Gotehan

Gotehan

Nita, sepupuku, menentangku ketika kukatakan aku akan menyetir mobil sendiri ke Gotehan.  Dia mengingatkan kalau aku belum terbiasa untuk menyetir di ruas jalan sebelah kiri dan menawarkan sopirnya untuk mengantarku.  Dengan tegas kutolak tawarannya.   Nita tidak kenal putus asa dan terus beragumentasi dengan panjang lebar.   Dia   baru berhenti sesudah kukatakan kalau aku ingin menghadapi masalahku seorang diri.

Namun begitu keluar dari kota Surabaya aku mulai menyesali keputusanku.   Truk-truk, bis-bis serta kendaran-kendaraan lain yang berseliweran tak beraturan benar-benar membuatku ngeri.  Menghadapi kemacetan di depan pasar Krian nyaris membuatku berputar dan mengurungkan niatku.  Untung aku segera sadar kalau jalan yang aku tempuh sudah terlampau panjang.   Aku sadar kalau kehidupanku tidak akan kembali normal sebelum aku pergi ke Gotehan.

Gotehan

Minggu lalu kehidupanku masih berjalan dengan normal.   Senin pagi aku masih menuju ke kantorku yang berada di Embarcadero, San Francisco dengan berbagai proposal investasi yang aku siapkan selama akhir pekan.  Namun kenormalran itu  seakan berhenti di depan meja Pam, resepsionis kami.  Setelah mendesahkan sapaan selamat paginya yang khas, Pam menjelaskan kalau ada seseorang yang sedang menungguku di meeting room.

‘Pam, ini baru jam setengah enam.’ protesku.  ‘Kamu tahu aku tidak pernah menerima tamu sebelum jam sembilan.’

Karena waktu New York yang tiga jam lebih awal  dibanding San Francisco, para fund manager  perusahaan-perusahaan investasi di San Fransisco,  sudah harus siaga di kantor sebelum jam enam pagi untuk menunggu saat dibukanya bursa efek di New York.  Sudah berkali-kali kuingatkan Pam, walaupun aku sudah berada di kantor aku belum mau menemui tamu sebelum jam sembilan pagi.  Tiga jam pertama biasa kumanfaatkan untuk bekerja  di depan monitor.

‘Bukan tamu biasa, Lei,’ kilah Pam,  ‘Dia saudaramu dan dia sudah menunggu lebih dari setengah jam.’

‘Saudara?  Ayolah,  Pam, aku tidak punya saudara disini.’

‘Aku yakin dia saudaramu.  Wajah kalian mirip sekali.’  Jawab Pam pasti.  Aku tidak mau berdebat lagi.  Bagi Pam semua orang berkulit coklat mempunyai wajah yang sama.  Bila bertemu orang Hawaii dia akan bilang kalau mereka mirip aku.  Bertemu orang Thailand dia bilang saudaraku.  Bertemu orang Philipina  apalagi.  Jadi waktu memasuki ruang rapat aku sudah siap untuk bertemu dengan orang yang berasal dari negara manapun.  Bahkan orang Brazil atau Argentina sekalipun.

Ternyata observasi Pam kali ini tepat. Bukannya tamuku mirip aku, tapi dia memang orang Indonesia.  Berusia sekitar empat puluhan dengan postur dan tinggi yang sedang.   Ketika melihat aku masuk ruangan dia segera meletakkan dokumen yang sedang dibacanya, berdiri dan mengulurkan tangannya ke arahku.

‘Leily ?’ tanyanya.  ‘Saya Satrio dari Kantor Pengacara Satrio, Bonar dan……’ siapa aku tidak ingat.  Mungkin gara-gara  terkejut mendengar kelanjutan  kata-katanya.

‘Saya  diminta keluarga Sukarsono untuk menemui Anda…’ lanjut Satrio pelan.  Namun yang pelan itu mampu untuk menggoncangkan diriku dengan dahsyat.  Lututku bergetar dengan hebat.  Cepat-cepat aku duduk di kursi yang terdekat.

‘Leily, Anda masih ingat kan dengan keluarga Sukarsono ?’ tanya Satrio menyalahartikan kebisuanku.  Tentu saja aku masih ingat.  Bagaimana aku bisa melupakan mereka  bila aku pernah sangat mencintai salah satu  di antara mereka.

‘Leily..?’ tanya Satrio.  Kuanggukkan kepalaku sambil menunggu kata-kata selanjutnya.

‘Apakah Anda tahu kalau Bapak dan Ibu Nugra Sukarsono sudah meninggal dunia?’ tanya Satrio tanpa ekspresi.  Aku tersentak.

‘Kenapa  ? Kapan ?’ tanyaku kaget.

‘Ibu Sukarsono meninggal tiga tahun lalu karena sakit jantung dan Bapak meninggal selang beberapa bulan kemudian karena gagal ginjal.’  Aku terpaku.   Apapun yang pernah mereka lakukan terhadapku, kabar tersebut tetap menyedihkanku juga.  Kasihan Pra..  Dia pasti sangat kehilangan mereka.

‘Sejak beliau berdua meninggal dunia, kami berusaha mencari Anda.  Semua keluarga Anda yang kami hubungi tidak ada yang bersedia memberitahu dimana Anda berada.  Keluarga Anda sangat setia.  Beberapa bulan kami sempat menghentikan pencarian kami, karena jejak yang kami telusuri berkali-kali buntu .’

‘Mengapa kalian mencari saya ?  Apakah kalian akan menuduh saya sebagai penyebab kematian mereka ?’ tanyaku defensif.  Satrio menggelengkan kepalanya.

‘Nama Anda tercantum sebagai salah seorang yang mendapatkan pekebunan cengkih di Gotehan, Jombang serta…’

‘Apa ?’ sergahku.

‘Lima tahun yang lalu Bapak dan Ibu Sukarsono membuat wasiat yang mencantumkan Anda dan Pradipta sebagai ahli waris terhadap perkebunan cengkih mereka.  Ada juga beberapa kekayaan lain diserahkan khusus untuk Anda.  Saya membawa daftarnya disini.’ Satrio menjelaskan sambil menunjuk tas kerjanya.

‘Anak-anak keluarga Sukarsono juga heran mengapa Anda masuk sebagai ahli waris.   Tidak dijelaskan alasan mengapa mereka memasukkan nama Anda.  Sekarang, dengan harga cengkih yang jatuh Pradipta berniat untuk menjual kebun tersebut.  Ada seorang pengusaha yang berniat membeli tanah tersebut untuk dijadikan hotel.  Namun, tanpa persetujuan Anda, Pradipta tidak bisa menjualnya.’

‘Saya tidak mau kekayaan mereka.  Mereka boleh melakukan apa saja terhadap kekayaan mereka.   Saya tidak peduli.  Saya akan menulis pernyataan bahwa saya menolak manjadi ahli waris mereka dan Anda bisa menjadi saksinya.’  ucapku cepat.

‘Untuk kekayaan yang lain mungkin bisa kita lakukan,’ ucap Satrio sabar, ‘tapi khusus tanah yang di Gotehan ada klausal khusus yang menyatakan bahwa Anda dan Pra– boleh bersama maupun sendiri– harus menandatangani persetujuan penjualan di depan lurah Gotehan.  Kalau saja lurah Gotehan tidak terlalu tua untuk saya ajak kesini, akan saya ajak kesini sehingga kami tidak harus menyusahkan Anda.  Pradipta berpesan kepada saya agar  kami  tidak menyusahkan Anda.’

‘Bagaima kabarnya ?’ aku tidak kuasa untuk tidak menanyakannya.

‘Pradipta ?  Oh, dia baik-baik saja.  Dia sangat sukses dalam memimpin perusahaan keluarganya,’  cerita Satrio.   ‘Sebelum berangkat kesini saya sempat makan siang di kantornya  dengan dia dan anak…’

‘Anak ?’ potongku tanpa sadar.

‘Oh, Anda belum tahu?   Pra mempunyai anak perempuan berusia empat atau lima tahunan yang sangat dibanggakannya.  Cantik mirip sekali dengan Pra…’ lanjut Satrio tanpa menyadari kebekuanku.  Tiba-tiba wajah  Anggita berkelebatan di kepalaku.   Anggi yang tidak pernah dikenal ayahnya apalagi dibanggakannya.   Hatiku seakan terhimpit batu.  Tiba-tiba muncul tekadku untuk melepaskan diriku dan Anggita dari semua ikatan masa laluku.  Aku ingin bebas sebebas-bebasnya dari pengaruh keluarga Sukarsono.  Bila untuk itu aku harus datang ke Gotehan aku akan datang.

Gotehan

Setelah beberapa kali  jip yang kupinjam dari Nita nyaris tergilas truk gandeng akhirnya sampai juga aku di depan menara air menjelang kota Jombang. Kubelokkan mobil ke kiri meninggalkan kebisingan jalan raya dengan kendaran-kendaraan kelas beratnya.  Beberapa saat kemudian aku mulai memasuki jalan desa yang mulus yang diteduhi rindangnya pohon-pohon yang berjajar di kiri dan kanannya.  Hanya sesekali mobilku berpapasan dengan sepeda motor dan gerobag sapi

Tanpa kusadari anganku membawaku kembali ke masa lampau. Ke masa ketika aku masih begitu naif.  Masa ketika  duniaku berputar di sekeliling Pra. Masa dimana Pra mengajakku melewati jalan-jalan desa ini sambil mengunyah kacang rebus yang kami beli di mulut pinto tol Mojokerto. Sambil sesekali kami ikrarkan cinta dan kesetiaan.

Setamat sekolah aku bekerja di bagian Marketing Perusahaan Keluarga Sukarsono, salah satu perusahaan terbesar di Surabaya.     Pada waktu itu  Perusahan memegang lisensi beberapa sepatu olahraga dari Korea dan sedang mencoba menjajagi kemungkinan untuk sepatu kulitnya.   Karena aku seorang akuntan dan lumayan dalam menulis proposal aku dilibatkan di dalam team Pradipta yang bertanggung jawab terhadap Pengembangan Perusahaan.  Kami sering mengerjakan proyek bersama.

Lama kelamaan, hubungan yang tadinya bersifat profesional berubah menjadi pribadi.  Sangat pribadi.  Agar tidak menjadi gunjingan di kantor, Pradipta meminta agar hubungan kami dirahasiakan. Aku menurutinya.  Pradipta menjelaskan kalau dia tidak bisa mengajakku jalan-jalan di Surabaya karena takut ketahuan orang.  Aku memahaminya.   Sebagai gantinya setiap akhir pekan Pradipta mengajaku menyusuri jalan-jalan desa ini menuju perkebunan cengkihnya.

Alangkah bodohnya aku.  Tentu saja Pradipta tidak menginginkan hubungan kami diketahui orang.  Dia sudah bertunangan dan akan kawin dalam waktu dekat.   Sayangnya aku terlambat mengetahui hal tesebut.    Sangat terlambat.

Seumur hidupku aku tidak akan pernah melupakan hari itu.  Saat itu Pradipta sedang berada di Jepang.  Dari Jepang dia mengabarkan kalau Perusahaan kami telah memenangkan tender. Ayah Pradipta merayakan keberhasilan tersebut dengan mengundang kami semua makan malam bersama keluarganya di rumah mereka.

Pada saat kami tengah menikmati hidangan, Pak Nugra memperkenalkan anggota keluarganya.  Sebagai wakil dari Pradipta yang belum pulang, dia memperkenalkan calon istri Pradipta.  Ratih.  Wanita yang sangat cantik, anggun dan nampak sangat dewasa.  Wanita yang pas sekali dengan Pra.

‘Tiga bulan lagi Pradipta dan Ratih akan melangsungkan perkawinan mereka.  Kami harap kalian semua bisa menghadirinya.’ Pak Nugra mengakhiri sambutannya dan sekaligus mengakhiri hidupku.

Kepedihanku tidak berhenti disitu.  Usai makan malam, pak Nugra meminta aku untuk tinggal.  Kemudian di depan istri,  anak-anak dan calon menantunya dia mengatakan kalau Pradipta telah meminta dia untuk menyampaikan kepadaku agar aku tidak salah menafsirkan perhatian Pradipta.  Pradipta tidak pernah mencintaiku dan berharap agar aku tidak mengejar-ngejar dia lagi.

‘Kami mengerti perasaanmu, Leily.’ ucap ibu Pradipta manis tapi berbisa.  ‘Untuk menghindari rasa malumu di depan teman-teman kantor, mulai besok kamu tidak perlu ke kantor lagi.  Pak Nugra telah menyuruh bagian penggajian untuk mentransfer gaji terakhirmu serta sekedar uang jasa yang dapat kamu pergunakan untuk biaya hidup sebelum kamu mendapatkan pekerjaan lain……’ Aku tidak mendengar kelanjutan kata-katanya.  Aku berlari dan berlari tanpa pernah menoleh lagi.

Enam bulan kemudian kulahirkan Anggita.


Gotehan

Jalan di depanku mulai menanjak dan berkelok.  Kumatikan AC mobil dan kubuka jendela lebar-lebar.  Kubiarkan angin pegunungan yang lembut membelai rambutku.  Sebutir air mata bergulir di pipiku.  Oh, betapa aku mencintai tempat ini.

Karena tidak mengetahui dimana rumah lurah Gotehan, mobil kuarahkan langsung ke rumah kebun keluarga Sukarsono.  Aku akan meminta ibu Warti, perawat rumah itu untuk mengantarku ke rumah pak lurah.

Rumah kayu di atas bukit  berlatar belakang rimbunnya hutan cengkih itu masih persis seperti yang kuingat.  Rasa-rasanya baru minggu lalu aku dan Pra menghabiskan waktu kami disitu.

Kuparkir mobilku di tempat pengeringan cengkih.  Begitu aku meloncat dari mobil, entah dari mana munculnya, ibu Warti telah berdiri di depanku.

‘Non Leily, saya tidak percaya kalau Non benar-benar datang.’ isaknya dengan mata berkaca-kaca.  ‘Mas Pra meminta saya membersihkan dan menyiapkan kamar untuk Non.  Katanya sewaktu-waktu  Non akan datang.’

‘Mas Pra sering kesini ?’

‘Enggak, Non.  Sejak Non pergi mas Pra enggak pernah kesini lagi.’ jawab bu Warti.  ‘Tiba-tiba minggu lalu mas Pra muncul dan bilang kalau Non akan datang.’

Sesudah ditelpon Satrio, pikirku.

Setelah selesai meributkan aku yang tidak membawa koper dan tidak berniat untuk tinggal lama di Gotehan, bu Warti  menuntunku memasuki rumah  Kalau dari luar rumah itu nampak tidak berubah, ternyata di dalamnya banyak perubahan.  Di salah satu sisi ruang tamu yang tadinya hanya jendela-jendela kecil sekarang telah berubah menjadi kaca besar sehingga dengan bebas dapat memandang keluar.  Pohon-pohon cengkih yang tadinya menghadang di depannya sudah ditebang diganti dengan hamparan padang rumput.  Dari tempatku berdiri aku bisa memandang ke bukit seberang.  Di atas bukit seberang ada sebuah rumah peristirahatan dengan kolam renang infinity di bibir tebing.

‘Non, ini ada titipan surat dari ibu,’ ibu Warti muncul kembali memecahkan keheningan.  ‘Ibu berpesan kalau saya harus menyimpan surat ini baik-baik dan hanya memberikannya kepada Non’ lanjutnya sambil mengangurkan sebuah amplop.

‘Kapan diberikannya ?’

‘Sebulan sebelum beliau wafat.’ jawab bu Warti.  Aku duduk dan pelan-pelan kubuka surat tersebut.  Surat dengan tulisan tangan yang indah.

Gotehan

 Leily, anakku (kalau engkau mengijinkan aku untuk memanggilmu demikian)..

Sebenarnya aku berharap dapat mengatakan ini semua langsung kepadamu.  Tapi dengan kondisi kesehatanku yang semakin memburuk, aku tidak yakin kalau Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu lagi denganmu.  Namun aku percaya suatu saat nanti kamu akan datang ke Gotehan dan membaca suratku ini.

Pertemuan kita yang terakhir telah berubah menjadi tragedi.  Bukan hanya untukmu, Leil, tapi juga untuk keluarga kami.  Kami telah lancang mencampuri urusan pribadi kalian.   Kami merasa kamilah yang paling tahu apa yang akan membuat Pradipta berbahagia.  Kami sadar tidak ada alasan apapun yang dapat membenarkan tindakan kami terhadap kalian berdua.

Sewaktu Pra pulang dan mengetahui apa yang terjadi, hidupnya berakhir disitu.  Baginya matahari tidak pernah bersinar lagi.  Seketika Pra menjadi orang asing bagi kami.  Tanpa emosi sama sekali.  Kalau dia marah kepada kami dia tidak tunjukkan kemarahannya.   Tapi sejak saat itu kami tidak pernah lagi mendengar tawa dan candanya.  Kami tidak bisa meraih hatinya. 

Pernah kusarankan kepadanya untuk mencarimu.   Dia tidak mau.  Dia bilang kalau kau benar-benar mencintainya dan mempercayainya, kamu tidak akan meninggalkannya.

Kami tidak menyalahkanmu, Leil.  Kamu masih begitu muda dan kami terlalu kejam terhadapmu.

Karena Pra tidak mau mencarimu, maka aku dan ayah Pra melakukannya untuknya.  Ternyata mencarimu sangat sulit..  Keluargamu tidak ada yang bersedia berbicara kepada kami.   Permintaan maaf kami yang bertubi-tubi tidak menggemingkan mereka.  Itu merupakan awal dari kecurigaan kami kalau hubuganmu dengan Pra lebih dalam dari dugaan kami.

Dari bu Warti kami mendengar kalau kamu dan Pra sering menghabiskan waktu kalian di Gotehan.  Gotehan merupakan rumah cinta kalian berdua.  Firasatku mengatakan kalau pada waktu kamu meninggalkan Surabaya, kamu tengah mengandung anak Pra, cucu kami.

 Aku hampir gila memikirkan itu.  Setelah aku mengemis ribuan kali dan penyakit mulai menggerogotiku, akhirnya ibumu mau mengatakan kalau kamu telah melahirkan anak perempuan.  Tanpa informasi mengenai nama anakmu, dan dimana kamu dan cucuku berada.   Ibumu juga meminta kami untuk tidak mengatakan hal itu kepada Pradipta.   Beliau meminta kami untuk tidak mengganggu ketenanganmu.

Aku hormati permintaan itu, walau dengan hati yang sangat berat.  Ingin rasanya aku menuntut, tapi setelah apa yang kami lakukan terhadapmu apakah kami masih mempunyai hak ?

Leily, anakku..

Sampai saat ini Pra belum tahu mengenai anak kalian.   Aku pulangkan hal itu kepadamu..  Walaupun aku ingin Pra mengetahuinya, mungkin kamu punya alasan untuk tidak melakukannya.  Mungkin pada waktu kamu baca surat ini baik kamu dan Pra sudah punya keluarga sendiri-sendiri.  Dan untuk kebaikan semua orang kamu memilih untuk melupakan semua masa lalu.  Aku hormati itu.

Tapi, Leil, aku dan ayah Pra tahu kalau kami mempunyai cucu.  Kami ingin meninggalkan sesuatu untuknya. Jangan kamu tolak pemberian kami.  Dan mengenai Gotehan….Aku tahu tempat ini akan selalu mempunyai arti khusus bagimu.  Kami memberikannya untukmu dan Pra.

Harapanku yang terakhir, Leil, kamu bisa memaafkan kami semua

Nenek anakmu.

Gotehan

Kucoba untuk mengevaluasi perasaanku setelah membaca surat ibu Pra.  Tidak ada.  Kosong.  Hampa.  Bahkan rasa benci, dendam ataupun sebercik kepuasan yang kuharapkan muncul, ternyata tidak muncul.  Apakah aku sudah terbebas dari masa laluku?

Kuhembuskan nafas panjang dan berdiri termenung di depan jendela.  Rumah peristirahatan di bukit seberang kelihatan cantik.  Perkebunan ini akan segera berubah menjadi rumah-rumah peristirahatan cantik seperti itu, pikirku.

‘Rumah di seberang itu rumah mas Pra ?’ cerita ibu Warti,  ‘Waktu kesini minggu lalu Mas Pra bilang kalau dia akan segera memboyong istri dan anaknya.’

‘Saya kira tanah ini akan dijual untuk dijadikan hotel,’ bisikku.

‘Mas Pra tidak akan mengijinkannya.  Dia menyayangi tempat ini.’

‘Sekarang siapa yang tinggal di tempat itu?’ tanyaku

‘Tidak ada.’  sahut bu Warti.

Tiba-tiba muncul keinginanku untuk mengintip tempat itu.  Aku ingin tahu tempat seperti apa yang disiapkan Pra untuk istri dan anaknya.  Setelah itu aku akan memberikan bagian tanahku untuknya dan benar-benar berlalu dari hidupnya.

Pelan-pelan kudaki bukit untuk menuju ke rumah Peristirahatan Pra.  Aku muncul di samping kiri kolam renang dan langsung berhadapan dengan rumpun anyelir yang sedang berbunga lebat. Aku meneruskan perjalanan menuju teras dengan dipan kayu dan bantal-bantal hiasnya.  Tiba-tiba pintu teras terbuka lebar dan di depanku berdiri Pradipta.  Pradiptaku dulu.  Duniaku tiba-tiba berputar keras.  Aku jatuh sempoyongan dan Pra menangkapku.

‘Jangan berani pingsan sekarang.’  ancam Pra sambil mendudukkanku di dipan.  ‘Banyak yang harus kita bicarakan.  Sesudah itu kamu boleh tidur sesukamu.’ lanjutnya.  Pelan-pelan kubuka mataku.  Pra duduk dekat sekali di sampingku sambil memandangku kuatir.  Kulihat kerinduan di matanya.  Pelan-pelan senyumnya terkuak.

‘Selamat datang kembali ke rumah, Leil. ‘ bisiknya.  ‘Kamu pergi terlalu lama.  Anggi dan aku sangat merindukanmu.’

‘Anggi  ??’ aku tersentak kaget  ‘Kamu tahu tentang Anggi ??’  Pra tersenyum sedih sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

‘Secara kebetulan.’ ucap Pra.  ‘Suatu hari adikku Rini bertemu Nita di Tunjungan Plaza sedang jalan-jalan dengan Anggi.  Begitu melihat Anggi yang mirip aku, Rini segera menyadari kalau Anggi adalah anakku.  Rini melaporkannya kepadaku.  Waktu kutemui Nita membantah dan berkeras kalau Anggi adalah anak kandungnya.   Setelah aku yakinkan dan berjanji kalau aku tidak akan mengambil Anggi tanpa persetujuanmu, barulah Nita menyerah.  Aku juga meminta Nita untuk memberitahu kamu kalau aku sudah tahu semuanya.  Melihat reasksimu tadi, aku rasa Nita tidak pernah memenuhi permintaanku.  Kamu belum tahu kalau aku sudah mengetahui tentang Anggi dan Anggi sering menginap di rumahku’

‘Bagiamana reaksi istrimu ?’ tanyaku kuatir.

‘Istri ?’ ulang Pra diikuti tawanya yang nyaring.  ‘Kamu pikir aku akan kawin dengan orang lain selain dirimu ?’

‘Bu Warti bilang kalau kamu akan segera memboyong istri dan anakmu kesini..’ ucapku.

‘Benar.  Aku akan memboyong kamu dan Anggi kesini, Leil.’ bisiknya.  ‘Kalau kamu mau.’

Tentu saja aku mau.

Posted on March 21, 2014, in Short Stories and tagged , , , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: