Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Ketiga)
Kuhitung kancing bajuku; pulang, . . . tidak, . . . pulang, . . . tidak, . . . pulang tidak. Tidak pulang! Ya. Seharusnya aku tidak pulang. Pulang berarti permusuhan kembali dengan ibu Oom No dan itu akan membuat Mama berduka.
Lama aku merenung mencari jalan keluar. Aku harus pergi dari tempat ini tetapi aku tidak boleh pulang. Aku harus bisa meyakinkan Mama bahwa aku masih tetap tinggal bersam Papa. Bagaimana caranya? Kupandang pucuk-pucuk pinus untuk mencari jawab. Tidak kudapat. Sebagai gantinya kulihat tupai-tupai yang berloncat-loncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya dan tiba-tiba ide itu datang. Aku harus pergi dari sini tetapi aku akan tetap tinggal di Amerika.
Kucoba untuk menekan sakit hatiku dan memikirkan apa yang harus kulakukan kemudian. Besok pagi aku harus sudah pergi ke kota lain. Kupilih New York sebagai tempat pelarianku.
‘Tidak, itu telalu jauh dan penuh risiko,’ bantahku sendiri. ‘Colombus lebih dekat dan tidak terlampau bising,’ aku memutuskan. Di sana aku akan mencoba mencari pekerjaan dan melupakan bahwa aku pernah mempunyai ayah dan saudara kembar.
Sesudah itu hatiku menjadi lebih tenang. Tak ada masalah! Akan kubuktikan kepada David bahwa aku bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada ‘ayahnya’. Kemudian aku bangkit dari tempatku. Aku harus segera pulang.
‘Denver, pulanglah dulu, aku akan jalan kaki,’ kubisikkan kata-kata itu di dekat telinga Denver. Denver tidak bergeming.
‘Dengar, besok aku sudah tidak ada di sini lagi. Aku ingin berjalan melintasi padang rumput ini untuk terakhir kalinya. Kamu mengerti, bukan? Nah, pulanglah!’ Denver masih tetap tidak bergerak. Telinganya terangkat ke atas seakan mencoba untuk menyelami arti kata-kataku.
‘Pulanglah, Denver,’ kataku mulai tak sabar sambil kutepuk paha Denver. Denver memandang padaku, tetap tak bergerak.
‘Denver, go home!’ jeritku. Denver mengerti kemudian mulai melangkah pelan-pelan. ‘Run!’ teriakku nyaring. Dia menurut dan berlari tapi sejenak kemudian dia berhenti lagi dan menoleh. Kuisyaratkan dengan tangan agar dia tetap berlari. Denver berlari kencang tapi berkali-kali dia menolehkan kepalanya. Mungkin dia heran atas sikapku yang lain dari biasanya. Biasanya aku dan dia selalu pergi dan pulang bersama.
Ketika Denver sudah tidak nampak lagi, aku mulai melangkah pelan-pelan seperti prajurit yang kalah perang. Ya, aku telah kalah. Harapan inilah yang kubawa dari Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kentucky bukan untukku. Tanah dan padang rumput yang kuinjak ini bukan punyaku. Mister Stanton bukan ayahku. Dia ayah David. Tak ada lagi kekagumanku padanya. Kekaguman yang pernah singgah sejenak di hatiku.
Tiba-tiba aku melihat kuda yang datang dari arah yang berlawanan. David? Bukan! Kuda itu bukan kuda yang di tunggangi David tadi. Tetapi kuda itu adalah Blue Berry. Beberapa saat kemudian aku melihat pengendaranya, Irene. Mau apa dia?
‘Lucy, apa yang terjadi denganmu? Aku melihat Denver pulang sendiri,’ tanya Irene sambil menghentikan Blue Berry di sampingku. Alangkah penuh perhatiannya dia, pikirku.
‘Tidak apa-apa, Irene. Aku ingin jalan kaki saja.’
‘Oh, . . .’ Irene bernafas lega, ‘kusangka kamu mendapat kecelakaan. Oscar dan Georgie belum pulang. Terpaksa kuberanikan diri untuk naik kuda.’
‘Terima kasih, Irene,’ bisikku.
‘Untuk apa?’
‘Untuk perhatianmu,’ jawabku sambil berusaha untuk tersenyum. ‘Sekarang kamu boleh pulang. Kau lihat aku tidak apa-apa.’
‘Kamu benar-benar berniat untuk jalan kaki? Terlalu jauh, Lucy.’
‘Tidak apa-apa,’ jawabku. Irene mengangguk kemudian memacu Blue Berry pulang tanpa bertanya-tanya lagi.
Λ
Aku sedang mengepak barang-barangku ketika kudengar suara ban yang berdenyit kencang karena direm dengan mendadak. David telah pulang. Ingin benar aku keluar dan bertanya tentang keadaan Papa – Dari Clemmie aku mengetahui bahwa David terbang ke Colombus untuk menjenguk Papa – tetapi otakku melarang tubuhku untuk bergerak. Kalau memang ada sesuatu yang harus kuketahui tentu dia akan datang memberitahuku.
Sejenak kemudian kudengar langkah-langkah kaki David menaiki anak tangga. Lewat di depan kamarku. Berhenti di sana lama. Aku tegang. David tidak mengetuk pintu, dia kemudian berlalu. Kudengar suara pintu yang terbuka dan di tutup kembali, berarti David sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri. Keadaan Papa tidak mengkhawatirkan, kesimpulanku, dan kuteruskan pekerjaanku lagi.
Semua barang-barangku sudah siap ketika ketukan pintu itu terdengar. Mula-mula lirih kemudian makin keras. Kutenangkan hatiku sebelum membuka pintu. David berdiri di depanku.
‘Boleh aku masuk?’ tanyanya pelan. Kuperlebar pintu yang kubuka tanpa menjawab. David masuk dengan canggung. Dia tampak heran melihat kedua koperku yang terbuka dengan isi yang sudah rapi, namun tidak berkomentar. Kubiarkan dia dalam keheranannya. Sesudah David duduk barulah aku melihat David membawa sebuah tas kecil.
‘Aku baru saja melihat Papa,’ dia membuka percakapan. Aku diam saja tak memberi tanggapan. ‘Papa memberikan ini untukmu,’ lanjut David sambil membuka tas yang di bawanya. Nampak beberapa bundelan uang ratusan dollar. Semuanya masih baru dan berbau bank.
‘Untuk apa?’ tanyaku parau penuh kecurigaan.
‘Untuk hidupmu yang akan datang. Papa memutuskan untuk menafkahimu hingga kamu bisa berdiri sendiri. Uang ini cukup untuk kau gunakan selama lima belas tahun bila kamu bisa sedikit berhemat,’ ucap David lancar. ‘Sesudah itu . . .’
‘Kamu bohong,’ potongku geram.
‘Aku tidak bohong,’ bantah David sambil menahan agar suaranya tidak meninggi. ‘Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Papa mengakui bahwa kedatanganmu telah menggoncangkan jiwa Papa,’ lanjut David begitu kejamnya.
‘Dan Papa menginginkan agar aku segera angkat kaki?’
‘Ya. Besok sore Batista bersaudara akan mengantarmu sampai New York dan dari sana kamu ter . . .’
‘Tidak perlu!’ bantahku sakit hati. ‘Aku sudah siap untuk pergi sendiri tanpa perlu kau usir.’
‘Jangan konyol. Papa menyuruh aku untuk menemanimu hingga New York,’ kata David. Berarti ini bukan main-main. Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini. Aku benar-benar sakit hati. Ayah kandungku tak menginginkan aku. Apa artinya uang? Aku tak membutuhkan uangnya. Dan apa pula arti dari kebahagiaan yang diperlihatkan Papa ketika menyambut kedatanganku? Apakah itu semua hanya sebuah sandiwara? Berpacu di atas pelana dan obrolan-obrolan sesuai makan malam, tidak ada artinyakah itu?
‘Kamu dan ayahmu benar-benar manusia tanpa hati. Binatang!’ desisku. David tak mengubris omonganku. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.
‘Bawalah uangmu. Aku tidak membutuhkannya,’ teriakku.
‘Itu uangmu, Lucy. Kamu berhak untuk menggunakan sesuka hatimu. Mau kau bakar pun boleh,’ toleh David. Kudekati dia dan . . . Plaar! Tanganku melayang di pipinya. David menatap nanar padaku.
‘Lucy, aku kasihan padamu. Ibumu telah kawin lagi dan mau enaknya sendiri dengan menyuruh kamu datang kemari.’
‘Tutup mulutmu!’
‘Ibumu benar-benar licik. Dia tahu Papa akan segera membuat surat wasiat. Dengan hadirnya kamu di sini, ibumu mengira kamu akan mendapat bagian,’ oceh David tak mengacuhkan laranganku.
‘Itu hanya pikiran kotormu.’
‘Tapi Papa segera menyadari. Kamu jangan berharap lagi. Bagianmu hanyalah yang ada di dalam tas itu. Kamu tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan kami.’ tutup David dan bergegas meninggalkanku.
Sesudah David berlalu, aku berdiam tidak begeming. Mematung dan tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menangispun aku tak mampu. Tuduhan yang mereka lontarkan kepada Mama benar-benar tidak manusiawi. Dan ironinya tuduhan itu yang melancarkan anak kandung Mama sendiri.
Kubuka jendela kamarku. Malam benar-benar pekat. Tak ada sebuah bintang pun yang bersinar. Mendung yang menggelantung di langit menggambarkan kesedihanku. Dimana Oscar? Dimana Irene? Mengapa mereka tidak memainkan biolanya? Mengapa tidak kudengar Il Silenzio mereka?
Uang yang di berikan Papa terlampau banyak. Hampir saja semuanya kubakar tapi untung otak warasku masih bekerja. Begitu banyak hal-hal yang dapat kulakukan dengan uang sebanyak itu. Papa telah melicinkan jalanku. Kubongkar kembali koperku. Kupilih pakaian-pakaian santaiku dan kumasukkan ke dalam ransel yang kubeli bersama Irene tempo hari yang sedianya kukirim untuk Adit tapi belum jadi. Tas kecil dari David kuselipkan di antara baju-baju itu setelah terlebih dahulu kuambil beberapa lembar dan kumasukkan kedalam tas tanganku. Rencanaku sudah matang. Stanton boleh membenciku tetapi tidak boleh mengatur jalan hidupku. Aku mempunyai kehidupan sendiri yang harus kujalani sendiri pula.
Semalaman aku tak berhasil memejamkan mata. Terlampau tegang dan kuatir jika rencanaku gagal. Begitu langit di sebelah timur bersemu merah aku segera mandi dan ganti pakaian. Kuperiksa sekali lagi ranselku. Aku harus cepat atau David akan segera terbangun dan menggagalkan rencanaku.
‘Missy, mau kemana?’ tegur Clemmie di lantai bawah ketika melihatku sudah siap.
‘Dimana Georgie?’ bissikku.
‘Di garasi,’ jawab Clemmie ikut berbisik.
‘Aku akan ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku. ‘Aku membutuhkan Georgie untuk mengantarku ke airport,’
‘Kenapa tidak bilang dari kemarin hingga saya bisa menyiapkan sarapan untukmu.’
‘David baru memberitahu tadi malam dan sudah terlalu larut untuk membicarakan denganmu,’ jawabku setengah betul. ‘Clemmie, aku harus segera pergi,’ lanjutku memutuskan pembicaraan. Clemmie nampak agak bingung. Kubiarkan saja dan aku berlari menuju ke garasi. Kujumpai Georgie di sana sedang membersihkan mobil.
‘Georgie, maukah kamu mengantarku ke airport?’ tanyaku.
‘Airport?’
‘Ya. Aku harus terbang ke Colombus,’ jawabku. Georgie tidak bertanya untuk apa aku ke Colombus jadi aku tidak harus membohonginya. Dia tentu mengira aku akan menjenguk Papa.
Λ
Selamat tinggal, Stanton. Selamat tinggal semua dan selamat tinggal padang rumput, bisik hatiku ketika aku dan Georgie sudah berada di tengah-tengah padang rumput dan mulai menjauhi rumah. Untung hari masih terlalu pagi sehingga lalu lintas tidak begitu penuh dan Georgie dapat mengendarai mobilnya dengan bebas. Louisville masih tidur berselimut kabut pagi.
‘Terima kasih, Georgie,’ ucapku sambil meloncat turun dari mobil begitu sampai di airport. Georgie tampak sedikit heran. Dia berniat untuk mengantarku masuk tetapi segera kucegah. Kalau dia sampai masuk dia akan tahu kalau aku telah membohonginya.
‘Sampai di sini saja, Georgie, biarkan aku masuk sendiri.’
‘Tapi . . .’
‘Tidak apa-apa. Lihat aku tidak membawa barang berat jadi aku bisa membawanya sendiri,’ dustaku. Georgie bimbang. Dia pasti curiga sekarang.
‘Dengar, Georgie, kalau aku diantar masuk, rasanya aku akan pergi lama. Aku benci perpisahan,’ sambungku meyakinkan. Georgie tersenyum.
‘Paling tidak ijinkan aku mengantarmu hingga kamu bertemu dengan Batista. Sesudah itu aku akan pergi.’
‘Georgie . . .’
‘Oke, kalau itu maumu,’ sambung Georgie kecewa.
‘Terima kasih, Georgie. Sampai jumpa nanti malam,’ kataku untuk membunuh kecurigaannya. Georgie mengangguk dan menjalankan mobilnya. Begitu dia tak nampak lagi, aku segera masuk ke airport. Untuk pertama kalinya aku merasa terbebas dari tekanan yang menghimpit batinku. Kini aku bebas untuk menjalani kehidupanku. Bebas menentukan apa yang akan kujalani. Tak seorang pun yang akan merintangi jalanku. Tidak ibu Oom No, tidak Papa, tidak pula David. Aku adalah Lusi, bukan Lucinda Stanton lagi.
Begitu masuk ke airport segera kulihat jadwal penerbangan yang tergantung di atas meja informasi. Paling atas adalah flight nomor 304 dari pesawat United yang akan menuju ke Jacksonville, Florida. Kuteliti penerbangan yang ke Colombus, tidak ada! Aku mulai panik. Kalau Georgie sampai di rumah, David akan segera tahu kalau aku telah melarikan diri . Dia tentu akan menyusulku kemari. Aku harus segera keluar dari Louisville.
Penerbangan ke Jacksonville dijadwalkan pada jam 6.45. Kulihat jam yang melilit dipergelangan tanganku. Jam enam seperempat. Segera kuhubungi penjualan tiket. Aku harus keluar dari Louisville secepatnya. Tidak peduli tempat mana yang akan kutuju.
Sambil menunggu waktu yang di tentukan, aku berdiri mematung menatap para petugas airport yang sedang membersihkan dan membenahi ruangan.
‘Lucy!’ tiba-tiba kudengar sebuah panggilan. Panggilan itu begitu lirihnya tapi sanggup untuk membuat tubuhku terlonjak kaget. Secepat kilat aku memutar tubuh. Irene berdiri di depanku.
‘Irene, apa yang kamu lakukan di sini?’ bisikku.
‘Membuntutimu, Lusy,’
‘Membuntutiku? Aku tak mengerti maksudmu . Aku akan terbang ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku mulai tenang.
‘Kamu tidak akan ke Colombus, Lucy, aku melihat kamu membeli ticket untuk ke Jacksonville. Kamu tidak berniat untuk pergi ke Jaksonville, bukan?’ desak Irene. Aku benar-benar mati kutu. Irene telah mengetahui begitu banyak.
Sekarang apa yang akan di lakukannya?
‘Lucy,’ panggil Irene. Kutengadahkan wajahku dan menatap langsung ke matanya. Tidak ada niat jahat di mata itu.
‘Kita masih berteman, ‘kan?’ tanya Irene.
‘Ya,’ gumamku.
‘Kalau begitu dengarkan aku. Kamu tidak harus pergi ke Jacksonville. Aku bisa mencarikan kamu sebuah rumah di sekitar Louisville.’
‘Aku harus keluar dari Louisville, Irene,’
‘Siapa yang mengharuskanmu? Master David?’
‘Irene, bagaimana kamu bisa tahu?’ tanyaku benar-benar kaget.
‘Lucy, semua orang akan tahu dengan seketika. Kamu dan Master david adalah dua saudara kembar yang seharusnya bahagia bila di satukan lagi. Tapi tak pernah sekali pun kulihat kalian berbicara akrab. Dan aku tahu pula bukan kamu yang menyebabkan ketidakakraban itu. Master David terlalu sinis. Jadi sudah sewajarnya jika kamu tidak betah di rumah itu. Tapi kamu tidak harus melarikan diri. Hakmu atas rumah itu sebesar hak Master David. Kamu tidak akan mengalah terhadapnya ‘kan, Lucy,’ Irene menerangkan. Oh, jadi Irene tidak tahu. Dia tidak tahu kalau Papa pun telah mengusirku pula.
‘Irene, kamu keliru.’
‘Tidak, Lucy. Kemarin siang kamu bertengkar dengan Master David di hutan pinus ‘kan? Aku tidak tahu apa yang kalian pertengkarkan tapi aku melihat wajahmu begitu murung ketika aku menyusulmu. Saat itu aku yakin kamu bakal melakukan hal-hal nekat, maka kuputuskan diriku untuk mengawasimu. Jangan biarkan Master David menyakitimu,Lucy. Tetap tinggallah di Louisville,’ pinta Irene. Kugelengkan kepalaku.
‘Tidak bisa, Irene. Tidak bisa.’
‘Mengapa Lucy?’
‘Mereka akan mengirimku kembali ke Indonesia nanti sore,’ jawabku jujur. Dengan Irene rasa-rasanya tak ada yang perlu kurahasiakan lagi.
‘Siapa mereka?’
‘Papa dan David.’
‘Mister Stanton?’ tanya Irene tak percaya, ‘Mengapa?’
‘Aku tidak tahu. Mungkin Papa dendam kepada Mama karena Mama meninggalkan Papa. Menurut keputusan pengadilan, aku adalah tanggung jawab Mama. Aku tidak mau pulang ke Indonesia. Itulah sebabnya aku harus segera pergi dari Louisville.’ Irene terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba kulihat mata Irene berkaca-kaca.
‘Mengapa harus kamu yang mnderita? Mengapa bukan aku padahal aku yang berdosa,’ gumam Irene lirih. Aku tak mengerti makna dari ucapan itu. Tapi aku sudah tidak punya waktu untuk menganalisanya. Panggilan untuk menuju ke
pesawat sudah terdengar.
‘Irene, aku harus pergi,’ bisikku.
‘Lucy, jangan pergi, please?’ pinta Irene.
‘Kamu tahu aku tidak bisa.’
‘Lucy, kamu sama sekali tidak tahu daerah yang akan kau tuju,’ ucap Irene kuatir.
‘Jangan takut, Irene. Aku di lahirkan di Amerika. Ingat?’
‘Kamu yakin ini yang terbaik bagimu?’
‘Ya, Irene.’
‘Kalau begitu aku akan pergi menyertaimu. Aku tidak punya siapa-siapa disini. Aku bisa pergi kemana saja. Aku akan menemanimu.’
‘Apa?!’ teriakku tak percaya.
‘Aku akan pergi denganmu, Kita bisa cari kerja bersama.’
‘Irene, tidak!’ jawabku seketika.
‘Lucy,. . . ‘
‘Tidak, Irene. Aku akan pergi sendiri. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.’
‘Aku tidak akan menyulitkanmu. Aku akan menghidupi diriku sendiri. Tapi biarkan aku menjagamu.’
‘Menjagaku? Tidak! Aku tidak akan mengijinkanmu . Kamu kembalilah ke Stanton dan jangan katakan kemana aku pergi. Mereka akan curiga bila kita lari bersama.’
‘Lucy,…’
‘Tidak, Irene. Sekali lagi tidak!’
‘Lucy biarkan aku menebus dosa?
‘Menebus dosa? Irene, ini tidak ada hubungannya denganmu. Irene, jangan ngelantur. Aku bisa berdiri sendiri. Kamu akan benar-benar menolongku bila kamu mau pulang ke Stanton lagi. Aku akan menghubungimu, Irene. Kuminta kamu menyimpankan surat-surat yang datang dari Indonesia untukku. Mungkin suatu saat aku akan memintamu untuk mengirimkannya kepadaku. Oke?’
‘Kamu berjanji untuk menghubungiku dan memberi kabar?’
‘Ya, Irene, aku berjanji. Nah sekarang aku harus pergi.’
‘Lucy,’ panggil Irene. ‘Boleh aku memelukmu?’ tanyanya. Berdua kami berpelukan lama sekali. Enggan rasanya untuk melepaskan diri dari Irene.
‘Tuhan menyertaimu, Lucy,’ bisik Irene di tengah sedanya. Kupandang dia dari mataku yang mulai mengabur. Irene satu-satunya orang yang paling dekat denganku sesudah Mama. Aku tidak tahu apa yang telah mendekatkan kami berdua. Mengapa dengan David yang saudara kembarku sendiri aku tidak bisa sedekat ini. Mengapa?
to be continued ….
Posted on June 7, 2011, in Novel and tagged Cerpen, Femina, Fiksi, Indonesia, Laily Lanisy, Novel. Bookmark the permalink. 4 Comments.
saya pertama kali membaca cerita ini waktu kelas 1 SD di majalah Femina milik Mama. salah satu favorite saya dan yang paling diingat dari semua cerber di majalah femina.
apakah sudah diterbitkan dalam bentuk buku? ingin sekali punya koleksinya.
terima kasih mbak sudah diposting kapan ada lanjutannya.
Terima kasih atas comment-nya, Early. Cerber ini pernah diterbitkan sebagai buku oleh Femina dan salah satu penerbit dari Malaysia, tapi sudah lama sekali…. Sudah tidak ada lagi di toko buku.
Maaf lanjutan ceritanya baru bisa muncul lagi kalau saya sudah balik ke Indonesia, karena file-nya ada di PC di rumah.
Mbak Laily, terima kasih sudah mau memuat kembali cerita ini dunia maya. Saya pernah menggunting cerita ini dari Femina. Tetapi karena kami sering berpindah-pindah rumah, file Ribuan Mil pun tercecer.
Saya sangat menggemari tulisan Mbak Laily.
Sangat indah.
Terima kasih, ya Mbak: saya belajar banyak dari tulisan Mbak Laily.
Semoga terus menulis
dan menantikan karya Mbak selanjutnya.
Salam,
Reda Gaudiamo
Terima kasih, Reda. Jadi ingat kalau sudah lama tidak meng-update blog saya. Termasuk kelanjutan dari cerita ini. Salam, LL