Blog Archives
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Keenam)
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota Daytona dan tinggal di sebuah hotel dekat pantai. Di sini dia berkenalan dengan Michelle, seorang peragawati.
Karena kebetulan, Lucy berkenalan dengan Mark Wayne, seorang mahasiswa yang bekerja musiman sebagai penjaga pantai. Mark berusaha bersahabat dengan Lucy, namun Lucy enggan, mengingat pesan Michelle bahwa semua penjaga pantai adalah play boy. Pandangan Lucy berubah, ketika pemuda itu menyelamatkan seorang anak yang hampir tenggelam di pantai.
Michelle menikah dan Lucy sendiri di hotel. Ia kesepian, tetapi Mark sering menemaninya, bahkan dia sudah mengutarakan cintanya. Ternyata Mark tahu kalau Lucy adalah saudara kembar David, temannya sekampus. David juga kenal seluruh keluarga Stanton, karena pertaniannya bersebelahan dengan pertanian keluarga Stanton. Mark juga membuka rahasia kalau Irene adalah adik Lucy, hasil perselingkuhan ayahnya dengan Mimo, adik perempuan Batista bersaudara. Perselingkuhan yang telah menyebabkan perceraian kedua orang tua Lucy dan David.
‘Kamu bohong,’ desisku tidak yakin. Aku mulai ragu. Kalau mendengar nada suara Mark, aku yakin dia telah berkata jujur, tapi untuk mempercayai Irene adalah adikku, anak ayahku, hatiku masih belum mau menerima. Mark memandangku lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Seakan melalui kediamannya dia ingin meyakinkan hatiku.
‘Mark, katakanlah kalau kamu bohong,’ pintaku. Mark menggelengkan kepalanya.
‘Jadi …jadi … Irene benar-benar adikku? Irene anak papa? Oh… tahukah papa tentang hal ini? Mengapa Irene tidak pernah menyinggung-nyinggung tentang ini? Mengapa? Mengapa, Mark?’ jeritku tak menentu. Mark menangkap bahuku kemudian mendekap tubuhku erat.
‘Lucy, tenang,’ bisik Mark lembut.
‘Irene adalah adikku. Dia adikku,’ bisikku berkali-kali.
‘Jangan salahkan Irene, Lucy. Dia tidak berdosa. Dia datang ke keluarga Stanton tanpa maksud buruk. Dia hanya ingin melihat orang yang menyebabkan dia ada di dunia ini. Dia tidak ingin menuntut apa-apa dari keluargamu. Itulah sebabnya tidak seorang pun yang mengetahui siapa dia sebenarnya. Tidak juga ayahmu,’ Mark menerangkan. Bayangan Irene berkelebat dalam otakku. Wajah murungnya. Ketertutupannya. Tatapan sendunya. Semua itu mendukung kebenaran cerita Mark.
Lama sekali Mark membiarkan aku tenggelam dalam alam pikiranku yang serba ruwet. Nasibku sendiri masih tidak menentu, kini harus di tambah dengan persoalan Irene. Alangkah malangnya anak itu.
‘Lucy,’ panggil Mark.
‘Mark, aku harus mencari Irene,’ kataku cepat. ‘Walau bagimana pun dia adalah adikku. Aku takut sesuatu yang buruk telah terjadi padanya. Dan lagi Irene berhak mendapatkan pengakuan dari Papa. Terlepas apakah Papa mau atau tidak. Papa harus bertanggung jawab,’ lanjutku berapi-api. Mark tersenyum lega. Sejak tadi dia kuatir aku akan mengutuk Irene karena dia (maksudku ibunya) telah menghancurkan keluargaku.
‘Jangan kuatir, Lucy, Irene pasti selamat. Dan Manuel tahu dimana dia berada,’ sahut Mark menenangkanku. ‘Sekarang bagaimana dengan dirimu sendiri. Kamu tidak akan tinggal di hotel ini untuk selamanya bukan?’ tanya Mark.
‘Aku tidak tahu, Mark. Aku tidak tahu.’
‘Bagaimana kalau kita pulang ke Kentucky?’ usul Mark.
‘Mark, jangan masukkan ide gila itu ke dalam otakmu. Aku tidak akan kembali ke Stanton lagi,’ protesku.
‘Aku tidak menyuruh kamu kembali kepada ayahmu. Aku bilang kita kembali ke Kentucky. Ke rumahku. Aku yakin Mommy, Daddy dan adik-adikku akan senang menerima calon istriku. Bagaimana? Setuju?’ tanya Mark. Kutatap dia lama sebelum menjawab.
‘Aku menunggu, Lucy,’ ucap Mark. Dan tanpa kusadari, kepalaku telah mengangguk dengan sendirinya. Sekejab kulihat mata Mark berbinar cerah. Hanya sekejab karena setelah itu Mark memelukku sehingga tidak memungkinkan bagiku untuk melihat ke dalam matanya.
Sambutan keluarga Mark benar-benar bukan main! Aku tidak pernah memimpikan adanya keluarga yang akan merangkulku sedemikian hangat. Dari si bungsu Eric, sampai ke Grannie Sally, begitu gembira menerima kedatanganku, seakan sejak dulu aku adalah bagian dari kelurga ini, yang telah menghilang untuk beberapa tahun dan kini kembali ke pangkuan lagi. Semua orang menyuguhiku kasih sayang dengan cara yang bermacam-macam. Grannie mulai merajut sweater untukku dalam menghadapi musim dingin nanti. Bahkan dia mulai merancang kaos tangan yang akan kukenankan pada pesta perkawinan dengan cucunya. Daddy menunjukkan perhatiannya dengan menggodaku terus menerus. Mommy mendekatiku melalui pendekatan batin yang lembut, melalui sikap keibuannya. Tonny dan Eric berusaha memasukkan aku ke dalam hidup mereka melalui kegiatan-kegiatan, cerita-cerita hangat dan perhatian mereka yang tulus. Sedang Mark menunjukkan cintanya melalui kedua matanya. Bila dia sudah menatapku, aku merasa siap untuk menghadapi segala tantangan hidup.
Hari demi hari kulalui dengan ceria. Kehidupan macam inilah yang sejak dulu ingin kumiliki. Menjadi bagian dari sebuah keluarga. Walau belum lagi ada ikatan resmi antara aku dan Mark, tapi aku adalah bagian dari keluarga Wayne ini. Aku adalah anak gadis satu-satunya dari keluarga Wayne. Aku dan Mark telah memutuskan untuk tidak menikah dulu sebelum usiakku genap dua puluh tahun. Kami sama-sama menyadari bahwa kami belum siap untuk mengarungi kehidupan rumah tangga, walau rasanya cinta kami yang menggunung cukup kuat untuk menahan serangan badai yang bagaimanpun besarnya.
Untuk sementara ini Mark akan melanjutkan kuliahnya dan aku sendiri pun juga sedang bersiap-siap untuk mendaftar pada sebuah college. Tidak ada lagi keinginan untuk masuk Universitas, apalagi Cincinnati. Kemungkinan berpapasan dengan David terlalu besar, sedang untuk keluar dari perkebunan Wayne saja aku tidak punya keberanian kecuali di malam hari. Ruang gerakku hanyalah di perkebunan Wayne, tapi cukup untuk membuatku sibuk sepanjang hari.
Sebegitu jauh aku belum mendengar kabar tentang Irene. Aku sudah yakin bahwa dia adikku. Malam ini Mommy telah menceritakan semua tentang Mama kepadaku. Mama mengalami kesukaran ketika mengandung aku dan David sehingga harus sering tinggal di Rumah Sakit. Pada saat sedang dalam kesulitan itu datanglah Mimo, teman kuliah Mama meminta ijin untuk mengadakan riset di perkebunan Stanton. Tanpa prasangka apapun Mama menerima Mimo, karena Mimo toh sahabat Mama. Ketika Mama melahirkan aku dan David, terjadilah apa yang sebenarnya tak boleh terjadi. Papa mengkhianati Mama! Mama tidak bisa memaafkannya. Dia terlampau mencintai Papa dan cinta Mama yang terlampau besar itulah yang akhirnya meracuni Mama.
Segala rintangan telah Mama hadapi dengan gigih untuk bisa mendampingi Papa, termasuk harus kehilangan keluarganya, karena keluarga Mama tak pernah menyetujui perkawinan itu. Mama telah berkoban terlalu besar. Tapi apa yang Mama peroleh dari pengorbanan itu? Selagi dia berjuang untuk menghidupi dua bocah buah kasih mereka, suaminya tengah main gila dengan sahabatnya. Demi aku dan David mama berusaha untuk bertahan. Tapi khirnya pertahanan itu hancur dan terjadilah perceraian itu. Perceraian yang menyebabkan keluarga Stanton terbagi.
‘Bagaimana dengan Mimo?’ tanyaku.
‘Mimo segera pergi dari perkebunan Stanton begitu dia merasa ibumu telah mencium hubungannya dengan ayahmu. Dan dia tak pernah muncul-muncul lagi sejak itu. Ternyata di meninggal ketika melahirkan Irene ke dunia,’ jawab Mommy. Aku tepekur. Kasihan Irene. Dia yang tidak berdosa harus mengalami nasib yang malang sejak dia dilahirkan.
‘Tahukah Papa bahwa Irene anaknya?’ tanyaku. Mommy menggeleng beberapa kali.
‘Ayahmu benar-benar bertaubat sejak itu. Tapi perkawinannya terlanjur tidak bisa lagi dipertahankan. Dia sebenarnya sangat mencintai ibumu. Hanya ibumulah satu-satunya wanita yang pernah singgah di hatinya. Ayahmu benar-benar terpukul dengan perceraian itu. Tahun-tahun pertama dia sama sekali tidak acuh dengan dirinya sendiri juga dengan David. Kerjanya hanyalah mengutuk dirinya sendiri karena telah melukai hati ibumu. Georgie dan Clemmielah yang menjalankan bahtera oleng itu,’ cerita Mommy. ‘Ayahmu baru sadarkan diri sesudah mendengar ibumu telah kawin lagi.’
‘Menurut saya, Mommy, Papa bukannya menyesali diri, lebih tepat kalau dikatakan Papa dendam terhadap Mama karena Mama tega meninggalkan David dan Papa,’ selaku.
‘Mengapa kamu berpikiran semacam itu, Lucy?’ tanya Mommy.
‘Kalau Papa ada sedikit saja perhatian terhadap Mama, mengapa Papa tak sekali pun menanyakan keadaan Mama?’
‘Oh, Lucy, menyebut nama ibumu pun, ayahmu merasa tidak pantas apalagi menanyakan keadaanya.’
‘Lalu alasan apa yang tepat untuk mengatakan pengusiran Papa terhadapku? Cinta kepada Mama?’
‘Pengusiran?’ tanya Mommy heran.
‘Mommy, saya pergi dari rumah itu karena Papa tidak menghendaki saya berada di situ,’ aku menjelaskan pelan.
‘Bukan karena David? Bukankah kalian bertengkar?’ tanya Mommy tak percaya. Kugelengkan kepalaku.
‘Well … e … e … memang saya dan David tidak bisa akrab. Tetapi itu tidak cukup untuk membuat saya minggat. Papa menginginkan saya kembali kepada Mama, tetapi saya tidak bisa melakukan itu. Terlalu berat bagi Mama.’
‘Lucy, kamu yakin dengan apa yang kau katakan? Aku tidak bisa mengerti mengapa Bill, ayahmu, bisa berbuat seperti itu?’ Mommy bertanya dengan wajah yang bingung.
‘Mommy, saya pun tidak bisa mengerti. Tak pernah bisa. Papa tidak sanggup untuk mengasuhku. Itu saja yang dikatakan Papa.’
‘Tapi ayahmu begitu bahagia waktu menanti kedatanganmu,’ bantah Mommy. ‘Dia ceritakan kepada semua orang yang dikenalnya bahwa anak perempuannya akan kembali kepadanya.’
‘Tapi itulah yang dilakukan Papa. Memberiku uang setas penuh dan menyilahkan saya untuk angkat kaki dan mengatakan antara saya dan Stanton sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi.’
‘Lucy, I can’t believe it!’ teriak Mama. ‘Bill mengatakan itu semua kepadamu? Apakah kamu mendengarnya? I just can’t believe it.’
Ya semuanya memang sulit untuk di percaya, tapi itulah kenyataan yang menimpaku.
Tidak kujumpai seorang pun di rumah ketika aku terbangun di pagi hari. Semua ruang telah kumasuki tapi semuanya lengang. Ke mana mereka semua.
‘Eric! Tonny!’ panggilku dari pintu ruang bawah, karena biasanya mereka sedang mengerjakan tugas musim panas mereka di lantai bawah. Tidak kudengar sahutan.
‘Eric!’ panggilku lagi sambil berlari keluar. Aku bertubrukan dengan Mark di depan pintu. Dia menangkapku kemudian menciumku ringan.
‘Siapa yang kamu cari sweetheart?’ tanyanya.
‘Di mana semua orang, Mark? Sepi sekali?’
‘Ada di Louisville Fair Ground, untuk mempersiapkan pasar malam. Masa kamu lupa? Kamu sudah di beritahu kan?’ Mark menerangkan. Aku Cuma bisa geleng-geleng kepal menyadari kealpaanku. Berkali-kali mereka sudah membicarakan mengenai pasar malam tahunan ini. Bahkan tadi malam di meja makan mereka berdiskusi seru mengenai stan pameran mereka dan apa saja yang akan mereka gelar di sana.
‘Hei, ada berita gembira untukmu,’ seru Mark, ‘Aku sudah menemukan alamat Irene.’
‘Mark?’ tanyaku untuk meyakinkan. Mark mengangguk mantap.
‘Antarkan aku ke sana Mark,’ pintaku.
‘Tentu sweetheart, tentu. Tapi aku harus balik ke fair ground dulu mengantarkan benih-benih. Atau kamu mau ikut?’ Mark menawarkan.
‘Ikut?’ ulangku sambil menggeleng. Begitu banyak orang yang berada di sana dan terlalu besar resikonya.
‘Aku segera kembali,Lucy,’ pesan Mark sebelum pergi lagi. Begitu Mark berlalu aku segera menuju ke kamarku untuk ganti baju. Tetapi belum lagi sepuluh menit kudengar suara mobilnya berhenti di depan rumah. Cepat amat, pikirku sambil berlari turun.
‘Kok cepat amat Mark, belum lagi a …’ dan kata-kataku berhenti di ujung lidah. Yang berdiri di depanku bukan Mark. Tetapi dia adalah orang yang selama ini kutakutkan untuk berjumpa. David Stanton. Ya dia adalah David dengan matanya yang sangat amat dingin. Tubuhku bergetar hebat.
‘Apa yang kau inginkan?’ tanyaku serak.
‘Ikut aku!’ perintah David dingin.
‘Apa?’
‘Ikut aku!’ ulang David sambil manarik tubuhku ke luar. Aku meronta, tapi cengkraman David pada pergelangan tanganku terlampau kencang sehingga sia-sia sajalah usahaku.
‘Lepaskan aku! Lepaskan aku!’ protesku berkali-kali. Tetapi telinga David seakan sudah tuli, dia terus saja menyeretku menuju mobilnya. Dibukanya pintu mobil dan dengan kasar dia mendorongku untuk duduk di kursi penumpang. Sebelum dia menuju ke tempat duduk kemudi dia menekan tombol otomatis yang diset untuk anak-anak sehingga tidak mungkin dibuka dari dalam. Tidak bakal ada kesempatan bagiku untuk meloncat turun selagi dia asyik dengan kemudinya.
Mobil David melaju meninggalkan perkebunan Wayne. Sementara itu aku tak henti-henti memuntahkan makian dan kata-kata kotor ke arahnya. David tak menggubrisku. Mulutnya tetap terkatup rapat dan tulang-tulang rahangnya yang kuat mencerminkan kekerasan hatinya. Aku putus asa.
‘Kamu tidak berhak melakukan ini terhadapku. Kamu bukan apa-apaku. Aku bebas menentukan apa-apa yang ingin kujalani dalam hidup ini. Demi Tuhan aku sangat membencimu. Kalau toh di dunia ini hanya ada dua orang, kamu dan aku, aku tetap tidak akan sudi bertegur sapa denganmu. Aku terlampau amat sangat membencimu. Camkanlah itu, Master Stanton!’ kataku menutup omelanku karena aku menyadari hati David tak akan tergugah dan memulangkanku ke perkebunan Wayne lagi. Aku sudah pasrah. Apapun yang akan terjadi, terjadilah. David menoleh ke arahku sejenak tapi tak berucap apa-apa.
Oh, Mark pasti akan segera menyadari kepergianku. Tahukah dia kalau David telah membawaku, pikirku sedih. Hampir saja aku berjumpa dengan Irene, tapi kini David telah menghancurkan harapanku. Mengap David selalu memadamkan impian indahku?
Aku berdiam diri sesudah itu sambil menatap hutan-hutan buatan di sepanjang highway. David terus saja melaju meninggalkan negara bagian Kentucky dan masuk ke Ohio. Mobilnya berjalan kencang seakan tak ’kan pernah berhenti. Ternyata tiba pula saatnya bagi dia untuk menghentikan mobil itu yaitu di Akron untuk mengisi bensin.
‘Mau ke toilet dulu, Lucy?’ tanya David pelan sesudah tangki mobil terisi penuh. Aku terkejut mendengar nada suaranya yang lain. Tapi hanya sejenak. Cepat-cepat kugelengkan kepalaku sebagai jawabannya. Kembali dia menjalankan mobilnya.
Kami berhenti lagi di Pittsburg untuk makan siang. Kami duduk berhadap-hadapan di sebuah meja kecil, tapi hati kami ribuan mil jaraknya. Tragisnya hidup ini. Dia saudara kembarku. Sembilan bulan lebih kami meringkus di rahim yang sama. Tetapi mengapa aku tidak pernah bisa mendekati hatinya?
‘Apa yang akan kau lakukan terhadapku, David?’ tanyaku tidak segeram tadi. David mengangkat wajahnya, matanya tidak sesadis pagi tadi kemudian dia menggelengkan kepalanya pelan.
‘Kamu harus kembali ke Indonesia,’ desahnya.
‘Apa bedanya aku berada di sini dan aku berada di Indonesia?’ tanyaku berusaha tenang. ‘Aku tidak akan mengganggumu. Bukankah seperti katamu dulu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi antara aku dan Stanton. Aku tidak mengenakan nama Stanton lagi.’
‘Tidak!’ bantah David. ‘Lebih baik bagimu untuk tetap berada di Indonesia.’
‘David, aku tidak akan …,’ kataku berusaha protes tetapi David sudah beranjak dari kursinya dan mengajakku segera pergi.
‘Jadi kamu akan mengantarku pulang ke Indonesia?’ tanyaku setelah kembali berada di dalam mobil.
‘Ya, sampai JFK, New York,’ jawab David. Tiba-tiba aku menyadari bahwa aku tidak membawa paspor.
‘Kamu tidak akan bisa mengeluarkanku dari Amerika,’ seruku sambil tertawa. David menoleh.
‘Mengapa tidak?’ tantangnya.
‘Pasporku tertinggal di rumah Wayne.’
‘Tidak jadi masalah,’ jawab David tenang. ‘Kita pergi dulu ke kedutaan besar Indonesia di Washington dan melaporkan bahwa paspormu telah hilang.’ Aku terdiam. David telah mempersiapkan segalanya dengan matang. Semua gertakanku tidak mempan baginya.
‘David, mengapa tak kamu kembalikan saja aku ke keluarga Wayne? Aku berjanji tak ’kan mengusikmu,’ bujukku merubah siasat.
‘Itu pantangan terbesar bagiku. Wayne adalah saingan Stanton yang paling besar.’
‘Mereka begitu baik tehadapku.’
‘Itu karena kamu sedang jatuh cinta. Sejak dulu kala sudah terjadi persaingan antara Stanton dan Wayne. Bahkan dulu Papa dan Mr. Wayne bersaing hebat dalam memperebutkan Mama,’ ucap David bangga. Aku terperanjat mendengar dia mengalamatkan Mama bukan ‘ibumu’.
‘Ah, Mr. Wayne sudah melupakan peristiwa itu,’ belaku.
‘Omong kosong,’ bantah David, ‘Mereka tetap dendam terhadap Stanton, apalagi setelah Deidre akrab denganku.’
‘Apa hubungannya Deidre dengan Wayne?’
‘Dia adalah satu-satunya gadis yang dicintai Mark.’
‘Tidak mungkin. Mark mencintai aku.’ sanggahku seketika.
‘Tidak sadarkah kau, Lucy, bahwa Mark berusaha membalas dendam melalui dirimu. Dia sangat mencintai Di tapi Di telah menolaknya. dan mendekatimu. Walau bagaimanapun juga kamu mempunyai darah Stanton. Mark berharap dengan melukai hatimu, dia juga melukai Stanton.’
‘Kamu bohong!’ geramku.
‘No, Lucy, no. Aku sungguh-sungguh. Sebelum kamu terlalu dekat dengan Mark, maka sebaiknya kamu menjauh. Dia tidak bersungguh-sungguh terhadapmu. Percayalah aku.’
‘Apa maksudmu dengan sebelum aku terlalu dekat dengan Mark? Aku sudah terlalu dekat dengan Mark. Aku dan dia sudah kawin dan saat ini aku sedang mengandung anaknya, anak yang berdarah Wayne,’ ucapku ingin melihat reaksinya.
‘Apa?!!!’ gelegar David.
‘Kamu telah mendengarnya tadi,’ jawabku berbohong lagi.
‘Oh God, no!’ desis David menyerupai sebuah erangan. Wajahnya mendadak menjadi pucat pasi dan dadanya turun naik tidak teratur. Aku tertegun, apalagi setelah melihat ke dalam matanya. tidak ada lagi ketegaran dan keangkuhan di sana. Mata itu menggambarkan hati yang sangat terluka, tiada gairah hidup yang ada hanyalah kekecewaan seakan dia telah menderita kekalahan total.
Tiba-tiba kulihat sebuah truck yang memasuki highway dengan kecepatan tinggi. David tidak melihatnya.
‘David, awas!!’ teriakku memperingatkan. David berusaha menguasai kemudi. Tetapi aku melihat tubuh dan tangan David bergetar. Dia masih shock dengan keteranganku tadi. Dia berusaha keras untuk menghindari tabarakan tanpa memperhitungkan bahwa di depan kami ada sebuah tikungan yang amat tajam. David menginjak rem dengan mendadak. Terdengar bunyi jeletit rem yang keras. Terlambat!! Mobil kami berguling dan kuteriakkan namanya sebelum sekelilingku menjadi gelap pekat. Aku tak sadarkan diri.
‘Lucy … Lucy … kamu sudah bangun?’ sayup-sayup kudengar sebuah pertanyaan dari suara yang asing. Ingin sekali aku membuka mata dan melihat siapa yang bertanya. Tidak berhasil.
‘Lucy, are you awake?’ kembali suara itu mengiang. Aku berusaha makin keras untuk membuka mataku.
‘Lucy, kamu mendengar suaraku?’ pertanyaan itu makin gencar. Hampir. Mataku hampir terbuka. Dan ketika mata ini terbuka kulihat siapa pemilik suara itu. Seorang laki-laki setengah baya berpakaian serba putih. Rumah sakit! Mengapa aku ada di sini, pikirku kacau. Kucoba untuk mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya.
‘David!’ teriakku lantang. ‘Dimana David? Aku telah membunuhnya,’ teriakku berkali-kali setelah berhasil mengingat apa yang menyebabkanku berada di Rumah Sakit ini.
‘David! David! David!’ teriakku histeris. Aku telah membunuh saudara kembarku sendiri. Kalau saja aku tidak berbohong padanya tentang Mark, tentu dia tidak akan kehilangan keseimbangan dan peristiwa ini tidak harus terjadi. Aku benar-benar menyesal hingga tubuhku menjadi tegang setengah mati.
‘David!’ jeritku kalut.
‘Lucy, tenang. Kakakmu selamat. Dia sedang berusaha menghubungi ayahmu,’ hibur dokter itu. Aku tahu dia bohong.
‘Tidak! David telah mati. Aku yang membunuhnya. Antarkan aku melihat mayatnya,’ tuntutku sambil berusaha bangun. Tiba-tiba aku merasakan nyeri yang luar biasa di punggungku. Aku meringis menahan sakit dan tergeletak kembali. Tangisku tak lagi terbendung. Barulah aku menyadari bahwa aku menyayangi David. Tapi kini David telah tiada sebelum sempat aku nyatakan cintaku. Kututup mataku rapat untuk mengenangkan bayangan David.
‘David … David …’ kubisikkan namanya berkali-kali dengan harapan dia bisa mendengarnya.
‘Lucy …’ kudengar sapaan lembut. Suara David. Dari surgakah datangnya? Aku takut untuk membuka mataku. Tiba-tiba tanganku di sentuh dan namaku kembali di bisikkan. Pelan sekali kubuka mataku kembali.
‘David?’ tanyaku tidak yakin. Dia memang berdiri di dekatku. Tapi sadarkah aku atau ini hanya sekedar impian?’
‘Lucy, …’ bisik David serak.
‘David!’ teriakku gembira. Kupeluk dirinya erat dan takkan kulepaskan lagi. David menangis sesunggukan di pelukanku.
‘Maafkan aku, Lucy. Maafkan aku,’ isaknya.
‘David, aku yang salah. Hampir saja aku membunuhmu.’
‘Tidak, Lucy. Akulah yang terlalu egoistis. Hanya diriku saja yang kupikirkan tanpa pernah memikirkan hati dan perasaanmu. Seminggu ini aku seperti orang gila saja. Kalau kamu belum juga sadar hari ini aku sudah siap untuk membunuh diri.’
‘Seminggu?’ tanyaku. ‘Selama itu aku tak sadarkan diri?’
‘Ya dan itu membuatku gila. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kamu mau memaafkan aku ‘kan, Lucy? Berilah aku kesempatan untuk memperbaiki diri! Berilah aku kesempatan untuk mencintaimu dengan tulus,’ bisik David.
Kupandang dia lama dan dalam. Kucari pandangan dingin dalam matanya. Tidak lagi bersisa. Mata itu kini berisi cinta dan dan penyesalan. Mampukah untuk mengecewakan dia sedang sesungguhnya aku sangat mencintainya? Pelan sekali kuanggukkan kepalaku. Mata david bersinar cerah kemudian dia merengkuhku ke dalam pelukannya dan tangis kebahagiaan kamipun tumpahlah.
‘Aduh!’ jeritku tak tertahan ketika tangan David menyentuh punggungku.
‘Maaf, Lucy,’ ucap David sambil melepaskan pelukannya.
‘Ada apa di punggungku, Dave? Nyeri sekali.’ Tanyaku.
‘Mereka terpaksa memecah kaca mobil waktu menolong kita. Dan punggungmu tergores pecahan kaca waktu mengeluarkan kamu,’ jawab David. ‘Sudah di jahit sekarang,’ lanjutnya.
‘David,’ panggilku setelah kami berdiam diri untuk waktu yang agak lama. Devid menatapku sambil kedua tangannya memainkan tanganku.
‘Ya?’ tanya david.
‘Ah, tak usah saja,’ sahutku ragu.
‘Katakanlah apa yang ingin kau katakan,’ kata David.
‘Tentang Mark. Benarkah hanya Deidre saja yang dicintainya? Apakah aku sama sekali tidak ada dalam hatinya?’
‘Kamu mencintai dia?’ tanya David sambil memandangku dalam. Aku mengangguk pasti. Memang aku mencintai Mark. David tersenyum lebar. Sayang aku tidak mengerti arti senyumannya.
‘Tidak ada gadis lain yang dapat mengalahkanmu, Lucy. Aku yakin Mark pasti mencintaimu. Lupakan tentang Deidre. Mark tidak pernah merasa memiliki Deidre, jadi sudah tentu dia tidak merasa kehilangan Deidre.’
‘Tapi …’
‘Tapi apa. Lucy?’
‘Kamu pernah bilang bahwa …’
‘Lupakan itu, Lucy, lupakanlah. Aku tidak sadar dengan apa yang kuucapkan. Percayalah bahwa Mark mencintaimu. Sudah berapa bulan usia kandunganmu?’ tanya David mengejutkan.
‘David,’ bisikku lirih, ‘Aku tidak sedang hamil dan antara aku dan Mark belum ada ikatan perkawinan.’
‘Jadi?!’ tanya David sambil menahan tawa.
‘Ya, Dave, kita saling membohongi untuk saling menyakiti,’ jawabku sambil tertawa. David juga tertawa. Inilah pertama kalinya kami tertawa bersama.
‘Kita mulai dari awal lagi, Lus. Marilah kita berjanji untuk senantiasa terbuka satu sama lainnya. Tidak ada lagi dusta dan sandiwara. Kita sudah begitu menderita dengan ulah kita sendiri.’
‘Apakah kamu menderita? Kukira hanya aku saja yang menderita. Kamu begitu keras kepala dan angkuh.’
‘Bukankah hati kita hanya satu, Lus?’ jawab David. ‘Akupun menderita sepertimu.’
‘Tapi mengapa kamu begitu saja memusuhiku? Aku datang dengan cinta, Dave, tapi kau sambut aku dengan kebencian,’ tanyaku hati-hati. David terdiam lama sebelum menjawab.
‘Aku tidak sadar dengan diriku sendiri, lucy. Deidre terlalu mempengaruhiku dengan gagasannya tentang warisan Papa. Padahal sesungguhnya aku tidak begitu perduli dengan warisan itu. Hanya … mungkin … mungkin, Lucy, aku iri dengan kebahagiaanmu. Kamu selalu mendapatkan yang terbaik.’
‘Apa maksudmu, Dave?’
‘Mungkin aku terlalu kekanak-kanakan. Aku begitu sakit hati ketika Mama memilih kamu untuk ikut dia. Mengapa bukan aku? Mengapa Mama membiarkan aku ikut Papa, padahal Mama tahu pasti Papa tidak akan memperdulikanku?’ ucap David sentimentil.
‘David, kamu ingin tahu jaawbannya? Aku perna bertanya kepada Mama tentang hal ini. Waktu itu aku bertanya mengapa bukan aku yang iktu Papa. Mengapa harus David? Lalu jawab Mama, ‘kalau saja aku berhak, maka kalian akan kubawa semua. Tapi karena aku hanya berhak membawa satu dari kalian mak kupilih kamu, karena aku yakin Davidlah yang kuat mendampingi ayahmu. Dan lagi kamu dulu sakit-sakitan maka kuputuskan kamu yang kubawa.’
David termenung mendengar kata-kataku.
‘Pernahkah Mama berpikir tentang aku?’ tanya David kemudian.
‘David!’ seruku. ‘Setiap menit Mama selalu memikirkanmu. Kau pikir Mama melupakanmu begitu saja?’ David tersenyum malu mendengar teguranku.
‘Seperti kataku tadi, Lucy, aku terlalu berpikir tentang diriku sendiri. Setiap saat Papa berbicara denganku tentang dirimu maka waktu itu pula aku menyadari bahwa kamu begitu diperhatikan. Itulah yang membuatku iri, seakan aku tidak berarti apa-apa di mata Papa. Aku takut bila kamu tetap berada di samping Papa kedudukanku akan tergeser dan aku akan hilang begitu saja.’
‘Masihkah kamu mempunyai perasaan seperti itu?’ tanyaku.
‘Tidak lagi, Lucy. Tidak lagi.’ Jawab David. Kuambil tangan david dan kucium. David tersenyum.
‘Apakah berarti bahwa aku boleh tetap berada di sini?’
‘Tidak!’ jawab David cepat.
‘David!’ protesku tak habis pikir.
‘Kamu tidak boleh tetap berada di sini. Ingat ini Rumah Sakit, Lucy. Rumahmu ada di Louisville,’ jawabnya sambil tertawa. Kucubit dia sekuat tenaga dan David menjerit. Tiba-tiba saja pintu kamarku terbuka dan muncullah wajah-wajah terkasih; Papa. Mark dan Irene. Aku tidak tahu nama siapa yang harus kuteriakkan pertama kali. Akibatnya aku hanya menatap mereka tak berkedip tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tahu-tahu aku telah di hujani ciuman mereka.
‘Bagaimana kalian tahu aku berada di sini?’ akhirnya mampu juga aku untuk bertanya.
‘Orang tua Mark datang menemuiku dan mengatakan bahwa menantu mereka telah menghilang.’ Jawab Papa sambil mengedipkan sebelah matanya. semua tertawa kecuali aku dan Mark. ‘Ternyata menantu mereka itu adalah anakku yang juga pernah menghilang dua bulan yang lalu. Karena waktu menantu mereka menghilang itu bersamaan waktunya dengan menghilangnya anak laki-lakiku, maka kami sepakati untuk menganggap mereka menghilangnya bersama-sama. Hingga akhirnya kuterima telepon dari anak laki-lakiku tentang kecelakaan yang menimpa mereka. Nah, cukup jelas sekarang?’ lanjut Papa berbelit-belit.
‘Irene?’ tanyaku untuk menyingkap kehadiran Irene di kamar ini. Papa menghela nafas sejenak kemudian memandang kami semua silih berganti.
‘Mengapa tak kau katakan kepada Papa begitu kamu mengetahuinya, Lucy? Mengapa orang lain yang harus bercerita kepada Papa?’ Papa ganti bertanya.
‘Saya menanti saat yang tepat, Papa,’ jawabku. ‘Siapa yang memberitahu Papa?’
‘Menantuku ini dan orang tuanya,’ jawab Papa sambil menepuk bahu Mark. Mak tersenyum jengah.
‘Hei, apa-apaan ini? Apa yang kalian perbincangkan?’ tanya David kebingungan.
‘Irene adalah adikmu, Dave,’ jawab Papa. David terperanjat. Matanya bergerak cepat dari Papa ke Irene, kembali lagi ke Papa kemudian berhenti padaku. Kuanggukkan kepalaku untuk meyakinkan dirinya. Dengan cepat dia berdir dari sisiku dan berjalan mendekati Irene yang berdiri dengan tegang. Diambilnya wajah Irene dengan kedua tangannya dan dipelajarinya lama.
‘Mengapa tak kau katakan dari dulu, Irene?’ bisik David lembut. Mata Irene berkaca-kaca menatap David dan bibirnya bergetar menahan haru.
‘Irene adikku,’ desah David sambil memeluk Irene.
Angin sore berhembus lembut, mempermainkan pucuk-pucuk pinus di depan sana. Bunga-bunga Dandelion kuning bergoyang-goyang mengucapkan salam kepada kuda-kuda jantan Kentucky yang sedang bercanda riang. Dan di atas salah satu punggung kuda itu David bertengger. Sinar matanya menimpa dadanya yang telanjang hingga dari tubuhnya seakan memancarkan cahaya.
Kutoleh Papa yang duduk di samping Irene, pandangan Papa juga berada pada David.
‘Aku gembira David bisa lepas dari Deidre. Gadis itu berpengaruh tidak baik padanya,’ bisik Papa. Aku, Mark dan Irene tidak berkomentar walau dalam hati kami sependapat dengan Papa.
‘Dan, Lucy … kapan kamu melangsungkan perkawinanmu dan memberi Papa cucu-cucu yang manis?’ tanya Papa kepadaku. Kulirik Mark yang duduk di sampingku, dia tersenyum lebar ke arahku.
‘Ah, tidak seharusnya Papa bertanya kepadaku. Lucy sih sudah siap Cuma Mark saja yang belum,’ jawabku. Mark membelalakkan matanya.
‘Jangan membalikkan fakta, Miss,’ protesnya. ‘Detik ini pun aku mau,’ lanjutnya. Papa dan Irene tertawa.
‘Kalau begitu tunggu apa lagi?’ tanya Papa.
‘Begini, Papa,’ aku menerangkan, ‘Mark dan David akan pergi ke Indonesia dulu. Meminta ijin kepada Mama. Na, kalau Mama sudah memberi lampu hijau baru …’
‘Kapan kalian akan pergi?’ potong Papa ke arah Mark.
‘Secepatnya,’ jawab Mark pasti.
‘Bagus! Aku yakin Mama Lucy akan mengijinkan,’ jawab Papa.
‘Papa begitu yakin?’ tanyaku. Papa tidak menjawab. Tapi seperti juga Papa aku yakin Mama akan mengijinkan perkawinan kami. Mark terlampau baik untuk di tolak.
‘Nona, Lucinda …’ panggil David yang entah kapan telah ada di depan kami. ‘Maukah Anda berkuda denganku?’
‘Dengan senang hati, tuan muda,’ jawabku sambil beranjak dari sisi Mark. ‘Sebentar ya, Mark?’ bisikku pada Mark. ‘Ngobrol-ngobrollah dulu dengan mertua dan adik ipar,’ Mark mengangguk dan memperhatikan kami berlalu.
Aku duduk di belakang David sambil memeluk tubuhnya erat. Tiba-tiba terpandang olehku sebuah bekas luka di punggungnya.
‘David, apa ini?’ tanyaku.
‘Setahun yang lalu aku terjatuh dari sepeda motor,’
‘Lucu ya, Dave? Aku juga mempunyai bekas luka dipunggung.’
‘Apanya yang lucu? Bukankah kita saudara kembar? Kalau kamu terluka aku pun ikut terluka,’ jawab David berkelakar sambil mempercepat lari kudanya.
‘David,’ bisikku.
‘Hmm?’ tanya David tanpa berusaha memelankan lari kuda.
‘Aku mencintaimu,’ ucapku. Aku tahu aku harus mengucapkan kata-kata itu. Serta merta David menghentikan kudanya, kemudian dia menoleh ke arahku. Ditatapnya aku lama dan dalam.
‘Siapa yang lebih kau cintai, aku atau Mark?’ tanyanya.
‘Oh, David, engku gila!’ teriakku sambil memukul punggungnya. ‘Jangan katakan kalau kamu cemburu pada Mark,’ David tertawa terbahak-bahak dan matanya berputar-putar dengan kocaknya.
‘Tentu saja tidak. Cuma … rasanya belum lama aku memilikimu kini kamu akan menjadi milik Mark,’ ucap David polos.
‘David, kamu tahu aku akan tetap menjadi milikmu. Aku akan selalu membutuhkanmu. Bukankah kita hanya mempunyai satu hati?’ David mengangguk. Sebuah senyum hangat tersungging di bibirnya. Kemudian dia mencium dahiku lembut.
‘Akupun mencintaimu, Lucy,’ bisiknya. Dan entah dari mana datangnya tahu-tahu dunia ini penuh dengan cinta. Bahkan burung-burng yang terbang bergerombol di atas pun bergerak karena cinta. Alangkah indahnya dunia ini.
Tamat.
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kelima)
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota Daytona dan tinggal di sebuah hotel dekat pantai. Di sini dia berkenalan dengan Michelle, seorang peragawati.
Karena kebetulan, Lucy berkenalan dengan Mark Wayne, seorang mahasiswa yang bekerja musiman sebagai penjaga pantai. Mark berusaha bersahabat dengan Lucy, namun Lucy enggan, mengingat pesan Michelle bahwa semua penjaga pantai adalah play boy. Pandangan Lucy berubah, ketika pemuda itu menyelamatkan seorang anak yang hampir tenggelam di pantai.
Aku tahu Mark merasa aneh mendengar jawabanku tetapi aku tidak peduli. Dia kemudian bertanya tentang bermacam hal. Tentang Indonesia dan tentang diriku. Bila dia bertanya tentang Indonesia maka aku akan menjawab dengan jujur, tetapi bila dia mulai bertanya tentang diriku maka akan kucari jawab yang kira-kira akan memuaskannya.
‘Hei, aku telah terlalu banyak bercerita tentang diriku, bagaimana dengan dirimu sendiri?’ kualihkan percakapan kami karena aku sangat tertekan bila bercerita tentang keluargaku.
‘Aku berasal dari Kentucky,’ Mark memulai ceritanya.
‘Kentucky?’ potongku cepat, ‘Dekat dengan Louisville?’
‘Kamu pernah ke Louisville?’ ganti Mark yang bertanya.
‘Belum. Cuma pernah dengar saja. Rumah Kolonel Sandersnya KFC.’ jawabku mencoba bercanda. Ya Tuhan hampir saja…
‘Rumahku di luar kota Louisville,’ lanjut Mark. Ingin benar aku bertanya luar kota sebelah mana. Tapi kalau aku bertanya tentu dia akan curiga, maka kubiarkan rasa ingin tahuku tidak terpenuhi. ‘Di sana ada Mom, ada Dad dan ada dua adik laki-lakiku, Tony dan Eric. Waktu mereka belum lahir, aku pernah di ajak berlibur oleh orangtuaku di pantai di Delaware dan di sana aku hampir mati tenggelam, untung aku di selamatkan oleh seorang lifeguard. Sejak saat itu aku bercita-cita untuk menjadi seorang lifeguard.’
‘Sudah berapa lama kamu menjadi lifeguard, Mark?’
‘Sudah tiga kali musim panas.’
‘Jadi kamu hanya beredar disini pada waktu musim panas?’ tanyaku. Mark mengangguk.
‘Musim-musim lainnya kuhabiskan di kampus. Menjengkelkan memang, tapi Mom dan Dad sangat mengharapkanku untuk melanjutkan sekolah,’ keluh Mark.
‘Dan kamu sekolah sekolah di…?’ selidikku.
‘Cincinnati,’ jawab Mark lesu. Cincinnati!!? Bukankah David juga kuliah di sana? Pernahkah Mark ketemu David? Saling kenalkah mereka, pikirku kalut. Tentu tidak. Bantahku sendiri. Kalau Mark kenal David tentu dia akan segera menyadari kemiripanku dengan David. Dalam kebingunganku itu tanpa kusadari aku melihat ke jam tanganku. Astaga, sudah saatnya makan malam!
‘Sorry, Mark, aku harus segera kembali ke hotel. Sudah jam makan malam,’ kataku sambil bangkit. Tentu Michelle sudah menantiku, pikirku sambil mengibas-ngibaskan pasir yang menempel di celanaku. Mengapa aku jadi lupa waktu? Mark juga ikut berdiri.
‘Besok kamu main di pantai?’ tanya Mark. Aku mengangguk.
‘Kunanti kamu di sini, OK?’ kata Mark sebelum aku berlari menuju hotel.
Michelle telah pergi ke ruang makan ketika aku sampai di hotel karena kujumpai kamarnya gelap dan terkunci. Bergegas aku menyusulnya.
‘Dari mana saja, Non?’ tegur Michelle.
‘Jalan-jalan di pantai,’ sahutku sambil duduk di seberangnya.
‘Jalan-jalan di pantai atau pacaran di pantai?’ selidik Michelle sambil menahan senyum. ‘Tadi aku menyusulmu ke pantai, tapi karena engkau begitu asyik maka kubiarkan saja,’ lanjutnya. Aku tidak tahu bagaimana warna wajahku waktu itu tapi aku merasa semua darahku mengalir ke sana.
‘Ah, kami hanya ngobrol saja,’ belaku.
‘Apakah dia mulai merayumu?’
‘Michelle . . . ! dia tidak punya maksud apa-apa, jadi tidak diperlukan rayuan,’ balasku sengit. Tapi Michelle malah tertawa. Cepat-cepat kupanggil Les untuk menyiapkan makananku dan tak bercerita apa-apa kepada Michelle hingga makan malam selesai.
‘Lucy, kamu marah?’ tanya Michelle dalam perjalanan menuju kamar kami. Aku diam saja. Marah sih tidak, cuma dongkol.
‘Sorry kalau aku membuatmu tersinggung. Aku hanya berseloroh tadi,’ kata Michelle penuh penyesalan.
‘Aku sama sekali tidak marah, cuma . . . ah, tak tahu mengapa.’
‘Oke, hati-hati sajalah. Bagaimana pun juga dia seorang lifeguard dan reputasi lifeguard tidak bisa kita anggap enteng. Tapi apa yang dia lakukan tadi pagi membuat nilai dirinya naik. Mungkin saja dia dia tidak seburuk lifeguard lainnnya. Mungkin dia benar-benar mencintaimu.
‘Wow… siapa yang bicara tentang cinta?’ potongku.
‘Aku bilang mungkin, dear Lucy.’ Mengapa sekarang kamu jadi mudah tersinggung? Mungkin yang mungkin itu tengah terjadi pada dirimu saat ini,’ bantah Michelle. Kupelototi dia, tapi dia tenag-tenang saja.
‘Mau menemaniku jalan-jalan, Lucy?’ tanya Michelle. Aku menggeleng.
‘Oke, aku akan jalan-jalan sendiri, siapa tahu ketemu sama lifeguardmu,’ goda Michelle lagi. Dia masih tetap menggodaku hingga kuturuti permintaannya untuk menemaninya jalan-jalan.
Kami melangkah pelan menelusuri pantai yang remang-remang. Michelle berjalan dengan wajah menunduk dan kakinya mengais-ngais pasir yang di laluinya.
‘Lucy, bagaimana bila kukatakan kepadamu kalau aku akan kawin besok pagi?’ tiba-tiba Michelle berbisik lirih.
‘Apa?’ aku masih juga bertanya walau kalimat yang di ucapkan Michelle sudah kudengar dengan jelas.
‘Besok pagi aku akan kawin, Lucy.’
‘Michelle, jangan bercanda!’ tegurku. Tapi kulihat Michelle menggelengkan kepalanya.
‘Aku sendiri pun pada mulanya tidak percaya ketika dia menyatakan bahwa kami akan kawin besok pagi. ‘Kukira dia sedang bergurau, ternyata tidak. ‘Kami benar-benar akan kawin besok pagi di Presbitarian Church di Orlando.’
‘Dengan siapa kamu akan kawin dan mengapa sangat mendadak dan tanpa rencana?’
‘Dengan Bob Turner.’
‘Bosmu?’ tanyaku kurang yakin. Hanya seorang Bob Turner yang kukenal yaitu pemilik Daytona Fashion Center.
Kalau Michelle benar-benar kawin, tinggalah aku sendiri di hotel ini tanpa kawan. Mengapa semuanya begitu cepat berlalu? Mengapa pertemuan dan perpisahan selalu membayangi langkahku?
‘Kamu tidak mengucapkan selamat kepadaku?’ tanya Michelle membuyarkan lamunanku.
‘Oh, tentu saja. Selamat Michelle! I’m so happy for you” ucapku sambil memeluk Michelle erat. ‘Tapi kamu tahu aku sedih untuk berpisah denganmu.’
‘Kamu kira hanya kamu saja yang sedih? Tapi kita akan tetap berhubungan, Lucy. Kamu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri,” bisik Michelle sambil melepaskan pelukan. ‘Kamu harus hadir pada perkawinanku dan menemaniku selama seminggu di Orlando.’
‘Menemanimu? Yang benar saja, kamu sudah ditemani Bob.”
‘Lucy . . ., Bob akan sibuk selama itu. Dia akan mengurus keberangkatan kami ke Eropa. Dia akan mengadakan pameran di Paris dan Milan, sekaligus bulan madu kami. Kita masih punya waktu, Lucy. Kita dapat jalan-jalan bersama. Ke Disney World, misalnya. Oke, Lucy?’
‘Michelle, aku . . . aku.’
‘Kenapa?’
‘Kalau saja kamu memberitahunya tadi pagi maka aku akan menjawab ya dengan pasti. Tapi kalau sekarang . . . Oh, Michelle, kamu tahu aku tidak membawa sebuah baju pun yang pantas untuk suatu perkawinan. Semua pakaianku terlalu santai,”
‘Lucy . . . Lucy,’ desah Michelle. ‘Apa gunanya aku berkeja di rumah mode kalau aku tidak bisa meyediakan sebuah baju untukmu.’
Malam itu kami berdua sama-sama tidak bisa tidur. Tapi alasan yang mendasarinya berbeda. Kalau Michelle tegang menghadapi perkawinan dan masa depannya yang penuh dengan impian indah, sementara aku gelisah menghadapi masa depanku yang semakin tak pasti dan harus kutempuh sendiri.
Alun ombak malam ini sangat tenang, setenang mataku yang menatap kosong pada langit-langit kamar yang tidak ada seekor cicaknya pun. Michelle telah terbang ke Eropa tadi pagi dan kini aku kembali ke kamar hotel ini, entah untuk berapa lama lagi. Sudah kuputuskan diriku untuk tidak kembali ke Indonesia sebelum sakit hatiku hilang dan sebelum aku bisa berdiri sendiri dengan tegar.
Sebuah ketukan lirih tergetar di pintuku. Sekejab bayangan Michelle melintas. Ah bukan! Michelle telah pergi. Lalu siapa? Perlahan aku bangkit dari tempat tidurku dan berjalan menuju pintu. Dengan ragu pintu kubuka dan . . .
‘Mark!’ seruku kaget melihat siapa yang berdiri di depanku.
‘Lucy, are you okay?’ tanya Mark kuatir.
‘Apa?’ aku tidak mengerti yang ditanyakannya.
‘Kamu tidak apa-apa?’ ulang Mark. Aku menggeleng.
‘Memangnya ada apa?’ tanyaku.
‘Seminggu yang lalu kamu berjanji untuk menemuiku di pantai tetapi sejak saat itu pula kamu tidak pernah muncul.’
‘Oh, itu,’ sahutku dengan tawa. ‘Mark menatapku tidak mengerti. Kemudian kujelaskan semuanya. Tentang perkawinan Michelle yang dadakan dan tentang tempat-tempat yang kukunjungi bersama Michelle selama seminggu di Orlando. Baru sesudah aku menyelesaikan kisahku. Mark bernafas lega.
‘Kukira kamu telah pulang ke Indonesia, tanpa mengucapkan selamat tinggal,’ ucapnya. Kemudian dia menatapku lama dan dalam. Jantungku berdetak lebih kencang. Tuhan, jangan biarkan aku jatuh cinta pada mahluk satu ini. Mark masih juga belum memindahkan matanya dari wajahku membuat diriku salah tingkah.
‘Mark, jangan pandang aku seperti itu,’ pintaku.
‘Kenapa?’ tanyanya sambil tersenyum dan meraih bahuku. Aku menghindar. Ini tidak boleh terjadi. Sama sekali tidak boleh. Aku di sini bukan untuk jatuh cinta. Tapi kalau aku sedang tidak jatuh cinta, mengapa aku tidak kuasa untuk menentang pandang matanya?
‘Tak ingin jalan-jalan ke pantai, Lus? Malam sangat indah untuk dinikmati,’ usul Mark. Aku ragu. Berbahayakah bila aku berjalan bersama dengannya?
‘Lucy?’ Mark meminta kepastian.
‘Baik,’ jawabku terlepas begitu saja. Aku sendiri pun terkejut waktu mendengarnya. Ada apa dengan dirimu, Lucy? Tidak bisakah kamu mengontrol dirimu sendiri? Sudah masuk dalam perangkapnyakah kau?
Malam memang sangat indah dengan bulan yang bersinar penuh di atas laut. Ada segumpal awan putih tipis yang membentuk peta pulau Jawa di bawah bulan. Dan di awan itu kulihat tawa manja Yani, gelak Anto dan senyum manis Adit. Tiba-tiba mataku terasa panas. Aku rindu mereka. Seharusnya malam ini aku berada di samping mereka dan menceritakan kisah-kisah yang dulu pernah diceritakan mama kepadaku. Tapi apa yang kukerjakan sekarang ini? Berjalan di tanah yang asing dengan ditemani oleh seseorang yang asing pula. Apa yang sebenarnya kucari di sini? Cinta seorang ayah dan saudara kembar?
‘Lucy,’ panggilan Mark menyadarkanku. Dia berjalan di sampingku dengan kedua tangannya berada di saku jacketnya.
‘Ya?’ sahutku.
‘Kok diam saja? Bicaralah.’
‘Bicara tentang apa?’
‘Bicara apa saja. Tentang bulan, misalnya. Atau laut. Atau tentang cintamu kepadaku,’ sambung Mark.
‘Apa?!! Ih memangnya aku cinta padamu?’ tangkisku cepat.
‘Apakah benar-benar tidak?’ tantang Mark penuh keyakinan.
‘Tidak,’ jawabku tak kalah yakin.
‘Kamu bohong,’ tuduh Mark.
‘Mark, yang punya hati kan aku. Aku bilang tidak, ya tidak. Kamu pikir setiap gadis akan jatuh cinta kepadamu? Kamu salah, Mark. Memang banyak gadis-gadis yang tergila-gila pada lifeguard tapi aku tidak termasuk di dalamnya,” bantahku emosi. Aku menyangka Mark akan mengelak dan menangkis seranganku, ternyata dia hanya tersenyum manis.
‘Lucy, kamu tahu mengapa aku begitu kuatir waktu kamu tidak muncul-muncul? Aku takut kamu telah kembali ke Indonesia.” Tanya Mark yang disusul dengan jawabannya sekalian. Aku senang karena dia telah mengalihkan pembicaraan tentang cinta.
‘Kalau aku kembali ke Indonesia kenapa?’
‘Nah itu yang tidak kuinginkan. Aku belum mengatakannya kepadamu.’
‘Mengatakan apa?’
‘Mengatakan kalau aku mencintaimu,’ jawab Mark biasa. Kembali lagi ke masalah cinta. Apakah karena bulan purnama, apakah karena ombak yang mencumbu pantai dengan lembut yang membuat malam ini begitu romantis hingga apa-apa yang di ucapkan harus berbau cinta?
‘Jangan ngaco kamu,’ kuperingatkan dia.
‘Aku serius, Lucy. Aku mencintaimu,’ bantah Mark sengit. Awas, lucy, dia telah mengeluarkan serangannya. Waspadalah!
‘Lucy, mengapa tidak berkomentar?’ kejar Mark ketika melihat aku tidak bereaksi atas ungkapan cintanya.
‘Bagaimana aku harus berkomentar? Kamu becanda melulu sih. Mark, jangan bicara lagi tentang cinta, oke?’
‘Mengapa tidak?’
‘Karena aku tidak menginginkannya,’ jawabku pendek. Mark menatapku lama. Gila, manusia ini pandai sekali bermain sandiwara. Dia bisa menatapku seakan dia benar-benar mencintaiku. Mata itu. . ., mata itu berisi sejuta cinta.
‘Aku tidak bercanda, Lucy,’ bisik Mark. Aku diam saja dan aku masih tetap diam ketika Mark mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku sudah bisa merasakan hangat nafasnya, tetapi aku masih saja tidak bergeming. Kakiku seakan sudah menyatu dengan pasir di bawahnya dan tidak mau kuajak beranjak. Wajah Mark semakin dekat. Sedetik kemudian bibirnya mulai menyentuh bibirku dengan lembut.
Aku sedang mandi ketika telepon di kamarku berdering. Pasti Michelle, tebakku yakin. Cepat-cepat aku menyambar handuk dan keluar dari bak mandi.
‘Michelle!’ sapaku penuh semangat.
‘Bukan Michelle, Lucy,’ kudengar sebuah sahutan dari ujung sana yang memang bukan suara Michelle.
‘Oh, halo Mark,’ tegurku tidak seantusias tadi.
‘Kecewa, Lucy? Kamu menanti telepon dari Michelle?’ tanya Mark.
‘Emmm, Michelle berjanji untuk meneleponku. Tadi kukira dia.’
‘Ingat, dia ‘kan pengantin baru. Maklumi saja kalau dia belum sempat menghubungimu dan lagian baru beberapa hari Michelle pergi.”
‘Ya, benar juga,’ kuhibur diriku sendiri.
‘Lucy, kamu lagi ngapain?’ tanya Mark. Kupandang tubuhku yang dililiti handuk di cermin. Tiba-tiba aku tersenyum. Mark tidak boleh tahu ini. Dia bisa bangga bisa bercakap-cakap dengan gadis yang hanya terbungkus handuk minim.
‘Tidak ada, Mark. kamu tahu aku tidak punya pekerjaan.’
‘Bersiap-siaplah kalau begitu. Sebentar lagi kujemput,’ kata Mark.
‘Ke mana?’
‘Ada sebuah restoran Italia yang eksotik di luar kota. Aku ingin mengajakmu ke sana,’
‘Mark . . .’ aku mencoba memprotes tapi Mark sudah tidak mendengarnya.
Beberapa saat kemudian dia muncul di depan pintu kamarku. Tapi Mark yang kali ini lain dari Mark yang biasa kukenal. Dia bukan Mark yang mengenakan celana renang, bertelanjang dada dengan pluit tergantung di lehernya dan kaca mata hitam pekat melekat di matanya. Bukan pula Mark yang bercelana jeans dengan T shirt putih dengan tulisan ‘lifeguard’ berwarna merah menyala melintang di dadanya. Mark kali ini adalah Mark yang resmi dengan pakaian yang resmi pula. Kemeja berwarna biru langit dan celana panjang berwarna biru gelap. Sangat serasi pada tubuhnya. Untung tadi aku segera tanggap ketika Mark memintaku untuk bersiap-siap pergi ke rumah makan yang eksotik sehingga pakaian yang kukenakan pun bukan pakaian yang biasa kupakai. Melainkan salah satu pakaian pemberian Michelle sebelum dia terbang ke Eropa. Pakaian dari rumah modenya.
Rumah makan yang kami tuju benar-benar seperti yang dikatakan Mark. Eksotik, Artistik . . ., pokoknya, wah. Sebuah bangunan kuno dengan pilar-pilar marmer putih polos, tanpa guratan penanda umur. Dari karpet, taplak meja hingga ke tirai-tirai jendela berwarna merah tua sangat cocok dengan kursi-kursi kayu bersandaran tinggi yang ada. Di mana-mana bergantungan lampu-lampu kristal yang bersinar redup. Di setiap meja terdapat jembangan yang juga kristal dengan dua tangkai anyelir merah muda di dalamnya. Semuanya menawan.
‘Mark, jangan tertawakan aku bila aku membuat tindakan-tindakan yang konyol. ‘Aku belum pernah masuk restoran yang semewah ini,’ bisikku di telinga Mark sambil menanti greeter yang akan menempatkan kami di meja yang telah di pesan Mark,
‘Jangan kuatir, aku juga belum pernah,’ jawab Mark juga berbisik. Kami saling melempar pandangan dan tersenyum bersama.
Seorang greeter berpakaian tuxedo lengkap mengantar kami ke sebuah meja di balkon yang menghadap ke luar. Dari tempat kami duduk terlihat laut Atlantik yang membentang di kejauhan.
Tidak selang berapa lama kemudian waiter yang akan melayani kami muncul. Pengetahuan tentang makanan yang ditawarkan di restoran tersebut dia kuasai dengan benar, sehingga mudah bagiku untuk memilih makanan yang ingin aku coba.
‘Senang tempat ini, Lucy?’ tanya Mark ketika waiter kami telah pergi mengambil pesanan kami. Aku mengangguk. Untuk berbicara rasanya aku tak sanggup. Mata Mark menatapku dengan lembut. Betapa aku menyukai mata itu. Mata yang seolah tak ‘kan mampu untuk berubah menjadi dingin. Mata yang berisi sejuta cinta dan tak pernah sempat untuk memancarkan kebencian dan dendam. Kalau saja David mempunyai mata seperti yang dipunyai Mark.
Selagi Mark menuangkan anggur ke dalam gelasnya, kutebarkan pandanganku ke sekeliling. Tiba-tiba mataku terpaut pada seorang gadis kulit hitam yang duduk seorang diri di pojok balkon. Ada sesuatu padanya yang menggerakkan mataku untuk memandang dia sekali lagi. Gadis itu pernah kulihat sebelumnya. Aku yakin tentang hal itu. Tulang pipinya yang menonjol serta rambut keriting yang di tarik kebelakang, aku pernah melihatnya,. Di mana? Di mana? Kutelusuri garis kenanganku yang belum begitu panjang di negeri ini dan …
‘Gabriella,’ bisik hatiku. Yah, gadis itu bernama Gabriella, yang kujumpai di JFK Airport waktu itu. Dia yang dulu memeriksa pasporku dan dia pula yang mengantarku menemui pilot. Aku harus menegurnya, putus hatiku. Tetapi belum lagi teguran itu keluar dari mulutku, kulihat seorang pria mendekatinya. Kutangguhkan niatku dan mengamati si pria.
‘Ya Tuhan,’ keluhku tidak sadar. Aku kenal benar dengan pria itu. Manuel Batista! Tiba-tiba aku panik luar biasa. Manuel tidak boleh melihatku berada di sini. Dia akan segera melapor ke Papa. Aku harus pergi sebelum dia sempat melihatku.
‘Ada apa, Lucy?’ tanya Mark yang mungkin mendengar keluhanku.
‘Mark, aku harus pergi. Harus pergi,’ kataku sambil beranjak dari tempat dudukku. Mark memandangku tidak mengerti.
‘Maafkan aku, Mark,’ bisikku sepenuh hati.
‘Lucy, kenapa?’ tanya Mark heran. Aku sudah tidak sadar dengan sekelilingku lagi. Yang kuinginkan hanyalah segera keluar dari tempat ini sebelum Manuel mengenaliku. Maka tanpa menjawab pertanyaan Mark aku berjalan setengah berlari meninggalkan dirinya.
‘Lucy, tunggu dulu!’ kudengar panggilan Mark. Tapi aku sudah terlampau panik untuk menghentikan langkah. Aku berjalan terus dan berjalan kadang kuselingi dengan lari-lari kecil. Ketika kulihat sebuah toko kecil, segera aku masuk ke sana dan dari sana aku memesan taxi untuk mengantarku pulang ke hotel.
Tangisku tumpah di kamar. Ketakutan dan penyesalan berbaur menjadi satu di dadaku. Takut Manuel melihatku dan menyesal harus mengecewakan Mark. Kenapa dia yang begitu baik harus kukecewakan? Tidak itu saja, dia harus menanggung malu karena gadis yang diajak kencan telah melarikan diri darinya. Orang lain tidak akan mau tahu. Bagi mereka tidak diperlukan alasan yang mendasari sikapku. Yang terang aku telah meninggalkan Mark. Oh, Mark pasti tersinggung dengan ulahku. Dia tidak akan sudi unutk menemuiku lagi. Tapi apakah aku memang punya muka untuk menemui Mark lagi? Tidak! Aku tak punya keberanian untuk itu. Aku tidak berani menatp wajahnya lagi. Aku tak berhak. Aku telah membuat malu dia, walau untuk alasan yang bagaimanapun.
Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidurku. Kukeluarkan ransel dan pakaian-pakaianku dari dalam lemari. Besok pagi-pagi benar aku akan pergi dari tempat ini untuk menghindari kewajiban bertatap muka dengan Mark. Sebuah kesedihan yang dahsyat tiba-tiba dan tanpa rencana menyerang ulu hatiku. Aku harus mengucapkan salam perpisahan pada hari-hari indah yang sempat terkecap di Daytona. Dan harus mengucapkan salam perpisahan pada cinta yang sempat mekar dalam pelarianku. Mark, aku mencintaimu.
Kutahan sekuat tenaga untuk tidak menangis, tapi masih juga air mata ini keluar dan membasahi pipi. Sampai kapan engkau akan berlari, Lucy?
‘Lucy . . ‘ kugelengkan kepalaku. Bukan, itu bukan suara Mark.
‘Lucy . . .’ suara itu masih juga kudengar. Kegelengkan kepalaku lebih keras lagi.
‘Lucy, aku tahu kamu ada di dalam. Bukalah pintu untukku, please?” suara itu makin jelas. Kulihat jam yang melilit di pergelangan tanganku. Jam setengah satu! Tidak mungkin suara itu nyata. Suara itu hanya ada dalam bayanganku.
‘Lucy, please?’ pinta suara itu lagi, kali ini di tambah dengan ketukan di pintu. Aku diam tak begeming. Tiba-tiba gerendel pintu bergerak dan sesaat kemudian pintu terbuka. Ya, aku lupa menguncinya tadi.
‘Lucy! Seru Mark. Sesaat aku terpana. Aku tidak mengharapkan dia akan muncul malam ini.
‘Lucy . . .’ panggil Mark lirih sambil memegang bahuku. Aku tidak percaya dengan pendengaranku. Yang kunantikan adalah bentak dan caci maki Mark atas tingkahku bukan suara halus dan tatapan lembutnya.
‘Mark, maafkan aku,’ ucapku tersendat sambil menjatuhkan diri dalam pelukannya. Air mata yang kuharapkan akan berhenti kini justru membanjir dengan deras. Mark makin mempererat pelukannya. Dalam pelukan itu aku merasa terlindung.
‘Tidak ada yang perlu kau takutkan, Lucy,’ bisik Mark sambil membelai rambutku.
‘Mark, pria itu . . . pria itu,’ aku mencoba untuk menerangkan pada Mark. Ternyata sangat sulit.
‘Emanuel maksudmu?’ tanya Mark pelan. Aku tertengadah kaget.
‘Mark, kamu kenal dia?’ tanyaku tenang. Mark mengangguk.
‘Tentu saja aku kenal dia. Emanuel Batista bekerja pada perkebunan Stanton dan perkebunan itu bersebelahan dengan perkebunan kami.’
‘Kamu tahu siapa Mister Stanton itu?’
‘Bukankah dia ayahmu?’
‘Mark!!’ seruku kaget, sambil melepaskan diri darinya. Mataku nanar menatapnya. Sekonyong-konyong tidak ada lagi air mata yang mengalir.
‘Sejak kapan kamu tahu bahwa aku anak Stanton?” tanyaku berang. Tiba-tiba saja aku merasa di khianati. Selama ini Mark pasti sudah tahu siapa aku dan dia pura-pura tidak tahu. Munafik.
‘Terus terang sejak aku melihatmu aku menduga kalau kamu mempunyai darah Stanton. Tetapi aku ragu. Mungkin kebetulan saja kamu mempunyai wajah yang mirip dengan David Stanton. Aku lupa bahwa David mempunyai saudara kembar yang ikut ibunya. Aku benar-benar lupa. Aku baru ingat malam ini, itu pun sesudah berbincang dengan Emanuel. Jangan kira kalau selama ini aku membohongimu, Lucy,’ Mark menerangkan dengan sabar. Tiba-tiba saja seluruh tubuhku menjadi lemas seakan tak bertulang. A ku merasakan suatu kelelahan yang luar biasa dan aku terduduk tak berdaya.
‘Aku akan pulang ke Indonesia segera. Tak ada gunanya main sembunyi-sembunyian lagi. Mata Stanton ada di mana-mana yang akan segera melihatku di mana pun aku berada,’ pikirku pasrah.
‘Lucy, kamu tidak akan menyerah begitu saja’kan?’ tanya Mark. Jadi aku tadi tidak hanya berpikir tapi juga telah mengucapkannya.
‘Apa saja yang telah diceritakan Emanuel kepadamu?’ tanyaku sekedar bertanya karena aku sama sekali tidak menanti jawaban.
‘Semuanya, Lucy.’
‘Oh, dia tidak tahu. Dia akan segera melapor kepada Papa dan Papa akan . . . Apa yang harus kulakukan kini? Berlari lagi?’ gumamku pada diri sendiri.
‘Take it easy, Lucy. Dia tidak akan melapor pada ayahmu karena dia telah berjanji pada Irene untuk tidak menceritakan kepada siapapun di mana kamu berada,”
‘Irene?’ tanyaku sama sekali tidak tahu hubungannya.
‘Ya. Irene telah menceritakan semuanya pada Emanuel.’
‘Irene? Mengapa Irene mengingkari janjinya?’
‘Lucy, dengar baik-baik,’ perintah Mark. “Sejak kamu pergi dari Louisville, Irene pun ikut pergi pula meninggalkan perkebunan Stanton. Tapi dia merasa mempunyai kewajiban untuk menyembunyikan pengetahuannya tentang di mana kamu berada. Maka dia menceritakannya pada Emanuel yang kebetulan adalah paman Irene dengan syarat Emanuel harus meneruskan tugas-tugas yang kau bebankan pada Irene, seperti mengumpulkan surat-surat yang datang dari Indonesia.
‘Jadi Irene adalah kemenakan Batista? Mengapa dia tidak pernah bercerita dan mengapa pula dia harus pergi dari perkebunan Stanton? Aku benar-benar bingung,” keluhku.
‘Menurut Batista, Irene merasa berdosa kepadamu. Dia yakin ketidakakrabanmu dengan David yang menyebabkan kamu melarikan diri dari Louisville gara-gara dirinya,”
‘Mark, kamu membuatku semakin bingung,’ ucapku. Mark berjalan mendekat kemudian duduk di sampingku. Di raihnya kedua tanganku dan digenggamnya dalam genggaman yang hangat. Sebelum dia bercerita, dia menatapku lama untuk mengukur apakah aku siap mendengar kisahnya atau tidak.
‘Irene adalah adikmu, Lucy,’ bisik Mark pelan. Aku membelalak tidak mengerti.
‘Ibu Irenelah yang menyebabkan keretakkan perkawinan orang tuamu. Aku tidak tahu banyak tentang hal itu tapi Mom tahu segalanya dan kamu bisa bertanya kepadanya langsung nanti bila kamu bertemu ibuku.”
‘Mark, jangan main-main!’ hardikku. Aku benar-benar tersinggung dengan kelakar Mark. Ini sudah keterlaluan.
‘Lucy, aku tidak main-main, ibuku tahu tentang hal ini. Manuel dan Mauricio juga tahu tentang ini. Mimo, ibu Irene adalah Batista yang paling kecil. Batista bungsu. Irene adalah hasil hubungan Mimo dengan ayahmu.’
to be continued ….
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Keempat)
Cerita Sebelumnya:
Lucinda Stanton adalah gadis yang beribukan wanita Indonesia dan ayah Amerika. Karena perceraian orang tuanya dia ikut ibunya yang kemudian menikah lagi dan tinggal di Indonesia.
Setelah lima belas tahun berpisah dengan ayah dan saudara kembarnya, ia dikirim oleh ibunya untuk tinggal di Amerika.
Ayahnya menyambut Lucinda dengan hangat. Tetapi David, saudara kembarnya menerimanya dengan kebencian dan Deidre, kekasih David ikut-ikutan. Kesedihan Lucinda menerima perlakuan David agak terobati karena persahabatannya dengan para pengurus rumah tangga Stanton, terutama Oscar dan Irene.
Tuan Stanton mendapat serangan jantung mendadak. David menuduh Lucinda sebagai penyebabnya. Dia juga menuduh Lucinda datang ke Amerika karena menginginkan warisan saja. David kemudian meminta Lucinda untuk kembali ke Indonesia, tetapi Lucinda melarikan diri ke kota lain
Taksi yang kutumpangi berjalan menyusur pantai meninggalkan keramaian kota Jacksonville. Pantai yang gersang tanpa pepohonan. Pasirnya berwarna putih kusam. Tidak ada yang menarik. Pantai ini kalah jauh dari pantai-pantai di Indonesia. Sekitar dua jam kemudian kami memasuki kota kecil Daytona. Ada sebaris pohon palem yang hampir meranggas di pusat kota. Walaupun demikian Daytona mempunyai karisma tersendiri. Suasana liburan serta merta terasa. Di mana-mana kelihatan orang berjalan kaki dengan riang. Mobil yang lalu lalang bisa di hitung dengan jari. Tak seorang pun bepenampilan murung, kecuali aku mungkin.
Sesudah agak lama berputar-putar di pusat kota, supir taksi membelokkan mobilnya ke kiri ke arah pantai. Suasanan pantai lebih menunjukkan suasana santai. Penuh dengan manusia yang sedang berenang dan sekedar berjemur di bawah terik matahari. Kemudian taksiku memasuki halaman sebuah hotel yang nampak begitu indah. Sebuah hotel butik yang ditujukan untuk penyewa jangka panjang dengan pelayanan lengkap, termasuk tiga kali makan.
Seorang room boy mengantarku ke kamar yang kupesan dari airport. Sebuah kamar yang luas dan terpisah dari bangunan induk hotel. Berderet dengan tiga kamar lainnya dan menghadap ke pantai. Sepanjang siang aku mengurung diri di kamar. Aku mersasa benar-benar sendirian kini. Setiap orang saling memiliki. Aku tidak. Mama memiliki adik-adikku dan Oom No. David memiliki Papa. Papa memiliki David. Tetapi aku? Tak seorang pun yang kumiliki kini. Tidak ada seorang pun yang mempedulikan apakah aku masih hidup atau sudah mati. Mama pasti mengira aku masih bersama Papa. Papa dan David pasti juga mengira kalau aku sudah kembali ke Mama dan mereka tidak peduli apakah aku benar-benar sudah pulang atau belum. Aku bukan Stanton lagi. Tak ada lagi hubungan antara diriku dengan Stanton. Oh tragisnya hidup ini. Tapi aku sudah memilih untuk menjalani hidup yang tragis ini.
Pukul tujuh, bel panggilan makan malam berdering. Aku tidak lapar tetapi bangkit juga dari tempat tidur. Kulihat diriku di dalam cermin. Mataku sangat merah dan mataku sembab oleh bekas air mata. Kubasuh mukaku dulu sebelum keluar dari kamar. Waktu keluar dari kamar, penghuni kamar sebelah kiriku juga keluar. Seorang gadis yang sangat cantik dengan perawakan yang begitu semampai.
‘Hello!’ sapanya ramah sambil menutup pintu kamarnya.
‘Hai,’ jawabku gugup.
‘Kamu penghuni kamar ini?’ tanyanya. Kuanggukkan kepalaku. ‘Sudah lama aku ingin punya tetangga dan baru sekarang kesampaian. Namaku Michelle,’ lanjut gadis itu memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangannya hangat.
‘Aku Lucy. Kamu sendirian saja?’ tanyaku sambil kujabat tangannya. Dia mengangguk.
‘Kamu mau makan malam ‘kan? Kita bisa duduk semeja,’ usul Michelle. Aku merasa sedikit terhibur. Makan sendirian benar-benar tidak nyaman terutama di tempat yang ramai seperti ruang makan di hotel ini.
Kami duduk di teras ruang makan yang menghadap ke laut lepas. Hembusan angin sore yang hangat kental beraroma garam. Michelle mulai menceritakan tentang dirinya. Dia seorang peragawati yang berasal dari Boston dan pada musim panas bekerja pada sebuah rumah mode di Daytona.
‘Kamu tinggal di hotel ini sepanjang musim panas?’ tanyaku.
‘Ya. Itu perjanjianku dengan boss. Aku tidak mau tinggal di apartemen, membereskan tempat tidur dan mengurusi hal-hal domestik lainnya,” jawab Michelle sambil tertawa. Aku menyadari gadis di depanku ini begitu banyak tawanya. ‘ Nah, itu waiter kita, Les,…’ ucap Michele sambil menunjuk pada seorang pemuda yang berjalan ke arah kami.
‘Selamat malam, Michelle!’ tegur waiter itu.
‘Malam, Les. Ada orang baru yang duduk di meja ini. Kamarnya di sebelah kanan kamarku. Lucy, kenalkan, Les,’ Michele memperkenalkan kami berdua.
‘Hallo,’ sapaku.
‘Senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Les sambil tersenyum. ‘Sekarang apa yang dapat kuambilkan untuk kalian?’ lanjutnya.
‘Seperti biasanya. Dan Lucy, apa yang kamu inginkan?’ tanya Michelle. ‘ Tidak banyak yang dapat kamu pilih di sini,’ sambung Michele berbisik tapi cukup keras untuk didengar Les. Les tersenyum tapi tidak membantah kata-kata Michelle.
‘Apa yang istimewa untuk hari ini?’ tanyaku.
‘Idaho red angus dilumuri mint lalu ditaburi suwiran lobster dan tumis sayuran dan dilengkapi dengan kentang mini kukus,’
‘Itu yang istimewanya apalagi yang biasa,’ komentar Michele diiringi tawanya yang khas.
‘Kamu membuat nafsu makan Lucy hilang,’ Les memperingatkan.
‘Oke, kuambil yang istimewannya tapi tanpa lobster,’ jawabku. Les tersenyum senang dan segera berlalu. Sesudah makan malam Michelle mengeluarkan rokoknya.
‘Rokok?’ Michelle menawarkan.
‘Terima kasih. Aku tidak merokok,’ jawabku. Michelle menyulut sebatang untuknya. Sisanya di letakkan di atas meja dan di putar-putarkan beberapa kali.
‘Lucy, kamu mempunyai darah Amerika Latin? Mexico atau Cuba?’ tanya Michele tiba-tiba. Kugelengkan kepalaku.
‘Amerika Asli?’ tanyanya tak percaya.
‘Juga bukan. Aku orang Indonesia.’
‘Indonesia?’ ulang Michele untuk meyakinkan. ‘Sangat jauh dari sini. Kamu datang ke sini sendirian? Berapa umurmu?’ tanya Michele dengan cepatnya. Aku tertawa mendengar kecepatan bicaranya itu.
‘Sembilan belas dan akan menjadi dua puluh tahun pada musim gugur,’
‘Sembilan belas? Ah, kamu pasti bercanda. Enam belas kukira lebih tepat,’ olok Michelle.
‘Mau lihat pasporku?’ gurauku.
‘Tidak . . . tidak,’ jawab Michelle sambil tertawa. Kemudian kami bercakap-cakap ringan. Tentang mode, tentang remaja, tentang pantai dan penjaga pantainya. Selama bercerita itu Michele merokok terus menerus. Aku heran mengapa giginya masih tetap putih dan bibirnya tidak rusak oleh tembakau.
‘Lifeguard . . .,” keluh Michele tentang penjaga pantai , ‘mereka benar-benar hebat tetapi juga bajingan’ lanjutnya.
‘Mengapa demikian?’ tanyaku antusias.
‘Kamu akan melihatnya sendiri,’ kilah Michele. ‘Mereka akan duduk di kursi mereka yang tinggi, begitu gagah dan begitu tampan. Bertelanjang dada dan berkacamata gekap pura-pura mengawasi keamanan pantai. Padahal yang sesungguhnya mereka awasi adalah gadis-gadis berbikini. Karena kaca mata hitam yang mereka kenakan, mata mereka bisa bebas berkelana ke sana ke mari,’ Aku terkesima mendengar cerita Michelle bak dengan begitu gadis kecil mendengar dongeng ibunya sebelum tidur.
”Tapi anehnya,’ lanjut Michelle, ‘w alaupun semua orang tahu kalau mereka itu petualang, masih juga mereka dipuja-puja. Dimana pun mereka berada, gadis-gadis cantik akan mengerumuni bahkan mau bermain cinta dengan mereka.’
‘Ah, ‘ cetusku tidak sadar.
‘Jangan heran, Lucy. Bahkan kalau ada kesempatan mau rasanya aku bercinta dengan mereka.’
‘Kamu mau?’
‘Yah. Mereka begitu tampan dan gagah. Begitu muda dan crunchy . Sebelum aku terikat dengan perkawinan nanti, aku mau bermain dengan mereka dulu,’ kata Michelle bermimpi. ‘Kamu harus hati-hati terhadap mereka. Mereka jago merayu. Tanpa kamu sadari kamu sudah masuk dalam perangkap mereka. Dan kalau mereka sudah mendapatkannya, finish.”
‘Selalu begitu?’
‘Selalu. Siang hari kamu berkenalan dengan salah satu dari mereka. Sedikit rayuan gombal, malam harinya kamu sudah ada dalam pelukannya. . . Kamu akan membawa kesan itu seumur hidupmu sedang si dia sudah lupa keesokan harinya dan siap dengan gadis yang lain,”
‘Sekejam itu?’
‘Mereka tidak kejam, Lucy. Kalau gadisnya mau, mau di bilang apa? Tidak ada unsur paksaan dalam hal ini. Dan biasanya yang senang itu justru si gadis. Kalau gadisnya cerdas, dia akan cari lifeguard yang lain. Mereka benar-benar memikat,”
‘Apakah semua lifeguard demikian?’
‘Wah, tentang hal itu aku tidak tahu. Tapi kebanyakan, Lucy. Kebanyakan. Dari pengamatanku yang selalu tinggal disini setiap musim panas, kebanyakan dari mereka ya seperti itu. Kalau kamu tidak ingin jadi korban, jangan dekati mereka. Mereka tidak akan mendekatimu bila kamu tidak menunjukkan minat. Itu salah satu yang kukagumi dari mereka. Kalau kamu ingin selamat, hindarilah mereka,” nasehat Michele.
‘Engkau membuatku takut pada mereka,’ kataku jujur.
‘He, jangan!!’ teriak Michele. ‘Mereka tidak apa-apa jika, . . . seperti kataku tadi, engkau tak ada minat terhadap mereka. Mereka dapat menjadi teman yang baik. Engkau dapat saja bergaul dengan mereka tanpa harus berpacaran,’ jawab Michele blak-blakan.
Itulah awal perjumpaanku dengan Michelle. Aku bersyukur dapat berjumpa dengan gadis seperti dia. Dengan dia rasa asingku terhadap sekeliling bisa menghilang begitu saja. Setiap sore sehabis pulang dari kerja, Michelle selalu menemaniku berjalan-jalan sepanjang pantai. Atau kadang-kadang kami pergi ke kota nonton atau makan di tempat-tempat yang baru. Sembilan tahun yang membedakan umur kami tidak lagi terasa. Dengan dia aku dapat berbincang bebas. Dengan dia aku bisa tertawa lepas. Michelle juga menjanjikan sebuah pekerjaan untukku. Tapi untuk satu bulan pertama ini aku ingin rileks. Aku ingin menikmati liburan. Sesudah itu aku akan mulai memikirkan masa depanku.
‘Kamu benar-benar tidak mau ikut, Lucy?’ tanya Michelle sambil memasukkan baju-bajunya ke dalam koper. Sebentar lagi dia akan pergi ke Orlando dalam suatu pegelaran mode selama seminggu.
‘Lucy?’ tanya Michelle lagi. Rupanya dia tidak melihat aku sudah menggeleng tadi.
‘Tidak, aku cuma akan merepotkanmu saja. Lagipula kamu pasti akan sibuk terus jadi tak ada waktu untuk jalan-jalan. Kamu pun pasti tidak mau mengajakku ke Disney World,’ jawabku. Michele tertawa renyah mendengar jawabanku.
‘Dengar, aku berjanji suatu saat akan mengajakmu ke sana. Oke?’ sahut Michelle.
‘Lucy, aku benar-benar tidak tega meninggalkanmu seorang diri di sini,’ ucap Michelle setelah terdiam beberapa saat.
‘Kamu pikir aku bakal mati bila kamu tinggal?’
‘Mati sih, enggak. Kalau setengah mati mungkin,’ ganggu Michelle. ‘Baik-baiklah menjaga diri. Aku akan selalu menelponmu,’ lanjut Michelle seperti seorang kakak kepada adiknya.
‘Jangan terlalu mengkhawatirkan aku, Chelle. Mungkin aku akan mencoba memacari lifeguard selagi kamu pergi’ gurauku.
‘Sure,’ cibir Michelle menantang. ‘Apa yang kamu inginkan sebagai oleh-oleh?’ lanjutnya. Aku menggeleng.
‘Tidak ada?’ tanya Michelle.
‘Kamu kembali dengan selamat saja aku sudah senang,’
‘Jangan ngamuk bila aku benar-benar tidak bawa oleh-oleh?’ pesan Michele sebelum pergi.
Kepergian Michelle ternyata berakibat juga pada diriku. Aku benar-benar merasa kesepian. Mau jalan-jalan malas karena tidak ada teman. Mau mengurung diri di kamar juga tidak enak. Akhirnya aku cuma duduk di pagar beton di depan kamarku sambil memandang laut dan melamun. Kalau sudah begini aku kembali teringat akan nasibku dan membuatku ingin menangis. Maka pada hari ketiga kuputuskan diriku untuk berenang sendiri di pantai.
Pakaian renangku sudah siap kupakai, jadi nanti tinggal melepas pakaian luarku saja sebelum berenang. Aku berjalan menyusur pantai mencari tempat yang agak lapang, tetapi rasanya semua tempat penuh dengan manusia. Aku berjalan terus dan berjalan hingga kudapatkan tempat yang benar-benar sepi.
Kuletakkan tas yang kubawa di pasir dan sebelum melepas pakaian aku berjalan dulu ke dalam air untuk melihat keadaan. Air laut itu begitu segar kontras dengan panasnya udara.
‘Hei, Miss!’ tiba-tiba kudengar sebuah panggilan. Secara refleks aku menoleh. Wow, seorang lifeguard. Persis seperti yang digambarkan Michelle, tampan dan gagah. Mau apa dia?
‘Memanggilku?’ tanyaku bodoh.
‘Ya. Sudah berkali-kali kamu kupanggil, bahkan aku sudah meniup peluit segala, tapi rupanya kamu tidak mendengar,’ jawab sang lifeguard sambil melepas kaca mata hitamnya. Matanya benar-benar biru, sebiru laut Atlantik kala itu.
‘Memanggilku untuk apa?’ aku bertanya. Dia mengembangkan sebuah senyum yang sangat menawan. Pantas mereka begitu di puja-puja. Gumam hatiku.
‘Kamu melihat buoys itu?’ tanyanya sambil menunjuk bola-bola karet berwarna jingga yang mengapung di atas air.
‘Ya,’ jawabku bingung.
‘Itu adalah batas daerah yang boleh di gunakan untuk berenang. Dari sini ke sana adalah daerah terlarang,’ dia menjelaskan dengan sabar. Ouch, alangkah tololnya aku. Mengapa aku tidak melihatnya tadi? Mengapa aku tidak curiga menjumpai daerah yang begini sepi sedang tak jauh dari sini berlimpah ruah manusianya?
Dengan cepat aku beranjak menuju ke tas yang tadi aku tinggalkan, memungutnya dan berlari menuju hotel, Lifeguard tadi masih berdiri di tempatnya ketika aku pergi. Aku begitu malu. Pasti dia menertawakanku dan akan diceritakannya kepada teman-teman sesama lifeguard tentang ketololan yang baru saja kubuat dan mereka akan tertawa bersama.
Sesampai di hotel aku segera mengunci diri di kamar, untung tidak lama kemudian Michelle menelponku sehingga aku bisa sedikit melupakan peristiwa tadi. Tentu saja peristiwa itu tidak kuceritakan kepada Michele. Bila kuceritakan kepadanya, tentu dia akan tertawa terpingkal-pingkal.
Keesokan harinya aku masih tidak berani keluar, apalagi ke pantai. Lifeguard itu pasti berada di sana dan tentu teman-temannya pun begitu antusias untuk melihat si gadis tolol. Maka sepanjang siang aku berada di kamar dan nonton drama serial di televisi. Sesudah dua hari mengurung diri, akhirnya aku bosan juga, maka kulangkahkan kakiku untuk menuju ke pusat kota. Berjalan-jalan di kompleks pertokoan membuatku teringat pada Irene. Aku pernah berjalan-jalan di Louisville Mall bersama Irene dan membeli ransel untuk Adit.
Tiba-tiba aku sadar kalau sudah lama aku tidak berkabar kepada Mama. Aku sadar bahwa aku seharusnya mengirim ransel untuk Adit dan dan sesuatu untuk Anto dan Yani. Aku sadar aku telah melalaikan kewajibanku. Aku akan mekukan hal itu sekarang juga selagi aku masih ingat.
Dengan gaya seorang ahli seperti Irene, aku mulai berbelanja. Pertama kali, kubeli ransel untuk Adit, karena ranselnya sudah kupakai kemudian sebuah iPod Nanountuk Anto dan Barbie untuk Yani. Sebelum semuanya itu kubungkus dengan rapi, kuselipkan selembar kertas yang kutulisi sedikit kabar tentang Mbak Lucy mereka (kabar bohong tentunya). Tapi itu sudah cukup untuk mengabarkan bahwa aku masih hidup.
Masalah yang timbul selanjutnya adalah menentukan letak kantor pos. Aku benar-benar tidak tahu, maka aku berjalan tidak tentu arah dengan harapan dapat menemukan kantor pos itu. Tetapi setelah berputar-putar lama dan tanpa petunjuk bakal menemukan kantor pos itu, maka kuberanikan diriku untuk bertanya kepada seorang wanita tua yang sedang berhenti di tepi jalan.
‘Maaf, anak muda, aku sendiri sorang pelancong,’ jawabnya. Aku hampir putus asa ketika tiba-tiba saja dia datang. Dia, si lifeguard yang telah melarangku berenang tempo hari. Sial, mengapa aku harus bertemu lagi dengannya?
‘Ada kesulitan?’ tegurnya ramah sambil tersenyum.
‘Tidak,’ jawabku cepat.
‘Dia ingin tahu letak kantor pos. Bisakah kamu menolongnya?’ wanita tua itu berkata tanpa kuminta. Aku kaget, tak menyangka dia akan berkata seperti itu. Si lifeguard sekarang tahu kalau aku telah membohonginya. Tetapi dia justru tersenyum lebar.
‘Mari kutunjukkan,’ katanya.
‘Engkau tidak harus mengantarku. Cukup kau beritahu dimana,’ cegahku.
‘Aku tidak akan menawarkan diri kalau tidak kebetulan saja harus berjalan ke arah yang sama. Aku harus pergi ke rumah temanku dan melewati kantor pos,’ jawabnya. Sesudah mengucapkan terima kasih kepada wanita tua itu, aku dan si lifeguard berjalan bersama menuju kantor pos. Selama perjalanan itu kami saling berdiam diri.
‘Itu kantor posnya,’ serunya dari seberang kantor pos, setelah kami berjalan bersama hampir selama sepuluh menit.
‘Terima kasih,’ ucapku dan berniat untuk meninggalkannya.
‘Sebentar, kuantar kamu ke sana,” katanya menawarkan diri. Aku tidak bisa menolaknya karena dia telah berjalan di sampingku menyeberangi jalan.
Ternyata bungkusan yang akan kukirim ke Indonesia di tolak karena bungkusnya kurang tebal. Barang itu harus kumasukkan ke dalam karton tebal dan di beri celotape yang kuat. Aku bingung darimana bisa mendapatkan kotak tebal.
‘Kawanku memiliki toko kecil di depan sana, aku yakin dia punya kotak seperti yang kamu butuhkan,’ si lifeguard menyelami kebingunganku. Letak toko temannya satu blok dari kantor pos. Sebuah toko kecil yang menjual barang-barang souvenir khas Florida.
Seorang gadis berambut keriting pirang sedang memeriksa perhiasan dagangannya ketika kami masuk. Dia tak menyadari kehadiran kami dan masih tetap menunduk. Si lifeguard menekan bel. Bunyinya benar-benar nyaring. Si gadis kaget dan menoleh ke arah kami.
‘Mark!!’ teriaknya riang. ‘Angin apa yang telah membawamu kemari?’ tanyanya sambil mengawasi si lifeguard yang ternyata bernama Mark. Tiba-tiba dia tertegun waktu menatapku.
‘Dona, kenalkan temanku, Lucy. Lucy . . . Donna.’ Mark memperkenalkan kami. Sejenak aku terpana. Dari mana dia bisa tahu namaku? Dan dia memperkenalkan aku senbagai temannya? Fuih sejak kapan pula itu? Tetapi aku tidak bisa terlalu lama keheranan karena Donna sudah menyapaku.
‘Hai,’ balasku.
‘Ada sesuatu yang dapat kubantu, Mark?’ tanya Donna.
‘Ya. Lucy membutuhkan sebuah kotak untuk mengirim barang lewat pos. Kamu mempunyainya kan?’
‘Kotak? Kotak macam ini?’ tanya Dona sambil memperlihatkan sebuah kotak berukuran sedang.
‘Ya,’ seruku gembira.
Donna memberikan kotak itu kepadaku dilengkapi pula dengan celotape. Sementara aku sibuk dengan pekerjaanku, Dona dan Mark asyik mengobrol. Aku tidak tahu apa yang mereka percakapkan. Tetapi sebentar-sebentar kudengar derai tawa mereka. Mudah-mudahan saja mereka tidak sedang mendiskusikan diriku.
Setelah selesai membungkus barang-barangku dan mencantumkan alamat, aku berpamitan kepada Donna dan Mark. Namun Mark tidak mengijinkan aku pergi ke kantor pos sendiri, dia takut aku tersesat. Maka kami berjalan beriringan lagi menuju ke kantor pos.
‘Mark, bagaimana kamu bisa tahu kalau namaku Lucy?’ kutanya dia dalam perjalanan. Mark tersenyum misterius sambil menggoyang-goyangkan kotakku yang dibawanya.
‘Orang sepertimu sangat pantas untuk mempunyai nama Lucy.’
‘Enggak lucu.’
‘Tapi benar kan namamu memang Lucy?’ tanyanya. Kudiamkan saja pertanyaan itu karena kami sudah masuk ke kantor pos.
‘Terima kasih atas bantuanmu, Mark,’ ucapku sekeluar dari kantor pos. Kemudian aku berjalan meninggalkannya. Baru saja aku berjalan tiga langkah, dia memanggilku.
‘Kamu mau kemana?’ tanyanya.
‘Pulang ke hotel,’
‘Kalau begitu kita dapat jalan bareng,” katanya sambil menyusulku.
‘Bukankah kamu harus pergi ke rumah temanmu?’ tanyaku heran. Mark tersenyum seakan dia tahu kalau senyumannya sangat menawan.
‘Aku sudah pergi ke sana tadi. Ingat Dona? Nah, dia itu temanku. Kita sudah pergi ke sana tadi,” jawab Mark seenaknya. Kutatap dia penuh kedongkolan. Aku tahu dia tadi sama sekali tidak berniat pergi ke toko Donna. Dia pergi ke sana karena aku butuh kotak.
‘Hei, jangan marah dulu. Kalau tadi kukatakan aku hanya ingin mengantarmu, tentu kamu tidak akan mau, benar kan?’
‘Benar,’ jawabku singkat. Kudengar Mark tertawa ringan. Sebenarnya apa sih maunya pemuda ini?
‘Mengapa kamu begitu ketakutan bila melihatku, Lucy?’ tanya Mark setelah kami terdiam beberapa saat. Aku kaget dan menatapnya lama. Bertemu saja baru dua kali ini bagaimana mungkin dia tahu kalau aku takut terhadapnya.
‘Kamu pantas untuk dicurigai,’ jawabku ngawur.
‘Dicurigai untuk apa?’ tanyanya penasaran.
‘Dicurigai sebagai orang jahat. Kalau kamu orang baik-baik kamu pasti ngaku dari mana bisa tahu namaku,’ serangku.
‘Jadi kamu masih penasaran?’ sahut Mark sambil tertawa. ‘Aku pernah dengar kakakmu memanggilmu Lucy,’ akhirnya Mark mengaku. Walau pengakuannya justru makin membingungkanku.
‘Kakakku? Kakakku yang mana?’
‘Gadis pirang yang sering jalan-jalan bersamamu di pantai.’
‘Oh,Michelle maksudmu? Dia bukan kakakku.’
‘Bukan kakakkmu?’
‘Bukan. Dia penghuni kamar sebelah.’
‘Tapi kalian berdua mirip dan sangat akrab,’ Mark tidak puas.
‘Dari mana kamu tahu kalau kami akrab?’
‘Aku sering melihat kalian berdua di pantai, di kota, di restoran Cina di depan Daytona Fashion Center,’ jawab Mark. Aku begitu terpana karena tempat-tempat yang baru saja disebutkannya memang tempat-tempat yang paling sering kukunjungi bersama Michele.
‘Bagaimana kamu bisa tahu? Aku belum pernah melihatmu disana?’ tanyaku keheranan.
‘Aku bisa tahu karena aku mengawasimu dan kamu tidak melihatku karena memang aku tidak ingin dilihat, jelas?’ tanyanya. Kutatap dia lama sebelum menjawab.
‘Kamu benar-benar pantas untuk dicurigai. Untuk apa kamu pakai mengawasi segala?’
‘Karena aku pengawas pantai,’ jawab Mark seenak perutnya. Aku benar-benar dongkol dan kupercepat langkahku untuk meninggalkannya. Mark juga mempercepat langkahnya hingga bisa mengiringi jalanku.
‘Marah?’ tanya Mark.
‘Ya,’
‘Oh, Lucy, aku tidak bermaksud buruk. Aku sendiri tidak sadar mengapa aku begitu suka memperhatikanmu. Mungkin karena . . .’ Mark tidak meneruskan kalimatnya.
‘Karena apa?’
‘Tidak. Kamu akan lebih marah bila kuteruskan.’
‘Teruskanlah.’
‘Oke, kamu yang meminta. Mungkin karena dorongan hati. Waktu aku melihatmu untuk yang pertama kali, hatiku membisikkan bahwa inilah gadis yang bakal menjadi istriku,’ jawab Mark kalem. Aku kaget setengah mati. Untung aku cepat teringat kata-kata Michelle sebelum keburu besar kepala, ‘Mereka jagoan merayu, Lucy, tanpa kamu sadari kamu sudah masuk ke dalam perangkap mereka.” Maka aku cuma tersenyum saja mendengar kata-kata itu.
‘Kok tersenyum?’ tanya Mark. Aku cuma mengangkat bahu saja. Sesudah itu kami saling berdiam diri.
‘Untuk siapa barang-barangmu tadi? Sahabat pena?’ tanya Mark memecah kebisuan.
‘Untuk adik-adikku.’
‘Adik-adikmu? Mereka berada di Indonesia? Dengan siapa mereka pergi ke sana? Mengapa kamu tidak ikut?’ tanya Mark beruntun.
‘Mereka tidak pergi ke Indonesia. Mereka tinggal di sana sejak mereka dilahirkan. Indonesia rumah kami,” jawabku. Aku senang bisa melihat wajah Mark yang kaget dan tidak percaya.
‘Jadi kamu orang Indonesia?’ tanyanya untuk meyakinkan. Aku mengangguk pasti. Mata Mark makin membelalak karena terkejut.
‘Dengan siapa kamu datang ke Florida?”
‘Sendiri,’ jawabku. Reaksi Mark benar-benar di luar dugaan. Dia begitu kaget hingga menghentikan langkahnya dan menatapku tidak berkedip.
‘Dengar, Lucy, jangan kau katakan kepada siapapun bahwa kamu berada di sini sendirian. Itu sangat berbahaya bagimu apalagi jika mereka tahu kamu orang asing.”
‘Mengapa?’
‘Mengapa? Karena kejahatan di musim panas seperti ini sangat meningkat, pencurian, perampokan, penodongan . . .”
‘Aku tak mempunyai barang-barang berharga,’potongku cepat.
‘Bagaimana dengan dirimu sendiri? Begitu banyak pemerkosaan yang terjadi setiap minggunya,’ sahut Mark. Aku terdiam mendengar kata-katanya. Apalagi kata-kata tersebut di ucapkan dengan serius seakan dia benar-benar ingin melindungiku.
‘Sorry, Lucy, aku tidak bermaksud menakut-nakutimu, hanya berhati-hatilah. Jangan katakan kepada siapapun bahwa kamu kemari tanpa pengawal.’
‘Aku telah mengatakannya kepadamu,’
‘Kamu dapat mempercayaiku. Aku seorang lifeguard, bertugas untuk menjaga keamanan pantai,’ jawab Mark.
‘Dan lagi, Lucy, bila berada di tempat umum jangan canggung dan takut-takut. Bersikaplah seolah-olah ada seorang yang siap untuk membelaimu,’ nasihat Mark dilanjutkan.
‘Apakah aku kelihatan canggung bila di depan umum?’ tanyaku. Mark hanya tersenyum mendengar pertanyaanku.
Mark mengantarku hingga ke depan hotel. Sebelum berpisah dia berpesan.
‘Ingat untuk mengunci pintu setiap akan keluar dan begitu masuk kamar walaupun kamu hanya berniat untuk keluar atau masuk sebentar. Jangan langsung kau bukakan pintu bila ada yang mengetuk, lihat dulu orangnya,’
‘Akan kuingat itu,’jawabku sambil tersenyum. Kalau mendengar nada suaranya dia benar-benar serius menasehati. Tapi kalau mengingat reputasi para lifeguard aku menjadi ragu.
Aku sering melihat Mark berada di pantai, tetapi terlalu jauh untuk menegurnya, apalagi dia selalu dikerubungi gadis-gadis manis. Kadang kulihat pula seakan dia mau tersenyum kepadaku, tapi aku pura-pura tak melihatnya karena di sampingku ada Michelle. Aku takut Michelle akan mengira kalau aku sudah bermain-main denga lifeguard. Tapi hari itu aku tidak bisa lagi untuk pura-pura tidak melihatnya.
Hari itu tanggal 4 Juli. Hari kemerdekaan Amerika Serikat. Sejak hari sebelumnya persiapan-persiapan untuk menyambut hari kemerdekaan itu sudah kentara. Toko-toko kecil sudah menghias diri dengan rumbai-rumbai berwarna biru, merah, serta putih. Warna bendera Amerika.
Jam lima sore aku dan Michelle sudah menunggu di pagar beton di depan kamar kami bersama dengan ratusan orang lainnya yang ingin menyaksikan karnaval. Semua manusia Daytona tumplek menjadi satu di sepanjang jalan pantai.
Jam setengah enam iring-iringan karnaval itu mulai tampak. Begitu riuh, begitu gaduh tapi tidak menyebabkan orang jengkel. Barisan pertama adalah barisan Drum Band dari SMA Daytona dengan pakaian yang gemerlapan. Beberapa majoret menari dengan lincahnya di tengah jalan. Dan mereka melangkah dengan lembut ketika ‘Star Spangled Banner’ berkumandang. Semua orang yang duduk di pinggi jalan berdiri menghormat. Telapak tangan kanan di letakkan di dada.
Drum Band berlalu, disusul dengan sebuah truck berhias dari walikota dan staffnya, diikuti oleh departemen pemadam kebakaran. Kemudian mobil-mobil berhias dari lembaga-lembaga, yayasan-yayasan dan klub-klub lainnya. Barisan itu sangat panjangnya seakan tak akan pernah berakhir. Malam telah turun tapi tak seorangpun ingat akan makan malam yang telah dijadwalkan jamnya.
Tiba-tiba terdengar teriakan dan jeritan-jeritan histeris yang mayoritas berasal dari para gadis remaja. Ternyata mereka meneriaki sebuah truck yang akan lewat yang berisi rombongan Lifeguard.
Aku menahan nafas melihat mereka. Semuanya gagah dan tampan dalam pakaian kebesaran mereka yang lengkap minus kacamata hitam. Mereka melambai pada gadis-gadis yang mereka lalui dan dibalas dengan teriakan-teriakan histeris. Betapa hebat daya pikat mereka.
‘Lucy, lihatlah bajingan-bajingan itu,’ bisik Michele di telingaku. Aku tertawa mendengar komentarnya sebab ada nada kekaguman di dalamnya. Setelah mereka agak dekat, aku melihat Mark ada di antara mereka. Dia tersenyum dan melambaikan tangannya kearahku. Aku tidak berani membalas lambaian tangan itu dan pura-pura tak melihatnya. Tapi malangnya rombongan itu berhenti di depan kami agak lama. Aku tidak bisa berpura-pura lagi, kubalas senyumannya.
‘Rupanya si kecil Lucy sudah mulai main-main dengan Lifeguard,’ kata Michelle pelan. Aku kaget setengah mati.
‘Siapa?’tanyaku pura-pura tidak tahu.
‘Kamu.’
‘Aku?’ tanyaku berusaha mengelak. Michelle tertawa senang.
‘Pura-pura, hmm?’
‘Mengapa harus pura-pura? Dia tidak melambai padaku tapi padamu,’ucapku. Tawa Michele makin menjadi tapi dia tidak menambah komentar apa-apa. Rombongan demi rombongan berlalu. Kemudian mobil-mobil pribadi berhias membuntuti di belakangnya. Hiasan mobil-mobil itu lucu-lucu, hingga segan rasanya untuk meninggalkan tempat.
‘Michele! Lucy!’ tiba-tiba terdengar panggilan untuk kami. Dan diantara mobil-mobil berhias itu tampak Les, waiter kami dan Ken, temannya yang juga waiter.
‘Ayo ikut!’ teriak les. Aku ragu tapi Michelle segera meloncat turun dan menarikku untuk mengikutinya. Tanpa kusadari aku telah berada di dalam mobil Les dan mengikuti rombongan karnaval.
‘Mau kemana kita?’ tanyaku sesudah agak sadar.
‘Putar-putar,’ jawab Les enak. Rombongan karnaval itu ternyata berputar-putar mengelilingi setiap jalanan yang ada di Daytona kemudian kembali lagi ke pantai, dan di sana diadakan pesta kembang api dan petasan yang sangat megah. Pesta itu berlangsung hingga pagi hari.
Ombak yang berdebur pagi ini lain dari biasanya. Lebih keras dan lebih gemuruh. Biasanya laut di pagi hari sangat tenang, nyaris tanpa suara. Tapi kali ini mampu membangunkanku dari tidur yang lelap.
Dari jendela kamarku aku dapat melihat air laut yang menggelora. Air laut itu hampir mencapai jalan raya. Sebentar lagi pasti akan sampai ke pagar di depan kamarku. Awan tebal menggelantung berat di atas laut. Burung-burung camar terbang hiruk pikuk kebingungan. Kantukku begitu saja hilang melihat semuanya. Dengan cepat aku keluar kamar. Michelle ternyata sudah bangun. Dia berdiri termangu. Tangannya ditompangkan di pagar beton dan menatap ombak laut.
‘Chelle,’ panggilku. Dia menoleh dan mengisyaratkan agar aku mendekat. Kudekati dia.
‘Ada anak tenggelam,’ bisiknya.
‘Apa?’
‘Ada anak tenggelam. Di sana!’ tunjuk Michelle ke satu arah. Di tempat yang ditunjuk kulihat ada kerumunan orang yang cukup banyak. Semuanya kelihatan panik dan memandang ke tengah laut.
‘Tidak ada yang memberi pertolongan?’ tanyaku.
‘Ada seorang Lifeguard yang masuk kedalam air tapi sampai kini belum muncul lagi.’
‘Hanya seorang?’
‘Yang lainnya masih tidur kukira. Mereka berpesta sampai pagi dan pasti mabuk-mabukkan,’ jawab Michele. Kemudian dia mengajakku untuk mendekati kerumunan tersebut.
Seorang wanita muda meratap, tentu dia ibu dari si anak yang dibawa ombak. Beberapa orang berusaha menghiburnya, yang lainnya berharap cemas, menanti munculnya si lifeguard dan anak yang ingin di tolongnya. Hujan mulai turun dan angin berhembus dengan kencangnya. Tak seorang pun yang berniat untuk beranjak dari situ. Tidak juga Michele dan tidak pula aku. Semua ingin tahu nasib si anak dan nasib si lifeguard.
Tiba-tiba nampak sebuah kepala yang menyembul di tengah-tengah ombak. Beberapa saat kemudian nampak sosok tubuhnya dan lebih kemudian lagi nampak tubuh bocah yang terdekap erat oleh tubuh yang lebih besar.
‘Anakku, . . . anakku,’ jerit si wanita yang tadi menangis sambil berusaha untuk berlari ke laut tapi di cegah oleh orang-orang yang mengelilinginya. Lifeguard yang masuk ke dalam laut tadi berenang mendekati pantai, melawan ombak besar yang berusaha mengembalikan dirinya ke tengah lagi. Tentu sangat sukar baginya untuk mempertahankan diri dengan seorang bocah dalam pelukannya. Begitu tiba di tempat yang dangkal dia menghentikan renangnya.
‘Mark!’ seruku tidak sadar ketika melihat siapa yang muncul. Dia begitu gagah dalam pakaian renangnya tapi tampak sangat kelelahan. Seorang bocah yang tidak bisa di sebut kecil lagi berada dalam dukungannya. Begitu sampai di pantai dia segera berlari menuju pos PPPK tanpa mempedulikan orang-orang yang berkerumun menantinya. Orang-orang tersebut kemudian mengikutinya menuju ke pos PPPK. Sementara itu aku dan Michele dengan pakaian yang sudah basah kuyup berjalan pulang.
Siang harinya cuaca berubah seratus delapan puluh derajat. Langit begitu jernih tanpa secuil awan pun dan laut begitu tenang. Tak ada sisa badai dan pantai kembali dipenuhi oleh manusia. Michelle menggerutu karena harus pergi ke rumah mode sedang hari sangat indah untuk dinikmati.
Walaupun hari sangat indah tetapi aku benar-benar ngantuk, maka siang itu kugunakan untuk tidur. Bangun-bangun sudah jam setengah lima. Kemudian aku berjalan-jalan di sepanjang pantai. Setelah lelah berjalan aku duduk di pasir. Pantai sudah agak sepi sehingga bisa melihat tenangnya laut tanpa terhalang oleh punggung atau paha orang di depanku. Kutekuk lututku dan kudekatkan ke dada, dan menikmati angin sore yang berhembus sejuk.
Keadaan sekelilingku membuatku merenungi hidup. Tiba-tiba segumpal kerinduan terhadap ibu dan adik-adikku memenuhi dada membuatku ingin menjerit dan menangis meraung-raung. Aku tidak menyukai kehidupan yang kutempuh saat ini. Aku benci, benci. Aku merindukan sebuah keluarga normal. Tetapi tidak ada sebuah keluarga pun yang mau menerimaku. Keluarga Oom No? Itu bukan untukku, aku bukan keturunan Oom No. Keluarga Papa? Apalagi, papa terang-terangan telah mengusirku. Sebenarnya aku ini milik siapa? Aku ingin dimiliki dan memiliki. Ingin sekali, Tuhan tahu itu.
Tiba-tiba sepasang kaki berhenti di depanku. Kutegadahkan wajahku. Mark berdiri di sana tampak begitu tinggi.
‘Boleh aku duduk di sini?’ tanyanya. Belum lagi sempat kujawab dia sudah menjatuhkan diri di sampingku.
‘Apa yang kamu lamunkan, Lucy?’ tanya Mark sesudah agak lama dia duduk dan kami belum membuka percakapan.
‘Tidak ada,’ jawabku bohong. ‘Aku sedang menikmati pemandangan di depanku’
‘Dan pikiranmu dimana?’
‘Di sini,’ kataku sambil menunjuk dahi. Mark tertawa ringan. Alangkah senangnya aku mendengar tawa itu. Penampilan Mark kali ini benar-benar berbeda dengan penampilannya pagi tadi. Tadi pagi dia tampak sangat kelelahan, sedang kali ini dia seakan siap untuk berlari mengelilingi dunia. Segar bugar.
‘Bagaimana kabar anak yang kamu tolong pagi tadi?’ tanyaku.
‘Sedikit shock. tapi selebihnya tidak ada masalah,” jawab Mark. “Hei, dari mana kamu tahu tentang anak yang tenggelam?’ lanjut Mark keheranan.
‘Aku melihatmu,’
‘Kamu?’ tanya Mark tidak percaya. ‘Pagi-pagi sudah bangun dan berhujan-hujan?’
‘Setiap hari aku bangun pagi,’ bantahku.
”Tapi tidak untuk hari ini. Semalam kulihat kamu berada di pantai hingga larut,’ ucap Mark mengejutkanku.
‘Kamu melihatku?’
‘Ya. Dengan Michelle dan dua orang pemuda,’ sahut Mark dengan nada aneh yang tidak bisa kumengerti.
‘Aku tidak melihatmu.’
‘Tentu saja tidak, kalian begitu asyik,’ olok Mark sambil tersenyum mengajuk. Aku tertawa dan tidak memberi ulasan atas pendapatnya.
‘Mengapa dia bisa tenggelam, Mark?’ aku kembali ke masalah semula.
‘Ibunya yang cari penyakit. Sudah tahu langit begitu gelap dan ombak sangat besar, masih juga dia mengajak anaknya untuk berenang. Begitu tahu kalau anaknya menghilang baru dia teriak-teriak meminta tolong,’ jawab Mark jengkel.
‘Tentu kamu sedang enak-enak tidur,’ tebakku.
‘Nope. Aku tidak bisa tidur semalam. Aku sedang jalan-jalan ketika kudengar teriakannya,’ sanggah Mark. ‘Kamu tahu mengapa aku tidak bisa tidur? Memikirkanmu, Lucy. Mengapa kamu bisa seakrab itu dengan pemuda-pemuda yang bersamamu semalam sedang denganku kamu selalu menghindar,’ lanjut Mark seenaknya. Aku tahu dia cuma bergurau maka aku tertawa saja mendengarnya.
‘Sekarang aku bersamamu,’ sahutku masih dengan tawa. Mark juga tertawa. Seorang lifeguard lain lewat di depan kami dengan seorang gadis di lengannya. Dia menyapa Mark. Pasti gadis itu baru saja di kenalnya, pikirku.
‘Lucy, . . ‘ panggil Mark. Aku sadar bahwa aku telah mengawasi Life Guard yang baru saja lewat dengan mata tidak berkedip.
‘Ya?’ tanyaku.
‘Mengapa kamu memilih berlibur ke sini bukankah pantai-pantai di Indonesia sangat eksotik?’
‘Mencari sesuatu yang lain,’ bohongku. Mark kelihatannya merenung, aku ragu apakah dia mendengar perkataanku atau tidak.
‘Kalau kamu mencari sesuatu yang lain, mengapa tidak pergi ke Alaska? Di sana kamu akan melihat salju yang aku yakin tak akan kamu jumpai di negerimu.
‘Sebab, . . .’ dan aku tak bisa meneruskan.
‘Apakah Daytona terkenal di Indonesia?’ Mark melepaskanku dari kewajiban untuk menjawab pertanyaannya yang lebih dulu. Aku menggeleng-geleng beberapa kali.
‘Aku belum pernah mendengar nama pantai ini sebelumnya. Aku baru mendengarnya dalam perjalananku ke Jacksonville,’ jawabku. Tanpa kusadari aku telah membongkar rahasiaku sendiri.
‘Jadi kamu berniat ke Jacksonville dan menyimpang kemari?’
‘Tidak juga,’
‘Lalu?’
‘Aku tidak mempunyai tujuan yang pasti,’ jawabku. Aku tahu Mark merasa aneh mendengar jawabanku
to be continued ….
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Ketiga)
Kuhitung kancing bajuku; pulang, . . . tidak, . . . pulang, . . . tidak, . . . pulang tidak. Tidak pulang! Ya. Seharusnya aku tidak pulang. Pulang berarti permusuhan kembali dengan ibu Oom No dan itu akan membuat Mama berduka.
Lama aku merenung mencari jalan keluar. Aku harus pergi dari tempat ini tetapi aku tidak boleh pulang. Aku harus bisa meyakinkan Mama bahwa aku masih tetap tinggal bersam Papa. Bagaimana caranya? Kupandang pucuk-pucuk pinus untuk mencari jawab. Tidak kudapat. Sebagai gantinya kulihat tupai-tupai yang berloncat-loncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya dan tiba-tiba ide itu datang. Aku harus pergi dari sini tetapi aku akan tetap tinggal di Amerika.
Kucoba untuk menekan sakit hatiku dan memikirkan apa yang harus kulakukan kemudian. Besok pagi aku harus sudah pergi ke kota lain. Kupilih New York sebagai tempat pelarianku.
‘Tidak, itu telalu jauh dan penuh risiko,’ bantahku sendiri. ‘Colombus lebih dekat dan tidak terlampau bising,’ aku memutuskan. Di sana aku akan mencoba mencari pekerjaan dan melupakan bahwa aku pernah mempunyai ayah dan saudara kembar.
Sesudah itu hatiku menjadi lebih tenang. Tak ada masalah! Akan kubuktikan kepada David bahwa aku bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada ‘ayahnya’. Kemudian aku bangkit dari tempatku. Aku harus segera pulang.
‘Denver, pulanglah dulu, aku akan jalan kaki,’ kubisikkan kata-kata itu di dekat telinga Denver. Denver tidak bergeming.
‘Dengar, besok aku sudah tidak ada di sini lagi. Aku ingin berjalan melintasi padang rumput ini untuk terakhir kalinya. Kamu mengerti, bukan? Nah, pulanglah!’ Denver masih tetap tidak bergerak. Telinganya terangkat ke atas seakan mencoba untuk menyelami arti kata-kataku.
‘Pulanglah, Denver,’ kataku mulai tak sabar sambil kutepuk paha Denver. Denver memandang padaku, tetap tak bergerak.
‘Denver, go home!’ jeritku. Denver mengerti kemudian mulai melangkah pelan-pelan. ‘Run!’ teriakku nyaring. Dia menurut dan berlari tapi sejenak kemudian dia berhenti lagi dan menoleh. Kuisyaratkan dengan tangan agar dia tetap berlari. Denver berlari kencang tapi berkali-kali dia menolehkan kepalanya. Mungkin dia heran atas sikapku yang lain dari biasanya. Biasanya aku dan dia selalu pergi dan pulang bersama.
Ketika Denver sudah tidak nampak lagi, aku mulai melangkah pelan-pelan seperti prajurit yang kalah perang. Ya, aku telah kalah. Harapan inilah yang kubawa dari Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kentucky bukan untukku. Tanah dan padang rumput yang kuinjak ini bukan punyaku. Mister Stanton bukan ayahku. Dia ayah David. Tak ada lagi kekagumanku padanya. Kekaguman yang pernah singgah sejenak di hatiku.
Tiba-tiba aku melihat kuda yang datang dari arah yang berlawanan. David? Bukan! Kuda itu bukan kuda yang di tunggangi David tadi. Tetapi kuda itu adalah Blue Berry. Beberapa saat kemudian aku melihat pengendaranya, Irene. Mau apa dia?
‘Lucy, apa yang terjadi denganmu? Aku melihat Denver pulang sendiri,’ tanya Irene sambil menghentikan Blue Berry di sampingku. Alangkah penuh perhatiannya dia, pikirku.
‘Tidak apa-apa, Irene. Aku ingin jalan kaki saja.’
‘Oh, . . .’ Irene bernafas lega, ‘kusangka kamu mendapat kecelakaan. Oscar dan Georgie belum pulang. Terpaksa kuberanikan diri untuk naik kuda.’
‘Terima kasih, Irene,’ bisikku.
‘Untuk apa?’
‘Untuk perhatianmu,’ jawabku sambil berusaha untuk tersenyum. ‘Sekarang kamu boleh pulang. Kau lihat aku tidak apa-apa.’
‘Kamu benar-benar berniat untuk jalan kaki? Terlalu jauh, Lucy.’
‘Tidak apa-apa,’ jawabku. Irene mengangguk kemudian memacu Blue Berry pulang tanpa bertanya-tanya lagi.
Λ
Aku sedang mengepak barang-barangku ketika kudengar suara ban yang berdenyit kencang karena direm dengan mendadak. David telah pulang. Ingin benar aku keluar dan bertanya tentang keadaan Papa – Dari Clemmie aku mengetahui bahwa David terbang ke Colombus untuk menjenguk Papa – tetapi otakku melarang tubuhku untuk bergerak. Kalau memang ada sesuatu yang harus kuketahui tentu dia akan datang memberitahuku.
Sejenak kemudian kudengar langkah-langkah kaki David menaiki anak tangga. Lewat di depan kamarku. Berhenti di sana lama. Aku tegang. David tidak mengetuk pintu, dia kemudian berlalu. Kudengar suara pintu yang terbuka dan di tutup kembali, berarti David sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri. Keadaan Papa tidak mengkhawatirkan, kesimpulanku, dan kuteruskan pekerjaanku lagi.
Semua barang-barangku sudah siap ketika ketukan pintu itu terdengar. Mula-mula lirih kemudian makin keras. Kutenangkan hatiku sebelum membuka pintu. David berdiri di depanku.
‘Boleh aku masuk?’ tanyanya pelan. Kuperlebar pintu yang kubuka tanpa menjawab. David masuk dengan canggung. Dia tampak heran melihat kedua koperku yang terbuka dengan isi yang sudah rapi, namun tidak berkomentar. Kubiarkan dia dalam keheranannya. Sesudah David duduk barulah aku melihat David membawa sebuah tas kecil.
‘Aku baru saja melihat Papa,’ dia membuka percakapan. Aku diam saja tak memberi tanggapan. ‘Papa memberikan ini untukmu,’ lanjut David sambil membuka tas yang di bawanya. Nampak beberapa bundelan uang ratusan dollar. Semuanya masih baru dan berbau bank.
‘Untuk apa?’ tanyaku parau penuh kecurigaan.
‘Untuk hidupmu yang akan datang. Papa memutuskan untuk menafkahimu hingga kamu bisa berdiri sendiri. Uang ini cukup untuk kau gunakan selama lima belas tahun bila kamu bisa sedikit berhemat,’ ucap David lancar. ‘Sesudah itu . . .’
‘Kamu bohong,’ potongku geram.
‘Aku tidak bohong,’ bantah David sambil menahan agar suaranya tidak meninggi. ‘Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Papa mengakui bahwa kedatanganmu telah menggoncangkan jiwa Papa,’ lanjut David begitu kejamnya.
‘Dan Papa menginginkan agar aku segera angkat kaki?’
‘Ya. Besok sore Batista bersaudara akan mengantarmu sampai New York dan dari sana kamu ter . . .’
‘Tidak perlu!’ bantahku sakit hati. ‘Aku sudah siap untuk pergi sendiri tanpa perlu kau usir.’
‘Jangan konyol. Papa menyuruh aku untuk menemanimu hingga New York,’ kata David. Berarti ini bukan main-main. Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini. Aku benar-benar sakit hati. Ayah kandungku tak menginginkan aku. Apa artinya uang? Aku tak membutuhkan uangnya. Dan apa pula arti dari kebahagiaan yang diperlihatkan Papa ketika menyambut kedatanganku? Apakah itu semua hanya sebuah sandiwara? Berpacu di atas pelana dan obrolan-obrolan sesuai makan malam, tidak ada artinyakah itu?
‘Kamu dan ayahmu benar-benar manusia tanpa hati. Binatang!’ desisku. David tak mengubris omonganku. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.
‘Bawalah uangmu. Aku tidak membutuhkannya,’ teriakku.
‘Itu uangmu, Lucy. Kamu berhak untuk menggunakan sesuka hatimu. Mau kau bakar pun boleh,’ toleh David. Kudekati dia dan . . . Plaar! Tanganku melayang di pipinya. David menatap nanar padaku.
‘Lucy, aku kasihan padamu. Ibumu telah kawin lagi dan mau enaknya sendiri dengan menyuruh kamu datang kemari.’
‘Tutup mulutmu!’
‘Ibumu benar-benar licik. Dia tahu Papa akan segera membuat surat wasiat. Dengan hadirnya kamu di sini, ibumu mengira kamu akan mendapat bagian,’ oceh David tak mengacuhkan laranganku.
‘Itu hanya pikiran kotormu.’
‘Tapi Papa segera menyadari. Kamu jangan berharap lagi. Bagianmu hanyalah yang ada di dalam tas itu. Kamu tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan kami.’ tutup David dan bergegas meninggalkanku.
Sesudah David berlalu, aku berdiam tidak begeming. Mematung dan tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menangispun aku tak mampu. Tuduhan yang mereka lontarkan kepada Mama benar-benar tidak manusiawi. Dan ironinya tuduhan itu yang melancarkan anak kandung Mama sendiri.
Kubuka jendela kamarku. Malam benar-benar pekat. Tak ada sebuah bintang pun yang bersinar. Mendung yang menggelantung di langit menggambarkan kesedihanku. Dimana Oscar? Dimana Irene? Mengapa mereka tidak memainkan biolanya? Mengapa tidak kudengar Il Silenzio mereka?
Uang yang di berikan Papa terlampau banyak. Hampir saja semuanya kubakar tapi untung otak warasku masih bekerja. Begitu banyak hal-hal yang dapat kulakukan dengan uang sebanyak itu. Papa telah melicinkan jalanku. Kubongkar kembali koperku. Kupilih pakaian-pakaian santaiku dan kumasukkan ke dalam ransel yang kubeli bersama Irene tempo hari yang sedianya kukirim untuk Adit tapi belum jadi. Tas kecil dari David kuselipkan di antara baju-baju itu setelah terlebih dahulu kuambil beberapa lembar dan kumasukkan kedalam tas tanganku. Rencanaku sudah matang. Stanton boleh membenciku tetapi tidak boleh mengatur jalan hidupku. Aku mempunyai kehidupan sendiri yang harus kujalani sendiri pula.
Semalaman aku tak berhasil memejamkan mata. Terlampau tegang dan kuatir jika rencanaku gagal. Begitu langit di sebelah timur bersemu merah aku segera mandi dan ganti pakaian. Kuperiksa sekali lagi ranselku. Aku harus cepat atau David akan segera terbangun dan menggagalkan rencanaku.
‘Missy, mau kemana?’ tegur Clemmie di lantai bawah ketika melihatku sudah siap.
‘Dimana Georgie?’ bissikku.
‘Di garasi,’ jawab Clemmie ikut berbisik.
‘Aku akan ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku. ‘Aku membutuhkan Georgie untuk mengantarku ke airport,’
‘Kenapa tidak bilang dari kemarin hingga saya bisa menyiapkan sarapan untukmu.’
‘David baru memberitahu tadi malam dan sudah terlalu larut untuk membicarakan denganmu,’ jawabku setengah betul. ‘Clemmie, aku harus segera pergi,’ lanjutku memutuskan pembicaraan. Clemmie nampak agak bingung. Kubiarkan saja dan aku berlari menuju ke garasi. Kujumpai Georgie di sana sedang membersihkan mobil.
‘Georgie, maukah kamu mengantarku ke airport?’ tanyaku.
‘Airport?’
‘Ya. Aku harus terbang ke Colombus,’ jawabku. Georgie tidak bertanya untuk apa aku ke Colombus jadi aku tidak harus membohonginya. Dia tentu mengira aku akan menjenguk Papa.
Λ
Selamat tinggal, Stanton. Selamat tinggal semua dan selamat tinggal padang rumput, bisik hatiku ketika aku dan Georgie sudah berada di tengah-tengah padang rumput dan mulai menjauhi rumah. Untung hari masih terlalu pagi sehingga lalu lintas tidak begitu penuh dan Georgie dapat mengendarai mobilnya dengan bebas. Louisville masih tidur berselimut kabut pagi.
‘Terima kasih, Georgie,’ ucapku sambil meloncat turun dari mobil begitu sampai di airport. Georgie tampak sedikit heran. Dia berniat untuk mengantarku masuk tetapi segera kucegah. Kalau dia sampai masuk dia akan tahu kalau aku telah membohonginya.
‘Sampai di sini saja, Georgie, biarkan aku masuk sendiri.’
‘Tapi . . .’
‘Tidak apa-apa. Lihat aku tidak membawa barang berat jadi aku bisa membawanya sendiri,’ dustaku. Georgie bimbang. Dia pasti curiga sekarang.
‘Dengar, Georgie, kalau aku diantar masuk, rasanya aku akan pergi lama. Aku benci perpisahan,’ sambungku meyakinkan. Georgie tersenyum.
‘Paling tidak ijinkan aku mengantarmu hingga kamu bertemu dengan Batista. Sesudah itu aku akan pergi.’
‘Georgie . . .’
‘Oke, kalau itu maumu,’ sambung Georgie kecewa.
‘Terima kasih, Georgie. Sampai jumpa nanti malam,’ kataku untuk membunuh kecurigaannya. Georgie mengangguk dan menjalankan mobilnya. Begitu dia tak nampak lagi, aku segera masuk ke airport. Untuk pertama kalinya aku merasa terbebas dari tekanan yang menghimpit batinku. Kini aku bebas untuk menjalani kehidupanku. Bebas menentukan apa yang akan kujalani. Tak seorang pun yang akan merintangi jalanku. Tidak ibu Oom No, tidak Papa, tidak pula David. Aku adalah Lusi, bukan Lucinda Stanton lagi.
Begitu masuk ke airport segera kulihat jadwal penerbangan yang tergantung di atas meja informasi. Paling atas adalah flight nomor 304 dari pesawat United yang akan menuju ke Jacksonville, Florida. Kuteliti penerbangan yang ke Colombus, tidak ada! Aku mulai panik. Kalau Georgie sampai di rumah, David akan segera tahu kalau aku telah melarikan diri . Dia tentu akan menyusulku kemari. Aku harus segera keluar dari Louisville.
Penerbangan ke Jacksonville dijadwalkan pada jam 6.45. Kulihat jam yang melilit dipergelangan tanganku. Jam enam seperempat. Segera kuhubungi penjualan tiket. Aku harus keluar dari Louisville secepatnya. Tidak peduli tempat mana yang akan kutuju.
Sambil menunggu waktu yang di tentukan, aku berdiri mematung menatap para petugas airport yang sedang membersihkan dan membenahi ruangan.
‘Lucy!’ tiba-tiba kudengar sebuah panggilan. Panggilan itu begitu lirihnya tapi sanggup untuk membuat tubuhku terlonjak kaget. Secepat kilat aku memutar tubuh. Irene berdiri di depanku.
‘Irene, apa yang kamu lakukan di sini?’ bisikku.
‘Membuntutimu, Lusy,’
‘Membuntutiku? Aku tak mengerti maksudmu . Aku akan terbang ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku mulai tenang.
‘Kamu tidak akan ke Colombus, Lucy, aku melihat kamu membeli ticket untuk ke Jacksonville. Kamu tidak berniat untuk pergi ke Jaksonville, bukan?’ desak Irene. Aku benar-benar mati kutu. Irene telah mengetahui begitu banyak.
Sekarang apa yang akan di lakukannya?
‘Lucy,’ panggil Irene. Kutengadahkan wajahku dan menatap langsung ke matanya. Tidak ada niat jahat di mata itu.
‘Kita masih berteman, ‘kan?’ tanya Irene.
‘Ya,’ gumamku.
‘Kalau begitu dengarkan aku. Kamu tidak harus pergi ke Jacksonville. Aku bisa mencarikan kamu sebuah rumah di sekitar Louisville.’
‘Aku harus keluar dari Louisville, Irene,’
‘Siapa yang mengharuskanmu? Master David?’
‘Irene, bagaimana kamu bisa tahu?’ tanyaku benar-benar kaget.
‘Lucy, semua orang akan tahu dengan seketika. Kamu dan Master david adalah dua saudara kembar yang seharusnya bahagia bila di satukan lagi. Tapi tak pernah sekali pun kulihat kalian berbicara akrab. Dan aku tahu pula bukan kamu yang menyebabkan ketidakakraban itu. Master David terlalu sinis. Jadi sudah sewajarnya jika kamu tidak betah di rumah itu. Tapi kamu tidak harus melarikan diri. Hakmu atas rumah itu sebesar hak Master David. Kamu tidak akan mengalah terhadapnya ‘kan, Lucy,’ Irene menerangkan. Oh, jadi Irene tidak tahu. Dia tidak tahu kalau Papa pun telah mengusirku pula.
‘Irene, kamu keliru.’
‘Tidak, Lucy. Kemarin siang kamu bertengkar dengan Master David di hutan pinus ‘kan? Aku tidak tahu apa yang kalian pertengkarkan tapi aku melihat wajahmu begitu murung ketika aku menyusulmu. Saat itu aku yakin kamu bakal melakukan hal-hal nekat, maka kuputuskan diriku untuk mengawasimu. Jangan biarkan Master David menyakitimu,Lucy. Tetap tinggallah di Louisville,’ pinta Irene. Kugelengkan kepalaku.
‘Tidak bisa, Irene. Tidak bisa.’
‘Mengapa Lucy?’
‘Mereka akan mengirimku kembali ke Indonesia nanti sore,’ jawabku jujur. Dengan Irene rasa-rasanya tak ada yang perlu kurahasiakan lagi.
‘Siapa mereka?’
‘Papa dan David.’
‘Mister Stanton?’ tanya Irene tak percaya, ‘Mengapa?’
‘Aku tidak tahu. Mungkin Papa dendam kepada Mama karena Mama meninggalkan Papa. Menurut keputusan pengadilan, aku adalah tanggung jawab Mama. Aku tidak mau pulang ke Indonesia. Itulah sebabnya aku harus segera pergi dari Louisville.’ Irene terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba kulihat mata Irene berkaca-kaca.
‘Mengapa harus kamu yang mnderita? Mengapa bukan aku padahal aku yang berdosa,’ gumam Irene lirih. Aku tak mengerti makna dari ucapan itu. Tapi aku sudah tidak punya waktu untuk menganalisanya. Panggilan untuk menuju ke
pesawat sudah terdengar.
‘Irene, aku harus pergi,’ bisikku.
‘Lucy, jangan pergi, please?’ pinta Irene.
‘Kamu tahu aku tidak bisa.’
‘Lucy, kamu sama sekali tidak tahu daerah yang akan kau tuju,’ ucap Irene kuatir.
‘Jangan takut, Irene. Aku di lahirkan di Amerika. Ingat?’
‘Kamu yakin ini yang terbaik bagimu?’
‘Ya, Irene.’
‘Kalau begitu aku akan pergi menyertaimu. Aku tidak punya siapa-siapa disini. Aku bisa pergi kemana saja. Aku akan menemanimu.’
‘Apa?!’ teriakku tak percaya.
‘Aku akan pergi denganmu, Kita bisa cari kerja bersama.’
‘Irene, tidak!’ jawabku seketika.
‘Lucy,. . . ‘
‘Tidak, Irene. Aku akan pergi sendiri. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.’
‘Aku tidak akan menyulitkanmu. Aku akan menghidupi diriku sendiri. Tapi biarkan aku menjagamu.’
‘Menjagaku? Tidak! Aku tidak akan mengijinkanmu . Kamu kembalilah ke Stanton dan jangan katakan kemana aku pergi. Mereka akan curiga bila kita lari bersama.’
‘Lucy,…’
‘Tidak, Irene. Sekali lagi tidak!’
‘Lucy biarkan aku menebus dosa?
‘Menebus dosa? Irene, ini tidak ada hubungannya denganmu. Irene, jangan ngelantur. Aku bisa berdiri sendiri. Kamu akan benar-benar menolongku bila kamu mau pulang ke Stanton lagi. Aku akan menghubungimu, Irene. Kuminta kamu menyimpankan surat-surat yang datang dari Indonesia untukku. Mungkin suatu saat aku akan memintamu untuk mengirimkannya kepadaku. Oke?’
‘Kamu berjanji untuk menghubungiku dan memberi kabar?’
‘Ya, Irene, aku berjanji. Nah sekarang aku harus pergi.’
‘Lucy,’ panggil Irene. ‘Boleh aku memelukmu?’ tanyanya. Berdua kami berpelukan lama sekali. Enggan rasanya untuk melepaskan diri dari Irene.
‘Tuhan menyertaimu, Lucy,’ bisik Irene di tengah sedanya. Kupandang dia dari mataku yang mulai mengabur. Irene satu-satunya orang yang paling dekat denganku sesudah Mama. Aku tidak tahu apa yang telah mendekatkan kami berdua. Mengapa dengan David yang saudara kembarku sendiri aku tidak bisa sedekat ini. Mengapa?
to be continued ….
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kedua)
Di luar gelap sekali sehingga sia-sia saja usahaku. Tapi aku tahu dengan pasti dari mana datangnya suara itu, dari pohon oak di depan sana. Siapakah dia? Aku makin penasaran. Makin lama kudengarkan makin yakin aku kalau yang menggesek biola itu tidak hanya seorang. Dua orang telah memainkannya bersama dengan penuh penghayatan. Perasaanku pun ikut terhanyut. Il Silenzio, lagu kematian.
Tiba-tiba mereka menghentikan permainan mereka dan menoleh.
‘Maaf jika aku mengganggu kalian,’ ucapku pelan.
‘Miss Lucinda!’ tegur Irene dan Oscar berbarengan. Tak heran kalau Oscar memainkan Il Silenzio. Lagu itu pasti dipersembahkan untuk orang tua dan adik-adiknya yang telah tiada. Bagaimana dengan Irene? Apakah orang tua Irene juga sudah meninggal?
‘Tidak keberatan jika aku ikut mendengarkan di situ?’ tanyaku.
‘Kemarilah, Miss Lucinda,’ ajak Oscar. Aku mendekat dan duduk di samping Irene.
‘Belum tidur?’ tanya Irene halus
‘Hampir saja aku tertidur ketika mendengar permainan kalian.”
‘Apakah kami telah mengganggu tidurmu?’
‘Oh, sama sekali tidak. Kalian bermain begitu indahnya,” pujiku. “Kenapa kalian tidak main lagi? Anggap saja aku tidak ada di sini,’ lanjutku. Oscar segera mengangkat biolanya yang di susul oleh Irene. Sesaat kemudian mengalunlah Green Sleeves. Indah sekali. Menghias malam yang senyap. Wajah murung Irene tampak semakin murung ketika membawakan lagu itu.
‘Indah sekali,’ bisikku ketika mereka selesai bermain.
‘Anda tahu lagu tadi, Miss Lucinda?” tanya Oscar penuh minat.
‘Aku pernah mendengarnya,’
‘Engkau pasti mengerti musik,” kejar Oscar tidak puas.
‘Aku tidak mengerti, Oscar. Aku penggemar musik. Aku tahu mana musik yang baik dan mana musik yang tidak. Itu saja.”
“Bisa main biola?”
“No…,”
‘Anda pasti bisa. Tidak ada orang yang mau menyempatkan diri untuk datang kemari jika dia tidak bisa main biola,’ debat Oscar.
‘Itu karena permainan kalian bagus sekali hingga mampu mengundangku untuk datang,’
‘Aku tahu Anda bohong, Miss Lucinda. Ambillah biola ini dan mainkanlah sebuah lagu,’ desak Oscar sambil menyodorkan iolanya.
‘Oscar, aku tidak bisa,’
‘Anda bisa, Miss Lucinda. Anda juga pernah bilang kalau Anda tidak berkuda padahal Anda mahir. Mainkanlah sebuah lagu.’
‘Dengar baik-baik, Oscar, aku tidak bisa bermain sebagus kalian,’
‘Nah, benarkan? Anda bisa bermain. Mainkanlah lagu Indonesia, Miss Lucinda. Engkau mau ‘kan?’ pinta Oscar. Matanya benar-benar mengharapkanku. Kuturuti permintaannya dan kumainkan ‘Melati dari Jayagiri’. Aku berusaha untuk tidak membuat kesalahan. Irene dan Oscar pasti akan segera mengetahui jika kesalahan itu kubuat. Telinga mereka pasti sudah benar-benar terlatih.
‘Apa nama lagu itu, Miss Lucinda?’ tanya Oscar begitu aku menurunkan biola kembali.
‘Melati dari Jayagiri. Melati adalah nama sebuah bunga sejenis jasmine dan dalam lagu ini digunakan sebagai lambang untuk seorang gadis. Jayagiri adalah nama sebuah tempat,’ jawabku asal-asalan.
‘Mainkanlah sekali lagi,’ pinta Irene mengejutkan.
‘Kamu sungguh-sungguh memintaku?’ tanyaku tak percaya
‘Ya,” jawab Irene mantap. Kumainkan Melati dari Jayagiri sekali lagi. Aku tidak menyangka Irene bakal ikut bermain bersamaku. Daya tangkapnya luar biasa. Begitu aku selesai, kuminta dia untuk memainkannya sendiri. Dia menuruti tanpa cela.
‘I’ve got it,’ cetus Oscar tiba-tiba.
‘Engkau mau bermain pula, Oscar? Ini biolamu,’
‘Tidak perlu, Miss Lucinda . Aku membawa harmonika. Mengapa tidak kita mainkan sekali lagi bersama?’ usul Oscar. Aku dan Irene menyetujuinya. Maka mengalunlah lagu itu di malam yang sepi di tengah padang rumput, seakan lagu itu tercipta khusus untuk dimainkan di sini. B egitu pas dan sesuai dengan keadaan. Begitu mengena. Tentu pada waktu mencipta lagu ini Bimbo sedang berada di tengah-tengah padang rumput.
‘Apakah banyak komponis di Indonesia?’ tanya Oscar.
‘Ya, banyak juga. Cuma . . . mereka jarang yang bisa muncul ke dunia Internasional. Masalahnya bukan tak mampu tapi tidak ada kesempatan.’
‘Aku percaya’ bisik Irene dengan suaranya yang lembut. ‘Kalau mereka bisa mencipta lagu seindah tadi pasti masih ada lagi karya-karya lain yang indah. Aku berharap dapat ke Indonesia nanti di suatu saat,’ lanjutnya penuh harapan. Aku senang mendengar kata-kata Irene itu.
‘Nanti kita pergi bersama, Miss Irene,’ sela Oscar sambil tertawa. Giginya yang putih masih tetap tampak walau malam begitu pekat. Irene ikut tersenyum
‘Aku takut aku harus menunggumu terlalu lama,’ desah Irene.
‘Tidak,’ potong Oscar cepat. ‘Mulai besok aku akan menabung. Tidak ada lagi majalah sport yang kubeli begitu juga CD.’
‘Bukan itu, Oscar. Tetapi menunggu kamu hingga jadi musikus dan mempunyai cukup uang untuk membiayaiku,’ canda Irene.
‘Membiayaimu?’ tanya Oscar serius.
‘Ya, mengapa tidak? Aku yang mengajarimu main biola. Kamu nanti pasti akan menjadi pemain biola handal. Pasti nanti uangmu berlimpah,’ hibur Irene. Oscar berdecak senang. Oscar boleh mempunyai cita-cita setinggi itu. Dia mempunyai sesuatu yang kuat untuk menunjukkan cita-citanya. Usia muda, bakat, dan satu lagi, dia hidup di Amerika yang membuka banyak kesempatan untuk dirinya. Irene tahu itu, dia tidak hanya sekedar bergurau.
Kami masih bermain lagi, membawakan lagu-lagu ringan sebelum kami saling mengucapkan selamat malam karena kantuk yang tidak dapat di tahan lagi. Maka berlalulah sebuah malam yang indah.
Λ
Pagi itu aku kaget setengah mati ketika menjumpai Papa masih di rumah padahal aku sudah bangun terlambat.
‘Belum pergi, Papa?’
‘Aku sengaja menunggu hingga kamu bangun,’ jawab Papa.
‘Menungguku? Mengapa?’ tanyaku tak habis pikir sebab belum pernah Papa pamitan padaku sebelum pergi.
‘Aku harus pergi untuk beberapa hari, jadi kurasa aku wajib untuk memberitahumu. Semalam aku lupa mengatakannya.’
‘Mengapa Papa tidak membangunkanku?’
‘Tidak perlu tergesa-gesa. Konperensinya baru dibuka sore nanti.’
‘Konperensi?’
‘Ya. Konperensi di Universitas Ohio di Colombus.’
‘Universitas Ohio?’ tanpa kusadari aku telah membeo setiap ucapan Papa dan rupanya Papa menyadarinya.
‘Universitas Ohio memiliki fakultas pertanian yang terbaik di seluruh Amerika dan sering mengadakan konperensi dengan para petani. Karena Papa kebetulan seorang petani dan kebetulan pula Alumni dari sana, maka Papa mendapat undangan.”
‘O, . . . ‘ aku Cuma bisa melongo. Kemudian Papa mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar ratusan dollar yang segera di ulurkannya kepadaku.
‘Belilah sesuatu. Kamu belum pergi ke mana-mana sejak kedatanganmu kemari. Besok pagi Irene akan ke kota, kamu bisa ikut dengannya.’
‘Terimakasih, Papa, tapi aku masih mempunyai sisa uang pemberian Mama,’ tolakku sok aksi.
‘Lucy, kali ini pemberian Papa,” Papa memaksa. Kuterima juga akhirnya uang itu dan kumasukkan ke saku celanaku.
‘Aku sudah membuka rekening bank untukmu. Dua atau tiga hari lagi kamu akan menerima kartu ATM. Sementara itu, kalau engkau kekurangan uang, bisa meminta pada David. Oke, Lucy, Papa pergi dulu,” kata Papa. Meminta pada David? Huu . . . rasanya lebih baik aku mati kelaparan daripada meminta darinya. Kuantar Papa sampai ke mobilnya. Begitu mobil itu menghilang aku segera mencari Denver dan memacunya ke hutan pinus.
Λ
Irene begitu cekatan dalam membeli barang-barang yang di butuhkannya. Dia telah mencatat apa-apa yang akan dibelinya sehingga dia tinggal memberi tanda barang-barang apa saja yang sudah di ambilnya. Untuk berbelanja sebanyak empat kereta belanja dia tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam. Sedang aku . . . mencari sebuah ransel untuk Adit saja telah menghabiskan waktu beberapa jam! Mungkin karena kecekatannya itulah Irene di beri tugas untuk berbelanja ke kota seminggu sekali.
Sebelum ke kasir, irene mengeluarkan bundelan kertas yang ternyata merupakan kupon discount yang di kumpulkannya dari majalah-majalah atau bekas pembungkus yang lama.
‘Cara untuk mendapatkan uang ekstra,” bisik Irene lugu sambil tersenyum. Potongan harga yang di dapat Irene lebih dari sepuluh persen dari jumlah seluruh belanja. Dari uang itu dia membeli sebuah majalah sport dan CD untuk Oscar.
‘Irene, kamu begitu memperhatikan Oscar,’ cetusku tak bertahan dalam perjalanan pulang. Irene memandangku sejenak sebelum menjawab.
‘Saya tidak tahu mengapa, tapi saya menyayanginya.’
‘Yah, kurasa semua orang menyayangi Oscar,” pendapatku. ‘Apakah kamu mempunyai adik, Irene?’ tanyaku kemudian. Lama dia tak menjawab. Hampir saja aku mengira Irene tak mendengar apa yang kutanyakan kepadanya ketika tiba-tiba saja dia menghembuskan nafas panjang. Aku tahu Irene tak suka menceritakan tentang dirinya. Seharusnya aku tak bertanya tadi.
‘Engkau tidak harus menjawab,’ kataku. Aku sama sekali tak mengira hal itu ternyata justru memancing Irene untuk menjawab.
‘Tidak ada yang perlu di sembunyikan, Miss Lucinda. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tidak saudara dan tidak pula orang tua,” kata Irene datar. Astaga, . . sadisnya aku. Mengapa aku selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau tadi aku tak ertanya tentu Irene tidak harus menjawab dan kalau Irene tidak harus menjawab dia tidak akan teringat kisah sedihnya.
‘Irene,’ panggilku lirih, ‘Kamu mempunyai seseorang di dunia ini,. . . aku. Maukah engkau menjadi temanku, Irene?’ Irene menatapku tak percaya.
‘Miss Lucinda?’
‘Panggil aku Lusi. Kita sekarang adalah teman,’
‘Miss … ‘
‘Lusi,’ potongku cepat.
‘Oke, Lusi.’ Irene tergagap tetapi sebuah senyum manis tersinggung di bibirnya yang tipis. Ya Tuhan aku sangat kenal dengan senyum itu. Tetapi senyum siapa? Irene jarang tersenyum. Lalu senyum siapa yang persis dengan senyum itu?
Λ
Aku sedang membenamkan diri dalam lamunan di tepi telaga ketika kudengar kaki kuda berderap mendekatiku. Kulirik Denver. Dia masih berada di tempatnya semula. Lalu siapa? Georgie dan Oscar sejak tadi pagi sudah pergi ke ladang apel. Derap kaki kuda itu makin mendekat. Kusibakkan daun pinus yang ada dibelakangku dan mengintip. David?!! Mau apa dia kemari? Ingin benar aku melarikan diri tapi sudah tak mungkin lagi karena David sudah terlalu dekat. Dia akan segera melihatku. Kuurungkan niatku dan duduk lagi dengan cemas. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.
David dan kudanya muncul di dekat Denver. Dia tidak kaget ketika melihatku, berarti dia sudah tahu aku berada di sini. Tapi mengapa dia masih datang juga? Apa yang ingin dia lakukan? David meloncat turun dari kudanya dan berjalan ke arahku. Dia menatapku tajam. Kutantang matanya. Aku tidak mau menunjukkan rasa takutku, dia akan menertawakannya. Akibatnya kami saling memberingaskan mata berusaha menundukkan satu sama lainnya.
‘Aku membawa kabar buruk buatmu.’ David memulai tanpa emosi. Bayangan Mama melintas dalam pikiranku. Ada apa dengan Mama?
‘Ada apa?’ tanyaku lemah. Tidak lagi kuingat untuk menentang matanya. Aku tidak ingin apa-apa lagi.
‘Papa terkena serangan jantung sewaktu konperensi,’
‘Papa?’ tanyaku sumbang. Jadi bukan Mama.
‘Ya.’
‘Papa terkena serangan jantung?’ ulangku. ‘Apakah Papa sering mendapat serangan jantung seperti itu?’
‘Ya dan tidak,’ jawab David. “Ya, Papa mendapat serangan jantung tapi Papa belum pernah mendapat serangan jantung hingga kamu datang kemari.’
‘Apa maksudmu?’
‘Untuk apa sebenarnya engkau datang kemari?’ tanya David tak menjawab pertanyaanku.
‘Untuk apa kamu datang kemari, Lucinda?’ tanya David lagi ketika aku tidak menjawab pertanyaannya.
‘Apa hubungan antara kedatanganku dengan penyakit Papa?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ sahut David congkak.
‘Aku takkan menjawab sebelum engkau menjawab pertanyaanku.’
‘Aku yang bertanya lebih dahulu,’ bantah David keras.
‘Aku tidak harus menjawab pertanyaanmu,’ aku tidak mau kalah. Hutan yang tadi sepi kini mulai gaduh. Burung-burung mulai berterbangan dengan hingarnya, terganggu oleh pertengkaran kami.
‘Oke, dengar baik-baik, Miss Lucinda. Dokter Papa baru saja menelponku, bahwa Papa sudah dalam perawatan. Dan dokter tadi juga menanyakan apakah ada peristiwa mengejutkan yang terjadi dalam hidup Papa. Tak ada! Kecuali kedatanganmu kemari.’
‘Itu bukan alasan yang sesungguhnya. Engkau hanya menduga,’
‘Lalu apa?’ tantang David. ‘Bisakah kamu menamakan peristiwa yang telah mengejutkan Papa selain kedatanganmu?
‘Aku tidak tahu. Tapi aku yakin bukan aku penyebabnya.”
“Bukan kau? Lalu siapa? Aku?” David tertawa sinis.
‘Hentikan tuduhanmu yang tidak relevan itu,’ jeritku panas.
‘Memang tidak relevan, tapi masuk akal,’ bantah David geram. “Enam belas tahun yang lalu ibumu juga telah berlaku kejam terhadap Papa, meninggalkannya tanpa pesan. Dan sekarang kamu mau mengusik kehidupan Papa yang sudah tentram. Apa maumu, Lucinda?’
David mengalamatkan Mama dengan ‘ibumu’ bukan ibu kita atau Mama. Hal itu benar-benar menyakitkan hatiku.
‘Mama punya alasan kuat untuk meninggalkan Papa,’ belaku.
‘Alasan kuat? Bah!! Ibumu telah tergila-gila dengan pria hingga dia tega meninggalkan keluarganya. Apakah itu alasan kuat?’ kecam David. Aku seperti kena tampar mendengar kata-katanya yang kejam. Dia mengomentari wanita yang telah melahirkannya dengan kata-kata serendah itu. Kemarahanku mencapai puncaknya. Mama telah di hina, aku harus membelanya.
‘Tarik kembali kata-katamu yang kurang ajar itu!’ hardikku
‘Aku hanya mengatakan sebuah fakta tentang ibumu,’ ucap David begitu tenangnya.
‘Dia ibumu juga dan dia tidak serendah itu.’
‘Dia ibumu, bukan ibuku. Dia talah memailih untuk menjadi ibumu dan Papa telah memilih untuk menjadi ayahku. Aku tidak pernah mempunyai seorang ibu,’ sahut David. Tuhan apa jadinya jika Mama mendengar apa yang baru saja di ucapkan David?
‘Sekarang kamu harus menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ Tanya David lagi. Aku tidak menjawabnya. Tidak ada gunanya bercakap-cakap dengan manusia setan seperti dia.
‘Berarti dugaan Deidre benar,’ gumam David.
‘Apa dugaannya?’ tanyaku benar-benar ingin tahu.
‘Engkau datang untuk mencari warisan,’ jawab David seenaknya. Oh, dia mengira aku serendah itu? ‘Tapi harap kau ingat, Lucy. Engkau tak bakal menerima sesen pun dari Papa,’ lanjut David.
Kemarahanku sudah tak terkendalikan lagi. Bukan karena mendengar aku tak bakal menerima warisan, tetapi karena David mempercayai omongan wanita murahan macam Deidre.
‘Aku tidak datang untuk itu. Aku tak butuh uang ayahmu,’ teriakku. Aku pun ikut-ikutan dengan memanggil Papa sebagai ‘ayahmu’.
‘Oh ya? Lalu untuk apa?’ tanya David tak percaya.
‘Untuk menemui Ayahku.’
“Dia bukan ayahmu lagi.”
‘Hubungan Ayah dan anak tidak bisa hilang begitu saja sebagaimana hubungan ibu dan anak,” sanggahku. David tertawa sinis. Alangkah bencinya aku mendengar tawanya.
‘Kamu salah. Lucinda. Hubunganmu dengan Papa sudah putus sejak pengadilan memutuskan perceraian ibumu dengan ayahku dan kamu menjadi tanggung jawab ibumu. Kalau kamu masih menerima kiriman uang dari Papa itu karena Papa bermurah hati kepadamu dan kamu harus berterimakasih untuk itu.’
‘Sudah kewajibannya untuk membesarkanku..’
‘Benarkah itu? Apakah engkau belum besar sekarang? Berapa umurmu? Sembilan belas tahun. Padahal batas usia besar itu delapan belas tahun. Papa tidak mempunyai kewajiban lagi terhadapmu. Fair is fair, Miss Lucinda,’ kata David sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak bisa menjawab. Ingin benar aku menangis tapi sekuat tenaga kutahan. David akan lebih girang lagi bila dapat melihat aku menangis.
‘Maaf aku telah menghancurkan harapanmu,’ kata David sinis. Kemudian dia berjalan menjauhiku.
‘Aku benci kamu! Benci sekali!’ teriakku. David menoleh.
‘Sama-sama, Miss Lucinda. Aku juga membencimu. Benci sekali,’ ucapnya angkuh. Inilah dia … dua saudara kembar yang telah disatukan tetapi apa yang diucapkan adalah kata-kata penuh kebencian.
Setelah David berlalu barulah aku teringat kembali kepada Papa. Mengapa kami harus bertengkar sementara Papa sedang menderita? Apakah benar aku telah mengejutkan Papa? Tetapi mungkinkah itu? Bagaimanapun juga aku adalah anak Papa dan Mama toh sudah meminta persetujuan Papa apakah aku boleh tinggal bersamanya atau tidak.
Kembali aku teringat penghinaan David tadi. Dia begitu keras kepala dan angkuh. Apakah dengan kata-katanya tadi dia telah mengusirku secara tak langsung? Apakah aku harus pulang kepada Mama? Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi. Bukannya aku tidak mau bertemu dengan Mama. Tetapi jika aku pulang, Mama akan segera tahu apa yng sesungguhnya terjadi. Mama akan tahu aku tidak diinginkan di sini. Mama akan tahu anak sulungnya tidak menganggap Mama sebagai ibunya lagi. Tetapi jika aku tidak pulang, tidak malukah aku? Haruskah aku menebalkan muka dengan tetap tinggal di sini dan membiarkan David melakukan penghinaan seenak perutnya? Aku benar-benar bingung.
to be continued …