Nafas Muda Kota Yogya
Posted by Laily Lanisy
Untuk ketiga kalinya Dina harus menghentikan sepeda motornya karena traffic light menyala merah. Sekejab dia melirik pada pengendara trail yang berhenti di sampingnya. Pemuda berpakaian urakan yang tadi juga berhenti di traffic light kedua di simpang tiga Gondomanan. Pemuda itu menggerak-gerakkan tangan kanannya yang berada di stang gas sehingga bunyi mesinnya meraung-raung. Dina menoleh dan menatap tak senang ke arahnya. Pemuda itu balas menatap Dina dan mengedipkan sebelah matanya sambil tersenyum lebar hingga ujung bibirnya hampir menyentuh daun telinga. Dengan cepat Dina membuang muka. Pemuda itu tertawa mengejek.
‘Pemuda sinting!’ maki Dina dalam hati. Pemuda itu makin mempercepat frekuensi gerakan tangannya sambil tangannya yang satunya lagi menekan knob klakson berkali-kali sehingga menimbulkan suara yang membisingkan telinga dan memusingkan kepala.
‘Yakis kamu!’ teriak Dina dongkol. Yakis dalam bahasa Ternate berarti monyet. Dina mendapatkan kata itu dari Yance yang berasal dari Maluku Utara.
‘Apa?’ tanya pemuda itu lantang berusaha mengalahkan bunyi mesin motornya sendiri. Dina tak sudi menjawab. Pemuda itu mengecilkan gasnya dan bertanya lagi.
‘Ya … kis,’ jawab dina.
‘Apa itu?’ tanya si pemuda bingung.
‘Ya kamu itu,’ jawab Dina acuh.
‘Aku tidak mengerti,’ kata pemuda itu dengan polos sehingga kesan sok jagoan yang baru saja ditunjukkannya luntur. Dina menahan tawa.
‘Makanya sekolah yang benar biar mengerti,’ kata dina sambil mengalihkan perhatiannya. Kali ini dia menatap mobil sport berwarna biru metallic yang berhenti tepat di depannya. Begitu mulus dan …
‘Hei itu ulang tahunku …itu inisialku!!!’ cetusnya tidak sadar ketika tanpa disengaja matanya nyasar ke plat nomer mobil itu… AB-2808-DR. Kemudian dia menjulurkan kepalanya ingin melihat wajah yang ada di dalam mobil. Tidak berhasil.
‘Enggak sekeren mobilnya,’ komentar si pemuda ’Yakis’ melihat ulah Dina.
‘Enggak minta pendapatmu,’ bentak Dina. Untung lampu lalu lintas segera berganti hijau hingga dina dapat melejitkan sepeda motornya.
Di depan Hotel Melia Purosani, Dina dapat mendahului mobil metallic yang tadi berhenti di depannya. Ketika tepat berada di samping kanan mobil itu, Dina melongok untuk melihat pengemudinya. Tetapi begitu melihat wajahnya langsung dia tancap gas.
‘Lagi-lagi Tionghoa. Tak ada orang pribumi asli yang dapat naik sedan semewah itu,’ pikirnya kecewa. Di belokan Pasar Kembang ganti mobil tadi yang mendahului Dina. Dina berpikir sejenak sebelum mempercepat kendaraannya. Tepat di bawah Kretek Kewek Dina dapat berada di samping mobil itu. Tapi … Entah disengaja atau tidak pemuda yang berada di dalam mobil itu meludah. Ujung rok Dina terkena sedikit. Langsung Dina memaki. Semua kata-kata kotor yang pernah didengar dan dibacanya meluncur dari mulutnya sederas aliran Kali Code. Sayang sang pengemudi mobil biru metallic enggak bisa mendengarnya. Itu membuat Dina semakin dongkol.
‘China yakis! Tak tahu aturan, enggak pernah diajar adat,’ gerutunya sambil meminggirkan motornya. Sesudah mematikan mesin dia mengambil tissue dari dalam tasnya dan mulai membersihkan rok yang terkena percikan air liur. Sebenarnya yang terkena hanya sedikit saja, tetapi berhubung hatinya panas maka rok yang dikenakannya seakan benar-benar kotor dan bau. Selagi dia berpikir apa yang akan dilakukannya kemudian, datang si pemuda ’Yakis’ dan berhenti di dekatnya.
‘Ada apa? Mogok ya?’ tanyanya penuh perhatian. Dina siap membentaknya dengan kata-kata pedas, tapi urung.
‘Ah enggak,’ jawab Dina manis. ’kamu ingat China gila yang tadi berhenti di depan kita?’ Dina merobah siasat.’Hmm … siapa tahu Yakis ini bisa diajak kompromi untuk menghajar si China keparat,’ pikir Dina dalam hati.
‘Yang mana?’ tanya si pemuda sambil mengernyitkan dahi.
‘Yang pakai mobil sport biru metallic mulus tadi.’
‘O iya. Kenapa?’
‘Nih lihat apa yang dilakukannya,’ kata Dina sambil menunjuk roknya yang sudah tak ada apa-apanya lagi. ’Ngeludahin aku, anak Indonesia asli,’ lanjut Dina.
‘Ah enggak disengaja barangkali,’ pemuda itu mengeluarkan pendapatnya.
‘Pasti disengaja,’ bantah Dina. ’China-China di sini semuanya memang begitu. Merasa diri kaya. Merasa diri penting karena dapat tinggal di sepanjang jalan-jalan penting. Mereka sukanya berlagu. Ih … sebel,’ omel Dina sambil menstater motornya.
‘Kurasa tidak semuanya begitu,’ pemuda itu berargumentasi.
‘Semuanya begitu. Kalau ada China yang baik itu namanya tidak normal. Anomali. Suatu perkecualian yang jarang terjadi. Kalau mereka suatu saat berbaik hati, pasti ada maksud yang disembunyikan.’ Dina menekankan setiap kata yang dianggapnya penting dan menjalankan sepeda motornya.
‘Kalau demikian kamu bersikap prejudis. Tidak baik seperti itu.’
‘Aku tak butuh nasihatmu. Kalau aku prejudis terhadap China itu adalah hakku,’ potong Dina sambil mengebutkan motornya. Si pemuda ikut-ikutan mengebutkan motor trailnya hingga selalu dapat menyamai kecepatan Dina.
‘Aku sudah sampai,’ kata Dina ketika mereka telah berada di depan sekolah Dina. Pemuda itu menghentikan sepeda motornya sementara Dina telah membelok masuk halaman sekolah.
‘Hei, sebentar!’ teriak pemuda itu. Dina menghentikan motornya dan menoleh.
‘Ada apa? “
‘Namamu siapa?’ tanya si Pemuda. Dina tertawa nyaring.
‘Namaku Yakis,’ teriak Dina sambil meneruskan perjalanan.
Ketika Dina memasuki kelasnya, semua temannya sudah berada di dalam kelas. Seperti biasanya jika ada pekerjaan rumah maka dapat dipastikan semua temannya akan datang lebih awal dan mengcopy pekerjaan rumah temannya yang mempunyai otak cemerlang. Kemudian Dina mendudukkan dirinya di samping Yance, gadis berkulit putih berambut panjang yang sedang asyik menulis.
‘Buram amat wajahmu. Ada problem?’ tanya Yance tanpa menoleh ke Dina.
‘Aku baru saja dihina seseorang. kamu mau menolongku?’ tanya dina. Yance menghentikan pekerjaannya, menatap dina serius.
‘Siapa yang menghinamu? Kuganyang dia,’ bisik Yance sambil menutup bukunya. Diam-diam Dina mengagumi temannya yang satu ini. Walaupun wajahnya tidak secantik teman-temannya yang lain tetapi rasa kesetia kawanan selangit.
‘Aku tidak tahu namanya. Aku tidak tahu rumahnya. Satu-satunya yang kuketahui dia orang China,’ jawab Dina. Kalau orang lain yang diajak bicara pasti akan mentertawakannya, tetapi berhubung yang diajak bicara Yance, yang mempunyai solidaritas setinggi gunung, maka dia tidak tertawa. Dia mengetuk-ngetuk kan ballpointnya di bangku sambil berpikir bagaimana mungkin seseorang yang belum dikenal Dina bisa melakukan penghinaan yang membuat wajah Dina buram seburam kaca di pagi hari.
‘Bagaimana itu bisa terjadi?’ tanya Yance setelah lama tak bisa membayangkan jalan cerita temannya. Kemudian Dina menceritakan semuanya dari awal lengkap dengan titik-komanya.
‘Kurangajar amat,’ geram Yance.’Orang kalau sudah jadi Maliong sering lupa asalnya. Tidak sadar rupanya dia dari mana dia dapat memperoleh kekayaannya,’ cerocos Yance. Tak disadari Yance telah menggunakan kata-kata yang tak di mengerti Dina.
‘Apa itu maliong?’ tanya Dina melupakan masalah pokoknya.
‘Milyuner, tolol,’ kata Yance. Dina tertawa.
‘Apakah kita akan mendiamkannya saja?’ tanya Dina.
‘Tentu saja tidak,’ tukas Yance. ’Dengar baik-baik Din. Nomer mobil itu sama dengan ulang tahunmu. Huruf belakangnya seperti inisial namamu. Berarti kita tahu nomor mobilnya. Nah, kita mulai dari situ.’
‘Apakah kita akan keliling kota untuk mencari mobil itu? Nyerah deh kalau aku kamu suruh melakukan hal itu. Tak sanggup,’ protes Dina.
‘Tentu saja tidak. Aku tidak segila itu,’ kata Yance.
‘Lalu?’ tanya Dina. Yance diam saja. Dia berpikir bagaimana mendapatkan cara yang tidak ’gila’ untuk memperoleh informasi tentang pemilik mobil berwarna metallic yang telah menghina temannya.
‘Ah Yong,’ teriak Yance akhirnya. ’Dia pasti tahu mobil-mobil mewah yang dimiliki orang-orang sebangsanya.’
‘Aku tak mau berhubungan dengan China lagi, tak terkecuali si Yong,’ kata dina.
‘Tak ada jalan lain, Din. Lagi pula Ah Yong orangnya baik, tidak semua China berhati jelek lho.’
‘Pokoknya aku enggak mau. Kalau kamu mau tanya, silakan.’
‘Oke, kamu tenang-tenang saja. Tahu beres,’ kata Yance sambil membuka bukunya kembali.
‘Keesokan harinya Yance telah mendapatkan semua informasi, baik yang diperlukan maupun yang tidak.
‘Ayo, Din,’ ajak Yance pada istirahat pertama. Kemudian mereka menuju ke sebuah bangku beton yang ada di bawah pohon karet yang berada di halaman tengah sekolah mereka. Sesudah duduk Yance mengeluarkan sesobek kertas kumal pembungkus rokok.
‘Mobil itu mobilnya babah Kwan Chee Wai,’ Yance mulai bercerita sambil membaca tulisan pada kertas yang ada di tangannya. ’Babah ini pemilik toko sepatu Lion. Itu lho yang di jalan Solo.’
‘Yan, orangnya masih muda. Paling banter dua tahun di atas kita,’ potong Dina.
‘Sabar dulu …’ kata Yance sambil melicinkan kertasnya. ’Dia punya tiga anak laki-laki. Satu kuliah di Sanata Dharma, satu lagi sekolah di De Britto dan yang terkecil sekolah di Budya Wacana.’ Yance berhenti sejenak untuk melihat reaksi Dina. Tapi wajah Dina begitu tenang tidak menunjukkan apa-apa.
‘Yang kuliah di Sadar namanya Kwan Kim Fui, biasa di panggil Kim. Kurasa orang inilah yang meludahimu. Orangnya memang agak sombong,’ lanjut Yance. Dina memandang Yance kagum.
‘Bagaimana manusia satu ini bisa memperoleh data selengkap itu. Pantas deh untuk petugas sensus,’ pikir Dina.
‘Anak yang kedua. Aduh ma … Dia paling ganteng di antara semuanya. Wajahnya mirip Tou Ming She-nya Meteor Garden, enggak dhing mirip Adam Jordan. Enggak tampak deh kalau dia itu orang China.’
‘Biar. Nah teruskan,’ potong Dina.
‘Di De Britto dia juara umum. Jurusan IPA kelas tiga.’
‘Kenapa sih kamu kok jadi antusias banget nyeritakan yang ini. Aku enggak butuh dia aku cuma butuh yang, siapa tadi … Kim … Kim.’
‘Oke …’ Yance menurut, ’Kim Fui… Nah, si Kim Fui ini punya adik sekolah di De ..’
‘Setan kamu!’ teriak Dina dongkol. Yance tertawa ngakak.
‘ kamu ingin dengar tentang adiknya yang bungsu?’
‘Enggak.’
‘Pacar Kim Fui ini si Bimbi. Ingat enggak kamu sama ratu Disco Colombo yang cantik nan jelita itu? Namanya yang sebenarnya adalah Tan Beng Choo,’ kata Yance. Dina tertawa senang. Yance mau menambah keterangannya lagi tapi keburu distop Dina.
‘Kurasa cukup lengkap. Kamu kuangkat jadi detektifku,’ kata Dina sambil bangkit setelah terlebih dahulu menyerobot kertas kumal Yance. Yance tersenyum puas. ’Sekarang ayo ikut aku. Kita jalankan misi kita,’ lanjut Dina.
‘Apa yang akan kamu lakukan? kamu tidak akan ngawur kan? “
‘Sejak kapan orang yang namanya Yance kenal takut?’ tantang Dina. Dan yance mengikuti langkah Dina. Mereka keluar menuju kantor telpon yang berada di sebelah timur sekolah mereka.
Seorang gadis berseragam Telkom menegur Dina ketika Dina dan Yance memasuki Kantor itu.
‘Eh, mbak Yanti, mau pinjam telpon, mbak,’ kata Dina manis.
‘Emang enggak bawa HP?’ tanya gadis yang dipanggil Yanti itu.
‘Kelasku lagi dihukum enggak ada yang boleh bawa HP ke sekolah minggu ini ..’ sahut Dina mulus. Untuk yang mau Dina lakukan ini dia harus menggunakan telpon umum. Dia tidak mau telponnya terlacak. Yanti tersenyum maklum dan mengantar mereka menuju ke deretan telpon umum yang lengang.
Dina dan Yance ke sebuah stand telpon yang ada di ujung barat.
Setelah Yanti pergi, Dina langsung membuka buku telpon dan membolak-baliknya mencari nama Kwan Chee Wai, tapi tak dijumpainya.
‘Kamu mau menelpon siapa?’ tanya Yance.
‘Kwan Chee Wai,’ jawab Dina. Yance mengeleng-gelengkan kepalanya.
‘Berikan buku itu padaku,’ pinta Yance. Dina mengulurkannya. Yance membalik beberapa halaman dan langsung menemukan nomor telpon toko sepatu Lion.
‘Nih,’ kata Yance sambil menunjukkan sebuah nomor. Dina tersenyum menyadari ketololannya. Kemudian dia memutar nomor tersebut. Terdengar deringan dua kali sebelum telpon di seberang diangkat.
‘Hallo, toko sepatu Lion di sini,’ terdengar suara wanita. Dari logatnya yang medok, Dina tahu kalau dia orang Jawa.
‘Hmm … pelayannya,’ pikir Dina.
‘Saya mau bicara dengan…’ Dina mencari nama Kwan Chee Wai di kertas kumal Dina, tapi tidak ketemu.
‘Kwan Chee Wai,’ bisik Yance.
‘Saya mau bicara dengan Kwan Chee Wai,’ kata Dina tanpa berusaha memakai embel-embel bapak, tuan, engkong atau babah di depan nama Kwan Chee Wai.
‘Ada perlu apa?’ tanya si pelayan kenes. ‘Tapi babah lagi sibuk itu, mbok nanti sore nelponnya,’ suara si pelayan kemayu. Dina diam sejenak.
‘Saya tidak mau tahu apakah dia sibuk atau tidak. Saya butuh Kwan Chee Wai sekarang juga. Ini menyangkut masalah hidup dan mati. Sana lari panggil dia!’ bentak Dina menakut-nakuti. Yance memandang Dina sambil tersenyum lebar.
‘Baik saya panggilkan tunggu sebentar,’ kata pelayan itu gemetar. Dina tertawa. Beberapa saat kemudian terdengar suara seorang laki-laki.
‘Hallo, saya Kwan Chee Wai, bicala dengan sapa ya saya?’ Dina, hampir tertawa mendengar irama suaranya, tetapi dengan keras ditahannya agar tawanya tak keluar.
‘Tak perlu tahu siapa saya. Sekarang saya ingin kamu mendengarkan apa yang akan saya omongkan,’ kata Dina angker. Orangnya yang ada di seberang tak mengeluarkan suara apa-apa. Dina membayangkan orang itu pasti gemetar ketakutan karena bentakannya.
‘Kamu punya anak yang namanya Kim Fui? “
‘Iya, benal,’ jawab Kwan Chee Wai gagap.
‘Hmm…’ dengus Dina. kamu pasti tak pernah mengajar adat kepada anakmu yang satu ini. Kamu merasa kaya ya? kamu bangga anakmu dapat berbuat sesuka hati dan menghina orang seenak perutnya sendiri,’ kata Dina dalam nada tinggi.
‘Nona, saya olang kagak ngalti apa nyang nona bicalaken.’
‘Kamu dengar tidak peristiwa di Ujung Pandang tentang pelemparan batu pada rumah-rumah milik orang Tionghoa? Na, kejadian semacam itu bisa terjadi di Yogya lantaran anakmu,’ ancam Dina.
‘Tapi nona, saya olang punya anak tidak ada nyang kulangajal. Itu cuma pietnah. Jangan didengalken,’ Dina tertawa sinis mendengar penuturan Kwan Chee Wai.
‘Bukan fitnah. Anakmu yang namanya Kim Fui, kemarin pagi jam tujuh kurang seperempat telah menghina seorang gadis anggota kelompok kami, seorang Indonesia asli yang masih berdarah ningrat dan ayahnya pemimpin partai besar dengan meludahinya di bawah Kretek Kewek.’ Dina sengaja meninggikan diri agar kedengarannya lebih berwibawa.
Kwan Chee Wai terdiam sesaat. Akhirnya dia bicara.
‘Maafkan dia olang, nona. Nanti dia olang pasti akan saya beli pelajalan. Saya beljanji untuk menghajal itu anak,’ katanya makin ketakutan.
‘Itu thok tidak cukup,’ potong Dina tajam.
‘Telus bagaimana saya olang halus pelbuat? “
‘Saya atas nama kelompok anak muda Yogya minta pernyataan tertulis di surat kabar. Saya tidak minta yang aneh-aneh, cukup di surat kabar lokal saja. Paling lama lusa harus sudah terbit. Lengkap dengan nama Kim Fui dan toko sepatu Lion,’
kata dina. Yance membelalakkan matanya mendengar apa yang diucapkan Dina.
‘Tapi nona, kami olang punya nama akan telcemal gala-gala ini pelkala.’
‘Terserah kamu. kamu tulis di surat kabar atau kamu sendiri harus menanggung resikonya. Dan sekali lagi saya peringatkan bukan hanya keluargamu saja yang mungkin menderita akibatnya.’
‘Oe nona, saya mekelum,’ kata Kwan Chee Wai.’Dan kalau saya boleh tahu nona punya nama sapa?’
‘Saya wakil dari anak-anak muda kota Yogya,’ jawab Dina rendah sambil meletakkan gagang telpon. Dia tersenyum puas dan mengajak Yance berlalu.
‘Apa yang kamu perbuat benar-benar keterlaluan,’ komentar Yance sambil berjalan. ‘Bagaimana jika dia lapor ke polisi? “
‘Biarkan dia lapor ke polisi. Polisi tak kan mampu melacak kita. Lagi pula aku tidak melakukan kejahatan, apa yang kulakukan tidak melanggar hukum. Dia bersalah, maka dia harus minta maaf. Hal yang sepele.’
‘Tapi kamu mengancam dia.’
‘Aku tidak mengancam. Hanya kukatakan apa yang terjadi di Ujung Pandang bisa terjadi di Yogya. Kan benar? “
‘Tak tahu deh, Din. Cuma kubayangkan bagaimana jika yang menerima telpon tadi keluargaku. Apa tidak akan geger? kamu sadis banget sih,’ kata Yance. Kemudian yance melihat jam yang melilit di pergelangan tangannya.
‘Ya… telat, Din!’ teriak Yance. Kemudian mereka bergegas menuju sekolah mereka. Sesampai di depan pintu kelas mereka berpandang-pandangan ragu.
‘Masuk enggak?’ tanya Yance.
‘Masuk aja yuk,’ Dina memutuskan. Dengan berjingkat mereka masuk kelas.
‘Dari mana anak-anak manis?’ tegur bu Dariah guru kimia mereka. Dina dan yance tersenyum lucu, sementara teman-teman mereka bersiul-siul.
‘Maaf bu, enggak dengar bel tadi,’ alasan Dina.
‘Kumaafkan asal kamu bisa mengerjakan soal itu,’ kata bu Dariah sambil menunjuk soal yang ada di papan tulis. Dina membelalak. Teman-temannya cengar-cengir dan menggodanya. Dina kemudian melihat Ah Yong mengisyaratkan agar dia memakai bukunya.
‘Huh, China itu pasang aksi,’ kata hatinya. Kemudian dia menuju papan tulis mencoba mengerjakan soal. Lama sekali tak berhasil. Dia menoleh ke belakang. Yance telah duduk rapi di kursinya, dia memberi tanda agar Dina menerima buku Ah Yong.
‘Bagaimana Dina?’ tanya bu Dariah.
‘Sukar, Bu. Nyerah aja deh,’ kata Dina seperti anak kecil. Bu Dariah tertawa ringan.
‘Ah guru ini selalu manis,’ pikir Dina ketika bu Dariah menyuruh duduk.
‘Yong, kamu bisa?’ tanya bu Dariah pada Ah Yong. Ah Yong terus bangkit menuju papan tulis dan mengerjakan soal itu dengan cepat.
‘Kenapa kamu tak mau menggunakan buku Yong?’ tanya Yance. Dina menatap Yance lama sebelum menjawab.
‘Ingat dia orang China dan aku sudah berjanji tak akan berhubungan lagi dengan segala macam China,’ bisik Dina.
‘Din, jangan keterlaluan. Yong tak punya kesalahan apapun terhadapmu.’ Yance menasehati, tetapi telinga dina seakan tak mempunyai lubang.
Keesokan harinya, permintaan maaf dari toko sepatu Lion telah nampang di Koran. Dina mengambil gunting dan mengguntingnya lalu di tempelkan di buku kenangannya. Hatinya mekar karena telah berhasil membalas dendam. Tetapi kalau ada anggapan bahwa pernyataan itu sebagai akhir dari sikap sinis Dina terhadap orang-orang Tionghoa maka anggapan itu salah besar.
Sikap Dina semakin tak masuk akal. Apa-apa yang berbau China dianggap haram. Dia tak mau menggunakan handuknya lagi karena handuknya itu made in China. Dia lebih baik tak pergi ke restaurant langgannannya karena pemiliknya orang Tionghoa. Dan dia tidak lagi suka berjalan-jalan sepanjang jalan solo dan Malioboro karena dia segan untuk bertemu dengan orang Tionghoa. Bahkan kepada ah Yong yang duduk di belakangnya di kelas dia tak suka menegur.
‘Din, kamu tak percaya bahwa ada orang Tionghoa berhati baik?’ tanya Yance suatu hari.
‘Sudah ratusan kali kubilang Yan, semua China sama saja. Cuma mau cari untung. Mereka menyeberang dari tanah China karena ada huru-hara di negerinya sehingga mereka merasa tidak aman lagi, tetapi rasa cinta mereka tetap ada di tanah leluhurnya. Sedang Indonesia dianggap sebagai tempat untuk mencari nafkah. Bukan sebagai tanah tumpah darah.’
‘Tapi kebanyakan mereka dilahirkan di sini.’
‘Benar. Tapi jangan lupa, orang-orang tua mereka telah mengajarkan filsafat yang kuat di hati mereka untuk tetap mencintai negeri asalnya,’ bela Dina.
‘Pernahkah kamu renungkan, orang-orang seperti Cuncun, Rudi Hartono, Liem Swie King membawa nama Negara kita dari pada kamu sendiri yang mengaku orang Indonesia asli. Benar kan?’ tanya Yance. ‘Bahkan Cuncun walaupun sampai sakit begitu masih
mau berkorban untuk Negara. Apakah mereka kamu anggap Cuma mau cari untung saja?’ lanjut Yance.
‘Ah, mereka lain. Mereka berkecimpung dalam bidang olahraga jadi dengan sendirinya memiliki jiwa yang sportif. Bukan seperti lainnya yang ngurusin dagang melulu,’ bela dina ngawur.
‘Oke, berarti ada China yang baik,’ Yance menegaskan.
‘Aku tak mengatakan demikian,’ bantah Dina.
‘Tapi kamu merasa bangga terhadap Rudi Hartono cs kan?’
‘Jangan samakan mereka dengan yang lainnya !’
‘Berarti kamu tidak fair.’
‘Yan, aku tahu kamu tak akan bisa menempatkan dirimu pada posisiku. Aku pernah diludahi China. Itu menyakitkan. Panas matahari ditanggung semua orang, tetapi panasnya hati … ya aku sendiri yang menanggungnya. Walaupun kamu sahabatku yang paling dekat kamu tak kan bisa ikut merasakan panasnya hatiku,’ kilah Dina befalsafah
‘Bukankah dia telah minta maaf? Sedang Tuhan saja maha pemaaf kenapa kamu tidak bisa memaafkannya. Bagaimana jika orang yang meludahimu itu dulu orang Jawa, sukumu sendiri. Apakah kamu akan membenci semua orang Jawa seperti saat ini kamu membenci orang China?’ kata Yance bersemangat. Dina diam saja. Kalau sudah demikian biasanya mereka mengganti topik pembicaraan, karena menurut pengalaman, mereka tak pernah menemukan titik temu pendapat mengenai hal yang satu ini.
Siang itu panasnya bukan main. Terik matahari benar-benar menyengat badan. Selama perjalanan pulang dari sekolah, Dina berkali-kali mengosok lengannya dengan telapak tangan karena rasanya seperti terbakar. Dia merasa begitu lega ketika memasukkan sepeda motornya ke halaman rumahnya yang penuh dengan pepohonan rindang. Dina langsung masuk kamar tidurnya setelah memasukkan sepeda motornya di garasi karena kedua orang tuanya belum pulang. Jadi dia terhindar dari kewajiban untuk makan siang terlebih dahulu. Kemudian dia membaringkan dirinya di kasurnya yang empuk tanpa mengganti pakaian seragamnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya kemudian berpindah ke seantero kamar.
Tiba-tiba matanya melihat laptopnya di atas meja belajar. Langsung dia beranjak dan menyambar laptop itu kemudian kembali ke kasurnya untuk mencek facebook dan e-mail. Ada satu e-mail yang menarik perhatiannya
‘Hmm … sudah lama Sasa tak kirim e-mail,’ gumamnya. Sasa adalah kakaknya yang kini meneruskan belajarnya di Amerika.
Seperti biasa kalau Sasa mengirim e-mail akan panjang lebar. Tetapi karena yang ditulis selalu menarik maka tidak pernah membosankan. Pada paragraf pertama Sasa menulis tentang keadaannya dan sekolahnya. Paragraf kedua tentang mode yang sedang melanda muda-mudi Amerika. Dilanjutkan tentang pekerjaan sambilannya di Mc Donald Hamburger Corner dan di bagian akhir dia menulis…
‘Eh, Din, Sasa barusan nonton film yang diputar oleh televisi kalau enggak salah NBC yang mutar. Seluruh penghuni asrama sini nonton. Pertunjukannya memakan waktu enam jam (ini sudah termasuk iklan yang setiap lima belas menit sekali nongol), jadi terpaksa harus diputar selama empat malam berturut-turut. Judulnya hOLOCAUST (ingat-ingat deh, siapa tahu diputar di Indonesia).
Nah ini cerita tentang keluarga Weiss yang Yahudi dalam masa sadis-sadisnya hitler. Aduh berkali-kali deh Sasa terpaksa menutup mata … Ngeri. Bayangin deh, mama Weiss dan wanita-wanita lain disuruh masuk ke kamar mandi, waktu itu mereka sudah di penjara, katanya disuruh mandi tapi begitu pintu kamar mandi ditutup dan mereka sudah ditelanjangi eh tahunya yang keluar dari shower itu uap beracun. Mereka menggeliat-geliat sebelum mati. Masih banyak deh Din, yang sadis-sadis lainnya, misalnya disuruh baris menghadap ke tembok, enggak laki-laki, enggak perempuan dan deeerrr … Akhirnya tinggal seorang keluarga Weiss yang hidup. Anak laki-lakinya dan dia terpaksa mengungsi. Gila nggak tuh si Hitler? kamu tahu enggak teman-temanku yang punya mata berwarna biru sampai menyesal mempunyai mata biru akibat nonton film itu. Habis semua mata biru di situ sadis sih. Apalagi yang orang Jerman … wah tak henti-henti menyesali kekejaman bangsanya waktu itu.
Din … Yance bilang kamu kini musuhan ya sama orang-orang Tionghoa? Jangan dong, Din. Hitler itu juga dulunya cuma berawal dari rasa tidak senangnya terhadap orang-orang Yahudi tanpa alasan yang kuat hingga dia sesadis itu. Sasa pikir kalau adik Sasa yang Cuma gadis manis biasa saja berani ngancam orang Tionghoa apalagi Hitler yang punya kekuasaan.
Orang-orang Tionghoa itu seperti halnya orang Yahudi lho Din (ah, ini perbandingan saja) mereka akan membela Negara di mana mereka mendapatkan ketentramannya. Dalam hal ini Indonesia tentu saja. Kalau kamu sudah sejak dini memusuhi mereka bagaimana nanti jika kamu sudah menjadi pemimpin bangsa (bukankah itu cita-citamu). Ayo, Din hilangkan sikap prejudismu. Setiap bangsa itu sama saja, punya kelebihan dan punya kekurangan. Memang ada satu orang Tionghoa yang cuma mau cari untung, tapi harap kamu ingat orang Indonesia yang mau menangnya sendiri tak kalah banyaknya. Biasakanlah dirimu menerima seseorang itu apa adanya. Jangan kamu lihat bangsa dan derajatnya.
Oke, Din aku tahu kamu adikku yang berhati manis. kamu pasti akan bersikap seperti dulu lagi. Udah ya Sasa bobo dulu.’
‘Uih, Yance, pakai lapor segala,’ gumam Dina, tapi dia segera tertidur karena lelah. Dia baru terbangun ketika merasa tubuhnya digoyang-goyangkan. Kemudian samara-samar dia mendengar suara panggilan dari mamanya.
‘Udah disamperin Yance tuh,’ kata mama Dina. Dina bangun dan duduk dengan lesu.
‘Kalau tidur ganti baju dulu dong,’ omel mamanya.
‘Yance? Mau apa dia ke sini?’ tanya Dina tak mengacuhkan kata-kata mamanya.
‘Katanya ada pertandingan antar SMA di …’
‘O iya,’ jerit dina sambil meloncat turun dari tempat tidurnya dan langsung berlari ke luar, tetapi segera kembali ke kamarnya lagi.
‘Tolong deh, Mam, temenin Yance sebentar, Dina mandi dulu,’ katanya. Mamanya mengeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum.
Ketika dina keluar dengan pakaian olahraganya, Yance dan mamanya sedang asyik bercakap-cakap. Ada segelas susu dan sebutir telor rebus di atas meja di hadapan mereka. Dina pura-pura tak melihat, karena dia tahu semua itu pasti untuknya .
‘Aku gonceng saja ya, Yan, aku masih agak ngantuk?’ kata Dina. Yance mengangguk sambil berdiri.
‘Susu dan telormu , Din,’ mama dina mengingatkan.
‘Ya, mama. Dina masih kenyang,’ protes Dina.
‘Bibi bilang kamu langsung tidur tadi, jadi belum makan siang. kamu makan telormu atau kamu ingin makan siang?’ akhirnya dina menurut. Dia memakan telornya dengan cepat dan meneguk susunya. Kemudian melambai kepada ibunya dan keluar.
‘Yan, kamu pakai kirim e-mail ke Sasa tentang diriku ya?’ tanya Dina ketika keduanya telah berada di jalan.
‘Enggak boleh?’ tanya Yance.
‘Kirim e-mail sih boleh aja. Tapi nggak usah tentang yang satu itu,’ kata dina.
‘Habis kamu makin enggak rasional sih. Kamu sok idealis, tapi konyol,’ kata Yance. Dina tertawa.
Ketika mereka sampai di lapangan IKIP Karangmalang, mereka langsung ke jadwal pertandingan.
‘Hei, asyik lawan Stelladuce,’ bisik Dina di telinga Yance. Yance segera mengerti maksud Dina. Pemain-pemain basket Stelladuce kebanyakan anak-anak keturunan Tionghoa. Yance menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Hei, Yakis!’ tiba-tiba terdengar sebuah suara. Yance dan Dina menoleh seketika. Tampak seorang pemuda yang dulu berada di samping Dina ketika dina berhenti di belakang mobil Kim Fui. Kalau dulu dia berpakaian urakan, kini dia berpakaian santai tapi rapi. Yance mengerutkan dahi, merasa tidak senang temannya dipanggil ‘Yakis’. Tetapi Dina justru tersenyum. Yance terus ngeloyor pergi karena sebagai kapten regu basket sekolahnya dia harus mengumpulkan regunya lebih dahulu.
‘Kubaca tentang kamu di surat kabar,’ kata si pemuda.
‘Surat kabar?’ tanya Dina bingung.
‘Pernyataan maaf untukmu,’ kata si pemuda. Dina tertawa. Dia kembali teringat peristiwa itu lagi. ’Senang ya bisa bikin sensasi?’ lanjut si pemuda.
‘Ah, biasa-biasa saja,’ jawab Dina santai. Si pemuda cuma tersenyum mendengar jawaban Dina.
‘Kamu mau bertanding?’ tanyanya.
‘He eh.’
‘Lawan mana? “
‘Stelladuce.’
‘Wah sorry enggak bisa nyeporterin kamu, sudah keburu dibon Selladuce.’
Ah enggak apa-apa, paling juga menang,’ jawab Dina. ’kamu sekolah di mana sih? Bukan Stella Duce kan?’ tanya dina
‘De Britto,’ jawab si pemuda sambil tertawa.
‘Oh, pantas,’ kata dina. Pantas di sini bermaksud banyak … Pantas kalau dia dulu berlagak sok jagoan. Pantas kalau sekarang dia mau nyeporterin stella duce, karena baik Stelladuce maupun De Britto dua-duanya sekolah ‘gersang’ Stella duce cewek melulu dan De Britto cowok melulu, jadi barter dalam hal seporter-seporteran.
Kemudian terdengar Yance memanggil Dina menyuruhnya berkumpul. Begitu Dina sampai di lapangan basket, pertandingan segera dimulai. Walaupun seporter-seporter dari Sella duce dan De Britto cukup banyak dan ramai tetapi toh tetap kalah dibanding dengan Fajar dan kawan-kawannya yang nyeporterin regu Yance. Teriakan-teriakan dari seporter Stella duce tertelan oleh teriakan dari Fajar Cs. Di samping itu, Dina walaupun di tengah permainan masih sempat berteriak-teriak nyeporterin regunya.
‘Ayo, moy-moy lemparkan bolamu pada dina, di tokomu banyak bolanya,’ teriak Dina sambil mendek pemain stella duce yang keturunan Tionghoa. Semua yang berada di pinggir lapangan tertawa mendengar teriakan Dina, kecuali yang merasa diri masih keturunan China. Akibatnya banyak pengikut Stella duce yang berasal dari De Britto yang merasa bukan keturunan Tionghoa menyeberang menjadi pengikut sekolah Dina dan ikut-ikutan mengajak anak-anak Stelladuce.
‘Ayo, Sanchai aku cinta padamu,’ teriak Fajar meramaikan suasana.
‘Bukan aku cinta padamu, tapi wo ai ni,’ teriak Dina sambil melempar bola ke keranjang. Nadanya dibuat persis orang-orang China asli. Tiba-tiba dia teringat apa yang ditulis Sasa di suratnya.
‘Kalau adik Sasa yang merupakan gadis manis biasa saja bisa mengancam orang Tionghoa apalagi Hitler yang punya kekuasaan. ‘Entah mengapa Dina tak mau dirinya disamakan dengan Hitler. Kemudian dia tak banyak komentar-komentar yang menyakitkan hati diserahkan ke tangan Fajar cs, yang dapat melakukannya dengan baik, terbukti sebentar-sebentar gadis-gadis itu wajahnya memerah menahan marah. Dan konsentrasi mereka buyar yang menyebabkan permainan mereka buruk.
Pertandingan itu usai dengan kemenangan pihak Yance dan kawan-kawannya. Mula-mula dina ogah-ogahan tetapi akhirnya mau juga dia menyalami mereka.
‘Sorry ya, kalau kata-kataku tadi kasar,’ kata Dina. Dia tak tahu mengapa dia merasa bahwa dia harus meminta maaf. Yang disalami tersenyum mencoba melupakan kata-kata Dina yang menyakitkan hati selama pertandingan tadi berlangsung.
‘Din, dapat salam dari Huan,’ kata Ah Yong sambil mengucapkan selamat kepada Dina.
‘Siapa?’ tanya Dina bingung
‘Huan. Yang tadi ngomong-ngomong sama kamu sebelum pertandingan.’
‘O, dia namanya Huan? Orang mana sih?’ tanya dina pingin tahu.
‘Orang Yogya. Itu lho anaknya yang punya sepatu Lion.’
‘Apa?’ tanya Dina kaget. Matanya membulat dan lehernya seakan tercekik.
‘Dia memang keturunan Tionghoa kok. Enggak nampak ya?’ kata Ah Yong yang tak mengerti kekagetan Dina yang sebenarnya.
‘Toko sepatu Lion? Adik Kim Fui?’ tanya Dina meyakinkan diri bahwa apa yang didengar telinganya betul adanya.
‘Lho kamu kok tahu? Kenal Kim Fui ya?’ tanya Ah Yong. Dina menggeleng-gelengkan kepalanya mencoba mengusir kekacauan yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
‘Oke deh salam kembali,’ kata Dina berusaha tenang. Setelah Ah Yong berlalu Dina berdiri termangu.
‘Jadi dia adik Kim Fui. Berarti dia tahu, akulah yang telah mengancam ayahnya dan memaksa mereka menulis pernyataan maaf di Koran. Tetapi mengapa dia tak memberi tahu ayahnya kalau yang mengancamnya itu tak lain hanyalah seorang gadis yang tak punya kekuatan apa-apa atau tak melaporkannya kepada polisi? Tetapi mengapa di malah menegurku seakan tak ada kejadian apa-apa?‘ pikir Dina bingung.
‘Pulang nggak, Din?’ tegur Yance yang tiba-tiba saja sudah ada disampingnya.
‘Emangnya mau nginap di sini?’ jawab dina dan berjalan bersama Yance.
‘Selama perjalanan pulang pikiran Dina kacau. Dia tak mendengar apa yang diocehkan yance selama perjalanan.
‘Ruwet … ruwet. Mengapa jadi begini? Jadi waktu aku memaki-maki Kim Fui di Kretek Kewek itu, dia sudah tahu kalau yang kumaki adalah kakaknya. Ih, ruwet,’ pikir Dina, setengah menyesali diri.
Sesampai di depan rumah Yance bertanya, ’ikut enggak besok pagi? “
‘Ke mana?’ tanya Dina.
‘Tadi sudah kukatakan padamu dan kamu menjawab ya.’
‘Aku tidak tahu,’ kata Dina. Yance mengerutkan bibirnya jengkel.
‘Jadi kamu tak menggubris omonganku selama perjalanan tadi, di mana sih pikiranmu, Din? Pada Huan, ya? “
‘ kamu tahu siapa dia?’ tanya Dina hati-hati.
‘Tentu saja aku tahu. Adik Kim Fui. Aku heran apa yang akan dilakukannya kalau dia tahu kamu yang telah menganc …’
‘Dia tahu, Yan,’ potong Dina. Yance membelalak tak percaya.
‘Tahu deh, Din, kamu berdua sinting semua. Dia tenang-tenang saja berhadapan dengan musuh keluarganya sementara kamu sendiri juga tenang-tenang dipanggil yakis,’ kata Yance.
‘Karena dia tak tahu arti ’yakis’ yang sebenarnya,’ bantah Dina, tapi tak diucapkan. Dia hanya tertawa ringan.
‘Ada apa besok pagi?’ akhirnya dina bertanya.
‘Ayah dan ibuku serta kakakku datang dan…’
‘Dari Ternate?’ tanya Dina antusias. Dina mengangguk.
‘Mereka sudah ada di Jakarta sejak kemarin dan besok akan datang ke sini jam sepuluh. Nah, kamu mau ikut jemput enggak? “
‘Tentu dong. Ole-olenya itu yang kubutuhkan,’ jawab Dina sambil tertawa sambil membayangkan kue bagia yang penuh dengan kenari, Yance juga tertawa.
‘Kalau begitu kamu harus bangun pagi. Jam setengah sembilan ku jemput kamu?’
‘Siap, kapten,’ kata Dina dan Yance segera menghidupkan mesinnya. Setelah pesan ini itu barulah Yance pergi, meninggalkan
asap yang mengepul dari knalpotnya.
Pagi itu cuaca agak mendung. Dina dan yance telah berada di pelabuhan udara Adi Sucipto. Orang tua serta kakak Yance baru akan tiba setengah jam lagi. Selama menunggu mereka berdua duduk di bawah pohon akasia di luar airport sambil menikmati teh botol
‘Yan, biasanya kalau cuaca begini penerbangan jadi batal lho,’ kata Dina. Yance mencibir.
‘Enggak percaya? Soalnya lapangan ini kan dikelilingi bukit, na, kalau mendung bukit ini enggak begitu tampak, jadi lebih baik penerbangan diundur dari pada ada malapetaka.’
‘Din, aku sudah tanya dan mereka mengatakan sudah take off dari Jakarta.’
‘Wah … berdoa saja deh Yan, moga-moga nggak ada apa-apa,’ kata dina tenang. Yance membelalakkan matanya.
‘Yakis kamu!’ teriaknya. Dina tertawa terpingkal-pingkal.
‘Baru dibilangin begitu saja sudah kalap,’ olok Dina.
‘Orang tua cuma dua kok, masa dibegitukan, ya marah dong,’ kata Yance. Dina masih tertawa ketika terdengar pengumuman bahwa pesawat dari Jakarta baru saja mendarat. Bergegas mereka berlari masuk.
Yance menanti tak sabar. Dia menggerak-gerakkan kakinya siap untuk berlari. Dina yang baru pertama kali ini melihat ketidak-tenangan Yance tersenyum. Satu demi satu para penumpang muncul. Yance memperhatikan mereka satu persatu sementara Dina membayangkan seperti apa wajah orang tua dan kakak Yance.
‘Itu dia,’ kata Yance sambil menunjuk tiga orang yang berjalan ke arah pintu keluar.
‘Yang mana?’ tanya dina karena yang ditunjuk Yance adalah tiga orang Tionghoa.
‘Itu ! Yang dengan gadis berbaju merah,’ kata Yance.
‘Ah, jangan main-main …’ Tapi Yance sudah tak mendengarnya dia sudah berlari mendekati mereka. Menyadari hal itu, jantung Dina seakan berhenti berdetak. Dia memandang mereka berempat bagai memandang mayat yang baru bangkit dari liang kubur. Matanya terbelalak dan mulutnya terbuka lebar.
‘Yance keturunan Tionghoa?’ desisnya lunglai. Dia menginginkan dunia kiamat saat itu juga hingga dia tidak harus berhadapan dengan Yance lagi. Dia tak punya muka untuk menemui Yance, terlalu malu. ’Penghinaan yang selama ini kulancarkan ternyata hanya untuk menyakiti hatinya. Tuhan, berilah aku ampunan,’ pikir Dina sedih. Tapi tak ada jalan lain untuk tidak menemui Yance. Karena untuk melarikan diri jelas tidak mungkin. Dan Yance serta keluarganya sudah mendekati Dina.
‘Dina, Yance selalu bercerita kalau Dina serta keluarga Dina baik sama Yance,’ kata ibu Yance sambil menjabat tangan Dina. Dina hanya bisa tersenyum. Wajahnya sebentar merah, sebentar memucat. Dia ingin mencari kekuatan pada Yance, tapi Yance begitu asyik bercakap dengan kakaknya.
‘Kenapa Yance tak pernah bercerita kalau dia itu keturunan Tionghoa?’ pikir Dina menyesali keadaan. Keluarga Yance begitu ramah, hal mana justru membuat hati Dina semakin pedih. Dia merasa sangat berdosa terhadap Yance.
Ketika orang tua Yance sedang mengurus barang-barangnya, Yance mendekati Dina dan menepuk bahunya.
‘Setelah tahu kalau aku orang China apakah kamu tidak mau bersahabat lagi denganku?’ tanya Yance sambil menahan senyum,’sedang aku yang kamu hina setiap menit saja masih mau berteman denganmu,’ lanjutnya sambil tertawa lirih. Dina memandang Yance dengan sinar mata berisi sejuta penyesalan.
‘Maafkan Dina, Yan, aku tahu aku telah salah selama ini.’
‘Syukur deh kalau kamu sadar.’
‘Jadi kamu memaafkanku? Enggak sakit hati?’ tanya dina mulai agak tenang.
‘Wah maaf thok enggak cukup,’ kata Yance.
‘Lalu?’
‘Aku minta pernyataan tertulis. Enggak muluk-muluk deh, Din, cukup ditulis di surat kabar Indonesia, enggak usah di surat kabar Internasional. Paling lambat lusa harus sudah terbit,’ kata Yance menirukan kata-kata dina beberapa waktu yang lalu ketika mengancam Kwan Chee Wai melalui telpon. Dina dan Yance tertawa. Mereka masih tetap tertawa waktu keluarga Yance siap untuk meninggalkan airport. Mendung yang tadi melingkupi kota Yogya telah hilang dan matahari bersinar dengan ramah.
Note: Isi tidak berubah walau di sana-sini sudah disesuaikan agar tidak terlalu kuno …
Posted on August 2, 2011, in Short Stories and tagged Cerpen, Fiksi, Gadis, Laily Lanisy, Nafas Muda Kota Yogya. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0