesia? Dengan siapa mereka pergi ke sana? Mengapa kamu tidak ikut?’ tanya Mark beruntun.

‘Mereka tidak pergi ke Indonesia. Mereka tinggal di sana sejak mereka dilahirkan.  Indonesia  rumah kami,” jawabku.  Aku senang bisa melihat wajah Mark yang kaget dan tidak percaya.

‘Jadi kamu orang Indonesia?’  tanyanya untuk meyakinkan.  Aku mengangguk pasti.  Mata Mark makin membelalak karena terkejut.

‘Dengan siapa kamu datang ke Florida?”

‘Sendiri,’ jawabku. Reaksi Mark benar-benar di luar dugaan. Dia begitu kaget hingga menghentikan langkahnya dan menatapku tidak berkedip.

‘Dengar, Lucy, jangan kau katakan kepada siapapun bahwa kamu berada di sini sendirian. Itu sangat berbahaya bagimu apalagi jika mereka tahu kamu orang asing.”

‘Mengapa?’

‘Mengapa? Karena kejahatan di musim panas seperti ini sangat meningkat, pencurian, perampokan, penodongan . . .”

‘Aku tak mempunyai barang-barang berharga,’potongku cepat.

‘Bagaimana dengan dirimu sendiri? Begitu banyak pemerkosaan yang terjadi setiap minggunya,’ sahut Mark. Aku terdiam mendengar kata-katanya. Apalagi kata-kata tersebut di ucapkan dengan serius seakan dia benar-benar ingin melindungiku.

‘Sorry, Lucy, aku tidak bermaksud menakut-nakutimu, hanya berhati-hatilah. Jangan katakan kepada siapapun bahwa kamu kemari tanpa pengawal.’

‘Aku telah mengatakannya kepadamu,’

‘Kamu dapat mempercayaiku. Aku seorang lifeguard, bertugas untuk menjaga keamanan pantai,’  jawab Mark.

‘Dan lagi, Lucy, bila berada di tempat umum jangan canggung dan takut-takut. Bersikaplah seolah-olah ada seorang yang siap untuk membelaimu,’ nasihat Mark dilanjutkan.

‘Apakah aku kelihatan canggung bila di depan umum?’ tanyaku.  Mark hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.

Mark mengantarku hingga ke depan hotel. Sebelum berpisah dia berpesan.

‘Ingat untuk mengunci pintu setiap akan keluar dan begitu masuk kamar walaupun kamu hanya berniat untuk keluar atau masuk sebentar. Jangan langsung kau bukakan pintu bila ada yang mengetuk, lihat dulu orangnya,’

‘Akan kuingat itu,’jawabku sambil tersenyum. Kalau mendengar nada suaranya dia benar-benar serius menasehati. Tapi kalau mengingat reputasi para lifeguard aku menjadi ragu.

ribuanmi4

Aku sering melihat Mark berada di pantai, tetapi terlalu jauh untuk menegurnya, apalagi dia selalu dikerubungi gadis-gadis manis. Kadang kulihat pula seakan dia mau tersenyum kepadaku, tapi aku pura-pura tak melihatnya karena di sampingku ada Michelle. Aku takut Michelle akan mengira kalau aku sudah bermain-main denga lifeguard. Tapi hari itu aku tidak bisa lagi untuk pura-pura tidak melihatnya.

Hari itu tanggal 4 Juli.  Hari kemerdekaan Amerika Serikat.  Sejak hari sebelumnya persiapan-persiapan untuk menyambut hari kemerdekaan itu sudah kentara. Toko-toko kecil sudah menghias diri dengan rumbai-rumbai berwarna biru, merah, serta putih.  Warna bendera Amerika.

Jam lima sore aku dan Michelle sudah menunggu di pagar beton di depan kamar kami bersama dengan ratusan orang lainnya yang ingin menyaksikan karnaval. Semua manusia Daytona tumplek menjadi satu di sepanjang jalan pantai.

Jam setengah enam iring-iringan karnaval itu mulai tampak.  Begitu riuh, begitu gaduh tapi tidak menyebabkan orang jengkel. Barisan pertama adalah barisan Drum Band dari SMA Daytona dengan pakaian yang gemerlapan. Beberapa majoret menari dengan lincahnya di tengah jalan. Dan mereka melangkah dengan lembut ketika ‘Star Spangled Banner’  berkumandang.  Semua orang yang duduk di pinggi jalan berdiri menghormat. Telapak tangan kanan di letakkan di dada.

Drum Band berlalu, disusul dengan sebuah truck berhias dari walikota dan staffnya, diikuti oleh departemen pemadam kebakaran. Kemudian mobil-mobil berhias dari lembaga-lembaga, yayasan-yayasan dan klub-klub lainnya. Barisan itu sangat panjangnya seakan tak akan pernah berakhir. Malam telah turun tapi tak seorangpun ingat akan makan malam yang telah dijadwalkan jamnya.

Tiba-tiba terdengar teriakan dan jeritan-jeritan histeris yang mayoritas berasal dari para gadis remaja. Ternyata mereka meneriaki sebuah truck yang akan lewat yang berisi rombongan Lifeguard.

Aku menahan nafas melihat mereka.  Semuanya gagah dan tampan dalam pakaian kebesaran mereka yang lengkap minus kacamata hitam. Mereka melambai pada gadis-gadis yang mereka lalui dan dibalas dengan teriakan-teriakan histeris.  Betapa hebat daya pikat mereka.

‘Lucy, lihatlah bajingan-bajingan itu,’ bisik Michele di telingaku.  Aku tertawa mendengar komentarnya sebab ada nada kekaguman di dalamnya. Setelah mereka agak dekat, aku melihat Mark ada di antara mereka.  Dia tersenyum dan melambaikan tangannya kearahku.  Aku tidak berani membalas lambaian tangan itu dan pura-pura tak melihatnya. Tapi malangnya rombongan itu berhenti di depan kami agak lama. Aku tidak bisa berpura-pura lagi, kubalas senyumannya.

‘Rupanya si kecil Lucy sudah mulai main-main dengan Lifeguard,’  kata Michelle pelan.  Aku kaget setengah mati.

‘Siapa?’tanyaku pura-pura tidak tahu.

‘Kamu.’

‘Aku?’  tanyaku berusaha mengelak. Michelle tertawa senang.

‘Pura-pura, hmm?’

‘Mengapa harus pura-pura? Dia tidak melambai padaku tapi  padamu,’ucapku. Tawa Michele makin menjadi tapi dia tidak menambah komentar apa-apa. Rombongan demi rombongan berlalu. Kemudian mobil-mobil pribadi berhias membuntuti di belakangnya. Hiasan mobil-mobil itu lucu-lucu, hingga segan rasanya untuk meninggalkan tempat.

‘Michele! Lucy!’  tiba-tiba terdengar panggilan untuk kami. Dan diantara mobil-mobil berhias itu tampak Les, waiter kami dan Ken, temannya yang juga waiter.

‘Ayo ikut!’ teriak les. Aku ragu tapi Michelle segera meloncat turun dan menarikku untuk mengikutinya. Tanpa kusadari aku telah berada di dalam mobil Les dan mengikuti rombongan karnaval.

‘Mau kemana kita?’  tanyaku sesudah agak sadar.

‘Putar-putar,’ jawab Les enak.  Rombongan karnaval itu ternyata berputar-putar mengelilingi setiap jalanan yang ada di Daytona kemudian kembali lagi ke pantai, dan di sana diadakan pesta kembang api dan petasan yang sangat megah.  Pesta itu berlangsung hingga pagi hari.

ribuanmi4

Ombak yang berdebur pagi ini lain dari biasanya.  Lebih keras dan lebih gemuruh.  Biasanya laut di pagi hari sangat tenang, nyaris tanpa suara.  Tapi kali ini mampu membangunkanku dari tidur yang lelap.

Dari jendela kamarku aku dapat melihat air laut yang menggelora. Air laut itu hampir mencapai jalan raya. Sebentar lagi pasti akan sampai ke pagar di depan kamarku. Awan tebal menggelantung berat di atas laut. Burung-burung camar terbang hiruk pikuk kebingungan. Kantukku begitu saja hilang melihat semuanya. Dengan cepat aku keluar kamar. Michelle ternyata sudah bangun. Dia berdiri termangu. Tangannya ditompangkan di pagar beton dan menatap ombak laut.

‘Chelle,’  panggilku. Dia menoleh dan mengisyaratkan agar aku mendekat.  Kudekati dia.

‘Ada anak tenggelam,’  bisiknya.

‘Apa?’

‘Ada anak tenggelam. Di sana!’ tunjuk Michelle ke satu arah. Di tempat yang ditunjuk kulihat ada kerumunan orang yang cukup banyak. Semuanya kelihatan panik dan memandang ke tengah laut.

‘Tidak ada yang memberi pertolongan?’ tanyaku.

‘Ada seorang Lifeguard yang masuk kedalam air tapi sampai kini belum muncul lagi.’

‘Hanya seorang?’

‘Yang lainnya masih tidur kukira. Mereka berpesta sampai pagi dan pasti mabuk-mabukkan,’ jawab Michele. Kemudian dia mengajakku untuk mendekati kerumunan tersebut.

Seorang wanita muda meratap, tentu dia ibu dari si anak yang dibawa ombak.  Beberapa orang berusaha menghiburnya, yang lainnya berharap cemas, menanti munculnya si lifeguard dan anak yang ingin di tolongnya. Hujan mulai turun dan angin berhembus dengan kencangnya. Tak seorang pun yang berniat untuk beranjak dari situ. Tidak juga Michele dan tidak pula aku. Semua ingin tahu nasib si anak dan nasib si lifeguard.

Tiba-tiba nampak sebuah kepala yang menyembul di tengah-tengah ombak.  Beberapa saat kemudian nampak sosok tubuhnya dan lebih kemudian lagi nampak tubuh bocah yang terdekap erat oleh tubuh yang lebih besar.

‘Anakku, . . . anakku,’ jerit si wanita yang tadi menangis sambil berusaha untuk berlari ke laut tapi di cegah oleh orang-orang yang mengelilinginya. Lifeguard yang masuk ke dalam laut tadi berenang mendekati pantai, melawan ombak besar yang berusaha mengembalikan dirinya ke tengah lagi. Tentu sangat sukar baginya untuk mempertahankan diri dengan seorang bocah dalam pelukannya.  Begitu tiba di tempat yang dangkal dia menghentikan renangnya.

‘Mark!’ seruku tidak sadar ketika melihat siapa yang muncul. Dia begitu gagah dalam pakaian renangnya tapi tampak sangat kelelahan. Seorang bocah yang tidak bisa di sebut kecil lagi berada dalam dukungannya. Begitu sampai di pantai dia segera berlari menuju pos PPPK tanpa mempedulikan orang-orang yang berkerumun menantinya.  Orang-orang tersebut kemudian mengikutinya menuju ke pos PPPK.  Sementara itu aku dan Michele dengan pakaian yang sudah basah kuyup berjalan pulang.

Siang harinya cuaca berubah seratus delapan puluh derajat. Langit begitu jernih tanpa secuil awan pun dan laut begitu tenang. Tak ada sisa badai dan pantai kembali dipenuhi oleh manusia.  Michelle menggerutu karena harus pergi ke rumah mode sedang hari sangat indah untuk dinikmati.

Walaupun hari sangat indah tetapi aku benar-benar ngantuk, maka siang itu kugunakan untuk tidur.  Bangun-bangun sudah jam setengah lima. Kemudian aku berjalan-jalan di sepanjang pantai. Setelah lelah berjalan aku duduk di pasir. Pantai sudah agak sepi sehingga bisa melihat tenangnya laut tanpa terhalang oleh punggung atau paha orang di depanku. Kutekuk lututku dan kudekatkan ke dada, dan menikmati angin sore yang berhembus sejuk.

Keadaan sekelilingku membuatku merenungi hidup. Tiba-tiba segumpal kerinduan terhadap ibu dan adik-adikku memenuhi dada membuatku ingin menjerit dan menangis meraung-raung.  Aku tidak menyukai kehidupan yang kutempuh saat ini. Aku benci, benci.  Aku merindukan sebuah keluarga normal. Tetapi tidak ada sebuah keluarga pun yang mau menerimaku. Keluarga Oom No? Itu bukan untukku, aku bukan keturunan Oom No. Keluarga Papa? Apalagi, papa terang-terangan telah mengusirku. Sebenarnya aku ini milik siapa? Aku ingin dimiliki dan memiliki. Ingin sekali, Tuhan tahu itu.

Tiba-tiba sepasang kaki berhenti di depanku. Kutegadahkan wajahku. Mark berdiri di sana tampak begitu tinggi.

‘Boleh aku duduk di sini?’ tanyanya.  Belum lagi sempat kujawab dia sudah menjatuhkan diri di sampingku.

‘Apa yang kamu lamunkan, Lucy?’  tanya Mark sesudah agak lama dia duduk dan kami belum membuka percakapan.

‘Tidak ada,’ jawabku bohong.  ‘Aku sedang menikmati pemandangan di depanku’

‘Dan pikiranmu dimana?’

‘Di sini,’ kataku sambil menunjuk dahi.  Mark tertawa ringan.  Alangkah senangnya aku mendengar tawa itu.  Penampilan Mark kali ini benar-benar berbeda dengan penampilannya pagi tadi.  Tadi pagi dia tampak sangat kelelahan, sedang kali ini dia seakan siap untuk berlari mengelilingi dunia.  Segar bugar.

‘Bagaimana kabar anak yang kamu tolong pagi tadi?’  tanyaku.

‘Sedikit shock.  tapi selebihnya tidak ada masalah,” jawab Mark. “Hei, dari mana kamu tahu tentang anak yang tenggelam?’  lanjut Mark keheranan.

‘Aku melihatmu,’

‘Kamu?’  tanya Mark tidak percaya.  ‘Pagi-pagi sudah bangun dan berhujan-hujan?’

‘Setiap hari aku bangun pagi,’ bantahku.

”Tapi tidak untuk hari ini.  Semalam kulihat kamu berada di pantai hingga larut,’  ucap Mark mengejutkanku.

‘Kamu melihatku?’

‘Ya.  Dengan Michelle dan dua orang pemuda,’ sahut Mark dengan nada aneh yang tidak bisa kumengerti.

‘Aku tidak melihatmu.’

‘Tentu saja tidak, kalian begitu asyik,’ olok Mark sambil tersenyum mengajuk.  Aku tertawa dan tidak memberi ulasan atas pendapatnya.

‘Mengapa dia bisa tenggelam, Mark?’  aku kembali ke masalah semula.

‘Ibunya yang cari penyakit. Sudah tahu langit begitu gelap dan ombak sangat besar, masih juga dia mengajak anaknya untuk berenang. Begitu tahu kalau anaknya menghilang baru dia teriak-teriak  meminta tolong,’  jawab Mark jengkel.

‘Tentu kamu sedang enak-enak tidur,’ tebakku.

Nope. Aku tidak bisa tidur semalam. Aku sedang jalan-jalan ketika kudengar teriakannya,’ sanggah Mark. ‘Kamu tahu mengapa aku tidak bisa tidur? Memikirkanmu, Lucy. Mengapa kamu bisa seakrab itu dengan pemuda-pemuda yang bersamamu semalam sedang denganku kamu selalu menghindar,’ lanjut Mark seenaknya.  Aku tahu dia cuma bergurau maka aku tertawa saja mendengarnya.

‘Sekarang aku bersamamu,’ sahutku masih dengan tawa. Mark juga tertawa. Seorang lifeguard lain lewat di depan kami dengan seorang gadis di lengannya. Dia menyapa Mark. Pasti gadis itu baru saja di kenalnya, pikirku.

‘Lucy, . . ‘ panggil Mark.  Aku sadar bahwa aku telah mengawasi Life Guard yang baru saja lewat dengan mata tidak berkedip.

‘Ya?’ tanyaku.

‘Mengapa kamu  memilih berlibur ke sini bukankah pantai-pantai di Indonesia sangat eksotik?’

‘Mencari sesuatu yang lain,’ bohongku. Mark kelihatannya merenung, aku ragu apakah dia mendengar perkataanku atau tidak.

‘Kalau kamu mencari sesuatu yang lain, mengapa tidak pergi ke Alaska? Di sana kamu akan melihat salju yang aku yakin tak akan kamu jumpai di negerimu.

‘Sebab, . . .’  dan aku tak bisa meneruskan.

‘Apakah Daytona terkenal di Indonesia?’ Mark melepaskanku dari kewajiban untuk menjawab pertanyaannya yang lebih dulu. Aku menggeleng-geleng beberapa kali.

‘Aku belum pernah mendengar nama pantai ini sebelumnya. Aku baru mendengarnya dalam perjalananku ke Jacksonville,’ jawabku. Tanpa kusadari aku telah membongkar rahasiaku sendiri.

‘Jadi kamu berniat ke Jacksonville dan menyimpang kemari?’

‘Tidak juga,’

‘Lalu?’

‘Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti,’ jawabku. Aku tahu Mark merasa aneh mendengar jawabanku

to be continued ….

Nafas Muda Kota Yogya

Untuk ketiga kalinya Dina harus menghentikan sepeda motornya karena traffic light menyala merah.  Sekejab dia melirik pada pengendara trail yang berhenti di sampingnya.  Pemuda berpakaian urakan yang tadi juga berhenti di traffic light kedua di simpang tiga Gondomanan.  Pemuda itu menggerak-gerakkan tangan kanannya yang berada di stang gas sehingga bunyi mesinnya meraung-raung.  Dina menoleh dan menatap tak senang ke arahnya.  Pemuda itu balas menatap Dina dan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh daun telinga.  Dengan cepat Dina membuang muka.  Pemuda itu tertawa mengejek.

 ‘Pemuda sinting!’ maki Dina dalam hati.  Pemuda itu makin mempercepat frekuensi gerakan tangannya sambil tangannya yang satunya lagi menekan knob klakson berkali-kali sehingga menimbulkan suara yang membisingkan telinga dan memusingkan kepala.

 ‘Yakis kamu!’ teriak Dina dongkol.  Yakis dalam bahasa Ternate berarti monyet.  Dina mendapatkan kata itu dari Yance yang  berasal dari Maluku Utara.

 ‘Apa?’ tanya pemuda itu lantang berusaha mengalahkan bunyi mesin motornya sendiri.  Dina tak sudi menjawab.  Pemuda itu mengecilkan gasnya dan bertanya lagi.

‘Ya …  kis,’ jawab dina.

‘Apa itu?’ tanya si pemuda bingung.

‘Ya kamu itu,’ jawab Dina acuh.

‘Aku tidak mengerti,’ kata pemuda itu dengan polos sehingga kesan sok jagoan yang baru saja ditunjukkannya luntur.  Dina menahan tawa.

‘Makanya sekolah yang benar biar mengerti,’ kata dina sambil mengalihkan perhatiannya.  Kali ini dia menatap mobil sport berwarna  biru metallic yang berhenti tepat di depannya.  Begitu mulus dan …

‘Hei itu ulang tahunku …itu inisialku!!!’ cetusnya tidak sadar ketika tanpa disengaja matanya nyasar ke plat nomer mobil itu…  AB-2808-DR.  Kemudian dia menjulurkan kepalanya ingin melihat wajah yang ada di dalam mobil.  Tidak berhasil.

 ‘Enggak sekeren mobilnya,’ komentar si pemuda ’Yakis’ melihat ulah Dina.

‘Enggak  minta pendapatmu,’ bentak Dina.  Untung lampu  lalu lintas segera berganti hijau hingga dina dapat melejitkan sepeda motornya.

Di depan Hotel Melia Purosani,  Dina dapat mendahului mobil metallic yang tadi berhenti di depannya.  Ketika tepat  berada di samping kanan mobil itu, Dina melongok untuk melihat pengemudinya.  Tetapi begitu melihat wajahnya langsung dia tancap gas.

‘Lagi-lagi  Tionghoa.  Tak ada orang pribumi asli yang  dapat naik sedan semewah itu,’ pikirnya kecewa.   Di belokan Pasar Kembang ganti mobil tadi yang mendahului Dina.  Dina berpikir sejenak sebelum mempercepat  kendaraannya. Tepat di bawah Kretek Kewek Dina dapat berada di samping mobil itu.  Tapi …  Entah disengaja atau tidak pemuda yang berada di dalam mobil itu meludah.  Ujung rok Dina terkena sedikit.  Langsung Dina memaki.  Semua kata-kata kotor yang pernah didengar dan dibacanya meluncur dari mulutnya sederas aliran Kali Code.  Sayang sang pengemudi mobil biru metallic enggak  bisa mendengarnya.  Itu membuat Dina  semakin dongkol.

‘China  yakis! Tak tahu aturan, enggak pernah diajar adat,’ gerutunya sambil meminggirkan  motornya.  Sesudah mematikan mesin dia mengambil  tissue dari dalam tasnya dan mulai membersihkan rok yang terkena percikan air liur.  Sebenarnya yang terkena hanya sedikit saja, tetapi  berhubung hatinya panas maka rok yang dikenakannya seakan benar-benar kotor dan  bau.  Selagi dia berpikir apa yang akan dilakukannya  kemudian, datang si pemuda ’Yakis’ dan berhenti di dekatnya.

‘Ada  apa? Mogok ya?’ tanyanya penuh perhatian.   Dina siap membentaknya dengan kata-kata  pedas, tapi urung.

‘Ah enggak,’  jawab Dina manis.  ’kamu ingat China gila yang tadi berhenti di depan kita?’ Dina  merobah siasat.’Hmm …  siapa tahu Yakis  ini bisa diajak kompromi untuk menghajar si China keparat,’ pikir Dina dalam hati.

‘Yang  mana?’ tanya si pemuda sambil mengernyitkan dahi.

‘Yang  pakai mobil sport biru metallic mulus tadi.’

‘O  iya.  Kenapa?’

‘Nih  lihat apa yang dilakukannya,’ kata Dina sambil menunjuk roknya yang sudah tak ada  apa-apanya lagi.  ’Ngeludahin aku, anak Indonesia  asli,’ lanjut Dina.

‘Ah enggak  disengaja barangkali,’ pemuda itu mengeluarkan pendapatnya.

‘Pasti disengaja,’ bantah Dina.  ’China-China di sini semuanya memang begitu.  Merasa diri kaya.  Merasa diri penting karena dapat tinggal di  sepanjang jalan-jalan penting.  Mereka sukanya  berlagu.  Ih …  sebel,’ omel Dina sambil menstater motornya.

‘Kurasa  tidak semuanya begitu,’ pemuda itu berargumentasi.

‘Semuanya  begitu.  Kalau ada China yang baik itu namanya  tidak normal.  Anomali.  Suatu perkecualian yang jarang  terjadi.  Kalau mereka suatu saat berbaik  hati, pasti ada maksud yang disembunyikan.’ Dina menekankan setiap kata yang dianggapnya  penting dan menjalankan sepeda motornya.

‘Kalau  demikian kamu bersikap prejudis.  Tidak baik  seperti itu.’

‘Aku  tak butuh nasihatmu.  Kalau aku prejudis terhadap  China itu adalah hakku,’ potong Dina sambil mengebutkan motornya.  Si pemuda ikut-ikutan mengebutkan motor trailnya  hingga selalu dapat menyamai kecepatan  Dina.

‘Aku  sudah sampai,’ kata Dina ketika mereka telah berada di depan sekolah Dina.  Pemuda itu menghentikan sepeda motornya sementara Dina telah membelok masuk halaman sekolah.

‘Hei,  sebentar!’ teriak pemuda itu.  Dina menghentikan  motornya dan menoleh.

‘Ada  apa? “

‘Namamu  siapa?’ tanya si Pemuda.  Dina tertawa nyaring.

‘Namaku  Yakis,’ teriak Dina sambil meneruskan perjalanan.

Ketika  Dina memasuki kelasnya, semua temannya sudah berada di dalam kelas.  Seperti biasanya jika ada pekerjaan rumah maka  dapat dipastikan semua temannya akan datang lebih awal dan mengcopy pekerjaan rumah  temannya yang mempunyai otak cemerlang.  Kemudian  Dina mendudukkan dirinya di samping Yance, gadis berkulit putih berambut  panjang yang sedang asyik menulis.

‘Buram  amat wajahmu.  Ada problem?’ tanya Yance tanpa  menoleh ke Dina.

‘Aku  baru saja dihina seseorang.  kamu mau menolongku?’  tanya dina.  Yance menghentikan pekerjaannya,  menatap dina serius.

‘Siapa  yang menghinamu? Kuganyang dia,’ bisik Yance sambil menutup bukunya.  Diam-diam Dina mengagumi temannya yang satu ini.  Walaupun wajahnya tidak secantik teman-temannya  yang lain tetapi rasa kesetia kawanan selangit.

‘Aku  tidak tahu namanya.  Aku tidak tahu rumahnya.  Satu-satunya yang kuketahui dia orang China,’  jawab Dina.  Kalau orang lain yang diajak  bicara pasti akan mentertawakannya, tetapi berhubung yang diajak bicara Yance, yang  mempunyai solidaritas setinggi gunung, maka dia tidak tertawa.  Dia mengetuk-ngetuk kan ballpointnya di bangku  sambil berpikir bagaimana mungkin seseorang yang belum dikenal Dina bisa melakukan  penghinaan yang membuat wajah Dina buram seburam kaca di pagi hari.

‘Bagaimana  itu bisa terjadi?’ tanya Yance setelah lama tak bisa membayangkan jalan cerita  temannya.  Kemudian Dina menceritakan semuanya  dari awal lengkap dengan titik-komanya.

‘Kurangajar  amat,’ geram Yance.’Orang kalau sudah jadi Maliong sering lupa asalnya.  Tidak sadar rupanya dia dari mana dia dapat memperoleh  kekayaannya,’ cerocos Yance.  Tak disadari  Yance telah menggunakan kata-kata yang tak di mengerti Dina.

‘Apa  itu maliong?’ tanya Dina melupakan masalah pokoknya.

‘Milyuner,  tolol,’ kata Yance.  Dina tertawa.

‘Apakah  kita akan mendiamkannya saja?’ tanya Dina.

‘Tentu  saja tidak,’ tukas Yance.  ’Dengar baik-baik Din.  Nomer mobil itu sama dengan ulang tahunmu.   Huruf belakangnya seperti inisial namamu.  Berarti kita tahu nomor mobilnya.  Nah, kita mulai dari situ.’

‘Apakah  kita akan keliling kota untuk mencari mobil itu?  Nyerah deh kalau aku kamu suruh  melakukan hal itu.  Tak sanggup,’ protes Dina.

‘Tentu  saja tidak.  Aku tidak segila itu,’ kata Yance.

‘Lalu?’  tanya Dina.  Yance diam saja.  Dia berpikir bagaimana mendapatkan cara yang tidak ’gila’  untuk memperoleh informasi tentang pemilik mobil berwarna metallic yang telah menghina  temannya.

‘Ah Yong,’  teriak Yance akhirnya.  ’Dia pasti tahu mobil-mobil mewah yang dimiliki orang-orang  sebangsanya.’

‘Aku  tak mau berhubungan dengan China lagi, tak terkecuali si Yong,’ kata dina.

‘Tak  ada jalan lain, Din.  Lagi pula Ah Yong orangnya  baik, tidak semua China berhati jelek lho.’

‘Pokoknya  aku enggak mau.  Kalau kamu mau tanya,  silakan.’

‘Oke,  kamu tenang-tenang saja.  Tahu beres,’ kata  Yance sambil membuka bukunya kembali.

‘Keesokan  harinya Yance telah mendapatkan semua informasi, baik yang diperlukan maupun yang  tidak.

‘Ayo,  Din,’ ajak Yance pada istirahat pertama.   Kemudian mereka menuju ke sebuah bangku beton yang ada di bawah pohon karet  yang berada di halaman tengah sekolah mereka.   Sesudah duduk Yance mengeluarkan sesobek kertas kumal pembungkus rokok.

‘Mobil  itu mobilnya babah Kwan Chee Wai,’  Yance mulai bercerita sambil membaca tulisan  pada kertas yang ada di tangannya. ’Babah ini pemilik toko sepatu Lion.  Itu lho yang di jalan Solo.’

‘Yan,  orangnya masih muda.  Paling banter  dua tahun di atas kita,’ potong Dina.

‘Sabar  dulu …’ kata Yance sambil melicinkan kertasnya.  ’Dia punya tiga anak laki-laki.  Satu kuliah di Sanata Dharma, satu lagi sekolah  di De Britto dan yang terkecil sekolah di Budya Wacana.’ Yance berhenti sejenak  untuk melihat reaksi Dina.  Tapi wajah Dina  begitu tenang tidak menunjukkan apa-apa.

‘Yang  kuliah di Sadar namanya Kwan Kim Fui, biasa di panggil Kim.  Kurasa orang inilah yang meludahimu.  Orangnya memang agak sombong,’ lanjut Yance.  Dina memandang Yance kagum.

‘Bagaimana  manusia satu ini bisa memperoleh data selengkap itu.  Pantas deh untuk petugas sensus,’ pikir Dina.

‘Anak  yang kedua.  Aduh ma …  Dia paling ganteng di antara semuanya.  Wajahnya mirip Tou Ming She-nya Meteor Garden, enggak dhing mirip  Adam Jordan.  Enggak tampak deh kalau dia  itu orang China.’

‘Biar.  Nah teruskan,’ potong Dina.

‘Di De  Britto dia juara umum.  Jurusan IPA kelas  tiga.’

‘Kenapa  sih kamu kok jadi antusias banget nyeritakan yang ini.  Aku enggak butuh dia aku cuma butuh yang, siapa  tadi …  Kim …  Kim.’

‘Oke  …’ Yance menurut,  ’Kim Fui… Nah, si Kim Fui ini punya adik sekolah di De ..’

‘Setan  kamu!’ teriak Dina dongkol.  Yance tertawa  ngakak.

‘ kamu ingin dengar tentang adiknya yang bungsu?’

‘Enggak.’

‘Pacar  Kim Fui ini si Bimbi.  Ingat enggak kamu sama  ratu Disco Colombo yang cantik nan jelita itu? Namanya yang sebenarnya adalah Tan  Beng Choo,’ kata Yance.  Dina tertawa senang.  Yance mau menambah keterangannya lagi tapi keburu  distop Dina.

‘Kurasa  cukup lengkap.  Kamu kuangkat jadi detektifku,’  kata Dina sambil bangkit setelah terlebih dahulu menyerobot kertas kumal Yance.  Yance tersenyum puas.  ’Sekarang ayo ikut aku.  Kita jalankan misi kita,’ lanjut Dina.

‘Apa  yang akan kamu lakukan? kamu tidak akan ngawur kan? “

‘Sejak  kapan orang yang namanya Yance kenal takut?’ tantang Dina.  Dan yance mengikuti langkah Dina.  Mereka keluar menuju kantor telpon yang berada  di sebelah timur sekolah mereka.

Seorang gadis berseragam Telkom menegur Dina ketika Dina dan Yance memasuki Kantor itu.

‘Eh,  mbak Yanti, mau pinjam telpon, mbak,’ kata Dina manis.

‘Emang enggak bawa HP?’ tanya gadis yang dipanggil Yanti itu.

‘Kelasku lagi dihukum enggak ada yang boleh bawa HP ke sekolah minggu ini ..’ sahut Dina mulus.  Untuk yang mau Dina lakukan ini dia harus menggunakan telpon umum.  Dia tidak mau telponnya terlacak.  Yanti tersenyum maklum dan mengantar mereka menuju ke deretan telpon umum yang lengang.

Dina dan Yance ke sebuah stand telpon yang ada di ujung barat.

Setelah Yanti pergi, Dina langsung membuka buku telpon dan membolak-baliknya mencari nama Kwan Chee Wai, tapi tak dijumpainya.

‘Kamu  mau menelpon siapa?’ tanya Yance.

‘Kwan  Chee Wai,’ jawab Dina.  Yance mengeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Berikan  buku itu padaku,’ pinta Yance.  Dina mengulurkannya.  Yance membalik beberapa halaman dan langsung menemukan nomor telpon toko sepatu Lion.

‘Nih,’  kata Yance sambil menunjukkan sebuah nomor.   Dina tersenyum menyadari ketololannya.   Kemudian dia memutar nomor tersebut.  Terdengar deringan dua kali sebelum telpon di seberang diangkat.

‘Hallo,  toko sepatu Lion di sini,’ terdengar suara wanita.  Dari logatnya yang medok, Dina tahu kalau dia  orang Jawa.

‘Hmm  …  pelayannya,’ pikir Dina.

‘Saya  mau  bicara dengan…’ Dina mencari nama Kwan Chee Wai di kertas kumal Dina, tapi  tidak ketemu.

‘Kwan Chee Wai,’ bisik Yance.

‘Saya  mau bicara dengan Kwan Chee Wai,’ kata Dina tanpa berusaha memakai embel-embel bapak,  tuan, engkong atau babah di depan nama Kwan Chee Wai.

‘Ada  perlu apa?’ tanya si pelayan kenes.  ‘Tapi  babah lagi sibuk itu, mbok nanti sore nelponnya,’ suara si pelayan kemayu.  Dina diam sejenak.

‘Saya  tidak mau tahu apakah dia sibuk atau tidak.   Saya butuh Kwan Chee Wai sekarang juga.   Ini menyangkut masalah hidup dan mati.   Sana lari panggil dia!’ bentak Dina menakut-nakuti.  Yance memandang Dina sambil tersenyum lebar.

‘Baik  saya panggilkan tunggu sebentar,’ kata pelayan itu gemetar.  Dina tertawa.   Beberapa saat kemudian terdengar suara seorang laki-laki.

‘Hallo,  saya Kwan Chee Wai, bicala dengan sapa ya saya?’ Dina, hampir tertawa mendengar  irama suaranya, tetapi dengan keras ditahannya agar tawanya tak keluar.

‘Tak  perlu tahu siapa saya.  Sekarang saya ingin  kamu mendengarkan apa yang akan saya omongkan,’ kata Dina angker.  Orangnya yang ada di seberang tak mengeluarkan  suara apa-apa.  Dina membayangkan orang itu  pasti gemetar ketakutan karena bentakannya.

‘Kamu punya anak yang namanya Kim Fui? “

‘Iya,  benal,’ jawab Kwan Chee Wai gagap.

‘Hmm…’  dengus Dina.  kamu pasti tak pernah mengajar  adat kepada anakmu yang satu ini.  Kamu merasa  kaya ya? kamu bangga anakmu dapat berbuat sesuka hati dan menghina orang seenak  perutnya sendiri,’ kata Dina dalam nada tinggi.

‘Nona,  saya olang kagak ngalti apa nyang nona bicalaken.’

‘Kamu dengar tidak peristiwa di Ujung Pandang tentang pelemparan batu pada rumah-rumah  milik orang Tionghoa? Na, kejadian semacam itu bisa terjadi di Yogya lantaran anakmu,’  ancam Dina.

‘Tapi  nona, saya olang punya anak tidak ada nyang kulangajal.  Itu cuma pietnah.  Jangan didengalken,’ Dina tertawa sinis mendengar  penuturan Kwan Chee Wai.

‘Bukan  fitnah.  Anakmu yang namanya Kim Fui, kemarin  pagi jam tujuh kurang seperempat telah menghina seorang gadis anggota kelompok kami,  seorang Indonesia asli yang masih berdarah ningrat dan ayahnya pemimpin partai besar dengan meludahinya di bawah Kretek  Kewek.’ Dina sengaja meninggikan diri agar kedengarannya lebih berwibawa.

Kwan Chee Wai terdiam sesaat.  Akhirnya dia bicara.

‘Maafkan  dia olang, nona.  Nanti dia olang pasti akan  saya beli pelajalan.  Saya beljanji untuk  menghajal itu anak,’ katanya makin ketakutan.

‘Itu  thok tidak cukup,’ potong Dina tajam.

‘Telus bagaimana saya olang halus pelbuat? “

‘Saya  atas nama kelompok anak muda Yogya minta pernyataan tertulis di surat kabar.  Saya tidak minta yang  aneh-aneh, cukup di surat kabar lokal saja.  Paling lama lusa harus sudah terbit.  Lengkap dengan nama Kim Fui dan toko sepatu Lion,’
kata dina.  Yance membelalakkan matanya mendengar  apa yang diucapkan Dina.

‘Tapi  nona, kami olang punya nama akan telcemal gala-gala ini pelkala.’

‘Terserah  kamu.  kamu tulis di surat kabar atau kamu  sendiri harus menanggung resikonya.  Dan  sekali lagi saya peringatkan bukan hanya keluargamu saja yang mungkin menderita  akibatnya.’

‘Oe nona, saya mekelum,’ kata Kwan Chee Wai.’Dan kalau saya boleh tahu nona punya nama sapa?’
‘Saya  wakil dari anak-anak muda kota Yogya,’ jawab Dina rendah sambil meletakkan gagang  telpon.  Dia tersenyum puas dan mengajak Yance  berlalu.

‘Apa  yang kamu perbuat benar-benar keterlaluan,’ komentar Yance sambil berjalan.  ‘Bagaimana jika dia lapor ke polisi? “

‘Biarkan  dia lapor ke polisi.  Polisi tak kan mampu  melacak kita.  Lagi pula aku tidak melakukan  kejahatan, apa yang kulakukan tidak melanggar hukum.  Dia bersalah, maka dia harus minta maaf.  Hal yang sepele.’

‘Tapi  kamu mengancam dia.’

‘Aku  tidak mengancam.  Hanya kukatakan apa yang  terjadi di Ujung Pandang bisa terjadi di Yogya.   Kan benar? “

‘Tak  tahu deh, Din.  Cuma kubayangkan bagaimana  jika yang menerima telpon tadi keluargaku.   Apa tidak akan geger? kamu sadis banget sih,’ kata Yance.  Kemudian yance melihat jam yang melilit di  pergelangan tangannya.

‘Ya… telat, Din!’ teriak Yance.  Kemudian mereka  bergegas menuju sekolah mereka.  Sesampai  di depan pintu kelas mereka berpandang-pandangan ragu.

‘Masuk  enggak?’  tanya Yance.

‘Masuk  aja yuk,’ Dina memutuskan.  Dengan berjingkat  mereka masuk kelas.

‘Dari  mana anak-anak manis?’ tegur bu Dariah guru kimia mereka.  Dina dan yance tersenyum lucu, sementara teman-teman  mereka bersiul-siul.

‘Maaf  bu, enggak dengar bel tadi,’ alasan Dina.

‘Kumaafkan  asal kamu bisa mengerjakan soal itu,’ kata bu Dariah sambil menunjuk soal yang ada  di papan tulis.  Dina membelalak.  Teman-temannya cengar-cengir dan menggodanya.  Dina kemudian melihat Ah Yong mengisyaratkan agar  dia memakai bukunya.

‘Huh,  China itu pasang aksi,’ kata hatinya.  Kemudian  dia menuju papan tulis mencoba mengerjakan soal.  Lama sekali tak berhasil.  Dia menoleh ke belakang.  Yance telah duduk rapi di kursinya, dia memberi  tanda agar Dina menerima buku Ah Yong.

‘Bagaimana  Dina?’ tanya bu Dariah.

‘Sukar,  Bu.  Nyerah aja deh,’ kata Dina seperti anak  kecil.  Bu Dariah tertawa ringan.

‘Ah guru  ini selalu manis,’ pikir Dina ketika bu Dariah menyuruh duduk.

‘Yong,  kamu bisa?’ tanya bu Dariah pada Ah Yong.   Ah Yong terus bangkit menuju papan tulis dan mengerjakan soal itu dengan  cepat.

‘Kenapa  kamu tak mau menggunakan buku Yong?’ tanya Yance.  Dina menatap Yance lama sebelum menjawab.

‘Ingat  dia orang China dan aku sudah berjanji tak akan berhubungan lagi dengan segala  macam China,’ bisik Dina.

‘Din,  jangan keterlaluan.  Yong tak punya kesalahan  apapun terhadapmu.’ Yance menasehati, tetapi telinga dina seakan  tak mempunyai lubang.

Keesokan harinya, permintaan maaf dari toko sepatu  Lion telah nampang di Koran.  Dina mengambil  gunting dan mengguntingnya lalu di tempelkan di buku kenangannya.  Hatinya mekar karena telah berhasil membalas dendam.  Tetapi kalau ada anggapan bahwa pernyataan itu  sebagai akhir dari sikap sinis Dina terhadap orang-orang Tionghoa maka anggapan  itu salah besar.

Sikap Dina semakin tak masuk akal.  Apa-apa yang berbau China dianggap haram.  Dia tak mau menggunakan handuknya lagi karena  handuknya itu made in China.  Dia lebih baik  tak pergi ke restaurant langgannannya karena pemiliknya orang Tionghoa.  Dan dia tidak lagi suka berjalan-jalan sepanjang  jalan solo dan Malioboro karena dia segan untuk bertemu dengan orang Tionghoa.  Bahkan kepada ah Yong yang duduk di  belakangnya di kelas dia tak suka menegur.

‘Din,  kamu tak percaya bahwa ada orang Tionghoa berhati baik?’ tanya Yance suatu hari.

‘Sudah  ratusan kali kubilang Yan, semua China sama saja.  Cuma mau cari untung.  Mereka menyeberang dari tanah China karena ada  huru-hara di negerinya sehingga mereka merasa tidak aman lagi, tetapi rasa cinta  mereka tetap ada di tanah leluhurnya.  Sedang  Indonesia dianggap sebagai tempat untuk mencari nafkah.  Bukan sebagai tanah tumpah darah.’

‘Tapi  kebanyakan mereka dilahirkan di sini.’

‘Benar.  Tapi jangan lupa, orang-orang tua mereka telah  mengajarkan filsafat yang kuat di hati mereka untuk tetap mencintai negeri asalnya,’  bela Dina.

‘Pernahkah  kamu renungkan, orang-orang seperti Cuncun, Rudi Hartono, Liem Swie King membawa  nama Negara kita dari pada kamu sendiri yang mengaku orang Indonesia asli.  Benar kan?’ tanya Yance.  ‘Bahkan Cuncun walaupun sampai sakit begitu masih
mau berkorban untuk Negara.  Apakah mereka  kamu anggap Cuma mau cari untung saja?’ lanjut Yance.

‘Ah,  mereka lain.  Mereka berkecimpung dalam bidang  olahraga jadi dengan sendirinya memiliki jiwa yang sportif.  Bukan seperti lainnya yang ngurusin dagang melulu,’  bela dina ngawur.

‘Oke,  berarti ada China yang baik,’ Yance menegaskan.

‘Aku  tak mengatakan demikian,’ bantah Dina.

‘Tapi  kamu merasa bangga terhadap Rudi Hartono cs kan?’

‘Jangan  samakan mereka dengan yang lainnya !’

‘Berarti  kamu tidak fair.’

‘Yan,  aku tahu kamu tak akan bisa menempatkan dirimu pada posisiku.  Aku pernah diludahi China.  Itu menyakitkan.  Panas matahari ditanggung semua orang, tetapi  panasnya hati …  ya aku sendiri yang menanggungnya.  Walaupun kamu sahabatku yang paling dekat kamu  tak kan bisa ikut merasakan panasnya hatiku,’ kilah Dina befalsafah

‘Bukankah  dia telah minta maaf? Sedang Tuhan saja maha pemaaf kenapa kamu tidak bisa memaafkannya.  Bagaimana jika orang yang meludahimu itu dulu  orang Jawa, sukumu sendiri.  Apakah kamu akan  membenci semua orang Jawa seperti saat ini kamu membenci orang China?’ kata Yance  bersemangat.  Dina diam saja.  Kalau sudah demikian biasanya mereka mengganti  topik pembicaraan, karena menurut pengalaman, mereka tak pernah menemukan titik  temu pendapat mengenai hal yang satu ini.

Siang itu panasnya bukan main.  Terik matahari benar-benar menyengat badan.  Selama perjalanan pulang dari sekolah, Dina berkali-kali  mengosok lengannya dengan telapak tangan karena rasanya seperti terbakar.  Dia merasa begitu lega ketika memasukkan sepeda  motornya ke halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan rindang.  Dina langsung masuk kamar tidurnya setelah memasukkan  sepeda motornya di garasi karena kedua orang tuanya belum pulang.  Jadi dia terhindar dari kewajiban untuk makan  siang terlebih dahulu.  Kemudian dia membaringkan  dirinya di kasurnya yang empuk tanpa mengganti pakaian seragamnya.  Matanya menatap langit-langit kamarnya kemudian  berpindah ke seantero kamar.

Tiba-tiba matanya melihat laptopnya di atas meja belajar.  Langsung dia beranjak dan menyambar  laptop itu kemudian kembali ke kasurnya untuk mencek facebook dan e-mail.   Ada satu e-mail yang menarik perhatiannya

‘Hmm  …  sudah lama Sasa tak kirim e-mail,’ gumamnya.  Sasa adalah kakaknya yang kini meneruskan belajarnya  di Amerika.

Seperti biasa kalau Sasa mengirim e-mail akan panjang lebar.  Tetapi karena yang ditulis selalu menarik maka tidak pernah membosankan.  Pada paragraf pertama Sasa menulis tentang keadaannya  dan sekolahnya.  Paragraf  kedua tentang  mode yang sedang melanda muda-mudi Amerika.    Dilanjutkan tentang pekerjaan sambilannya di Mc Donald Hamburger Corner  dan di bagian akhir dia menulis…

‘Eh,  Din, Sasa barusan nonton film yang diputar oleh televisi kalau enggak salah NBC  yang mutar.  Seluruh penghuni asrama sini  nonton.  Pertunjukannya memakan waktu enam  jam (ini sudah termasuk iklan yang setiap lima belas menit sekali nongol), jadi  terpaksa harus diputar selama empat malam berturut-turut.  Judulnya hOLOCAUST (ingat-ingat deh, siapa tahu  diputar di Indonesia).

 Nah ini cerita tentang  keluarga Weiss yang Yahudi dalam masa sadis-sadisnya hitler.  Aduh berkali-kali deh Sasa terpaksa menutup mata  …  Ngeri.  Bayangin deh, mama Weiss dan wanita-wanita lain  disuruh masuk ke kamar mandi, waktu itu mereka sudah di penjara, katanya disuruh  mandi tapi begitu pintu kamar mandi ditutup dan mereka sudah ditelanjangi eh tahunya  yang keluar dari shower itu uap beracun.   Mereka menggeliat-geliat sebelum mati.  Masih banyak deh Din, yang sadis-sadis lainnya, misalnya disuruh baris menghadap  ke tembok, enggak laki-laki, enggak perempuan dan deeerrr …  Akhirnya tinggal seorang keluarga Weiss yang hidup.  Anak laki-lakinya dan dia terpaksa mengungsi.  Gila nggak tuh si Hitler? kamu tahu enggak teman-temanku  yang punya mata berwarna biru sampai menyesal mempunyai mata biru akibat nonton  film itu.  Habis semua mata biru di situ sadis  sih.  Apalagi yang orang Jerman …  wah tak henti-henti menyesali kekejaman bangsanya  waktu itu.

Din …  Yance bilang kamu kini musuhan ya sama orang-orang Tionghoa? Jangan dong,  Din.  Hitler itu juga dulunya cuma berawal  dari rasa tidak senangnya terhadap orang-orang Yahudi tanpa alasan yang kuat hingga  dia sesadis itu.  Sasa pikir kalau adik Sasa  yang Cuma gadis manis biasa saja berani ngancam orang Tionghoa apalagi Hitler yang  punya kekuasaan.

Orang-orang Tionghoa itu seperti halnya orang Yahudi  lho Din (ah, ini perbandingan saja) mereka akan membela Negara di mana mereka mendapatkan  ketentramannya.  Dalam hal ini Indonesia  tentu saja.  Kalau kamu sudah sejak dini memusuhi  mereka bagaimana nanti jika kamu sudah menjadi pemimpin bangsa (bukankah itu cita-citamu).  Ayo, Din hilangkan sikap prejudismu.  Setiap bangsa itu sama saja, punya kelebihan dan  punya kekurangan.  Memang ada satu orang Tionghoa  yang cuma mau cari untung, tapi harap kamu ingat orang Indonesia yang mau menangnya  sendiri tak kalah banyaknya.  Biasakanlah  dirimu menerima seseorang itu apa adanya.   Jangan kamu lihat bangsa dan derajatnya.

Oke, Din aku tahu kamu adikku yang berhati manis.  kamu pasti akan bersikap seperti dulu lagi.  Udah ya Sasa bobo dulu.’

‘Uih,  Yance, pakai lapor segala,’ gumam Dina, tapi dia segera tertidur karena lelah.  Dia baru terbangun ketika merasa tubuhnya digoyang-goyangkan.  Kemudian samara-samar dia mendengar suara panggilan  dari mamanya.

‘Udah  disamperin Yance tuh,’ kata mama Dina.  Dina  bangun dan duduk dengan lesu.

‘Kalau  tidur ganti baju dulu dong,’ omel mamanya.

‘Yance?  Mau apa dia ke sini?’ tanya Dina tak mengacuhkan kata-kata mamanya.

‘Katanya  ada pertandingan antar SMA di …’

‘O iya,’  jerit dina sambil meloncat turun dari tempat tidurnya dan langsung berlari ke luar,  tetapi segera kembali ke kamarnya lagi.

‘Tolong  deh, Mam, temenin Yance sebentar, Dina mandi dulu,’ katanya.  Mamanya mengeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum.

Ketika dina keluar dengan pakaian olahraganya,  Yance dan mamanya sedang asyik bercakap-cakap.  Ada segelas susu dan sebutir telor rebus di atas meja di hadapan mereka.  Dina pura-pura tak melihat, karena dia tahu semua  itu pasti untuknya .

‘Aku  gonceng saja ya, Yan, aku masih agak ngantuk?’ kata Dina.  Yance mengangguk  sambil berdiri.

‘Susu  dan telormu , Din,’ mama dina mengingatkan.

‘Ya,  mama.  Dina masih kenyang,’ protes Dina.

‘Bibi  bilang kamu langsung tidur tadi, jadi belum makan siang.  kamu makan telormu atau kamu ingin makan siang?’  akhirnya dina menurut.  Dia memakan telornya  dengan cepat dan meneguk susunya.  Kemudian  melambai kepada ibunya dan keluar.

‘Yan,  kamu pakai kirim e-mail ke Sasa tentang diriku ya?’ tanya Dina ketika keduanya telah  berada di jalan.

‘Enggak  boleh?’ tanya Yance.

‘Kirim e-mail sih boleh aja.  Tapi nggak usah tentang  yang satu itu,’ kata dina.

‘Habis  kamu makin enggak rasional sih.  Kamu sok  idealis, tapi konyol,’ kata Yance.  Dina  tertawa.

Ketika mereka sampai di lapangan IKIP Karangmalang,  mereka langsung ke jadwal pertandingan.

‘Hei,  asyik lawan Stelladuce,’ bisik Dina di telinga Yance.  Yance segera mengerti maksud Dina.  Pemain-pemain basket Stelladuce kebanyakan anak-anak  keturunan Tionghoa.  Yance menggeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Hei,  Yakis!’ tiba-tiba terdengar sebuah suara.   Yance dan Dina menoleh seketika.  Tampak  seorang pemuda yang dulu berada di samping Dina ketika dina berhenti di belakang mobil Kim Fui.  Kalau dulu dia berpakaian  urakan, kini dia berpakaian santai tapi rapi.   Yance mengerutkan dahi, merasa tidak senang temannya dipanggil ‘Yakis’.  Tetapi Dina justru tersenyum.  Yance terus ngeloyor pergi karena sebagai kapten  regu basket sekolahnya dia harus mengumpulkan regunya lebih dahulu.

‘Kubaca  tentang kamu di surat kabar,’ kata si pemuda.

‘Surat  kabar?’ tanya Dina bingung.

‘Pernyataan  maaf untukmu,’ kata si pemuda.  Dina tertawa.  Dia kembali teringat peristiwa itu lagi.  ’Senang  ya bisa bikin sensasi?’ lanjut si pemuda.

‘Ah,  biasa-biasa saja,’ jawab Dina santai.  Si  pemuda cuma tersenyum mendengar jawaban Dina.

‘Kamu mau bertanding?’ tanyanya.

‘He  eh.’

‘Lawan  mana? “

‘Stelladuce.’

‘Wah  sorry enggak bisa nyeporterin kamu, sudah keburu dibon Selladuce.’

Ah enggak apa-apa, paling juga menang,’ jawab  Dina.  ’kamu sekolah di mana sih? Bukan Stella Duce kan?’ tanya dina

‘De Britto,’  jawab si pemuda sambil tertawa.

‘Oh,  pantas,’ kata dina.  Pantas di sini bermaksud  banyak …  Pantas kalau dia dulu berlagak  sok jagoan.  Pantas kalau sekarang dia mau  nyeporterin stella duce, karena baik Stelladuce maupun De Britto dua-duanya sekolah  ‘gersang’ Stella duce cewek melulu dan De Britto cowok melulu, jadi barter dalam  hal seporter-seporteran.

Kemudian terdengar Yance memanggil Dina menyuruhnya  berkumpul.  Begitu Dina sampai di  lapangan basket, pertandingan segera dimulai.  Walaupun seporter-seporter dari Sella duce dan De Britto cukup banyak dan  ramai tetapi toh tetap kalah dibanding dengan Fajar dan kawan-kawannya yang nyeporterin  regu Yance.  Teriakan-teriakan dari seporter  Stella duce tertelan oleh teriakan dari Fajar Cs.  Di samping itu, Dina walaupun di tengah permainan  masih sempat berteriak-teriak nyeporterin regunya.

‘Ayo,  moy-moy lemparkan bolamu pada dina, di tokomu banyak bolanya,’ teriak Dina sambil  mendek pemain stella duce yang keturunan Tionghoa.  Semua yang berada di pinggir lapangan tertawa  mendengar teriakan Dina, kecuali yang merasa diri masih keturunan China.  Akibatnya banyak pengikut Stella duce yang berasal  dari De Britto yang merasa bukan keturunan Tionghoa menyeberang menjadi pengikut  sekolah Dina dan ikut-ikutan mengajak anak-anak Stelladuce.

‘Ayo,  Sanchai aku cinta padamu,’ teriak Fajar meramaikan suasana.

‘Bukan  aku cinta padamu, tapi wo ai ni,’ teriak Dina sambil melempar bola ke keranjang.  Nadanya dibuat persis orang-orang China asli.  Tiba-tiba dia teringat apa yang ditulis Sasa  di suratnya.

Kalau  adik Sasa yang merupakan gadis manis biasa saja bisa mengancam orang Tionghoa apalagi  Hitler yang punya kekuasaan.  ‘Entah mengapa Dina tak mau dirinya disamakan dengan Hitler.   Kemudian dia tak banyak komentar-komentar yang menyakitkan hati diserahkan  ke tangan Fajar cs, yang dapat melakukannya dengan baik, terbukti sebentar-sebentar  gadis-gadis itu wajahnya memerah menahan marah.  Dan konsentrasi mereka buyar yang menyebabkan permainan mereka buruk.

Pertandingan itu usai dengan kemenangan pihak Yance  dan kawan-kawannya.  Mula-mula dina ogah-ogahan  tetapi akhirnya mau juga dia menyalami mereka.

‘Sorry  ya, kalau kata-kataku tadi kasar,’ kata Dina.   Dia tak tahu mengapa dia merasa bahwa dia harus meminta maaf.  Yang disalami tersenyum mencoba melupakan kata-kata Dina yang menyakitkan hati selama pertandingan tadi berlangsung.

‘Din,  dapat salam dari Huan,’ kata Ah Yong sambil mengucapkan selamat kepada Dina.

‘Siapa?’  tanya Dina bingung

‘Huan.  Yang tadi ngomong-ngomong sama kamu sebelum pertandingan.’

‘O, dia  namanya Huan? Orang mana sih?’ tanya dina pingin tahu.

‘Orang  Yogya.  Itu lho anaknya yang punya sepatu  Lion.’

‘Apa?’  tanya Dina kaget.  Matanya membulat dan lehernya  seakan tercekik.

‘Dia  memang keturunan Tionghoa kok.  Enggak nampak ya?’ kata Ah Yong yang tak mengerti kekagetan Dina yang sebenarnya.

‘Toko  sepatu Lion? Adik Kim Fui?’ tanya Dina meyakinkan diri bahwa apa yang didengar telinganya  betul adanya.

‘Lho  kamu kok tahu? Kenal Kim Fui ya?’ tanya Ah Yong.  Dina menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir  kekacauan yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

‘Oke  deh salam kembali,’ kata Dina berusaha tenang.   Setelah Ah Yong berlalu Dina berdiri termangu.

‘Jadi  dia adik Kim Fui.  Berarti dia tahu, akulah  yang telah mengancam ayahnya dan memaksa mereka menulis pernyataan maaf di Koran.  Tetapi mengapa dia tak memberi tahu ayahnya kalau  yang mengancamnya itu tak lain hanyalah seorang gadis yang tak punya kekuatan apa-apa  atau tak melaporkannya kepada polisi? Tetapi  mengapa di malah  menegurku seakan  tak ada kejadian apa-apa?‘ pikir Dina bingung.

‘Pulang  nggak, Din?’ tegur Yance yang tiba-tiba saja sudah ada disampingnya.

‘Emangnya  mau nginap di sini?’ jawab dina dan berjalan bersama Yance.

‘Selama  perjalanan pulang pikiran Dina kacau.  Dia  tak mendengar apa yang diocehkan yance selama perjalanan.

‘Ruwet  …  ruwet.  Mengapa jadi begini? Jadi waktu aku memaki-maki  Kim Fui di Kretek Kewek itu, dia sudah tahu kalau yang kumaki adalah kakaknya.  Ih, ruwet,’ pikir Dina, setengah menyesali diri.

Sesampai di depan rumah Yance bertanya, ’ikut enggak  besok pagi? “

‘Ke  mana?’ tanya Dina.

‘Tadi  sudah kukatakan padamu dan kamu menjawab ya.’

‘Aku  tidak tahu,’ kata Dina.  Yance mengerutkan bibirnya  jengkel.

‘Jadi  kamu tak menggubris omonganku selama perjalanan tadi, di mana sih pikiranmu, Din?  Pada Huan, ya? “

‘ kamu tahu siapa dia?’ tanya Dina hati-hati.

‘Tentu saja aku tahu.  Adik Kim Fui.  Aku heran apa yang akan dilakukannya kalau dia  tahu kamu yang telah menganc …’

‘Dia  tahu, Yan,’ potong Dina.  Yance membelalak  tak percaya.

‘Tahu  deh, Din, kamu berdua sinting semua.  Dia  tenang-tenang saja berhadapan dengan musuh keluarganya sementara kamu sendiri juga  tenang-tenang dipanggil yakis,’ kata Yance.

‘Karena  dia tak tahu arti ’yakis’ yang sebenarnya,’ bantah Dina, tapi tak diucapkan.  Dia hanya tertawa ringan.

‘Ada  apa besok pagi?’ akhirnya dina bertanya.

‘Ayah  dan ibuku serta kakakku datang dan…’

‘Dari  Ternate?’ tanya Dina antusias.  Dina mengangguk.

‘Mereka  sudah ada di Jakarta sejak kemarin dan besok akan datang ke sini jam sepuluh.  Nah, kamu mau ikut jemput enggak? “

‘Tentu dong.  Ole-olenya itu yang kubutuhkan,’ jawab  Dina sambil tertawa sambil membayangkan kue bagia yang penuh dengan kenari, Yance juga tertawa.

‘Kalau  begitu kamu harus bangun pagi.  Jam setengah  sembilan ku jemput kamu?’

‘Siap,  kapten,’ kata Dina dan Yance segera menghidupkan mesinnya.  Setelah pesan ini itu barulah Yance pergi, meninggalkan
asap yang mengepul dari knalpotnya.

Pagi itu cuaca agak mendung.  Dina dan yance telah berada di pelabuhan udara  Adi Sucipto.  Orang tua serta kakak Yance baru  akan tiba setengah jam lagi.  Selama menunggu  mereka berdua duduk di bawah pohon akasia di luar airport sambil menikmati teh botol

‘Yan,  biasanya kalau cuaca begini penerbangan jadi batal lho,’ kata Dina.  Yance mencibir.

‘Enggak  percaya? Soalnya lapangan ini kan dikelilingi bukit, na, kalau mendung bukit ini  enggak begitu tampak, jadi lebih baik penerbangan diundur dari pada ada malapetaka.’

‘Din,  aku sudah tanya dan mereka mengatakan sudah take off dari Jakarta.’

‘Wah  …  berdoa saja deh Yan, moga-moga nggak  ada apa-apa,’ kata dina tenang.  Yance membelalakkan  matanya.

‘Yakis  kamu!’ teriaknya.  Dina tertawa terpingkal-pingkal.

‘Baru  dibilangin begitu saja sudah kalap,’ olok Dina.

‘Orang  tua cuma dua kok, masa dibegitukan, ya marah dong,’ kata Yance.  Dina masih tertawa ketika terdengar pengumuman  bahwa pesawat dari Jakarta baru saja mendarat.  Bergegas mereka berlari masuk.

Yance menanti tak sabar.  Dia menggerak-gerakkan kakinya siap untuk berlari.  Dina yang baru pertama kali ini melihat ketidak-tenangan  Yance tersenyum.  Satu demi satu para penumpang  muncul.  Yance memperhatikan mereka satu persatu  sementara Dina membayangkan seperti apa wajah orang tua dan kakak Yance.

‘Itu  dia,’ kata Yance sambil menunjuk tiga orang yang berjalan ke arah pintu keluar.

‘Yang  mana?’ tanya dina karena yang ditunjuk Yance adalah tiga orang Tionghoa.

‘Itu  ! Yang dengan gadis berbaju merah,’ kata Yance.

‘Ah,  jangan main-main …’ Tapi Yance sudah tak mendengarnya dia sudah berlari mendekati mereka.  Menyadari hal itu, jantung Dina seakan  berhenti berdetak.  Dia memandang mereka berempat  bagai memandang mayat yang baru bangkit dari liang kubur.  Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar.

‘Yance  keturunan Tionghoa?’ desisnya lunglai.  Dia  menginginkan dunia kiamat saat itu juga hingga dia tidak harus berhadapan dengan  Yance lagi.  Dia tak punya muka untuk menemui  Yance, terlalu malu.  ’Penghinaan yang selama ini kulancarkan ternyata hanya untuk  menyakiti hatinya.  Tuhan, berilah aku ampunan,’  pikir Dina sedih.  Tapi tak ada jalan lain  untuk tidak menemui Yance.  Karena untuk melarikan  diri jelas tidak mungkin.  Dan Yance serta  keluarganya sudah mendekati Dina.

‘Dina, Yance selalu bercerita kalau Dina serta keluarga Dina baik sama Yance,’ kata ibu Yance  sambil menjabat tangan Dina.  Dina hanya bisa tersenyum.  Wajahnya sebentar merah, sebentar  memucat.  Dia ingin mencari kekuatan pada Yance, tapi Yance begitu asyik bercakap dengan kakaknya.

‘Kenapa Yance tak pernah  bercerita kalau dia  itu keturunan Tionghoa?’ pikir Dina menyesali keadaan.  Keluarga Yance begitu ramah, hal mana justru membuat hati Dina semakin pedih.  Dia merasa sangat berdosa terhadap Yance.

Ketika orang tua Yance sedang mengurus barang-barangnya, Yance mendekati Dina dan menepuk bahunya.

‘Setelah tahu kalau aku orang China apakah kamu tidak mau bersahabat lagi denganku?’ tanya Yance sambil menahan senyum,’sedang aku yang kamu hina setiap menit saja masih mau berteman denganmu,’ lanjutnya sambil tertawa lirih.  Dina memandang Yance dengan sinar mata berisi sejuta penyesalan.

‘Maafkan Dina, Yan, aku tahu aku telah salah selama ini.’

‘Syukur deh kalau kamu sadar.’

‘Jadi kamu memaafkanku? Enggak sakit hati?’ tanya dina mulai agak tenang.

‘Wah maaf thok enggak cukup,’ kata Yance.

‘Lalu?’

‘Aku  minta pernyataan tertulis.  Enggak muluk-muluk deh, Din, cukup ditulis di surat kabar Indonesia, enggak usah di surat kabar Internasional.  Paling lambat lusa harus sudah terbit,’ kata Yance  menirukan kata-kata dina beberapa waktu yang lalu ketika mengancam Kwan Chee Wai  melalui telpon.  Dina dan Yance tertawa.  Mereka masih tetap tertawa waktu keluarga Yance  siap untuk meninggalkan airport.  Mendung  yang tadi melingkupi kota Yogya telah hilang dan matahari bersinar dengan ramah.

Note:  Isi tidak berubah walau di sana-sini sudah disesuaikan agar tidak terlalu kuno …

Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Ketiga)

Ribuan Mil Dari Mama Bagian 3

Kuhitung kancing bajuku; pulang, . . . tidak, . . . pulang, . . . tidak, . . . pulang tidak. Tidak pulang! Ya.  Seharusnya aku tidak pulang. Pulang berarti permusuhan kembali dengan ibu Oom No dan itu akan membuat Mama berduka.

Lama aku merenung mencari jalan keluar.   Aku harus pergi dari tempat ini tetapi aku tidak boleh pulang. Aku harus bisa meyakinkan Mama bahwa aku masih tetap tinggal bersam Papa. Bagaimana caranya? Kupandang pucuk-pucuk pinus untuk mencari jawab. Tidak kudapat. Sebagai gantinya kulihat tupai-tupai yang berloncat-loncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya dan tiba-tiba ide itu datang. Aku harus pergi dari sini tetapi aku akan tetap tinggal di Amerika.

Kucoba untuk menekan sakit hatiku dan memikirkan apa yang harus kulakukan kemudian.  Besok pagi aku harus sudah pergi ke kota lain. Kupilih New York sebagai tempat pelarianku.

‘Tidak, itu telalu jauh dan penuh risiko,’ bantahku sendiri.   ‘Colombus lebih dekat dan tidak terlampau bising,’ aku memutuskan.   Di sana aku akan mencoba mencari pekerjaan dan melupakan bahwa aku pernah mempunyai ayah dan saudara kembar.

Sesudah itu hatiku menjadi lebih tenang. Tak ada masalah! Akan kubuktikan kepada David bahwa aku bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada ‘ayahnya’.   Kemudian aku bangkit dari tempatku. Aku harus segera pulang.

‘Denver, pulanglah dulu, aku akan jalan kaki,’ kubisikkan kata-kata itu di dekat telinga Denver. Denver tidak bergeming.

‘Dengar, besok aku sudah tidak ada di sini lagi.   Aku ingin berjalan melintasi padang rumput ini untuk terakhir kalinya.  Kamu mengerti, bukan?  Nah, pulanglah!’ Denver masih tetap tidak bergerak.  Telinganya terangkat ke atas seakan mencoba untuk menyelami arti kata-kataku.

‘Pulanglah, Denver,’  kataku mulai tak sabar sambil kutepuk paha Denver.  Denver memandang padaku, tetap tak bergerak.

‘Denver, go home!’ jeritku.  Denver mengerti kemudian mulai melangkah pelan-pelan.   ‘Run!’ teriakku nyaring.  Dia menurut dan berlari tapi sejenak kemudian dia berhenti lagi dan menoleh. Kuisyaratkan dengan tangan agar dia tetap berlari.  Denver berlari kencang tapi berkali-kali dia menolehkan kepalanya.  Mungkin dia heran atas sikapku yang lain dari biasanya. Biasanya aku dan dia selalu pergi dan pulang bersama.

Ketika Denver sudah tidak nampak lagi, aku mulai melangkah pelan-pelan seperti prajurit yang kalah perang.   Ya, aku telah kalah.  Harapan inilah yang kubawa dari Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kentucky bukan untukku. Tanah dan padang rumput yang kuinjak ini bukan punyaku.  Mister Stanton bukan ayahku.  Dia ayah David.  Tak ada lagi kekagumanku padanya.  Kekaguman yang pernah singgah sejenak di hatiku.

Tiba-tiba aku melihat kuda yang datang dari arah yang berlawanan. David?  Bukan!  Kuda itu bukan kuda yang di tunggangi David tadi. Tetapi kuda itu adalah Blue Berry.  Beberapa saat kemudian aku melihat pengendaranya, Irene. Mau apa dia?

‘Lucy, apa yang terjadi denganmu?  Aku melihat Denver pulang sendiri,’ tanya Irene sambil menghentikan Blue Berry di sampingku.  Alangkah penuh perhatiannya dia, pikirku.

‘Tidak apa-apa, Irene.   Aku ingin jalan kaki saja.’

‘Oh, . . .’  Irene bernafas lega,   ‘kusangka kamu mendapat kecelakaan.  Oscar dan Georgie belum pulang. Terpaksa kuberanikan diri untuk naik kuda.’

 ‘Terima kasih, Irene,’  bisikku.

‘Untuk apa?’

 ‘Untuk perhatianmu,’ jawabku sambil berusaha untuk  tersenyum.  ‘Sekarang kamu boleh pulang.  Kau lihat aku tidak apa-apa.’

‘Kamu  benar-benar berniat untuk jalan kaki? Terlalu jauh, Lucy.’

‘Tidak  apa-apa,’ jawabku.  Irene mengangguk kemudian memacu Blue Berry pulang tanpa  bertanya-tanya lagi.

Λ

Aku sedang mengepak barang-barangku ketika kudengar suara ban yang berdenyit kencang karena direm dengan mendadak.   David telah pulang.   Ingin benar aku keluar dan bertanya tentang keadaan Papa – Dari Clemmie aku mengetahui bahwa David terbang ke Colombus untuk menjenguk Papa –  tetapi otakku melarang tubuhku untuk bergerak.  Kalau memang ada sesuatu yang harus kuketahui tentu dia akan datang memberitahuku.

Sejenak kemudian kudengar langkah-langkah kaki David menaiki anak tangga.  Lewat di depan kamarku.  Berhenti di sana lama.  Aku tegang.  David tidak mengetuk pintu, dia kemudian berlalu.  Kudengar suara pintu yang terbuka dan di tutup kembali, berarti David sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri.  Keadaan Papa tidak mengkhawatirkan, kesimpulanku, dan kuteruskan pekerjaanku lagi.

Semua barang-barangku sudah siap ketika ketukan pintu itu terdengar.  Mula-mula lirih kemudian makin keras. Kutenangkan hatiku sebelum membuka pintu.  David berdiri di depanku.

‘Boleh aku masuk?’ tanyanya pelan.  Kuperlebar pintu yang kubuka tanpa menjawab.  David masuk dengan canggung. Dia tampak heran melihat kedua koperku yang terbuka dengan isi yang sudah rapi, namun tidak berkomentar.  Kubiarkan dia dalam keheranannya.  Sesudah David duduk barulah aku melihat David membawa sebuah tas kecil.

‘Aku baru saja melihat Papa,’ dia membuka percakapan.   Aku diam saja tak memberi tanggapan.  ‘Papa memberikan ini untukmu,’ lanjut David sambil membuka tas yang di bawanya.  Nampak beberapa bundelan uang ratusan dollar.   Semuanya masih baru dan berbau bank.

‘Untuk apa?’ tanyaku parau penuh kecurigaan.

‘Untuk hidupmu yang akan datang.  Papa memutuskan untuk menafkahimu hingga kamu bisa berdiri sendiri.  Uang ini cukup untuk kau gunakan selama lima belas tahun bila kamu bisa sedikit berhemat,’  ucap David lancar.   ‘Sesudah itu . . .’

‘Kamu bohong,’ potongku geram.

‘Aku tidak bohong,’ bantah David sambil menahan agar suaranya tidak meninggi.  ‘Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?  Papa mengakui bahwa kedatanganmu telah menggoncangkan jiwa Papa,’ lanjut David begitu kejamnya.

‘Dan Papa menginginkan agar aku segera angkat kaki?’

‘Ya.  Besok sore Batista bersaudara akan mengantarmu sampai New York dan dari sana kamu ter . . .’

‘Tidak perlu!’ bantahku sakit hati.  ‘Aku sudah siap untuk pergi sendiri tanpa perlu kau usir.’

‘Jangan konyol.  Papa menyuruh aku untuk menemanimu hingga New York,’  kata David.  Berarti ini bukan main-main.  Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini.  Aku benar-benar sakit hati.  Ayah kandungku tak menginginkan aku.  Apa artinya uang? Aku tak membutuhkan uangnya.  Dan apa pula arti dari kebahagiaan yang diperlihatkan Papa ketika menyambut kedatanganku?  Apakah itu semua hanya sebuah sandiwara? Berpacu di atas pelana dan obrolan-obrolan sesuai makan malam, tidak ada artinyakah itu?

‘Kamu dan ayahmu benar-benar manusia tanpa hati. Binatang!’ desisku.   David tak mengubris omonganku.  Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.

‘Bawalah uangmu.  Aku tidak membutuhkannya,’ teriakku.

‘Itu uangmu, Lucy.  Kamu berhak untuk menggunakan sesuka hatimu.  Mau kau bakar pun boleh,’ toleh David.  Kudekati dia dan . . . Plaar!  Tanganku melayang di pipinya. David menatap nanar padaku.

‘Lucy, aku kasihan padamu.  Ibumu telah kawin lagi dan mau enaknya sendiri dengan menyuruh kamu datang kemari.’

 ‘Tutup mulutmu!’

‘Ibumu benar-benar licik.  Dia tahu Papa akan segera membuat surat wasiat.  Dengan hadirnya kamu di sini, ibumu mengira kamu akan mendapat bagian,’ oceh David tak mengacuhkan laranganku.

 ‘Itu hanya pikiran kotormu.’

 ‘Tapi Papa segera menyadari.  Kamu jangan berharap lagi.  Bagianmu hanyalah yang ada di dalam tas itu.  Kamu tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan kami.’ tutup David dan bergegas meninggalkanku.

Sesudah David berlalu, aku berdiam tidak begeming.  Mematung dan tidak bisa melakukan  apa-apa.   Bahkan untuk menangispun aku tak mampu.  Tuduhan yang mereka lontarkan kepada Mama benar-benar tidak manusiawi. Dan ironinya tuduhan itu yang melancarkan anak kandung Mama sendiri.

Kubuka jendela kamarku.  Malam benar-benar pekat.  Tak ada sebuah bintang pun yang bersinar.  Mendung yang menggelantung di langit menggambarkan kesedihanku.  Dimana Oscar? Dimana Irene? Mengapa mereka tidak memainkan biolanya?  Mengapa tidak kudengar Il Silenzio mereka?

Uang yang di berikan Papa terlampau banyak.  Hampir saja semuanya kubakar tapi untung otak warasku masih bekerja.  Begitu banyak hal-hal yang dapat kulakukan dengan uang sebanyak itu. Papa telah melicinkan jalanku.  Kubongkar kembali koperku.  Kupilih pakaian-pakaian santaiku dan kumasukkan ke dalam ransel yang kubeli bersama Irene tempo hari yang sedianya kukirim untuk Adit tapi belum jadi.  Tas kecil dari David kuselipkan di antara baju-baju itu setelah terlebih dahulu kuambil beberapa lembar dan kumasukkan kedalam tas tanganku.   Rencanaku sudah matang.   Stanton boleh membenciku tetapi tidak boleh mengatur jalan hidupku.  Aku mempunyai kehidupan sendiri yang harus kujalani sendiri pula.

Semalaman  aku tak berhasil memejamkan mata. Terlampau tegang dan kuatir jika rencanaku  gagal.  Begitu langit di sebelah timur bersemu merah aku segera mandi dan ganti  pakaian.  Kuperiksa sekali lagi ranselku.  Aku harus cepat atau David akan segera  terbangun dan menggagalkan rencanaku.

‘Missy,  mau kemana?’ tegur Clemmie di lantai bawah ketika melihatku sudah siap.

‘Dimana  Georgie?’ bissikku.

‘Di  garasi,’ jawab Clemmie ikut berbisik.

‘Aku  akan ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku.  ‘Aku membutuhkan Georgie untuk mengantarku ke airport,’

‘Kenapa  tidak bilang dari kemarin hingga saya bisa menyiapkan sarapan untukmu.’

 ‘David  baru memberitahu tadi malam dan sudah terlalu larut untuk membicarakan  denganmu,’ jawabku setengah betul.   ‘Clemmie, aku harus segera pergi,’ lanjutku  memutuskan pembicaraan. Clemmie nampak agak bingung. Kubiarkan saja dan aku  berlari menuju ke garasi. Kujumpai Georgie di sana sedang membersihkan mobil.

‘Georgie,  maukah kamu mengantarku ke airport?’ tanyaku.

 ‘Airport?’

 ‘Ya.  Aku harus terbang ke Colombus,’ jawabku.  Georgie tidak bertanya untuk apa aku  ke Colombus jadi aku tidak harus membohonginya.  Dia tentu mengira aku akan  menjenguk Papa.

Λ

Selamat  tinggal, Stanton.   Selamat tinggal semua dan selamat tinggal padang rumput,  bisik hatiku ketika aku dan Georgie sudah berada di tengah-tengah padang rumput  dan mulai menjauhi rumah.   Untung  hari masih terlalu pagi sehingga lalu lintas tidak begitu penuh dan Georgie  dapat mengendarai mobilnya dengan bebas.  Louisville masih tidur berselimut  kabut pagi.

‘Terima  kasih, Georgie,’ ucapku sambil meloncat turun dari mobil begitu sampai di  airport.  Georgie tampak sedikit heran.  Dia berniat untuk mengantarku masuk  tetapi segera kucegah.  Kalau dia sampai masuk dia akan tahu kalau aku telah  membohonginya.

‘Sampai  di sini saja, Georgie, biarkan aku masuk sendiri.’

‘Tapi  . . .’

‘Tidak  apa-apa.  Lihat aku tidak membawa barang berat jadi aku bisa membawanya sendiri,’  dustaku. Georgie bimbang.  Dia pasti curiga sekarang.

‘Dengar,  Georgie, kalau aku diantar masuk, rasanya aku akan pergi lama.  Aku benci  perpisahan,’ sambungku meyakinkan.  Georgie tersenyum.

‘Paling  tidak ijinkan aku mengantarmu hingga kamu bertemu dengan Batista. Sesudah itu  aku akan pergi.’

‘Georgie  . . .’

‘Oke,  kalau itu maumu,’ sambung Georgie kecewa.

‘Terima  kasih, Georgie.  Sampai jumpa nanti malam,’  kataku untuk membunuh kecurigaannya.   Georgie mengangguk dan menjalankan mobilnya.  Begitu dia tak nampak lagi, aku  segera masuk ke airport. Untuk pertama kalinya aku merasa terbebas dari tekanan  yang menghimpit batinku.  Kini aku bebas untuk menjalani kehidupanku.  Bebas  menentukan apa yang akan kujalani.  Tak seorang pun yang akan merintangi jalanku.   Tidak ibu Oom No, tidak Papa, tidak pula David. Aku adalah Lusi, bukan Lucinda  Stanton lagi.

Begitu  masuk ke airport segera kulihat jadwal penerbangan yang tergantung di atas meja  informasi.  Paling atas adalah flight nomor 304 dari pesawat United yang akan  menuju ke Jacksonville, Florida. Kuteliti penerbangan yang ke Colombus, tidak  ada!  Aku mulai panik.  Kalau Georgie sampai di rumah, David akan segera tahu  kalau aku telah melarikan diri . Dia tentu akan menyusulku kemari.   Aku harus  segera keluar dari Louisville.

Penerbangan  ke Jacksonville dijadwalkan pada jam 6.45.   Kulihat jam yang melilit  dipergelangan tanganku.  Jam enam seperempat.  Segera kuhubungi penjualan tiket.   Aku harus keluar dari Louisville secepatnya.  Tidak peduli tempat mana yang akan  kutuju.

Sambil  menunggu waktu yang di tentukan, aku berdiri mematung menatap para petugas  airport yang sedang membersihkan dan membenahi ruangan.

‘Lucy!’  tiba-tiba kudengar sebuah panggilan.  Panggilan itu begitu lirihnya tapi sanggup  untuk membuat tubuhku terlonjak kaget.  Secepat kilat aku memutar tubuh.  Irene  berdiri di depanku.

‘Irene,  apa yang kamu lakukan di sini?’ bisikku.

‘Membuntutimu, Lusy,’

‘Membuntutiku?   Aku tak mengerti maksudmu . Aku akan terbang ke Colombus menjenguk Papa,’  bohongku mulai tenang.

‘Kamu  tidak akan ke Colombus, Lucy, aku melihat kamu membeli ticket untuk ke  Jacksonville.  Kamu tidak berniat untuk pergi ke Jaksonville, bukan?’  desak  Irene. Aku benar-benar mati kutu. Irene telah mengetahui begitu banyak.
Sekarang apa yang akan di lakukannya?

‘Lucy,’  panggil Irene.  Kutengadahkan wajahku dan menatap langsung ke matanya.  Tidak ada  niat jahat di mata itu.

‘Kita  masih berteman, ‘kan?’ tanya Irene.

‘Ya,’  gumamku.

‘Kalau  begitu dengarkan aku.  Kamu tidak harus pergi ke Jacksonville.  Aku bisa  mencarikan kamu sebuah rumah di sekitar Louisville.’

‘Aku harus keluar dari  Louisville, Irene,’

‘Siapa  yang mengharuskanmu? Master David?’

‘Irene,  bagaimana kamu bisa tahu?’ tanyaku benar-benar kaget.

‘Lucy,  semua orang akan tahu dengan seketika.  Kamu dan Master david adalah dua saudara  kembar yang seharusnya bahagia bila di satukan lagi.  Tapi tak pernah sekali pun  kulihat kalian berbicara akrab.  Dan aku tahu pula bukan kamu yang menyebabkan  ketidakakraban itu. Master David terlalu sinis.  Jadi sudah sewajarnya jika kamu  tidak betah di rumah itu.  Tapi kamu tidak harus melarikan diri.  Hakmu atas  rumah itu sebesar hak Master David. Kamu tidak akan mengalah terhadapnya ‘kan,  Lucy,’ Irene menerangkan.  Oh, jadi Irene tidak tahu.  Dia tidak tahu kalau Papa  pun telah mengusirku pula.

‘Irene, kamu keliru.’

‘Tidak, Lucy.  Kemarin siang kamu bertengkar dengan Master David di hutan pinus ‘kan?  Aku tidak tahu apa yang kalian pertengkarkan tapi aku melihat wajahmu begitu murung ketika aku menyusulmu. Saat itu aku yakin kamu bakal melakukan hal-hal nekat, maka kuputuskan diriku untuk mengawasimu.  Jangan biarkan Master David menyakitimu,Lucy.  Tetap tinggallah di Louisville,’ pinta Irene.   Kugelengkan kepalaku.

‘Tidak bisa, Irene.   Tidak bisa.’

‘Mengapa  Lucy?’

‘Mereka  akan mengirimku kembali ke Indonesia nanti sore,’ jawabku jujur.  Dengan Irene rasa-rasanya tak ada yang perlu kurahasiakan lagi.

 ‘Siapa  mereka?’

‘Papa  dan David.’

‘Mister  Stanton?’ tanya Irene tak percaya, ‘Mengapa?’

‘Aku  tidak tahu.  Mungkin Papa dendam kepada Mama karena Mama meninggalkan  Papa.  Menurut keputusan pengadilan, aku adalah tanggung jawab Mama.  Aku  tidak mau pulang ke Indonesia.  Itulah sebabnya aku harus segera pergi dari  Louisville.’ Irene terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba kulihat mata Irene  berkaca-kaca.

‘Mengapa  harus kamu yang mnderita?  Mengapa bukan aku padahal aku yang berdosa,’ gumam  Irene lirih.  Aku tak mengerti makna dari ucapan itu.  Tapi aku sudah tidak punya waktu untuk menganalisanya.  Panggilan untuk menuju ke
pesawat sudah terdengar.

‘Irene,  aku harus pergi,’ bisikku.

‘Lucy,  jangan pergi, please?’ pinta Irene.

‘Kamu  tahu aku tidak bisa.’

‘Lucy,  kamu sama sekali tidak tahu daerah yang akan kau tuju,’ ucap Irene kuatir.

‘Jangan  takut, Irene.  Aku di lahirkan di Amerika. Ingat?’

‘Kamu  yakin ini yang terbaik bagimu?’

‘Ya,  Irene.’

‘Kalau  begitu aku akan  pergi menyertaimu.  Aku tidak punya siapa-siapa disini.  Aku bisa pergi kemana saja.  Aku akan menemanimu.’

‘Apa?!’  teriakku tak percaya.

 ‘Aku  akan pergi denganmu, Kita bisa cari kerja bersama.’

‘Irene,  tidak!’ jawabku seketika.

‘Lucy,. . . ‘

‘Tidak,  Irene.  Aku akan pergi sendiri.  Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.’

‘Aku  tidak akan menyulitkanmu. Aku akan menghidupi diriku sendiri. Tapi biarkan aku menjagamu.’

‘Menjagaku?  Tidak! Aku tidak akan mengijinkanmu . Kamu kembalilah ke Stanton dan jangan  katakan kemana aku pergi. Mereka akan curiga bila kita lari bersama.’

‘Lucy,…’

‘Tidak, Irene.   Sekali lagi tidak!’

‘Lucy  biarkan aku menebus dosa?

‘Menebus  dosa?  Irene, ini tidak ada hubungannya denganmu.   Irene, jangan ngelantur.  Aku bisa berdiri sendiri.  Kamu akan  benar-benar menolongku bila kamu mau pulang ke Stanton lagi. Aku akan  menghubungimu, Irene. Kuminta kamu menyimpankan surat-surat yang datang dari  Indonesia untukku.  Mungkin suatu saat aku akan memintamu untuk mengirimkannya  kepadaku.  Oke?’

‘Kamu berjanji untuk menghubungiku dan memberi kabar?’

‘Ya, Irene, aku berjanji.   Nah sekarang aku harus pergi.’

‘Lucy,’ panggil Irene. ‘Boleh aku memelukmu?’ tanyanya.  Berdua kami berpelukan lama sekali. Enggan rasanya untuk melepaskan diri dari Irene.

 ‘Tuhan menyertaimu, Lucy,’ bisik Irene di tengah sedanya.  Kupandang dia dari mataku yang mulai mengabur. Irene satu-satunya orang yang paling dekat denganku sesudah Mama.  Aku tidak tahu apa yang telah mendekatkan kami berdua.  Mengapa dengan David yang saudara kembarku sendiri aku tidak bisa sedekat ini.  Mengapa?

to be continued ….

Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kedua)

Ribuan Mil Dari Mama (Bagian2)

Di luar gelap sekali sehingga sia-sia saja usahaku. Tapi aku tahu dengan pasti dari mana datangnya suara itu, dari pohon oak di depan sana. Siapakah dia? Aku makin penasaran. Makin lama kudengarkan makin yakin aku kalau yang menggesek biola itu tidak hanya seorang. Dua orang telah memainkannya bersama dengan penuh penghayatan. Perasaanku pun ikut terhanyut. Il Silenzio, lagu kematian.

Tiba-tiba mereka menghentikan permainan mereka dan menoleh.

 ‘Maaf jika aku mengganggu kalian,’ ucapku pelan.

 ‘Miss Lucinda!’ tegur Irene dan Oscar berbarengan.  Tak heran kalau Oscar memainkan Il Silenzio.  Lagu itu pasti dipersembahkan untuk orang tua dan adik-adiknya yang telah tiada.  Bagaimana dengan Irene? Apakah orang tua Irene juga sudah  meninggal?

‘Tidak keberatan jika aku ikut mendengarkan di situ?’ tanyaku.

‘Kemarilah, Miss Lucinda,’ ajak Oscar.   Aku mendekat dan duduk di samping Irene.

‘Belum tidur?’  tanya Irene halus

‘Hampir saja aku tertidur ketika mendengar permainan kalian.”

‘Apakah kami telah mengganggu tidurmu?’

‘Oh,  sama sekali tidak.  Kalian bermain begitu indahnya,” pujiku. “Kenapa kalian tidak main lagi? Anggap saja aku tidak ada di sini,’ lanjutku.  Oscar segera mengangkat biolanya yang di susul oleh Irene. Sesaat kemudian mengalunlah Green Sleeves. Indah sekali. Menghias malam yang senyap. Wajah murung Irene tampak semakin murung ketika membawakan lagu itu.

‘Indah sekali,’  bisikku ketika mereka selesai bermain.

‘Anda tahu lagu tadi, Miss Lucinda?” tanya Oscar penuh minat.

‘Aku pernah mendengarnya,’

‘Engkau pasti mengerti musik,” kejar Oscar tidak puas.

‘Aku tidak mengerti, Oscar.  Aku penggemar musik.  Aku  tahu mana musik yang baik dan mana musik yang tidak. Itu saja.”

“Bisa main biola?”

No…,”

‘Anda pasti bisa. Tidak ada orang yang mau menyempatkan diri untuk datang kemari jika dia tidak bisa main biola,’  debat Oscar.

‘Itu karena permainan kalian bagus sekali hingga mampu mengundangku untuk datang,’

‘Aku tahu Anda bohong, Miss Lucinda.  Ambillah biola ini dan mainkanlah sebuah lagu,’  desak Oscar sambil menyodorkan iolanya.

‘Oscar, aku tidak bisa,’

‘Anda bisa, Miss Lucinda.   Anda  juga pernah bilang kalau Anda tidak  berkuda padahal Anda mahir.  Mainkanlah sebuah lagu.’

‘Dengar baik-baik, Oscar, aku tidak bisa bermain sebagus kalian,’

‘Nah, benarkan? Anda bisa bermain. Mainkanlah lagu Indonesia, Miss Lucinda. Engkau mau ‘kan?’ pinta Oscar.  Matanya benar-benar mengharapkanku. Kuturuti permintaannya dan kumainkan ‘Melati dari Jayagiri’. Aku berusaha untuk tidak membuat kesalahan. Irene dan Oscar pasti akan segera mengetahui jika kesalahan itu kubuat. Telinga mereka pasti sudah benar-benar terlatih.

‘Apa nama lagu itu, Miss Lucinda?’  tanya Oscar begitu aku menurunkan biola kembali.

‘Melati dari Jayagiri.  Melati adalah nama sebuah bunga sejenis jasmine dan dalam lagu ini digunakan sebagai lambang untuk seorang gadis.  Jayagiri adalah nama sebuah tempat,’ jawabku asal-asalan.

‘Mainkanlah sekali lagi,’ pinta Irene mengejutkan.

‘Kamu  sungguh-sungguh memintaku?’ tanyaku tak percaya

‘Ya,” jawab Irene mantap.  Kumainkan Melati dari Jayagiri sekali lagi.  Aku tidak menyangka Irene bakal ikut bermain bersamaku. Daya tangkapnya luar biasa.  Begitu aku selesai, kuminta dia untuk memainkannya sendiri.  Dia menuruti tanpa cela.

 ‘I’ve got it,’  cetus Oscar tiba-tiba.

‘Engkau mau bermain pula, Oscar? Ini biolamu,’

‘Tidak perlu, Miss Lucinda . Aku membawa harmonika.  Mengapa tidak kita mainkan sekali lagi bersama?’  usul Oscar.   Aku dan Irene menyetujuinya.  Maka mengalunlah lagu itu di malam yang sepi di tengah padang rumput, seakan lagu itu tercipta khusus  untuk dimainkan di sini. B egitu pas dan sesuai dengan keadaan.  Begitu mengena.  Tentu pada waktu mencipta lagu ini Bimbo sedang berada di tengah-tengah padang rumput.

‘Apakah banyak komponis di Indonesia?’ tanya Oscar.

‘Ya, banyak juga.  Cuma . . . mereka jarang yang bisa muncul ke dunia Internasional. Masalahnya bukan tak mampu tapi tidak ada kesempatan.’

‘Aku percaya’  bisik Irene dengan suaranya yang lembut.  ‘Kalau mereka bisa mencipta lagu seindah tadi pasti masih ada lagi karya-karya lain yang indah.  Aku berharap dapat ke Indonesia nanti di suatu saat,’ lanjutnya penuh harapan.   Aku senang mendengar kata-kata Irene itu.

‘Nanti kita pergi bersama, Miss Irene,’ sela Oscar sambil tertawa. Giginya yang putih masih tetap tampak walau malam begitu pekat. Irene ikut tersenyum

‘Aku takut aku harus menunggumu terlalu lama,’ desah Irene.

‘Tidak,’  potong Oscar cepat. ‘Mulai besok aku akan menabung. Tidak ada lagi majalah sport yang kubeli begitu juga CD.’

‘Bukan itu, Oscar.  Tetapi menunggu kamu hingga jadi musikus dan mempunyai cukup uang untuk membiayaiku,’ canda Irene.

‘Membiayaimu?’ tanya Oscar serius.

‘Ya, mengapa tidak?   Aku yang mengajarimu main biola.  Kamu nanti pasti akan menjadi pemain biola handal. Pasti nanti uangmu berlimpah,’ hibur Irene.  Oscar berdecak senang.  Oscar boleh mempunyai cita-cita setinggi itu. Dia mempunyai sesuatu yang kuat untuk menunjukkan cita-citanya. Usia muda, bakat, dan satu lagi, dia hidup di Amerika yang membuka banyak kesempatan untuk dirinya.  Irene tahu itu, dia tidak hanya sekedar bergurau.

Kami masih bermain lagi, membawakan lagu-lagu ringan sebelum kami saling mengucapkan selamat malam karena kantuk yang tidak dapat di tahan lagi. Maka berlalulah sebuah malam yang indah.

Λ

Pagi itu aku kaget setengah mati ketika menjumpai Papa masih di rumah padahal aku sudah bangun terlambat.

‘Belum  pergi, Papa?’

‘Aku sengaja  menunggu hingga kamu bangun,’ jawab Papa.

‘Menungguku?  Mengapa?’ tanyaku tak habis pikir sebab belum pernah Papa pamitan padaku  sebelum pergi.

‘Aku  harus pergi untuk beberapa hari, jadi kurasa aku wajib untuk memberitahumu.   Semalam aku lupa mengatakannya.’

‘Mengapa  Papa tidak membangunkanku?’

‘Tidak perlu tergesa-gesa. Konperensinya baru dibuka sore nanti.’

‘Konperensi?’

‘Ya.  Konperensi di Universitas Ohio di Colombus.’

‘Universitas Ohio?’  tanpa kusadari aku telah membeo setiap ucapan Papa dan rupanya Papa menyadarinya.

‘Universitas Ohio memiliki fakultas pertanian yang terbaik di seluruh Amerika dan sering mengadakan konperensi dengan para petani. Karena Papa kebetulan seorang petani dan kebetulan pula Alumni dari sana, maka Papa mendapat undangan.”

‘O, . . . ‘ aku Cuma bisa melongo. Kemudian Papa mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar ratusan dollar yang segera di ulurkannya kepadaku.

‘Belilah sesuatu.  Kamu belum pergi ke mana-mana sejak kedatanganmu kemari.  Besok pagi Irene akan ke kota, kamu bisa ikut dengannya.’

‘Terimakasih, Papa, tapi aku masih mempunyai sisa uang pemberian Mama,’  tolakku sok aksi.

‘Lucy, kali ini pemberian Papa,” Papa memaksa.  Kuterima juga akhirnya uang itu dan kumasukkan ke saku celanaku.

‘Aku sudah membuka rekening bank untukmu.  Dua  atau tiga hari lagi kamu akan menerima kartu ATM.  Sementara itu, kalau engkau kekurangan uang, bisa meminta pada David.  Oke, Lucy, Papa pergi dulu,” kata Papa.   Meminta pada David? Huu . . . rasanya lebih baik aku mati kelaparan daripada meminta darinya. Kuantar Papa sampai ke mobilnya.  Begitu mobil itu  menghilang aku segera mencari Denver dan memacunya ke hutan pinus.

Λ

Irene  begitu cekatan dalam membeli barang-barang yang di butuhkannya.  Dia telah  mencatat apa-apa yang akan dibelinya  sehingga dia tinggal memberi tanda  barang-barang apa saja yang sudah di ambilnya. Untuk berbelanja sebanyak empat  kereta belanja dia tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam. Sedang aku . . .  mencari sebuah ransel untuk Adit saja telah menghabiskan waktu beberapa jam!   Mungkin karena kecekatannya itulah Irene di beri tugas untuk berbelanja ke kota  seminggu sekali.

Sebelum  ke kasir, irene mengeluarkan bundelan kertas yang ternyata merupakan kupon discount yang di kumpulkannya dari  majalah-majalah atau bekas pembungkus yang lama.

‘Cara  untuk mendapatkan uang ekstra,” bisik Irene lugu sambil tersenyum. Potongan  harga yang di dapat Irene lebih dari sepuluh persen dari jumlah seluruh  belanja. Dari uang itu dia membeli sebuah majalah sport dan CD untuk Oscar.

‘Irene, kamu begitu memperhatikan Oscar,’ cetusku tak bertahan dalam perjalanan pulang.   Irene memandangku sejenak sebelum menjawab.

‘Saya tidak tahu mengapa,  tapi saya menyayanginya.’

‘Yah,  kurasa semua orang menyayangi Oscar,” pendapatku.  ‘Apakah kamu mempunyai adik,  Irene?’ tanyaku kemudian. Lama dia tak menjawab. Hampir saja aku mengira Irene tak  mendengar apa yang kutanyakan kepadanya ketika tiba-tiba saja dia menghembuskan  nafas panjang. Aku tahu Irene tak suka menceritakan tentang dirinya. Seharusnya  aku tak bertanya tadi.

‘Engkau  tidak harus menjawab,’  kataku. Aku sama sekali tak mengira hal itu ternyata  justru memancing Irene untuk menjawab.

‘Tidak  ada yang perlu di sembunyikan, Miss Lucinda.  Aku tidak mempunyai siapa-siapa di  dunia ini.  Tidak saudara dan tidak pula orang tua,”  kata Irene datar. Astaga,  . . sadisnya aku.  Mengapa aku selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau tadi  aku tak  ertanya tentu Irene tidak harus menjawab dan kalau Irene tidak harus  menjawab dia tidak akan teringat kisah sedihnya.

‘Irene,’ panggilku lirih,  ‘Kamu mempunyai seseorang di dunia ini,. . .  aku. Maukah engkau menjadi temanku, Irene?’  Irene menatapku tak percaya.

‘Miss Lucinda?’

‘Panggil aku Lusi.  Kita sekarang  adalah teman,’

‘Miss … ‘

‘Lusi,’  potongku cepat.

‘Oke,  Lusi.’  Irene tergagap tetapi sebuah senyum manis tersinggung di bibirnya yang  tipis.  Ya Tuhan aku sangat kenal dengan senyum itu.  Tetapi senyum siapa? Irene  jarang tersenyum.  Lalu senyum siapa yang persis dengan senyum itu?

Λ

Aku  sedang membenamkan diri dalam lamunan di tepi telaga ketika kudengar kaki kuda  berderap mendekatiku. Kulirik Denver. Dia masih berada di tempatnya semula.   Lalu siapa? Georgie dan Oscar sejak tadi pagi sudah pergi ke ladang apel.  Derap  kaki kuda itu makin mendekat. Kusibakkan daun pinus yang ada dibelakangku dan  mengintip. David?!! Mau apa dia kemari? Ingin benar aku melarikan diri tapi  sudah tak mungkin lagi karena David sudah terlalu dekat. Dia akan segera  melihatku. Kuurungkan niatku dan duduk lagi dengan cemas. Apa pun yang akan  terjadi, terjadilah.

David  dan kudanya muncul di dekat Denver. Dia tidak kaget ketika melihatku, berarti  dia sudah tahu aku berada di sini. Tapi mengapa dia masih datang juga? Apa yang  ingin dia lakukan? David meloncat turun dari kudanya dan berjalan ke arahku.   Dia menatapku tajam. Kutantang matanya. Aku tidak mau menunjukkan rasa takutku,  dia akan menertawakannya. Akibatnya kami saling memberingaskan mata berusaha  menundukkan satu sama lainnya.

‘Aku  membawa kabar buruk buatmu.’  David memulai tanpa emosi.  Bayangan Mama melintas  dalam pikiranku.  Ada apa dengan Mama?

‘Ada  apa?’  tanyaku lemah.  Tidak lagi kuingat untuk menentang matanya. Aku tidak  ingin apa-apa lagi.

‘Papa terkena serangan jantung  sewaktu konperensi,’

‘Papa?’  tanyaku sumbang.   Jadi bukan Mama.

‘Ya.’

‘Papa  terkena serangan jantung?’ ulangku.   ‘Apakah Papa sering mendapat serangan  jantung seperti itu?’

‘Ya  dan tidak,’ jawab David. “Ya, Papa mendapat serangan jantung tapi Papa belum  pernah mendapat serangan jantung hingga kamu datang kemari.’

‘Apa  maksudmu?’

‘Untuk  apa sebenarnya engkau datang kemari?’ tanya David tak menjawab pertanyaanku.

‘Untuk apa kamu datang kemari, Lucinda?’  tanya David lagi ketika aku tidak  menjawab pertanyaannya.

‘Apa  hubungan antara kedatanganku dengan penyakit Papa?’ tanyaku keheranan.

‘Kamu  belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ sahut David congkak.

‘Aku  takkan menjawab sebelum engkau menjawab pertanyaanku.’

‘Aku  yang bertanya lebih dahulu,’ bantah David keras.

‘Aku  tidak harus menjawab pertanyaanmu,’ aku tidak mau kalah.  Hutan yang tadi sepi kini mulai gaduh. Burung-burung mulai berterbangan dengan hingarnya, terganggu  oleh pertengkaran kami.

‘Oke,  dengar baik-baik, Miss Lucinda. Dokter Papa baru saja menelponku, bahwa Papa  sudah dalam perawatan. Dan dokter tadi juga menanyakan apakah ada peristiwa  mengejutkan yang terjadi dalam hidup Papa. Tak ada! Kecuali kedatanganmu  kemari.’

‘Itu bukan alasan yang  sesungguhnya.  Engkau hanya menduga,’

‘Lalu apa?’  tantang David.  ‘Bisakah kamu menamakan peristiwa yang telah mengejutkan Papa selain kedatanganmu?

‘Aku tidak tahu. Tapi aku yakin bukan aku penyebabnya.”

“Bukan  kau? Lalu siapa? Aku?” David tertawa sinis.

‘Hentikan  tuduhanmu yang tidak relevan itu,’ jeritku panas.

‘Memang  tidak relevan, tapi masuk akal,’ bantah David geram.  “Enam belas tahun yang  lalu ibumu juga telah berlaku kejam terhadap Papa, meninggalkannya tanpa pesan.   Dan sekarang kamu mau mengusik kehidupan Papa yang sudah tentram. Apa maumu,  Lucinda?’

David mengalamatkan Mama dengan ‘ibumu’ bukan ibu kita atau Mama. Hal  itu benar-benar menyakitkan hatiku.

‘Mama punya alasan kuat untuk meninggalkan Papa,’ belaku.

‘Alasan  kuat? Bah!!  Ibumu telah tergila-gila dengan pria hingga dia tega meninggalkan  keluarganya. Apakah itu alasan kuat?’ kecam David. Aku seperti kena tampar  mendengar kata-katanya yang kejam. Dia mengomentari wanita yang telah  melahirkannya dengan kata-kata serendah itu. Kemarahanku mencapai puncaknya.  Mama telah di hina, aku harus membelanya.

‘Tarik kembali  kata-katamu yang kurang ajar itu!’  hardikku

‘Aku  hanya mengatakan sebuah fakta tentang ibumu,’  ucap David begitu tenangnya.

‘Dia  ibumu juga dan dia tidak serendah itu.’

‘Dia  ibumu, bukan ibuku.  Dia talah memailih untuk menjadi ibumu dan Papa telah memilih untuk menjadi ayahku.  Aku tidak pernah mempunyai seorang ibu,’ sahut David.  Tuhan  apa jadinya jika Mama mendengar apa yang baru saja di ucapkan David?

‘Sekarang kamu harus menjawab pertanyaanku.  Untuk apa kau datang kemari?’  Tanya David  lagi.   Aku tidak menjawabnya. Tidak ada gunanya bercakap-cakap dengan manusia setan  seperti dia.

‘Berarti  dugaan Deidre benar,’  gumam David.

‘Apa  dugaannya?’  tanyaku benar-benar ingin tahu.

‘Engkau  datang untuk mencari warisan,’ jawab David seenaknya. Oh, dia mengira aku  serendah itu? ‘Tapi harap kau ingat, Lucy. Engkau tak bakal menerima sesen pun  dari Papa,’  lanjut David.

Kemarahanku  sudah tak terkendalikan lagi. Bukan karena mendengar aku tak bakal menerima  warisan, tetapi karena David mempercayai omongan wanita murahan macam Deidre.

‘Aku  tidak datang untuk itu. Aku tak butuh uang ayahmu,’ teriakku. Aku pun  ikut-ikutan dengan memanggil Papa sebagai ‘ayahmu’.

‘Oh  ya? Lalu untuk apa?’ tanya David tak percaya.

‘Untuk  menemui Ayahku.’

“Dia  bukan ayahmu lagi.”

‘Hubungan  Ayah dan anak tidak bisa hilang begitu saja sebagaimana hubungan ibu dan anak,”  sanggahku. David tertawa sinis. Alangkah bencinya aku mendengar tawanya.

‘Kamu salah. Lucinda.  Hubunganmu dengan Papa sudah putus sejak pengadilan memutuskan  perceraian ibumu dengan ayahku dan kamu menjadi tanggung jawab ibumu.  Kalau kamu masih menerima kiriman uang dari Papa itu karena Papa bermurah hati  kepadamu dan kamu harus berterimakasih untuk itu.’

‘Sudah kewajibannya untuk membesarkanku..’

‘Benarkah itu?  Apakah engkau belum besar sekarang? Berapa umurmu? Sembilan belas tahun. Padahal batas usia besar itu delapan belas tahun.  Papa tidak mempunyai kewajiban lagi terhadapmu.  Fair is fair, Miss Lucinda,’ kata David sambil tersenyum penuh kemenangan.  Aku tidak bisa menjawab.  Ingin benar aku menangis tapi sekuat tenaga kutahan.  David akan lebih girang lagi bila dapat melihat aku menangis.

‘Maaf aku telah menghancurkan harapanmu,’ kata David sinis. Kemudian dia berjalan menjauhiku.

‘Aku benci kamu! Benci sekali!’ teriakku. David menoleh.

‘Sama-sama,  Miss Lucinda.   Aku juga membencimu.  Benci sekali,’ ucapnya angkuh.  Inilah dia … dua  saudara kembar yang telah disatukan tetapi apa yang diucapkan adalah  kata-kata penuh kebencian.

Setelah  David berlalu barulah aku teringat kembali kepada Papa.  Mengapa kami harus  bertengkar sementara Papa sedang menderita?  Apakah benar aku telah mengejutkan  Papa? Tetapi mungkinkah itu? Bagaimanapun juga aku adalah anak Papa dan Mama toh  sudah meminta persetujuan Papa apakah aku boleh tinggal bersamanya atau tidak.

Kembali aku teringat penghinaan David tadi. Dia begitu keras kepala dan angkuh. Apakah dengan kata-katanya tadi dia  telah mengusirku secara tak langsung? Apakah aku harus pulang kepada Mama?  Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi.  Bukannya aku tidak mau bertemu dengan Mama.  Tetapi jika aku pulang, Mama akan segera tahu apa yng sesungguhnya terjadi. Mama akan tahu aku tidak diinginkan di sini.  Mama akan tahu anak sulungnya tidak menganggap Mama sebagai ibunya lagi.  Tetapi jika aku tidak pulang, tidak malukah aku?  Haruskah aku menebalkan muka dengan tetap tinggal di sini dan membiarkan David melakukan penghinaan seenak perutnya?  Aku benar-benar bingung.

to be continued …

Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Pertama)

Ribuan Mil Dari Mama Part 1

Wanita cantik berkulit hitam itu menerima paspor yang kuulurkan kepadanya.  Sekejab dia memandangku dengan matanya yang jernih, kemudian memeriksa pasporku dengan seksama. Selagi dia menunduk, kuamati dirinya. Kulitnya licin bercahaya, rambutnya yang keriting di tarik ke belakang kemudian diikat dengan pita berwarna biru sewarna dengan pakaian yang di kenakannya.  Profil wajahnya begitu apik. Tulang pipinya yang menonjol sengaja di tunjukkannya dengan menggunakan makeup yang samar-samar. Secara keseluruhan dia sangat menarik.

‘Miss Lucinda Stanton?’ tanyanya sambil menengadahkan kepala. Kuanggukan kepalaku walau nama itu sangat asing bagi telingaku. Sepanjang hidupku, namaku adalah Lusi.  Tanpa embel-embel Stanton di belakangnya.  Setelah yakin kalau foto di paspor itu adalah fotoku, si hitam manis pegawai imigrasi tersebut kemudian dia membubuhkan cap di halaman pasporku. Setelah selesai dia membuka pintu yang memisahkanku dengan dirinya.

‘Would you follow me, please?’ katanya lembut sembari menyerahkan pasporku kembali.  Sejenak aku terpana.  Untuk apa?

‘Anda telah dinanti,’ lanjut wanita tersebut membunuh keherananku.  Aku pun bisa bernafas lega dan mengikuti dia. Setelah berjalan melalui lorong-lorong yang panjang, akhirnya kami sampai di depan pintu dengan tulisan ‘Private Airlines’.

‘Gabriella!’ teriak seseorang begitu kami memasuki ruangan.  Aku memandang sekeliling mencari wajah yang mungkin kukenal. Tidak ada!  Lalu siapa yang menjemputku?

‘Miss Stanton, . . .?’  panggil si hitam manis yang ternyata bernama Gabriella.  Secara spontan aku menoleh.

‘Ini Emanuel Batista yang bertugas menjemput anda,’  lanjut Gabriella memperkenalkan pria yang tadi meneriakkan namanya.  Melihat wajahnya yang mirip-mirip George Lopez, aku yakin kalau dia pria Mexico.

‘Senang sekali bertugas menjemput anda, Miss Stanton,’  ucap Emanuel sambil menjabat tanganku hangat.

‘Dia seorang pilot yang hebat, keselamatan Anda akan terjamin bersamanya.’ Gabriella menerangkan.   Emanuel hanya mampu tertawa canggung.

‘Oke, saya harus bertugas.  Selamat jalan, Miss Stanton, semoga Anda betah di Amerika,” ucap Gabriella sebelum berlalu.

‘Terima kasih,’ bisikku. Ya, mudah-mudahan aku betah di sini.

‘Anda sudah siap, Miss Stanton?’ tanya Emanuel memecahkan lamunanku.

‘Ya, ya,’ sahutku gagap.  ‘Tapi bagaimana barang-barangku?’ lanjutku.

‘Sudah kami urus,’ jawab Emanuel mantap.  Kemudian kami keluar dari ruang tersebut. Berjalan lagi di lorong-lorong yang panjang dan lengang yang bertolak belakang dengan sisi lain dari airport ini.

‘Bagaimana dengan perjalanan Anda dari Indonesia kemari?’ tanya Emanuel.

‘Melelahkan dan membosankan,” jawabku jujur. Emanuel tertawa. Giginya begitu putih dan rata. Kalau dia tertawa seperti itu, kerut-kerut di sekeliling matanya bertambah dalam dan matanya tampak lebih bercahaya.

‘Anda boleh tidur selama perjalanan nanti,’ janji Emanuel.  Aku mengangguk untuk menyenangkan hatinya.

Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku bisa menghirup udara luar lagi.   Beberapa pesawat kecil ada di depan kami.  Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah pesawat bercat putih dengan garis biru melintang.  Di pintu pesawat tersebut ada tulisan STANTON dengan huruf besar berwarna biru pula dan di bawah pesawat itu aku melihat kedua koperku.  Aku terkejut.  Milik siapakah pesawat kecil ini?  Milik ayah kandungku?  Apakah dia sekaya itu?  Tetapi aku tak berani menanyakan hal itu kepada Emanuel.

Setelah kedua koperku masuk ke dalam bagasi, Emanuel memperkenalkan co-pilotnya.  Mauricio Batista, adik kandungnya sendiri.  Memasuki pesawat, aku kembali dibuat tertegun.  Dari luar, pesawat itu sudah tampak mewah dan ternyata di dalamnya jauh lebih mewah lagi.  Tempat duduknya yang empuk berlapis kulit berwarna krem yang lebih menjurus ke putih.  Panel dindin dan langit-langitnya begitu detail dan berselera yang tinggi.

Begitu waktu yang dijadwalkan tiba, pesawat itu mulai berjalan. Pelan dan pasti, kemudian dengan lembut meninggalkan landasan. Barulah aku percaya pada apa yang dikatakan Gabriella bahwa Emanuel adalah seorang pilot yang hebat.  Pesawat kami berjalan dengan tenang meninggalkan kota New York.  Beberapa saat kemudian kami terbang agak rendah.  Kini yang ada di bawah bukan lagi bangunan-bangunan tinggi menjulang melainkan hamparan padang rumput.  Di tengah-tengah padang rumput itu ada sebuah jalan yang mulus dan berkelok-kelok.  Itulah country road John Denver. Bila kami tiba di atas sebuah kota, Mauricio dan Manuel akan mengatakan nama kota itu serta memberikan keterangan singkat.

‘Philadelphia,’ kata Mauricio. Kemudian dia akan menerangkan segala sesuatu tentang Philadelphia.  Dari Liberty Bell hingga perjuangan orang-orang Amerika untuk mencapai kemerdekaan seakan dia ahli dalam sejarah Amerika Serikat.   Aku benar-benar senang mempunyai penjemput seperti mereka.  Janji Emanuel untuk membiarkan aku tidur dalam perjalanan tak menjadi kenyataan. Mereka menyuguhiku dengan pemandangan-pemandangan yang terlalu indah untuk diabaikan.

 ‘Mister Batista, kota apakah itu?’  tanyaku ketika melewati sebuah kota dan tak kudengar sebuah komentar pun.  Mauricio menoleh.

‘Anda tidak akan memanggil kami dengan sebutan mister  seperti itu bukan, Miss Stanton?’ tanyanya.

‘Mengapa?’  tanyaku tak mengerti.

‘Mengapa?  Panggil saja kami Manny dan Morris’

‘Tetapi kalian memangilku Miss Stanton.’

‘Karena itu sudah kewajiban kami.’

‘Aku tidak mengerti maksudmu,’  ucapku.  Mauricio atau Morris memandangku tidak percaya.

‘Ayah Anda,  Mister Stanton, boss besar kami.  Dia  adalah pemilik kami.  Dan sebutan miss untuk Anda rasanya begitu lumrah.’

‘Aku tak menyukai itu!’  bantahku sengit.  Apa-apaan ini?  Ayahku pemilik orang lain?  Waduh.! ‘ Dengar, aku tak ingin sebutan miss lagi.  Panggil saja aku Lusi dan aku akan memanggil kalian Morris dan Manny.   Adil bukan?’ usulku.  Mauricio terdiam. Tiba-tiba kudengar suara Manuel.

‘Ayah Anda tidak akan menyukainya,’

‘Biar dia tak menyukainya.  Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku tadi,” seruku mengalihkan pembicaraan. Untuk pertama kalinya aku mempunyai perasaan bahwa aku tidak akan menyukai orang yang akan kutemui kali ini.  Orang yang menurut hukum adalah ayahku.  Orang yang pernah kawin dengan mama dan orang yang harus kupanggil daddy atau papa.   Aku tidak yakin apakah jika nanti bertemu dengannya aku sanggup untuk memanggil dirinya papa.  Rasanya lebih pas bagiku untuk memanggil dia Mister Stanton.

‘Maafkan kami,’  ucap Mauricio,  ‘Itu tadi Cincinnati.   Kota yang sangat indah.  Master David kuliah di sana.’

‘Dan  bangsawan dari manakah Master David itu?’ tanyaku bergurau karena aku tahu siapa yang dimaksudnya, David Stanton, saudara kembarku. Mauricio dan Manuel tidak menjawab hanya tersenyum lebar.

 ‘Selamat datang di Kentucky, sebentar lagi kita sampai,’ seru Manny. Kemudian dia mulai mengadakan kontak dengan Louisville Airport. Beberapa saat kemudian dia mendaratkan pesawatnya dengan indah.

 ‘Penerbangan yang menyenangkan, Manny,’  pujiku sambil membuka sabuk pengamanku.

‘Saya senang Anda menyukainya Miss . . ‘

‘Lusi. Ingat?’  potongku.

‘Oke, Lusi,’  dia meralat sambil tersenyum, “Morris  akan mengantarmu ke dalam.  Georgie pasti sudah menunggumu.  Aku harus mengurus pesawat ini dulu,’  kata Manuel.

‘Manny, siapakah Georgie itu, apakah aku kenal dia?  bisikku.  Manuel mambelalakkan matanya tidak percaya.

 ‘Kamu tidak ingat Georgie?’  desisnya.   Aku menggeleng.

 ‘Dia bilang kamu dulu sangat akrab dengannya dan tidak mungkin melupakannya.  Sepanjang hidupnya dia bekerja untuk keluarga Stanton.  Sekarang dia buttler, tapi dia dulu adalah nanny kalian,” Manuel menerangkan.  Kuangkat bahuku sebagai tanda aku benar-benar tak ingat Georgie.  Nannyku seroang laki-laki.  Mengapa Mama tidak pernah mengungkapkan hal itu.  Kapankah dulu itu? Enam belas tahun yang lalu?  Waktu umurku masih tiga tahun?  Dan dia berharap aku masih mengingatnya?

Georgie adalah seorang pria yang telah melampaui usia enam puluh tahun.  Rambutnya sudah putih semua. Walau badannya masih tegap tapi kerut-kerut di wajahnya tidak bisa menyembunyikan usianya. Aku tidak tahu apakah matanya yang kelabu itu merupakan gambaran umur tuanya atau aslinya memang kelabu. Ekspresi gembira terpancar dari wajahnya ketika dia menampak kedatanganku di samping Mauricio. Aku benar-benar menyesal tidak bisa mengingat dia lagi.

‘Miss Lucinda!’  teriaknya nyaring dan tergesa-gesa menemuiku.  ‘Aku selalu berdoa untuk bisa bertemu lagi denganmu dan ternyata Tuhan menjawab doaku.’

‘Halo, Georgie,’ sapaku sambil kugenggam tangannya.

‘Kamu sudah dewasa sekarang,’  bisik Georgie.

‘Ya, Georgie.’

‘Bagaimana  kabar Nyonya Stanton?’  tanya Georgie tiba-tiba.  Aku tahu yang dimaksud pastilah Mama.

‘Baik-baik saja.  Tetap seperti dulu kurasa,’  jawabku.  Georgie mengangguk-anggukan kepalanya.

‘Wanita hebat, kita semua merindukannya . . . wanita hebat,’  bisiknya berkali-kali.

Λ

Sebuah limousine hitam berkilat telah menanti kami di luar.  Georgie membuka bagasi dan Morris memasukkan kedua koperku ke dalamnya. Kemudian Georgie membuka pintu belakang dan menyilakanku masuk.  Fuih . . . feodalisme lagi, yang akan memisahkan supir dan anak majikannya.

‘Keberatan bila aku duduk di depan?’ aku meminta persetujuan.  Georgie dan Mauricio berpandang-pandangan sejenak.

‘Tentu saja tidak,’  akhirnya Georgie berkata sambil menutup pintu belakang lagi kemudian membuka pintu depan. Aku masuk.

‘Morris, terima kasih,’  itu saja yang dapat kuucapkan kepada Morris sebelum Georgie meluncurkan mobilnya meninggalkan halaman parkir airport.

‘Masih ingat daerah ini?’  tanya Georgie ketika kami melewati pusat kota Louisville.  Kota kelahiran Muhammad Ali dan Kolonel Sanders-nya Kentucky Fried Chicken.  Aku menggeleng. Ingin benar kukatakan kepadanya bahwa tak ada satu pun yang aku ingat dari tanah Amerika ini.  Semuanya serba asing.  Bahkan aku tak ingat lagi pada Georgie.

‘Ah, kamu masih terlalu kecil waktu itu,’  akhirnya Georgie sendiri yang mengucapkannya.  Aku benar-benar merasa lega.

 Lalu lintas begitu ramainya di Louisville sehingga berkali-kali kami harus berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah.  Ingin aku bertanya pada Georgie apakah rumah ayahku masih jauh, tapi keinginan itu segera kupadamkan.  Bertanya atau tidak bertanya toh itu tak akan mendekatiku.  Kota Louisville telah kami lalui, tetapi Georgie seakan tak pernah berniat untuk menghentikan mobil kami. Dia masih melaju menuju luar kota. Keramaian kota berganti dengan kesegaran daerah pertanian. Mobil-mobil lain yang kami jumpai makin berkurang. Paling-paling satu mobil setiap lima menit. Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, kami tiba di atas sebuah bukit. Georgie memperlambat jalan mobilnya dan menoleh padaku.

‘Kita sudah sampai,’  katanya sambil tersenyum.  Aku memandang ke sekeliling.  Perkebunan anggur di kiri dan kananku dan di depanku adalah jalan yang panjang dan landai.  Tidak ada sebuah rumah pun.

‘Kamu  juga tidak ingat, Miss Lucinda, kalau tanah ini adalah tanahmu dan kebun anggur di sana itu kebunmu?’ tanya Georgie sedih. Bukan salahku jika aku tak ingat lagi, tapi nyatanya aku masih tetap merasa bersalah.  Seharusnya paling tidak aku ingat tanah ini, karena aku pernah tinggal di sini.

‘Georgie, engkau tahu aku seperti seorang yang terkena amnesia. Aku begitu ingin mengingat semuanya, tapi aku tidak  mampu. Masa kecilku seakan hilang begitu saja. Maafkan aku, Georgie,” kuputuskan diriku untuk berkata jujur kepada Georgie dan Georgie seakan memahamiku. Dia tersenyum penuh pengertian.

Begitu kebun anggur itu habis, di ganti dengan pohon-pohon apel yang mulai berbunga. Bunganya kecil-kecil berkelompok dan berwarna putih agak kekuning-kuningan.   Tidak ada daun di pohon, sehingga tampaknya hanya pohon dengan batang dan bunganya saja.  Georgie menjelaskan kalau daun baru akan muncul kalau bunganya sudah berubah menjadi buah.

‘Kapan kita panen apel, Georgie’  tanyaku memecah kesunyian yang timbul di antara kami.

‘Awal musim gugur,’ jawab Georgie.

‘Banyak hasilnya?’

‘Terlalu banyak. Kamu pasti akan bosan melihatnya dan Clemmie, . . . setiap hari dia akan membuat apple pie.  Oh, Clemmie yang malang, dia mengira setiap orang akan menyukai apple pienya,’ jawab Georgie . Aku mengerutkan dahi mencoba untuk mengingat siapa Clemmie yang dimaksudnya.

‘Kamu pasti sudah lupa sama Clemmie, istriku yang tercinta,’  lanjut Georgie menjawab pertanyaanku yang tak terucap.

Sesudah bosan dengan tanaman apel, kami disuguhi kebun jeruk yang juga mulai berbunga.  Bau kembang jeruk yang segar masih juga tercium walau semua jendela mobil tertutup rapat.

‘Georgie, boleh kubuka jendelanya,?’

‘Ya, bukalah,’  kata Georgie setelah dia mematikan air conditioner.  Begitu jendela terbuka, harum bunga yang segar menyerangku.

 ‘Persis Nyonya Stanton,’ gumam Georgie.

‘Apa?’

‘Nyonya Stanton selalu membuka jendela setiba di daerah ini.’

‘Aku mewarisi kebiasaan Mama, begitu bukan, Georgie?’ tanyaku. Georgie mengangguk setuju.

‘Kamu mewarisi semuanya. Wajahmu begitu mirip dengan nyonya Stanton,’ puji Georgie.

 Setelah perkebunan jeruk habis, diganti dengan padang rumput yang menghijau.  Di kejauhan tampak berpuluh-puluh ekor kuda.  Kuda-kuda Kentucky, coklat mengkilap. Begitu gagah, begitu kuat.

 ‘Apakah itu juga kuda-kuda Stanton?’  tanyaku ingin tahu.  Aku ingin tahu sekaya apakah ayahku.  Pesawat pribadi, limosine, perkebunan yang ribu-ribu hektar dan mungkin juga kuda-kuda itu.

‘Ya. Masih banyak lagi kuda-kuda jantan yang lebih bagus dari mereka.  Kuda-kuda yang menjadi finalis di kejuaraan Derby,’ Georgie menerangkan.  Dugaanku tepat. Ayahku terlalu kaya.  Sedang Mama?  Satu mobil pribadi, kijang saja sudah disayang-sayang ….  tidak pernah bermimpi untuk memiliki pesawat pribadi. Dari istri seorang jutawan, Mama berganti status menjadi istri seorang pegawai negeri. Tapi mama menerima semua itu dengan tabah. Aku tak pernah mendengar Mama mengeluh tentang keadaan ekonomi kami. Oom No begitu baik. Aku tahu dia begitu ingin membahagiakan Mama.

Setelah mencapai ujung tanjakan, kami membelok, dan kini kami berada di tengah-tengah padang rumput. Jalan yang kami lalui kini adalah jalan pribadi. Sebuah bangunan mulai tampak, dan makin lama makin jelas. Bangunan itu bergaya Victoria dengan empat buah pilar besar. Temboknya bercat putih sedang pintu-pintu dan jendela-jendelanya bercat hitam. Oh, ternyata bukan bercat hitam melainkan cokelat mahogani. Georgie menghentikan mobilnya di depan teras. Seorang wanita setengah tua berpakaian hitam dengan celemek putih berlari-lari menuruni anak tangga. Aku begitu yakin bahwa wanita itu Clemmie, mungkin dari cara dia memandang Georgie. Aku segera turun, takut Georgie keburu membukakan pintu untukku.

 ‘Miss Lucinda!’ teriak wanita itu.

‘Clemmie? tanyaku meyakinkan.

‘Ya, Tuhan, engkau masih ingat pada si tua Clemmie?” seru Clemmie senang. Dia memamndang pada tiga gadis manis yang telah muncul di situ dengan bangga, kemudian dia memelukku dan mencium pipi kiriku.

 ‘Engkau benar-benar mirip Nyonya Stanton, Missy,’  bisiknya sambil melepaskan pelukannya.   Kemudian dia memerintahkan kepada tiga gadis yang berdiri di belakangnya untuk membawa koperku ke dalam setelah terlebih dahulu mereka diperkenalkan kepadaku; Helen. Judy dan Irene, petugas rumah tangga.   Dengan dibimbing Clemmie aku masuk ke dalam. Aku belum bisa meyakinkan diri bahwa rumah ini juga rumahku.  Ruang tamu yang luas dan mewah dengan kursi-kursi antik yang tampak begitu anggun dan sesuai dengan cat temboknya.   Bahkan hiasan-hiasan di dindingpun seakan khusus di ciptakan untuk ruangan ini.

‘Di mana Ayah?’  akhirnya keluar juga pertanyaan yang sejak dari New York tadi ingin kuutarakan.

‘Ada urusan bisnis di Cleveland.   Mister Stanton baru akan pulang nanti menjelang makan malam,” jawab Clemmie. “Sedang Mister David saya tidak tahu kemana perginya,” lanjut Clemmie tanpa kuminta.

Dari ruang tamu kami masuk ke kamar tengah kemudian menuju ke kamar yang disediakan untukku di tingkat dua. Pintu kamar itu begitu berat dan ketika terkuak tampaklah seisi kamar.  Tempat tidur yang ekstra besar,  perapian,  kursi malas, kaca rias yang semuanya serba lux dan belum pernah kuimpikan.   Aku masuk dengan ragu kemudian menuju ke dekat jendela. Kusingkapkan tirainya. Pemandangan di luar jauh lebih indah dari pemandangan di dalam.  Padang rumput yang menghijau dengan kuda-kuda yang sedang memakan rumput.  Semuanya sangat memukau.

‘Clemmie, kamar siapakah ini?’ tanyaku sesaat sehabis mandi sambil menghadapi makan siangku. Aku benar-benar heran karena kamar ini seluruhnya menggambarkan citra seorang wanita, sedang di rumah ini tak ada wanita lain kecuali para pembantu. Dan kamar ini terlampau indah buat kamar seorang pembantu. Adakah wanita lain di rumah ini?

‘Kamarmu, miss Lucinda,’

‘Maksudku, siapakah yang biasanya menggunakan kamar ini?’

‘Tidak ada, kamar ini memang di biarkan kosong,” jawab Clemmie.

‘Untuk berjaga-jaga bila ada tamu yang bermalam?’

‘Bukan,’ sahut Clemmie cepat.  ‘Ada dua kamar yang di biarkan kosong.  Yang satunya lagi di pojok sana, di seberang master bedroom.   Mister Stanton menyediakannya untuk Missy dan nyonya Stanton…  Siapa tahu kalau mereka pulang, itu yang selalu dikatakan Mister Stanton.’  Aku tertegun. Jadi ayahku selalu mengharapkan aku dan Mama untuk kembali lagi kemari.

‘Kalau begitu kamar yang satunya lagi akan selalu kosong,’  bisikku tidak sadar.   Mama tidak akan pernah kembali lagi.

‘Apa, Missy?’  tanya Clemmie.

‘Mama tidak akan pernah kembali lagi, Clemmie.’

‘Mengapa?’ desak Clemmie cepat sekali.

‘Mama sudah kawin dengan orang lain.’

‘Sudah kawin?  Mengapa mister Stanton tidak pernah mengatakannya?  Clemmie kaget. Apakah dia tidak tahu? Apakah Ayahku juga tidak tahu? Ah mustahil! Tetapi mengapa dia merahasiakan perkawinan Mama dan masih juga menyediakan sebuah kamar untuk Mama?

‘Ya, Clemmie, dan Mama sudah mempunyai tiga anak dari perkawinannya. Dua orang pemuda dan seorang gadis cilik. Adik-adikku,’ kuucapkan kata-kata itu karena kulihat Clemmie yang masih tertegun seakan tak mendengar apa yang tadi kuucapkan.

‘Oh!’  keluh Clemmie.  Aku kasihan padanya.  Sepertinya  dia juga berharap agar suatu saat Mama akan kembali lagi .  ‘Apakah Nyonya Stanton bahagia?’  tanya Clemmie lirih

‘Ya, Mama sangat bahagia,’  jawabku pasti.  Aku tahu Mama bahagia.  Kalau toh ada sesuatu yang tak membahagiakan hati Mama, hanyalah pertengkaranku yang rutin dengan ibu mertua Mama.  Kini dengan tiadanya aku di sisi Mama berarti tak ada lagi pertengkaran yang terjadi dan tak ada lagi yang tak membahagiakan hati Mama.

‘Nyonya Stanton pantas untuk mendapatkan kebahagiaan itu,’ bisik Clemmie. Aku tahu hatinya terluka. Walau bagaimana pun juga dia adalah pengikut Stanton yang setia yang masih tetap mengharapkan Mama menyandang nama Stanton.

Sesudah selesai makan, Clemmie menekan bel untuk memanggil Irene. Kemudian dia menyibukkan diri dengan mengatur tempat tidurku. Irene masuk dengan tergopoh-gopoh dan dengan cepat membersihkan piring-piring kotor dan berlalu.

‘Sudah seberapa besar anak-anak Nyonya Stanton?’  tiba-tiba Clemmie bertanya dan menoleh ke arahku. Dia masih memanggil Mama dengan ‘Nyonya Stanton’, memang berat untuk merubah sebutan.

‘Adit, yang sulung sudah berumur dua belas tahun.’

‘Dua belas tahun?’  ulang Clemmie kaget. ‘ Jadi sudah lama Nyonya Stanton kawin lagi?’ tanyanya tak percaya.

‘Ya, sudah lama juga. Yang kedua Anto berumur delapan tahun dan si bungsu Yani, lima tahun,’ jawabku.  Aku selalu bangga bila harus bercerita tentang mereka. Betapa aku mencintai Adit, Anto dan Yani.  Tiba-tiba aku rindu pada mereka . Rindu tawa manja Yani, rindu pada cerita-cerita konyol Anto dan rindu pada senyum manis Adit.

‘Tentu mereka tampan dan cantik,’ tebak Clemmie tepat.

‘Ya. Ayah mereka juga ganteng, sih,’ sahutku.  ‘Oom No sangat baik, Clemmie’  tiba-tiba aku harus mengatakan hal itu pada Clemmie.   Aku tidak bisa memanggil Oom No dengan panggilan papa seperti yang digunakan adik-adikku. Walau tak ada yang mengatakan bahwa aku anak tirinya, tapi orang akan segera tahu aku bukan anak kandung Oom No. Aku begitu lain dengan adik-adikku. Aku terlalu cenderung ke papa dengan mata agak biru dan kulit yang terlampau puith. Kesan Indonesiaku tidak sekuat mereka, walaupun ada persamaan-persamaan tertentu yang di wariskan oleh Mama. Jadi apa gunanya memanggil papa kalau semua orang akhirnya akan tahu kalau dia bukan papaku. Lagipula Oom No dan Mama tidak keberatan aku memanggil demikian. Satu-satunya orang yang keberatan adalah ibu Oom No, dan itu tidak masuk hitungan, karena aku tahu, walaupun aku memanggil anaknya dengan panggilan papa, dia masih juga akan menemukan kesalahanku yan lain. Sejak pertama kali Mama kawin dengan Oom No dia telah mengibarkan bendera permusuhan denganku.

Λ

Aku baru saja bangun ketika Clemmie memasuki kamarku.

‘Apakah aku membangunkanmu, Missy?’ tanyanya kuatir.

‘Tidak, Clemmie, aku memang sudah bangun,’

‘Mister Stanton menyuruh saya untuk melihat apakah Missy sudah bangun. Beliau ingin bertemu dengan Missy.’

‘Di mana Papa? Sudah lama Papa pulang?’  tanyaku beruntun.

‘Mister Stanton pulang lebih awal.  Sudah tiga kali saya masuk kemari tapi Missy tidur begitu nyenyak sedangkan Mister Stanton melarang saya membangunkan Missy.’

‘Oke sebentar lagi saya siap,’ kataku sambil masuk ke kamar mandi, membasuh muka dan kumur. Kulirik wajahku di cermin, masih tampak mengantuk dan lelah. Kemudian kukenakan baju biru mudaku, aku ingin tampak menarik pada pertemuanku yang pertama dengan Papa.  Sesudah semua siap, Clemmie mengantarku hingga ke ruang perpustakaan. Seorang laki-laki setengah baya berperawakkan tegap berdiri ketika aku masuk.  Tuhan, aku tak pernah melupakannya.  Laki-laki inilah yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku.  Dialah ayahku.

‘Lucinda dear!’  teriaknya sambil merentangkan kedua tangannya siap untuk memelukku.  Belum sempat aku memutuskan untuk memanggil dirinya Papa atau Mister Stanton, aku telah berada dalam pelukannya.  Pelukannya yang hangat dari seorang ayah kandung. Tanpa kusadari aku telah menangis.

‘Aku selalu merindukanmu, Lucy,’ bisik Papa sambil menghapus air di sudut mataku. Aku tak mampu untuk berkata-kata. Lama sekali Papa baru melepas pelukannya. ‘Maafkan aku tak bisa menjemputmu di New York.’

‘Tidak apa-apa.  Mauricio dan Manuel telah melakukan tugas mereka dengan baik,’ ucapku sambil duduk di kursi yang rendah. Sekarang aku sempat menyaksikan seluruh ruangan. Rak-rak buku yang bersatu dengan dinding, meja kerja, sebuah televisi kecil . . .

‘Oh, . . . Batista bersaudara,’ seru Papa dengan tawanya yang empuk dan enak didengar,’ Yah, mereka penerbang yang hebat. Sudah hampir tiga tahun mereka bergabung dengan kita.’ Tak kudengar nada meremehkan dari Papa. Papa seakan begitu sempurna.

 ‘Kamu menyukai kamarmu, Lucy?’ tanyanya tiba-tiba.

‘Ya, kamar yang bagus,’  jawabku gagap.

Tiba-tiba pintu di depanku terbuka.  Seorang pemuda masuk. David! Ya dia pasti David. Kami berpandang-pandangan lama sekali, rambut David adalah rambutku, mata David adalah mataku, hidung David adalah hidungku, bahkan tahi lalat di dagu David sebelah kanan adalah tahi lalatku.  Yang membedakan antara aku dan David hanyalah besar tubuh kami.  David tinggi dan kekar serta dia seorang pemuda.  Lainnya tidak ada, bahkan baju yang kami kenakan pun sama warnanya, biru muda.   Tetapi sekonyong-konyong mata David berubah menjadi sangat dingin. Aku bergidik seakan mata itu sanggup untuk membunuhku. Bukan, mata itu bukan mataku! Aku tidak pernah memandang orang dengan mata sedingin itu, mata yang memancarkan sejuta benci. Aku kaget dan kecut melihat kenyataan ini. Kebahagiaan yang sempat muncul ketika aku melihat dirinya, menghilang begitu saja. Dia saudara kembarku, tapi mengapa aku tidak senang bertemu dengannya?

‘Lucy, kamu pasti sudah menduga siapa dia!’  kata Papa menengahi.   ‘David, adikmu Lucy,’  lanjut Papa memperkenalkan.  Jadi aku adiknya David.  Siapa yang lahir terlebih dahulu?

‘Hai!’ sapa David sedingin es di kutub selatan.  Aku Cuma mengangguk.  Inilah dia, dua saudara kembar yang telah bepisah sekian lama dan hanya hai dan anggukkan saja yang keluar pada pertemuan yang pertama.

 David kemudian duduk di samping kiriku. Kuusahakan untuk tidak bertatapan mata dengannya. Mengapa dia bisa sedingin ini?

‘Bagaimana dengan sekolahmu, Lucy?’

‘Tahun ini tahun keduaku di Universitas.  Aku mengambil kuliah Ekonomi.’

‘Ekonomi?’ ulang Papa. ‘ David juga belajar Ekonomi,’ tanpa sadar aku menoleh ke arah David tapi segera kualihkan ketika kutangkap sinar matanya.  David tak berkomentar.

‘Akhirnya musim panas nanti engkau bisa mendaftar.  Kukira David akan senang untuk membantumu,’  lanjut Papa.

‘Jangan terlalu mengharapkanku,’ sahut David datar.  Aku benar-benar tersinggung mendengar suaranya yang ketus.

‘Kurasa aku mampu untuk mengurus diriku sendiri,’  jawabku tak kalah ketusnya.  Kudengar David mendengus.  Setan! makiku dalam hati.  Apa yang ingin di tunjukkan oleh manusia satu ini? Aku berharap Papa akan menegurnya, ternyata tidak.  Papa seakan menganggap kata-kata David yang menyakitkan itu sebagai sesuatu yang normal.

‘David, tolong dilihat apakah makan malam sudah siap,” perintah Papa . Dengan malas David bangkit.  Sebelum keluar dia masih sempat menatapku tajam.

‘Jangan dimasukkan dalam hati,’ kudengar suara Papa, seakan dia bisa membaca hatiku.  Aku cuma bisa menganggukkan kepala.  Kejadian ini tak pernah terbayang dalam kepalaku.  Kukira David akan senang bertemu denganku seperti halnya aku yang selalu merindukan pertemuan dengannya.  Aku sangat kecewa.  Kalau saja aku boleh memilih, maka aku akan memilih makan di kamar saja. Aku tidak bisa makan dengan santai. Mata dingin David selalu mengawasi gerak-gerikku, hingga makanan yang kumakan, kadang terhenti di tenggorokanku. Aku merasa benar-benar tolol. Tapi untung kami hanya menggunakan lilin sebagai penerangnya, kalau tidak, David tentu akan lebih senang lagi bisa memperhatikan wajahku yang sebentar merah sebentar putih.

‘Tambah lagi, Lucy?’ Papa menawarkan penuh perhatian.  Aku menggeleng, takut jika aku bersuara, mereka akan bisa menangkap apa yang sebenarnya ada dalam hatiku. ‘Seharusnya Clemmie memasak nasi buatmu, tentu kamu tidak terbiasa dengan makanan seperti ini,’  Papa merasa bersalah. Oh, Mister Stanton yang malang, bukan makanan penyebabnya melainkan anak laki-lakimu itulah yang menyebabkan nafsu makanku hilang.

‘Bukan itu sebabnya,’  sanggahku, ‘Mungkin aku masih lelah saja,’  kulirik David untuk melihat reaksinya. Dia tersenyum sinis.

‘Ya, kamu membutuhkan istirahat yang cukup,’ kata Papa.

Sehabis makan malam, David langsung menghilang. Aku masih duduk lama dengan Papa. Terlalu banyak yang harus di ceritakan. Enam belas tahun berpisah bukan waktu yang singkat. Baru sesudah berbaring di tempat tidur, aku sadar bahwa tak sekali pun Papa bertanya tentang Mama. Tak sekali pun. Aneh! Padahal Papa menyediakan sebuah kamar untuk Mama.

Λ

Aku terbangun dalam keadaan yang benar-benar segar.  Sengaja tak kutekan bel untuk memanggil Clemmie. Kalau hanya untuk menyiapkan bak mandi saja aku masih mampu.  Sambil menunggu air di bak mandi penuh,  kubuka jendela kamarku lebar-lebar untuk mengijinkan udara segar memasukinya.  Padang rumput yang hijau masih basah oleh sisa-sisa embun pagi.  Kuda-kuda gagah berlarian dengan lincahnya menyambut sang matahari.  Sehabis mandi aku segera turun ke bawah.

‘Ya ampun, Missy, mengapa tidak memanggil saya?’ teriak Clemmie ketika melihat aku sudah berada di kamar tengah.

‘Aku tidak ingin merepotkanmu.’

‘Sama sekali tidak merepotkan. Ayo, Missy duduk, sementara kusiapkan sarapanmu.   Mau cereal atau toast?’

‘Cereal saja, Clemmie, aku tidak biasa makan berat di pagi hari,’ jawabku sambil duduk.

‘Engkau juga ingin kubuatkan kopi?’

‘Tidak usah, teh saja sudah cukup,’  jawabku. Rasanya seperti di restoran pakai memilih segala.  Clemmie segera pergi. Lima menit kemudian dia datang lagi dengan sebuah meja dorong dengan beberapa kotak cereal, susu dingin, gelas kosong dan air panas di atasnya.  Semuanya itu dia atur di atas meja makan.

‘Segelas air jeruk baik untuk mempertahankan berat badan,’ ujar Clemmie sambil menuangkan air jeruk dingin ke dalam sebuah gelas kecil. Kupandangi saja gelas itu. ‘Minumlah, Missy!’ perintah Clemmie halus.  Kuturuti perintahnya sementara dia menyiapkan cawan untukku.   ‘Missy ingin cereal yang mana? Rice cripies, cornflake, . . . semuanya buatan Kellog dan Kellog mengambil jagungnya dari perkebunan Stanton.  Jadi dengan makan ini, Missy telah menikmati hasil kebun sendiri,’ lanjut Clemmie.  Aku tidak tahu apakah kata-kata itu benar atau hanya sekedar menarik seleraku.

‘Papa sudah pergi?’  tanyaku sambil menuang rice cripies ke dalam mangkukku kemudian kutambah susu dingin dan gula.

‘Ya, sebelum matahari terbit.

‘David?’ tanyaku pelan, takut bila tiba-tiba dia sudah berada di belakangku dan mendengar apa yang kutanyakan.

‘Sudah pergi juga. Tadi di jemput Miss Deidre.’

‘Siapa?’

‘Pacar Master David.  Kalau nyonya Stanton ada di sini,  aku yakin beliau tidak akan setuju dengan pilihan Master David.’

‘Memangnya kenapa?’  tanyaku ingin tahu.

‘Murahan,” jawab Clemmie tenang.  Aku kaget setengah mati mendengar jawaban Clemmie. Cereal yang sudah berada di kerongkonganku terhenti, aku terbatuk. Clemmie menyadari kekagetanku, sejenak kemudian dia meralat kata-katanya.  ‘Bukan murahan, tapi selera rendah.   Sebenarnya dia cukup cantik, hanya, . . . bagian-bagian yang seharusnya dibuat misterius justru di tunjukkan dengan terang-terangan,’ komentar Clemmie kalem. Dia pasti sudah begitu dekat dengan keluarga ini, karena untuk memberikan komentar seperti itu dibutuhkan keberanian yang sangat besar.

‘Cinta memang buta, Clemmie,’

‘Bukan cinta, tapi nafsu,” bantah Clemmie,  ‘Saya tidak bisa membayangkan anak Nyonya Stanton jatuh cinta pada wanita yang bertolak belakang dengan ibunya. Engkau mengerti maksud saya, Missy?”

Sehabis sarapan aku keluar.  Udara benar-benar sejuk walau matahari bersinar dengan cerahnya.  Beribu taman hias di depan rumah berbunga aneka warna.  Dari halaman depan aku memutari rumah menuju halaman belakang.  Aku tidak menyangka halaman belakang lebih indah dari halaman depan dan samping. Di sana ada ratusan pohon mawar yang sedang berbunga lebat. Bunganya besar-besar serta berbau harum.  Sejenak aku terpana.  Tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh bergerak-gerak di antara pohon-pohon itu.  Aku harus menanti lama sebelum mengetahui siapa dia. Ternyata Irene yang membawa sebuah keranjang bunga.

‘Selamat pagi, Irene,’ sapaku.  Dia terlonjak.  Aku menyesal telah mengejutkannya. Seharusnya aku tahu tempat semacam ini merupakan tempat yang paling tepat untuk melamun. Tentu Irene sedang melamun ketika kutegur tadi.

‘Oh, selamat pagi, Miss Lucinda,’ balas Irene setelah reda kekagetannya.  ‘Tidur nyenyak semalam?’  dia bertanya.

‘Ya. Apa yang kau kerjakan?’  tanyaku. Aku tahu dia sedang memetik bunga, tapi caranya memotong bunga itu tak kumengerti. Dia memotong sebatas bunga tanpa menyertakan tangkainya sedikit pun.

‘Memetik bunga,” jawab Irene tepat.

‘Tanpa menyertakan tangkainya?’

 ‘Ini bukan untuk hiasan, Miss Lucinda.’

 ‘Lalu?’

 ‘Untuk membuat air freshener,’

‘Penyegar ruangan?’

‘Ya,’  jawab Irene sambil tersenyum.  Dia senang aku menunjukkan minat. ‘Bunga-bunga ini nanti di rebus dalam cairan lilin kemudian di beri warna dan di bentuk menurut selera kita, lalu kita letakkan di ruang-ruang yang ingin kita beri air freshener.  Tak nampak kalau itu air freshener tapi harumnya dapat tahan lama,’  tutur Irene.  Aku Cuma mengangguk-angguk saja.  Kagum.

 “Apakah ikan di kamar mandiku itu juga air freshener buatanmu?’ tiba-tiba aku teringat ada sebuah ikan lilin berwarna kuning di pojok kamar mandiku. Kemarin aku keheranan waktu melihatnya. Irene mengangguk sambil tersenyum manis.

‘Sayang saya bukan seorang seniman yang dapat membuat bentuk-bentuk yang menarik,’ Irene merendah.  Padahal ikan itu benar-benar sempurna buatannya.  Persis ikan hidup. Irene pastilah seorang yang ahli dalam bidang pahat memahat.

‘Engkau pernah belajar seni, Irene?’ tanyaku.  Dia kaget dan tampak ragu untuk menjawab.

‘Ya, Miss Lucinda. Tapi berhenti di tengah jalan,’ jawab Irene.  Aku tidak bertanya lebih lanjut, nampaknya Irene tidak ingin membicarakan hal itu.  Seorang gadis manis, pernah belajar seni dan kini bersembunyi di pertanian ini. Benar-benar mengundang tanya.

‘Engkau membawa keranjang lain?’ kualihkan pembicaraan kami.

‘Untuk apa?’  tanya Irene heran.

‘Aku ingin membantumu.’

‘Jangan, Miss Lucinda, nanti tanganmu kotor.’   Ya,Tuhan . . . memangnya tanganku ini tangan apa hingga tidak diijinkan untuk memegang bunga.

‘Irene,engkau bisa memegang bunga, aku pun bisa, oke?’  Ia bimbang tapi kemudian menyerahkan keranjangnya. Untuk dia sendiri dia terpaksa mengambil lagi yang lain.

Berjalan-jalan menyusup di bawah pohon mawar merupakan sesuatu yang baru bagiku. Kadang aku harus mengiris bila terkena duri dan Irene akan segera datang dan menanyakan kalau aku tidak apa-apa. Tanpa kusadari keranjang bunga yang kubawa sudah penuh dengan bunga dan aku pun sudah sampai ke tepian kebun. Ada pagar kayu yang memisahkan kebun mawar dengan padang rumput. tak jauh dariku kulihat Georgie dengan sorang bocah  laki-laki berkulit gelap kecil sedang menyikat seokor kuda.

‘Hello, Georgie!’ tegurku. Georgie menoleh demikian pula si anak berkulit gelap, berambut ikal.

‘Hello, Miss Lucinda. Sedang apa kau di situ?’

‘Memetik bunga,’ jawabku.   Georgie tersenyum lebar.

‘Apakah dia Miss Lucinda?’  kudengar bisikkan si bocah berambut ikal.

‘Hello, siapa namamu?’ teriakku.  Mata anak iu bersinar.  Senyumnya menawan memperlihatkan giginya yang putih.

‘Oscar,’ jawabnya malu.

‘Nama yang bagus,’ pujiku.

‘Ingin berkuda, Miss Lucinda?’ tanya Georgie. Kuperhatikan kuda yang sedang disikatnya.  Begitu besar.  Kalau jatuh dari kuda itu dapat di pastikan tulang-tulangku akan remuk semuanya.

Aku tidak bisa,’  jawabku sambil menggeleng.  Baik Georgie maupun Oscar tidak percaya mendengar jawabanku.

‘Kamu dapat berlatih,’ bujuk Georgie selang beberapa saat.

‘Tidak sukar, Miss Lucinda,’  Oscar ikut membujuk.

‘Aku takut, Oscar,’  jawabku jujur.  Oscar tertawa girang.

‘Ayo, miss Lucinda, kamu dulu lebih mahir dari master David dan mengendarai kuda yang lebih besar dari ini.’ Kejar Georgie.

‘Aku?’  tanyaku heran.

‘Ya.  Kamu lebih mahir dari master David,” cerita Georgie.  Aku tidak ingat itu semua . Bahkan aku tidak ingat pernah melihat kuda sebesar itu.

‘Bagaimana, Miss Lucinda?’  tantang Georgie lagi.

‘Engkau pasti salah ingat, Georgie. Waktu aku pergi dari sini umurku baru tiga tahun,’  sanggahku.

‘Aku selalu ingat bagaimana mamamu selalu berteriak-teriak menyuruhmu turun dari kuda sementara papamu justru memberi semangat agar kamu mempercepat lari kudamu. Kamu dulu gadis paling berani di seluruh Louisville bahkan di seluruh Kentucky.’  Aku mendengarkan kata-kata Georgie seperti mendengarkan kisah seorang gadis pemberani, tetapi bukan tentang diriku. Sejak dulu aku di kenal sebagai gadis penakut. Menggonceng sepeda motor saja membuat mulutku komat-kamit berdoa tak henti-henti mohon selamat.

Λ

Aku mulai santai. Tangan kiriku tidak lagi erat berpegangan pada pelana. Aku mempercayakan diri pada Denver. Dia tidak akan melemparkanku. Dia adalah sahabatku. Kami telah mencapai tepi padang rumput sebelah selatan. Di depan kami menghadang hutan pinus yang lebat. Kutarik tali kendali Denver agar dia memperlambat jalannya untuk menunggu Georgie. Georgie datang dengan senyum puas di bibirnya.

 ‘Apakah aku telah mengendarainya dengan benar?’  tanyaku.

‘Tanpa cacat,’  jawab Georgie.   ‘Aku bangga kamu masih bisa berkuda setangkas itu.’   Oh Georgie bukan engkau saja yang bangga, aku pun bangga juga, kata hatiku. Kemudian kami memasuki hutan pinus itu dengan berjalan pelan-pelan. Tidal memungkinkan bagi kami untuk berlari cepat di tengah pohonpohon yang begitu besar.  Nyanyian burung di hutan benar-benar menawan. Bersahut-sahutan dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Dan tupai-tupai menari lincah diiringi nyanyian tersebut.  Benar-benar damai di sini.  Tiba-tiba aku menampak sebuah telaga dengan air yang jernih di depanku.  Bunga-bunga teratai merah dan putih bermekaran di atasnya.  Inilah surga!

 ‘Georgie, aku ingin turun,’  kataku pada Georgie.

 ‘Turunlah.’

‘Aku tidak bisa,’  jawabku. Georgie meloncat turun dari Blue Berry kemudian berjalan ke dekatku.  Dia memberi petunjuk bagaimana cara turun yang benar.  Sedetik kemudian aku sudah berada di atas tanah dengan gagah.

Kubuka sepatu canvasku dan berjalan di tepi telaga.  Kemudian kumasukkan kedua kakiku ke dalamnya . Dingin sekali.  Tapi nikmat.  Sesudah berada disana cukup lama, kami memacu kuda kami dan pulang.  Aku telah menjadi penunggang kuda yang ahli.

Aku ketemu papa dan David setiap makan malam.  Aku mulai tenang menghadapi sikap David, bukan karena sikapnya berubah tetapi aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan.  Biar mata David sampai sebesar mata ikan mas tetapi aku tetap bisa memasukkan makanan ke dalam mulutku.   David selalu meminta ijin untuk pergi begitu makan malam selesai dan aku bisa bernafas lebih longgar. Bukan kehidupan seperti ini yang kuinginkan tetapi aku ttidak bisa berharap yang lebih baik lagi.  Bagaimanapun tidak menyenangkannya kehidupan ini, tapi inilah kehidupan yang seharusnya kutempuh . Di sisi Papa dan saudara kembarkulah seharusnya aku berada.

Malam itu sebelum tidur kutulis surat buat adik-adikku.  Aku tidak menulis untuk Mama dan Oom No, karena aku tahu mereka toh akan membaca juga surat yang kukirim buat Adit, Anto dan Yani. Sengaja aku tidak menceritakan tentang Papa dan David.  Aku kuatir jika aku bercerita tentang Papa, kenangan lama Mama akan terbayang dan Oom No cemburu.  Aku heran mengapa aku berpikiran semacam itu.  Mungkin karena aku telah melihat kegantengan ayahku, jadi sudah sepantasnya kalau Oom No menyemburuinya.  Sedang tentang David, ini masalah pribadi.  Aku tidak menyukainya jadi mengapa aku harus menulis tentang dirinya.  Kalau toh aku harus menceritakan tentang David tentu hanya yang jelek-jelek saja yang kutulis.  Akibatnya tentu sangat parah. Mama akan berduka karena anak sulungnya ternyata tidak semanis yang dia duga dan Mama akan menyesal telah mengirimku kemari.

 Mama menginginkan kebahagiaan bagiku.  Sejak ibu Oom No tinggal bersama kami, Mama tahu batinku tertekan.  Terlebih setiap tanggal sepuluh bila ada pertemuan keluarga besar Oom No.  Aku tidak diijinkan untuk turut karena aku bukan keturunan Oom No yang asli.  Setiap tanggal sepuluh, Adit, Anto dan Yani akan berdandan rapi untuk pertemuan itu sedang aku harus tinggal di rumah. Aku tidak pernah mengeluh tentang hal itu, tetapi Mama mengetahui aku merasa di bedakan.

Karena pertengkaranku dengan ibu Oom No makin sering, akhirnya Mama memutuskan untuk menyerahkanku pada Papa dengan harapan aku akan menemukan kebahagiaanku di sini karena di sini ada saudara kembarku jadi aku akan merasa lebih tentram. Alangkah melesetnya dugaan Mama. Tapi aku tidak ingin mengatakan kepada Mama bahwa perhitungan Mama salah. Biarlah Mama mengira aku bahagia di sini karena hal itu akan membahagiakan hati Mama.

Λ

Minggu pagi papa mengajakku untuk melihat-lihat kebun. Dua ekor kuda telah disiapkan untuk kami, yang kukenali sebagai Denver dan Blue Berry.   Aku senang bisa bertemu dengan Denver kembali. Kami berjalan ke arah utara dengan perlahan-lahan. Setiap saat yang berlangsung ingin kami lalui dengan baik. Mengendarai kuda di samping ayah kandungku. Hal yang tak pernah berani kubayangkan, tetapi kini benar-benar terjadi.   Papa begitu gagah dalam pakaian berkudanya. Celana jeans ketat yang ujungnya dimasukkan ke dalam bootnya, kemeja kotak-kotak dengan rompi berwarna biru dan topi cowboy yang juga berwarna biru. Betapa aku mengaguminya. Pasti waktu masih muda dulu, Papa sangat tampan. Tak heran akhirnya Mama memilihnya untuk menjadi suaminya.

 ‘Kamu masih mahir berkuda, Lucy,’ puji Papa sambil memperhatikan caraku berkuda.

‘Georgie yang mengajariku.’

‘Georgie?’ ulang papa sambil mengerutkan dahi.

‘Ya,’

‘Kamu tidak pernah berkuda selama di Indonesia?’

‘Seingatku tidak,’  jawabku.

‘Mau berlomba denganku, Lucy?’  tantang Papa mengejutkan.

‘Berlomba?’  tanyaku tak percaya.  ‘Aku tidak bisa.’

‘Mengapa tidak bisa? Mulai dari sini sampai di kebun jeruk di depan sana. Siapa yang sampai terlebih dahulu dia yang menang.’  Kelihatannya sangat menarik, tetapi aku yakin aku tidak bakal mengalahkan Papa. Papa bergaul dengan kuda selama hidupnya, sedang aku, . . . lihat kuda saja baru tiga hari yang lalu. Tapi kalau hanya untuk bersenang-senang saja, mengapa tidak.

‘Oke,’ jawabku mantap.  Papa tersenyum mendengar jawabanku.

‘One . . . two . . .run!’  Papa memberi aba-aba. Kuberi tarikan kuat pada tali kendali Denver yang segera kukendorkan lagi. Denver meloncat dan berlari dengan kencang. Blue Berry sudah beberapa jengkal di depanku. Papa tidak main-main dengan lomba ini.

‘Come on, Denver. Faster! Faster!’ jeritku sambil menepuk badan Denver dengan kakiku. Denver mempercepat larinya berusaha menyusul Blue Berry.

Aku kalah dalam pertandingan itu, tapi puas. Keringat mengalir deras di dahi dan punggungku hingga blus yang kukenakan basah. Keringat di wajahku segera kuhapus dengan sapu tangan sementara itu Papa tersenyum puas dan matanya bersinar cerah.

‘Engkau hampir mengalahkanku, Lucy.’

‘Ah, Papa, . . . kita selisih jauh sekali.’

‘Tidak, Lucy. Kalau engkau berlatih terus dalam waktu seminggu aku sudah tidak mampu menyusulmu lagi,’  kata Papa serius.   Kemudian kami bergerak pelan-pelan lagi. Menyusup di antara pohon-pohon jeruk yang sedang berbunga. Kelopak-kelopak bunga itu sebagian berwarna keputih-putihan. Buah-buah kecil berwarna hijau gelap menggantikan kedudukan bunga-bunga tersebut. Kami bertemu beberapa orang pekerja yang sedang memeriksa kebun dan tanamannya. Papa berbincang dengan mereka sejenak kemudian berjalan lagi. Aku benar-benar kagum atas kewibawaan Papa.

 Di kebun apel panasnya bukan main, karena tidak ada  daun yang melindungi kami dari sengatan matahari.  Tubuhku rasanya seperti terbakar dan aku benar-benar kehausan.

‘Ingin istirahat, Lucy?’  tanya Papa seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.

‘Aku tidak lelah, cuma haus.’

‘Sebentar lagi kita istirahat di gudang, ucap Papa. Setelah mendaki sebuah bukit kecil akhirnya tampaklah apa yang di sebut gudang. Sebuah bangunan tinggi dari papan bercat hitam. Dari luar tampak seram seperti rumah tukang sihir, tetapi dalamnya bersih dengan dinding yang bercat putih. Ada beberapa keranjang kosong di sudut gudang. Tiga orang pria yang tadi duduk-duduk di sana segera berdiri ketika melihat kehadiran Papa.

‘Ada minuman untuk anakku? Dia kehausan,’  kata Papa ringan.

‘Ya Tuhan, Miss Lucinda? Andakah itu? Sudah sebesar ini?’ kata salah satu di antara pria itu. Aku heran bagaimana dia bisa mengenaliku.

‘Ya, Peter, dia Lucinda, tapi jika engkau tidak segera mengambilkan minuman untuknya dia akan mati kehausan,’ gurau Papa. Peter tertawa.

‘Maafkan saya. Apa yang Anda inginkan, Miss Lucinda?’ kusebut minuman yang kuinginkan dan Peter segera berlari.   Papa kemudian mengenalkanku pada dua pria lainnya. Pengelola kebun apel. Kemudian kududukkan diriku di tumpukan jerami dan bersandar. Peter datang dengan membawa sekaleng minuman lalu duduk di sampingku dan menceritakan tentang masa kecilku yang semuanya sudah kabur dari ingatanku.

Pulangnya kami lewat jalan yang lain yang di kiri dan kanannya tumbuh pohon pinus yang teduh. Daun-daun kering kadang luruh dan menimpa kepala kami. Kira-kira satu kilometer dari rumah, kami berpapasan dengan sebuah mobil. Kupinggirkan Denver untuk memberi jalan.  Mobil itu berhenti. Papa yang berada di depanku juga berhenti dan aku pun ikut berhenti.  Dari dalam mobil keluar David dan seorang gadis, Deidre, tebakku ketika melihat caranya berpakaian;  selana pendek sebatas pangkal paha dan T-shirt yang benar-benar ketat sehigga menimbulkan kesan yang hii . . .

‘Afternoon, mister Stanton.” Sapa gadis itu.

‘Hello, Deidre.’  Sahut Papa. ‘Sudah ketemu Lucy?’ Deidre memandang padaku dengan tatapan mata yang aneh yang tidak bisa kutafsirkan artinya.  Apakah karena kemiripanku dengan David ataukah ada hal lainnya.

 ‘Lucy, kenalkan Deidre Melore,’ Papa mengenalkan kami berdua.

‘Hello,’  sapaku.

‘Hi, senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Deidre.  Aku tahu itu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya, matanya menunjukkan hal itu dengan jelas.  Mungkin David telah menerangkan padanya tentang diriku.  Dan karena David membenciku maka sudah selayaknya dia sebagai pacar David untuk membenciku pula.

‘Mau kemana kalian?’  tanya Papa.

‘Mau renang ke County Club House.  Mau ikut, Lucy?’  Deidre menawarkan.  Sekali lagi basa-basi yang memuakkan.  David memandang Deidre tidak setuju.  Jangan kuatir master David, aku tidak akan ikut.

 ‘Terima kasih, mungkin lain kali,’  jawabku pendek.  Deidre dan David saling melempar senyum misterius.  Kemudian mereka masuk kembali ke dalam mobil dan segera berlalu.  Kami pun meneruskan perjalanan kami yang sempat terhenti.  Ingin benar aku mendengar komentar Papa tentang calon menantunya tetapi tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut Papa tentang mereka.

Hari-hari yang berlangsung selanjutnya berlalu dengan malas seperti matahari musim panas yang enggan untuk menggelincir  ke barat.  Sepuluh hari sudah aku berada di samping Papa dan David tapi rasanya sudah puluhan tahun aku berada di sini.  Sudah banyak yang kuketahui tentang perkebunan serta orang-orang yang berada di sekelilingku.  Papa yang selalu pergi sebelum  aku sempat bangun dan pulang menjelang makan malam sampai saat ini belum pernah sekali pun menanyakan tentang Mama dan aku pun tidak berniat menceritakannya.

 Aku jarang bertemu dengan David. Kalau toh kebetulan kami berpapasan di rumah, tak ada komunikasi yang terjalin di antara kami. Ini benar-benar menyedihkan. Pada mulanya kukira dia akan berubah, tetapi ternyata tidak. Dia benar-benar tidak acuh dan dingin.  Ingin sekali aku duduk dan berbincang dengannya, tetapi jika kulihat wajahnya yang masam maka keinginanku pun hilang begitu saja.

Demi Tuhan aku ingin mulai beramah tamah dengannya.  Bagaimanapun juga dia adalah saudara kembarku yang selama sembilan bulan lebih pernah bermukim di dalam sebuah rahim yang sama, rahim Mama.  Apa sebenarnya pandangan David tentang diriku?  Aku melihat dirinya sebagai melihat diriku sendiri. Hatiku terasa sakit bila harus membencinya seakan aku telah membenci diriku sendiri dan bila aku memaki dalam hati atas sikapnya maka makian itu seakan kutujukan untuk diriku sendiri . Ah anehnya hati in.  Tetapi mengapa David tidak memiliki perasaan yang sama?

Clemmie dan Georgie adalah pembantu tertua di dalam keluarga Stanton.  Mereka sudah ikut Stanton sejak Papa masih kanak-kanak. Pada waktu Mama melahirkan aku dan David, Georgie menawarkan diri untuk menjadi pengasuh kami.  Saat ini mereka adalah pengurus rumah tangga sekaligus penasehat Papa dan David.  Hal inilah yang kadang membuat iri para staf yang lain.  Clemmie dan Georgie tidak mempunyai anak kandung dan sebagai gantinya mereka telah mengadopsi Oscar yang kedua orang tuanya serta adik-adiknya tewas dalam suatu kecelakaan lalu lintas tak jauh dari perkebunan kami empat tahun yang silam.

Kemudian si kakak beradik Judy dan Helen yang tidak mirip satu dan yang lainnya.  Mereka adalah anak Peter yang kujumpai di kebun apel tempo hari.  Tugas mereka adalah mengatur dan menjaga kebersihan rumah. Dan yang terakhir adalah si gadis pemurung Irene. Dia begitu misterius dan tertutup.  Wajahnya begitu sendu, mungkin itulah yang menyebabkan dia disayangi semua orang. Dia datang kepada keluarga Stanton setahun yang lalu dan minta pekerjaan. Jika semua tugas-tugasnya telah selesai dia akan mengurung diri di dalam kamarnya yang berfungsi pula sebagai studio; memahat ataupun melukis.  Sekali-sekali aku datang ke kamarnya untuk melihat dia melukis.  Umur Irene setahun lebih muda dariku, tetapi wajahnya yang sendu telah menyebabkan dirinya tampak jauh lebih tua.  Tak seorang pun tahu siapa sebenarnya dia dan dari mana asalnya karena dia tak pernah bercerita dan tak seorang pun berniat untuk mengusiknya.

Malam itu aku sudah siap untuk tidur ketika kudengar gesekan biola yang indah dan syahdu. Kutelengkan kepalaku agar dapat mendengar lebih jelas. Il Silenzio! Siapa yang membawakannya? Aku berdiri dan mengintip dari jendela.  Sengaja lampu tidak kunyalakan agar orang yang di luar tidak menyadari sedang di intip.

To be continued ……

Istana Pasir

Senja telah  turun  dan menyemburatkan  warna  merah tembaga  pada  langit kota  Yogya.  Jalanan mulai  memamerkan  kerlap-kerlip lampunya.  Sementara angin  yang bertiup  membawa  serta suara  adzan  Maghrib

Tisa  melihat jam  yang  melilit di  pergelangan  tangannya. Jam  enam  kurang seperempat.  Sudah  waktunya untuk  pulang.  Tetapi nampaknya  dosen  muda  yang  berada di  atas mimbar  sana  masih enggan  untuk  mengakhiri kuliahnya.  Suaranya  yang membahana  masih  juga  terdengar.  Tisa  benar-benar resah.  Semakin  malam berarti  semakin  jarang Colt  yang  melewati kampus.

‘Tisa,’  Numpy  yang  duduk di  belakangnya  memanggilnya dengan  berbisik.  Tisa  menoleh. Dengan  cepat  Numpy mengulurkan  kertas  yang ada  dalam  genggamannya.

‘Dari  Tegar,’ Numpy  menjelaskan.  Tisa  langsung  memasukkan  lipatan  kertas  tersebut  ke  dalam  tasnya.  Tanpa  membukanya  pun  dia  sudah  tahu  apa  isinya.  Setiap  ada   kuliah  sore,  Tegar  selalu  memberinya  lipatan  kertas  semacam  itu.  Lipatan  kertas  bertuliskan  ‘Tis,  kuantar  pulang  ya?’   Dan  setiap  ada  kuliah  sore, Tisa  selalu  menghindari  Tegar.

Begitu  Pak  Iskandar  mengemasi  buku-bukunya,  Tisa  segera  menyelinap  keluar.  Setengah  berlari  dia  menuju  ke  sayap  selatan  dan  turun  di  Cemara  Tujuh.  Dia  bernafas  lega  ketika  melihat  sebuah  Colt  kampus  yang  berhenti  di  depan  Perpustakaan  Sarjana  Muda.

‘Tamansiswa,  mbak?’ tanya  Kernet  Colt  kampus  tersebut.  Tisa  mengangguk  sambil  mempergegas  langkahnya.

‘Duduk  di  depan  saja,  mbak.  Belakang  sudah  penuh,’ saran  sang  kernet  ketika  melihat  Tisa  menuju  ke  pintu  belakang.  Tisa  mengikuti  saran  tersebut.  Baginya,  duduk  di  depan  tidak  jadi  masalah.  Yang  penting  dia  bisa  segera  meninggalkan  Gedung  Pusat  sebelum  Tegar  melihat  dan  menyusulnya.

Sang  kernet  membukakan  pintu  depan.  Dengan  sigap  Tisa  meloncat  naik  dan  duduk  di  samping  sopir.  Setelah  Tisa  duduk  dengan  rapi,  Colt  tersebut  mulai   berjalan  dengan  lembut.  Ketika  melewati  tempat  parkir,  Tisa  sempat  menoleh  untuk  mencari  Tegar  dengan  matanya.  Tegar  tidak  kelihatan.  Tisa  menghembuskan  nafas  panjang  dan  meluruskan  pandangannya  ke  depan.

‘Tadi  Pak  Is  nerangkan  apa,  Tis?’ tiba-tiba  sopir  Colt  yang  duduk  di  samping  Tisa  bertanya.  Jantung  Tisa  melonjak  ke  kerongkongannya.  Dia  kaget  setengah  mati  mendengar  pertanyaan  itu.

‘Kamu?!’ tanyanya  tidak  percaya.  Matanya  membulat.  Dia  hampir  pingsan  ketika  menyadari  siapa  yang  duduk  di  sampingnya.  Ternyata  sopir  itu  adalah  Tegar,  manusia  yang  ingin  dihindarinya.

‘Ya.  Kaget?’ ucap  Tegar  sambil  tersenyum  lebar.  Dia  benar-benar  bangga,  seakan-akan  baru  saja  memenangkan  sebuah  pertandingan  besar.  Sudah  lebih  dari  enam bulan  dia  berusaha  mendekati  Tisa,  tetapi  gadis  pendiam  itu  selalu  berhasil  melarikan diri  darinya.    Kini dia  berhasil menjeratnya.  Tetapi …  bahagiakah aku ?  Tegar  bertanya pada  dirinya  sendiri. Lihat  dia  sangat  ketakutan. Dia  sangat  tersiksa berada  di  dekatmu. Rasa  bersalah  membuat Tegar  bungkam.

Di  depan  Panti  Rapih  lampu  sinyal  di depan  Tegar  menyala  merah.   Ada  penumpang
yang  akan  turun.  Tegar  menepikan  Coltnya.  Hatinya  merasa  yakin  kalau  Tisa  juga  akan  turun  di  tempat  itu.  Ternyata  Tisa  tidak  beranjak  dari  tempatnya.  Beban  berat  di  hati  Tegar  agak  berkurang  sedikit.

‘Rumahmu  di  mana,  Tis?’ tanya  Tegar  sambil  menjalankan  kendaraannya  kembali.  Bukan  sekedar  pertanyaan  basa-basi.  Walaupun  sudah  lebih  dari  setahun dia menjadi
kawan  kuliah  Tisa,  tetapi  tak  ada  satu pun  yang  dia  ketahui  tentang  gadis  ini.

‘Tamansiswa,’ jawab Tisa  pelan.

‘Sebelah  mana?’

‘Guest  House  Sailendra  ke  timur. “

‘Kalau  pulang  kamu  selalu  naik  Colt?’ tanya  Tegar  persis  seperti  petugas  sensus.  Tisa  mengangguk.

‘Kenapa  kamu  tidak  pernah  mau  kuantar?’ akhirnya  Tegar  mengeluarkan  pertanyaan  yang  sudah  berbulan-bulan  menggumpal  di  dadanya.  Tisa  tidak  menyahut.

‘Kamu  takut  padaku?’ selidik  Tegar. Tisa  menggeleng.

‘Benci  padaku?’ kejar  Tegar.  Kembali  Tisa  menggeleng.

‘Lalu?’ Pertanyaan  itu  tidak  terjawab.  Susahnya  mengajakmu  bicara,  keluh  Tegar  dalam  hati.  Barangkali  kalau  aku  dosen  Kamu  akan  menjawab  semua  pertanyaanku  dengan  lancar.

Sesudah  itu  mereka  berdiam  diri,  Tegar  pura-pura  sibuk dengan kemudinya.  Sekali-kali  dia  menurunkan  penumpang.   Di  pertigaan  Sentul  penumpang  terakhir  turun.   Kini  satu-satunya  penumpang  yang  masih  ada  hanyalah  Tisa.  Sepanjang  perjalanan  tadi  Tegar  tidak  menaikkan  penumpang  lain.  Sekarang  dia  bisa  melaju  sepanjang  jalan  Tamansiswa  tanpa  harus  menurunkan  penumpang.

‘Turunkan  aku  di  depan  Guest  House.‘  Tisa  memecahkan  kebisuan  di  antara mereka.  Guest  House  Sailendra  masih  beberapa  puluh  meter  lagi.

‘Nanti  kuantar  masuk  ke  timur,’ sahut  Tegar.

‘Tidak  usah.   Aku  turun  di  depan  Guest  House  saja,’ tolak Tisa.

‘Sudah  tidak  ada  penumpang  lain,  jadi  aku  bebas  membel … “

‘Tidak.   Aku  turun  di  sini,’ potong  Tisa  begitu  mereka  tiba  di  depan  Guest  House.   Nada  suaranya  membuat  Tegar  menuruti  permintaannya.  Dia  menghentikan  Coltnya  dan  menatap  Tisa  dengan  heran.  Tisa  ingin  mengucapkan  sesuatu  kepada  Tegar,  tetapi  diurungkannya.  Dia  turun  dari  Colt  dengan  hati-hati.

‘Terima  kasih,’ ucapnya  sebelum  menutup  pintu.

‘Tis!’ panggil  Tegar  sebelum  Tisa  melangkah.   Tisa  menoleh.

‘Boleh  pinjam  catatan  kuliahmu  tadi?’ ucap  Tegar  ragu.  Tisa  mengangguk  dan  mengulurkan  buku  catatannya  lewat  jendela.

‘Besok  kukembalikan,’ janji  Tegar.   Tisa  mengangguk  kemudian  mulai  melangkah   pelan-pelan  ke  timur.  Tegar  memperhatikannya  hingga  hilang  ditelan  kegelapan  malam.

‘Mau  di  sini  terus, boss’ tiba-tiba kernetnya  berteriak  dari  belakang.  Tegar  tersadar.  Dia  tertawa  dan  menjalankan  kendaraannya  kembali.  Tisa  tidak  lagi  berada di sampingnya,  tetapi bayangannya  masih  memenuhi pikiran  Tegar.

Tisa  merasa  tidak  enak  ketika  melihat  lampu  halaman  depan  belum  dinyalakan. Ini  benar-benar  di  luar  adat.   Biasanya  jam  lima  sore  lampu  itu  sudah  menyala.  Hatinya  semakin  tidak  enak  ketika  mendapatkan  pintu  rumah  terkunci.

‘Pa!’ panggil  Tisa  sambil  menggedor  pintu.  Tidak  terdengar  sahutan.

‘Pa,  ini  Tisa  pulang,  pa,’ seru  Tisa  lebih  keras.  Masih  tidak  ada  sahutan.  Tisa  baru  saja  akan  memanggil  ayahnya  sekali  lagi  ketika  mendengar  tante  Narti,  tetangga  sebelah  memanggil  namanya.

‘Tisa,’  panggil  tante  Narti  sambil  mendatangi Tisa.

‘Ya,  Tante,’ sahut  Tisa.

‘Ini  kunci  rumah  tante  bawa.’

‘Lho,  memangnya  Papa  ke  mana?’ tanya  Tisa  heran.

‘Tadi  dibawa  Oom  Darma  ke  Puri  Nirmala.  Papamu  kambuh  lagi,’ cerita  tante  Narti.  Tisa  terpana.   Begitu  banyak  pertanyaan yang ingin diajukannya,  tetapi  lehernya  tiba-tiba  menjadi  kering  sehingga  suara tidak  mau  keluar.   Dia  menggigit  bibir  bawahnya  untuk  menahan  tangis  yang  ingin  tumpah.

Tanpa  bersuara  Tisa  menerima  kunci  yang  diulurkan  tante  Narti  ke arahnya.  Kemudian  dia  membuka  pintu  dan  masuk.  Tante  Narti  menguntit  di  belakangnya.  Karena  Tisa  tidak  berniat  menyalakan  lampu,  maka  tante  Nartilah  yang  menekan  tombol  sehingga  ruangan  menjadi  terang.

Tisa  memperhatikan  keadaan  rumahnya  dengan  hati  yang  teriris.   Meja  yang  terbalik.   Kursi-kursi  yang  kehilangan  kaki.  Vas  bunga  yang  hancur.  Ensiklopedia  yang  berserakan  di lantai.   Piring-piring  porselin  antik  yang  remuk.  Keadaan  yang  dulu  hanya  dilihatnya  dalam  filem-filem  detektif,  kini  menimpa  kehidupannya.

‘Ya  Tuhan,  apa  salah  kami?’ bisik  Tisa  lirih.   Sukar  dipercaya  bahwa  ayahnya  yang  biasanya  lembut  dan  penuh  kasih  sekali-sekali  bisa  berubah  sangat  buas  seperti  ini.  Ini  bukan  kali  yang  pertama  ayahnya  kehilangan  kontrol.  Bukan  kali  yang  kedua,  ketiga  atau  keempat.  Tapi  sudah  belasan  kali.   Dan  setiap  kali  terjadi,  Tisa  selalu  shock.

‘Sudahlah,  Tisa.  Sekarang  sholat  dan  istirahat  dulu.  Nanti  biar  mbok  Siyem  yang  membereskan  rumah  ini,’ bujuk  tante  Narti  ketika  melihat  Tisa  membungkuk  dan  mengumpulkan  pecahan  kaca.

‘Tidak  usah,  tante.  Tisa  bisa  membereskannya  sendiri.  Terima  kasih  atas  bantuan  tante  dan  Oom,’ Tisa  menolak  jasa  tante  Narti.  Sudah  terlalu  banyak  pertolongan  mereka  untuk  kami, pikir Tisa.

Sesudah  rumahnya  beres,  Tisa  segera  menuju  ke  Puri  Nirmala  untuk  melihat  keadaan  ayahnya.  Untung  rumah  sakit  itu  tidak  begitu jauh dari rumahnya,  sehingga
Tisa  bisa  berjalan  kaki  ke sana.

Sebelum  memasuki  rumah  sakit,  Tisa  berhenti  lama  di luar.  Setelah  merasa  yakin  kalau  dia  kuat  menghadapi  kemungkinan  yang  paling  buruk  barulah  dia  melangkah  masuk.

‘Tisa!’  seru  dokter  Sayekti  ketika  kedatangan  Tisa.  Dokter  wanita  inilah  yang  biasa  merawat  pak  Haryanto,  ayah  Tisa.

‘Bagaimana  papa?’ tanya  Tisa.    Tanpa  menjawab,  dokter  Sayekti  membimbing  Tisa  masuk.  Setelah  melewati  lorong-lorong  yang  muram  akhirnya  mereka  berhenti  di  depan  sebuah  kamar  bercat  kelabu.  Dari  jendela  kaca  mereka  bisa  melihat  ke  dalam  kamar.  Tisa  menutup  kedua  matanya  dengan  erat.  Pemandangan  di dalam  sangat  melukai  hatinya.  Di  tempat  tidur,  Tisa  melihat  ayahnya  terbaring  dengan  lemah.  Kedua  kaki  dan  tangannya  diikat  dengan  erat  tak  ubahnya  seperti  penjahat  yang  baru  saja  ketangkap  polisi.   Ayahnya  yang  biasanya  sekuat  Hercules,  kini  lemah  bagai  boneka  karet  yang  bocor.   Hati  Tisa  tidak  rela  melihat  ayahnya  diperlakukan  seperti  itu.   Tiba-tiba  Tisa  merasa  lelah  luar  biasa.   Dia  terduduk  di  bangku  di  depan  kamar  dengan  lesu.   Dokter  Sayekti  mendekati  dan  duduk  di sampingnya.

‘Ayahmu  tidak  apa-apa,  Tisa,’  hiburnya.

‘Ya,’ sahut Tisa  sumbang.

‘Sekarang  papamu  sedang  tidur  dan   tidak  akan  bangun sampai besok pagi.   Mengapa  kamu  tidak  pulang  saja dan kembali kemari  bila papamu sudah bangun?’ saran  dokter  Sayekti.  Tisa  menahan  nafas.

‘Akan  kupanggil  Pak  Santo  untuk  mengantarmu  pulang,’ lanjut  dokter  Sayekti  sambil  bangkit.   Kemudian  dia  melangkah  ke belakang.  Selang  beberapa  saat  kemudian  dokter  itu  muncul  kembali  bersama  seorang  laki-laki  tua  berjalan  di  belakangnya.

Tisa  tidak  membantah  ketika  sekali  lagi  dokter  Sayekti  menyuruhnya  untuk  pulang.
Betapa  pun  inginnya  dia  menemani  ayahnya,  tetapi  Tisa  sadar  kalau  tenaganya  tidak
dibutuhkan  di sini.  Dia  tidak  bisa  melakukan  apa-apa  untuk  ayahnya.

 ‘Nggak  usah  diantar,  Pak  Santo,  Tisa  berani  pulang  sendiri,’ ucap  Tisa  kepada  Pak  Santo  ketika  mereka  sudah  berada  di  luar  rumah  sakit.

‘Bu  dokter  menyuruh  saya  untuk  mengantar  nak  Tisa  sampai  di  rumah.  Lagi  pula  bapak  tidak  ada  pekerjaan.  Bapak  senang  bisa  keluar  dari  rumah  sakit.  Terus  menerus  berada  di  dalam  sana  bikin  sumpek  pikiran.  Bisa-bisa  bapak  jadi  pasien  bu  dokter,’ ujar  Pak  Santo  lugu.  Tisa  tersenyum  dan  membiarkan  Pak  Santo mengantarnya  pulang.   Berdua  mereka  berjalan  dengan  berdiam  diri  di  bawah  taburan  berjuta  bintang.

Selama  tiga  hari  Tisa  tidak  berhasil  menemui  ayahnya.   Dia  hanya  bisa  melihat  ayahnya  dari  kaca  jendela.  Keadaan  pada  hari  pertama.  Justru  kelihatan  semakin  parah.  Tidak  ada  yang  bisa  Tisa  lakukan  kecuali  berdoa  kepada  Tuhannya.

Pada  hari  keempat  dokter  Sayekti  memberinya  kabar  gembira.   Pak  Haryanto  sudah  boleh  dijenguk.  Tisa  benar-benar  bahagia.  Dengan  berlari-lari  kecil  dia  menuju  ke kamar  ayahnya.

Sebelum  memasuki  kamar  itu,  Tisa  mengintip  dulu  lewat  jendela.   Dia  melihat ayahnya  tengah  berbaring  dengan  mata  mengembara  di  langit-langit  kamar.  Kaki  dan  tangannya  tidak  lagi  diikat. Tisa  tersenyum.

‘Pagi,  pa,’ sapa  Tisa  sambil  membuka  pintu.   Kemudian  dia  mendekati  ayahnya  dan  memberinya  ciuman  lembut  di  pipi.  Ayahnya  membalas  dengan  mencium  dahi Tisa.

‘Tidak  kuliah, Tis?’ tanyanya.

‘Dosennya  lagi  ikut  seminar,  jadi  kuliah  ditiadakan,’ jawab  Tisa  berbohong.   Sudah  empat  hari  ini  dia  ngabur  dari  kampus.  Kuliah  jadi  tidak  berarti  bila  dibandingkan  dengan  keselamatan  ayahnya.

‘Bagaimana  dengan Papa?  Masih  pusing?’ tanya Tisa.

‘Sedikit,’ jawab  Pak  Haryanto.  Dia  pandang  Tisa  dengan  penuh  cinta.   Tisa  tersenyum  kemudian  mulai  memijit  kaki  ayahnya.

‘Tisa,’  panggil  Pak  Haryanto.

‘Ya?’ sahut  Tisa  sambil  memandang  ayahnya.

‘Apa  yang  telah  papa  lakukan  sebelum  dibawa  ke  tempat  ini?’

‘Tisa  tidak  tahu.  Tisa  sedang  kuliah  waktu  itu,’ jawab  Tisa  dengan  menundukkan  wajahnya.

‘Kamu  mengerti  maksud  papa.  Apakah  papa  merusaki  barang-barang  kita  lagi?’

‘Sudahlah, pa,’ sela  Tisa.  Dia  tidak  ingin  ayahnya  mengungkit-ungkit  peristiwa  yang  sudah  berlalu.  Dia  tidak  ingin  ayahnya  merasa  bersalah  dan  menyesali  dirinya  sendiri.   Sekarang  ayahnya  sudah  sadar  kembali,  itu  yang  paling  penting  bagi  Tisa.

‘Ini  bukan  masalah  biasa, Tis.  Masalah  yang  sangat  serius.   Kita  musti membicarakannya  sekarang  juga,’ bantah  Pak  Haryanto.

‘Kita  tidak  harus  membicarakannya  sekarang,  Pa.  Nanti  kalau Papa  sudah  sehat  benar  baru  kita  bicarakan,’ bujuk  Tisa.  Pak  Haryanto  memandang  Tisa  lama.   Kemudian  menggeleng-geleng  kepalanya  seperti  orang  yang  tengah  putus  asa.

‘Papa  rasa  papa  tidak  bakal  sembuh  lagi.  Sudah  berapa  kali  papa  keluar  masuk  rumah  sakit  ini?  Sudah  berapa  kali  papa  menghancurkan  rumah  kita  tanpa  papa sadari?  Sudah  berapa  kali  Kamu  ngeri  menghadapi  ayahmu  sendiri?   Kamu  akui  atau  tidak,  Tis,  papamu  sudah  gila.  Sudah  gila  dan  tidak  bisa  disembuhkan  lagi.’

‘Pa!’ pekik  Tisa.  ‘Papa  tidak  gila.’

‘Betapa  inginnya  papa  mempercayai  ucapanmu  itu,’ keluh  ayah Tisa.

‘Tetapi  papa  tidak  bisa.  Setiap  waktu  ayahmu  bisa  kumat  lagi.  Gila.  Ngamuk!  Bahkan  papa  pernah  hampir  membunuhmu.   Kamu  ingat!  Hanya  orang  gila  saja  yang  punya  niat  untuk  membunuh  anaknya. “

‘Jangan  diteruskan, pa,’ Tisa  memohon  dengan  memelas.  Air  mata  mulai  membanjir
di  pipinya.  Melihat  tangis  anaknya,  Pak  Haryanto  terpukamu.  Betapa  aku  mencintainya,  pikirnya.

‘Tisa,’  panggil  Pak  Haryanto  setelah  terdiam  untuk  beberapa  saat.  Tisa mendongakkan  wajahnya  dan  menatap  ayahnya.  Sisa  air  mata  di  pipi  dia  hapus  dengan  punggung  tangan.

‘Kamu  ingat  Oom  Heru?’ tanya  Pak  Haryanto.  Tisa  mengangguk.   Oom  Heru  adalah
satu-satunya  adik  ayahnya  yang  sudah belasan tahun menetap  di  Jerman  Barat.

‘Kamu  ingat  alamatnya?’ tanya  Pak  Haryanto  lagi.  Kembali  Tisa  mengangguk.

‘Sekarang  dengar  papa  baik-baik,’ pesan  Pak  Haryanto  sebelum  mulai  memberikan  order.  ‘Papa  minta  Kamu  menulis  surat  kepada  Oommu.  Ceritakan  kepada  Oommu  keadaan  papa  yang  sesungguhnya.  Sesungguhnya.  Bagaimana  papa  merusak  rumah  kita.  Bagaimana  tetangga-tetangga  mulai  takut  sama  papa.  Bagaimana  papa  hampir  membunuhmu.   Ceritakan  semuanya.  Juga  mengenai  papa  yang  keluar  masuk  rumah
sakit  syaraf  ini.   Lalu  bilang  pada  Oommu  kalau  papa  menginginkan  agar  Kamu  tinggal  bersamanya. “

‘Pa!’ teriak Tisa  protes.

‘Jangan  menyela,  Tis,’ Pak  Haryanto  memperingatkan.’  Dengar  dulu  penjelasan  papa.   Sekarang  ini  papa  sedang  waras.  Besok  mungkin  sudah  tidak  lagi.  Itulah  sebabnya  papa  ingin  menyelesaikan  persoalan  ini  selagi  masih  ada  kesempatan,’ Pak  Haryanto  menerangkan.  ‘Papa  menyayangimu,  Tis.  Kamu  tahu  itu.  Papa  tidak  ingin  kamu  menjadi  korban  kebuasan  papa  di  saat  papa  kehilangan  pikiran  sehat …  di  saat  papa gila.  Papa  ingin  kamu  mempunyai  kehidupan  normal seperti  remaja-remaja
lainnya,  tanpa  harus  mengurusi  ayah  yang  seperti  papa  ini.   Setelah  kamu  tinggal  dengan  Oommu  papa  akan  tinggal  di  rumah  sakit  jiwa  selamanya.  Di  sini  papa  tidak  akan  membahayakan  orang  lain.’

‘Tisa  tidak  mau.  Tisa  akan  terus  bersama  papa.   Papa  sama  sekali  tidak  gila.  Papa  hanya  sakit.  Dokter  Sayekti  akan  menyembuhkan  papa,’ bantah  Tisa  sambil menubruk  ayahnya  dan  memeluknya  dengan  erat.   Pak  Haryanto  menggeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Tisa  Kamu  tahu  Oom  Heru  menyayangimu  seperti  papa  menyayangimu.  Kamu  tidak
akan  terlantar  di  sana,  Tis.   Sedang  kalau  Kamu  tetap  tinggal  bersama  papa  …  Ya  Allah  …  Untung  sore  itu  Kamu  ada  kuliah,  kalau  tidak,  papa  tidak  berani untuk membayangkannya.  Tisa,  turutilah  permintaan  papa,’ desah  Pak  Haryanto. Tisa  menggeleng.

‘Tidak, pa.  Tisa  akan  selalu  bersama  papa. “

‘Tisa..’

‘Papa,  jangan  bicarakan  itu  lagi.  Tisa  tidak  mau  mendengarnya.  Papa  tidak  gila  dan  Tisa  akan  selalu  bersama  papa.  Itu  keputusan  Tisa.   Papa  tidak  berhak  memaksa  Tisa,’  kata  Tisa  mantap.   Sia-sia  Pak  Haryanto  membujuk  Tisa  untuk  melakukan  perintahnya.  Kalau  sudah  keras  kepala.   Tisa  bisa  keras  dari  batu  hitam.

Tegar  duduk  di  anak  tangga  teratas  Balairung  sambil  memperhatikan  mahasiswa-mahasiswa  yang  lalu  lalang.  Dia  berharap  dapat  menemukan  wajah  Tisa  di  antara  mereka.  Namun  harapannya  sia-sia.  Sudah   lebih  dari  satu  jam  dia  menunggu  di  sana,  tetapi  Tisa  tidak  muncul-muncul  juga.

‘Ke  mana  anak  itu?’ tanya  Tegar  dalam  hati  sambil  menimang-nimang  catatan  Moneter  yang  dipinjamnya  dari  Tisa  delapan  hari  yang  lalu.  Dia  heran  mengapa  sejak  malam  itu  Tisa  tidak  pernah  menampakkan  dirinya  di  kampus.  Ingin  benar  Tegar  mengetahui  keadaan Tisa,  tetapi  tidak  tahu  kepada  siapa  dia  harus  bertanya.  Tisa  tidak  mempunyai  kawan  akrab.  Dia  selalu  menyendiri  dan  mengambil  jarak  dari  siapa pun.

Setelah  merasa  pasti  kalau  hari  ini  Tisa  juga  tidak  datang,  Tegar  kemudian  bangkit  dan  berjalan  menuju  ke  lantai  tiga.  Langkah  kakinya  membawa  dia  ke  perpustakaan.
Di  depan  pintu  langkahnya  terhenti  dengan  sendirinya.  Dia tertegun.  Di  sana,  di  pojok  selatan  dia  melihat  Tisa  yang  tengah  menekuni  sebuah  buku  teks.

Pelan-pelan  Tegar  mendekati  Tisa  dan  duduk  di depannya.  Menyadari  kalau  ada   seorang  yang  mendatanginya.  Tisa  mendongakkan  wajahnya.  Matanya  bertemu  dengan  mata  Tegar.

‘Hai,’ sapa  Tegar.   ‘Kok  lama  tidak  kelihatan?  Kemana?’

‘Repot,’ jawab  Tisa  tanpa  senyum.

‘Aku  ingin  mengembalikan  bukumu.  Sebenarnya  aku  bisa  mengantarkannya  ke  rumahmu,  tetapi  aku  tahu  kamu  tidak  senang  kukunjungi,’ ucap  Tegar  sambil  berharap  kalau  Tisa  akan  membantah  ucapannya  dan  mengundangnya  untuk  datang  ke rumahnya.   Tetapi  seperti  biasanya,  Tisa  cuma  membisu.

Terima  kasih,’ ucap  Tegar  sambil  mengangsurkan  buku  Tisa.  Tisa  mengangguk.  Tak  ada  harapan  bagimu,  Gar,  keluh  Tegar  dalam  hati  sambil  gadis  di  depannya  dengan  gemas.  Tetapi  yang   dipandang  acuh  saja  dan  tetap  menekuni  bukunya.

‘Kamu  mestinya  membutuhkan  catatan  kuliah  selama  delapan  hari ini.  Mau  pinjam  catatanku?’ Tegar  menawarkan  dengan  manis.  Tisa  memandang  Tegar  sejenak  dan  berpikir.

‘Tulisanku  memang  tidak  sebagus  tulisanmu, tetapi masih bisa dibaca kok,’ sambung  Tegar  cepat  ala  penjual  jamu  di  Malioboro  yang  tengah  menawarkan  minyak  kalajengking.  Tisa  tersenyum.   Tegar  terpukamu.  Belum  pernah  Tisa  melemparkan  senyum  ke arahnya.

‘Siasat  yang  bagus!’ sorak  hati  di  dalam  dada  Tegar.  Cepat-cepat  dikeluarkannya  semua  buku  catatan  yang  ada  di  dalam  tasnya  dan  digelar  di  depan  Tisa.  Tisa  menggelengkan  kepalanya.

‘Aku  tidak  mungkin  menyalin  semuanya  dalam  satu  hari.   Sebaliknya  aku  pinjam  dua  catatan  dulu.   Moneter  dan  Cost.   Kapan-kapan  aku  pinjam  yang  lain,’ ucap  Tisa.  Kalimat  terpanjang  pertama  yang  pernah  kamu  ucapkan  kepadaku,  Tegar  menyadarinya.   Seratus  persen  dia  menyetujui  keinginan  Tisa.  Semua  terserah  kamu,  Tis.  Terserah  kamu.

‘Oh,  iya,’ Tegar  teringat  sesuatu.  ‘Minggu  yang  lalu  kita  mendapat  tugas  untuk  membuat  paper  Cost.  Tugas  beregu.  Satu  regu  empat  anak.   Karena  Kamu  tidak  masuk,  aku  langsung  mendaftarmu  ke  dalam  reguku  bersama  Numpy  dan  Yoyok,’ ujar  Tegar  hati-hati.  Dia  kuatir  jangan-jangan  Tisa  akan  menuduhnya  lancang.

‘Numpy  dan  Yoyok  tidak  keberatan  aku  ikut  regu  kalian?’ tanya Tisa  kuatir.

‘Mengapa  mereka  harus  keberatan?’  Tegar  balik  bertanya.’  Lagian  justru  Numpy  yang  usul  agar  kamu  masuk  regunya,’ lanjut  Tegar.   Tisa  paham  sekarang.  Sejak  SMA  dulu  Tisa  selalu  satu  regu  dengan  Numpy.  Regu  Pramuka.  Regu  Prakarya.   Regu  bahasa.  Sejak  dulu  Numpy  selalu  baik.  Seorang  sahabat  sejati.  Sayang  aku  tidak  bisa  membalas  persahabatannya,  sesal  Tisa  dalam  hati.

‘Kapan  kita  akan  mengerjakan  paper  itu?’ tanya Tisa.

‘Rencananya  besok  siang  sehabis  kuliah  Internasional  kita  akan  membahasnya.  Kamu  ada  waktu?’ jawab  Tegar  diikuti  pertanyaan.  Tisa  mengangguk.   Bagus!  pekik  Tegar  dalam  hati.  Tidak  salah  aku  memasukkan  Kamu  ke  dalam  reguku.  Sebuah  awal  yang  baik.  Dan  Tegar  serasa  ingin  terbang  ke  langit.

Tisa  berdiri  bersandar  pada  pagar  pengaman  menanti  Numpy,  Tegar  dan  Yoyok
yang  masih  ribut  di  ruang  I.   Tadi  Pak  Alex  memberikan  responsi  mendadak.
Tidak  ada  seorang pun  yang  siap  dan  sekarang  mereka  tengah  membicarakan  hasil  responsi  mereka  yang  kedodoran.

Yoyok  keluar  lebih  dahulu  dan  berdiri  di  samping  Tisa.

‘Bisa?’ tanyanya  pada Tisa. Tisa  menggeleng.

‘Keterlaluan  sekali  deh  dosen  satu  itu,’ gerutu  Yoyok.  ‘Kuliah  sering  kosong. Eh,  sekalinya masuk,  ngasih  responsi,’ lanjutnya  geram.  Tisa  tersenyum .  Belum  lagi  gerutuan  Yoyok  habis,  Numpy  sudah  keluar  lengkap  dengan  makian-makian  kotornya.  Tisa  sudah  hafal  dengan  kebiasaan  Numpy  yang  satu  ini.  Setiap  menghadapi  persoalan-persoalan  yang  agak  rumit,  Numpy  selalu  mengumpat.

‘Sekarang  kita  mau  kemana?’ Tegar  muncul  dengan  pertanyaan.

‘Dikerjakan  di  rumahku  saja  yuk,’ Numpy  menawarkan  tempat.  Semua  setuju.  Berempat  mereka  kemudian  menuju  rumah  Numpy.  Numpy  nggonceng  Yoyok  dan  Tisa  nggonceng  Tegar.  Jangan  ditanya  bagaimana  senangnya  hati  Tegar  bisa memboncengkan  Tisa.

‘Entah  karena  grogi  memboncengkan  Tisa  atau  entah  karena  memikirkan  responsi  Ekonomi  Internasionalnya  yang  gagal  di  Bunderan  Bulaksumur  tiba-tiba  Tegar  tidak
bisa  menguasai  sepeda  motornya.  Hampir  saja  dia  menabrak  bis  kota  yang  melaju  dari  arah  timur.  Dia  menggapai  rem  dengan  mendadak.  Akibatnya  fatal.   Sepeda  motornya  selip  dan  terbalik.  Untuk  beberapa  detik  Tegar  sempat  kehilangan  kesadarannya.   Ketika  tersadar,  dia  melihat  Tisa  yang  tengah  ditolong  oleh  para  penjual  majalah  yang  membuka  kios  di sekitar  Bunderan.

‘Ya  Tuhan,’ keluh  Tegar  sambil  berusaha  untuk  bangkit.   Lututnya  terasa  sangat nyeri.  Dia  meringis  kesakitan.  Tepat  saat  itu  Yoyok  datang  menolong.  Sementara  itu
beberapa  orang  tengah  berusaha  meminggirkan  sepeda  motor  Tegar.

‘Bagaimana  keadaan  Tisa?’ tanya  Tegar  pada  Yoyok.

‘Parah,’ jawab  Yoyok  sambil  tersenyum  lebar.

‘Babi  kamu!  maki  Tegar. ‘Aku  serius,’ lanjutnya  geram.   Yoyok  terbahak  melihat  Tegar  sewot.

‘Lain  kali  hati-hati,’ nasehat  Yoyok  bergurau  ketika  mereka  sudah  berada  di pinggir  jalan,  di dekat  Numpy  dan  Tisa.  Seorang  penjual  majalah  menawari  Tegar  segelas  teh,  Tegar  menolaknya  dengan  halus.   Dia  memandang  Tisa  yang  duduk  di  dekat  Numpy.  Wajahnya  seputih  kapas.

‘Bagaimana,  Tis?’ tanya  Tegar  sambil  berjongkok  di  depan  Tisa.  Nyeri  di  lututnya  tidak  dia  hiraukan.

‘Tidak  apa-apa.   Hanya  lecet  sedikit,’ jawab  Tisa  sambil  menunjukkan  tangan  kanannya.   Tegar  ternganga.  Dari  siku  sampai  ujung  tangan  Tisa  nampak  baret  merah  bekas  gesekan  aspal  jalan  yang  keras.  Dan  kulit  sikunya  megelupas.

‘Ke  Panti  Rapih  dulu  yuk  minta  suntikan  ATS,’ usul  Tegar.  Dia  takut  kuman  tetanus
ada  yang  menempel  di  luka  Tisa.

‘Nggak  perlu.   Kelihatannya  saja  ini  mengerikan,  tapi  tidak  apa-apa.  sungguh,’ Tisa  berusaha  meyakinkan  Tegar.  Tegar  memandang  Numpy  untuk  mencari  dukungan  agar  Tisa  mau  di bawa  ke  dokter,  Numpy  mengangkat  bahu  dan  memasrahkan  semuanya  pada  Tegar.

Sesudah  beristirahat  sejenak  dan  sesudah  mengucapkan  terima  kasih  kepada  para  penolong,  mereka  kembali  meneruskan  perjalanan.  Tegar  kini  berada  di  goncengan  Yoyok  dan  Numpy  memboncengkan  Tisa.

‘Pantas  Tisa  tidak  pernah  mau  kamu  antar.   Sekali  nggonceng  kamu  sudah  kamu  jatuhkan.   Tiga,  empat  kali  pasti  sudah  kamu  ajak  melanglang  ke  akherat,’   komentar  Numpy  ke  arah  Tegar  sambil  menjalankan  sepeda  motor  Tegar  yang  untung  tidak  rusak.   Tegar  tidak  membalas  komentar  itu.  Dia  lebih  senang  memperhatikan  Tisa  yang  duduk  di  belakang  Numpy.   Tiba-tiba  Tegar  melihat  barut  merah  yang  memanjang  di  pipi  Tisa.  Astaga,  aku  telah  merusak  pipimu  pula,  sesalnya  dalam  hati.

Ibu  Numpy  sedang  membuat  macramé  di  teras  ketika  mereka  berempat  datang.  Padangannya  segera  terpaku  pada Tisa.

‘Tisa!’ serunya  gembira.   ‘Ngumpet  di  mana  selama  ini?’

‘Di  rumah  saja,  tante,’ jawab  Tisa  dengan  senyum.

‘Bagaimana  papamu?’ tanya  Ibu  Numpy  kemudian.

‘Baik,’ jawab  Tisa  ragu  sambil  mengulurkan  tangannya  untuk  menyalami  ibu  Numpy.   Wanita cantik itu melihat  luka  di  tangan  Tisa.

‘Kena  apa  ini?’ tanyanya  kaget.

‘Jatuh,  tante,’ kali  ini  Yoyok  yang  menjawab.

‘Duh,  Gusti  Numpy!!’ teriak  ibu  Numpy.    Numpy yang  tengah  membuka  pintu  paviliun  menghentikan  pekerjaannya  dan  menoleh  ke  arah  ibunya.

 ‘Sudah  berapa  kali  mama  peringatkan  jangan  ugal-ugalan  di jalan. “

‘Bukan  Numpy, Ma.  Tapi  pemuda  ganteng  yang  sekarang  berdiri  di  depan  mama  itu  yang  ngejatuhin  Tisa,’ Numpy  membela  diri.  Tegar  tersenyum  kecut.  Ibu  Numpy  menggeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Nggak  disengaja,  tante,’ Tisa  menyumbang  suara.

‘Aduh  anak  muda  sekarang.  Ayo  tante  bersihkan  dulu  lukamu,’ ucap  Ibu  Numpy  sambil  mengajak  Tisa  masuk  dan  meninggalkan  Tegar  serta  Yoyok  berdua  di  luar.  Untung  Numpy  segera  memanggil  mereka  untuk  masuk  ke  paviliun.

Semenit  kemudian  Ibu  Numpy  menyusul  ke  paviliun.  Tanpa  Tisa.

‘Tante  harap lain  kali  kalau  di  jalan  hati-hati.  Lebih-lebih  bila  dengan  Tisa,’ ucap  Ibu  Numpy.  Ucapan  yang  lebih  ditujukan  buat  Tegar.

‘Rasanya  saya tadi  sudah  ekstra hati-hati,  tante  nggak tahu  kenapa  sepeda  motor  saya  nggak mau  diatur,’ Tegar  memberikan alasan.

‘Yah,  namanya  kecelakaan,’ gumam  Ibu  Numpy.   ‘Kamu  tidak  apa-apa?  Luka   barangkali?’

‘Enggak  tante,’ jawab  Tegar  melupakan  nyeri  di  lututnya.  Ibu  Numpy  mengangguk  kemudian  menanyakan  kepada  Numpy  di  mana  alkohol  yang  dipakai  Numpy  beberapa  hari  yang  lalu.  Numpy  bangkit  dan  mengambilkan  alkohol  yang  diminta  ibunya.

Sesudah  Ibu  Numpy  berlalu,  Tegar  bertanya  pada  Numpy.

‘Kok  tadi  mamamu  bilang  agar  hati-hati  di  jalan  lebih-lebih  bila  dengan  Tisa.  Apa  sih  maksudnya?’

‘Oh,  itu,’ desah  Numpy.  ‘Mama  tidak  ingin  Tisa  mengalami trauma …  Gimana  sih  ngomongnya.   Gini  nih,  dulu  Ibu  Tisa  meninggal  dunia  karena  kecelakaan  lalu  lintas. “

‘Maksudmu  Tisa  sudah  tidak  punya  ibu  lagi?’ tanya  Tegar.   Numpy  mengangguk.

‘Kejadiannya  sekitar  dua …  emm …  lebih, hampir tiga tahun yang lalu,’ cerita  Numpy.   ‘Mobil  yang  dikendarai  ayah  Tisa  tabrakan  dengan tangki minyak.  Tisa  selamat,  ayahnya  cidera  agak  berat,  tapi  ibunya  tidak  tertolong  lagi.   Tisa  yang  melihat  ibunya  meninggal  dan  ayahnya  terluka,  sangat  shock.  Untuk  beberapa  waktu  dia  tidak  berani  keluar  ke  jalan.  Dia  ngeri  setiap  kali  melihat  kendaraan.  Apalagi  kecelakaan.  Kamu  lihat  betapa  pucatnya  dia  tadi?   Aku  sudah  mengira  kalau  dia  akan  histeris.  Untung  tidak,’ Numpy menutup ceritanya.  Tegar  dan  Yoyok  terpana.   Baru  sekali  ini  mereka  mendengar  cerita  tentang  Tisa,  si  gadis  pemurung.

Kalau  saja  aku  tahu …  sesal  Tegar.  Saat  itu  Tisa  muncul  di  paviliun.  Luka  di  tangan  dan  barut  di  pipinya  sudah  dibersihkan  dan  diberi  obat  merah.

Sebelum  duduk.  Tisa  memandang  ke  setiap  sudut  paviliun.  Dulu  tempat  itu  sangat  akrab  dengannya.  Tiba-tiba  mata  Tisa  terpaku  pada  pesawat  CB  yang  ada  di  atas  meja  di  depan  jendela.   Numpy  menyadari  ke  arah  mana  mata Tisa  tertuju.

‘Kok  Kamu  tidak  pernah  ngebreak  lagi,  Tis?’ tanyanya.

‘CB-ku  rusak,’ jawab  Tisa  pendek  sambil  duduk  di  samping  Yoyok.

‘Apanya  yang  rusak?’ kejar  Numpy.

‘Nggak  tahu.   Nggak  bisa  dipakai   lagi,’ jawab  Tisa  seakan-akan  tidak  ingin  subyek
itu  diangkat  menjadi  topik.

‘Heran  kok  aku  belum  pernah  memonitormu,’ sela  Tegar.

‘Sudah  lama  aku  tidak  muncul,’Tisa  menerangkan.

‘Sebelum  Kamu  datang  ke  Yogya  Tisa  sudah  tidak  muncul  lagi,’ tambah  Numpy.

 ‘Apanya  sih  yang  rusak,  Tis?  Apa  enggak  bisa  direparasi?’ tanya  Numpy  beruntun.  ‘Hei,  Gar  Kamu  bisa  kan  memperbaiki  pesawat?  Punya  Ade  Kamu  kan  yang ‘mbetulin?’ Numpy  beralih  ke  Tegar.

‘Lihat-lihat  dulu  rusaknya.  Kalau  cuma  yang  enteng-enteng  sih  bisa  aja,’ jawab   Tegar.

‘Nah  tuh,  Tisa,  ada  tenaga  nganggur,’ ujar  Yoyok,  ’Suruh  aja  dia  mbetulin  pesawatmu.’

‘Nggak  tahu  apa  masih  bisa  dibetulin atau tidak,’ ucap Tisa. ‘Barangkali  antenanya  sudah  berkarat.  Lagian  aku  sudah  tidak  tertarik  lagi  untuk … ‘

‘Ya  ampun,  Tis,  sekarang  ini  lagi  ramai-ramainya,’ potong  Numpy.

‘Tanya  aja  pada  Yoyok  dan  Tegar.  Banyak  deh  sekarang  teman  kita.   Minggu  lalu  kita  rujakan  di  rumah  Ade.  Ayo  dong,  Tis.  Banyak  yang  menanyakan  kamu  lho,’ bujuk  Numpy  gencar.  Dia  ingat  Tisa  dulu  teman  di  udaranya  yang  paling  setia.   Kalau  sudah  ngobrol  mereka  sering  lupa  waktu.

‘Iya  deh  kapan-kapan.  Sekarang  mari  kita  pikir  tentang  Cost,’ Tisa  mengakhiri  pembicaraan  mereka  tentang  CB.  Walaupun  dulu  dia  sangat  gandrung  dengan  benda
yang  satu  itu,  tetapi  saat  ini  dia  tidak  berniat  untuk  menggunakannya  lagi.   Selain  pernah  memuaskan  hatinya  pesawat  itu  juga  pernah  menghancurkan  hidupnya.

Sepulang  dari  rumah  Numpy,  Tisa  langsung  masuk  ke  ruang  kecil  di  samping  kamar  tidurnya.   Sudah  setahun  lebih  dia  tidak  masuk  ke  ruang  itu.   Di  dekat  jendela,   dia  melihat   pesawat  CB-nya  yang  penuh  dengan  debu.  Pesawat  itu  hadiah  dari  Oom  Heru  ketika  dia  merayakan  ulang  tahunnya  yang  ketujuh  belas.

Tisa  membuka  jendela.  Udara  segar  memasuki  ruang  yang  pengap  itu.  Dengan  jari-jari  tangannya  Tisa  menyentuh  debu  yang  menyelimuti  pesawatnya.  Dia  sengaja  mengatakan  kepada  Numpy  kalau  CB-nya  rusak  agar  dia  tidak  didesak  untuk  menjawab  mengapa  sudah  sekian  lama  dia  tidak  berhandai-handai  di  udara.

Tisa  mendudukkan  dirinya  di  kursi.  Ditariknya  mike,  dan  didekatkannya  ke  wajahnya.

‘C.Q.  calling …  C.Q.  calling …  apakah  ada  yang memonitor?’ bisiknya  pelan.  ‘C.Q.  calling …  apakah  ada  yang  bisa  memonitor?’ ulangnya.  Tentu  saja  tidak  seorang pun  yang  bisa  menangkap  suaranya.   Pesawat  itu  tidak  dihidupkannya.

Pelan-pelan  Tisa  bersandar  di  kursi  dan  memejamkan  matanya.  Sebuah  peristiwa  menyakitkan  kembali  tergambar  di  pikirannya.

Waktu  itu  Tisa  berniat  untuk  mencari  teman  ngobrol  di  udara.  Seperti  biasanya  sebelum  ngebreak,   Tisa  memonitor  dulu  percakapan  para  breakers  yang  sudah  mengudara.

‘Modulasi  anda  lantang  sekali.  Roger.   Di  mana  sih  lokasi   anda?  Ganti,’ terdengar  sebuah  pertanyaan.

‘Roger …   Nyutran  gitu.  Guest  House  Sailendra  ke  timur  dua  ratus  meteran …  Ganti,’ jawaban  pertanyaan  itu  terdengar  lantang  sekali.   Tisa  tersenyum.  Dia   mengenali  suara  si  penjawab.   Agus,  tetangga  di  depan  rumah.

‘Dekat  rumah  Tisa,  correct ?’ si  suara  pertama  kembali  bertanya.   Senyum  Tisa  semakin  lebar.  Dia  juga  mengenali  suara  yang  satu  ini.  Suara  milik  Donny  teman  sekelasnya.

‘Correct.  Kok  anda  tahu Tisa?  Ganti. “

‘Dia  kan  tanggo  mike  saya …  Roger …  Lebih  tepat  papa  charlie  saya  gitu …  ganti,’ sahut  Donny.   Tak  salah  lagi  pasti  Donny.  Hanya  Donny  yang  berani  mengaku  di  depan  umum  kalau  Tisa  adalah  pacarnya.  Saat  itu  pula  Tisa  ingin  masuk  ke  dalam  percakapan,  tetapi  dia  menunggu  apa  yang  akan  mereka  obrolkan  selanjutnya.

‘Roger,’ sahut  Agus.  ‘Tapi  hati-hati  lho.  Cantiknya  sih  cantik,  tapi  kalau  saya  harus  mikir  seribu  kali  dulu  sebelum  jadi  pacarnya.   Ganti. “

‘Roger …  Memangnya  kenapa?’ tanya  Donny.  Tisa  semakin  memasang  telinga.   Percakapan  semakin  hangat.  Agus  tidak  langsung  menjawab.   Tisa  penasaran.

‘Ayah  Tisa  itu  golf  lima.  Ganti,’ bisik  Agus.

‘Gila,  correct?’ Donny  menegaskan.

‘Correct.  Sedang  anda  tahu  kan  golf  lima  itu  penyakit  menurun.  Jadinya  ya  hati-hati  aja,  Tisa  pasti  juga  agak-agak  gitu.  Ganti. “

‘Roger …  anda  jangan  main  fitnah  lho,’ ancam  Donny.

‘Sumpah  mati …  Roger …  Kemarin  siang  beliaunya  masuk  Puri  Nirmala  setelah  hampir  membunuh  Tisa.  Untung  tetangga  pada  meli …’  Tisa  tidak  mendengar  kelanjutan  kata-kata  Agus.  Dia  matikan  pesawat  CB-nya.  Wajahnya  merah  menahan  marah.   Dia  keluar  dari  ruang  itu  dan  tak  pernah  kembali  lagi  ke  sana.   Sejak  saat  itu  pula  dia  tidak  pernah  menyentuh  lagi  hadiah  ulang  tahun  dari  Oom  Heru  tersebut.

Tisa  tidak  menyalahkan  Agus.  Dia  tidak  menyalahkan  siapa-siapa.   Dia  juga  tidak  menyalahkan  Donny,  bila  sejak  saat  itu  Donny  yang  biasanya  selalu  membanggakan  Tisa,  tidak  lagi  menyapanya.   Tisa  seakan-akan  mengidap  penyakit  menular  yang harus  disingkiri.  Kabar  telah  tersebar.  Tisa  tidak  bisa  menariknya  kembali.   Ingin  benar  dia  berteriak  kepada  semua  orang  bahwa  ayahnya  tidak  gila.  Tetapi  siapa  yang  mau  mempercayainya?

Sejak  saat  itulah Tisa  mulai  menarik  diri  dari  pergaulan.  Sebelum dia  disingkirkan  lebih  baik  dia  menyingkirkan  diri.  Dan  mulailah  dia  membangun  dunianya sendiri.  Dunia  yang  mirip  istana  pasir.   Kelihatannya  kokoh,  tetapi  setiap  saat  selalu  ketakutan  akan  datangnya  ombak.  Ombak  yang  paling  kecil pun  akan  mampu  merobohkan  istananya.

 ♣

Kaki  Tegar  ternyata  membengkak.  Walaupun  sudah  dikompres,  namun  bengkak  itu  tidak  kempes  juga.  Kalau  tidak  ingat  absensinya  yang  harus  diselamatkan,  mau rasanya  Tegar  meninggalkan  kuliah  dan  tinggal  di  rumah.  Untung  sepupunya,  Nies,  mau  mengantarkannya  ke  fakultas,  sehingga  dia  tidak  harus  naik  motor  sendiri.

‘Bisa  naik  tidak?’ kata  Nies  sambil  menghentikan  mobilnya  di  depan  Balairung.  Tegar  melayangkan  matanya  ke  lantai  III  dan  mengeluh  dalam  hati.

‘Jangan  kuatir,  Nies.  Aku  pasti  sampai  ke  sana,’ ucap  Tegar  sambil  turun  dari  mobil.  Nyeri  di  lututnya  terasa  menikam.  Dia  meringis  sejenak,  kemudian  melambai
ke  arah  Nies.

Menaiki  anak-anak  tangga  ke  Balairung  merupakan  siksaan  bagi  Tegar.  Beberapa  kali  dia  terpaksa  berhenti  untuk  meredakan  nyeri  di  kakinya.  Dia  benar-benar  merasa  lega  ketika  akhirnya  bisa  sampai  di  Balairung.  Baru  di  Balairung,  belum  di  tingkat  III.  Tegar  merasa  tidak  sanggup  lagi  untuk  berjalan.  Dia  bersandar  pada  salah  satu  pilar.

‘Tegar,  kenapa  kakimu?  Tadi  kulihat  Kamu  terpincang-pincang,’ entah  dari mana  tiba-tiba  Tisa  muncul  di  depannya.  Sebuah  kejutan  yang  manis  buat  Tegar.

‘Emm …  bengkak,’ jawab  Tegar  sambil  berusaha  untuk  tersenyum.

‘Karena  jatuh  kemarin?’ tanya Tisa  kuatir.

‘Iya. “

‘Ada  tulangmu  yang  patah?’

‘Enggak  cuma  memar  saja,’ sahut  Tegar.  Dia  melepaskan  diri  dari  pilar  yang  disandarinya  dan  mulai  berjalan.  Tisa  mengikuti  di  sampingnya.  Di  depan  anak-anak  tangga  yang  menuju  ke  lantai  atas  Tegar  menghentikan  langkahnya.  Tisa  memandang  sejenak.

‘Mari  kubantu,’ katanya  sambil  mengulurkan  tangan  ke  arah  Tegar.  Tegar  terpukau.  Tetapi  tidak  lama.  Tisa  sudah  mengambil  lengannya  dan  membantunya  untuk  menaiki  anak-anak  tangga.  Tegar  tidak  pernah  menyangka  kalau  dia  bisa  sedekat  ini  dengan  Tisa.  Mimpi  apa  aku  semalam?  Salah.   Salah!  Mimpi  apa  Tisa  semalam  sehingga  pagi  ini  mau  beramah  tamah  denganku?

‘Seharusnya  kamu  istirahat  di  rumah.   Tidak  usah  kuliah,’ Tisa  membuyarkan  lamunannya.

‘Itu  niatku  tadi.  Tapi  absensiku  untuk  Pak  Kris  payah.  Sudah  empat  kali  aku  ngabur.   Sekali  lagi  berarti  tidak  boleh  ikut  ujian.’  Tegar  menerangkan  sambil  menatap Tisa  lekat-lekat.   Barut  di  pipi  Tisa  masih  nampak.   Untung  tidak  dalam.   Kalau  dalam  pasti  akan  meninggalkan  bekas  yang  mengerikan.

Sesampai  di lantai  tiga  mereka  berhenti.  Dengan  cepat  Tegar  meraih  tangan  Tisa  yang  tadinya  digunakan  untuk  menuntunnya  agar  gadis  itu  tidak  melarikan  diri.   Sesaat  Tisa  nampaknya  akan  protes,  Tetapi  kemudian  membiarkan  tangan  Tegar  menggenggam  tangannya.

‘Aku  belum  meminta  maaf  kemarin,’ bisik  Tegar.

‘Meminta  maaf?’

‘Ya,  karena  telah  menjatuhkanmu  serta  telah  membuat  tangan  dan  pipinya  terluka,’  awab  Tegar  sambil  menatap  langsung  ke  mata  Tisa.  Tisa  gugup  setengah  mati.   Rona  merah  menjalar  di  pipinya  yang  membuatnya  nampak  semakin  cantik  di  mata  Tegar.

‘Lupakanlah.  Kecelakaan  bisa  terjadi  di  mana-mana,’ kata  Tisa  setelah  reda  kegugupannya.  Tegar  tersenyum.  Dan  dalam  hati  Tisa  harus  mengakui kalau  senyum  itu  sangat  menawan.

Karena  mereka  datangnya  bersama,  mereka  dapat  duduk  bersebelahan.   Sehingga  selama  kuliah  berlangsung  Tegar  bebas  untuk  memperhatikan  Tisa.  Setiap  gerakan  Tisa,  bahkan  yang  paling  kecil pun  tak  luput  dari  mata  Tegar.  Dia  melihat  Tisa  menghapus  keringat  di  keningnya  dengan  tissue  berwarna  merah  muda.  Dan  melihat  Tisa  mengeluarkan  Tipp-Ex  untuk  menutup  tulisan  yang salah.  Dia  melihat  Tisa  menjejakan  kakinya  ke  depan  karena  capai.  Dia  melihat  Tisa  meringis  kesakitan  ketika  luka  di  tangannya  terbentur  pada  sisi  bangku.  Dia  melihat  semuanya.   Tisa  bukannya  tidak  menyadari  ke  mana  perhatian  Tegar  di  arahkan.  Dalam  keadaan  seperti  itu  muncul  sifat  istana  pasirnya.   Dia  seakan  melihat  ombak  besar  yang  mendekat  dan  mengancam  istananya .  Akankah  kamu  memandangku  dengan  sebelah  matamu  bila  kamu  sudah  tahu  keadaan  papa?

Satu  seperempat  jam  berlalu  dengan  cepat.  Rasanya  terlalu  berlebihan  bila  Tegar  berharap  Tisa  akan  menggandengnya  turun.  Dia  tetap  duduk  di tempatnya  dan  memperhatikan  Tisa  bangkit  dari  kursinya.

‘Kamu  mau  pulang  naik  apa?’ tanpa  disangka-sangka  Tisa  mengeluarkan  pertanyaannya.

‘Sepupuku  berjanji  akan  menjemputku,’ jawab  Tegar.

‘Kamu  bisa  turun  sendiri?’

‘Entahlah.  Mungkin  bisa.’

‘Kamu  membutuhkan  bantuanku?’

‘Kalau  kamu  tak  keberatan,’ jawab  Tegar  penuh  harapan.  Tisa  tersenyum.   Tegar  tertawa.

‘Baiklah,  tapi  tunggu  hingga  anak-anak  turun  semua  dulu,’ janji  Tisa.

Sesudah  semua  bayangan  teman-teman  mereka  menghilang,  Tisa  mengajak  Tegar  untuk  meninggalkan  ruang  kuliah.

Nies  yang  sudah  menunggu  Tegar  di depan  Balairung  terheran-heran  ketika  melihat  sepupunya  itu  muncul  dalam  gandengan  seorang  gadis  cantik.   Nies  mengernyitkan  dahinya.   Rasa-rasanya  aku  kenal  dia.  Ya.  Tentu  saja  aku  kenal  dia.  Bukankah  dia Tisa?

‘Tisa!’  seru  Nies  riang.   Matanya  berbinar  cerah.   Jadi  ini  dia  gadis  yang  selalu  dibangga-banggakan  Tegar  kepadaku.

Tisa  yang  berdiri  beberapa  langkah  dari  Nies  terpaku  di  tempatnya.   Terror  membayang  di  matanya.

‘Nies,’ gumamnya  lirih  sambil  melepaskan  tangannya  dari  tangan  Tegar.

‘Kalian  sudah  saling  kenal?’ tanya  Tegar  heran.  Nies  dan  Tisa  mengangguk  bersama.  Kalau  Nies  mengangguknya  penuh  semangat,  maka  Tisa  adalah  kebalikannya.

‘Aku  tidak  menyangka  kalau  ‘Tisa‘ yang  sering  diceritakan  Tegar  kepadaku  adalah  kamu,’ celoteh  Nies.   Tegar  mendelik  sengit  ke arah  sepupunya.

‘Yuk  pulang  sama-sama ,  Tis,’ ajak  Nies  tak  mempedulikan  Tegar.  Tisa menggelengkan  kepalanya.

‘Terima  kasih,  aku  bisa  naik  Colt. “

‘Hei,  nggak  usah  sungkan.  Kita  kan  saudara,‘ dalih  Nies  sambil  mengerling  Tegar.

‘Nggak  usah  repot-repot,  Nies,’ tolak Tisa.

‘Nggak  ngerepotin  kok.  Kebetulan  aku  juga  harus  jemput  mama  di  rumah  sakit,’ bujuk  Nies  gencar.   Tegar  tidak  ikut  membujuk,  karena  dia  tahu  hasilnya  akan  sia-sia.

‘Bukan  begitu.   Aku  masih  harus  ke  perpustakaan.  Pulanglah kalian dulu,’ jawab  Tisa  yang  tidak  mungkin  mau  ikut  bersama  Nies  dan  Tegar.   Pulang  sendiri  bersama Tegar  saja  dia  harus  mikir  apalagi  ditambah  dengan  Nies.

Sesudah  dibujuk  berkali-kali  dan  Tisa  tetap  pada  pendiriannya,  akhirnya  Nies  dan  Tegar  meninggalkannya  seorang diri.  Tisa  memperhatikan  mobil  mereka  hingga  hilang  dari  pandangan  matanya.  Tiba-tiba  dia  merasa  terluka.  Ombak  itu  telah  datang.   Istanaku  telah  roboh.   Pelan-pelan  dia  melangkah  dan  terus  melangkah.

Dalam  kepalanya  muncul  suatu  bayangan  yang  jelas.  Sangat  jelas.  Dia  melihat  Tegar  yang  duduk  berdekatan  dengan  Nies.  Dia  melihat  Tegar  yang  bertanya  kepada
Nies  bagaimana  Nies  bisa  kenal  dengan  Tisa.  Dan  dia  melihat  Nies  yang  menjawab  sambil  tertawa :  ‘Ayah  Tisa  kan  pasien  mama  yang  paling  setia. “

‘Memangnya  ayah Tisa sakit  apa?’

‘Lha  mama  dokter  apa?  Dokter jiwa kan?  Masa  kamu  lupa?’

‘Jadi  ayah Tisa  sakit  jiwa?’

‘Iya.  Gila! “

Tisa  menggelengkan  kepalanya  dengan  keras.   Dadanya  terasa  sangat  sesak.  Sekarang  semuanya  sudah  berubah.  Tegar  sudah  tahu  latar belakang  kehidupannya,  tentu  dia  akan  menilainya  dengan  pandangan  yang   berbeda.  Bahkan  mungkin  akan  mencoret  namanya  dari  daftar  regu  Costnya.  Lebih  buruk  lagi  bila  dia  akan  menceritakan  riwayatnya  kepada  teman-temannya  yang  belum  tahu  menahu  tentang  dirinya.  Kejadian  dua  tahun  yang  lalu  kembali  terulang.   Ombak  kembali  datang  menggempur  istana  pasirnya  yang  rapuh.  Dulu  Tisa  sudah  menduga
akan  datangnya  hari  seperti  ini,  tetapi  dia  tidak  menyangka  kalau  hari  itu  datangnya  begitu  cepat.

Sebutir  air mata  bergulir  di  pipi  Tisa.  Tisa  tidak  berniat  untuk  menghapusnya.   Dia  terus  saja  berjalan  dan  membiarkan  angin  yang  bertiup  mengeringkan  matanya.

Pagi  itu  Tisa  terbangun  dengan  kepala  yang  sangat  berat.   Dengan  merayap  dia  berhasil  sampai  ke  dapur.  Mbok  Jah,  wanita  tua  yang  bekerja  pada  keluarga  Tisa  dari  pagi  hingga  sore  sudah  datang  dan  berada  di  dapur.  Dia  sangat  terkejut  melihat  Tisa  yang  muncul  dengan  wajah  pucat  pasi  dan  tubuh  menggigil.

‘Duh  Gusti,  mbak  Tisa,  kena  apa?’ tanyanya  kuatir.

‘Pening,’ sahut  Tisa  sambil  memegang  keningnya  dan  mendudukkan  dirinya  di  kursi.

‘Tentu  masuk  angin.  Mari  mbok  keriki. “

‘Tidak  usah,  mbok  Jah.  Tisa  minta  air  hangat  saja,’ jawab  Tisa  lesu.  Cepat-cepat  mbok  Jah  menyiapkan  segelas  susu  hangat  yang  kemudian  dicampurnya  dengan  dua  sendok  madu.   Lalu  diulurkannya  ke  arah  Tisa.  Dia  memperhatikan Tisa  meminum  susu  itu,  kemudian  berjalan  ke  belakang  Tisa  dan  mulai  memijit-mijit  tengkuknya.

‘Nih  kaku  sekali.  Pasti  mbak  Tisa  terlalu  banyak  pikiran,’ komentar  mbok  Jah.  ‘Jangan  terlalu  dipikirkan,  mbak  Tisa,  bapak  akan  segera  sembuh  kembali,’ lanjutnya  menghibur.

‘Mbok  Jah,’ panggil  Tisa  lirih.

‘Menurut  mbok  Jah  apakah  papa  gila?’ tanya Tisa.

‘Hush!  Jangan  bicara  seperti  itu  tentang  bapak,’ mbok  Jah  menegurnya.

‘Tisa  hanya  ingin  mendengar  pendapat  mbok  Jah,’ tuntut  Tisa  dengan  suara  berat.   Untuk  beberapa  saat  mbok  Jah  terdiam.   Dia  sadar  anak  asuhannya  ini  sedang terombang-ambing  jiwanya  dan  membutuhkan  tempat  untuk  berpijak  yang  kokoh.

‘Tentu  saja  bapak  tidak  gila,’ akhirnya  mbok  Jah  mengeluarkan  pendapatnya.  ‘Menurut  embok  yang  bodoh  ini,  bapak  hanya  dilanda  kekecewaan  dan  rasa  bersalah  karena  kecelakaan  yang  menewaskan  ibu  dahulu.   Bapak  sangat  mencintai  ibu  dan  bapak  merasa  bahwa  bapaklah  yang  mengakibatkan  kecelakaan  itu.  Mbak  Tisa  ingat,  bapak  mulai sakit  beberapa  saat  sesudah  kecelakaan.  Tapi  embok  yakin  bapak  akan  sembuh  dengan  berjalannya  waktu.  Percayalah  pada  embok.  Jangan  sekali-kali  mendengarkan  omongan  usil  para  tetangga.  Mbok  Jah  sudah  bekerja  pada  keluarga  bapak  sejak  duluuu …  Sejak  eyang  buyut  mbak  Tisa  masih  sugeng.  Tidak  ada  seorang pun  dari  keluarga  bapak  yang  sakit  jiwa.  Tetangga-tetangga  itu  hanya  mengada-ada.  Jangan  didengarkan,’ nasehat  mbok  Jah.  Tisa  merasa  lega  luar  biasa.   Ternyata  ada  juga  seseorang  yang  sependapat  dengannya.

‘Terima  kasih,  mbok,’ bisik  Tisa.  Mbok  Jah  tersenyum  senang.

Sekarang  mbak  Tisa  kembali  saja  ke  kamar  dan  bobo  lagi.   Embok  yakin  semalam  mbak  Tisa  pasti  tidak  tidur.  Nanti  kalau  mbak  Tisa  bangun  mbok  bikinkan  sup  ayam,’ tutur  mbok  Jah  seperti  membujuk  anak  kecil.  Tisa  tersenyum  dan  menuruti  anjuran  mbok  Jah.  Tisa   tidak  seperti  tadi  malam,  kali  ini Tisa  cepat  terlelap.

Beberapa  jam  kemudian  ketika  dia  terbangun,  dia  merasa  kepalanya  sudah  ringan  dan  dadanya  tidak  sesak  lagi.  Dia  seakan  mempunyai  kekuatan  untuk  menghadapi  dunia.

Sesudah  makan.   Tisa  pamit  pada  mbok  Jah  untuk  menjenguk  ayahnya.  Mbok  Jah  mengantarnya  hingga  ke halaman  depan.  Dia  lega  ketika  melihat  wajah  Tisa  tidak  sekelabu  tadi  pagi.  Dia  ikut  merawat  Tisa,  sejak  gadis  itu  baru  berumur  beberapa  hari.  Luka  di  hati  gadis  itu  merupakan  lukanya  pula.

Pak  Haryanto  sedang  tidur  ketika  tiba  di  sana.  Dengan  hati-hati,  agar  tidak  membangunkan  ayahnya.  Tisa  menarik  sebuah  kursi  dan  duduk  di  atasnya.   Dari  tempatnya  Tisa  menatap  wajah  ayahnya  dengan  segenap  cintanya.

Alangkah  tololnya  aku  membiarkan  orang-orang  mengira  kalau  papa  gila,’ dengan  hatinya  Tisa  mencoba  berbicara  dengan  ayahnya.  ‘Dan  alangkah  tololnya  aku  membiarkan  pikiran  picik  mereka  mengacaukan  hidupku.  Papa,  Tisa  bangga  kepada  papa.  Justru  dengan  keadaan  papa  yang  sekarang  ini  papa  menunjukkan  betapa  besar  cinta  papa  terhadap  mendiang  mama.  Tisa  tidak  malu  menjadi  anak  papa. “

Pak  Haryanto  menggeliat  dan  membuka  matanya.  Tisa  telah  siap  dengan  senyum
manisnya.

‘Tisa,’  gumam  Pak  Haryanto  tidak  jelas.  ‘Kapan  datang?’

‘Barusan,  pa,’ sahut  Tisa.

‘Papa  sudah  lama  menunggumu.  Saking  capainya  papa  sampai  tertidur,’ ucap  Pak  Haryanto  sambil  bangkit  dari  posisi  berbaringnya  dan  duduk  menghadapi  Tisa.

‘Papa  nunggu  Tisa?’Tisa  meyakinkan.

‘Ya,’ seru  Pak  Haryanto  mantap.  ‘Ada  kabar  gembira  untukmu,’ sambungnya  sambil
tersenyum.

‘Tisa  siap  mendengarnya.’

‘Oke,  sekarang  dengar  baik-baik.  Papa  minta  Kamu  segera  menulis  surat  untuk
Oom  Heru …  ‘

‘Papa,  sudah  Tisa  katakan  Tisa  tidak  mau  hidup  bersama  Oom  Heru  walau  sebaik  apa pun  dia.  Tisa  tetap  akan  hidup  bersama  papa.  Papa  tidak  boleh  membuang  Tisa  begitu  saja,’ potong Tisa  emosi.

‘Nah  itu.  Belum-belum  sudah  menyela,’ goda  Pak  Haryanto.  ‘Bukan  kamu  yang  akan  tinggal  bersama  Oom  Heru.  Melainkan  papa,’ lanjut  Pak  Haryanto  berteka-teki.

‘Bagaimana, pa?  Tisa  tidak  jelas,’ cerocos  Tisa.  Pak  Haryanto  tertawa.

‘Semalam  dokter  Sayekti  memberi  tahu  papa  bahwa  papa  tidak  menderita  kelainan
jiwa.  Bukan  jiwa  papa  yang  sakit.   Papa  tidak  gila. “

‘Na, kan  sejak  dulu  sudah Tisa  katakan,’ sela Tisa.

‘Nona  muda,  Kamu  mau  mendengarkan  papa  atau  mau  membuat  diagnosa  sendiri?’ tegur  Pak  Haryanto  sambil  tersenyum.

‘Maaf,  pa.   Sekarang  Tisa  mau  mendengarkan,’ ucap Tisa.

‘Bukan  psychis  papa  yang  sakit  tetapi  fisik  papa.  Kamu  ingat  kecelakaan  yang  menimpa  kita  tiga  tahun  yang  lalu?  Waktu  itu  otak  papa  mengalami  pendarahan.  Setelah  sembuh  ternyata  ada  penyempitan  pada  pembuluh  tersebut  yang   menyebabkan  papa  diserang  rasa  pening  yang  luar  biasa  dan  papa  tidak  lagi  bisa  mengendalikan …  mengendalikan  apa  sih  istilah  dokter  Sayekti  semalam?  Pokoknya  semacam  emosi  begitulah  sehingga  papa  sering  ngamuk  dan  tidak  terkontrol.   Nah,  satu-satunya  jalan  untuk  menyembuhkan  penyakit  papa  ini  adalah  dengan  operasi,’ Pak  Haryanto  menerangkan.   Tisa  mendengarkannya  dengan  penuh  perhatian.  Harapan  yang  besar  membayang  di  wajahnya.

‘Papa  akan  menjalani  operasi  itu?’ tanya  Tisa  antusias.

‘Operasi  itu  merupakan  operasi  yang  berat,  Tis.  Karena  menyangkut otak.  Dan  di  Indonesia  belum  tersedia  peralatan  yang  memadai.’

‘Oh,’ keluh  Tisa.  Harapannya  yang  tadi  melambung tiba-tiba  terhempas  lagi.  Melihat  kekecewaan  di  wajah  Tisa  Pak  Haryanto  segera   mengulurkan  tangannya  dan  meraih
Tisa  ke  dalam  pelukannya.

‘Kamu  belum  mendengarkan  kelanjutan  cerita  papa,’ bisik  Pak    Haryanto  di  telinga  Tisa.  Tisa  menengadahkan  wajahnya  untuk  memandang  ayahnya.  Matanya  meminta  penjelasan.  Pak  Haryanto  tersenyum.

‘Kamu  tahu  negara  yang  sering  mengadakan  operasi  semacam  itu?  Jerman  Barat,
Tis.  Tempat  Oommu  berada.  Itulah  sebabnya  papa  menyuruhmu  untuk  menyurati  Oom  Heru  dan  mengabarkan  kepadanya  bahwa  papa  akan  berobat  di  sana.  Kamu  mau  melakukannya  untuk  papa?’

‘Oh, pa!’ pekik  Tisa  sambil  memeluk  ayahnya  dengan  erat.

‘Oh, pa,’ ulangnya.  Tak  ada  kata-kata  lain  yang  mampu  diucapkannya  kecuali  Oh, pa.  Tangis  bahagia  membanjir  dari  kedua  matanya  seakan-akan  semua  butir  air  mata  dan  semua duka  yang  masih  tersisa  di  dalam  dirinya  ingin  ditumpahkannya   sekarang  juga.  Dadanya  terasa  sangat  lapang.  Batu  besar  yang  menindih  hatinya  selama  tiga  tahun  kini  terhempaslah  sudah.

Untuk  beberapa menit  berikutnya  Tisa masih  juga  belum mampu  untuk  berkata apa-apa.  Kabar  yang baru  saja  didengarnya terlampau  berharga  untuk didiskusikan  dengan  kata-kata.  Sekali-sekali  dia  memandang ayahnya  dan  tersenyum.

‘Sekarang  Tisa  mau  pulang,’ tiba-tiba  Tisa  berseru  sambil  bangkit  dari  sisi  ayahnya.   Tentu  saja  Pak  Haryanto  memandangnya  tak  percaya.  ‘Sekarang  juga  Tisa  mau  menulis  surat  buat  Oom  Heru. Tisa  tidak  mau  menundanya,  ‘lanjut  Tisa  sambil  mengambil  pakaian  kotor  ayahnya  untuk  dibawa  pulang.  Sebelum  keluar,  Tisa  menghadiahi  ayahnya  dua  buah  ciuman  manis  di  pipi  kiri  dan  pipi  kanan.

‘Tisa,’ panggil  Pak Haryanto  ketika  Tisa  sudah  memegang  gerendel  pintu  siap  untuk  membukanya.

‘Ya?’ sahut  Tisa  sambil  memutar   badannya  dengan  indah.

‘Temui  dokter  Sayekti  dulu  sebelum  pulang.  Beliau  tadi  ingin  bicara  denganmu,’ pesan  Pak Haryanto.  Tisa  mengangguk.  Tanpa  dipesan pun  sebenarnya  Tisa  sudah  berniat  untuk  menemui  dokter  itu.  Begitu  banyak  pertanyaan  yang  ingin  diajukannya.  Mudah-mudahan  saja  aku  tidak  lupa  dengan  pertanyaan-pertanyaan  yang  ingin  kuajukan.

Dokter  Sayekti  sedang  menerima  tamu  ketika  Tisa  mengintip  ke kamar  kerjanya.  Tisa  memutuskan  untuk  menunggunya.  Untung  tamu  itu  tidak  mengobrol  terlalu  lama dengan  dokter  Sayekti.   Begitu  tamu  itu  keluar,  Tisa  segera  menjulurkan  kepalanya  melalui  pintu  yang  terbuka  sedikit.  Dokter  Sayekti  yang  melihatnya  segera
memberikan  isyarat  agar  Tisa  mendekat.

‘Mau  bicara  dengan  saya,  tante  dokter?’ tanya  Tisa  begitu  dia  sudah  berada  di depan  dokter  Sayekti.  Hanya  Tisa  seorang  yang  mengalamatkan  dokter  Sayekti  dengan  sebutan  ‘tante dokter “.  Entah  dari  mana  sebutan  aneh  itu  didapatnya.  Namun  yang  terang  dokter  Sayekti  sangat  menyukainya.

‘Iya,  Tis,’ jawab dokter  Sayekti.  ‘Duduklah dulu,’ lanjutnya  menyilakan  Tisa.  Sementara dia  membereskan  mejanya yang  penuh  dengan kertas.

‘Ayahmu  sudah bercerita  kepadamu?’ tanya  dokter Sayekti  setelah  mejanya rapi

‘Sudah.  Apakah  yang  dikatakan  papa benar?  Saya  kuatir jangan-jangan  papa  hanya
merekanya  untuk  menggembirakan  hati saya,’ ucap  Tisa.  Dokter  Sayekti  tertawa  ramai.  Setelah  tawanya  surut,  mulailah  dia  bercerita.

Sebenarnya  pihak rumah  sakit  sudah lama  mengetahui  keadaan ayah  Tisa  yang sebenarnya.  Tetapi  seperti yang  telah  diceritakan  ayah Tisa  tadi,  untuk menjalani  operasi  tersebut di  Indonesia  masih belum  mungkin.  Sedang untuk  menyarankan  agar Pak  Haryanto  berobat di luar  negeri  tidak pernah  terpikirkan  oleh para  dokter  yang merawatnya. Mereka  tidak  ingin menambah  beban  di pundak  Tisa.  Beban yang  saat  ini berada  di  pundak Tisa  sudah  terlampau berat  untuk  di tanggung  gadis  seusia
dia.

Memang  Tisa  tidak  memikirkan  masalah  keuangan,  karena  semua  biaya  pengobatan  ditanggung  perusahaan  ayahnya.  Tetapi  justru  beban  mentalnya  itu  yang  berat.  Kalau  pihak  rumah  sakit  memberi  tahu  perihal  keadaan  ayahnya  yang  tidak  bakal  tersembuhkan  bila tanpa  melalui operasi,  maka  sudah  dapat  dipastikan  kalau  Tisa  akan  tersiksa.  Sedang  kalau  untuk  membawanya  ke  luar  negeri,  akan  mampukah  dia?  Akhirnya  para  dokter  sepakat  untuk  tidak  menceritakannya  kepada  Tisa  maupun  kepada  Pak  Haryanto  sendiri,  sementara  itu  mereka  tetap  berusaha  untuk  penyembuhan  Pak  Haryanto.

‘Lalu  apa  yang  membuat  tante  dokter  berubah  pikiran  dan  menceritakan  kepada  kami,’ tanya  Tisa.

‘Sebenarnya  tidak  sengaja, Tisa,’ jawab  dokter  Sayekti.  ‘Selama  ini  kami  menyangka  hanya  Kamulah  satu-satunya  kerabat  ayahmu.  Well…  Kamu  sendiri  sewaktu  membawa  ayahmu  ke  sini  pertama  kali  mengatakan  bahwa  kalian  tidak  mempunyai  famili  yang  bisa  dihubungi.   Lalu  Kamu  sendiri  yang  mengurusi  ayahmu.   Kamu  sendiri  pula  yang  selalu  menjenguknya  dan  menguatirkan  keadaannya.   Jadi  kami  menyimpulkan  bahwa  kami  telah  melakukan  kebijaksanaan  yang  paling  baik  dengan
merahasiakan  penyakit  ayahmu.   Baru  kemarin  pagi  kami  mengetahui  kalau  ayahmu  mempunyai  adik  kandung  yang  tinggal  di  Jerman.”

‘Papa  bercerita  tentang  Oom  Heru?’ tanya  Tisa.   Dokter  Sayekti  menggeleng.

‘Kemarin  pagi,  ayahmu  meminta  tolong  tante  untuk  menuliskan  surat  buat  adiknya.
Papamu  bilang  Kamu  tidak  mau  menulis  surat  untuknya,’ kisah  dokter  Sayekti.   ‘Tentu  saja  tante  kaget  setengah  mati  ketika  mengetahui  hal  itu.  Tapi  tante  tulis  juga  permintaan  ayahmu. “

‘Ya,  ampun!’ seru  Tisa  kaget.  ‘Pasti  deh  papa  punya  rencana  untuk  menitipkan  saya  pada  Oom  Heru,  iya  kan?  Heran,  sudah  puluhan  kali  saya  katakan  pada  papa  saya  tidak  mau  ikut  Oom  Heru.  Jadi  tante  dokter  sudah  menulis  surat  buat  Oom  Heru?’

‘Menulisnya  sudah.   Mengirimkannya  belum,’ jawab  dokter  Sayekti.

‘Setelah  tahu  kalau  ayahmu  punya  adik  yang  tinggal  di  Jerman,  kami  segera   mengadakan  rapat  kilat  dan  memutuskan  untuk  memberitahu  ayahmu  tentang  penyakitnya.  Nah  yang  ingin  tante  bicarakan  denganmu  sekarang  adalah  apakah  tante  harus  mengirimkan  surat  ayahmu  yang  kemarin  atau  tidak?’

‘Tentu  saja  tidak,’ sahut  Tisa  cepat.   ‘Saya  akan  menulis  surat  untuk  Oom  Heru.  Kapan  kira-kira  papa  bisa  berangkat  ke sana?’

‘Jangan  terlalu  antusias, Tis,’ dokter  Sayekti  memperingatkan.

‘Secepat  mungkin  kami  akan  menghubungi  rumah  sakit  di  sana  dan  mengirimkan
catatan  kondisi  ayahmu  selama  ini.  Nah  kalau  sana  sudah  oke,  bolehlah  ayahmu  berangkat. “

‘Tante  dokter  tahu,  saya  ingin  sekali  melihat  ayah  sembuh.’

‘Iya,  tante  juga,’ jawab  dokter  Sayekti.  ‘Kamu  ingin  melihat  surat  yang  kemarin  tante  tulis?’

‘Nggak  usah,  tante  dok.  Saya  sudah  tahu  apa  isinya.  Saya  tidak  bisa  mengerti   mengapa  papa  sampai  berniat  untuk  membuang  saya  seperti  itu.’

‘Tante  rasa  alasan  ayahmu  tepat  juga, Tis.  Menurut  ayahmu,  sejak  beliau  sakit  Kamu  menjadi  sangat  berubah.  Kamu  menjadi  pemurung,  pendiam  dan  tidak  mempunyai  teman.  Padahal  ayahmu  bilang,  dulu  temanmu  sangat  banyak  dan  Kamu  termasuk  remaja-remaja  yang  agak  ribut  dan  cerewet,  itu  kata  ayahmu  lho.  Nah  dengan  mengirimkan  Kamu  kepada  oommu,  ayahmu  berharap  agar  Kamu  bisa  menemukan  kembali  duniamu  yang  hilang. “

‘Itulah  yang  tidak  saya  mengerti.  Papa  pikir  bila  saya  sudah  berpisah  dengan  papa  dan  hidup  bersama  keluarga  Oom  Heru  saya akan  bisa  melupakan  papa.  Padahal  justru  sebaliknya.  Saya  akan  sangat  menderita.  Saya  tidak  bisa  membayangkan  papa  berada  di  rumah  sakit  jiwa.  Walau  bagaimanapun  juga  papa  adalah  ayah  saya.  Dan  saya  sangat  mencintainya,’ keluh  Tisa  panjang.   ‘Tapi  yah…  sebentar  lagi  papa  akan  sembuh,’ sambungnya  diiringi  senyum.   Semuanya  akan  kembali  seperti  sedia  kala, pikir  Tisa  tenang.

Melihat  kegembiraan  di  wajah  Tisa,  mau  tidak  mau  dokter  Sayekti  ikut  bergembira  pula.  Sejak  pertama  bertemu  dokter  Sayekti  sudah  mengagumi  gadis  di  depannya  ini.  Tisa  begitu  telaten  dan  penuh  cinta  dalam  merawat  ayahnya.  Alangkah  sukarnya  membayangkan  Nies  bersikap  seperti  Tisa  dalam  menghadapi  ayahnya,  suami  dokter  Sayekti.  Apalagi  Tegar.  Tegar?

‘Astaga,  hampir  tante  lupa!’ seru  dokter  Sayekti  tiba-tiba.  ‘Tadi  Tegar  menitipkan  surat  untukmu,’ sambungnya  sambil  mencari-cari  ke  dalam  tasnya.

‘Surat  apa?’ tanya Tisa  heran.

‘Emm…, apa  dia  bilang  tadi?  Oh  iya…. mau  minta  tolong untuk  menandatangankan  absensinya,’ jawab  dokter  Sayekti  sambil  mengulurkan  sebuah  amplop  surat  yang  tertutup  rapat.

‘Apakah  kakinya  masih  bengkak?’ tanya Tisa.

‘Dia  masuk  Panti  Rapih  kemarin  sore,’ sahut  dokter  Sayekti.  ‘Kakinya  ternyata  retak  dan  perlu  digibs. “

‘Retak,’ ulang  Tisa  tidak  percaya.  ‘Kemarin  siang  dia  bilang  kakinya  tidak  apa-apa.  cuma  bengkak  saja. “

‘Oh,  Tegar  sok  tahu.  Dia  pikir  dia  lebih  ahli  dari  dokter.   Sewaktu  mau  tante  periksa  dia  menolak.  Baru  kemarin  sore,   setelah  sakitnya  tidak  tertahankan  lagi,  dia
berlari  ke  tante.  Langsung  deh  tante  jewer  kupingnya  dan  tante  seret  ke  rumah  sakit,’ cerita  dokter  Sayekti. Tisa  tersenyum.

‘Tante  heran,  Tis,  bagaimana  Kamu  akrab  dengan  anak  sableng  itu,’ lanjut  dokter  Sayekti. Tisa  terdiam.  Dia  tidak  tahu  harus  berkomentar apa. Akrab?  Rasa-rasanya  tidak.

Surat  Tegar  untuk  Tisa  benar-benar  menggambarkan  sifat  sablengnya.   Pada  kertas  resep  dengan  kop  nama  dokter  Sayekti  di  pojok  kiri  atas,  dia  menulis :

Pro :
Tisa  Aribowo ( Namamu  lebih  keren  deh  bila  digabungkan  dengan  namaku)

Begini,  Tis,  Kamu  kan  tahu  absensiku  untuk  Pak  Kris  sangat  rawan.  Sekali  lagi  aku  tidak  kuliah  berarti  aku  tidak  diijinkan  untuk  ikut  ujian  akhir.  Dus  aku  harus  ngulang  tahun  depan.   Nah  demi  masa  depan  kita  bersama,  kuharap  Kamu  mau  mengisikan  daftar  presensiku.  Tulisannya  kira-kira  seperti  di  bawah  ini.  Usahakan  deh  yang  agak  mirip  sehingga  beliaunya  tidak  curiga.
Tegar  Aribowo.

Di  bawah  nama  itu  Tegar  mencantumkan  nomor  mahasiswanya,  kemudian  sebuah  tanda  tangan.  Tanda  tangan  yang  simpel  sehingga  kelihatannya  mudah  untuk  ditiru  atau  dipalsukan.  Di  bawahnya  lagi ,  Tegar  menyambung  suratnya.  Oh  ya,  Tis,  sewaktu  abangku  sakit  dulu  dan  harus  diopname  pacarnya  nungguin  dia  terus.  Aku
tahu  aku  tidak  boleh  mengharapkanmu  untuk  menungguiku  harus.  Tetapi  kalau  aku  berharap  agar  sekali-sekali  kamu  kunjungi  boleh  kan?

Tisa  tertawa  ketika  membaca  surat  itu.  Pantas  dokter  Sayekti  mengira  kalau  aku  dan  Tegar  akrab.  Pasti  Tegar  bercerita  yang  tidak-tidak  kepada  tantenya   itu.   Sesudah  membaca  ulang,  Tisa  kemudian  mengambil  selembar  kertas  dan  mulai  belajar  menuliskan  nama ‘ Tegar   Aribowo ‘  hingga  tulisannya  mirip  dengan  tulisan  tangan  Tegar.   Sebersit  perasaan  aneh  tiba-tiba  muncul  di  hatinya.  Perasaan  yang  belum  pernah  dia  rasakan  sebelumnya.  Dia  merasa  seakan-akan  sejak  dulu  dia  dan  Tegar  selalu  berjalan  bahu  membahu.   Dia  merasa  seakan-akan  masalah yang dihadapi  Tegar  adalah  masalahnya  juga.  Dan  saat  ini  dia  sedang  berusaha  membantu  Tegar  untuk  menghadapi  salah  satu  masalah  tersebut.

Usaha  Tisa  agar  bisa  menuliskan  nama  Tegar  mirip  dengan  tulisan  yang  punya  nama  ternyata  tidak  ada  gunanya.  Pak  Kris  kosong.  Berarti  tidak  ada  daftar  presensi  yang  harus  diisinya.   Dalam  perjalanan  pulang,   sewaktu  Colt  yang  ditumpanginya  lewat  di  depan  Panti  Rapih  tanpa  disadarinya  Tisa  melambaikan  tangannya  kepada  kernet  untuk  memberinya  isyarat  kalau  dia  ingin  turun  di  tempat  itu.  Dan  setengah  sadar  pula  dia  berjalan  memasuki  Panti  Rapih.  Tahu-tahu  dia  sudah  berada  di  depan  paviliun  Albertus.

‘Apa  yang  kulakukan  di  sini?’ tanya  Tisa  pada  dirinya  sendiri.   Serta  merta  Tisa  sadar  bahwa  dia  sebenarnya  tidak  mempunyai  kewajiban  untuk  mengunjungi  Tegar.  Tetapi  untuk  keluar  lagi  dari  Rumah  Sakit  itu  rasanya  lucu.  Akhirnya  dia  memutuskan  untuk  menemui  Tegar.

‘Hanya  sekali  ini,’ janjinya  dalam  hati  sambil  meneliti  nama-nama  para  pasien  dan  kamar  masing-masing.   Tegar  benar-benar  surprise  ketika  tahu-tahu  melihat  Tisa  sudah  berdiri  di  depan  pintu  kamarnya.  Dia  tersenyum  lebar  dan  menyilakan  Tisa  masuk.  Tisa  mendekati  tempat  tidur  Tegar  dengan  ragu.

‘Aku  senang  kamu  mau  datang,  Tis,’ ucap  Tegar.

‘Emm…  Kebetulan  Pak  Kris  kosong,’ ucap  Tisa  yang  tidak  tahu  harus  berkata  apa.

‘Kosong?  Kalau  begitu  kamu  tidak  harus  mengisikan  presensiku  dong,’ seru  Tegar  gembira.  Tisa  mengangguk  sambil  memperhatikan  kaki  kanan  Tegar  yang  terbalut  gibs.

‘Seumpama  Pak  Kris  tadi  masuk,  Tis,  apakah  kamu  akan  menandatangankan  resensiku?’ sambung  Tegar  dengan  sebuah  pertanyaan.

‘Kurasa  aku  tidak  punya  pilihan  lain.  Kalau  sampai  Kamu  tidak  boleh  ikut  ujian,  kamu  pasti  akan  menyalahkan  aku,’ sahut  Tisa. Tegar  tergelak.

‘Aku  memang  brengsek  dan  tukang  paksa,’ Tegar  mengaku.  ‘Soalnya  kalau  tidak  kupaksa  kamu  tidak  pernah  mau  melakukannya  dengan  suka  rela.  Coba  kalau  sore  itu  aku  tidak  bolos  kuliah  dan  pura-pura  jadi  sopir  Colt,  tentu  kamu  tidak  mau  pulang  bersamaku.   Coba  kalau  aku  tidak  langsung  menuliskan  namamu  dalam  regu  Costku,  tentu  kamu  tidak  mau  seregu   denganku.  Coba  kalau  aku  tidak  langsung  menuliskan  namamu  dalam  regu  Costku,  tentu  Kamu  tidak  mau  seregu  denganku. Coba  kalau  aku  tidak  memaksamu  untuk  mencintaiku,  tentu  Kamu  tidak  mau  jadi  pacarku.’

‘Apa?’  sergah  Tisa  sambil  membelalakkan  matanya.

‘Kamu  sudah  mendengarnya,  Tis.  Benar kan?’

‘Tidak  lucu,’ desah  Tisa.

‘Hei,  ini  memang  bukan  lelucon.  Ini  serius,  Tis,  Coba  kalau  tidak  kupaksa,  maukah  Kamu  jadi  pacarku?’ bantah  Tegar  seenaknya.  Tisa  terdiam.   Dia  menyadari  bahwa  dia  tidak  mungkin  bisa  menghadapi  Tegar  bila  dia  tetap  menggunakan  caranya  yang
sekarang  ini.  Dia  harus  menggunakan  cara  yang  sama  sekali  lain.  Setelah  berpikir  beberapa  saat,  akhirnya  Tisa  menganggukkan  kepalanya.

‘Mau,’  jawabnya  mantap.  Kini  giliran  Tegar  yang  terkejut.  Dia  menatap  Tisa  tidak  percaya.  Sama  sekali  dia  tidak  menyangka  kalau  Tisa  akan  menjawab  seperti  itu.  Pelan-pelan  Tegar  mengembangkan  senyumnya.  Matanya  menatap  mata  Tisa  dengan
lembut  dan  dalam.  Tisa  segera  menyadari  kesalahannya.

‘Tegar,  aku  cuma  bercanda.  Tidak  serius,’ ucapnya  cepat.  Tetapi  sudah  terlambat.  Tegar  seakan  tidak  mendengar  suara  Tisa.  Dia  masih  juga  menatap  Tisa  dengan  segala  cintanya.  Tangannya  terulur  dan  tahu-tahu  tangan  Tisa  sudah  berada  dalam
genggaman  tangannya.

Siang  itu  matahari  bersinar  dengan  garangnya  seakan-akan  ingin  menghanguskan  semua  yang  ada  di  atas  permukaan  bumi  ini.  Pohon-pohon  mulai  melayu  daunnya  dan  burung-burung  kehilangan  nyanyiannya.   Sementara  orang  lain  memilih  untuk  tinggal  di  dalam  rumah  dan  melindungi  diri  dari  sengatan  matahari,  Tegar  justru   bertengger  gagah  di  atas  atap  rumah  Tisa.  Matahari  yang  menggumuli  kulitnya  tidak.  Hanya  sekali-sekali  saja  dia  menghapus  keringat  yang membasahi  wajahnya.  Dengan  tekun  dia  memasang  booster  di  antena  pesawat  CB  Tisa.   Dengan  booster  itu  dia  berharap  agar  kalau  menghubungi  Tisa  di  udara.  Tisa  bisa  menangkap  suaranya  dengan  jernih.   Tegar  baru  saja  selesai  mengencangkan  antena  ketika  dia  mendengar suara lain  di  atas  genteng  itu.   Ketika  menoleh,  dia  melihat  Tisa  yang  tengah  berjalan  ke  arahnya.

‘Ya  ampun,  Tis,  apa  yang  kamu  lakukan  di  sini?  Kamu  bisa  jatuh,’ seru  Tegar  kaget. Apalagi sewaktu melihat langkah Tisa  yang terhuyung-huyung.  Tisa  tidak  menyahut  hanya  melambai-lambaikan  selembar  kertas.

‘Dari  Oom  Heru.  Kamu  harus  membacanya,’ ucapnya  setelah  dekat  dengan  Tegar.  Kertas  yang  ternyata  surat  dari  pamannya  diulurkan  kepada  Tegar.  Setelah  menggeleng-gelengkan  kepalanya  berkali-kali  mulailah  Tegar  membaca  surat  itu. Sebuah  surat  yang  sangat  singkat.   Oom  Heru  hanya  menulis  kalau  operasi  ayah  Tisa  telah  berhasil  dengan  baik.   Minggu  depan  Ayah  Tisa  sudah  diijinkan  keluar  dari  rumah  sakit.  Hanya  itu  isi  surat  tersebut.  Oom  Heru  bahkan  tidak   menyebutkan  kapan.  Pak  Haryanto  akan  kembali  ke  tanah  air.  Tapi  surat  yang  singkat  itu  sangat  berharga  bagi  Tisa.  Juga  bagi  Tegar.  Tegar  menatap  Tisa  yang  berada  di  dekatnya  dengan  kasih.  Wajah  yang  biasanya  diliputi  mendung  itu  kini  nampak  secerah  langit di  atas  sana.   Tiba-tiba  Tegar  menyadari  di  mana  mereka  berada.

‘Tis,  Kamu  harus turun  sekarang. Tempat  ini  terlalu berbahaya untukmu,’ perintahnya  pada  Tisa.  Tisa  memandangnya  protes.

‘Aku  tidak  ingin  melihat  Kamu  jatuh.  Seharusnya  Kamu  tadi  tidak  usah  naik   kemari.  Kamu  memanggilku  saja  pasti  aku  akan  segera  turun,’ sambung  Tegar.

‘Aku  begitu antusias  tadi,’ Tisa  memberikan  alasannya   Tegar  tersenyum.  Seratus  persen  dia  memakluminya.

‘Oke,  tapi  Kamu  harus  turun  sekarang.  Sebentar  lagi  aku  selesai  dan  menyusulmu,’ kata  Tegar.  Tisa mengangguk.

‘Aku  turun  sekarang,’ ucapnya.

‘Hati-hatilah,’  pesan  Tegar  sambil  memperhatikan  Tisa  berjalan  menjauhinya.  Ketika  tiba  di  tepi  atap  Tisa  menghentikan  langkahnya  dan  berseru  kaget.

‘Ada  apa, Tis?’ tanya  Tegar.  ‘Kita  tidak  bisa  turun,’ jawab  Tisa  ragu  dan  kecut.

‘Apa?’

‘Kita  tidak  bisa  turun,’ ulang  Tisa.  ‘Kemari  dan  lihatlah,’ lanjutnya.  Tegar  meletakkan  kawat  yang  dibawanya  dan  berjalan  mendekati  Tisa.  Matanya  terbelalak  lebar.  Tangga  yang  mereka  gunakan  untuk  naik  tadi  kini  tersangkut  di  rumpun  melati  jauh  di  bawah  sana.

Ijinkanlah Aku Berjalan Di Atas Duniamu