Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kelima)
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota Daytona dan tinggal di sebuah hotel dekat pantai. Di sini dia berkenalan dengan Michelle, seorang peragawati.
Karena kebetulan, Lucy berkenalan dengan Mark Wayne, seorang mahasiswa yang bekerja musiman sebagai penjaga pantai. Mark berusaha bersahabat dengan Lucy, namun Lucy enggan, mengingat pesan Michelle bahwa semua penjaga pantai adalah play boy. Pandangan Lucy berubah, ketika pemuda itu menyelamatkan seorang anak yang hampir tenggelam di pantai.
Aku tahu Mark merasa aneh mendengar jawabanku tetapi aku tidak peduli. Dia kemudian bertanya tentang bermacam hal. Tentang Indonesia dan tentang diriku. Bila dia bertanya tentang Indonesia maka aku akan menjawab dengan jujur, tetapi bila dia mulai bertanya tentang diriku maka akan kucari jawab yang kira-kira akan memuaskannya.
‘Hei, aku telah terlalu banyak bercerita tentang diriku, bagaimana dengan dirimu sendiri?’ kualihkan percakapan kami karena aku sangat tertekan bila bercerita tentang keluargaku.
‘Aku berasal dari Kentucky,’ Mark memulai ceritanya.
‘Kentucky?’ potongku cepat, ‘Dekat dengan Louisville?’
‘Kamu pernah ke Louisville?’ ganti Mark yang bertanya.
‘Belum. Cuma pernah dengar saja. Rumah Kolonel Sandersnya KFC.’ jawabku mencoba bercanda. Ya Tuhan hampir saja…
‘Rumahku di luar kota Louisville,’ lanjut Mark. Ingin benar aku bertanya luar kota sebelah mana. Tapi kalau aku bertanya tentu dia akan curiga, maka kubiarkan rasa ingin tahuku tidak terpenuhi. ‘Di sana ada Mom, ada Dad dan ada dua adik laki-lakiku, Tony dan Eric. Waktu mereka belum lahir, aku pernah di ajak berlibur oleh orangtuaku di pantai di Delaware dan di sana aku hampir mati tenggelam, untung aku di selamatkan oleh seorang lifeguard. Sejak saat itu aku bercita-cita untuk menjadi seorang lifeguard.’
‘Sudah berapa lama kamu menjadi lifeguard, Mark?’
‘Sudah tiga kali musim panas.’
‘Jadi kamu hanya beredar disini pada waktu musim panas?’ tanyaku. Mark mengangguk.
‘Musim-musim lainnya kuhabiskan di kampus. Menjengkelkan memang, tapi Mom dan Dad sangat mengharapkanku untuk melanjutkan sekolah,’ keluh Mark.
‘Dan kamu sekolah sekolah di…?’ selidikku.
‘Cincinnati,’ jawab Mark lesu. Cincinnati!!? Bukankah David juga kuliah di sana? Pernahkah Mark ketemu David? Saling kenalkah mereka, pikirku kalut. Tentu tidak. Bantahku sendiri. Kalau Mark kenal David tentu dia akan segera menyadari kemiripanku dengan David. Dalam kebingunganku itu tanpa kusadari aku melihat ke jam tanganku. Astaga, sudah saatnya makan malam!
‘Sorry, Mark, aku harus segera kembali ke hotel. Sudah jam makan malam,’ kataku sambil bangkit. Tentu Michelle sudah menantiku, pikirku sambil mengibas-ngibaskan pasir yang menempel di celanaku. Mengapa aku jadi lupa waktu? Mark juga ikut berdiri.
‘Besok kamu main di pantai?’ tanya Mark. Aku mengangguk.
‘Kunanti kamu di sini, OK?’ kata Mark sebelum aku berlari menuju hotel.
Michelle telah pergi ke ruang makan ketika aku sampai di hotel karena kujumpai kamarnya gelap dan terkunci. Bergegas aku menyusulnya.
‘Dari mana saja, Non?’ tegur Michelle.
‘Jalan-jalan di pantai,’ sahutku sambil duduk di seberangnya.
‘Jalan-jalan di pantai atau pacaran di pantai?’ selidik Michelle sambil menahan senyum. ‘Tadi aku menyusulmu ke pantai, tapi karena engkau begitu asyik maka kubiarkan saja,’ lanjutnya. Aku tidak tahu bagaimana warna wajahku waktu itu tapi aku merasa semua darahku mengalir ke sana.
‘Ah, kami hanya ngobrol saja,’ belaku.
‘Apakah dia mulai merayumu?’
‘Michelle . . . ! dia tidak punya maksud apa-apa, jadi tidak diperlukan rayuan,’ balasku sengit. Tapi Michelle malah tertawa. Cepat-cepat kupanggil Les untuk menyiapkan makananku dan tak bercerita apa-apa kepada Michelle hingga makan malam selesai.
‘Lucy, kamu marah?’ tanya Michelle dalam perjalanan menuju kamar kami. Aku diam saja. Marah sih tidak, cuma dongkol.
‘Sorry kalau aku membuatmu tersinggung. Aku hanya berseloroh tadi,’ kata Michelle penuh penyesalan.
‘Aku sama sekali tidak marah, cuma . . . ah, tak tahu mengapa.’
‘Oke, hati-hati sajalah. Bagaimana pun juga dia seorang lifeguard dan reputasi lifeguard tidak bisa kita anggap enteng. Tapi apa yang dia lakukan tadi pagi membuat nilai dirinya naik. Mungkin saja dia dia tidak seburuk lifeguard lainnnya. Mungkin dia benar-benar mencintaimu.
‘Wow… siapa yang bicara tentang cinta?’ potongku.
‘Aku bilang mungkin, dear Lucy.’ Mengapa sekarang kamu jadi mudah tersinggung? Mungkin yang mungkin itu tengah terjadi pada dirimu saat ini,’ bantah Michelle. Kupelototi dia, tapi dia tenag-tenang saja.
‘Mau menemaniku jalan-jalan, Lucy?’ tanya Michelle. Aku menggeleng.
‘Oke, aku akan jalan-jalan sendiri, siapa tahu ketemu sama lifeguardmu,’ goda Michelle lagi. Dia masih tetap menggodaku hingga kuturuti permintaannya untuk menemaninya jalan-jalan.
Kami melangkah pelan menelusuri pantai yang remang-remang. Michelle berjalan dengan wajah menunduk dan kakinya mengais-ngais pasir yang di laluinya.
‘Lucy, bagaimana bila kukatakan kepadamu kalau aku akan kawin besok pagi?’ tiba-tiba Michelle berbisik lirih.
‘Apa?’ aku masih juga bertanya walau kalimat yang di ucapkan Michelle sudah kudengar dengan jelas.
‘Besok pagi aku akan kawin, Lucy.’
‘Michelle, jangan bercanda!’ tegurku. Tapi kulihat Michelle menggelengkan kepalanya.
‘Aku sendiri pun pada mulanya tidak percaya ketika dia menyatakan bahwa kami akan kawin besok pagi. ‘Kukira dia sedang bergurau, ternyata tidak. ‘Kami benar-benar akan kawin besok pagi di Presbitarian Church di Orlando.’
‘Dengan siapa kamu akan kawin dan mengapa sangat mendadak dan tanpa rencana?’
‘Dengan Bob Turner.’
‘Bosmu?’ tanyaku kurang yakin. Hanya seorang Bob Turner yang kukenal yaitu pemilik Daytona Fashion Center.
Kalau Michelle benar-benar kawin, tinggalah aku sendiri di hotel ini tanpa kawan. Mengapa semuanya begitu cepat berlalu? Mengapa pertemuan dan perpisahan selalu membayangi langkahku?
‘Kamu tidak mengucapkan selamat kepadaku?’ tanya Michelle membuyarkan lamunanku.
‘Oh, tentu saja. Selamat Michelle! I’m so happy for you” ucapku sambil memeluk Michelle erat. ‘Tapi kamu tahu aku sedih untuk berpisah denganmu.’
‘Kamu kira hanya kamu saja yang sedih? Tapi kita akan tetap berhubungan, Lucy. Kamu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri,” bisik Michelle sambil melepaskan pelukan. ‘Kamu harus hadir pada perkawinanku dan menemaniku selama seminggu di Orlando.’
‘Menemanimu? Yang benar saja, kamu sudah ditemani Bob.”
‘Lucy . . ., Bob akan sibuk selama itu. Dia akan mengurus keberangkatan kami ke Eropa. Dia akan mengadakan pameran di Paris dan Milan, sekaligus bulan madu kami. Kita masih punya waktu, Lucy. Kita dapat jalan-jalan bersama. Ke Disney World, misalnya. Oke, Lucy?’
‘Michelle, aku . . . aku.’
‘Kenapa?’
‘Kalau saja kamu memberitahunya tadi pagi maka aku akan menjawab ya dengan pasti. Tapi kalau sekarang . . . Oh, Michelle, kamu tahu aku tidak membawa sebuah baju pun yang pantas untuk suatu perkawinan. Semua pakaianku terlalu santai,”
‘Lucy . . . Lucy,’ desah Michelle. ‘Apa gunanya aku berkeja di rumah mode kalau aku tidak bisa meyediakan sebuah baju untukmu.’
Malam itu kami berdua sama-sama tidak bisa tidur. Tapi alasan yang mendasarinya berbeda. Kalau Michelle tegang menghadapi perkawinan dan masa depannya yang penuh dengan impian indah, sementara aku gelisah menghadapi masa depanku yang semakin tak pasti dan harus kutempuh sendiri.
Alun ombak malam ini sangat tenang, setenang mataku yang menatap kosong pada langit-langit kamar yang tidak ada seekor cicaknya pun. Michelle telah terbang ke Eropa tadi pagi dan kini aku kembali ke kamar hotel ini, entah untuk berapa lama lagi. Sudah kuputuskan diriku untuk tidak kembali ke Indonesia sebelum sakit hatiku hilang dan sebelum aku bisa berdiri sendiri dengan tegar.
Sebuah ketukan lirih tergetar di pintuku. Sekejab bayangan Michelle melintas. Ah bukan! Michelle telah pergi. Lalu siapa? Perlahan aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu. Dengan ragu pintu kubuka dan . . .
‘Mark!’ seruku kaget melihat siapa yang berdiri di depanku.
‘Lucy, are you okay?’ tanya Mark kuatir.
‘Apa?’ aku tidak mengerti yang ditanyakannya.
‘Kamu tidak apa-apa?’ ulang Mark. Aku menggeleng.
‘Memangnya ada apa?’ tanyaku.
‘Seminggu yang lalu kamu berjanji untuk menemuiku di pantai tetapi sejak saat itu pula kamu tidak pernah muncul.’
‘Oh, itu,’ sahutku dengan tawa. ‘Mark menatapku tidak mengerti. Kemudian kujelaskan semuanya. Tentang perkawinan Michelle yang dadakan dan tentang tempat-tempat yang kukunjungi bersama Michelle selama seminggu di Orlando. Baru sesudah aku menyelesaikan kisahku. Mark bernafas lega.
‘Kukira kamu telah pulang ke Indonesia, tanpa mengucapkan selamat tinggal,’ ucapnya. Kemudian dia menatapku lama dan dalam. Jantungku berdetak lebih kencang. Tuhan, jangan biarkan aku jatuh cinta pada mahluk satu ini. Mark masih juga belum memindahkan matanya dari wajahku membuat diriku salah tingkah.
‘Mark, jangan pandang aku seperti itu,’ pintaku.
‘Kenapa?’ tanyanya sambil tersenyum dan meraih bahuku. Aku menghindar. Ini tidak boleh terjadi. Sama sekali tidak boleh. Aku di sini bukan untuk jatuh cinta. Tapi kalau aku sedang tidak jatuh cinta, mengapa aku tidak kuasa untuk menentang pandang matanya?
‘Tak ingin jalan-jalan ke pantai, Lus? Malam sangat indah untuk dinikmati,’ usul Mark. Aku ragu. Berbahayakah bila aku berjalan bersama dengannya?
‘Lucy?’ Mark meminta kepastian.
‘Baik,’ jawabku terlepas begitu saja. Aku sendiri pun terkejut waktu mendengarnya. Ada apa dengan dirimu, Lucy? Tidak bisakah kamu mengontrol dirimu sendiri? Sudah masuk dalam perangkapnyakah kau?
Malam memang sangat indah dengan bulan yang bersinar penuh di atas laut. Ada segumpal awan putih tipis yang membentuk peta pulau Jawa di bawah bulan. Dan di awan itu kulihat tawa manja Yani, gelak Anto dan senyum manis Adit. Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku rindu mereka. Seharusnya malam ini aku berada di samping mereka dan menceritakan kisah-kisah yang dulu pernah diceritakan mama kepadaku. Tapi apa yang kukerjakan sekarang ini? Berjalan di tanah yang asing dengan ditemani oleh seseorang yang asing pula. Apa yang sebenarnya kucari di sini? Cinta seorang ayah dan saudara kembar?
‘Lucy,’ panggilan Mark menyadarkanku. Dia berjalan di sampingku dengan kedua tangannya berada di saku jacketnya.
‘Ya?’ sahutku.
‘Kok diam saja? Bicaralah.’
‘Bicara tentang apa?’
‘Bicara apa saja. Tentang bulan, misalnya. Atau laut. Atau tentang cintamu kepadaku,’ sambung Mark.
‘Apa?!! Ih memangnya aku cinta padamu?’ tangkisku cepat.
‘Apakah benar-benar tidak?’ tantang Mark penuh keyakinan.
‘Tidak,’ jawabku tak kalah yakin.
‘Kamu bohong,’ tuduh Mark.
‘Mark, yang punya hati kan aku. Aku bilang tidak, ya tidak. Kamu pikir setiap gadis akan jatuh cinta kepadamu? Kamu salah, Mark. Memang banyak gadis-gadis yang tergila-gila pada lifeguard tapi aku tidak termasuk di dalamnya,” bantahku emosi. Aku menyangka Mark akan mengelak dan menangkis seranganku, ternyata dia hanya tersenyum manis.
‘Lucy, kamu tahu mengapa aku begitu kuatir waktu kamu tidak muncul-muncul? Aku takut kamu telah kembali ke Indonesia.” Tanya Mark yang disusul dengan jawabannya sekalian. Aku senang karena dia telah mengalihkan pembicaraan tentang cinta.
‘Kalau aku kembali ke Indonesia kenapa?’
‘Nah itu yang tidak kuinginkan. Aku belum mengatakannya kepadamu.’
‘Mengatakan apa?’
‘Mengatakan kalau aku mencintaimu,’ jawab Mark biasa. Kembali lagi ke masalah cinta. Apakah karena bulan purnama, apakah karena ombak yang mencumbu pantai dengan lembut yang membuat malam ini begitu romantis hingga apa-apa yang di ucapkan harus berbau cinta?
‘Jangan ngaco kamu,’ kuperingatkan dia.
‘Aku serius, Lucy. Aku mencintaimu,’ bantah Mark sengit. Awas, lucy, dia telah mengeluarkan serangannya. Waspadalah!
‘Lucy, mengapa tidak berkomentar?’ kejar Mark ketika melihat aku tidak bereaksi atas ungkapan cintanya.
‘Bagaimana aku harus berkomentar? Kamu becanda melulu sih. Mark, jangan bicara lagi tentang cinta, oke?’
‘Mengapa tidak?’
‘Karena aku tidak menginginkannya,’ jawabku pendek. Mark menatapku lama. Gila, manusia ini pandai sekali bermain sandiwara. Dia bisa menatapku seakan dia benar-benar mencintaiku. Mata itu. . ., mata itu berisi sejuta cinta.
‘Aku tidak bercanda, Lucy,’ bisik Mark. Aku diam saja dan aku masih tetap diam ketika Mark mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku sudah bisa merasakan hangat nafasnya, tetapi aku masih saja tidak bergeming. Kakiku seakan sudah menyatu dengan pasir di bawahnya dan tidak mau kuajak beranjak. Wajah Mark semakin dekat. Sedetik kemudian bibirnya mulai menyentuh bibirku dengan lembut.
Aku sedang mandi ketika telepon di kamarku berdering. Pasti Michelle, tebakku yakin. Cepat-cepat aku menyambar handuk dan keluar dari bak mandi.
‘Michelle!’ sapaku penuh semangat.
‘Bukan Michelle, Lucy,’ kudengar sebuah sahutan dari ujung sana yang memang bukan suara Michelle.
‘Oh, halo Mark,’ tegurku tidak seantusias tadi.
‘Kecewa, Lucy? Kamu menanti telepon dari Michelle?’ tanya Mark.
‘Emmm, Michelle berjanji untuk meneleponku. Tadi kukira dia.’
‘Ingat, dia ‘kan pengantin baru. Maklumi saja kalau dia belum sempat menghubungimu dan lagian baru beberapa hari Michelle pergi.”
‘Ya, benar juga,’ kuhibur diriku sendiri.
‘Lucy, kamu lagi ngapain?’ tanya Mark. Kupandang tubuhku yang dililiti handuk di cermin. Tiba-tiba aku tersenyum. Mark tidak boleh tahu ini. Dia bisa bangga bisa bercakap-cakap dengan gadis yang hanya terbungkus handuk minim.
‘Tidak ada, Mark. kamu tahu aku tidak punya pekerjaan.’
‘Bersiap-siaplah kalau begitu. Sebentar lagi kujemput,’ kata Mark.
‘Ke mana?’
‘Ada sebuah restoran Italia yang eksotik di luar kota. Aku ingin mengajakmu ke sana,’
‘Mark . . .’ aku mencoba memprotes tapi Mark sudah tidak mendengarnya.
Beberapa saat kemudian dia muncul di depan pintu kamarku. Tapi Mark yang kali ini lain dari Mark yang biasa kukenal. Dia bukan Mark yang mengenakan celana renang, bertelanjang dada dengan pluit tergantung di lehernya dan kaca mata hitam pekat melekat di matanya. Bukan pula Mark yang bercelana jeans dengan T shirt putih dengan tulisan ‘lifeguard’ berwarna merah menyala melintang di dadanya. Mark kali ini adalah Mark yang resmi dengan pakaian yang resmi pula. Kemeja berwarna biru langit dan celana panjang berwarna biru gelap. Sangat serasi pada tubuhnya. Untung tadi aku segera tanggap ketika Mark memintaku untuk bersiap-siap pergi ke rumah makan yang eksotik sehingga pakaian yang kukenakan pun bukan pakaian yang biasa kupakai. Melainkan salah satu pakaian pemberian Michelle sebelum dia terbang ke Eropa. Pakaian dari rumah modenya.
Rumah makan yang kami tuju benar-benar seperti yang dikatakan Mark. Eksotik, Artistik . . ., pokoknya, wah. Sebuah bangunan kuno dengan pilar-pilar marmer putih polos, tanpa guratan penanda umur. Dari karpet, taplak meja hingga ke tirai-tirai jendela berwarna merah tua sangat cocok dengan kursi-kursi kayu bersandaran tinggi yang ada. Di mana-mana bergantungan lampu-lampu kristal yang bersinar redup. Di setiap meja terdapat jembangan yang juga kristal dengan dua tangkai anyelir merah muda di dalamnya. Semuanya menawan.
‘Mark, jangan tertawakan aku bila aku membuat tindakan-tindakan yang konyol. ‘Aku belum pernah masuk restoran yang semewah ini,’ bisikku di telinga Mark sambil menanti greeter yang akan menempatkan kami di meja yang telah di pesan Mark,
‘Jangan kuatir, aku juga belum pernah,’ jawab Mark juga berbisik. Kami saling melempar pandangan dan tersenyum bersama.
Seorang greeter berpakaian tuxedo lengkap mengantar kami ke sebuah meja di balkon yang menghadap ke luar. Dari tempat kami duduk terlihat laut Atlantik yang membentang di kejauhan.
Tidak selang berapa lama kemudian waiter yang akan melayani kami muncul. Pengetahuan tentang makanan yang ditawarkan di restoran tersebut dia kuasai dengan benar, sehingga mudah bagiku untuk memilih makanan yang ingin aku coba.
‘Senang tempat ini, Lucy?’ tanya Mark ketika waiter kami telah pergi mengambil pesanan kami. Aku mengangguk. Untuk berbicara rasanya aku tak sanggup. Mata Mark menatapku dengan lembut. Betapa aku menyukai mata itu. Mata yang seolah tak ‘kan mampu untuk berubah menjadi dingin. Mata yang berisi sejuta cinta dan tak pernah sempat untuk memancarkan kebencian dan dendam. Kalau saja David mempunyai mata seperti yang dipunyai Mark.
Selagi Mark menuangkan anggur ke dalam gelasnya, kutebarkan pandanganku ke sekeliling. Tiba-tiba mataku terpaut pada seorang gadis kulit hitam yang duduk seorang diri di pojok balkon. Ada sesuatu padanya yang menggerakkan mataku untuk memandang dia sekali lagi. Gadis itu pernah kulihat sebelumnya. Aku yakin tentang hal itu. Tulang pipinya yang menonjol serta rambut keriting yang di tarik kebelakang, aku pernah melihatnya,. Di mana? Di mana? Kutelusuri garis kenanganku yang belum begitu panjang di negeri ini dan …
‘Gabriella,’ bisik hatiku. Yah, gadis itu bernama Gabriella, yang kujumpai di JFK Airport waktu itu. Dia yang dulu memeriksa pasporku dan dia pula yang mengantarku menemui pilot. Aku harus menegurnya, putus hatiku. Tetapi belum lagi teguran itu keluar dari mulutku, kulihat seorang pria mendekatinya. Kutangguhkan niatku dan mengamati si pria.
‘Ya Tuhan,’ keluhku tidak sadar. Aku kenal benar dengan pria itu. Manuel Batista! Tiba-tiba aku panik luar biasa. Manuel tidak boleh melihatku berada di sini. Dia akan segera melapor ke Papa. Aku harus pergi sebelum dia sempat melihatku.
‘Ada apa, Lucy?’ tanya Mark yang mungkin mendengar keluhanku.
‘Mark, aku harus pergi. Harus pergi,’ kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. Mark memandangku tidak mengerti.
‘Maafkan aku, Mark,’ bisikku sepenuh hati.
‘Lucy, kenapa?’ tanya Mark heran. Aku sudah tidak sadar dengan sekelilingku lagi. Yang kuinginkan hanyalah segera keluar dari tempat ini sebelum Manuel mengenaliku. Maka tanpa menjawab pertanyaan Mark aku berjalan setengah berlari meninggalkan dirinya.
‘Lucy, tunggu dulu!’ kudengar panggilan Mark. Tapi aku sudah terlampau panik untuk menghentikan langkah. Aku berjalan terus dan berjalan kadang kuselingi dengan lari-lari kecil. Ketika kulihat sebuah toko kecil, segera aku masuk ke sana dan dari sana aku memesan taxi untuk mengantarku pulang ke hotel.
Tangisku tumpah di kamar. Ketakutan dan penyesalan berbaur menjadi satu di dadaku. Takut Manuel melihatku dan menyesal harus mengecewakan Mark. Kenapa dia yang begitu baik harus kukecewakan? Tidak itu saja, dia harus menanggung malu karena gadis yang diajak kencan telah melarikan diri darinya. Orang lain tidak akan mau tahu. Bagi mereka tidak diperlukan alasan yang mendasari sikapku. Yang terang aku telah meninggalkan Mark. Oh, Mark pasti tersinggung dengan ulahku. Dia tidak akan sudi unutk menemuiku lagi. Tapi apakah aku memang punya muka untuk menemui Mark lagi? Tidak! Aku tak punya keberanian untuk itu. Aku tidak berani menatp wajahnya lagi. Aku tak berhak. Aku telah membuat malu dia, walau untuk alasan yang bagaimanapun.
Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidurku. Kukeluarkan ransel dan pakaian-pakaianku dari dalam lemari. Besok pagi-pagi benar aku akan pergi dari tempat ini untuk menghindari kewajiban bertatap muka dengan Mark. Sebuah kesedihan yang dahsyat tiba-tiba dan tanpa rencana menyerang ulu hatiku. Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada hari-hari indah yang sempat terkecap di Daytona. Dan harus mengucapkan salam perpisahan pada cinta yang sempat mekar dalam pelarianku. Mark, aku mencintaimu.
Kutahan sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi masih juga air mata ini keluar dan membasahi pipi. Sampai kapan engkau akan berlari, Lucy?
‘Lucy . . ‘ kugelengkan kepalaku. Bukan, itu bukan suara Mark.
‘Lucy . . .’ suara itu masih juga kudengar. Kegelengkan kepalaku lebih keras lagi.
‘Lucy, aku tahu kamu ada di dalam. Bukalah pintu untukku, please?” suara itu makin jelas. Kulihat jam yang melilit di pergelangan tanganku. Jam setengah satu! Tidak mungkin suara itu nyata. Suara itu hanya ada dalam bayanganku.
‘Lucy, please?’ pinta suara itu lagi, kali ini di tambah dengan ketukan di pintu. Aku diam tak begeming. Tiba-tiba gerendel pintu bergerak dan sesaat kemudian pintu terbuka. Ya, aku lupa menguncinya tadi.
‘Lucy! Seru Mark. Sesaat aku terpana. Aku tidak mengharapkan dia akan muncul malam ini.
‘Lucy . . .’ panggil Mark lirih sambil memegang bahuku. Aku tidak percaya dengan pendengaranku. Yang kunantikan adalah bentak dan caci maki Mark atas tingkahku bukan suara halus dan tatapan lembutnya.
‘Mark, maafkan aku,’ ucapku tersendat sambil menjatuhkan diri dalam pelukannya. Air mata yang kuharapkan akan berhenti kini justru membanjir dengan deras. Mark makin mempererat pelukannya. Dalam pelukan itu aku merasa terlindung.
‘Tidak ada yang perlu kau takutkan, Lucy,’ bisik Mark sambil membelai rambutku.
‘Mark, pria itu . . . pria itu,’ aku mencoba untuk menerangkan pada Mark. Ternyata sangat sulit.
‘Emanuel maksudmu?’ tanya Mark pelan. Aku tertengadah kaget.
‘Mark, kamu kenal dia?’ tanyaku tenang. Mark mengangguk.
‘Tentu saja aku kenal dia. Emanuel Batista bekerja pada perkebunan Stanton dan perkebunan itu bersebelahan dengan perkebunan kami.’
‘Kamu tahu siapa Mister Stanton itu?’
‘Bukankah dia ayahmu?’
‘Mark!!’ seruku kaget, sambil melepaskan diri darinya. Mataku nanar menatapnya. Sekonyong-konyong tidak ada lagi air mata yang mengalir.
‘Sejak kapan kamu tahu bahwa aku anak Stanton?” tanyaku berang. Tiba-tiba saja aku merasa di khianati. Selama ini Mark pasti sudah tahu siapa aku dan dia pura-pura tidak tahu. Munafik.
‘Terus terang sejak aku melihatmu aku menduga kalau kamu mempunyai darah Stanton. Tetapi aku ragu. Mungkin kebetulan saja kamu mempunyai wajah yang mirip dengan David Stanton. Aku lupa bahwa David mempunyai saudara kembar yang ikut ibunya. Aku benar-benar lupa. Aku baru ingat malam ini, itu pun sesudah berbincang dengan Emanuel. Jangan kira kalau selama ini aku membohongimu, Lucy,’ Mark menerangkan dengan sabar. Tiba-tiba saja seluruh tubuhku menjadi lemas seakan tak bertulang. A ku merasakan suatu kelelahan yang luar biasa dan aku terduduk tak berdaya.
‘Aku akan pulang ke Indonesia segera. Tak ada gunanya main sembunyi-sembunyian lagi. Mata Stanton ada di mana-mana yang akan segera melihatku di mana pun aku berada,’ pikirku pasrah.
‘Lucy, kamu tidak akan menyerah begitu saja’kan?’ tanya Mark. Jadi aku tadi tidak hanya berpikir tapi juga telah mengucapkannya.
‘Apa saja yang telah diceritakan Emanuel kepadamu?’ tanyaku sekedar bertanya karena aku sama sekali tidak menanti jawaban.
‘Semuanya, Lucy.’
‘Oh, dia tidak tahu. Dia akan segera melapor kepada Papa dan Papa akan . . . Apa yang harus kulakukan kini? Berlari lagi?’ gumamku pada diri sendiri.
‘Take it easy, Lucy. Dia tidak akan melapor pada ayahmu karena dia telah berjanji pada Irene untuk tidak menceritakan kepada siapapun di mana kamu berada,”
‘Irene?’ tanyaku sama sekali tidak tahu hubungannya.
‘Ya. Irene telah menceritakan semuanya pada Emanuel.’
‘Irene? Mengapa Irene mengingkari janjinya?’
‘Lucy, dengar baik-baik,’ perintah Mark. “Sejak kamu pergi dari Louisville, Irene pun ikut pergi pula meninggalkan perkebunan Stanton. Tapi dia merasa mempunyai kewajiban untuk menyembunyikan pengetahuannya tentang di mana kamu berada. Maka dia menceritakannya pada Emanuel yang kebetulan adalah paman Irene dengan syarat Emanuel harus meneruskan tugas-tugas yang kau bebankan pada Irene, seperti mengumpulkan surat-surat yang datang dari Indonesia.
‘Jadi Irene adalah kemenakan Batista? Mengapa dia tidak pernah bercerita dan mengapa pula dia harus pergi dari perkebunan Stanton? Aku benar-benar bingung,” keluhku.
‘Menurut Batista, Irene merasa berdosa kepadamu. Dia yakin ketidakakrabanmu dengan David yang menyebabkan kamu melarikan diri dari Louisville gara-gara dirinya,”
‘Mark, kamu membuatku semakin bingung,’ ucapku. Mark berjalan mendekat kemudian duduk di sampingku. Di raihnya kedua tanganku dan digenggamnya dalam genggaman yang hangat. Sebelum dia bercerita, dia menatapku lama untuk mengukur apakah aku siap mendengar kisahnya atau tidak.
‘Irene adalah adikmu, Lucy,’ bisik Mark pelan. Aku membelalak tidak mengerti.
‘Ibu Irenelah yang menyebabkan keretakkan perkawinan orang tuamu. Aku tidak tahu banyak tentang hal itu tapi Mom tahu segalanya dan kamu bisa bertanya kepadanya langsung nanti bila kamu bertemu ibuku.”
‘Mark, jangan main-main!’ hardikku. Aku benar-benar tersinggung dengan kelakar Mark. Ini sudah keterlaluan.
‘Lucy, aku tidak main-main, ibuku tahu tentang hal ini. Manuel dan Mauricio juga tahu tentang ini. Mimo, ibu Irene adalah Batista yang paling kecil. Batista bungsu. Irene adalah hasil hubungan Mimo dengan ayahmu.’
to be continued ….
Posted on March 6, 2014, in Novel and tagged Fiction. Louisville, Fiksi, Indonesian Novel, Novel, Ribuan Mil. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0