Aku Tak Mau Pulang, Nick

AkuTak Mau Pulang, Nick

 

Jam menunjukkan pukul sembilan malam, ketika dokter Nick Woodward meninggalkan Rumah Sakit. Matahari musim panas yang belum sempurna tenggelam menyambutnya ramah.  Dengan santai Nick mengendarai mobil sport berwarna biru metalik di sepanjang pinggiran danau Erie yang telah mulai sepi dari pecinta ski air. Angin hangat berhembus lembut lewat di atas kepala Nick dan mempermainkan rambut pirangnya. Sekilas Nick melirik wajahnya lewat kaca spion. Wajah itu masih tetap tampan walau sudah ada kerut-kerut halus di sekitar mata dan bibirnya. Nick tersenyum.

‘Aku sudah mulai tua,’ gumamnya bangga.

Nick memperlambat mobilnya ketika memasuki Theresia Street.  Dari jalan ini biasanya dia dapat melihat Sita, anaknya sedang duduk di balkon yang segera akan berlari turun bila melihat mobil yang dikendarainya. Begitu Nick keluar dari mobil anak itu telah berdiri di depannya siap dengan ciuman dan pelukan sayang. Tapi malam ini Sita tidak tampak. Ada sedikit rasa kecewa di hati Nick. Sesampai di depan rumah Nick membunyikan klakson panjang. Tidak ada yang keluar. Kemudian Nick memijit tombol otomatis pembuka pintu garasi dan meluncurkan mobilnya masuk sambil terus membunyikan klakson berharap Sita akan keluar. Mobilnya baru berhenti ketika akan menabrak sepeda balap berwarna merah milik Sita. Anak itu tidak keluar ke mana-mana pikir Nick.

‘Sita!’ panggil Nick sambil keluar dari mobil. Tidak ada sahutan.

‘Sita!’ panggilnya lebih keras lagi dan membuka pintu garasi yang langsung berhubungan dengan dapur.

‘Sit..,’ panggilan itu terhenti di ujung lidah. Matanya terpaku pada selembar kertas yang tertempel di dinding dapur. Di kertas itu dengan spidol merah tebal tertulis ’Happy Birthday, Sita.’ Tulisan tangan Sita sendiri

‘Ya, Tuhan,’ desis Nick lesu. ‘Sebegini pelupakah aku sehingga hari ulang tahun anakku satu-satunya pun terlupa? Hari yang paling penting dalam hidupku.’ Beberapa saat Nick diam tidak bergerak merenungi poster di depannya. Ketika tersadar, dengan cepat dia menaiki anak tangga menuju kamar Sita.

‘Sita..,’ panggil Nick lembut di depan daun pintu yang bertuliskan “Sita’s Room” di antara sticker berbagai Nateam kupu-kupu. Beberapa kali Nick mengetuk pintu berharap pintu itu akan terkuak dan muncul wajah manis anaknya. Setelah lama pintu itu bergeming, Nick membukanya. Tidak dikunci. Nick memasuki kamar itu tetapi Sita tidak ada.

Nick mengamati seantero ruangan; tempat tidur dengan bed cover warna merah muda dengan gambar kupu-kupu. Di pojok ruangan sebuah tongkat softball dengan glove yang tergantung di atasnya, meja belajar yang penuh dengan buku-buku olahraga dan di lantai yang beralaskan karpet yang juga berwarna merah muda bertebaran berpuluh-puluh boneka yang berlainan bentuk, jenis, serta ukuran. Di dinding hanya terdapat beberapa lukisan. Gambar kupu-kupu yang Sita buat pada waktu berusia enam tahun dan di atas perapian… Nick menahan nafas. Setiap kali memandang lukisan itu ada segores kepedihan yang dalam tapi nikmat sehingga tanpa disadarinya dia sering menyelinap ke kamar anaknya untuk memandang lukisan itu. Lukisan bekas istrinya Nina.

‘Maaf, Nina, aku tidak bermaksud melupakan hari bahagia kita. Kalau saja aku tidak begitu sibuk dengan pasienku, hal ini tidak akan terjadi. Sekarang apa yang harus kulakukan? Anak kita pasti mengira aku tidak mempedulikannya.’ Nick mengeluh pada gambar istrinya.

Dengan lesu Nick turun lagi. Dia duduk di dapur tanpa mempedulikan untuk menyalakan lampu terlebih dahulu. Dalam kegelapan dia dapat melihat dengan jelas peristiwa-peristiwa yang dialaminya ketika menanti kelahiran anaknya.

AkuTak Mau Pulang, Nick

Siang itu Nina uring-uringan terus.  Tidak ada satupun yang benar dan pas di matanya.  Semua perawat wanita di rumah sakit kena dampratannya. Nick tahu kalau saja Nina bukan seorang dokter suster-suster itu akan balik mendapratnya karena kemarahan Nina rasanya terlalu dibuat-buat.

‘Oke, Nina, ada apa?’ tanya Nick dalam perjalanan pulang.  Mereka berdua bekerja pada rumah sakit yang sama.

‘Apa maksudmu?’ tanya Nina pura-pura tidak tahu maksud pertanyaan Nick.

‘Sehari ini kamu marah sebanyak enam puluh tiga kali tanpa tersenyum sekali pun,’ jawab Nick.

‘Sebanyak itu? Aku tidak menghitungnya tadi,’ sahut Nina

‘Donna sampai-sampai seperti bertemu setan setiap kali melihatmu.  Jangan keras-keras terhadap mereka, Nin.  Kamu selamanya lembut, sehingga kamu marah sedikit saja mereka sudah tahu kalau mereka berbuat kesalahan,’

‘Membela?’ tanya Nina sengit. Matanya yang hitam indah membulat. Nick tersenyum. Belum pernah dia melihat istrinya marah-marah. Baginya, Nina adalah gadisnya yang selalu lembut dan penuh pengertian. Sedikit cerewet, mungkin. Nina tambah dongkol melihat Nick tersenyum. Nick tertawa.

‘Jangan cengar-cengir, enggak cakep tahu,’ tegur Nina. Nick tertawa lebih keras. Nina menutup kedua telinganya dengan jari dan bersandar sambil menanti Nick menghentikan tawanya. Nick menurunkan tangan Nina.

‘Ayo, Nina, katakan apa sebenarnya?’ tanya Nick.

‘Tidak ada apa-apa,’ jawab Nina biasa.

‘Pasti ada apa-apa. Kamu tidak pernah marah kepada perawat-perawatmu. Kalau kamu marah kepadaku itu lumrah. Setiap hari kamu lakukan itu,’ kejar Nick. Nina memelototkan matanya.

‘Kalau kukatakan bisa pingsan kamu,’ jawab Nina pendek. Ganti Nick yang bingung dan Nina tersenyum.

‘Kamu jatuh cinta pada laki-laki lain?’ tanya Nick ragu. Nina tertawa senang dan memegangi perutnya menahan geli.

‘Kamu pikir aku sudah gila untuk membiarkanmu bebas dan memberikan suamiku yang ganteng untuk perawat-perawat cantik itu?’ tanya Nina di tengah tawanya.

‘Kalau begitu tidak ada sesuatu yang akan membuatku pingsan. Aku hanya akan pingsan bila kamu berniat pergi dariku. Bahkan mungkin bisa sampai mati.’

‘Rayuan gombal,’ sahut Nina masih dengan tawa. Nick berhasil membuat Nina tertawa tetapi dia tidak berhasil mengorek apa yang ingin dikatakan Nina tadi.

Sesampai di rumah Nina langsung menyibukkan diri di dapur, menyiapkan makan malam. Sementara Nick duduk tepat di kursi yang sekarang didudukinya sambil mengamati istrinya yang sedang bekerja.

‘Cucian di bawah tugasmu, Nick,’ Nina memperingatkan.

‘Ya, aku tahu,’ jawab Nick malas.

‘Kalau tahu jangan cuma duduk di situ memandang orang bekerja. Enggak enak kalau bekerja di bawah pengawasan mata seperti itu,’ omel Nina.

‘Aku tidak memandang orang bekerja. Aku memandang istriku,’ jawab Nick sambil beranjak dan mendekati Nina. Dipeluknya Nina dari belakang dan dicium leher bagian belakangnya dengan lembut. Nina menggeliat melepaskan diri.

‘Cucianmu, Nick!’ tegur Nina.

‘Nanti setelah makan malam,’ jawab Nick mencari alasan agar bisa berdekatan dengan istrinya. Dia berusaha memeluk Nina lagi. Nina menjauh.

‘Aku tahu kamu masih penasaran,’ tebak Nina,’ kamu ingin tahu apa yang akan kukatakan tadi. Aku tak mau mengatakannya sebelum tugasmu beres. Ayo, Nick sayang, cucianmu,’

‘Nin…’ Nick masih mencoba membujuk. Nina menggeleng. Dengan cepat Nick turun ke basement tempat kedua mesin cucinya berada. Dipilihnya baju-baju yang halus untuk dimasukkan ke mesin cuci yang satu dan handuk-handuk serta seprei-seprei ke mesin cuci yang lainnya. Siulan yang biasa mengiringi dia bekerja tidak terdengar.

‘Beres, Nin,’ Nick mengumumkan ketika tiba di dapur kembali. Nina yang sedang mengatur meja makan menoleh dan memberikan senyuman penuh rahasia.

‘Hari ini kamu benar-benar aneh,’ komentar Nick sambil membuka lemari es dan mengeluarkan lettuce, beberapa buah tomat dan timun untuk membuat salad.  Nina tidak menanggapi komentarnya.

Nick berusaha untuk makan secepatnya gar bisa mendengar apa yang akan dikatakan istrinya. Tetapi sebaliknya Nina seakan mengulur-ulur waktu. Jika biasanya yang menghidangkan makanan penutup Nina, tetapi malam itu Nick yang khusus memilihkan. Bukan karena apa-apa, hanya ingin agar makan malam itu cepat usai.

‘Cepat sedikit dong, Nin,’ desak Nick tak sabar melihat istrinya tenang-tenang menikmati apple pie

‘Oke, kita cuci dulu piring-piring ini, jadi bila kamu pingsan nanti, semuanya sudah beres,’ Nina bangkit dan menumpuk piring-piring kotor. Nick makin penasaran. Dihadangnya Nina dan diambilnya piring-piring yang berada di tangannya dan diletakkan kembali ke atas meja.

‘Nina, jangan ulur-ulur waktu, please. Aku bisa mati penasaran,’ pintanya.

‘Kita akan punya bayi, Nick,’ bisik Nina lirih. Nick membelalak kaget. Dia tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

‘Maaf, Nick, aku yang salah,’ bisik Nina kembali hampir diiringi tangis. Nick tersadar dari keadaannya. Dengan cepat direngkuhnya Nina dan dimasukkan ke dalam pelukannya sambil tertawa bahagia.

‘Terima kasih, Nina. Terima kasih,’ katanya berulang-ulang. Nina mendorong tubuh Nick dan dipandangnya Nick dengan pandangan heran.

‘Nick, lupakah kamu dengan perjanjian kita? Bukankah kita telah berjanji untuk tidak memiliki anak di dalam perkawinan ini. Demi kebaikan anak-anak kita sendiri, Nick.’

‘Kamu yang menginginkannya, Nin. Bukan aku,’ jawab Nick berusaha menjaga emosinya agar Nina tidak tersinggung.

‘Tapi kamu menyetujuinya, Nick.’ Nina terbelalak karena tidak menduga Nick akan sependapat dengannya.

‘Kalau aku dulu setuju, itu supaya kamu mau kawin denganku. Aku terlampau mencintaimu, Nin, sehingga tanpa anak pun aku bersedia hidup bersamamu. Tapi sesungguhnya sudah lama aku merindukan anak darimu. Aku tidak berani meminta kepadamu karena aku sudah berjanji. Kamu mengerti maksudku kan, Nin,’ Nick berusaha berbicara dengan tenang. Dulu sewaktu mereka masih berpacaran, Nina pernah menjelaskan dengan panjang lebar alasan mengapa dia tidak mau punya anak jika dia harus kawin dengan orang kulit putih.

‘Kamu tahu akibatnya, Nick?’ tanya Nina parau, dia mulai menangis. ‘Anak kita, Nick! Dia yang akan menderita. Dia tidak akan mempunyai negara yang bisa dibanggakannya. Dia bukan Amerika karena ibunya orang Indonesia dan dia tidak bisa mengaku orang Indonesia sebab dia berkewarganegaraan Amerika. Oh, Nick,’ keluh Nina. Nick bingung mengapa masalah seperti itu dipersoalkan.

‘Nina, dia anak kita. Aku tidak peduli apakah dia Indonesia atau dia Amerika. Buat apa kau pikirkan kebangsaan, Nin? Kamu sendiri orang Indonesia mau kawin dengan orang Amerika. Kalau kamu menginginkan anak kita berkewargaan Indonesia, kita usahakan, Nin,’ hibur Nick.

‘Kamu serius dengan kata-katamu?’ tanya Nina bimbang. Dia tidak lagi mempedulikan kewarganegaraan.   Sebelumnya yang dia kuatirkan adalah jika Nick tidak menghendaki anak yang dikandungnya sebab ketika dia berbicara tentang tidak baiknya memiliki anak indo, Nick menyetujui seratus persen. Seakan Nick ikut mendukung pendapatnya.

‘Nina, kalau selama hidup kamu anggap aku tidak pernah berbicara serius. Inilah saatnya aku benar-benar serius dengan apa yang kau ucapkan.’

‘Oh, Nick…’ Nina memeluk Nick dan menelusupkan kepalanya ke dada Nick. Nick tersenyum bahagia. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami kebahagiaan seperti itu. Anaknya akan dilahirkan oleh wanita yang paling dicintainya. Adakah kebahagiaan melebihi itu? Nick kemudian mengangkat wanita mungilnya dan membawanya ke lantai atas. Nick tidak pingsan mendengar kabar itu tapi dia tidak lupa akan tugasnya. Piring-piring kotor dibiarkannya tetap berada di meja makan hingga keesokan harinya.

AkuTak Mau Pulang, Nick

Nina mulai mengambil cuti ketika kandungannya memasuki usia enam bulan. Sebenarnya dia masih mampu bekerja, tetapi Nick menghendakinya demikian. Semua tugasnya diambilalih Nick. Baik tugas rumah sakit maupun tugas rumah tangga. Nick memanjakannya melebihi seorang ratu. Setiap pagi, sebelum Nick pergi ke Rumah Sakit, mereka berdua berjalan-jalan menikmati Clayton, kota kecil yang cantik di pesisir danau Erie. Menikmati musim semi di sepanjang pesisir sambil menikmati nyanyian burung robin.

‘Nin, aku sudah memilih dokter yang akan melahirkan anak kita. Dokter Wyatt,’ Nick mengabarkan dengan gembira pada suatu malam. Nina sedang asyik membaca koran.

‘Aku tidak mau,’ sahut Nina tanpa memandang kepada Nick.

‘Hei, dia dokter yang paling hebat di negeri ini. Aku tidak akan mempercayakan bayiku dilahirkan oleh dokter lain.

‘Sudah kukatakan aku tidak mau,’ sanggah Nina dan meletakkan koran yang dibacanya.

‘Kamu sudah mempunyai dokter pilihan?’ tanya Nick. Nina mengangguk sambil menunjuk Nick.

‘Kamu, Nick,’ ucapnya mantap. Nick kaget.

‘Nina, kamu gila,’ teriak Nick protes. ‘Kamu tahu aku tidak akan mampu melakukannya Pertamu aku bukan seorang dokter kandungan. Kedua, memasukkan jarum di lenganmu saja aku tidak berani, apa lagi untuk melahirkan. Nina, jangan masukkan pikiran seperti itu ke dalam otakmu.’

‘Dengar, Nick, aku tidak akan mengijinkan anakku disentuh orang lain selain ayahnya pada hari pertamanya dia berada di dunia ini. Dan kamu sebagai ayahnya harus menanggung resiko ini,’ jerit Nina.

‘Nina, kamu tahu aku tidak bisa,’ Nick membujuk dengan lembut. ‘Berpikirlah yang positif, Nin. Tidak ada salahnya anak kita dilahirkan orang lain. Ijinkanlah dokter Wyatt untuk melakukannya. Aku akan mendampinginya. Oke?’

‘Tidak!’ jawab Nina pendek.

‘Bagaimana jika suamimu bukan seorang dokter, apakah dia juga terkena kewajiban untuk melahirkan anakmu?’ Nick kehabisan akal.

‘Aku telah kawin dengan seorang dokter,’ jawab Nina masa bodoh. Nick masih berusaha meyakinkan Nina bahwa dia tidak akan sanggup untuk melahirkan anaknya, tapi dengan kalem Nina menjawab.

‘Kamu melahirkan anakmu atau anakmu akan kubiarkan tetap berada di dalam perutku.

‘Akhirnya Nick menyerah. Dialah yang melahirkan Sita ke dunia, didampingi dokter Wyatt tentunya. Dialah orang yang pertama kali dapat menyentuh kulit anaknya. Memberikan sentuhan kasihnya yang pertama. Saat itu dia memahami mengapa Nina begitu ngotot memaksakan agar dia yang melahirkan anaknya.

Namun kini dia sendiri telah melupakan hari itu. Hari di mana dia bersimbah keringat dan penuh kekuatiran mencoba menolong anaknya agar bisa meniup dan menghembuskan nafas dunia. Hari di mana di penuh kebahagiaan mendekap anaknya yang tak berdaya dan juga hari di mana dia menciumi dan membelai ibu dari anak yang dilahirkannya itu.

 AkuTak Mau Pulang, Nick

Nick bangkit kemudian berdiri di depan jendela memandang danau Erie. Bulan sudah menampakkan diri membuat bayangan indah sekaligus misterius karena sebagian sinar bulan terhalang oleh pohon-pohon yang berada di pulau-pulau di tengah danau. Tiba-tiba matanya menangkap bayangan seseorang yang duduk di dermaga dengan kaki yang menjuntai ke dalam air. Dari potongan tubuhnya Nick tahu kalau bayangan itu milik anaknya. Anaknya yang mewarisi tinggi Nick, tetapi kulit dan rambutnya lebih cenderung ke Nina. Sedangkan matanya adalah perpaduan antara mata Nick dan mata Nina. Ada rasa nyeri di dada Nick melihat Sita dalam keadaan seperti itu. Begitu sendiri dan sendu.

Nick berjalan mendekati Sita. Langkahnya ringan takut mengagetkan. Tapi karena dermaga itu hanya dibuat dari kayu yang sederhana, goyangan sedikit pun mampu menggoyangkan seluruh dermaga. Sita menoleh. Dalam cahaya bulan Nick melihat mata anaknya berkaca. Nick tertegun.

Aku pernah melihat mata persis seperti mata itu sebelumnya. Dimana? pikir Nick. Nina? Ya, Nina pernah mempunyai mata dalam keadaan seperti itu Kapan?

Dua belas tahun yang lalu Nick melihat Nina dengan mata yang berkaca seperti mata anaknya saat ini. Nina tidak menangis, hanya matanya berkaca ketika meninggalkan ruang pengadilan yang memutuskan perceraian mereka dan menyerahkan anak mereka satu-satunya yang saat itu berumur empat tahun ke tangan Nick. Nina tidak menangis.   Tapi justru pada matanya yang berkaca itu Nick dapat melihat duka yang sangat dalam. Oh, Nina.

Nick menggelengkan kepalanya berusaha mengusir bayangan bekas istrinya sebelum mendekati Sita.

‘Sita,’ tegur lembut sambil berjongkok di sisi anaknya, ’maafkan aku,’ sambungnya. Sita tidak menyahut. Dia menggoyang-goyangkan kakinya di dalam air membentuk ombak-ombak kecil.

‘Aku tahu aku telah melalaikan kewajibanku sebagai seorang ayah…,’ Nick menunggu reaksi anaknya. Namun Sita tetap membungkam

‘Kamu mau memaafkan ayahmu ‘kan? Tadi ada seorang ibu yang memerlukan operasi darurat. Aku satu-satunya dokter yang berada di Rumah Sakit, jadi akulah yang harus menolongnya.’   Nick mencari alasan yang setengahnya benar. Memang tadi dia melakukan operasi mayor, tetapi bukan itu penyebab kelupaannya. Sita masih diam.

‘Sita, bicaralah sesuatu. Marahilah ayahmu bila itu yang kamu inginkan. Jangan berdiam diri seperti ini,’ bujuk Nick. Kembali bayangan Nina hadir. Nick tak pernah bisa menghadapi Nina jika Nina yang biasanya ceriwis itu ngambek dan membisu. Kini tanpa dididik Sita mewarisi keahlian ibunya.

‘Sita, katakan apa yang ada di dalam hatimu. Bagaimana aku bisa mengetahui apa yang kau inginkan jika kamu tidak mengatakannya kepadaku.’

‘Okey, Nick. Aku bosan hidup di Clayton ini. Kalau saja aku mempunyai sedikit keberanian, aku sudah minggat dari dulu,’ jerit Sita. Dia tidak pernah memanggil Nick dengan sebutan ‘daddy’ seperti anak-anak Amerika lainnya. Sejenak Nick tertegun. Dia tidak bisa mempercayai pendengarannya. Kemudian direngkuhnya Sita ke dalam pelukannya. Anak itu kemudian menangis keras, airmatanya menembus kemeja Armani yang dipakai Nick dan membasahi dadanya. Nick membiarkannya sambil membelai rambut hitam Sita, matanya memandang ke atas, kosong.

‘Nick, maafkan aku. Aku tidak sungguh-sungguh dengan kata-kataku,’ bisik Sita tersendat-sendat dan mempererat pelukannya. “ Aku merasa begitu sendiri di sini, Nick. Aku merasa bukan di sini tempatku yang sesungguhnya. Aku bukan milik Clayton.’

Nick berusaha menahan gejolak yang timbul secara tiba-tiba di hatinya. Dua belas tahun yang lalu ada seorang wanita yang menyatakan hal yang serupa yang menyebabkan dirinya kehilangan wanita itu untuk selama-lamanya.

‘Sita, temanmu di Clayton banyak. Ada aku di sini. Ada juga Nate, pamanmu. Kamu tidak sendirian. Begitu banyak orang yang mencintaimu di sini. Clayton adalah tempatmu. Sita. Kamu dilahirkan di sini. Kamu tidak boleh mempunyai perasaan seperti itu,’ hibur Nick.  Dia tahu Sita sangat kesepian.

‘Kamu, Nate dan yang lain-lainnya adalah milik Clayton. Rumah Sakit membutuhkanmu. Clayton membutuhkanmu, sedang aku … tidak seorangpun membutuhkanku di sini,’ Sita terisak.

‘Sita, aku membutuhkanmu. Sangat membutuhkanmu. Ketahuilah itu potong,’ Nick cepat. Ada air mata di sudut   matanya. ‘Kalau aku lupa hari ulang tahunmu, tidaklah berarti aku tidak membutuhkanmu, Sit,’ sambung Nick. Kemudian diciumnya pipi Sita yang penuh dengan air mata. Sita tersenyum merasakan kasih sayang ayahnya .

‘Selamat Ulang Tahun, sayang. Hari ini tak ada kado yang dapat kuberikan. Tapi terimalah cintaku,’ bisik Nick. Sita tersenyum manis.

‘Itu sudah cukup, Nick. Tapi jangan lupa besok hadiahnya,’ Sita memperingatkan. Sita telah kembali kepada sifat aslinya yang tidak pernah membiarkan duka bersarang di hatinya lebih dari lima menit. Hal ini yang sedikit banyak dapat menghibur hati Nick. Membesarkan seorang anak tanpa seorang ibu benar-benar hal yang tidak gampang. Dia selalu khawatir jika anaknya nanti tumbuh tidak normal karena kepincangannya dalam memberikan cinta. Dia takut anaknya nanti tumbuh sebagai anak yang pendiam dan selalu berduka.

Terimakasih Tuhan, telah Kau beri aku anak semanis Sita. Nick memandang ke atas seakan dia tahu Tuhan berada di atasnya dan mendengarkan rasa syukurnya.

 AkuTak Mau Pulang, Nick

Pagi sekali Sita telah keluar dari rumah. Pada musim panas dimana sebagian besar kawannya dapat tidur hingga siang, dia terpaksa bangun lebih awal. Bagi Sita tidak mungkin bisa tidur dengan teriakan-teriakan para pemain ski air dan bisingnya mesin-mesin perahu boat. Rumah mereka berada di luar kota dan dikelilingi oleh air danau. Hanya bagian depan yang menghadap ke timur saja yang tidak. Pada musim-musim yang lain, rumah itu selalu sepi dan damai, tetapi pada musim panas kedamaian itulah yang paling didambakannya.

Sita berjalan di dermaga dengan menenteng sebungkus besar roti tawar. Itulah kebiasaanya setiap pagi, memberi makan burung-burung camar. Dan camar-camar itu telah hafal dengan kebiasaannya. Mereka akan terbang mendekat bila mendengar siulan Sita. Sita tersenyum menyambut sahabat-sahabat kecilnya, kemudian dia mulai memotong rotinya menjadi irisan-irisan kecil dan kemudian ditaburkannya ke atas. Camar-camar itu terbang tak sepotong rotipun yang sempat jatuh ke bawah. Suara mereka hingar-bingar, mengalahkan deru kapal bermotor. Beberapa kali Sita memotong dan menaburkan rotinya hingga habis. Dan jika Sita telah mengibas-ngibaskan bungkus palstiknya yang kosong, tanpa dikomando lagi kawanan camar itu akan terbang menghilang di balik awan.

Sita masih saja berdiri di ujung dermaga mengamati para pemain ski. Ada beberapa kawannya yang lewat dan melambai.

‘Hai, Sita!‘ teriak seseorang dengan celana renang berwarna biru tua dengan strip putih. David Sweeney, murid yang paling popular di sekolah Sita.

‘Hai!‘ balas Sita sambil melambai. David mau membalas melambai, tetapi tiba-tiba keseimbangannya hilang. Pegangannya pada tali penarik lepas dengan serta merta dia tercebur ke dalam air. Teman-temannya yang berada di perahu penarik tertawa berderai. Sita ikut tertawa.

Papan luncur Davidn yang muncul pertama kemudian diikuti oleh kepalanya.

‘Sita, jangan berdiri di situ,’ teriak David pada kesempatan pertama dia bisa ngomong kembali. ‘Kamu mengacaukan konsentrasiku,’ sambungnya berkelakar. Kembali mereka semua tertawa. Pipi Sita merah menahan malu. Sita memperhatikan mereka berlalu dan memandang gerakan lincah David di atas papan skinya.

Tiba-tiba Sita melihat sebuah katamaran muncul dari balik pulau Kelleys. Melihat dua layarnya yang berwarna-warni bak pelangi, Sita tahu kalau katamaran itu adalah ‘Sita’, katamaran yang paling indah di seluruh Clayton, milik Nate, saudara kembar ayahnya. Sita menanti hingga kapal itu mendekat. Ketika kapal itu bersandar pada dermaga, cepat-cepat Sita berjalan menuju ke depan pintu keluar. Nate muncul dengan senyum lebar di tengah-tengah kumis dan jambangnya dengan bungkusan besar di tangannya.

‘Hello, Indonesia!’ teriaknya nyaring. Sita tersenyum sambil memandang pamannya yang semakin hari semakin kumal.

‘Ciri khas seorang pelaut,’ kata Nate dulu, ‘seorang pelaut tidak ada yang setampan Nick. Kalau aku bersih, aku sudah jadi dokter sekarang.’ Dahulu – belasan tahun lalu –  Nate adalah seorang kapten pada perusahaan pelayaran internasional. Tetapi begitu dia mampu membeli ‘Sita’ dia tidak pernah ke luar dari danau Erie. Paling jauh berlayar sampai Buffalo di New York.

Nate meloncat turun tepat di depan Sita. Sesudah menurunkan bungkusannya dia mengambil Sita dengan kedua tangannya yang kokoh dan mengangkatnya ke atas dan memutar tubuhnya bak baling-baling. Sita berteriak-teriak protes.

‘Lepaskan, Nate! Lepaskan! Aku bukan anak kecil lagi!’ Nate tertawa keras sambil menurunkan Sita. Inilah bedanya dengan Nick, pikir Sita. Aku tidak pernah melihat Nick tertawa bebas. Kehidupan Nick terlalu formil dan seakan ada kesedihan yang tidak pernah berhasil kusibak.’

‘Aku tahu kamu telah besar sekarang. Berapa umurmu, honey?’ Sita cemberut. Kemarin ulang tahunnya yang keenambelas dan tidak seorangpun mengingatnya. Sweet Sixteen. Semua temannya selalu merayakan sweet sixteen dengan gegap gempita.

‘Ayo, Sita, cheer up. Aku cuma mengganggumu,’ Nate berkata sambil tertawa. Kemudian dia membungkuk dan mengambil bungkusan yang tadi diletakkannya. ‘Nah ini dia hadiah bagi gadis tercantik di Clayton yang kemarin tepat berusia enam belas tahun.’ Nate mengulurkan bungkusannya.

‘Nate?’ Sita bertanya tidak percaya. Nate mengangguk kemudian mencium pipi keponakannya. Sita tertawa geli tersentuh jambang dan kumis Nate

‘Kupikir kamu lupa, karena kemarin kamu tidak pulang. Kemana saja kamu? ‘tanya Sita menyelidik. Kembali Nate tertawa.

‘Sudah kukatakan beberapa hari yang lalu kepadamu bahwa aku ada obyek besar di Detroit. Semalam aku berniat menelponmu, tapi…’ Nate tak melanjutkan.

‘Kamu mabuk di sebuah bar.’ Sita yang meneruskan. Nate tertawa terpingkal-pingkal dan tidak menyangkal dugaan Sita.

‘Ayo masuk! Aku belum sarapan. Ada sarapan untukku?’ tanya Nate dan menggandeng Sita.

‘Sebanyak yang kamu inginkan. Tadi Nick membuat pancake.’ Ketika mereka masuk Nick masih berada di dapur. Dia menoleh dan mengajak Nate makan.

‘Belum berangkat, Nick?’ tegur Nate.

‘Hari ini aku akan terbang ke Boston mengambil alat-alat yang kupesan. Aku akan berada di sana tiga hari. Kamu tidak akan pergi, kan?’ tanya Nick. Nate menggeleng dan mengambil piring yang langsung diisi dengan empat potong pancake sekaligus.

‘Wow!‘ tiba-tiba terdengar jerit kekaguman dari Sita. Dia telah membuka hadiah dari Nate. Di dalam bungkusan itu dia mendapatkan Manuel Rodriguez Jr, sebuah gitar klasik spanyol yang sudah lama dia impikan serta sebuah buku musik berisi not dan lyric lagu-lagu Bob Dylan.

‘Makasih, Nate,’ teriak Sita kemudian dia menekuni gitarnya.  Menyetel dawainya dan mencoba memainkan beberapa lagu.

‘Sita, kamu mau ikut berlayar?’ tanya Nate.

‘Sita?’ panggil Nate ketika Sita tidak memberi respon.

‘Apa?’ tanya Sita tanpa mendongakkan kepalanya.

‘Kamu mau ikut berlayar?’ kali ini Nick yang berbicara sebab mulut Nate masih penuh dengan makanan.

‘Ke Cleveland?’ tanya Sita mulai ada perhatian. Nate menggeleng.

‘Ke Canada,’ jawabnya.

‘Nggak mau, bosan ke Canada terus.’

‘Aku butuh guide.  Hari ini kapalku akan mengantarkan siswa pertukaran pelajar.  Tom tidak bisa ikut ada pertandingan baseball.’

‘Berapa berani kau bayar aku?’ tantang Sita. Nick tersenyum memandang putrinya.

‘Sebut yang kamu inginkan dan akan kubayar,’ sahut Nate.

‘Bagaimana jika dua kali yang biasa Tom terima?’ tanya Sita. Nick dan Nate memandang Sita sambil geleng-geleng kepala.

‘Sita, jangan mata duitan,’ tegur Nick sambil tersenyum.

‘Aku enggak mata duitan, Nick. Cuma mencari tambahan penghasilan. Dia terima tawaranku ya syukur enggak ya namanya enggak sayang ponakan.’ Nate tertawa keras dan Nick juga menyumbang tawa.

 AkuTak Mau Pulang, Nick

Sita dan Nate berada di di depan kemudi di bagian belakang agak ke atas dari katamaran tersebut.  Nate memegang kemudi dan Sita duduk mencangklong di depannya sambil bercerita macam-macam. Hanya kepada Natelah Sita dapat berbincang bebas sebab Nick selalu sibuk dengan Rumah Sakitnya. Mereka sedang menuju ke pusat kota Clayton untuk menjemput penumpang-penumpang Nate.

‘Apa hadiah dari Nick? ‘tanya Nate acuh.

‘Ini,’ jawab Sita sambil memperlihatkan kalung yang dipakainya yang diberikan oleh Nick semalam menjelang tidur. Nate mengerutkan dahinya melihat kalung dengan liontin berbentuk kuda laut dari batu safir berwarna biru cemerlang.

‘Bukankah itu yang dulu selalu dikenakan Nina?’ tanya Nate. Sita mengangguk cepat.

‘Nate, Kamu kenal mama?’ tanya Sita pelan. Nate tertawa.

‘Sita … Sita. Apakah kamu pikir aku tidak kenal istri saudara kembarku yang juga ibu dari keponakanku?’

‘Maksudku … Apakah kamu tahu mengapa mereka bercerai?’ Sita bertanya hati-hati sebab menurut pengalamannya, jika dia bertanya hal ini kepada ayahnya dia tidak pernah memperoleh jawaban.  Nate memandang Sita lama, kemudian menggeleng.

‘Kamu berbohong kepadaku.  Aku tahu kalau kamu tahu.  Kamu orang paling dekat  Nick.  Aku yakin  Nick pernah berkeluh kesah kepadamu. Ayo, Nate, ceritakan kepadaku. Aku sudah dewasa, aku berhak mengetahui sesuatu tentang ibuku.’

‘Sita, tidak ada yang dapat kuceritakan kecuali kalau kedua orangtuamu sama-sama orang yang keras kepala. Mereka menganggap diri mereka beridealisme kuat. Tapi mereka tolol. Membiarkan idealisme mereka menghancurkan diri mereka sendiri.’

‘Aku tidak tahu maksudmu.’

‘Kelak kamu akan mengetahuinya.  Kalau Nick menganggap kamu sudah siap, dia akan bercerita,’ jawab Nate. ‘Ayo Sita, jangan bicara tentang hal itu lagi. Hari terlalu indah untuk membicarakan tentang perceraian.’

Sita diam saja. Baik, aku tahu Kamu tidak bakalan bercerita tentang hal itu.  Tetapi ada seseorang yang tahu.  Aku akan bertanya pada Sue. Kalau dia dulu hampir menjadi ibu tiriku dia tentu kenal Nick sampai ke bagian dalamnya.

‘Apa yang kamu lamunkan?’ tanya Nate memecah kesunyian.

‘Seperti apa Indonesia itu hingga mama tega meninggalkanku untuk pulang ke Indonesia,’ jawab Sita bohong.

‘Seperti danau Erie saat ini,’ jawab Nate melantur.

Mereka berdiam diri sesudahnya, masing-masing asyik dengan pikirannya sendiri.  Sesampai di dermaga umum di pusat kota Clayton, Sita langsung meloncat turun.

‘Jam berapa kita berangkat, Nate? ‘tanya Sita dari bawah.  Nate menjulurkan kepalanya kemudian menunjukkan kesepuluh jari tangannya.  Masih ada waktu satu setengah jam, pikir Sita melihat jam yang melilit di pergelangan tangannya.

‘Aku mau mampir ke toko Sue dulu, Nate,’ teriak Sita sambil berlalu.

‘Jangan sampai terlambat,’ Nate mengingatkan. Sita menoleh dan membuat lingkaran dengan telunjuk dan ibu jarinya sebagai tanda ‘beres’.

Sita berjalan-jalan sepanjang pusat pertokoan yang masih sepi. Hanya ada beberapa toko saja yang buka.

‘Untung Sue sudah membuka tokonya,’ gumam Sita ketika melihat toko kecil di ujung jalan.  Sita mempergegas langkahnya.

‘Hello, Sue!’ tegur Sita pada seorang wanita cantik yang berdiri di belakang mesin hitung. Wanita itu mendongakkan kepalanya dan membalas sapaan Sita.

‘Apa kabar, Indie?’ tanya Sue.  Indie adalah kependekan dari Indonesia.  Sebutan itu dulu untuk memanggil Nina sebagai panggilan sayang dari sahabat-sahabatnya dan kini sebutan itu telah menjadi milik Sita.

‘Biasa saja, Sue. Masih tetap dua pria plus seorang gadis cantik di dalam sebuah rumah,’ jawab Sita sambil menarik sebuah kursi dan mendudukkan dirinya di depan Sue. Sue tertawa.

‘Tidak ada niat untuk menambah pria lagi? ‘tanya Sue.

‘Dua sudah terlalu banyak Sue. Kamu mau mengambil seorang di antaranya?’ tantang Sita. Sue kaget tapi dia cepat menguasai keadaan. Ah Sita hanya bergurau.

‘Sue, aku ingin bertanya sesuatu,’ Sita mulai menjalankan misinya. ‘Ceritakan sesuatu tentang Indie. Indie yang terdahulu. Ceritakan apa saja tentang dia,’ Sita mengambil permen karet yang berada di depannya, mengupasnya dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Sue menarik nafas panjang.

‘Seorang wanita hebat,’ Sue memulai. Sita tersenyum, dia senang ibunya mendapat pujian. ‘Seharusnya aku membencinya karena dia telah merebut Nick dari tanganku. Tapi aku tidak bisa, aku mengagumi dia, Sita. Aneh kan?’

‘Merebut Nick? Bukankah kamu datang sesudah Indie pergi ?’ tanya Sita. Sue menggeleng.

‘Aku kenal Nick sejak kecil. Kami dibesarkan bersama dan kami sering berkencan. Semua orang tahu kalau Nick kekasihku. Setelah tamat SMA Nick meneruskan belajarnya ke Havard, disanalah dia bertemu Indie dan jatuh cinta. Siang malam aku berdoa agar Indie menolak cinta Nick, karena menurut Nick sendiri Indie dicintai banyak orang’ Sue diam beberapa saat memandang gadis yang mengunyah permen karet di depannya.

‘Tetapi doaku tidak terkabul. Indie memilih Nick. Mereka kawin dan tinggal di Clayton. Kamu dapat membayangkan hatiku saat itu. Pemuda yang kudambakan untuk menjadi suamiku telah kawin dengan wanita lain. Aku patah hati, tetapi aku tidak bisa membandingkan diriku dengan Indie. Indie pandai, cantik dan ramah dalam sekejab saja seluruh hati di Clayton telah berada di genggaman tangannya. Semua warga Clayton menjadi sahabatnya dan melupakan kepahitan hatiku. Aku meninggalkan Clayton dan baru kembali beberapa tahun kemudian, saat itu kamu telah lahir. Kalau kepergianku membawa kehancuran hatiku, aku pulang dengan pandangan yang berbeda. Aku tidak lagi iri kepada Indie karena sudah selayaknya wanita seperti dia mendapatkan cinta Nick. Aku mulai bersahabat dengan Indie. Benar-benar sahabat, Sita. Jika ada orang yang mengatakan bahwa akulah yang membawa malapetaka ke tengah keluargamu itu tidak benar. Bohong!’ Sita melihat mata Sue berkaca. Dia mempercayai wanita ini. Ada sesuatu pada dirinya yang membuat dia mempercayainya.

‘Kalau saja aku berkuasa di pengadilan itu. Permohonan cerai mereka akan kutolak. Mereka saling mencintai dan perceraian itu hanya menghancurkan dua-duanya,’ Sue menghapus air matanya dengan punggung tangannya.

‘Mengapa mereka ingin bercerai?’ tanya Sita.

‘Aku tidak tahu.’

‘Kamu hadir di pengadilan.’

‘Memang, Sita. Tetapi alasan yang mereka kemukakan tidak masuk akal. Nick dan Indie seakan-akan telah sepakat untuk memberikan alasan-alasan yang bisa membuat pengadilan menyetujui perceraian mereka. Indie bahkan tidak memprotes ketika mereka memutuskan untuk memberikan dirimu ke tangan Nick. Itu tidak mungkin, Sita. Kamu adalah segala-galanya bagi Indie. Aku tidak tahu apa yang ada di belakang sandiwara mereka.’

‘Terimakasih, Sue, kamu mau bercerita. Aku senang mengetahui bahwa ibuku mencintaiku.’

‘Aku hanya ingin agar kamu tidak mempercayai omongan yang tersebar di Clayton yang menganggap bahwa akulah penyebab kehancuran keluargamu. Nick pernah memintaku untuk menjadi ibumu tapi kutolak karena aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia  hanya menginginkan aku untuk menjagamu. Dan itu tak dapat kuterima karena aku toh bisa tetap menjagamu tanpa harus menjadi istri seseorang yang hatinya ada pada wanita lain yang juga sahabatku sendiri.’ Kali ini Sita memandang Sue dengan pandangan kekaguman. Dulu dia jengkel jika Sue sering datang ke rumahnya, membersihkan rumah, memasak, mencuci dan sebagainya. Dulu Sita mengira bahwa Sue melakukan hal itu karena dia menginginkan Nick. Sita melihat jamnya.

‘Jam sepuluh!’ serunya kaget dan meloncat turun dari kursi. ‘Ya Tuhan, aku terlambat. Sue, aku harus segera pergi,’ teriak Sita dan berlari keluar. Dia berlari terus hingga dermaga umum, tanpa mempedulikan omelan orang-orang yang kena tabrak. Dia baru menarik nafas lega ketika melihat ‘Sita’ yang masih setia menunggu.

AkuTak Mau Pulang, Nick

Semua penumpang sudah naik semua ketika Sita tiba. Dia masih sempat memperhatikan penumpang-penumpangnya. Semuanya masih muda belia.

‘Kamu telat, Sit,’ tegur Nate. Sita tersenyum penuh penyesalan.

‘Sorry Nate, aku terlalu asyik tadi,’ jawab Sita. Nate mengangguk. Untung tidak marah, kata hati Sita. Begitu Sita berada di ruang kemudi, kapal kecil itu segera bertolak.

‘Selamat pagi semua. Saya Nate Woodward mengucapkan terima kasih kepada anda semua yang telah mau berlayar bersama ‘Sita’. Hari ini merupakan pelayaran istimewa bagi saya karena anda semua datang dari Negara yang berbeda. Saya harap pelayaran ini juga merupakan sesuatu yang istimewa bagi anda dan merupakan kenangan yang dapat anda bawa pulang ke negeri anda. Dan untuk itu saya telah menyediakan seorang guide istimewa yaitu Sita Woodward atau boleh panggil dia Indonesia. Nah inilah dia.’ Nate memberikan pengeras suaranya kepada Sita.

‘Selamat pagi!!”  Sita membuka dengan suaranya yang manis.  ‘Nate mereka siapa sih?’ tanya Sita berbisik sesudah meletakkan tombol pada posisi off.

‘Para pertukarang pelahar AFS yang akan kembali ke negeri mereka masing-masing.  Mereka mampir di Clayton selama tiga hari.  Besok mereka menuju ke New York dan pulang.’

‘Oo…’  Sita berseru.

‘Selamat pagi,’ Sita mengulangi salamnya.  ‘Sekarang kalian berada di atas danau Erie, danau yang menghubungkan atau memisahkan Amerika dengan Canada. Pulau-pulau yang ada di sekitar adalah pulau-pulau yang   tergabung dalam gugusan kepulauan yang bernama Thousand Isles. Jembatan yang berada jauh di belakang juga bernama jembatan Thousand   Isles yang menghubungkan Canada   dan   Amerika   lewat jalan   darat.’

Sita menerangkan.  Dia sering ikut Nate berlayar dan mengganti tugas Tom sebagai guide amatir.  Dia begitu hafal dengan nama pulau-pulau yang ratusan jumlahnya bahkan sampai yang terkecil dengan segala keistimewaannya. Dia tahu dimana dia dapat mendapatkan buah cherry yang lezat atau tempat dimana banyak terdapat kelinci.

Kapal Nate menyusup di antara pulau-pulau yang gelap karena terlindung dedaunan. Kemudian keluar pada daerah yang luas dengan pemandangan yang begitu indahnya. Tiba-tiba tampak sebuah pulau dengan sebuah bangunan yang tinggi menjulang, tua dan angker.  Nate mengelilingi pulau itu.

‘Pulau ini merupakan lambang cinta sejati,’ tutur Sita. “ Bangunan yang tampak angker itu dahulu direncanakan untuk dibuat sebuah istana yang megah dari seorang suami untuk istrinya yang paling dia cintai. Dia tidak pernah menceritakan rencananya itu kepada istrinya karena bangunan itu akan diberikan sebagai hadiah pada ulang tahun perkawinan mereka. Tetapi belum sampai waktunya si istri meninggal dunia. Sejak saat itu sang suami dirawat di rumah sakit jiwa dan tak pernah keluar lagi. Bangunan itu terbengkalai dan menjadi kediaman kelelawar. Itulah sebabnya pulau ini bernama pulau kelelawar.’

Sita menekan tombol off dan menoleh kepada Nate.

‘Nate masih adakah lelaki yang mencintai istrinya seperti dia? ‘tanya Sita. Nate tertawa.

‘Ada… Ada,’ jawab Nate   ‘Pamanmu. Nate Woodward.’ Sita tertawa.

‘Kawin saja Kamu tidak bagaimana kamu bisa bicara seperti itu?’

‘Kau pikir aku memilih tidak kawin tanpa alasan?’

‘Kamu pernah patah hati? ‘tanya Sita. Dia belum pernah melihat Nate akrab dengan wanita atau membicarakan nama seorang wanita. Nate tertawa terbahak-bahak. Sita menghidupkan mikenya.

‘Yang kalian dengar ini adalah tawa kapten kita, Nate. Dia baru saja menyatakan bahwa dialah satu-satunya orang yang bisa mencintai wanita sedalam pangeran kelelawar,’  Sita berkata jelas. Nate repot menahan tawanya. Dipandang keponakannya dengan mata melotot, tapi Sita tenang-tenang saja.

‘Nate, aku mengulangi, pernahkah kamu patah hati?’ Sita kuatir. Untuk orang setua Nate dan belum kawin? pasti ada alasan tertentu dan satu-satunya yang masuk ke dalam otak Sita adalah ‘patah hati’

‘Dulu pernah, tapi sudah tersambung kembali. Kamu tak perlu kuatir aku akan segera kawin,’ jawab Nate serius. Sita tersenyum. ‘Kamulah yang pertama mendengar kabar ini,’ sambung Nate. Sita membelalak tak percaya.

‘Kau?’ tanyanya heran. Nate mengangguk pasti.

‘Siapa wanita yang begitu tolol mau kawin denganmu?’ tanya Sita yang masih menduga Nate hanya bergurau.

‘Sue,’ jawab Nate.

‘Nate jangan main-main. Sue bisa marah mendengar gurauan kita,’ tegur Sita dongkol. Ini sudah keterlaluan. Kasihan Sue.

‘Sita, kalau aku berbohong kepadamu, kamu mau percaya, kini aku serius kamu malah tidak percaya,’ jawab Nate tenang. Sita bimbang. Setengahnya dia percaya, setengahnya tidak.

‘Kamu tidak mengucapkan selamat kepadaku?’ tanya Nate ketika memandang Sita tertegun. Sita meloncat dan mencium Nate.

‘Kamu tahu, Nate? Aku sangat bahagia,’ katanya dan bergayut pada lengan Nate.

‘Bodoh benar kamu. Mau tak mau perhatianku kepadamu akan berkurang.’

‘Aku tidak peduli. Aku bosan hidup dengan dua laki-laki yang semuanya tak punya istri. Seperti tidak laku padahal kalian berdua tampan semua,’ goda Sita. Dalam hati dia bertanya, betul-betul mencintai Nate kah Sue, atau hanya pelarian karena tak bisa mendapatkan saudara kembarnya? Mudah-mudahan Sue benar-benar mencintai Nate.

‘Hei tugasmu !’ Nate memperingatkan ketika mereka hampir memasuki pulau Robinson. Sita meraih mikenya dan,

‘Sebentar lagi kita akan memasuki wilayah Canada. Ada beberapa petugas yang akan memasuki kapal kita untuk memeriksa paspor kalian. Saya harap kalian menyiapkannya. Terimakasih,’ katanya ramah.

Kapal itu bersandar di sebuah selat yang hanya muat untuk sebuah kapal. Beberapa detik kemudian tiga orang berseragam biru tua masuk kapal dan memeriksa penumpang.

‘Sita, aku turun dulu mencari makanan. Kamu mau sesuatu?’

‘Bawakan aku roastbeef, Nate. Ukuran sedang saja dan coke.’

Sesudah Nate turun, Sita berdiri di belakang kemudi sambil melihat kesibukan para petugas perbatasan. Tiba-tiba ada seorang gadis berdiri di bawah tangga kemudi. Sita memperhatikan sejenak kemudian mengembangkan senyumnya. Gadis ini mirip mama. Rambutnya yang hitam lurus, matanya dan kulitnya juga bajunya… Sita menjadi malu. Gadis di depannya mengenakan rok batik rapi sedang dirinya… jeans lusuh dan Tshirt bergambar John Travolta. Tiba-tiba Sita merasa dirinya terlalu urakan dibanding gadis itu.

‘Hai, boleh aku naik ke situ? ‘tegur gadis tersebut.

‘Silahkan. Maaf aku berlaku kurang sopan tadi,’ Sita memohon maaf menyadari bahwa dirinya telah meneliti gadis tadi.

‘Namaku Lily,’ gadis itu memperkenalkan diri.

‘Aku Sita. Kamu juga pelajar AFS?’ Lily mengangguk.

‘Aku tadi sempat mendengar kalau namamu juga Indonesia, benar?’ tanya Lily

‘Oh, itu…’ Sita menjadi salah tingkah, ‘mereka memanggilku demikian karena ibuku orang Indonesia.’

‘Ibumu orang Indonesia? Aku juga orang Indonesia. Bisa aku bertemu ibumu? Sudah setahun aku tak berjumpa dengan orang Indonesia.’ Lily berbicara   cepat karena luapan rasa gembira. Sita juga gembira bisa bertemu seseorang yang senegara dengan ibunya, tetapi sekejab kemudian dia sadar.

‘Sayang kamu tidak bisa bertemu dengan ibuku. Ibuku telah bercerai dengan ayahku dan telah kembali ke Indonesia,’ Sita menjelaskan dengan jujur.

‘Oo …’ Lily kecewa. ‘Kamu tahu dimana ibumu berada? maksudku kotanya.’

‘Aku tidak tahu, terlalu panjang namanya dan sukar untuk diucapkan. Yang terang di Jawa,’ jawab Sita polos.

‘Jakarta?’

‘Bukan, tapi mirip dengan itu.’

‘Yogyakarta?’ tebak Lily lagi.

‘Ya itu dia. Apa tadi?’

‘Yogyakarta. Aku juga berasal dari Yogyakarta,’ jawab Lily.

‘Kalau begitu kamu pasti kenal ibuku,’ Lily menggeleng.

‘Yogyakarta penduduknya lebih dari dua setengah juta. Tidak mungkin kita saling mengenal seperti di Clayton ini.’

‘O…,’ ganti Sita yang kecewa. ‘Pernahkah kamu mendengar tentang Dokter Nina Woodward?’ Lily menggeleng lagi. Dia menyesal telah mengecewakan gadis dihadapannya.

‘Kamu tahu alamat ibumu?’ tanya Lily berusaha menolong.

‘Aku tidak tahu, dia tidak pernah berkabar. Satu-satunya yang kuketahui hanyalah bahwa dia dilahirkan di kotamu.’ Sita merogoh saku celananya, mengeluarkan dompet, mencabut selembar photo dan ditunjukkan kepada Lily. Foto Sita yang duduk di pangkuan ibunya.

‘Ini aku dan ibuku waktu aku berusia empat tahun. Siapa tahu nanti kamu bertemu wanita seperti ini. Sampaikan salam dan cintaku padanya.’ Lily meneliti photo itu sejenak.

‘Aku pernah melihat foto ini sebelumnya. Dimana ya? ‘gumamnya. Sita menanti harap-harap cemas.

‘Aku tahu,’ Lily berteriak. ‘Dokter Nina Santoso. Kamu tadi bilang siapa?’

‘Kamu benar, namanya Nina. Woodward adalah nama ayahku. Kamu tahu dimana dia tinggal? Alamatnya? Aku ingin berkirim surat kepadanya,’ kata Sita antusias. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.

‘Ada nama di belakang namanya, berarti ibuku sudah kawin lagi. Sudahkah dia mempunyai anak, Lily?’

‘Santoso bukan nama suaminya. Itu nama almarhum ayahnya. Dia tidak pernah kawin. Orang-orang di sekitar mengira kalau dia terlalu pandai untuk menikah. Aku tidak menyangka dia telah berputri sebesar ini.’

‘Kalau begitu kamu tahu alamatnya,’ seru Sita gembira. Lily mengangguk kemudian bertanya kalau Sita mempunyai kertas untuk menuliskan alamat itu. Sita mencari di laci dan menemukan selembar kertas dan balpoint. Lili menuliskan sebuah alamat. Dokter Nina Santoso tinggal tiga rumah di sebelah kanan rumahnya jadi dia tinggal menambah tiga angka dari nomer rumahnya sendiri.

‘Terimakasih, Lily,’ tutur Sita berkali-kali sambil memasukkan alamat itu ke dalam dompetnya. Kemudian Sita bertanya tentang Indonesia dan bagaimana caranya agar bisa sampai ke sana.

‘Kamu ingin ke Indonesia?’ tanya Lily

‘Ya. Kalau dulu aku tidak berkeinginan untuk pergi karena waktu itu aku takut tidak bisa menemukannya. Tetapi sekarang dengan alamat sejelas ini? Hanya Tuhan yang tahu betapa besar keinginanku.’

                                                                     ***

Perkawinan Nate dan Sue dilangsungkan secara sederhana dan karena langit cerah mereka mengadakan pesta di katamaran. Hanya beberapa kerabat dekat saja yang hadir. Sita dapat melihat wajah Nate yang sebenarnya karena jambang dan kumisnya telah tercukur bersih. Dalam keadaan seperti itulah Nate benar-benar mirip Nick, Nate mengenakan stelan berwarna merah hati dan Sue mengenakan pakaian pengantin berwarna putih bersih.

‘Sue cantik sekali ya Nick?’ bisik Sita di telinga Nick mencoba mengajuk hati Nick terhadap Sue. Nick mengangguk.

‘Setiap gadis akan tampak cantik pada hari perkawinannya karena saat itu adalah saat yang paling membahagiakan dalam hidupnya.’

‘Apakah Sue bahagia?’ tanya Sita berbisik. Nick bingung akan arah dari pertanyaannya.

‘Kenapa Kamu bertanya seperti itu?’

‘Cuma ingin tahu saja.’

‘Tentu saja dia bahagia. Dia mencintai Nate dan dapat kawin dengan orang yang dicintainya adalah suatu kebahagiaan. Suatu saat kamu akan mengalaminya.’ Nick memegang hidung anaknya. Sita tidak bertanya lagi. Apakah Nick tidak tahu kalau Sue mencintainya?

Sue dan Nate akan tinggal di Theresia Street sebab Nick menghendaki agar Sita tidak merasa dilupakan oleh Nate. Baik Nate maupun Sue menyetujui usul itu. Tetapi kenyataannya mereka berempat belum pernah tinggal di dalam atap yang sama. Begitu pesta perkawinan usai, Nate dan Sue pergi berbulan madu ke Bahama. Seminggu sebelum bulan madu itu habis, Nick harus pergi ke Auckland, New Zealand untuk suatu konperensi dan harus tinggal di sana selama satu bulan. Sita menduga bahwa Nick hanya mencari-cari alasan agar tidak tinggal serumah dengan Sue. Tetapi mengapa? Apakah Nick juga mencintai Sue? Ah urusan orang tua selalu rumit.

Seminggu yang sepi. Sementara menanti Nate kembali, Sita hanya ditemani oleh ibu Sue. Pada saat itulah kerinduan kepada ibunya memuncak. Dia memutuskan untuk melarikan diri. Aku harus memjumpai wanita yang telah melahirkanku. Harus.

AkuTak Mau Pulang, Nick

Sore itu Sita sedang mengayuh sepedanya sepanjang James Street yang lenggang ketika dia merasa ada langkah kaki kuda di dekatnya Sita menoleh. David Sweeney sedang tersenyum ke arahnya di atas punggung seekor kuda hitam berkilat.

Dari mana?’ tegur David.

‘Latihan,’ jawab Sita sambil memperlihatkan sarung tangan softballnya. Mereka berjalan beriringan. Dave sibuk mengendalikan kudanya agar dapat mengimbangi kecepatan sepeda balap Sita.

‘Ayahku bilang kalau kamu mau pergi jauh. Kemana?’ tanya David. Ayah David adalah direktur Bank dimana Sita menabung uangnya. Kemarin Sita mengambil seluruh tabungannya dan ayah David menanyakan untuk apa uang itu.

‘Ke Indonesia,’ jawab Sita lirih.

‘Indonesia?’ ulang David. ‘Beberapa lama kamu akan berada disana?’

‘Aku tidak tahu. Mungkin lama mungkin juga sebentar, tergantung Dave.’

‘Tergantung apa?’ tanya David ingin tahu.

“Apakah aku kerasan atau tidak.’

‘Apakah itu berarti jika kamu kerasan kamu tidak akan kembali lagi?’ Sita tersenyum melihat kekhawatiran yang terekspresi pada wajah David.

‘Apakah aku tidak menjadi bahan pertimbangan?’ tanya David lagi.

‘Kamu? Memangnya kenapa?’ Sita tidak mengerti.

‘Kalau kamu pergi aku akan kehilangan dirimu. Kamu tahu sudah lama aku memperhatikan kamu. Kurasa aku mencintaimu,’ jawab David lugu sambil menghentikan kudanya karena mereka telah sampai di depan Katedral dan Sita harus membelok ke kiri.

‘Wow cara klasik dalam menyatakan cinta, di atas punggung kuda.’ Sita mencoba bergurau walau pernyataan David tadi telah mengacaukan perasaannya. David tertawa . Sita tertawa dan langitpun ikut tertawa.

‘Akan kujadikan bahan pertimbangan, Dave. Sungguh. Sampai jumpa.’

AkuTak Mau Pulang, Nick

 Di depan rumah Nate telah menunggunya. Dia telah pulang dua hari yang lalu.

‘Tumben menanti di depan rumah. Mana Sue?’

‘Ada yang ingin kubicarakan denganmu,’ jawab Nate serius. Sita merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dia meninggalkan sepedanya di luar dan berjalan masuk mengikuti Nate. Apakah Nate sudah mengetahui kalau Sue tidak mencintainya? pikir Sita gamang.

‘Bill Sweeney menelponku,’ Nate membuka percakapan. Sita menarik nafas lega. ‘Untuk apa uang itu, Sita? ‘tanya Nate.

‘Apakah Mr. Sweeney tidak mengatakan?’ balas Sita.

‘Sita, aku ingin mendengar darimu sendiri.’

‘Aku mau ke Indonesia,’ jawab Sita mantap. ‘Aku telah menghubungi travel agent dan menanyakan biayanya dan kurasa uangku cukup untuk membiayaiku pergi.’ Nate terperanjat. Belum pernah selama hidupnya terkejut seperti kali ini.

‘Untuk apa kau ke Indonesia? Liburan sekolah hampir habis.’

‘Menemui mama,’ jawab Sita pendek.

‘Sita, kau sadar dengan apa yang akan kau lakukan?’

‘Tentu saja. Apakah suatu keganjilan jika seorang anak ingin menemui orang yang telah melahirkannya.’

‘Tentu saja tidak. Tapi Kamu pergi tanpa rencana.’

‘Aku telah lama merencanakan, Nate. Lebih lama dari yang kamu duga,’ jawab Sita. Dia telah membulatkan hatinya bahwa tak ada sesuatu yang akan dapat merintangi maksudnya.

‘Tanpa sepengetahuan Nick?’

‘Kamu tahu Nick tidak akan mengijinkanku pergi, itulah sebabnya aku akan pergi sekarang selagi Nick tidak di rumah.’

‘Lalu kamu anggap apa aku ini, Sita?’ tanya Nate mencoba bersikap tenang.

‘Nate … ‘ Sita tidak berkutik.

‘Aku tidak akan mengijinkanmu,’ suara Nate rendah. Sita terpana. Selamanya Nate selalu menuruti kemauannya dan kini Nate telah menolak tanpa mempertimbangkan lebih dahulu. ‘Kamu boleh pergi jika Nick sudah kembali.’

‘Kamu bukan ayahku,’ jerit Sita jengkel.

‘Aku diberi wewenang untuk menjagamu,’ Nate mencoba mengendalikan emosinya.

‘Aku tidak mau tahu. Kalau kamu tidak mengijinkan aku akan pergi tanpa meminta ijin terlebih dahulu. Aku akan pergi tanpa pamit.’

‘Sita, kamu tidak tahu dimana ibumu berada. Indonesia tidak hanya sebesar Clayton, luas sekali, Sita. Kamu tidak akan bisa menemuinya,’ bujuk Nate halus.

‘Aku punya alamatnya, Nate,’ Sita menyebutkan alamat ibunya dan dari mana alamat itu diperolehnya. Nate terdiam sesaat. Anak ini telah melangkah terlalu jauh. Aku tak akan bisa menariknya mundur.

‘Bagaimana jika dia telah pindah sedang uangmu hanya cukup untuk satu kali penerbangan ke Indonesia?’ Nate mengetahui kelemahan keponakannya karena Bill Sweeney juga menerangkan berapa jumlah uang yang telah ditarik Sita

‘Aku tidak tahu. Jadi pengemis mungkin. Kalau kamu menginginkan aku selamat dan menginginkan aku kembali ke sini lagi berikan aku uang saku tambahaan.’ Mau tidak mau Nate tersenyum. Baru saja mereka bertengkar mempertahankan pendapat mereka masing-masing dan kini Sita menginginkan dia memberinya uang saku tambahan.

‘Kamu pikir aku akan memberinya?’

‘Kamu akan memberi, Nate. Aku tahu itu. Kamu selamanya begitu manis kepadaku,’ omong Sita seenaknya sambil keluar lagi, mengambil sepedanya dan pergi. Nate termangu, dalam hati dia tahu bahwa dia tidak akan berhasil membujuk keponakannya untuk membatalkan rencananya.

 AkuTak Mau Pulang, Nick

Bujukan Nate yang bertubi-tubi ditambah bujukan manis Sue tidak mempan. Pikiran Sita telah dipenuhi oleh bayangan-bayangan manis tentang ibunya dan Indonesia. Dia telah mulai mengepak barang-barangnya. Boneka-boneka mana yang dianggap patut untuk menyertai perjalanan wisatanya.

‘Kapan kamu berangakat, Sita?’ tanya Sue di depan pintu kamar Sita. Sita memberi tanda agar Sue masuk. Sue masuk dan duduk di tempat tidur Sita, memandang Sita memasukkan baju-bajunya ke dalam koper.

‘Minggu depan,’ jawab Sita sambil mencium boneka mungil yang kemudian diletakkannya kembali karena sudah terlalu banyak boneka yang akan dibawanya.

‘Jangan mencoba membujukku lagi, Sue. Kamu tahu aku benar-benar ingin berjumpa dengan mama.’ Sue mengangguk. Kemudian memberikan beberapa lembar puluhan dollar.

‘Belilah baju-baju yang manis, Sita. Indie selalu rapi berpakaian, tentu dia menginginkan anaknya menuruni kerapiannya. Jangan memakai jeans pada pertemuanmu yang pertama.’ Sue berkata lembut. Sita mendekati Sue, mencium pipinya yang halus dan mengucapkan terimakasih.

‘Kamu selalu penuh pengertian, Sue. Aku menyesal kamu jadi ibu tiriku.’

‘Sita … Sita. Seorang bibi lebih baik daripada seorang ibu tiri,’ Sue tertawa senang.

Kalau Nate berkata bahwa dia tidak mau tahu dengan kepergian Sita, itu hanya omongannya saja. Diantara mereka bertiga, Natelah yang paling sibuk dan repot. Setiap kali dia memperingatkan Sita, kalau-kalau   Sita melupakan sesuatu. Menyiapkan pesan tempat dan membelikan Sita ticket pesawat berikut sebuah buku traveller check. Dia sendiri mengantarkan Sita ke Kennedy Airport.

‘Kamu akan kembali lagi kan, Sita?’ tanya Nate. Saat itu pukul dua belas malam. Pesawat Lufthansa yang akan membawa Sita Frankfurt hampir berangkat. Sita mengangguk, hatinya rawan.

‘Tentu, Nate. Sampaikan salamku untuk Sue dan … ‘Sita memeluk Nate dan menciumnya. Nate membalas mencium keponakannya lama. Aku merasa kamu tidak akan pernah kembali lagi, Sita.

‘Dan siapa? ‘tanya Nate.

‘David,’ jawab Sita sambil berlari karena panggilan terakhir telah terdengar.

‘ David siapa?’ teriak Nate penasaran. Baru kali ini keponakannya menunjukkan gejala yang aneh.

‘David Sweney,’ Sita berteriak dan menghilang.

AkuTak Mau Pulang, Nick

Sedianya pesawat yang ditumpangi Sita akan mendarat di Soekarno Hatta pada jam dua siang dua hari berikutnya. Sita ganti pesawat di Frankfurt dan menginap semalam di kota itu.  Tetapi di Singapura ada pesawat yang rusak di runway, terpaksa semua penerbangan untuk hari itu tertunda. Pesawat Sita baru masuk pada pukul tujuh malam.

Sita melepas jacket biru yang dipakainya selama perjalanan sambil menuruni tangga pesawat. Ditangannya dia membawa boneka panda putih dengan belang hitam di telinga dan sekitar matanya.

‘Phoebe, inilah tanah mamaku. Aku tahu kamu pasti menyukainya karena aku sangat menyukai tanah ini,’ bisik Sita ditelinga boneka pandanya. Dia bernafas dalam berusaha mengambil udara Indonesia sebanyak mungkin sambil mengikuti arus penumpang yang keluar menuju pintu yang telah ditunjuk.

Kekhawatiran Sita muncul setelah semua urusan imigrasi beres. Kemana aku harus pergi sekarang? Dimana aku harus menginap malam ini? Ya Tuhan tunjukkanlah jalanmu, aku berada di tanah yang asing. Dia mendekap bonekanya makin erat mencoba mencari ketenangan pada mahluk tak bernyawa itu. Dikumpulkannya dua koper yang dibawanya dan duduk disalah satu koper itu. Tiba-tiba matanya menangkap bayangan seseorang yang sangat dikenalnya.

‘Nick …’ panggil Sita dan berlari memeluk Nick yang berdiri terlindung pilar. Dia lupa pada kopernya. Sita menciumi Nick gemas. Nick mengelus-elus rambut Sita bahagia. Dia telah menunggu kedatangan anaknya sejak pukul dua siang dengan segala kegelisahannya dan kini anak itu telah ada dalam pelukannya.

Seminggu yang lalu Nate menelponnya mengatakan bahwa dia tidak berdaya untuk mencegah kenekadan Sita. Tanpa pikir panjang Nick meninggalkan konperensi dan terbang ke Jakarta lebih awal.

‘Sedang apa kamu disini, Nick?’ tanya Sita setelah ia sadar bahwa seharusnya dia tak akan menjumpai Nick dalam pelariannya.

‘Menjemputmu tentu saja.’

‘Menjemputku? Kamu tahu kalau …?’  Nick tersenyum.

‘Perasaan seorang ayah sangat peka, Sita. Aku punya firasat bahwa aku akan menjumpaimu disini,’ jawab Nick bohong. Sita tahu kalau Nick berbohong tetapi dia tidak dapat mengira-ngira bagaimana Nick bisa mengetahuinya.  Baik Nate dan Sue sudah bersumpah untuk tidak memberitahu ayanya.  Kecuali mereka mengingkari sumpah mereka.  Sita dan Nick berjalan menuju tempat dimana Sita meninggalkan kopernya.

‘Kita menjumpai mama hari ini, Nick?’ tanya Sita tidak sabar.

‘Tidak bisa. Sudah tidak ada penerbangan lagi untuk hari ini. Aku sudah pesan ticket untuk besok pagi,’ jawab Nick. ‘Kita bermalam di Jakarta malam ini.’

Dalam perjalanan menuju hotel mata Sita tidak pernah berkedip. Indonesia adalah negara tropis pertama yang dikunjunginya. ‘Luar Negri’ bagi Sita hanyalah Negara-negara Eropah yang pernah dikunjunginya bersama teman-temannya. Dan kini menyaksikan   Indonesia kekagumannya tak bisa disembunyikan.

‘Pantas mama lupa pada danau Erie,’ gumam Sita tidak sadar. Nick melirik anaknya tanpa berkomentar.

AkuTak Mau Pulang, Nick

‘Sita… Sita ..’ Nick menepuk-nepuk pipi anaknya agar bangun. Begitu sampai di hotel dan melihat tempat tidur langsung Sita jatuh tertidur.

‘Sita … bangun sayang,’ bisik Nick. Sita menggeliat malas.

‘Sita, makan dulu, yuk.’

‘Kamu saja. Aku ngantuk,’ jawab Sita. Nick mengangkat Sita dan mendirikannya di lantai.

‘Sudah hampir jam dua belas. Aku tahu kamu belum makan sejak tiga hari yang lalu.’

‘Kamu pikir kami tidak diberi makan di pesawat? ‘tanya Sita sambil menuju wastafel dan membasuh mukanya. Nick tertawa ringan.

‘Kamu pikir aku mau mempercayai jika kamu berkata bahwa kamu menyantap semua makanan yang dihidangkan? Sedang di rumah saja makanmu sukar apalagi di pesawat yang tidak ada seorangpun mengawasimu.’ Sita tidak membantah.

Mereka berjalan berdua di bawah terang lampu Jakarta yang romantis. Nick memilih sebuah restaurant kecil yang sudah sepi. Sementara menanti pesanan Nick bercerita tentang Nina.

‘Beberapa bulan setelah kamu lahir, Nina mulai gelisah. Saat itu politik di Indonesia sedang anti Amerika. Amerika adalah musuh Indonesia. Dimana-mana terdapat demonstrasi dengan spanduk-spanduk yang bertuliskan “America, go to hell.” Nina bingung. Dia tidak tahu dimana dia harus berdiri. Kemudian datang panggilan bahwa dia harus pulang ke Indonesia. Nina datang ke Amerika dengan beasiswa dari Negara untuk menuntut ilmu untuk diterapkan di Indonesia. Aku mencoba menahannya, membujuknya dengan mengatakan bahwa dia telah mempunyai dirimu. Tapi Nina merasa bahwa dirinya telah menghianati negaranya. Kami sering bertengkar tentang hal itu. Sedang surat-surat dari Indonesia makin gencar.’

Seorang pelayan datang membawakan pesanan mereka. Sita tersenyum pada pelayan itu yang dibalas dengan anggukan.

‘Tahun-tahun itu suasana  politik di Indonesia sedang kritis. Nina tidak berdaya. Dia merasa bahwa Indonesia membutuhkannya, sebab itulah yang ditulis pada setiap surat yang diterimanya. Nina mengajakku untuk mengikutinya pindah ke Indonesia. Kukatakan padanya bahwa aku tidak bisa karena saat itu aku satu-satunya dokter di Clayton. Dokter yang paling dekat adalah dokter Wyatt dan dia tinggal di Alexandria Bay. Nina ngotot, dia bilang dia dibutuhkan di Indonesia dan dia orang Indonesia. Semua orang menyalahkan kami karena baik aku maupun Nina tak ada yang mengalah. Kamu harus tahu, Sita, kami berdua saling mencinta tapi kewajiban terhadap umat manusia dan Negara tidak bisa terkalahkan oleh cinta pribadi. Aku berkewajiban terhadap Clayton dan Nina berkewajiban terhadap negaranya. Itulah sebabnya kami memilih perceraian sebagai jalan keluarnya. Demi Tuhan aku menyesalkan keputusan itu. Tetapi kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami pergi ke pengadilan dan memohon perceraian. Perceraian itu disetujui dan Kamu ikut bersamaku. Sejak saat itulah aku merasakan kehancuranku.’

‘Tidak pernahkah kamu mencoba untuk menghubungi mama, Nick?’

‘Sekali aku bertemu dengannya di Boston beberapa tahun setelah Indonesia kembali stabil.

‘Boston? Kenapa kamu tak pernah bercerita, Nick? Mengapa dia tidak mampir?’

‘Aku yang menghendakinya. Aku memohon kepadanya agar dia tak berkunjung ke Clayton. Aku merasa bahwa kehidupan kita saat itu telah mulai tenang dan satu lagi aku telah meminta Sue menjadi istriku. Walau akhirnya permintaanku itu ditolak Sue.’ Nick tertawa kecut, mentertawakan dirinya. Sita tercenung. Aku pernah begitu dekat dengan mama tapi aku tidak pernah tahu.

‘Kamu tidak pernah menghubunginya lagi?’

‘Aku terlalu malu untuk melakukannya, Sita.’

AkuTak Mau Pulang, Nick

‘Nick, bunga apa yang paling disukai mama?’ tanya Sita di los pasar kembang, Yogya. Nick berpikir sejenak kemudian menggeleng.

‘Dia menyukai segala macam kembang, sejauh yang bisa kuingat.’

‘Bunga apa yang paling sering berada di kamar tidurmu?’

‘Setiap hari berganti bunga, Sit, pilih saja yang paling kamu sukai, dia tentu menyukainya.’

‘Bunga apa yang paling banyak pada pesta perkawinanmu. Bukankah itu bunga yang paling disenangi wanita?’

‘Anyelir,’ teriak Nick senang karena bisa mengingat sesuatu.

‘Anyelir merah tua?’ tebak Sita, karena bunga itu bunga kesukaannya. Nick mengangguk. Mereka membeli dua ratus tangkai anyelir yang kemudian disusun oleh Sita dalam sebuah keranjang bambu.

Mereka naik becak menuju rumah Nina. Berbagai macam perasaan bergolak di hati keduanya. Bahagia, rindu, gelisah, was-was dan segala Nateam berbaur menjadi satu.

Becak yang mereka tumpangi berhenti pada sebuah rumah bercat putih bersih dengan halaman luas. Dari halamannya   saja Sita tahu kalau ibunya mencintai segala macam kembang karena halaman itu dipenuhi dengan bermacam-macam tanaman. Di halaman itu juga ada sebuah pohon sawo yang rimbun yang membuat suasana rumah itu kelihatan begitu damai. Nick membayar tukang becak dan mengucapkan sesuatu dalam bahasa Indonesia. Sita heran.

‘Kamu bisa berbahasa Indonesia, Nick?’

‘Aku mahir, Sita. Nina yang mengajariku. Di rumah dulu bahasa yang kami pakai bahasa Indonesia jadi kalau kami sedang mengucapkan kata-kata romantis tak ada seorangpun yang tahu,’ jawab Nick berseloroh. Sita tersenyum.

‘Kamu bisa merayu, Nick? Kupikir kamu orang yang paling kaku si seluruh jagad ini,’ Nick tertawa.

‘Lihat saja nanti kalau sudah ketemu ibumu,’

Mereka berjalan menuju pintu. Nick menekan bel. Dua-duanya gelisah. Seorang wanita tua muncul, dia memandang Nick dan Sita berganti-ganti, Nick menyapa.

‘Nick? ‘tanya wanita tua itu setelah lama memandang keduanya. Nick mengangguk dan menciumnya. Ibu Nina. Nick pernah bertemu wanita ini tiga kali dalam hidupnya. Pertama ketika melamar Nina untuk menjadi istrinya. Kedua di Washington pada waktu perkawinannya dan ketiga pada waktu kelahiran Sita. Ibu Nina mengajak mereka berdua masuk setelah mencium cucunya dengan puas. Sesampai di dalam wanita itu berbicara panjang kepada Nick. Sita tak tahu apa yang mereka bicarakan. Dia melihat Nick berkali-kali mengangguk tapi kemudian Nick duduk dengan lemas. Wajahnya pucat pasi. Nafasnya turun naik tak teratur

‘Nick, ada apa? Katakan Nick. Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan,’ Sita berjongkok di depan lutut ayahnya. Nick memandang Sita lama dan dalam kemudian menutup matanya kembali. Kemudian dari sela-sela bibirnya yang pias terdengar bisikan.

‘Nina telah pergi, Sita. Dua bulan yang lalu. Ada tumor dalam otaknya,’                       Nick berbicara terpatah-patah. Sudah berkali-kali Nick mengabarkan berita kematian kepada sanak keluarga dari pasiennya yang tidak dapat tertolong tapi kali ini lehernya seakan tercekat. Yang meninggal bukan pasiennya sedang yang dikabarinya juga bukan seorang yang asing baginya. Yang meninggal adalah orang yang dalam waktu tujuh tahun selalu   dijumpainya setiap kali dia terbangun dari tidur di pagi hari, yang telah memberinya kasih yang tak pernah pupus dimakan aktu juga yang bayangannya tak pernah lepas dari hati dan pikirannya. Sedang yang harus dikabarinya adalah anaknya sendiri. Oh Tuhan kenapa ini harus terjadi.

Sita memandang ayahnya tak percaya kemudian kepada ibu Nina. Wanita tua itu mengangguk pelan. Sita terhuyung ke belakang. Matanya memandang nanar dan tubuhnya bergetar hebat kemudian dia menjerit.

‘Tidak! Tidak! Tidak mungkin mama pergi. Dia belum bertemu a… ‘dan dia roboh di lantai. Anyelir merah yang dibawanya tersebar di sekitar tubuhnya. Membuat suatu figura yang mengelilingi tubuhnya yang   putih bagaikan kapas. Kalau saja pemandangan itu bukan pemandangan duka maka tubuh Sita dan anyelir merah tua akan membuat pemandangan yang indah untuk dilihat.

Nick memandang anaknya yang pingsan tanpa berusaha untuk menolong. Aku tak berani membangunkanmu, Sita. Aku tak punya sesuatu yang dapat kuberikan kepadamu jika terbangun, bahkan sebuah mimpipun tidak. Aku yang melahirkanmu ke dunia ini dengan penuh harapan agar aku bisa membahagiakan hidupmu ternyata justru akulah yang menghancurkan kebahagiaanmu. Kalau saja aku tidak keras kepala, semuanya ini tidak harus terjadi.

Nick berjongkok di sisi tubuh anaknya, menyisihkan anyelir-anyelir yang berada di sekitar pipi anaknya dan kemudian dia membungkuk dan mencium pipi Sita yang dingin bagai batu marmer. Air matanya deras membasahi pipi anaknya. Hukumlah aku, Sita. Hukumlah aku yang seberat-beratnya ! Biar agak berkurang rasa berdosaku kepadamu dan kepada ibumu. Akulah laki-laki paling kejam di dunia ini. Hukumlah aku.

AkuTak Mau Pulang, Nick

Awan tebal menutup langit kota Yogya malam itu. Hanya ada beberapa bintang yang nampak. Yogyaku muram dan angin malam menyenandungkan lagu-lagu duka. Sita duduk di bawah pohon sawo sambil memandang jauh ke depan ke tempat tukang-tukang becak berkumpul di bawah tiang listrik yang muram cahayanya. Disampingnya Nick duduk memandang anaknya sendu.

‘Sita, kita harus segera pulang. Sekolah sudah mulai,’ bisik Nick lembut.

‘Aku tidak mau pulang, Nick. Di sinilah tempatku,’ jawab Sita lirih. Suaranya seakan datang dari alam lain. Nick mencari kata-kata yang tepat. ‘Sita, tidakkah kamu rindu kepada teman-temanmu d Clayton. Rindu pada Nate dan Sue?’ Sita terpana. Sekilas terbayang wajah Nate, Sue dan yang terakhir David yang duduk di atas punggung kuda yang sedang mengucapkan kata-kata cinta untuk dirinya. Kamu berjanji untuk mempertimbangkannya, Sita. Sita menggeleng.

‘Mama menghendaki kita untuk tinggal di sini, Nick. Dan aku akan menuruti keinginan mama.’

‘Aku tidak bisa, Sita. Bagaimana dengan Rumah Sakit?’

‘Sudah banyak dokter sekarang. Tapi kalau kamu memang ingin pulang, pulanglah, Nick. Aku akan tetap berada di sini,’ Sita berbicara tanpa emosi. Tidak seperti biasanya jika dia menginginkan kemauannya untuk dituruti.

‘Sita, kamu tahu aku sangat membutuhkanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu.

‘Aku telah hidup bersamamu selama enam belas tahun penuh. Sekarang giliranku untuk tinggal bersama Mama.’

‘Tapi Nina telah tiada.’

‘Ada pusaranya, Nick. Dan aku akan merawat pusara mama. Tak ada orang lain yang melakukannya, Nick.’   Nick terdiam. Tiba-tiba terdengar panggilan dari dalam

‘Sita.’

‘Dalem, eyang,’ jawab Sita dari luar dengan bahasa Jawa yang halus. Nick memandang anaknya takjub.

‘Sudah malam, nak, mau hujan lagi, masuklah nanti   sakit.’

‘Ya, eyang,’ jawab Sita. Dia berdiri kemudian menunduk mencium pipi Nick.

‘Selamat malam, Nick,’ Nick membalas ciuman Sita dan membiarkannya pergi.

Nick masih lama duduk di luar, mengamati awan hitam yang memuramkan suasana. Kamu telah berani melahirkan anakmu, Nick. Mengapa Kamu tak berani melakukan sesuatu untuknya? Apa yang akan kamu dapati di Clayton? Tak ada sesuatupun yang tersisa di sana untukmu, Nick. Jangan kau buat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya Nick. Akankah Kamu kehilangan anakmu untuk sesuatu yang tak kau ketahui.

Nick bangkit berjalan masuk dan berbisik di depan pintu kamar anaknya.

‘Aku selalu bersamamu, Sita.’

AkuTak Mau Pulang, Nick

TAMAT

Posted on April 4, 2014, in Novelette and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: