Nafas Muda Kota Yogya

Untuk ketiga kalinya Dina harus menghentikan sepeda motornya karena traffic light menyala merah.  Sekejab dia melirik pada pengendara trail yang berhenti di sampingnya.  Pemuda berpakaian urakan yang tadi juga berhenti di traffic light kedua di simpang tiga Gondomanan.  Pemuda itu menggerak-gerakkan tangan kanannya yang berada di stang gas sehingga bunyi mesinnya meraung-raung.  Dina menoleh dan menatap tak senang ke arahnya.  Pemuda itu balas menatap Dina dan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh daun telinga.  Dengan cepat Dina membuang muka.  Pemuda itu tertawa mengejek.

 ‘Pemuda sinting!’ maki Dina dalam hati.  Pemuda itu makin mempercepat frekuensi gerakan tangannya sambil tangannya yang satunya lagi menekan knob klakson berkali-kali sehingga menimbulkan suara yang membisingkan telinga dan memusingkan kepala.

 ‘Yakis kamu!’ teriak Dina dongkol.  Yakis dalam bahasa Ternate berarti monyet.  Dina mendapatkan kata itu dari Yance yang  berasal dari Maluku Utara.

 ‘Apa?’ tanya pemuda itu lantang berusaha mengalahkan bunyi mesin motornya sendiri.  Dina tak sudi menjawab.  Pemuda itu mengecilkan gasnya dan bertanya lagi.

‘Ya …  kis,’ jawab dina.

‘Apa itu?’ tanya si pemuda bingung.

‘Ya kamu itu,’ jawab Dina acuh.

‘Aku tidak mengerti,’ kata pemuda itu dengan polos sehingga kesan sok jagoan yang baru saja ditunjukkannya luntur.  Dina menahan tawa.

‘Makanya sekolah yang benar biar mengerti,’ kata dina sambil mengalihkan perhatiannya.  Kali ini dia menatap mobil sport berwarna  biru metallic yang berhenti tepat di depannya.  Begitu mulus dan …

‘Hei itu ulang tahunku …itu inisialku!!!’ cetusnya tidak sadar ketika tanpa disengaja matanya nyasar ke plat nomer mobil itu…  AB-2808-DR.  Kemudian dia menjulurkan kepalanya ingin melihat wajah yang ada di dalam mobil.  Tidak berhasil.

 ‘Enggak sekeren mobilnya,’ komentar si pemuda ’Yakis’ melihat ulah Dina.

‘Enggak  minta pendapatmu,’ bentak Dina.  Untung lampu  lalu lintas segera berganti hijau hingga dina dapat melejitkan sepeda motornya.

Di depan Hotel Melia Purosani,  Dina dapat mendahului mobil metallic yang tadi berhenti di depannya.  Ketika tepat  berada di samping kanan mobil itu, Dina melongok untuk melihat pengemudinya.  Tetapi begitu melihat wajahnya langsung dia tancap gas.

‘Lagi-lagi  Tionghoa.  Tak ada orang pribumi asli yang  dapat naik sedan semewah itu,’ pikirnya kecewa.   Di belokan Pasar Kembang ganti mobil tadi yang mendahului Dina.  Dina berpikir sejenak sebelum mempercepat  kendaraannya. Tepat di bawah Kretek Kewek Dina dapat berada di samping mobil itu.  Tapi …  Entah disengaja atau tidak pemuda yang berada di dalam mobil itu meludah.  Ujung rok Dina terkena sedikit.  Langsung Dina memaki.  Semua kata-kata kotor yang pernah didengar dan dibacanya meluncur dari mulutnya sederas aliran Kali Code.  Sayang sang pengemudi mobil biru metallic enggak  bisa mendengarnya.  Itu membuat Dina  semakin dongkol.

‘China  yakis! Tak tahu aturan, enggak pernah diajar adat,’ gerutunya sambil meminggirkan  motornya.  Sesudah mematikan mesin dia mengambil  tissue dari dalam tasnya dan mulai membersihkan rok yang terkena percikan air liur.  Sebenarnya yang terkena hanya sedikit saja, tetapi  berhubung hatinya panas maka rok yang dikenakannya seakan benar-benar kotor dan  bau.  Selagi dia berpikir apa yang akan dilakukannya  kemudian, datang si pemuda ’Yakis’ dan berhenti di dekatnya.

‘Ada  apa? Mogok ya?’ tanyanya penuh perhatian.   Dina siap membentaknya dengan kata-kata  pedas, tapi urung.

‘Ah enggak,’  jawab Dina manis.  ’kamu ingat China gila yang tadi berhenti di depan kita?’ Dina  merobah siasat.’Hmm …  siapa tahu Yakis  ini bisa diajak kompromi untuk menghajar si China keparat,’ pikir Dina dalam hati.

‘Yang  mana?’ tanya si pemuda sambil mengernyitkan dahi.

‘Yang  pakai mobil sport biru metallic mulus tadi.’

‘O  iya.  Kenapa?’

‘Nih  lihat apa yang dilakukannya,’ kata Dina sambil menunjuk roknya yang sudah tak ada  apa-apanya lagi.  ’Ngeludahin aku, anak Indonesia  asli,’ lanjut Dina.

‘Ah enggak  disengaja barangkali,’ pemuda itu mengeluarkan pendapatnya.

‘Pasti disengaja,’ bantah Dina.  ’China-China di sini semuanya memang begitu.  Merasa diri kaya.  Merasa diri penting karena dapat tinggal di  sepanjang jalan-jalan penting.  Mereka sukanya  berlagu.  Ih …  sebel,’ omel Dina sambil menstater motornya.

‘Kurasa  tidak semuanya begitu,’ pemuda itu berargumentasi.

‘Semuanya  begitu.  Kalau ada China yang baik itu namanya  tidak normal.  Anomali.  Suatu perkecualian yang jarang  terjadi.  Kalau mereka suatu saat berbaik  hati, pasti ada maksud yang disembunyikan.’ Dina menekankan setiap kata yang dianggapnya  penting dan menjalankan sepeda motornya.

‘Kalau  demikian kamu bersikap prejudis.  Tidak baik  seperti itu.’

‘Aku  tak butuh nasihatmu.  Kalau aku prejudis terhadap  China itu adalah hakku,’ potong Dina sambil mengebutkan motornya.  Si pemuda ikut-ikutan mengebutkan motor trailnya  hingga selalu dapat menyamai kecepatan  Dina.

‘Aku  sudah sampai,’ kata Dina ketika mereka telah berada di depan sekolah Dina.  Pemuda itu menghentikan sepeda motornya sementara Dina telah membelok masuk halaman sekolah.

‘Hei,  sebentar!’ teriak pemuda itu.  Dina menghentikan  motornya dan menoleh.

‘Ada  apa? “

‘Namamu  siapa?’ tanya si Pemuda.  Dina tertawa nyaring.

‘Namaku  Yakis,’ teriak Dina sambil meneruskan perjalanan.

Ketika  Dina memasuki kelasnya, semua temannya sudah berada di dalam kelas.  Seperti biasanya jika ada pekerjaan rumah maka  dapat dipastikan semua temannya akan datang lebih awal dan mengcopy pekerjaan rumah  temannya yang mempunyai otak cemerlang.  Kemudian  Dina mendudukkan dirinya di samping Yance, gadis berkulit putih berambut  panjang yang sedang asyik menulis.

‘Buram  amat wajahmu.  Ada problem?’ tanya Yance tanpa  menoleh ke Dina.

‘Aku  baru saja dihina seseorang.  kamu mau menolongku?’  tanya dina.  Yance menghentikan pekerjaannya,  menatap dina serius.

‘Siapa  yang menghinamu? Kuganyang dia,’ bisik Yance sambil menutup bukunya.  Diam-diam Dina mengagumi temannya yang satu ini.  Walaupun wajahnya tidak secantik teman-temannya  yang lain tetapi rasa kesetia kawanan selangit.

‘Aku  tidak tahu namanya.  Aku tidak tahu rumahnya.  Satu-satunya yang kuketahui dia orang China,’  jawab Dina.  Kalau orang lain yang diajak  bicara pasti akan mentertawakannya, tetapi berhubung yang diajak bicara Yance, yang  mempunyai solidaritas setinggi gunung, maka dia tidak tertawa.  Dia mengetuk-ngetuk kan ballpointnya di bangku  sambil berpikir bagaimana mungkin seseorang yang belum dikenal Dina bisa melakukan  penghinaan yang membuat wajah Dina buram seburam kaca di pagi hari.

‘Bagaimana  itu bisa terjadi?’ tanya Yance setelah lama tak bisa membayangkan jalan cerita  temannya.  Kemudian Dina menceritakan semuanya  dari awal lengkap dengan titik-komanya.

‘Kurangajar  amat,’ geram Yance.’Orang kalau sudah jadi Maliong sering lupa asalnya.  Tidak sadar rupanya dia dari mana dia dapat memperoleh  kekayaannya,’ cerocos Yance.  Tak disadari  Yance telah menggunakan kata-kata yang tak di mengerti Dina.

‘Apa  itu maliong?’ tanya Dina melupakan masalah pokoknya.

‘Milyuner,  tolol,’ kata Yance.  Dina tertawa.

‘Apakah  kita akan mendiamkannya saja?’ tanya Dina.

‘Tentu  saja tidak,’ tukas Yance.  ’Dengar baik-baik Din.  Nomer mobil itu sama dengan ulang tahunmu.   Huruf belakangnya seperti inisial namamu.  Berarti kita tahu nomor mobilnya.  Nah, kita mulai dari situ.’

‘Apakah  kita akan keliling kota untuk mencari mobil itu?  Nyerah deh kalau aku kamu suruh  melakukan hal itu.  Tak sanggup,’ protes Dina.

‘Tentu  saja tidak.  Aku tidak segila itu,’ kata Yance.

‘Lalu?’  tanya Dina.  Yance diam saja.  Dia berpikir bagaimana mendapatkan cara yang tidak ’gila’  untuk memperoleh informasi tentang pemilik mobil berwarna metallic yang telah menghina  temannya.

‘Ah Yong,’  teriak Yance akhirnya.  ’Dia pasti tahu mobil-mobil mewah yang dimiliki orang-orang  sebangsanya.’

‘Aku  tak mau berhubungan dengan China lagi, tak terkecuali si Yong,’ kata dina.

‘Tak  ada jalan lain, Din.  Lagi pula Ah Yong orangnya  baik, tidak semua China berhati jelek lho.’

‘Pokoknya  aku enggak mau.  Kalau kamu mau tanya,  silakan.’

‘Oke,  kamu tenang-tenang saja.  Tahu beres,’ kata  Yance sambil membuka bukunya kembali.

‘Keesokan  harinya Yance telah mendapatkan semua informasi, baik yang diperlukan maupun yang  tidak.

‘Ayo,  Din,’ ajak Yance pada istirahat pertama.   Kemudian mereka menuju ke sebuah bangku beton yang ada di bawah pohon karet  yang berada di halaman tengah sekolah mereka.   Sesudah duduk Yance mengeluarkan sesobek kertas kumal pembungkus rokok.

‘Mobil  itu mobilnya babah Kwan Chee Wai,’  Yance mulai bercerita sambil membaca tulisan  pada kertas yang ada di tangannya. ’Babah ini pemilik toko sepatu Lion.  Itu lho yang di jalan Solo.’

‘Yan,  orangnya masih muda.  Paling banter  dua tahun di atas kita,’ potong Dina.

‘Sabar  dulu …’ kata Yance sambil melicinkan kertasnya.  ’Dia punya tiga anak laki-laki.  Satu kuliah di Sanata Dharma, satu lagi sekolah  di De Britto dan yang terkecil sekolah di Budya Wacana.’ Yance berhenti sejenak  untuk melihat reaksi Dina.  Tapi wajah Dina  begitu tenang tidak menunjukkan apa-apa.

‘Yang  kuliah di Sadar namanya Kwan Kim Fui, biasa di panggil Kim.  Kurasa orang inilah yang meludahimu.  Orangnya memang agak sombong,’ lanjut Yance.  Dina memandang Yance kagum.

‘Bagaimana  manusia satu ini bisa memperoleh data selengkap itu.  Pantas deh untuk petugas sensus,’ pikir Dina.

‘Anak  yang kedua.  Aduh ma …  Dia paling ganteng di antara semuanya.  Wajahnya mirip Tou Ming She-nya Meteor Garden, enggak dhing mirip  Adam Jordan.  Enggak tampak deh kalau dia  itu orang China.’

‘Biar.  Nah teruskan,’ potong Dina.

‘Di De  Britto dia juara umum.  Jurusan IPA kelas  tiga.’

‘Kenapa  sih kamu kok jadi antusias banget nyeritakan yang ini.  Aku enggak butuh dia aku cuma butuh yang, siapa  tadi …  Kim …  Kim.’

‘Oke  …’ Yance menurut,  ’Kim Fui… Nah, si Kim Fui ini punya adik sekolah di De ..’

‘Setan  kamu!’ teriak Dina dongkol.  Yance tertawa  ngakak.

‘ kamu ingin dengar tentang adiknya yang bungsu?’

‘Enggak.’

‘Pacar  Kim Fui ini si Bimbi.  Ingat enggak kamu sama  ratu Disco Colombo yang cantik nan jelita itu? Namanya yang sebenarnya adalah Tan  Beng Choo,’ kata Yance.  Dina tertawa senang.  Yance mau menambah keterangannya lagi tapi keburu  distop Dina.

‘Kurasa  cukup lengkap.  Kamu kuangkat jadi detektifku,’  kata Dina sambil bangkit setelah terlebih dahulu menyerobot kertas kumal Yance.  Yance tersenyum puas.  ’Sekarang ayo ikut aku.  Kita jalankan misi kita,’ lanjut Dina.

‘Apa  yang akan kamu lakukan? kamu tidak akan ngawur kan? “

‘Sejak  kapan orang yang namanya Yance kenal takut?’ tantang Dina.  Dan yance mengikuti langkah Dina.  Mereka keluar menuju kantor telpon yang berada  di sebelah timur sekolah mereka.

Seorang gadis berseragam Telkom menegur Dina ketika Dina dan Yance memasuki Kantor itu.

‘Eh,  mbak Yanti, mau pinjam telpon, mbak,’ kata Dina manis.

‘Emang enggak bawa HP?’ tanya gadis yang dipanggil Yanti itu.

‘Kelasku lagi dihukum enggak ada yang boleh bawa HP ke sekolah minggu ini ..’ sahut Dina mulus.  Untuk yang mau Dina lakukan ini dia harus menggunakan telpon umum.  Dia tidak mau telponnya terlacak.  Yanti tersenyum maklum dan mengantar mereka menuju ke deretan telpon umum yang lengang.

Dina dan Yance ke sebuah stand telpon yang ada di ujung barat.

Setelah Yanti pergi, Dina langsung membuka buku telpon dan membolak-baliknya mencari nama Kwan Chee Wai, tapi tak dijumpainya.

‘Kamu  mau menelpon siapa?’ tanya Yance.

‘Kwan  Chee Wai,’ jawab Dina.  Yance mengeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Berikan  buku itu padaku,’ pinta Yance.  Dina mengulurkannya.  Yance membalik beberapa halaman dan langsung menemukan nomor telpon toko sepatu Lion.

‘Nih,’  kata Yance sambil menunjukkan sebuah nomor.   Dina tersenyum menyadari ketololannya.   Kemudian dia memutar nomor tersebut.  Terdengar deringan dua kali sebelum telpon di seberang diangkat.

‘Hallo,  toko sepatu Lion di sini,’ terdengar suara wanita.  Dari logatnya yang medok, Dina tahu kalau dia  orang Jawa.

‘Hmm  …  pelayannya,’ pikir Dina.

‘Saya  mau  bicara dengan…’ Dina mencari nama Kwan Chee Wai di kertas kumal Dina, tapi  tidak ketemu.

‘Kwan Chee Wai,’ bisik Yance.

‘Saya  mau bicara dengan Kwan Chee Wai,’ kata Dina tanpa berusaha memakai embel-embel bapak,  tuan, engkong atau babah di depan nama Kwan Chee Wai.

‘Ada  perlu apa?’ tanya si pelayan kenes.  ‘Tapi  babah lagi sibuk itu, mbok nanti sore nelponnya,’ suara si pelayan kemayu.  Dina diam sejenak.

‘Saya  tidak mau tahu apakah dia sibuk atau tidak.   Saya butuh Kwan Chee Wai sekarang juga.   Ini menyangkut masalah hidup dan mati.   Sana lari panggil dia!’ bentak Dina menakut-nakuti.  Yance memandang Dina sambil tersenyum lebar.

‘Baik  saya panggilkan tunggu sebentar,’ kata pelayan itu gemetar.  Dina tertawa.   Beberapa saat kemudian terdengar suara seorang laki-laki.

‘Hallo,  saya Kwan Chee Wai, bicala dengan sapa ya saya?’ Dina, hampir tertawa mendengar  irama suaranya, tetapi dengan keras ditahannya agar tawanya tak keluar.

‘Tak  perlu tahu siapa saya.  Sekarang saya ingin  kamu mendengarkan apa yang akan saya omongkan,’ kata Dina angker.  Orangnya yang ada di seberang tak mengeluarkan  suara apa-apa.  Dina membayangkan orang itu  pasti gemetar ketakutan karena bentakannya.

‘Kamu punya anak yang namanya Kim Fui? “

‘Iya,  benal,’ jawab Kwan Chee Wai gagap.

‘Hmm…’  dengus Dina.  kamu pasti tak pernah mengajar  adat kepada anakmu yang satu ini.  Kamu merasa  kaya ya? kamu bangga anakmu dapat berbuat sesuka hati dan menghina orang seenak  perutnya sendiri,’ kata Dina dalam nada tinggi.

‘Nona,  saya olang kagak ngalti apa nyang nona bicalaken.’

‘Kamu dengar tidak peristiwa di Ujung Pandang tentang pelemparan batu pada rumah-rumah  milik orang Tionghoa? Na, kejadian semacam itu bisa terjadi di Yogya lantaran anakmu,’  ancam Dina.

‘Tapi  nona, saya olang punya anak tidak ada nyang kulangajal.  Itu cuma pietnah.  Jangan didengalken,’ Dina tertawa sinis mendengar  penuturan Kwan Chee Wai.

‘Bukan  fitnah.  Anakmu yang namanya Kim Fui, kemarin  pagi jam tujuh kurang seperempat telah menghina seorang gadis anggota kelompok kami,  seorang Indonesia asli yang masih berdarah ningrat dan ayahnya pemimpin partai besar dengan meludahinya di bawah Kretek  Kewek.’ Dina sengaja meninggikan diri agar kedengarannya lebih berwibawa.

Kwan Chee Wai terdiam sesaat.  Akhirnya dia bicara.

‘Maafkan  dia olang, nona.  Nanti dia olang pasti akan  saya beli pelajalan.  Saya beljanji untuk  menghajal itu anak,’ katanya makin ketakutan.

‘Itu  thok tidak cukup,’ potong Dina tajam.

‘Telus bagaimana saya olang halus pelbuat? “

‘Saya  atas nama kelompok anak muda Yogya minta pernyataan tertulis di surat kabar.  Saya tidak minta yang  aneh-aneh, cukup di surat kabar lokal saja.  Paling lama lusa harus sudah terbit.  Lengkap dengan nama Kim Fui dan toko sepatu Lion,’
kata dina.  Yance membelalakkan matanya mendengar  apa yang diucapkan Dina.

‘Tapi  nona, kami olang punya nama akan telcemal gala-gala ini pelkala.’

‘Terserah  kamu.  kamu tulis di surat kabar atau kamu  sendiri harus menanggung resikonya.  Dan  sekali lagi saya peringatkan bukan hanya keluargamu saja yang mungkin menderita  akibatnya.’

‘Oe nona, saya mekelum,’ kata Kwan Chee Wai.’Dan kalau saya boleh tahu nona punya nama sapa?’
‘Saya  wakil dari anak-anak muda kota Yogya,’ jawab Dina rendah sambil meletakkan gagang  telpon.  Dia tersenyum puas dan mengajak Yance  berlalu.

‘Apa  yang kamu perbuat benar-benar keterlaluan,’ komentar Yance sambil berjalan.  ‘Bagaimana jika dia lapor ke polisi? “

‘Biarkan  dia lapor ke polisi.  Polisi tak kan mampu  melacak kita.  Lagi pula aku tidak melakukan  kejahatan, apa yang kulakukan tidak melanggar hukum.  Dia bersalah, maka dia harus minta maaf.  Hal yang sepele.’

‘Tapi  kamu mengancam dia.’

‘Aku  tidak mengancam.  Hanya kukatakan apa yang  terjadi di Ujung Pandang bisa terjadi di Yogya.   Kan benar? “

‘Tak  tahu deh, Din.  Cuma kubayangkan bagaimana  jika yang menerima telpon tadi keluargaku.   Apa tidak akan geger? kamu sadis banget sih,’ kata Yance.  Kemudian yance melihat jam yang melilit di  pergelangan tangannya.

‘Ya… telat, Din!’ teriak Yance.  Kemudian mereka  bergegas menuju sekolah mereka.  Sesampai  di depan pintu kelas mereka berpandang-pandangan ragu.

‘Masuk  enggak?’  tanya Yance.

‘Masuk  aja yuk,’ Dina memutuskan.  Dengan berjingkat  mereka masuk kelas.

‘Dari  mana anak-anak manis?’ tegur bu Dariah guru kimia mereka.  Dina dan yance tersenyum lucu, sementara teman-teman  mereka bersiul-siul.

‘Maaf  bu, enggak dengar bel tadi,’ alasan Dina.

‘Kumaafkan  asal kamu bisa mengerjakan soal itu,’ kata bu Dariah sambil menunjuk soal yang ada  di papan tulis.  Dina membelalak.  Teman-temannya cengar-cengir dan menggodanya.  Dina kemudian melihat Ah Yong mengisyaratkan agar  dia memakai bukunya.

‘Huh,  China itu pasang aksi,’ kata hatinya.  Kemudian  dia menuju papan tulis mencoba mengerjakan soal.  Lama sekali tak berhasil.  Dia menoleh ke belakang.  Yance telah duduk rapi di kursinya, dia memberi  tanda agar Dina menerima buku Ah Yong.

‘Bagaimana  Dina?’ tanya bu Dariah.

‘Sukar,  Bu.  Nyerah aja deh,’ kata Dina seperti anak  kecil.  Bu Dariah tertawa ringan.

‘Ah guru  ini selalu manis,’ pikir Dina ketika bu Dariah menyuruh duduk.

‘Yong,  kamu bisa?’ tanya bu Dariah pada Ah Yong.   Ah Yong terus bangkit menuju papan tulis dan mengerjakan soal itu dengan  cepat.

‘Kenapa  kamu tak mau menggunakan buku Yong?’ tanya Yance.  Dina menatap Yance lama sebelum menjawab.

‘Ingat  dia orang China dan aku sudah berjanji tak akan berhubungan lagi dengan segala  macam China,’ bisik Dina.

‘Din,  jangan keterlaluan.  Yong tak punya kesalahan  apapun terhadapmu.’ Yance menasehati, tetapi telinga dina seakan  tak mempunyai lubang.

Keesokan harinya, permintaan maaf dari toko sepatu  Lion telah nampang di Koran.  Dina mengambil  gunting dan mengguntingnya lalu di tempelkan di buku kenangannya.  Hatinya mekar karena telah berhasil membalas dendam.  Tetapi kalau ada anggapan bahwa pernyataan itu  sebagai akhir dari sikap sinis Dina terhadap orang-orang Tionghoa maka anggapan  itu salah besar.

Sikap Dina semakin tak masuk akal.  Apa-apa yang berbau China dianggap haram.  Dia tak mau menggunakan handuknya lagi karena  handuknya itu made in China.  Dia lebih baik  tak pergi ke restaurant langgannannya karena pemiliknya orang Tionghoa.  Dan dia tidak lagi suka berjalan-jalan sepanjang  jalan solo dan Malioboro karena dia segan untuk bertemu dengan orang Tionghoa.  Bahkan kepada ah Yong yang duduk di  belakangnya di kelas dia tak suka menegur.

‘Din,  kamu tak percaya bahwa ada orang Tionghoa berhati baik?’ tanya Yance suatu hari.

‘Sudah  ratusan kali kubilang Yan, semua China sama saja.  Cuma mau cari untung.  Mereka menyeberang dari tanah China karena ada  huru-hara di negerinya sehingga mereka merasa tidak aman lagi, tetapi rasa cinta  mereka tetap ada di tanah leluhurnya.  Sedang  Indonesia dianggap sebagai tempat untuk mencari nafkah.  Bukan sebagai tanah tumpah darah.’

‘Tapi  kebanyakan mereka dilahirkan di sini.’

‘Benar.  Tapi jangan lupa, orang-orang tua mereka telah  mengajarkan filsafat yang kuat di hati mereka untuk tetap mencintai negeri asalnya,’  bela Dina.

‘Pernahkah  kamu renungkan, orang-orang seperti Cuncun, Rudi Hartono, Liem Swie King membawa  nama Negara kita dari pada kamu sendiri yang mengaku orang Indonesia asli.  Benar kan?’ tanya Yance.  ‘Bahkan Cuncun walaupun sampai sakit begitu masih
mau berkorban untuk Negara.  Apakah mereka  kamu anggap Cuma mau cari untung saja?’ lanjut Yance.

‘Ah,  mereka lain.  Mereka berkecimpung dalam bidang  olahraga jadi dengan sendirinya memiliki jiwa yang sportif.  Bukan seperti lainnya yang ngurusin dagang melulu,’  bela dina ngawur.

‘Oke,  berarti ada China yang baik,’ Yance menegaskan.

‘Aku  tak mengatakan demikian,’ bantah Dina.

‘Tapi  kamu merasa bangga terhadap Rudi Hartono cs kan?’

‘Jangan  samakan mereka dengan yang lainnya !’

‘Berarti  kamu tidak fair.’

‘Yan,  aku tahu kamu tak akan bisa menempatkan dirimu pada posisiku.  Aku pernah diludahi China.  Itu menyakitkan.  Panas matahari ditanggung semua orang, tetapi  panasnya hati …  ya aku sendiri yang menanggungnya.  Walaupun kamu sahabatku yang paling dekat kamu  tak kan bisa ikut merasakan panasnya hatiku,’ kilah Dina befalsafah

‘Bukankah  dia telah minta maaf? Sedang Tuhan saja maha pemaaf kenapa kamu tidak bisa memaafkannya.  Bagaimana jika orang yang meludahimu itu dulu  orang Jawa, sukumu sendiri.  Apakah kamu akan  membenci semua orang Jawa seperti saat ini kamu membenci orang China?’ kata Yance  bersemangat.  Dina diam saja.  Kalau sudah demikian biasanya mereka mengganti  topik pembicaraan, karena menurut pengalaman, mereka tak pernah menemukan titik  temu pendapat mengenai hal yang satu ini.

Siang itu panasnya bukan main.  Terik matahari benar-benar menyengat badan.  Selama perjalanan pulang dari sekolah, Dina berkali-kali  mengosok lengannya dengan telapak tangan karena rasanya seperti terbakar.  Dia merasa begitu lega ketika memasukkan sepeda  motornya ke halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan rindang.  Dina langsung masuk kamar tidurnya setelah memasukkan  sepeda motornya di garasi karena kedua orang tuanya belum pulang.  Jadi dia terhindar dari kewajiban untuk makan  siang terlebih dahulu.  Kemudian dia membaringkan  dirinya di kasurnya yang empuk tanpa mengganti pakaian seragamnya.  Matanya menatap langit-langit kamarnya kemudian  berpindah ke seantero kamar.

Tiba-tiba matanya melihat laptopnya di atas meja belajar.  Langsung dia beranjak dan menyambar  laptop itu kemudian kembali ke kasurnya untuk mencek facebook dan e-mail.   Ada satu e-mail yang menarik perhatiannya

‘Hmm  …  sudah lama Sasa tak kirim e-mail,’ gumamnya.  Sasa adalah kakaknya yang kini meneruskan belajarnya  di Amerika.

Seperti biasa kalau Sasa mengirim e-mail akan panjang lebar.  Tetapi karena yang ditulis selalu menarik maka tidak pernah membosankan.  Pada paragraf pertama Sasa menulis tentang keadaannya  dan sekolahnya.  Paragraf  kedua tentang  mode yang sedang melanda muda-mudi Amerika.    Dilanjutkan tentang pekerjaan sambilannya di Mc Donald Hamburger Corner  dan di bagian akhir dia menulis…

‘Eh,  Din, Sasa barusan nonton film yang diputar oleh televisi kalau enggak salah NBC  yang mutar.  Seluruh penghuni asrama sini  nonton.  Pertunjukannya memakan waktu enam  jam (ini sudah termasuk iklan yang setiap lima belas menit sekali nongol), jadi  terpaksa harus diputar selama empat malam berturut-turut.  Judulnya hOLOCAUST (ingat-ingat deh, siapa tahu  diputar di Indonesia).

 Nah ini cerita tentang  keluarga Weiss yang Yahudi dalam masa sadis-sadisnya hitler.  Aduh berkali-kali deh Sasa terpaksa menutup mata  …  Ngeri.  Bayangin deh, mama Weiss dan wanita-wanita lain  disuruh masuk ke kamar mandi, waktu itu mereka sudah di penjara, katanya disuruh  mandi tapi begitu pintu kamar mandi ditutup dan mereka sudah ditelanjangi eh tahunya  yang keluar dari shower itu uap beracun.   Mereka menggeliat-geliat sebelum mati.  Masih banyak deh Din, yang sadis-sadis lainnya, misalnya disuruh baris menghadap  ke tembok, enggak laki-laki, enggak perempuan dan deeerrr …  Akhirnya tinggal seorang keluarga Weiss yang hidup.  Anak laki-lakinya dan dia terpaksa mengungsi.  Gila nggak tuh si Hitler? kamu tahu enggak teman-temanku  yang punya mata berwarna biru sampai menyesal mempunyai mata biru akibat nonton  film itu.  Habis semua mata biru di situ sadis  sih.  Apalagi yang orang Jerman …  wah tak henti-henti menyesali kekejaman bangsanya  waktu itu.

Din …  Yance bilang kamu kini musuhan ya sama orang-orang Tionghoa? Jangan dong,  Din.  Hitler itu juga dulunya cuma berawal  dari rasa tidak senangnya terhadap orang-orang Yahudi tanpa alasan yang kuat hingga  dia sesadis itu.  Sasa pikir kalau adik Sasa  yang Cuma gadis manis biasa saja berani ngancam orang Tionghoa apalagi Hitler yang  punya kekuasaan.

Orang-orang Tionghoa itu seperti halnya orang Yahudi  lho Din (ah, ini perbandingan saja) mereka akan membela Negara di mana mereka mendapatkan  ketentramannya.  Dalam hal ini Indonesia  tentu saja.  Kalau kamu sudah sejak dini memusuhi  mereka bagaimana nanti jika kamu sudah menjadi pemimpin bangsa (bukankah itu cita-citamu).  Ayo, Din hilangkan sikap prejudismu.  Setiap bangsa itu sama saja, punya kelebihan dan  punya kekurangan.  Memang ada satu orang Tionghoa  yang cuma mau cari untung, tapi harap kamu ingat orang Indonesia yang mau menangnya  sendiri tak kalah banyaknya.  Biasakanlah  dirimu menerima seseorang itu apa adanya.   Jangan kamu lihat bangsa dan derajatnya.

Oke, Din aku tahu kamu adikku yang berhati manis.  kamu pasti akan bersikap seperti dulu lagi.  Udah ya Sasa bobo dulu.’

‘Uih,  Yance, pakai lapor segala,’ gumam Dina, tapi dia segera tertidur karena lelah.  Dia baru terbangun ketika merasa tubuhnya digoyang-goyangkan.  Kemudian samara-samar dia mendengar suara panggilan  dari mamanya.

‘Udah  disamperin Yance tuh,’ kata mama Dina.  Dina  bangun dan duduk dengan lesu.

‘Kalau  tidur ganti baju dulu dong,’ omel mamanya.

‘Yance?  Mau apa dia ke sini?’ tanya Dina tak mengacuhkan kata-kata mamanya.

‘Katanya  ada pertandingan antar SMA di …’

‘O iya,’  jerit dina sambil meloncat turun dari tempat tidurnya dan langsung berlari ke luar,  tetapi segera kembali ke kamarnya lagi.

‘Tolong  deh, Mam, temenin Yance sebentar, Dina mandi dulu,’ katanya.  Mamanya mengeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum.

Ketika dina keluar dengan pakaian olahraganya,  Yance dan mamanya sedang asyik bercakap-cakap.  Ada segelas susu dan sebutir telor rebus di atas meja di hadapan mereka.  Dina pura-pura tak melihat, karena dia tahu semua  itu pasti untuknya .

‘Aku  gonceng saja ya, Yan, aku masih agak ngantuk?’ kata Dina.  Yance mengangguk  sambil berdiri.

‘Susu  dan telormu , Din,’ mama dina mengingatkan.

‘Ya,  mama.  Dina masih kenyang,’ protes Dina.

‘Bibi  bilang kamu langsung tidur tadi, jadi belum makan siang.  kamu makan telormu atau kamu ingin makan siang?’  akhirnya dina menurut.  Dia memakan telornya  dengan cepat dan meneguk susunya.  Kemudian  melambai kepada ibunya dan keluar.

‘Yan,  kamu pakai kirim e-mail ke Sasa tentang diriku ya?’ tanya Dina ketika keduanya telah  berada di jalan.

‘Enggak  boleh?’ tanya Yance.

‘Kirim e-mail sih boleh aja.  Tapi nggak usah tentang  yang satu itu,’ kata dina.

‘Habis  kamu makin enggak rasional sih.  Kamu sok  idealis, tapi konyol,’ kata Yance.  Dina  tertawa.

Ketika mereka sampai di lapangan IKIP Karangmalang,  mereka langsung ke jadwal pertandingan.

‘Hei,  asyik lawan Stelladuce,’ bisik Dina di telinga Yance.  Yance segera mengerti maksud Dina.  Pemain-pemain basket Stelladuce kebanyakan anak-anak  keturunan Tionghoa.  Yance menggeleng-gelengkan  kepalanya.

‘Hei,  Yakis!’ tiba-tiba terdengar sebuah suara.   Yance dan Dina menoleh seketika.  Tampak  seorang pemuda yang dulu berada di samping Dina ketika dina berhenti di belakang mobil Kim Fui.  Kalau dulu dia berpakaian  urakan, kini dia berpakaian santai tapi rapi.   Yance mengerutkan dahi, merasa tidak senang temannya dipanggil ‘Yakis’.  Tetapi Dina justru tersenyum.  Yance terus ngeloyor pergi karena sebagai kapten  regu basket sekolahnya dia harus mengumpulkan regunya lebih dahulu.

‘Kubaca  tentang kamu di surat kabar,’ kata si pemuda.

‘Surat  kabar?’ tanya Dina bingung.

‘Pernyataan  maaf untukmu,’ kata si pemuda.  Dina tertawa.  Dia kembali teringat peristiwa itu lagi.  ’Senang  ya bisa bikin sensasi?’ lanjut si pemuda.

‘Ah,  biasa-biasa saja,’ jawab Dina santai.  Si  pemuda cuma tersenyum mendengar jawaban Dina.

‘Kamu mau bertanding?’ tanyanya.

‘He  eh.’

‘Lawan  mana? “

‘Stelladuce.’

‘Wah  sorry enggak bisa nyeporterin kamu, sudah keburu dibon Selladuce.’

Ah enggak apa-apa, paling juga menang,’ jawab  Dina.  ’kamu sekolah di mana sih? Bukan Stella Duce kan?’ tanya dina

‘De Britto,’  jawab si pemuda sambil tertawa.

‘Oh,  pantas,’ kata dina.  Pantas di sini bermaksud  banyak …  Pantas kalau dia dulu berlagak  sok jagoan.  Pantas kalau sekarang dia mau  nyeporterin stella duce, karena baik Stelladuce maupun De Britto dua-duanya sekolah  ‘gersang’ Stella duce cewek melulu dan De Britto cowok melulu, jadi barter dalam  hal seporter-seporteran.

Kemudian terdengar Yance memanggil Dina menyuruhnya  berkumpul.  Begitu Dina sampai di  lapangan basket, pertandingan segera dimulai.  Walaupun seporter-seporter dari Sella duce dan De Britto cukup banyak dan  ramai tetapi toh tetap kalah dibanding dengan Fajar dan kawan-kawannya yang nyeporterin  regu Yance.  Teriakan-teriakan dari seporter  Stella duce tertelan oleh teriakan dari Fajar Cs.  Di samping itu, Dina walaupun di tengah permainan  masih sempat berteriak-teriak nyeporterin regunya.

‘Ayo,  moy-moy lemparkan bolamu pada dina, di tokomu banyak bolanya,’ teriak Dina sambil  mendek pemain stella duce yang keturunan Tionghoa.  Semua yang berada di pinggir lapangan tertawa  mendengar teriakan Dina, kecuali yang merasa diri masih keturunan China.  Akibatnya banyak pengikut Stella duce yang berasal  dari De Britto yang merasa bukan keturunan Tionghoa menyeberang menjadi pengikut  sekolah Dina dan ikut-ikutan mengajak anak-anak Stelladuce.

‘Ayo,  Sanchai aku cinta padamu,’ teriak Fajar meramaikan suasana.

‘Bukan  aku cinta padamu, tapi wo ai ni,’ teriak Dina sambil melempar bola ke keranjang.  Nadanya dibuat persis orang-orang China asli.  Tiba-tiba dia teringat apa yang ditulis Sasa  di suratnya.

Kalau  adik Sasa yang merupakan gadis manis biasa saja bisa mengancam orang Tionghoa apalagi  Hitler yang punya kekuasaan.  ‘Entah mengapa Dina tak mau dirinya disamakan dengan Hitler.   Kemudian dia tak banyak komentar-komentar yang menyakitkan hati diserahkan  ke tangan Fajar cs, yang dapat melakukannya dengan baik, terbukti sebentar-sebentar  gadis-gadis itu wajahnya memerah menahan marah.  Dan konsentrasi mereka buyar yang menyebabkan permainan mereka buruk.

Pertandingan itu usai dengan kemenangan pihak Yance  dan kawan-kawannya.  Mula-mula dina ogah-ogahan  tetapi akhirnya mau juga dia menyalami mereka.

‘Sorry  ya, kalau kata-kataku tadi kasar,’ kata Dina.   Dia tak tahu mengapa dia merasa bahwa dia harus meminta maaf.  Yang disalami tersenyum mencoba melupakan kata-kata Dina yang menyakitkan hati selama pertandingan tadi berlangsung.

‘Din,  dapat salam dari Huan,’ kata Ah Yong sambil mengucapkan selamat kepada Dina.

‘Siapa?’  tanya Dina bingung

‘Huan.  Yang tadi ngomong-ngomong sama kamu sebelum pertandingan.’

‘O, dia  namanya Huan? Orang mana sih?’ tanya dina pingin tahu.

‘Orang  Yogya.  Itu lho anaknya yang punya sepatu  Lion.’

‘Apa?’  tanya Dina kaget.  Matanya membulat dan lehernya  seakan tercekik.

‘Dia  memang keturunan Tionghoa kok.  Enggak nampak ya?’ kata Ah Yong yang tak mengerti kekagetan Dina yang sebenarnya.

‘Toko  sepatu Lion? Adik Kim Fui?’ tanya Dina meyakinkan diri bahwa apa yang didengar telinganya  betul adanya.

‘Lho  kamu kok tahu? Kenal Kim Fui ya?’ tanya Ah Yong.  Dina menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir  kekacauan yang tiba-tiba muncul di kepalanya.

‘Oke  deh salam kembali,’ kata Dina berusaha tenang.   Setelah Ah Yong berlalu Dina berdiri termangu.

‘Jadi  dia adik Kim Fui.  Berarti dia tahu, akulah  yang telah mengancam ayahnya dan memaksa mereka menulis pernyataan maaf di Koran.  Tetapi mengapa dia tak memberi tahu ayahnya kalau  yang mengancamnya itu tak lain hanyalah seorang gadis yang tak punya kekuatan apa-apa  atau tak melaporkannya kepada polisi? Tetapi  mengapa di malah  menegurku seakan  tak ada kejadian apa-apa?‘ pikir Dina bingung.

‘Pulang  nggak, Din?’ tegur Yance yang tiba-tiba saja sudah ada disampingnya.

‘Emangnya  mau nginap di sini?’ jawab dina dan berjalan bersama Yance.

‘Selama  perjalanan pulang pikiran Dina kacau.  Dia  tak mendengar apa yang diocehkan yance selama perjalanan.

‘Ruwet  …  ruwet.  Mengapa jadi begini? Jadi waktu aku memaki-maki  Kim Fui di Kretek Kewek itu, dia sudah tahu kalau yang kumaki adalah kakaknya.  Ih, ruwet,’ pikir Dina, setengah menyesali diri.

Sesampai di depan rumah Yance bertanya, ’ikut enggak  besok pagi? “

‘Ke  mana?’ tanya Dina.

‘Tadi  sudah kukatakan padamu dan kamu menjawab ya.’

‘Aku  tidak tahu,’ kata Dina.  Yance mengerutkan bibirnya  jengkel.

‘Jadi  kamu tak menggubris omonganku selama perjalanan tadi, di mana sih pikiranmu, Din?  Pada Huan, ya? “

‘ kamu tahu siapa dia?’ tanya Dina hati-hati.

‘Tentu saja aku tahu.  Adik Kim Fui.  Aku heran apa yang akan dilakukannya kalau dia  tahu kamu yang telah menganc …’

‘Dia  tahu, Yan,’ potong Dina.  Yance membelalak  tak percaya.

‘Tahu  deh, Din, kamu berdua sinting semua.  Dia  tenang-tenang saja berhadapan dengan musuh keluarganya sementara kamu sendiri juga  tenang-tenang dipanggil yakis,’ kata Yance.

‘Karena  dia tak tahu arti ’yakis’ yang sebenarnya,’ bantah Dina, tapi tak diucapkan.  Dia hanya tertawa ringan.

‘Ada  apa besok pagi?’ akhirnya dina bertanya.

‘Ayah  dan ibuku serta kakakku datang dan…’

‘Dari  Ternate?’ tanya Dina antusias.  Dina mengangguk.

‘Mereka  sudah ada di Jakarta sejak kemarin dan besok akan datang ke sini jam sepuluh.  Nah, kamu mau ikut jemput enggak? “

‘Tentu dong.  Ole-olenya itu yang kubutuhkan,’ jawab  Dina sambil tertawa sambil membayangkan kue bagia yang penuh dengan kenari, Yance juga tertawa.

‘Kalau  begitu kamu harus bangun pagi.  Jam setengah  sembilan ku jemput kamu?’

‘Siap,  kapten,’ kata Dina dan Yance segera menghidupkan mesinnya.  Setelah pesan ini itu barulah Yance pergi, meninggalkan
asap yang mengepul dari knalpotnya.

Pagi itu cuaca agak mendung.  Dina dan yance telah berada di pelabuhan udara  Adi Sucipto.  Orang tua serta kakak Yance baru  akan tiba setengah jam lagi.  Selama menunggu  mereka berdua duduk di bawah pohon akasia di luar airport sambil menikmati teh botol

‘Yan,  biasanya kalau cuaca begini penerbangan jadi batal lho,’ kata Dina.  Yance mencibir.

‘Enggak  percaya? Soalnya lapangan ini kan dikelilingi bukit, na, kalau mendung bukit ini  enggak begitu tampak, jadi lebih baik penerbangan diundur dari pada ada malapetaka.’

‘Din,  aku sudah tanya dan mereka mengatakan sudah take off dari Jakarta.’

‘Wah  …  berdoa saja deh Yan, moga-moga nggak  ada apa-apa,’ kata dina tenang.  Yance membelalakkan  matanya.

‘Yakis  kamu!’ teriaknya.  Dina tertawa terpingkal-pingkal.

‘Baru  dibilangin begitu saja sudah kalap,’ olok Dina.

‘Orang  tua cuma dua kok, masa dibegitukan, ya marah dong,’ kata Yance.  Dina masih tertawa ketika terdengar pengumuman  bahwa pesawat dari Jakarta baru saja mendarat.  Bergegas mereka berlari masuk.

Yance menanti tak sabar.  Dia menggerak-gerakkan kakinya siap untuk berlari.  Dina yang baru pertama kali ini melihat ketidak-tenangan  Yance tersenyum.  Satu demi satu para penumpang  muncul.  Yance memperhatikan mereka satu persatu  sementara Dina membayangkan seperti apa wajah orang tua dan kakak Yance.

‘Itu  dia,’ kata Yance sambil menunjuk tiga orang yang berjalan ke arah pintu keluar.

‘Yang  mana?’ tanya dina karena yang ditunjuk Yance adalah tiga orang Tionghoa.

‘Itu  ! Yang dengan gadis berbaju merah,’ kata Yance.

‘Ah,  jangan main-main …’ Tapi Yance sudah tak mendengarnya dia sudah berlari mendekati mereka.  Menyadari hal itu, jantung Dina seakan  berhenti berdetak.  Dia memandang mereka berempat  bagai memandang mayat yang baru bangkit dari liang kubur.  Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar.

‘Yance  keturunan Tionghoa?’ desisnya lunglai.  Dia  menginginkan dunia kiamat saat itu juga hingga dia tidak harus berhadapan dengan  Yance lagi.  Dia tak punya muka untuk menemui  Yance, terlalu malu.  ’Penghinaan yang selama ini kulancarkan ternyata hanya untuk  menyakiti hatinya.  Tuhan, berilah aku ampunan,’  pikir Dina sedih.  Tapi tak ada jalan lain  untuk tidak menemui Yance.  Karena untuk melarikan  diri jelas tidak mungkin.  Dan Yance serta  keluarganya sudah mendekati Dina.

‘Dina, Yance selalu bercerita kalau Dina serta keluarga Dina baik sama Yance,’ kata ibu Yance  sambil menjabat tangan Dina.  Dina hanya bisa tersenyum.  Wajahnya sebentar merah, sebentar  memucat.  Dia ingin mencari kekuatan pada Yance, tapi Yance begitu asyik bercakap dengan kakaknya.

‘Kenapa Yance tak pernah  bercerita kalau dia  itu keturunan Tionghoa?’ pikir Dina menyesali keadaan.  Keluarga Yance begitu ramah, hal mana justru membuat hati Dina semakin pedih.  Dia merasa sangat berdosa terhadap Yance.

Ketika orang tua Yance sedang mengurus barang-barangnya, Yance mendekati Dina dan menepuk bahunya.

‘Setelah tahu kalau aku orang China apakah kamu tidak mau bersahabat lagi denganku?’ tanya Yance sambil menahan senyum,’sedang aku yang kamu hina setiap menit saja masih mau berteman denganmu,’ lanjutnya sambil tertawa lirih.  Dina memandang Yance dengan sinar mata berisi sejuta penyesalan.

‘Maafkan Dina, Yan, aku tahu aku telah salah selama ini.’

‘Syukur deh kalau kamu sadar.’

‘Jadi kamu memaafkanku? Enggak sakit hati?’ tanya dina mulai agak tenang.

‘Wah maaf thok enggak cukup,’ kata Yance.

‘Lalu?’

‘Aku  minta pernyataan tertulis.  Enggak muluk-muluk deh, Din, cukup ditulis di surat kabar Indonesia, enggak usah di surat kabar Internasional.  Paling lambat lusa harus sudah terbit,’ kata Yance  menirukan kata-kata dina beberapa waktu yang lalu ketika mengancam Kwan Chee Wai  melalui telpon.  Dina dan Yance tertawa.  Mereka masih tetap tertawa waktu keluarga Yance  siap untuk meninggalkan airport.  Mendung  yang tadi melingkupi kota Yogya telah hilang dan matahari bersinar dengan ramah.

Note:  Isi tidak berubah walau di sana-sini sudah disesuaikan agar tidak terlalu kuno …

Posted on August 2, 2011, in Short Stories and tagged , , , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: