Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Pertama)
Posted by Laily Lanisy
Wanita cantik berkulit hitam itu menerima paspor yang kuulurkan kepadanya. Sekejab dia memandangku dengan matanya yang jernih, kemudian memeriksa pasporku dengan seksama. Selagi dia menunduk, kuamati dirinya. Kulitnya licin bercahaya, rambutnya yang keriting di tarik ke belakang kemudian diikat dengan pita berwarna biru sewarna dengan pakaian yang di kenakannya. Profil wajahnya begitu apik. Tulang pipinya yang menonjol sengaja di tunjukkannya dengan menggunakan makeup yang samar-samar. Secara keseluruhan dia sangat menarik.
‘Miss Lucinda Stanton?’ tanyanya sambil menengadahkan kepala. Kuanggukan kepalaku walau nama itu sangat asing bagi telingaku. Sepanjang hidupku, namaku adalah Lusi. Tanpa embel-embel Stanton di belakangnya. Setelah yakin kalau foto di paspor itu adalah fotoku, si hitam manis pegawai imigrasi tersebut kemudian dia membubuhkan cap di halaman pasporku. Setelah selesai dia membuka pintu yang memisahkanku dengan dirinya.
‘Would you follow me, please?’ katanya lembut sembari menyerahkan pasporku kembali. Sejenak aku terpana. Untuk apa?
‘Anda telah dinanti,’ lanjut wanita tersebut membunuh keherananku. Aku pun bisa bernafas lega dan mengikuti dia. Setelah berjalan melalui lorong-lorong yang panjang, akhirnya kami sampai di depan pintu dengan tulisan ‘Private Airlines’.
‘Gabriella!’ teriak seseorang begitu kami memasuki ruangan. Aku memandang sekeliling mencari wajah yang mungkin kukenal. Tidak ada! Lalu siapa yang menjemputku?
‘Miss Stanton, . . .?’ panggil si hitam manis yang ternyata bernama Gabriella. Secara spontan aku menoleh.
‘Ini Emanuel Batista yang bertugas menjemput anda,’ lanjut Gabriella memperkenalkan pria yang tadi meneriakkan namanya. Melihat wajahnya yang mirip-mirip George Lopez, aku yakin kalau dia pria Mexico.
‘Senang sekali bertugas menjemput anda, Miss Stanton,’ ucap Emanuel sambil menjabat tanganku hangat.
‘Dia seorang pilot yang hebat, keselamatan Anda akan terjamin bersamanya.’ Gabriella menerangkan. Emanuel hanya mampu tertawa canggung.
‘Oke, saya harus bertugas. Selamat jalan, Miss Stanton, semoga Anda betah di Amerika,” ucap Gabriella sebelum berlalu.
‘Terima kasih,’ bisikku. Ya, mudah-mudahan aku betah di sini.
‘Anda sudah siap, Miss Stanton?’ tanya Emanuel memecahkan lamunanku.
‘Ya, ya,’ sahutku gagap. ‘Tapi bagaimana barang-barangku?’ lanjutku.
‘Sudah kami urus,’ jawab Emanuel mantap. Kemudian kami keluar dari ruang tersebut. Berjalan lagi di lorong-lorong yang panjang dan lengang yang bertolak belakang dengan sisi lain dari airport ini.
‘Bagaimana dengan perjalanan Anda dari Indonesia kemari?’ tanya Emanuel.
‘Melelahkan dan membosankan,” jawabku jujur. Emanuel tertawa. Giginya begitu putih dan rata. Kalau dia tertawa seperti itu, kerut-kerut di sekeliling matanya bertambah dalam dan matanya tampak lebih bercahaya.
‘Anda boleh tidur selama perjalanan nanti,’ janji Emanuel. Aku mengangguk untuk menyenangkan hatinya.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku bisa menghirup udara luar lagi. Beberapa pesawat kecil ada di depan kami. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah pesawat bercat putih dengan garis biru melintang. Di pintu pesawat tersebut ada tulisan STANTON dengan huruf besar berwarna biru pula dan di bawah pesawat itu aku melihat kedua koperku. Aku terkejut. Milik siapakah pesawat kecil ini? Milik ayah kandungku? Apakah dia sekaya itu? Tetapi aku tak berani menanyakan hal itu kepada Emanuel.
Setelah kedua koperku masuk ke dalam bagasi, Emanuel memperkenalkan co-pilotnya. Mauricio Batista, adik kandungnya sendiri. Memasuki pesawat, aku kembali dibuat tertegun. Dari luar, pesawat itu sudah tampak mewah dan ternyata di dalamnya jauh lebih mewah lagi. Tempat duduknya yang empuk berlapis kulit berwarna krem yang lebih menjurus ke putih. Panel dindin dan langit-langitnya begitu detail dan berselera yang tinggi.
Begitu waktu yang dijadwalkan tiba, pesawat itu mulai berjalan. Pelan dan pasti, kemudian dengan lembut meninggalkan landasan. Barulah aku percaya pada apa yang dikatakan Gabriella bahwa Emanuel adalah seorang pilot yang hebat. Pesawat kami berjalan dengan tenang meninggalkan kota New York. Beberapa saat kemudian kami terbang agak rendah. Kini yang ada di bawah bukan lagi bangunan-bangunan tinggi menjulang melainkan hamparan padang rumput. Di tengah-tengah padang rumput itu ada sebuah jalan yang mulus dan berkelok-kelok. Itulah country road John Denver. Bila kami tiba di atas sebuah kota, Mauricio dan Manuel akan mengatakan nama kota itu serta memberikan keterangan singkat.
‘Philadelphia,’ kata Mauricio. Kemudian dia akan menerangkan segala sesuatu tentang Philadelphia. Dari Liberty Bell hingga perjuangan orang-orang Amerika untuk mencapai kemerdekaan seakan dia ahli dalam sejarah Amerika Serikat. Aku benar-benar senang mempunyai penjemput seperti mereka. Janji Emanuel untuk membiarkan aku tidur dalam perjalanan tak menjadi kenyataan. Mereka menyuguhiku dengan pemandangan-pemandangan yang terlalu indah untuk diabaikan.
‘Mister Batista, kota apakah itu?’ tanyaku ketika melewati sebuah kota dan tak kudengar sebuah komentar pun. Mauricio menoleh.
‘Anda tidak akan memanggil kami dengan sebutan mister seperti itu bukan, Miss Stanton?’ tanyanya.
‘Mengapa?’ tanyaku tak mengerti.
‘Mengapa? Panggil saja kami Manny dan Morris’
‘Tetapi kalian memangilku Miss Stanton.’
‘Karena itu sudah kewajiban kami.’
‘Aku tidak mengerti maksudmu,’ ucapku. Mauricio atau Morris memandangku tidak percaya.
‘Ayah Anda, Mister Stanton, boss besar kami. Dia adalah pemilik kami. Dan sebutan miss untuk Anda rasanya begitu lumrah.’
‘Aku tak menyukai itu!’ bantahku sengit. Apa-apaan ini? Ayahku pemilik orang lain? Waduh.! ‘ Dengar, aku tak ingin sebutan miss lagi. Panggil saja aku Lusi dan aku akan memanggil kalian Morris dan Manny. Adil bukan?’ usulku. Mauricio terdiam. Tiba-tiba kudengar suara Manuel.
‘Ayah Anda tidak akan menyukainya,’
‘Biar dia tak menyukainya. Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku tadi,” seruku mengalihkan pembicaraan. Untuk pertama kalinya aku mempunyai perasaan bahwa aku tidak akan menyukai orang yang akan kutemui kali ini. Orang yang menurut hukum adalah ayahku. Orang yang pernah kawin dengan mama dan orang yang harus kupanggil daddy atau papa. Aku tidak yakin apakah jika nanti bertemu dengannya aku sanggup untuk memanggil dirinya papa. Rasanya lebih pas bagiku untuk memanggil dia Mister Stanton.
‘Maafkan kami,’ ucap Mauricio, ‘Itu tadi Cincinnati. Kota yang sangat indah. Master David kuliah di sana.’
‘Dan bangsawan dari manakah Master David itu?’ tanyaku bergurau karena aku tahu siapa yang dimaksudnya, David Stanton, saudara kembarku. Mauricio dan Manuel tidak menjawab hanya tersenyum lebar.
‘Selamat datang di Kentucky, sebentar lagi kita sampai,’ seru Manny. Kemudian dia mulai mengadakan kontak dengan Louisville Airport. Beberapa saat kemudian dia mendaratkan pesawatnya dengan indah.
‘Penerbangan yang menyenangkan, Manny,’ pujiku sambil membuka sabuk pengamanku.
‘Saya senang Anda menyukainya Miss . . ‘
‘Lusi. Ingat?’ potongku.
‘Oke, Lusi,’ dia meralat sambil tersenyum, “Morris akan mengantarmu ke dalam. Georgie pasti sudah menunggumu. Aku harus mengurus pesawat ini dulu,’ kata Manuel.
‘Manny, siapakah Georgie itu, apakah aku kenal dia? bisikku. Manuel mambelalakkan matanya tidak percaya.
‘Kamu tidak ingat Georgie?’ desisnya. Aku menggeleng.
‘Dia bilang kamu dulu sangat akrab dengannya dan tidak mungkin melupakannya. Sepanjang hidupnya dia bekerja untuk keluarga Stanton. Sekarang dia buttler, tapi dia dulu adalah nanny kalian,” Manuel menerangkan. Kuangkat bahuku sebagai tanda aku benar-benar tak ingat Georgie. Nannyku seroang laki-laki. Mengapa Mama tidak pernah mengungkapkan hal itu. Kapankah dulu itu? Enam belas tahun yang lalu? Waktu umurku masih tiga tahun? Dan dia berharap aku masih mengingatnya?
Georgie adalah seorang pria yang telah melampaui usia enam puluh tahun. Rambutnya sudah putih semua. Walau badannya masih tegap tapi kerut-kerut di wajahnya tidak bisa menyembunyikan usianya. Aku tidak tahu apakah matanya yang kelabu itu merupakan gambaran umur tuanya atau aslinya memang kelabu. Ekspresi gembira terpancar dari wajahnya ketika dia menampak kedatanganku di samping Mauricio. Aku benar-benar menyesal tidak bisa mengingat dia lagi.
‘Miss Lucinda!’ teriaknya nyaring dan tergesa-gesa menemuiku. ‘Aku selalu berdoa untuk bisa bertemu lagi denganmu dan ternyata Tuhan menjawab doaku.’
‘Halo, Georgie,’ sapaku sambil kugenggam tangannya.
‘Kamu sudah dewasa sekarang,’ bisik Georgie.
‘Ya, Georgie.’
‘Bagaimana kabar Nyonya Stanton?’ tanya Georgie tiba-tiba. Aku tahu yang dimaksud pastilah Mama.
‘Baik-baik saja. Tetap seperti dulu kurasa,’ jawabku. Georgie mengangguk-anggukan kepalanya.
‘Wanita hebat, kita semua merindukannya . . . wanita hebat,’ bisiknya berkali-kali.
Λ
Sebuah limousine hitam berkilat telah menanti kami di luar. Georgie membuka bagasi dan Morris memasukkan kedua koperku ke dalamnya. Kemudian Georgie membuka pintu belakang dan menyilakanku masuk. Fuih . . . feodalisme lagi, yang akan memisahkan supir dan anak majikannya.
‘Keberatan bila aku duduk di depan?’ aku meminta persetujuan. Georgie dan Mauricio berpandang-pandangan sejenak.
‘Tentu saja tidak,’ akhirnya Georgie berkata sambil menutup pintu belakang lagi kemudian membuka pintu depan. Aku masuk.
‘Morris, terima kasih,’ itu saja yang dapat kuucapkan kepada Morris sebelum Georgie meluncurkan mobilnya meninggalkan halaman parkir airport.
‘Masih ingat daerah ini?’ tanya Georgie ketika kami melewati pusat kota Louisville. Kota kelahiran Muhammad Ali dan Kolonel Sanders-nya Kentucky Fried Chicken. Aku menggeleng. Ingin benar kukatakan kepadanya bahwa tak ada satu pun yang aku ingat dari tanah Amerika ini. Semuanya serba asing. Bahkan aku tak ingat lagi pada Georgie.
‘Ah, kamu masih terlalu kecil waktu itu,’ akhirnya Georgie sendiri yang mengucapkannya. Aku benar-benar merasa lega.
Lalu lintas begitu ramainya di Louisville sehingga berkali-kali kami harus berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ingin aku bertanya pada Georgie apakah rumah ayahku masih jauh, tapi keinginan itu segera kupadamkan. Bertanya atau tidak bertanya toh itu tak akan mendekatiku. Kota Louisville telah kami lalui, tetapi Georgie seakan tak pernah berniat untuk menghentikan mobil kami. Dia masih melaju menuju luar kota. Keramaian kota berganti dengan kesegaran daerah pertanian. Mobil-mobil lain yang kami jumpai makin berkurang. Paling-paling satu mobil setiap lima menit. Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, kami tiba di atas sebuah bukit. Georgie memperlambat jalan mobilnya dan menoleh padaku.
‘Kita sudah sampai,’ katanya sambil tersenyum. Aku memandang ke sekeliling. Perkebunan anggur di kiri dan kananku dan di depanku adalah jalan yang panjang dan landai. Tidak ada sebuah rumah pun.
‘Kamu juga tidak ingat, Miss Lucinda, kalau tanah ini adalah tanahmu dan kebun anggur di sana itu kebunmu?’ tanya Georgie sedih. Bukan salahku jika aku tak ingat lagi, tapi nyatanya aku masih tetap merasa bersalah. Seharusnya paling tidak aku ingat tanah ini, karena aku pernah tinggal di sini.
‘Georgie, engkau tahu aku seperti seorang yang terkena amnesia. Aku begitu ingin mengingat semuanya, tapi aku tidak mampu. Masa kecilku seakan hilang begitu saja. Maafkan aku, Georgie,” kuputuskan diriku untuk berkata jujur kepada Georgie dan Georgie seakan memahamiku. Dia tersenyum penuh pengertian.
Begitu kebun anggur itu habis, di ganti dengan pohon-pohon apel yang mulai berbunga. Bunganya kecil-kecil berkelompok dan berwarna putih agak kekuning-kuningan. Tidak ada daun di pohon, sehingga tampaknya hanya pohon dengan batang dan bunganya saja. Georgie menjelaskan kalau daun baru akan muncul kalau bunganya sudah berubah menjadi buah.
‘Kapan kita panen apel, Georgie’ tanyaku memecah kesunyian yang timbul di antara kami.
‘Awal musim gugur,’ jawab Georgie.
‘Banyak hasilnya?’
‘Terlalu banyak. Kamu pasti akan bosan melihatnya dan Clemmie, . . . setiap hari dia akan membuat apple pie. Oh, Clemmie yang malang, dia mengira setiap orang akan menyukai apple pienya,’ jawab Georgie . Aku mengerutkan dahi mencoba untuk mengingat siapa Clemmie yang dimaksudnya.
‘Kamu pasti sudah lupa sama Clemmie, istriku yang tercinta,’ lanjut Georgie menjawab pertanyaanku yang tak terucap.
Sesudah bosan dengan tanaman apel, kami disuguhi kebun jeruk yang juga mulai berbunga. Bau kembang jeruk yang segar masih juga tercium walau semua jendela mobil tertutup rapat.
‘Georgie, boleh kubuka jendelanya,?’
‘Ya, bukalah,’ kata Georgie setelah dia mematikan air conditioner. Begitu jendela terbuka, harum bunga yang segar menyerangku.
‘Persis Nyonya Stanton,’ gumam Georgie.
‘Apa?’
‘Nyonya Stanton selalu membuka jendela setiba di daerah ini.’
‘Aku mewarisi kebiasaan Mama, begitu bukan, Georgie?’ tanyaku. Georgie mengangguk setuju.
‘Kamu mewarisi semuanya. Wajahmu begitu mirip dengan nyonya Stanton,’ puji Georgie.
Setelah perkebunan jeruk habis, diganti dengan padang rumput yang menghijau. Di kejauhan tampak berpuluh-puluh ekor kuda. Kuda-kuda Kentucky, coklat mengkilap. Begitu gagah, begitu kuat.
‘Apakah itu juga kuda-kuda Stanton?’ tanyaku ingin tahu. Aku ingin tahu sekaya apakah ayahku. Pesawat pribadi, limosine, perkebunan yang ribu-ribu hektar dan mungkin juga kuda-kuda itu.
‘Ya. Masih banyak lagi kuda-kuda jantan yang lebih bagus dari mereka. Kuda-kuda yang menjadi finalis di kejuaraan Derby,’ Georgie menerangkan. Dugaanku tepat. Ayahku terlalu kaya. Sedang Mama? Satu mobil pribadi, kijang saja sudah disayang-sayang …. tidak pernah bermimpi untuk memiliki pesawat pribadi. Dari istri seorang jutawan, Mama berganti status menjadi istri seorang pegawai negeri. Tapi mama menerima semua itu dengan tabah. Aku tak pernah mendengar Mama mengeluh tentang keadaan ekonomi kami. Oom No begitu baik. Aku tahu dia begitu ingin membahagiakan Mama.
Setelah mencapai ujung tanjakan, kami membelok, dan kini kami berada di tengah-tengah padang rumput. Jalan yang kami lalui kini adalah jalan pribadi. Sebuah bangunan mulai tampak, dan makin lama makin jelas. Bangunan itu bergaya Victoria dengan empat buah pilar besar. Temboknya bercat putih sedang pintu-pintu dan jendela-jendelanya bercat hitam. Oh, ternyata bukan bercat hitam melainkan cokelat mahogani. Georgie menghentikan mobilnya di depan teras. Seorang wanita setengah tua berpakaian hitam dengan celemek putih berlari-lari menuruni anak tangga. Aku begitu yakin bahwa wanita itu Clemmie, mungkin dari cara dia memandang Georgie. Aku segera turun, takut Georgie keburu membukakan pintu untukku.
‘Miss Lucinda!’ teriak wanita itu.
‘Clemmie? tanyaku meyakinkan.
‘Ya, Tuhan, engkau masih ingat pada si tua Clemmie?” seru Clemmie senang. Dia memamndang pada tiga gadis manis yang telah muncul di situ dengan bangga, kemudian dia memelukku dan mencium pipi kiriku.
‘Engkau benar-benar mirip Nyonya Stanton, Missy,’ bisiknya sambil melepaskan pelukannya. Kemudian dia memerintahkan kepada tiga gadis yang berdiri di belakangnya untuk membawa koperku ke dalam setelah terlebih dahulu mereka diperkenalkan kepadaku; Helen. Judy dan Irene, petugas rumah tangga. Dengan dibimbing Clemmie aku masuk ke dalam. Aku belum bisa meyakinkan diri bahwa rumah ini juga rumahku. Ruang tamu yang luas dan mewah dengan kursi-kursi antik yang tampak begitu anggun dan sesuai dengan cat temboknya. Bahkan hiasan-hiasan di dindingpun seakan khusus di ciptakan untuk ruangan ini.
‘Di mana Ayah?’ akhirnya keluar juga pertanyaan yang sejak dari New York tadi ingin kuutarakan.
‘Ada urusan bisnis di Cleveland. Mister Stanton baru akan pulang nanti menjelang makan malam,” jawab Clemmie. “Sedang Mister David saya tidak tahu kemana perginya,” lanjut Clemmie tanpa kuminta.
Dari ruang tamu kami masuk ke kamar tengah kemudian menuju ke kamar yang disediakan untukku di tingkat dua. Pintu kamar itu begitu berat dan ketika terkuak tampaklah seisi kamar. Tempat tidur yang ekstra besar, perapian, kursi malas, kaca rias yang semuanya serba lux dan belum pernah kuimpikan. Aku masuk dengan ragu kemudian menuju ke dekat jendela. Kusingkapkan tirainya. Pemandangan di luar jauh lebih indah dari pemandangan di dalam. Padang rumput yang menghijau dengan kuda-kuda yang sedang memakan rumput. Semuanya sangat memukau.
‘Clemmie, kamar siapakah ini?’ tanyaku sesaat sehabis mandi sambil menghadapi makan siangku. Aku benar-benar heran karena kamar ini seluruhnya menggambarkan citra seorang wanita, sedang di rumah ini tak ada wanita lain kecuali para pembantu. Dan kamar ini terlampau indah buat kamar seorang pembantu. Adakah wanita lain di rumah ini?
‘Kamarmu, miss Lucinda,’
‘Maksudku, siapakah yang biasanya menggunakan kamar ini?’
‘Tidak ada, kamar ini memang di biarkan kosong,” jawab Clemmie.
‘Untuk berjaga-jaga bila ada tamu yang bermalam?’
‘Bukan,’ sahut Clemmie cepat. ‘Ada dua kamar yang di biarkan kosong. Yang satunya lagi di pojok sana, di seberang master bedroom. Mister Stanton menyediakannya untuk Missy dan nyonya Stanton… Siapa tahu kalau mereka pulang, itu yang selalu dikatakan Mister Stanton.’ Aku tertegun. Jadi ayahku selalu mengharapkan aku dan Mama untuk kembali lagi kemari.
‘Kalau begitu kamar yang satunya lagi akan selalu kosong,’ bisikku tidak sadar. Mama tidak akan pernah kembali lagi.
‘Apa, Missy?’ tanya Clemmie.
‘Mama tidak akan pernah kembali lagi, Clemmie.’
‘Mengapa?’ desak Clemmie cepat sekali.
‘Mama sudah kawin dengan orang lain.’
‘Sudah kawin? Mengapa mister Stanton tidak pernah mengatakannya? Clemmie kaget. Apakah dia tidak tahu? Apakah Ayahku juga tidak tahu? Ah mustahil! Tetapi mengapa dia merahasiakan perkawinan Mama dan masih juga menyediakan sebuah kamar untuk Mama?
‘Ya, Clemmie, dan Mama sudah mempunyai tiga anak dari perkawinannya. Dua orang pemuda dan seorang gadis cilik. Adik-adikku,’ kuucapkan kata-kata itu karena kulihat Clemmie yang masih tertegun seakan tak mendengar apa yang tadi kuucapkan.
‘Oh!’ keluh Clemmie. Aku kasihan padanya. Sepertinya dia juga berharap agar suatu saat Mama akan kembali lagi . ‘Apakah Nyonya Stanton bahagia?’ tanya Clemmie lirih
‘Ya, Mama sangat bahagia,’ jawabku pasti. Aku tahu Mama bahagia. Kalau toh ada sesuatu yang tak membahagiakan hati Mama, hanyalah pertengkaranku yang rutin dengan ibu mertua Mama. Kini dengan tiadanya aku di sisi Mama berarti tak ada lagi pertengkaran yang terjadi dan tak ada lagi yang tak membahagiakan hati Mama.
‘Nyonya Stanton pantas untuk mendapatkan kebahagiaan itu,’ bisik Clemmie. Aku tahu hatinya terluka. Walau bagaimana pun juga dia adalah pengikut Stanton yang setia yang masih tetap mengharapkan Mama menyandang nama Stanton.
Sesudah selesai makan, Clemmie menekan bel untuk memanggil Irene. Kemudian dia menyibukkan diri dengan mengatur tempat tidurku. Irene masuk dengan tergopoh-gopoh dan dengan cepat membersihkan piring-piring kotor dan berlalu.
‘Sudah seberapa besar anak-anak Nyonya Stanton?’ tiba-tiba Clemmie bertanya dan menoleh ke arahku. Dia masih memanggil Mama dengan ‘Nyonya Stanton’, memang berat untuk merubah sebutan.
‘Adit, yang sulung sudah berumur dua belas tahun.’
‘Dua belas tahun?’ ulang Clemmie kaget. ‘ Jadi sudah lama Nyonya Stanton kawin lagi?’ tanyanya tak percaya.
‘Ya, sudah lama juga. Yang kedua Anto berumur delapan tahun dan si bungsu Yani, lima tahun,’ jawabku. Aku selalu bangga bila harus bercerita tentang mereka. Betapa aku mencintai Adit, Anto dan Yani. Tiba-tiba aku rindu pada mereka . Rindu tawa manja Yani, rindu pada cerita-cerita konyol Anto dan rindu pada senyum manis Adit.
‘Tentu mereka tampan dan cantik,’ tebak Clemmie tepat.
‘Ya. Ayah mereka juga ganteng, sih,’ sahutku. ‘Oom No sangat baik, Clemmie’ tiba-tiba aku harus mengatakan hal itu pada Clemmie. Aku tidak bisa memanggil Oom No dengan panggilan papa seperti yang digunakan adik-adikku. Walau tak ada yang mengatakan bahwa aku anak tirinya, tapi orang akan segera tahu aku bukan anak kandung Oom No. Aku begitu lain dengan adik-adikku. Aku terlalu cenderung ke papa dengan mata agak biru dan kulit yang terlampau puith. Kesan Indonesiaku tidak sekuat mereka, walaupun ada persamaan-persamaan tertentu yang di wariskan oleh Mama. Jadi apa gunanya memanggil papa kalau semua orang akhirnya akan tahu kalau dia bukan papaku. Lagipula Oom No dan Mama tidak keberatan aku memanggil demikian. Satu-satunya orang yang keberatan adalah ibu Oom No, dan itu tidak masuk hitungan, karena aku tahu, walaupun aku memanggil anaknya dengan panggilan papa, dia masih juga akan menemukan kesalahanku yan lain. Sejak pertama kali Mama kawin dengan Oom No dia telah mengibarkan bendera permusuhan denganku.
Λ
Aku baru saja bangun ketika Clemmie memasuki kamarku.
‘Apakah aku membangunkanmu, Missy?’ tanyanya kuatir.
‘Tidak, Clemmie, aku memang sudah bangun,’
‘Mister Stanton menyuruh saya untuk melihat apakah Missy sudah bangun. Beliau ingin bertemu dengan Missy.’
‘Di mana Papa? Sudah lama Papa pulang?’ tanyaku beruntun.
‘Mister Stanton pulang lebih awal. Sudah tiga kali saya masuk kemari tapi Missy tidur begitu nyenyak sedangkan Mister Stanton melarang saya membangunkan Missy.’
‘Oke sebentar lagi saya siap,’ kataku sambil masuk ke kamar mandi, membasuh muka dan kumur. Kulirik wajahku di cermin, masih tampak mengantuk dan lelah. Kemudian kukenakan baju biru mudaku, aku ingin tampak menarik pada pertemuanku yang pertama dengan Papa. Sesudah semua siap, Clemmie mengantarku hingga ke ruang perpustakaan. Seorang laki-laki setengah baya berperawakkan tegap berdiri ketika aku masuk. Tuhan, aku tak pernah melupakannya. Laki-laki inilah yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Dialah ayahku.
‘Lucinda dear!’ teriaknya sambil merentangkan kedua tangannya siap untuk memelukku. Belum sempat aku memutuskan untuk memanggil dirinya Papa atau Mister Stanton, aku telah berada dalam pelukannya. Pelukannya yang hangat dari seorang ayah kandung. Tanpa kusadari aku telah menangis.
‘Aku selalu merindukanmu, Lucy,’ bisik Papa sambil menghapus air di sudut mataku. Aku tak mampu untuk berkata-kata. Lama sekali Papa baru melepas pelukannya. ‘Maafkan aku tak bisa menjemputmu di New York.’
‘Tidak apa-apa. Mauricio dan Manuel telah melakukan tugas mereka dengan baik,’ ucapku sambil duduk di kursi yang rendah. Sekarang aku sempat menyaksikan seluruh ruangan. Rak-rak buku yang bersatu dengan dinding, meja kerja, sebuah televisi kecil . . .
‘Oh, . . . Batista bersaudara,’ seru Papa dengan tawanya yang empuk dan enak didengar,’ Yah, mereka penerbang yang hebat. Sudah hampir tiga tahun mereka bergabung dengan kita.’ Tak kudengar nada meremehkan dari Papa. Papa seakan begitu sempurna.
‘Kamu menyukai kamarmu, Lucy?’ tanyanya tiba-tiba.
‘Ya, kamar yang bagus,’ jawabku gagap.
Tiba-tiba pintu di depanku terbuka. Seorang pemuda masuk. David! Ya dia pasti David. Kami berpandang-pandangan lama sekali, rambut David adalah rambutku, mata David adalah mataku, hidung David adalah hidungku, bahkan tahi lalat di dagu David sebelah kanan adalah tahi lalatku. Yang membedakan antara aku dan David hanyalah besar tubuh kami. David tinggi dan kekar serta dia seorang pemuda. Lainnya tidak ada, bahkan baju yang kami kenakan pun sama warnanya, biru muda. Tetapi sekonyong-konyong mata David berubah menjadi sangat dingin. Aku bergidik seakan mata itu sanggup untuk membunuhku. Bukan, mata itu bukan mataku! Aku tidak pernah memandang orang dengan mata sedingin itu, mata yang memancarkan sejuta benci. Aku kaget dan kecut melihat kenyataan ini. Kebahagiaan yang sempat muncul ketika aku melihat dirinya, menghilang begitu saja. Dia saudara kembarku, tapi mengapa aku tidak senang bertemu dengannya?
‘Lucy, kamu pasti sudah menduga siapa dia!’ kata Papa menengahi. ‘David, adikmu Lucy,’ lanjut Papa memperkenalkan. Jadi aku adiknya David. Siapa yang lahir terlebih dahulu?
‘Hai!’ sapa David sedingin es di kutub selatan. Aku Cuma mengangguk. Inilah dia, dua saudara kembar yang telah bepisah sekian lama dan hanya hai dan anggukkan saja yang keluar pada pertemuan yang pertama.
David kemudian duduk di samping kiriku. Kuusahakan untuk tidak bertatapan mata dengannya. Mengapa dia bisa sedingin ini?
‘Bagaimana dengan sekolahmu, Lucy?’
‘Tahun ini tahun keduaku di Universitas. Aku mengambil kuliah Ekonomi.’
‘Ekonomi?’ ulang Papa. ‘ David juga belajar Ekonomi,’ tanpa sadar aku menoleh ke arah David tapi segera kualihkan ketika kutangkap sinar matanya. David tak berkomentar.
‘Akhirnya musim panas nanti engkau bisa mendaftar. Kukira David akan senang untuk membantumu,’ lanjut Papa.
‘Jangan terlalu mengharapkanku,’ sahut David datar. Aku benar-benar tersinggung mendengar suaranya yang ketus.
‘Kurasa aku mampu untuk mengurus diriku sendiri,’ jawabku tak kalah ketusnya. Kudengar David mendengus. Setan! makiku dalam hati. Apa yang ingin di tunjukkan oleh manusia satu ini? Aku berharap Papa akan menegurnya, ternyata tidak. Papa seakan menganggap kata-kata David yang menyakitkan itu sebagai sesuatu yang normal.
‘David, tolong dilihat apakah makan malam sudah siap,” perintah Papa . Dengan malas David bangkit. Sebelum keluar dia masih sempat menatapku tajam.
‘Jangan dimasukkan dalam hati,’ kudengar suara Papa, seakan dia bisa membaca hatiku. Aku cuma bisa menganggukkan kepala. Kejadian ini tak pernah terbayang dalam kepalaku. Kukira David akan senang bertemu denganku seperti halnya aku yang selalu merindukan pertemuan dengannya. Aku sangat kecewa. Kalau saja aku boleh memilih, maka aku akan memilih makan di kamar saja. Aku tidak bisa makan dengan santai. Mata dingin David selalu mengawasi gerak-gerikku, hingga makanan yang kumakan, kadang terhenti di tenggorokanku. Aku merasa benar-benar tolol. Tapi untung kami hanya menggunakan lilin sebagai penerangnya, kalau tidak, David tentu akan lebih senang lagi bisa memperhatikan wajahku yang sebentar merah sebentar putih.
‘Tambah lagi, Lucy?’ Papa menawarkan penuh perhatian. Aku menggeleng, takut jika aku bersuara, mereka akan bisa menangkap apa yang sebenarnya ada dalam hatiku. ‘Seharusnya Clemmie memasak nasi buatmu, tentu kamu tidak terbiasa dengan makanan seperti ini,’ Papa merasa bersalah. Oh, Mister Stanton yang malang, bukan makanan penyebabnya melainkan anak laki-lakimu itulah yang menyebabkan nafsu makanku hilang.
‘Bukan itu sebabnya,’ sanggahku, ‘Mungkin aku masih lelah saja,’ kulirik David untuk melihat reaksinya. Dia tersenyum sinis.
‘Ya, kamu membutuhkan istirahat yang cukup,’ kata Papa.
Sehabis makan malam, David langsung menghilang. Aku masih duduk lama dengan Papa. Terlalu banyak yang harus di ceritakan. Enam belas tahun berpisah bukan waktu yang singkat. Baru sesudah berbaring di tempat tidur, aku sadar bahwa tak sekali pun Papa bertanya tentang Mama. Tak sekali pun. Aneh! Padahal Papa menyediakan sebuah kamar untuk Mama.
Λ
Aku terbangun dalam keadaan yang benar-benar segar. Sengaja tak kutekan bel untuk memanggil Clemmie. Kalau hanya untuk menyiapkan bak mandi saja aku masih mampu. Sambil menunggu air di bak mandi penuh, kubuka jendela kamarku lebar-lebar untuk mengijinkan udara segar memasukinya. Padang rumput yang hijau masih basah oleh sisa-sisa embun pagi. Kuda-kuda gagah berlarian dengan lincahnya menyambut sang matahari. Sehabis mandi aku segera turun ke bawah.
‘Ya ampun, Missy, mengapa tidak memanggil saya?’ teriak Clemmie ketika melihat aku sudah berada di kamar tengah.
‘Aku tidak ingin merepotkanmu.’
‘Sama sekali tidak merepotkan. Ayo, Missy duduk, sementara kusiapkan sarapanmu. Mau cereal atau toast?’
‘Cereal saja, Clemmie, aku tidak biasa makan berat di pagi hari,’ jawabku sambil duduk.
‘Engkau juga ingin kubuatkan kopi?’
‘Tidak usah, teh saja sudah cukup,’ jawabku. Rasanya seperti di restoran pakai memilih segala. Clemmie segera pergi. Lima menit kemudian dia datang lagi dengan sebuah meja dorong dengan beberapa kotak cereal, susu dingin, gelas kosong dan air panas di atasnya. Semuanya itu dia atur di atas meja makan.
‘Segelas air jeruk baik untuk mempertahankan berat badan,’ ujar Clemmie sambil menuangkan air jeruk dingin ke dalam sebuah gelas kecil. Kupandangi saja gelas itu. ‘Minumlah, Missy!’ perintah Clemmie halus. Kuturuti perintahnya sementara dia menyiapkan cawan untukku. ‘Missy ingin cereal yang mana? Rice cripies, cornflake, . . . semuanya buatan Kellog dan Kellog mengambil jagungnya dari perkebunan Stanton. Jadi dengan makan ini, Missy telah menikmati hasil kebun sendiri,’ lanjut Clemmie. Aku tidak tahu apakah kata-kata itu benar atau hanya sekedar menarik seleraku.
‘Papa sudah pergi?’ tanyaku sambil menuang rice cripies ke dalam mangkukku kemudian kutambah susu dingin dan gula.
‘Ya, sebelum matahari terbit.
‘David?’ tanyaku pelan, takut bila tiba-tiba dia sudah berada di belakangku dan mendengar apa yang kutanyakan.
‘Sudah pergi juga. Tadi di jemput Miss Deidre.’
‘Siapa?’
‘Pacar Master David. Kalau nyonya Stanton ada di sini, aku yakin beliau tidak akan setuju dengan pilihan Master David.’
‘Memangnya kenapa?’ tanyaku ingin tahu.
‘Murahan,” jawab Clemmie tenang. Aku kaget setengah mati mendengar jawaban Clemmie. Cereal yang sudah berada di kerongkonganku terhenti, aku terbatuk. Clemmie menyadari kekagetanku, sejenak kemudian dia meralat kata-katanya. ‘Bukan murahan, tapi selera rendah. Sebenarnya dia cukup cantik, hanya, . . . bagian-bagian yang seharusnya dibuat misterius justru di tunjukkan dengan terang-terangan,’ komentar Clemmie kalem. Dia pasti sudah begitu dekat dengan keluarga ini, karena untuk memberikan komentar seperti itu dibutuhkan keberanian yang sangat besar.
‘Cinta memang buta, Clemmie,’
‘Bukan cinta, tapi nafsu,” bantah Clemmie, ‘Saya tidak bisa membayangkan anak Nyonya Stanton jatuh cinta pada wanita yang bertolak belakang dengan ibunya. Engkau mengerti maksud saya, Missy?”
Sehabis sarapan aku keluar. Udara benar-benar sejuk walau matahari bersinar dengan cerahnya. Beribu taman hias di depan rumah berbunga aneka warna. Dari halaman depan aku memutari rumah menuju halaman belakang. Aku tidak menyangka halaman belakang lebih indah dari halaman depan dan samping. Di sana ada ratusan pohon mawar yang sedang berbunga lebat. Bunganya besar-besar serta berbau harum. Sejenak aku terpana. Tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh bergerak-gerak di antara pohon-pohon itu. Aku harus menanti lama sebelum mengetahui siapa dia. Ternyata Irene yang membawa sebuah keranjang bunga.
‘Selamat pagi, Irene,’ sapaku. Dia terlonjak. Aku menyesal telah mengejutkannya. Seharusnya aku tahu tempat semacam ini merupakan tempat yang paling tepat untuk melamun. Tentu Irene sedang melamun ketika kutegur tadi.
‘Oh, selamat pagi, Miss Lucinda,’ balas Irene setelah reda kekagetannya. ‘Tidur nyenyak semalam?’ dia bertanya.
‘Ya. Apa yang kau kerjakan?’ tanyaku. Aku tahu dia sedang memetik bunga, tapi caranya memotong bunga itu tak kumengerti. Dia memotong sebatas bunga tanpa menyertakan tangkainya sedikit pun.
‘Memetik bunga,” jawab Irene tepat.
‘Tanpa menyertakan tangkainya?’
‘Ini bukan untuk hiasan, Miss Lucinda.’
‘Lalu?’
‘Untuk membuat air freshener,’
‘Penyegar ruangan?’
‘Ya,’ jawab Irene sambil tersenyum. Dia senang aku menunjukkan minat. ‘Bunga-bunga ini nanti di rebus dalam cairan lilin kemudian di beri warna dan di bentuk menurut selera kita, lalu kita letakkan di ruang-ruang yang ingin kita beri air freshener. Tak nampak kalau itu air freshener tapi harumnya dapat tahan lama,’ tutur Irene. Aku Cuma mengangguk-angguk saja. Kagum.
“Apakah ikan di kamar mandiku itu juga air freshener buatanmu?’ tiba-tiba aku teringat ada sebuah ikan lilin berwarna kuning di pojok kamar mandiku. Kemarin aku keheranan waktu melihatnya. Irene mengangguk sambil tersenyum manis.
‘Sayang saya bukan seorang seniman yang dapat membuat bentuk-bentuk yang menarik,’ Irene merendah. Padahal ikan itu benar-benar sempurna buatannya. Persis ikan hidup. Irene pastilah seorang yang ahli dalam bidang pahat memahat.
‘Engkau pernah belajar seni, Irene?’ tanyaku. Dia kaget dan tampak ragu untuk menjawab.
‘Ya, Miss Lucinda. Tapi berhenti di tengah jalan,’ jawab Irene. Aku tidak bertanya lebih lanjut, nampaknya Irene tidak ingin membicarakan hal itu. Seorang gadis manis, pernah belajar seni dan kini bersembunyi di pertanian ini. Benar-benar mengundang tanya.
‘Engkau membawa keranjang lain?’ kualihkan pembicaraan kami.
‘Untuk apa?’ tanya Irene heran.
‘Aku ingin membantumu.’
‘Jangan, Miss Lucinda, nanti tanganmu kotor.’ Ya,Tuhan . . . memangnya tanganku ini tangan apa hingga tidak diijinkan untuk memegang bunga.
‘Irene,engkau bisa memegang bunga, aku pun bisa, oke?’ Ia bimbang tapi kemudian menyerahkan keranjangnya. Untuk dia sendiri dia terpaksa mengambil lagi yang lain.
Berjalan-jalan menyusup di bawah pohon mawar merupakan sesuatu yang baru bagiku. Kadang aku harus mengiris bila terkena duri dan Irene akan segera datang dan menanyakan kalau aku tidak apa-apa. Tanpa kusadari keranjang bunga yang kubawa sudah penuh dengan bunga dan aku pun sudah sampai ke tepian kebun. Ada pagar kayu yang memisahkan kebun mawar dengan padang rumput. tak jauh dariku kulihat Georgie dengan sorang bocah laki-laki berkulit gelap kecil sedang menyikat seokor kuda.
‘Hello, Georgie!’ tegurku. Georgie menoleh demikian pula si anak berkulit gelap, berambut ikal.
‘Hello, Miss Lucinda. Sedang apa kau di situ?’
‘Memetik bunga,’ jawabku. Georgie tersenyum lebar.
‘Apakah dia Miss Lucinda?’ kudengar bisikkan si bocah berambut ikal.
‘Hello, siapa namamu?’ teriakku. Mata anak iu bersinar. Senyumnya menawan memperlihatkan giginya yang putih.
‘Oscar,’ jawabnya malu.
‘Nama yang bagus,’ pujiku.
‘Ingin berkuda, Miss Lucinda?’ tanya Georgie. Kuperhatikan kuda yang sedang disikatnya. Begitu besar. Kalau jatuh dari kuda itu dapat di pastikan tulang-tulangku akan remuk semuanya.
Aku tidak bisa,’ jawabku sambil menggeleng. Baik Georgie maupun Oscar tidak percaya mendengar jawabanku.
‘Kamu dapat berlatih,’ bujuk Georgie selang beberapa saat.
‘Tidak sukar, Miss Lucinda,’ Oscar ikut membujuk.
‘Aku takut, Oscar,’ jawabku jujur. Oscar tertawa girang.
‘Ayo, miss Lucinda, kamu dulu lebih mahir dari master David dan mengendarai kuda yang lebih besar dari ini.’ Kejar Georgie.
‘Aku?’ tanyaku heran.
‘Ya. Kamu lebih mahir dari master David,” cerita Georgie. Aku tidak ingat itu semua . Bahkan aku tidak ingat pernah melihat kuda sebesar itu.
‘Bagaimana, Miss Lucinda?’ tantang Georgie lagi.
‘Engkau pasti salah ingat, Georgie. Waktu aku pergi dari sini umurku baru tiga tahun,’ sanggahku.
‘Aku selalu ingat bagaimana mamamu selalu berteriak-teriak menyuruhmu turun dari kuda sementara papamu justru memberi semangat agar kamu mempercepat lari kudamu. Kamu dulu gadis paling berani di seluruh Louisville bahkan di seluruh Kentucky.’ Aku mendengarkan kata-kata Georgie seperti mendengarkan kisah seorang gadis pemberani, tetapi bukan tentang diriku. Sejak dulu aku di kenal sebagai gadis penakut. Menggonceng sepeda motor saja membuat mulutku komat-kamit berdoa tak henti-henti mohon selamat.
Λ
Aku mulai santai. Tangan kiriku tidak lagi erat berpegangan pada pelana. Aku mempercayakan diri pada Denver. Dia tidak akan melemparkanku. Dia adalah sahabatku. Kami telah mencapai tepi padang rumput sebelah selatan. Di depan kami menghadang hutan pinus yang lebat. Kutarik tali kendali Denver agar dia memperlambat jalannya untuk menunggu Georgie. Georgie datang dengan senyum puas di bibirnya.
‘Apakah aku telah mengendarainya dengan benar?’ tanyaku.
‘Tanpa cacat,’ jawab Georgie. ‘Aku bangga kamu masih bisa berkuda setangkas itu.’ Oh Georgie bukan engkau saja yang bangga, aku pun bangga juga, kata hatiku. Kemudian kami memasuki hutan pinus itu dengan berjalan pelan-pelan. Tidal memungkinkan bagi kami untuk berlari cepat di tengah pohonpohon yang begitu besar. Nyanyian burung di hutan benar-benar menawan. Bersahut-sahutan dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Dan tupai-tupai menari lincah diiringi nyanyian tersebut. Benar-benar damai di sini. Tiba-tiba aku menampak sebuah telaga dengan air yang jernih di depanku. Bunga-bunga teratai merah dan putih bermekaran di atasnya. Inilah surga!
‘Georgie, aku ingin turun,’ kataku pada Georgie.
‘Turunlah.’
‘Aku tidak bisa,’ jawabku. Georgie meloncat turun dari Blue Berry kemudian berjalan ke dekatku. Dia memberi petunjuk bagaimana cara turun yang benar. Sedetik kemudian aku sudah berada di atas tanah dengan gagah.
Kubuka sepatu canvasku dan berjalan di tepi telaga. Kemudian kumasukkan kedua kakiku ke dalamnya . Dingin sekali. Tapi nikmat. Sesudah berada disana cukup lama, kami memacu kuda kami dan pulang. Aku telah menjadi penunggang kuda yang ahli.
Aku ketemu papa dan David setiap makan malam. Aku mulai tenang menghadapi sikap David, bukan karena sikapnya berubah tetapi aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Biar mata David sampai sebesar mata ikan mas tetapi aku tetap bisa memasukkan makanan ke dalam mulutku. David selalu meminta ijin untuk pergi begitu makan malam selesai dan aku bisa bernafas lebih longgar. Bukan kehidupan seperti ini yang kuinginkan tetapi aku ttidak bisa berharap yang lebih baik lagi. Bagaimanapun tidak menyenangkannya kehidupan ini, tapi inilah kehidupan yang seharusnya kutempuh . Di sisi Papa dan saudara kembarkulah seharusnya aku berada.
Malam itu sebelum tidur kutulis surat buat adik-adikku. Aku tidak menulis untuk Mama dan Oom No, karena aku tahu mereka toh akan membaca juga surat yang kukirim buat Adit, Anto dan Yani. Sengaja aku tidak menceritakan tentang Papa dan David. Aku kuatir jika aku bercerita tentang Papa, kenangan lama Mama akan terbayang dan Oom No cemburu. Aku heran mengapa aku berpikiran semacam itu. Mungkin karena aku telah melihat kegantengan ayahku, jadi sudah sepantasnya kalau Oom No menyemburuinya. Sedang tentang David, ini masalah pribadi. Aku tidak menyukainya jadi mengapa aku harus menulis tentang dirinya. Kalau toh aku harus menceritakan tentang David tentu hanya yang jelek-jelek saja yang kutulis. Akibatnya tentu sangat parah. Mama akan berduka karena anak sulungnya ternyata tidak semanis yang dia duga dan Mama akan menyesal telah mengirimku kemari.
Mama menginginkan kebahagiaan bagiku. Sejak ibu Oom No tinggal bersama kami, Mama tahu batinku tertekan. Terlebih setiap tanggal sepuluh bila ada pertemuan keluarga besar Oom No. Aku tidak diijinkan untuk turut karena aku bukan keturunan Oom No yang asli. Setiap tanggal sepuluh, Adit, Anto dan Yani akan berdandan rapi untuk pertemuan itu sedang aku harus tinggal di rumah. Aku tidak pernah mengeluh tentang hal itu, tetapi Mama mengetahui aku merasa di bedakan.
Karena pertengkaranku dengan ibu Oom No makin sering, akhirnya Mama memutuskan untuk menyerahkanku pada Papa dengan harapan aku akan menemukan kebahagiaanku di sini karena di sini ada saudara kembarku jadi aku akan merasa lebih tentram. Alangkah melesetnya dugaan Mama. Tapi aku tidak ingin mengatakan kepada Mama bahwa perhitungan Mama salah. Biarlah Mama mengira aku bahagia di sini karena hal itu akan membahagiakan hati Mama.
Λ
Minggu pagi papa mengajakku untuk melihat-lihat kebun. Dua ekor kuda telah disiapkan untuk kami, yang kukenali sebagai Denver dan Blue Berry. Aku senang bisa bertemu dengan Denver kembali. Kami berjalan ke arah utara dengan perlahan-lahan. Setiap saat yang berlangsung ingin kami lalui dengan baik. Mengendarai kuda di samping ayah kandungku. Hal yang tak pernah berani kubayangkan, tetapi kini benar-benar terjadi. Papa begitu gagah dalam pakaian berkudanya. Celana jeans ketat yang ujungnya dimasukkan ke dalam bootnya, kemeja kotak-kotak dengan rompi berwarna biru dan topi cowboy yang juga berwarna biru. Betapa aku mengaguminya. Pasti waktu masih muda dulu, Papa sangat tampan. Tak heran akhirnya Mama memilihnya untuk menjadi suaminya.
‘Kamu masih mahir berkuda, Lucy,’ puji Papa sambil memperhatikan caraku berkuda.
‘Georgie yang mengajariku.’
‘Georgie?’ ulang papa sambil mengerutkan dahi.
‘Ya,’
‘Kamu tidak pernah berkuda selama di Indonesia?’
‘Seingatku tidak,’ jawabku.
‘Mau berlomba denganku, Lucy?’ tantang Papa mengejutkan.
‘Berlomba?’ tanyaku tak percaya. ‘Aku tidak bisa.’
‘Mengapa tidak bisa? Mulai dari sini sampai di kebun jeruk di depan sana. Siapa yang sampai terlebih dahulu dia yang menang.’ Kelihatannya sangat menarik, tetapi aku yakin aku tidak bakal mengalahkan Papa. Papa bergaul dengan kuda selama hidupnya, sedang aku, . . . lihat kuda saja baru tiga hari yang lalu. Tapi kalau hanya untuk bersenang-senang saja, mengapa tidak.
‘Oke,’ jawabku mantap. Papa tersenyum mendengar jawabanku.
‘One . . . two . . .run!’ Papa memberi aba-aba. Kuberi tarikan kuat pada tali kendali Denver yang segera kukendorkan lagi. Denver meloncat dan berlari dengan kencang. Blue Berry sudah beberapa jengkal di depanku. Papa tidak main-main dengan lomba ini.
‘Come on, Denver. Faster! Faster!’ jeritku sambil menepuk badan Denver dengan kakiku. Denver mempercepat larinya berusaha menyusul Blue Berry.
Aku kalah dalam pertandingan itu, tapi puas. Keringat mengalir deras di dahi dan punggungku hingga blus yang kukenakan basah. Keringat di wajahku segera kuhapus dengan sapu tangan sementara itu Papa tersenyum puas dan matanya bersinar cerah.
‘Engkau hampir mengalahkanku, Lucy.’
‘Ah, Papa, . . . kita selisih jauh sekali.’
‘Tidak, Lucy. Kalau engkau berlatih terus dalam waktu seminggu aku sudah tidak mampu menyusulmu lagi,’ kata Papa serius. Kemudian kami bergerak pelan-pelan lagi. Menyusup di antara pohon-pohon jeruk yang sedang berbunga. Kelopak-kelopak bunga itu sebagian berwarna keputih-putihan. Buah-buah kecil berwarna hijau gelap menggantikan kedudukan bunga-bunga tersebut. Kami bertemu beberapa orang pekerja yang sedang memeriksa kebun dan tanamannya. Papa berbincang dengan mereka sejenak kemudian berjalan lagi. Aku benar-benar kagum atas kewibawaan Papa.
Di kebun apel panasnya bukan main, karena tidak ada daun yang melindungi kami dari sengatan matahari. Tubuhku rasanya seperti terbakar dan aku benar-benar kehausan.
‘Ingin istirahat, Lucy?’ tanya Papa seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
‘Aku tidak lelah, cuma haus.’
‘Sebentar lagi kita istirahat di gudang, ucap Papa. Setelah mendaki sebuah bukit kecil akhirnya tampaklah apa yang di sebut gudang. Sebuah bangunan tinggi dari papan bercat hitam. Dari luar tampak seram seperti rumah tukang sihir, tetapi dalamnya bersih dengan dinding yang bercat putih. Ada beberapa keranjang kosong di sudut gudang. Tiga orang pria yang tadi duduk-duduk di sana segera berdiri ketika melihat kehadiran Papa.
‘Ada minuman untuk anakku? Dia kehausan,’ kata Papa ringan.
‘Ya Tuhan, Miss Lucinda? Andakah itu? Sudah sebesar ini?’ kata salah satu di antara pria itu. Aku heran bagaimana dia bisa mengenaliku.
‘Ya, Peter, dia Lucinda, tapi jika engkau tidak segera mengambilkan minuman untuknya dia akan mati kehausan,’ gurau Papa. Peter tertawa.
‘Maafkan saya. Apa yang Anda inginkan, Miss Lucinda?’ kusebut minuman yang kuinginkan dan Peter segera berlari. Papa kemudian mengenalkanku pada dua pria lainnya. Pengelola kebun apel. Kemudian kududukkan diriku di tumpukan jerami dan bersandar. Peter datang dengan membawa sekaleng minuman lalu duduk di sampingku dan menceritakan tentang masa kecilku yang semuanya sudah kabur dari ingatanku.
Pulangnya kami lewat jalan yang lain yang di kiri dan kanannya tumbuh pohon pinus yang teduh. Daun-daun kering kadang luruh dan menimpa kepala kami. Kira-kira satu kilometer dari rumah, kami berpapasan dengan sebuah mobil. Kupinggirkan Denver untuk memberi jalan. Mobil itu berhenti. Papa yang berada di depanku juga berhenti dan aku pun ikut berhenti. Dari dalam mobil keluar David dan seorang gadis, Deidre, tebakku ketika melihat caranya berpakaian; selana pendek sebatas pangkal paha dan T-shirt yang benar-benar ketat sehigga menimbulkan kesan yang hii . . .
‘Afternoon, mister Stanton.” Sapa gadis itu.
‘Hello, Deidre.’ Sahut Papa. ‘Sudah ketemu Lucy?’ Deidre memandang padaku dengan tatapan mata yang aneh yang tidak bisa kutafsirkan artinya. Apakah karena kemiripanku dengan David ataukah ada hal lainnya.
‘Lucy, kenalkan Deidre Melore,’ Papa mengenalkan kami berdua.
‘Hello,’ sapaku.
‘Hi, senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Deidre. Aku tahu itu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya, matanya menunjukkan hal itu dengan jelas. Mungkin David telah menerangkan padanya tentang diriku. Dan karena David membenciku maka sudah selayaknya dia sebagai pacar David untuk membenciku pula.
‘Mau kemana kalian?’ tanya Papa.
‘Mau renang ke County Club House. Mau ikut, Lucy?’ Deidre menawarkan. Sekali lagi basa-basi yang memuakkan. David memandang Deidre tidak setuju. Jangan kuatir master David, aku tidak akan ikut.
‘Terima kasih, mungkin lain kali,’ jawabku pendek. Deidre dan David saling melempar senyum misterius. Kemudian mereka masuk kembali ke dalam mobil dan segera berlalu. Kami pun meneruskan perjalanan kami yang sempat terhenti. Ingin benar aku mendengar komentar Papa tentang calon menantunya tetapi tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut Papa tentang mereka.
Hari-hari yang berlangsung selanjutnya berlalu dengan malas seperti matahari musim panas yang enggan untuk menggelincir ke barat. Sepuluh hari sudah aku berada di samping Papa dan David tapi rasanya sudah puluhan tahun aku berada di sini. Sudah banyak yang kuketahui tentang perkebunan serta orang-orang yang berada di sekelilingku. Papa yang selalu pergi sebelum aku sempat bangun dan pulang menjelang makan malam sampai saat ini belum pernah sekali pun menanyakan tentang Mama dan aku pun tidak berniat menceritakannya.
Aku jarang bertemu dengan David. Kalau toh kebetulan kami berpapasan di rumah, tak ada komunikasi yang terjalin di antara kami. Ini benar-benar menyedihkan. Pada mulanya kukira dia akan berubah, tetapi ternyata tidak. Dia benar-benar tidak acuh dan dingin. Ingin sekali aku duduk dan berbincang dengannya, tetapi jika kulihat wajahnya yang masam maka keinginanku pun hilang begitu saja.
Demi Tuhan aku ingin mulai beramah tamah dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah saudara kembarku yang selama sembilan bulan lebih pernah bermukim di dalam sebuah rahim yang sama, rahim Mama. Apa sebenarnya pandangan David tentang diriku? Aku melihat dirinya sebagai melihat diriku sendiri. Hatiku terasa sakit bila harus membencinya seakan aku telah membenci diriku sendiri dan bila aku memaki dalam hati atas sikapnya maka makian itu seakan kutujukan untuk diriku sendiri . Ah anehnya hati in. Tetapi mengapa David tidak memiliki perasaan yang sama?
Clemmie dan Georgie adalah pembantu tertua di dalam keluarga Stanton. Mereka sudah ikut Stanton sejak Papa masih kanak-kanak. Pada waktu Mama melahirkan aku dan David, Georgie menawarkan diri untuk menjadi pengasuh kami. Saat ini mereka adalah pengurus rumah tangga sekaligus penasehat Papa dan David. Hal inilah yang kadang membuat iri para staf yang lain. Clemmie dan Georgie tidak mempunyai anak kandung dan sebagai gantinya mereka telah mengadopsi Oscar yang kedua orang tuanya serta adik-adiknya tewas dalam suatu kecelakaan lalu lintas tak jauh dari perkebunan kami empat tahun yang silam.
Kemudian si kakak beradik Judy dan Helen yang tidak mirip satu dan yang lainnya. Mereka adalah anak Peter yang kujumpai di kebun apel tempo hari. Tugas mereka adalah mengatur dan menjaga kebersihan rumah. Dan yang terakhir adalah si gadis pemurung Irene. Dia begitu misterius dan tertutup. Wajahnya begitu sendu, mungkin itulah yang menyebabkan dia disayangi semua orang. Dia datang kepada keluarga Stanton setahun yang lalu dan minta pekerjaan. Jika semua tugas-tugasnya telah selesai dia akan mengurung diri di dalam kamarnya yang berfungsi pula sebagai studio; memahat ataupun melukis. Sekali-sekali aku datang ke kamarnya untuk melihat dia melukis. Umur Irene setahun lebih muda dariku, tetapi wajahnya yang sendu telah menyebabkan dirinya tampak jauh lebih tua. Tak seorang pun tahu siapa sebenarnya dia dan dari mana asalnya karena dia tak pernah bercerita dan tak seorang pun berniat untuk mengusiknya.
Malam itu aku sudah siap untuk tidur ketika kudengar gesekan biola yang indah dan syahdu. Kutelengkan kepalaku agar dapat mendengar lebih jelas. Il Silenzio! Siapa yang membawakannya? Aku berdiri dan mengintip dari jendela. Sengaja lampu tidak kunyalakan agar orang yang di luar tidak menyadari sedang di intip.
To be continued ……
Posted on May 29, 2011, in Novel and tagged Cerpen, Femina, Fiksi, Indonesia, Laily Lanisy, Novel, Stories. Bookmark the permalink. 12 Comments.
Mbak Laily, saya sudah baca novel Ribuan Mil dari mama saat saya SMA dulu di cerbungnya majalah femina, tetapi tidak sampai tamat, maklum saat itu saya curi-curi baca majalah kakak dan tidak menemukan majalah selanjutnya, saya penasaran banget sampai cari novelnya di toko buku, tapi gak ketemu juga, hari ini saya girangnya bukan main waktu nemu novel ini di sini, tapi sayang tidak kelar juga, dimana saya bisa mendapatkan novel ini ya… saya suka banget novel ini, kata demi kata bener-bener menggambarkan sesuatu yang bikin saya juga seolah merasakan isi ceritanya… please tolong saya menemukannya ya mbak…..:)
Terima kasih sudah pernah membaca sebagian “Ribuan Mil Dari Mama”. Kirain enggak ada yang membacanya, jadi tidak saya teruskan diblog. Mudah-mudahan, kalau tidak begitu disibukkan dengan pekerjaan lain, dalam waktu dekat akan saya lanjutkan.
Kalau mencari buku aslinya, karena terbitnya sudah lebih dari dua puluh tahun yang lalu, novel ini sudah tidak beredar lagi.
akhirnya saya bisa baca lagi cerpen favorit saya di femina dulu, sayang buku cetaknya hilang…tku mbak sudah post cerpen ini….
Terima kasih, Nita, sudah mampir dan membaca novel saya.
Saya mbaca novel ini pda thun 2005 dan kmudian ia telah hilang. Saya tcari2 bukunya tp skarang ke temu lagi walaupun hnya blog. Perasannya amazing! Dri malaysia borneo
Terima kasih, P Jones, sudah mampir ke blog saya. Saya senang Anda menikmati novel Ribuan Mil dari Mama.
umur sy skg udh 47 th, tp msh sll penasaran ingin baca cerita ribuan mil dr mama. dulu sy wkt msh remaja sll nebeng baca di majalah femina milik tante, dan suka pinjam novel di tmpt persewaan novel,,,ceritanya menyentuh hati banget serasa sy mengalami sndri,,,dmn ya kira” sy dpt novelnya,,,tdk adakah rencana untuk cetak ulang…???.
Terimakasih, Yanuar Sulistyarini. Sudah lama sekali novel itu habis di pasaran. Saya rencananya memang mau menerbitkannya kembali. Mudah-mudahan awal tahun depan bisa terbit…
Wow. Saya baca ini sudah lama sekali. Very nice! Thx a lot!
Terima kasih, Nikki, sudah mampir ke blog saya.
Cerita ini tidak tuntas saya baca dari majalah Femina milik mama saya. Setelah menikah saya mencoba mencari novelettenya di pamera buku bandung yang kebetulan menjual buku-buku dari Gaya Favorite Press, hasilnya nihil. Serasa mimpi menjadi nyata saat saya menemukan blog milik penulisnya… ditunggu kelanjutannya. :):):)
Terima kasih sudah membaca novel saya. Bagian-bagian lainnya sudah lengkap saya upload di blog ini.