Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kedua)
Di luar gelap sekali sehingga sia-sia saja usahaku. Tapi aku tahu dengan pasti dari mana datangnya suara itu, dari pohon oak di depan sana. Siapakah dia? Aku makin penasaran. Makin lama kudengarkan makin yakin aku kalau yang menggesek biola itu tidak hanya seorang. Dua orang telah memainkannya bersama dengan penuh penghayatan. Perasaanku pun ikut terhanyut. Il Silenzio, lagu kematian.
Tiba-tiba mereka menghentikan permainan mereka dan menoleh.
‘Maaf jika aku mengganggu kalian,’ ucapku pelan.
‘Miss Lucinda!’ tegur Irene dan Oscar berbarengan. Tak heran kalau Oscar memainkan Il Silenzio. Lagu itu pasti dipersembahkan untuk orang tua dan adik-adiknya yang telah tiada. Bagaimana dengan Irene? Apakah orang tua Irene juga sudah meninggal?
‘Tidak keberatan jika aku ikut mendengarkan di situ?’ tanyaku.
‘Kemarilah, Miss Lucinda,’ ajak Oscar. Aku mendekat dan duduk di samping Irene.
‘Belum tidur?’ tanya Irene halus
‘Hampir saja aku tertidur ketika mendengar permainan kalian.”
‘Apakah kami telah mengganggu tidurmu?’
‘Oh, sama sekali tidak. Kalian bermain begitu indahnya,” pujiku. “Kenapa kalian tidak main lagi? Anggap saja aku tidak ada di sini,’ lanjutku. Oscar segera mengangkat biolanya yang di susul oleh Irene. Sesaat kemudian mengalunlah Green Sleeves. Indah sekali. Menghias malam yang senyap. Wajah murung Irene tampak semakin murung ketika membawakan lagu itu.
‘Indah sekali,’ bisikku ketika mereka selesai bermain.
‘Anda tahu lagu tadi, Miss Lucinda?” tanya Oscar penuh minat.
‘Aku pernah mendengarnya,’
‘Engkau pasti mengerti musik,” kejar Oscar tidak puas.
‘Aku tidak mengerti, Oscar. Aku penggemar musik. Aku tahu mana musik yang baik dan mana musik yang tidak. Itu saja.”
“Bisa main biola?”
“No…,”
‘Anda pasti bisa. Tidak ada orang yang mau menyempatkan diri untuk datang kemari jika dia tidak bisa main biola,’ debat Oscar.
‘Itu karena permainan kalian bagus sekali hingga mampu mengundangku untuk datang,’
‘Aku tahu Anda bohong, Miss Lucinda. Ambillah biola ini dan mainkanlah sebuah lagu,’ desak Oscar sambil menyodorkan iolanya.
‘Oscar, aku tidak bisa,’
‘Anda bisa, Miss Lucinda. Anda juga pernah bilang kalau Anda tidak berkuda padahal Anda mahir. Mainkanlah sebuah lagu.’
‘Dengar baik-baik, Oscar, aku tidak bisa bermain sebagus kalian,’
‘Nah, benarkan? Anda bisa bermain. Mainkanlah lagu Indonesia, Miss Lucinda. Engkau mau ‘kan?’ pinta Oscar. Matanya benar-benar mengharapkanku. Kuturuti permintaannya dan kumainkan ‘Melati dari Jayagiri’. Aku berusaha untuk tidak membuat kesalahan. Irene dan Oscar pasti akan segera mengetahui jika kesalahan itu kubuat. Telinga mereka pasti sudah benar-benar terlatih.
‘Apa nama lagu itu, Miss Lucinda?’ tanya Oscar begitu aku menurunkan biola kembali.
‘Melati dari Jayagiri. Melati adalah nama sebuah bunga sejenis jasmine dan dalam lagu ini digunakan sebagai lambang untuk seorang gadis. Jayagiri adalah nama sebuah tempat,’ jawabku asal-asalan.
‘Mainkanlah sekali lagi,’ pinta Irene mengejutkan.
‘Kamu sungguh-sungguh memintaku?’ tanyaku tak percaya
‘Ya,” jawab Irene mantap. Kumainkan Melati dari Jayagiri sekali lagi. Aku tidak menyangka Irene bakal ikut bermain bersamaku. Daya tangkapnya luar biasa. Begitu aku selesai, kuminta dia untuk memainkannya sendiri. Dia menuruti tanpa cela.
‘I’ve got it,’ cetus Oscar tiba-tiba.
‘Engkau mau bermain pula, Oscar? Ini biolamu,’
‘Tidak perlu, Miss Lucinda . Aku membawa harmonika. Mengapa tidak kita mainkan sekali lagi bersama?’ usul Oscar. Aku dan Irene menyetujuinya. Maka mengalunlah lagu itu di malam yang sepi di tengah padang rumput, seakan lagu itu tercipta khusus untuk dimainkan di sini. B egitu pas dan sesuai dengan keadaan. Begitu mengena. Tentu pada waktu mencipta lagu ini Bimbo sedang berada di tengah-tengah padang rumput.
‘Apakah banyak komponis di Indonesia?’ tanya Oscar.
‘Ya, banyak juga. Cuma . . . mereka jarang yang bisa muncul ke dunia Internasional. Masalahnya bukan tak mampu tapi tidak ada kesempatan.’
‘Aku percaya’ bisik Irene dengan suaranya yang lembut. ‘Kalau mereka bisa mencipta lagu seindah tadi pasti masih ada lagi karya-karya lain yang indah. Aku berharap dapat ke Indonesia nanti di suatu saat,’ lanjutnya penuh harapan. Aku senang mendengar kata-kata Irene itu.
‘Nanti kita pergi bersama, Miss Irene,’ sela Oscar sambil tertawa. Giginya yang putih masih tetap tampak walau malam begitu pekat. Irene ikut tersenyum
‘Aku takut aku harus menunggumu terlalu lama,’ desah Irene.
‘Tidak,’ potong Oscar cepat. ‘Mulai besok aku akan menabung. Tidak ada lagi majalah sport yang kubeli begitu juga CD.’
‘Bukan itu, Oscar. Tetapi menunggu kamu hingga jadi musikus dan mempunyai cukup uang untuk membiayaiku,’ canda Irene.
‘Membiayaimu?’ tanya Oscar serius.
‘Ya, mengapa tidak? Aku yang mengajarimu main biola. Kamu nanti pasti akan menjadi pemain biola handal. Pasti nanti uangmu berlimpah,’ hibur Irene. Oscar berdecak senang. Oscar boleh mempunyai cita-cita setinggi itu. Dia mempunyai sesuatu yang kuat untuk menunjukkan cita-citanya. Usia muda, bakat, dan satu lagi, dia hidup di Amerika yang membuka banyak kesempatan untuk dirinya. Irene tahu itu, dia tidak hanya sekedar bergurau.
Kami masih bermain lagi, membawakan lagu-lagu ringan sebelum kami saling mengucapkan selamat malam karena kantuk yang tidak dapat di tahan lagi. Maka berlalulah sebuah malam yang indah.
Λ
Pagi itu aku kaget setengah mati ketika menjumpai Papa masih di rumah padahal aku sudah bangun terlambat.
‘Belum pergi, Papa?’
‘Aku sengaja menunggu hingga kamu bangun,’ jawab Papa.
‘Menungguku? Mengapa?’ tanyaku tak habis pikir sebab belum pernah Papa pamitan padaku sebelum pergi.
‘Aku harus pergi untuk beberapa hari, jadi kurasa aku wajib untuk memberitahumu. Semalam aku lupa mengatakannya.’
‘Mengapa Papa tidak membangunkanku?’
‘Tidak perlu tergesa-gesa. Konperensinya baru dibuka sore nanti.’
‘Konperensi?’
‘Ya. Konperensi di Universitas Ohio di Colombus.’
‘Universitas Ohio?’ tanpa kusadari aku telah membeo setiap ucapan Papa dan rupanya Papa menyadarinya.
‘Universitas Ohio memiliki fakultas pertanian yang terbaik di seluruh Amerika dan sering mengadakan konperensi dengan para petani. Karena Papa kebetulan seorang petani dan kebetulan pula Alumni dari sana, maka Papa mendapat undangan.”
‘O, . . . ‘ aku Cuma bisa melongo. Kemudian Papa mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar ratusan dollar yang segera di ulurkannya kepadaku.
‘Belilah sesuatu. Kamu belum pergi ke mana-mana sejak kedatanganmu kemari. Besok pagi Irene akan ke kota, kamu bisa ikut dengannya.’
‘Terimakasih, Papa, tapi aku masih mempunyai sisa uang pemberian Mama,’ tolakku sok aksi.
‘Lucy, kali ini pemberian Papa,” Papa memaksa. Kuterima juga akhirnya uang itu dan kumasukkan ke saku celanaku.
‘Aku sudah membuka rekening bank untukmu. Dua atau tiga hari lagi kamu akan menerima kartu ATM. Sementara itu, kalau engkau kekurangan uang, bisa meminta pada David. Oke, Lucy, Papa pergi dulu,” kata Papa. Meminta pada David? Huu . . . rasanya lebih baik aku mati kelaparan daripada meminta darinya. Kuantar Papa sampai ke mobilnya. Begitu mobil itu menghilang aku segera mencari Denver dan memacunya ke hutan pinus.
Λ
Irene begitu cekatan dalam membeli barang-barang yang di butuhkannya. Dia telah mencatat apa-apa yang akan dibelinya sehingga dia tinggal memberi tanda barang-barang apa saja yang sudah di ambilnya. Untuk berbelanja sebanyak empat kereta belanja dia tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam. Sedang aku . . . mencari sebuah ransel untuk Adit saja telah menghabiskan waktu beberapa jam! Mungkin karena kecekatannya itulah Irene di beri tugas untuk berbelanja ke kota seminggu sekali.
Sebelum ke kasir, irene mengeluarkan bundelan kertas yang ternyata merupakan kupon discount yang di kumpulkannya dari majalah-majalah atau bekas pembungkus yang lama.
‘Cara untuk mendapatkan uang ekstra,” bisik Irene lugu sambil tersenyum. Potongan harga yang di dapat Irene lebih dari sepuluh persen dari jumlah seluruh belanja. Dari uang itu dia membeli sebuah majalah sport dan CD untuk Oscar.
‘Irene, kamu begitu memperhatikan Oscar,’ cetusku tak bertahan dalam perjalanan pulang. Irene memandangku sejenak sebelum menjawab.
‘Saya tidak tahu mengapa, tapi saya menyayanginya.’
‘Yah, kurasa semua orang menyayangi Oscar,” pendapatku. ‘Apakah kamu mempunyai adik, Irene?’ tanyaku kemudian. Lama dia tak menjawab. Hampir saja aku mengira Irene tak mendengar apa yang kutanyakan kepadanya ketika tiba-tiba saja dia menghembuskan nafas panjang. Aku tahu Irene tak suka menceritakan tentang dirinya. Seharusnya aku tak bertanya tadi.
‘Engkau tidak harus menjawab,’ kataku. Aku sama sekali tak mengira hal itu ternyata justru memancing Irene untuk menjawab.
‘Tidak ada yang perlu di sembunyikan, Miss Lucinda. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tidak saudara dan tidak pula orang tua,” kata Irene datar. Astaga, . . sadisnya aku. Mengapa aku selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau tadi aku tak ertanya tentu Irene tidak harus menjawab dan kalau Irene tidak harus menjawab dia tidak akan teringat kisah sedihnya.
‘Irene,’ panggilku lirih, ‘Kamu mempunyai seseorang di dunia ini,. . . aku. Maukah engkau menjadi temanku, Irene?’ Irene menatapku tak percaya.
‘Miss Lucinda?’
‘Panggil aku Lusi. Kita sekarang adalah teman,’
‘Miss … ‘
‘Lusi,’ potongku cepat.
‘Oke, Lusi.’ Irene tergagap tetapi sebuah senyum manis tersinggung di bibirnya yang tipis. Ya Tuhan aku sangat kenal dengan senyum itu. Tetapi senyum siapa? Irene jarang tersenyum. Lalu senyum siapa yang persis dengan senyum itu?
Λ
Aku sedang membenamkan diri dalam lamunan di tepi telaga ketika kudengar kaki kuda berderap mendekatiku. Kulirik Denver. Dia masih berada di tempatnya semula. Lalu siapa? Georgie dan Oscar sejak tadi pagi sudah pergi ke ladang apel. Derap kaki kuda itu makin mendekat. Kusibakkan daun pinus yang ada dibelakangku dan mengintip. David?!! Mau apa dia kemari? Ingin benar aku melarikan diri tapi sudah tak mungkin lagi karena David sudah terlalu dekat. Dia akan segera melihatku. Kuurungkan niatku dan duduk lagi dengan cemas. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.
David dan kudanya muncul di dekat Denver. Dia tidak kaget ketika melihatku, berarti dia sudah tahu aku berada di sini. Tapi mengapa dia masih datang juga? Apa yang ingin dia lakukan? David meloncat turun dari kudanya dan berjalan ke arahku. Dia menatapku tajam. Kutantang matanya. Aku tidak mau menunjukkan rasa takutku, dia akan menertawakannya. Akibatnya kami saling memberingaskan mata berusaha menundukkan satu sama lainnya.
‘Aku membawa kabar buruk buatmu.’ David memulai tanpa emosi. Bayangan Mama melintas dalam pikiranku. Ada apa dengan Mama?
‘Ada apa?’ tanyaku lemah. Tidak lagi kuingat untuk menentang matanya. Aku tidak ingin apa-apa lagi.
‘Papa terkena serangan jantung sewaktu konperensi,’
‘Papa?’ tanyaku sumbang. Jadi bukan Mama.
‘Ya.’
‘Papa terkena serangan jantung?’ ulangku. ‘Apakah Papa sering mendapat serangan jantung seperti itu?’
‘Ya dan tidak,’ jawab David. “Ya, Papa mendapat serangan jantung tapi Papa belum pernah mendapat serangan jantung hingga kamu datang kemari.’
‘Apa maksudmu?’
‘Untuk apa sebenarnya engkau datang kemari?’ tanya David tak menjawab pertanyaanku.
‘Untuk apa kamu datang kemari, Lucinda?’ tanya David lagi ketika aku tidak menjawab pertanyaannya.
‘Apa hubungan antara kedatanganku dengan penyakit Papa?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ sahut David congkak.
‘Aku takkan menjawab sebelum engkau menjawab pertanyaanku.’
‘Aku yang bertanya lebih dahulu,’ bantah David keras.
‘Aku tidak harus menjawab pertanyaanmu,’ aku tidak mau kalah. Hutan yang tadi sepi kini mulai gaduh. Burung-burung mulai berterbangan dengan hingarnya, terganggu oleh pertengkaran kami.
‘Oke, dengar baik-baik, Miss Lucinda. Dokter Papa baru saja menelponku, bahwa Papa sudah dalam perawatan. Dan dokter tadi juga menanyakan apakah ada peristiwa mengejutkan yang terjadi dalam hidup Papa. Tak ada! Kecuali kedatanganmu kemari.’
‘Itu bukan alasan yang sesungguhnya. Engkau hanya menduga,’
‘Lalu apa?’ tantang David. ‘Bisakah kamu menamakan peristiwa yang telah mengejutkan Papa selain kedatanganmu?
‘Aku tidak tahu. Tapi aku yakin bukan aku penyebabnya.”
“Bukan kau? Lalu siapa? Aku?” David tertawa sinis.
‘Hentikan tuduhanmu yang tidak relevan itu,’ jeritku panas.
‘Memang tidak relevan, tapi masuk akal,’ bantah David geram. “Enam belas tahun yang lalu ibumu juga telah berlaku kejam terhadap Papa, meninggalkannya tanpa pesan. Dan sekarang kamu mau mengusik kehidupan Papa yang sudah tentram. Apa maumu, Lucinda?’
David mengalamatkan Mama dengan ‘ibumu’ bukan ibu kita atau Mama. Hal itu benar-benar menyakitkan hatiku.
‘Mama punya alasan kuat untuk meninggalkan Papa,’ belaku.
‘Alasan kuat? Bah!! Ibumu telah tergila-gila dengan pria hingga dia tega meninggalkan keluarganya. Apakah itu alasan kuat?’ kecam David. Aku seperti kena tampar mendengar kata-katanya yang kejam. Dia mengomentari wanita yang telah melahirkannya dengan kata-kata serendah itu. Kemarahanku mencapai puncaknya. Mama telah di hina, aku harus membelanya.
‘Tarik kembali kata-katamu yang kurang ajar itu!’ hardikku
‘Aku hanya mengatakan sebuah fakta tentang ibumu,’ ucap David begitu tenangnya.
‘Dia ibumu juga dan dia tidak serendah itu.’
‘Dia ibumu, bukan ibuku. Dia talah memailih untuk menjadi ibumu dan Papa telah memilih untuk menjadi ayahku. Aku tidak pernah mempunyai seorang ibu,’ sahut David. Tuhan apa jadinya jika Mama mendengar apa yang baru saja di ucapkan David?
‘Sekarang kamu harus menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ Tanya David lagi. Aku tidak menjawabnya. Tidak ada gunanya bercakap-cakap dengan manusia setan seperti dia.
‘Berarti dugaan Deidre benar,’ gumam David.
‘Apa dugaannya?’ tanyaku benar-benar ingin tahu.
‘Engkau datang untuk mencari warisan,’ jawab David seenaknya. Oh, dia mengira aku serendah itu? ‘Tapi harap kau ingat, Lucy. Engkau tak bakal menerima sesen pun dari Papa,’ lanjut David.
Kemarahanku sudah tak terkendalikan lagi. Bukan karena mendengar aku tak bakal menerima warisan, tetapi karena David mempercayai omongan wanita murahan macam Deidre.
‘Aku tidak datang untuk itu. Aku tak butuh uang ayahmu,’ teriakku. Aku pun ikut-ikutan dengan memanggil Papa sebagai ‘ayahmu’.
‘Oh ya? Lalu untuk apa?’ tanya David tak percaya.
‘Untuk menemui Ayahku.’
“Dia bukan ayahmu lagi.”
‘Hubungan Ayah dan anak tidak bisa hilang begitu saja sebagaimana hubungan ibu dan anak,” sanggahku. David tertawa sinis. Alangkah bencinya aku mendengar tawanya.
‘Kamu salah. Lucinda. Hubunganmu dengan Papa sudah putus sejak pengadilan memutuskan perceraian ibumu dengan ayahku dan kamu menjadi tanggung jawab ibumu. Kalau kamu masih menerima kiriman uang dari Papa itu karena Papa bermurah hati kepadamu dan kamu harus berterimakasih untuk itu.’
‘Sudah kewajibannya untuk membesarkanku..’
‘Benarkah itu? Apakah engkau belum besar sekarang? Berapa umurmu? Sembilan belas tahun. Padahal batas usia besar itu delapan belas tahun. Papa tidak mempunyai kewajiban lagi terhadapmu. Fair is fair, Miss Lucinda,’ kata David sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak bisa menjawab. Ingin benar aku menangis tapi sekuat tenaga kutahan. David akan lebih girang lagi bila dapat melihat aku menangis.
‘Maaf aku telah menghancurkan harapanmu,’ kata David sinis. Kemudian dia berjalan menjauhiku.
‘Aku benci kamu! Benci sekali!’ teriakku. David menoleh.
‘Sama-sama, Miss Lucinda. Aku juga membencimu. Benci sekali,’ ucapnya angkuh. Inilah dia … dua saudara kembar yang telah disatukan tetapi apa yang diucapkan adalah kata-kata penuh kebencian.
Setelah David berlalu barulah aku teringat kembali kepada Papa. Mengapa kami harus bertengkar sementara Papa sedang menderita? Apakah benar aku telah mengejutkan Papa? Tetapi mungkinkah itu? Bagaimanapun juga aku adalah anak Papa dan Mama toh sudah meminta persetujuan Papa apakah aku boleh tinggal bersamanya atau tidak.
Kembali aku teringat penghinaan David tadi. Dia begitu keras kepala dan angkuh. Apakah dengan kata-katanya tadi dia telah mengusirku secara tak langsung? Apakah aku harus pulang kepada Mama? Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi. Bukannya aku tidak mau bertemu dengan Mama. Tetapi jika aku pulang, Mama akan segera tahu apa yng sesungguhnya terjadi. Mama akan tahu aku tidak diinginkan di sini. Mama akan tahu anak sulungnya tidak menganggap Mama sebagai ibunya lagi. Tetapi jika aku tidak pulang, tidak malukah aku? Haruskah aku menebalkan muka dengan tetap tinggal di sini dan membiarkan David melakukan penghinaan seenak perutnya? Aku benar-benar bingung.
to be continued …
Posted on June 1, 2011, in Novel and tagged Cerpen, Femina, Fiksi, Indonesia, Laily Lanisy, Novel. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0