Category Archives: Stories
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Ketiga)
Kuhitung kancing bajuku; pulang, . . . tidak, . . . pulang, . . . tidak, . . . pulang tidak. Tidak pulang! Ya. Seharusnya aku tidak pulang. Pulang berarti permusuhan kembali dengan ibu Oom No dan itu akan membuat Mama berduka.
Lama aku merenung mencari jalan keluar. Aku harus pergi dari tempat ini tetapi aku tidak boleh pulang. Aku harus bisa meyakinkan Mama bahwa aku masih tetap tinggal bersam Papa. Bagaimana caranya? Kupandang pucuk-pucuk pinus untuk mencari jawab. Tidak kudapat. Sebagai gantinya kulihat tupai-tupai yang berloncat-loncatan dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya dan tiba-tiba ide itu datang. Aku harus pergi dari sini tetapi aku akan tetap tinggal di Amerika.
Kucoba untuk menekan sakit hatiku dan memikirkan apa yang harus kulakukan kemudian. Besok pagi aku harus sudah pergi ke kota lain. Kupilih New York sebagai tempat pelarianku.
‘Tidak, itu telalu jauh dan penuh risiko,’ bantahku sendiri. ‘Colombus lebih dekat dan tidak terlampau bising,’ aku memutuskan. Di sana aku akan mencoba mencari pekerjaan dan melupakan bahwa aku pernah mempunyai ayah dan saudara kembar.
Sesudah itu hatiku menjadi lebih tenang. Tak ada masalah! Akan kubuktikan kepada David bahwa aku bisa berdiri sendiri dan tidak tergantung kepada ‘ayahnya’. Kemudian aku bangkit dari tempatku. Aku harus segera pulang.
‘Denver, pulanglah dulu, aku akan jalan kaki,’ kubisikkan kata-kata itu di dekat telinga Denver. Denver tidak bergeming.
‘Dengar, besok aku sudah tidak ada di sini lagi. Aku ingin berjalan melintasi padang rumput ini untuk terakhir kalinya. Kamu mengerti, bukan? Nah, pulanglah!’ Denver masih tetap tidak bergerak. Telinganya terangkat ke atas seakan mencoba untuk menyelami arti kata-kataku.
‘Pulanglah, Denver,’ kataku mulai tak sabar sambil kutepuk paha Denver. Denver memandang padaku, tetap tak bergerak.
‘Denver, go home!’ jeritku. Denver mengerti kemudian mulai melangkah pelan-pelan. ‘Run!’ teriakku nyaring. Dia menurut dan berlari tapi sejenak kemudian dia berhenti lagi dan menoleh. Kuisyaratkan dengan tangan agar dia tetap berlari. Denver berlari kencang tapi berkali-kali dia menolehkan kepalanya. Mungkin dia heran atas sikapku yang lain dari biasanya. Biasanya aku dan dia selalu pergi dan pulang bersama.
Ketika Denver sudah tidak nampak lagi, aku mulai melangkah pelan-pelan seperti prajurit yang kalah perang. Ya, aku telah kalah. Harapan inilah yang kubawa dari Indonesia telah hancur berkeping-keping. Kentucky bukan untukku. Tanah dan padang rumput yang kuinjak ini bukan punyaku. Mister Stanton bukan ayahku. Dia ayah David. Tak ada lagi kekagumanku padanya. Kekaguman yang pernah singgah sejenak di hatiku.
Tiba-tiba aku melihat kuda yang datang dari arah yang berlawanan. David? Bukan! Kuda itu bukan kuda yang di tunggangi David tadi. Tetapi kuda itu adalah Blue Berry. Beberapa saat kemudian aku melihat pengendaranya, Irene. Mau apa dia?
‘Lucy, apa yang terjadi denganmu? Aku melihat Denver pulang sendiri,’ tanya Irene sambil menghentikan Blue Berry di sampingku. Alangkah penuh perhatiannya dia, pikirku.
‘Tidak apa-apa, Irene. Aku ingin jalan kaki saja.’
‘Oh, . . .’ Irene bernafas lega, ‘kusangka kamu mendapat kecelakaan. Oscar dan Georgie belum pulang. Terpaksa kuberanikan diri untuk naik kuda.’
‘Terima kasih, Irene,’ bisikku.
‘Untuk apa?’
‘Untuk perhatianmu,’ jawabku sambil berusaha untuk tersenyum. ‘Sekarang kamu boleh pulang. Kau lihat aku tidak apa-apa.’
‘Kamu benar-benar berniat untuk jalan kaki? Terlalu jauh, Lucy.’
‘Tidak apa-apa,’ jawabku. Irene mengangguk kemudian memacu Blue Berry pulang tanpa bertanya-tanya lagi.
Λ
Aku sedang mengepak barang-barangku ketika kudengar suara ban yang berdenyit kencang karena direm dengan mendadak. David telah pulang. Ingin benar aku keluar dan bertanya tentang keadaan Papa – Dari Clemmie aku mengetahui bahwa David terbang ke Colombus untuk menjenguk Papa – tetapi otakku melarang tubuhku untuk bergerak. Kalau memang ada sesuatu yang harus kuketahui tentu dia akan datang memberitahuku.
Sejenak kemudian kudengar langkah-langkah kaki David menaiki anak tangga. Lewat di depan kamarku. Berhenti di sana lama. Aku tegang. David tidak mengetuk pintu, dia kemudian berlalu. Kudengar suara pintu yang terbuka dan di tutup kembali, berarti David sudah masuk ke dalam kamarnya sendiri. Keadaan Papa tidak mengkhawatirkan, kesimpulanku, dan kuteruskan pekerjaanku lagi.
Semua barang-barangku sudah siap ketika ketukan pintu itu terdengar. Mula-mula lirih kemudian makin keras. Kutenangkan hatiku sebelum membuka pintu. David berdiri di depanku.
‘Boleh aku masuk?’ tanyanya pelan. Kuperlebar pintu yang kubuka tanpa menjawab. David masuk dengan canggung. Dia tampak heran melihat kedua koperku yang terbuka dengan isi yang sudah rapi, namun tidak berkomentar. Kubiarkan dia dalam keheranannya. Sesudah David duduk barulah aku melihat David membawa sebuah tas kecil.
‘Aku baru saja melihat Papa,’ dia membuka percakapan. Aku diam saja tak memberi tanggapan. ‘Papa memberikan ini untukmu,’ lanjut David sambil membuka tas yang di bawanya. Nampak beberapa bundelan uang ratusan dollar. Semuanya masih baru dan berbau bank.
‘Untuk apa?’ tanyaku parau penuh kecurigaan.
‘Untuk hidupmu yang akan datang. Papa memutuskan untuk menafkahimu hingga kamu bisa berdiri sendiri. Uang ini cukup untuk kau gunakan selama lima belas tahun bila kamu bisa sedikit berhemat,’ ucap David lancar. ‘Sesudah itu . . .’
‘Kamu bohong,’ potongku geram.
‘Aku tidak bohong,’ bantah David sambil menahan agar suaranya tidak meninggi. ‘Dari mana aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini? Papa mengakui bahwa kedatanganmu telah menggoncangkan jiwa Papa,’ lanjut David begitu kejamnya.
‘Dan Papa menginginkan agar aku segera angkat kaki?’
‘Ya. Besok sore Batista bersaudara akan mengantarmu sampai New York dan dari sana kamu ter . . .’
‘Tidak perlu!’ bantahku sakit hati. ‘Aku sudah siap untuk pergi sendiri tanpa perlu kau usir.’
‘Jangan konyol. Papa menyuruh aku untuk menemanimu hingga New York,’ kata David. Berarti ini bukan main-main. Papa memang tak menginginkan kehadiranku di sini. Aku benar-benar sakit hati. Ayah kandungku tak menginginkan aku. Apa artinya uang? Aku tak membutuhkan uangnya. Dan apa pula arti dari kebahagiaan yang diperlihatkan Papa ketika menyambut kedatanganku? Apakah itu semua hanya sebuah sandiwara? Berpacu di atas pelana dan obrolan-obrolan sesuai makan malam, tidak ada artinyakah itu?
‘Kamu dan ayahmu benar-benar manusia tanpa hati. Binatang!’ desisku. David tak mengubris omonganku. Dia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu.
‘Bawalah uangmu. Aku tidak membutuhkannya,’ teriakku.
‘Itu uangmu, Lucy. Kamu berhak untuk menggunakan sesuka hatimu. Mau kau bakar pun boleh,’ toleh David. Kudekati dia dan . . . Plaar! Tanganku melayang di pipinya. David menatap nanar padaku.
‘Lucy, aku kasihan padamu. Ibumu telah kawin lagi dan mau enaknya sendiri dengan menyuruh kamu datang kemari.’
‘Tutup mulutmu!’
‘Ibumu benar-benar licik. Dia tahu Papa akan segera membuat surat wasiat. Dengan hadirnya kamu di sini, ibumu mengira kamu akan mendapat bagian,’ oceh David tak mengacuhkan laranganku.
‘Itu hanya pikiran kotormu.’
‘Tapi Papa segera menyadari. Kamu jangan berharap lagi. Bagianmu hanyalah yang ada di dalam tas itu. Kamu tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan kami.’ tutup David dan bergegas meninggalkanku.
Sesudah David berlalu, aku berdiam tidak begeming. Mematung dan tidak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk menangispun aku tak mampu. Tuduhan yang mereka lontarkan kepada Mama benar-benar tidak manusiawi. Dan ironinya tuduhan itu yang melancarkan anak kandung Mama sendiri.
Kubuka jendela kamarku. Malam benar-benar pekat. Tak ada sebuah bintang pun yang bersinar. Mendung yang menggelantung di langit menggambarkan kesedihanku. Dimana Oscar? Dimana Irene? Mengapa mereka tidak memainkan biolanya? Mengapa tidak kudengar Il Silenzio mereka?
Uang yang di berikan Papa terlampau banyak. Hampir saja semuanya kubakar tapi untung otak warasku masih bekerja. Begitu banyak hal-hal yang dapat kulakukan dengan uang sebanyak itu. Papa telah melicinkan jalanku. Kubongkar kembali koperku. Kupilih pakaian-pakaian santaiku dan kumasukkan ke dalam ransel yang kubeli bersama Irene tempo hari yang sedianya kukirim untuk Adit tapi belum jadi. Tas kecil dari David kuselipkan di antara baju-baju itu setelah terlebih dahulu kuambil beberapa lembar dan kumasukkan kedalam tas tanganku. Rencanaku sudah matang. Stanton boleh membenciku tetapi tidak boleh mengatur jalan hidupku. Aku mempunyai kehidupan sendiri yang harus kujalani sendiri pula.
Semalaman aku tak berhasil memejamkan mata. Terlampau tegang dan kuatir jika rencanaku gagal. Begitu langit di sebelah timur bersemu merah aku segera mandi dan ganti pakaian. Kuperiksa sekali lagi ranselku. Aku harus cepat atau David akan segera terbangun dan menggagalkan rencanaku.
‘Missy, mau kemana?’ tegur Clemmie di lantai bawah ketika melihatku sudah siap.
‘Dimana Georgie?’ bissikku.
‘Di garasi,’ jawab Clemmie ikut berbisik.
‘Aku akan ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku. ‘Aku membutuhkan Georgie untuk mengantarku ke airport,’
‘Kenapa tidak bilang dari kemarin hingga saya bisa menyiapkan sarapan untukmu.’
‘David baru memberitahu tadi malam dan sudah terlalu larut untuk membicarakan denganmu,’ jawabku setengah betul. ‘Clemmie, aku harus segera pergi,’ lanjutku memutuskan pembicaraan. Clemmie nampak agak bingung. Kubiarkan saja dan aku berlari menuju ke garasi. Kujumpai Georgie di sana sedang membersihkan mobil.
‘Georgie, maukah kamu mengantarku ke airport?’ tanyaku.
‘Airport?’
‘Ya. Aku harus terbang ke Colombus,’ jawabku. Georgie tidak bertanya untuk apa aku ke Colombus jadi aku tidak harus membohonginya. Dia tentu mengira aku akan menjenguk Papa.
Λ
Selamat tinggal, Stanton. Selamat tinggal semua dan selamat tinggal padang rumput, bisik hatiku ketika aku dan Georgie sudah berada di tengah-tengah padang rumput dan mulai menjauhi rumah. Untung hari masih terlalu pagi sehingga lalu lintas tidak begitu penuh dan Georgie dapat mengendarai mobilnya dengan bebas. Louisville masih tidur berselimut kabut pagi.
‘Terima kasih, Georgie,’ ucapku sambil meloncat turun dari mobil begitu sampai di airport. Georgie tampak sedikit heran. Dia berniat untuk mengantarku masuk tetapi segera kucegah. Kalau dia sampai masuk dia akan tahu kalau aku telah membohonginya.
‘Sampai di sini saja, Georgie, biarkan aku masuk sendiri.’
‘Tapi . . .’
‘Tidak apa-apa. Lihat aku tidak membawa barang berat jadi aku bisa membawanya sendiri,’ dustaku. Georgie bimbang. Dia pasti curiga sekarang.
‘Dengar, Georgie, kalau aku diantar masuk, rasanya aku akan pergi lama. Aku benci perpisahan,’ sambungku meyakinkan. Georgie tersenyum.
‘Paling tidak ijinkan aku mengantarmu hingga kamu bertemu dengan Batista. Sesudah itu aku akan pergi.’
‘Georgie . . .’
‘Oke, kalau itu maumu,’ sambung Georgie kecewa.
‘Terima kasih, Georgie. Sampai jumpa nanti malam,’ kataku untuk membunuh kecurigaannya. Georgie mengangguk dan menjalankan mobilnya. Begitu dia tak nampak lagi, aku segera masuk ke airport. Untuk pertama kalinya aku merasa terbebas dari tekanan yang menghimpit batinku. Kini aku bebas untuk menjalani kehidupanku. Bebas menentukan apa yang akan kujalani. Tak seorang pun yang akan merintangi jalanku. Tidak ibu Oom No, tidak Papa, tidak pula David. Aku adalah Lusi, bukan Lucinda Stanton lagi.
Begitu masuk ke airport segera kulihat jadwal penerbangan yang tergantung di atas meja informasi. Paling atas adalah flight nomor 304 dari pesawat United yang akan menuju ke Jacksonville, Florida. Kuteliti penerbangan yang ke Colombus, tidak ada! Aku mulai panik. Kalau Georgie sampai di rumah, David akan segera tahu kalau aku telah melarikan diri . Dia tentu akan menyusulku kemari. Aku harus segera keluar dari Louisville.
Penerbangan ke Jacksonville dijadwalkan pada jam 6.45. Kulihat jam yang melilit dipergelangan tanganku. Jam enam seperempat. Segera kuhubungi penjualan tiket. Aku harus keluar dari Louisville secepatnya. Tidak peduli tempat mana yang akan kutuju.
Sambil menunggu waktu yang di tentukan, aku berdiri mematung menatap para petugas airport yang sedang membersihkan dan membenahi ruangan.
‘Lucy!’ tiba-tiba kudengar sebuah panggilan. Panggilan itu begitu lirihnya tapi sanggup untuk membuat tubuhku terlonjak kaget. Secepat kilat aku memutar tubuh. Irene berdiri di depanku.
‘Irene, apa yang kamu lakukan di sini?’ bisikku.
‘Membuntutimu, Lusy,’
‘Membuntutiku? Aku tak mengerti maksudmu . Aku akan terbang ke Colombus menjenguk Papa,’ bohongku mulai tenang.
‘Kamu tidak akan ke Colombus, Lucy, aku melihat kamu membeli ticket untuk ke Jacksonville. Kamu tidak berniat untuk pergi ke Jaksonville, bukan?’ desak Irene. Aku benar-benar mati kutu. Irene telah mengetahui begitu banyak.
Sekarang apa yang akan di lakukannya?
‘Lucy,’ panggil Irene. Kutengadahkan wajahku dan menatap langsung ke matanya. Tidak ada niat jahat di mata itu.
‘Kita masih berteman, ‘kan?’ tanya Irene.
‘Ya,’ gumamku.
‘Kalau begitu dengarkan aku. Kamu tidak harus pergi ke Jacksonville. Aku bisa mencarikan kamu sebuah rumah di sekitar Louisville.’
‘Aku harus keluar dari Louisville, Irene,’
‘Siapa yang mengharuskanmu? Master David?’
‘Irene, bagaimana kamu bisa tahu?’ tanyaku benar-benar kaget.
‘Lucy, semua orang akan tahu dengan seketika. Kamu dan Master david adalah dua saudara kembar yang seharusnya bahagia bila di satukan lagi. Tapi tak pernah sekali pun kulihat kalian berbicara akrab. Dan aku tahu pula bukan kamu yang menyebabkan ketidakakraban itu. Master David terlalu sinis. Jadi sudah sewajarnya jika kamu tidak betah di rumah itu. Tapi kamu tidak harus melarikan diri. Hakmu atas rumah itu sebesar hak Master David. Kamu tidak akan mengalah terhadapnya ‘kan, Lucy,’ Irene menerangkan. Oh, jadi Irene tidak tahu. Dia tidak tahu kalau Papa pun telah mengusirku pula.
‘Irene, kamu keliru.’
‘Tidak, Lucy. Kemarin siang kamu bertengkar dengan Master David di hutan pinus ‘kan? Aku tidak tahu apa yang kalian pertengkarkan tapi aku melihat wajahmu begitu murung ketika aku menyusulmu. Saat itu aku yakin kamu bakal melakukan hal-hal nekat, maka kuputuskan diriku untuk mengawasimu. Jangan biarkan Master David menyakitimu,Lucy. Tetap tinggallah di Louisville,’ pinta Irene. Kugelengkan kepalaku.
‘Tidak bisa, Irene. Tidak bisa.’
‘Mengapa Lucy?’
‘Mereka akan mengirimku kembali ke Indonesia nanti sore,’ jawabku jujur. Dengan Irene rasa-rasanya tak ada yang perlu kurahasiakan lagi.
‘Siapa mereka?’
‘Papa dan David.’
‘Mister Stanton?’ tanya Irene tak percaya, ‘Mengapa?’
‘Aku tidak tahu. Mungkin Papa dendam kepada Mama karena Mama meninggalkan Papa. Menurut keputusan pengadilan, aku adalah tanggung jawab Mama. Aku tidak mau pulang ke Indonesia. Itulah sebabnya aku harus segera pergi dari Louisville.’ Irene terdiam mendengar penjelasanku. Tiba-tiba kulihat mata Irene berkaca-kaca.
‘Mengapa harus kamu yang mnderita? Mengapa bukan aku padahal aku yang berdosa,’ gumam Irene lirih. Aku tak mengerti makna dari ucapan itu. Tapi aku sudah tidak punya waktu untuk menganalisanya. Panggilan untuk menuju ke
pesawat sudah terdengar.
‘Irene, aku harus pergi,’ bisikku.
‘Lucy, jangan pergi, please?’ pinta Irene.
‘Kamu tahu aku tidak bisa.’
‘Lucy, kamu sama sekali tidak tahu daerah yang akan kau tuju,’ ucap Irene kuatir.
‘Jangan takut, Irene. Aku di lahirkan di Amerika. Ingat?’
‘Kamu yakin ini yang terbaik bagimu?’
‘Ya, Irene.’
‘Kalau begitu aku akan pergi menyertaimu. Aku tidak punya siapa-siapa disini. Aku bisa pergi kemana saja. Aku akan menemanimu.’
‘Apa?!’ teriakku tak percaya.
‘Aku akan pergi denganmu, Kita bisa cari kerja bersama.’
‘Irene, tidak!’ jawabku seketika.
‘Lucy,. . . ‘
‘Tidak, Irene. Aku akan pergi sendiri. Aku butuh waktu untuk diriku sendiri.’
‘Aku tidak akan menyulitkanmu. Aku akan menghidupi diriku sendiri. Tapi biarkan aku menjagamu.’
‘Menjagaku? Tidak! Aku tidak akan mengijinkanmu . Kamu kembalilah ke Stanton dan jangan katakan kemana aku pergi. Mereka akan curiga bila kita lari bersama.’
‘Lucy,…’
‘Tidak, Irene. Sekali lagi tidak!’
‘Lucy biarkan aku menebus dosa?
‘Menebus dosa? Irene, ini tidak ada hubungannya denganmu. Irene, jangan ngelantur. Aku bisa berdiri sendiri. Kamu akan benar-benar menolongku bila kamu mau pulang ke Stanton lagi. Aku akan menghubungimu, Irene. Kuminta kamu menyimpankan surat-surat yang datang dari Indonesia untukku. Mungkin suatu saat aku akan memintamu untuk mengirimkannya kepadaku. Oke?’
‘Kamu berjanji untuk menghubungiku dan memberi kabar?’
‘Ya, Irene, aku berjanji. Nah sekarang aku harus pergi.’
‘Lucy,’ panggil Irene. ‘Boleh aku memelukmu?’ tanyanya. Berdua kami berpelukan lama sekali. Enggan rasanya untuk melepaskan diri dari Irene.
‘Tuhan menyertaimu, Lucy,’ bisik Irene di tengah sedanya. Kupandang dia dari mataku yang mulai mengabur. Irene satu-satunya orang yang paling dekat denganku sesudah Mama. Aku tidak tahu apa yang telah mendekatkan kami berdua. Mengapa dengan David yang saudara kembarku sendiri aku tidak bisa sedekat ini. Mengapa?
to be continued ….
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Kedua)
Di luar gelap sekali sehingga sia-sia saja usahaku. Tapi aku tahu dengan pasti dari mana datangnya suara itu, dari pohon oak di depan sana. Siapakah dia? Aku makin penasaran. Makin lama kudengarkan makin yakin aku kalau yang menggesek biola itu tidak hanya seorang. Dua orang telah memainkannya bersama dengan penuh penghayatan. Perasaanku pun ikut terhanyut. Il Silenzio, lagu kematian.
Tiba-tiba mereka menghentikan permainan mereka dan menoleh.
‘Maaf jika aku mengganggu kalian,’ ucapku pelan.
‘Miss Lucinda!’ tegur Irene dan Oscar berbarengan. Tak heran kalau Oscar memainkan Il Silenzio. Lagu itu pasti dipersembahkan untuk orang tua dan adik-adiknya yang telah tiada. Bagaimana dengan Irene? Apakah orang tua Irene juga sudah meninggal?
‘Tidak keberatan jika aku ikut mendengarkan di situ?’ tanyaku.
‘Kemarilah, Miss Lucinda,’ ajak Oscar. Aku mendekat dan duduk di samping Irene.
‘Belum tidur?’ tanya Irene halus
‘Hampir saja aku tertidur ketika mendengar permainan kalian.”
‘Apakah kami telah mengganggu tidurmu?’
‘Oh, sama sekali tidak. Kalian bermain begitu indahnya,” pujiku. “Kenapa kalian tidak main lagi? Anggap saja aku tidak ada di sini,’ lanjutku. Oscar segera mengangkat biolanya yang di susul oleh Irene. Sesaat kemudian mengalunlah Green Sleeves. Indah sekali. Menghias malam yang senyap. Wajah murung Irene tampak semakin murung ketika membawakan lagu itu.
‘Indah sekali,’ bisikku ketika mereka selesai bermain.
‘Anda tahu lagu tadi, Miss Lucinda?” tanya Oscar penuh minat.
‘Aku pernah mendengarnya,’
‘Engkau pasti mengerti musik,” kejar Oscar tidak puas.
‘Aku tidak mengerti, Oscar. Aku penggemar musik. Aku tahu mana musik yang baik dan mana musik yang tidak. Itu saja.”
“Bisa main biola?”
“No…,”
‘Anda pasti bisa. Tidak ada orang yang mau menyempatkan diri untuk datang kemari jika dia tidak bisa main biola,’ debat Oscar.
‘Itu karena permainan kalian bagus sekali hingga mampu mengundangku untuk datang,’
‘Aku tahu Anda bohong, Miss Lucinda. Ambillah biola ini dan mainkanlah sebuah lagu,’ desak Oscar sambil menyodorkan iolanya.
‘Oscar, aku tidak bisa,’
‘Anda bisa, Miss Lucinda. Anda juga pernah bilang kalau Anda tidak berkuda padahal Anda mahir. Mainkanlah sebuah lagu.’
‘Dengar baik-baik, Oscar, aku tidak bisa bermain sebagus kalian,’
‘Nah, benarkan? Anda bisa bermain. Mainkanlah lagu Indonesia, Miss Lucinda. Engkau mau ‘kan?’ pinta Oscar. Matanya benar-benar mengharapkanku. Kuturuti permintaannya dan kumainkan ‘Melati dari Jayagiri’. Aku berusaha untuk tidak membuat kesalahan. Irene dan Oscar pasti akan segera mengetahui jika kesalahan itu kubuat. Telinga mereka pasti sudah benar-benar terlatih.
‘Apa nama lagu itu, Miss Lucinda?’ tanya Oscar begitu aku menurunkan biola kembali.
‘Melati dari Jayagiri. Melati adalah nama sebuah bunga sejenis jasmine dan dalam lagu ini digunakan sebagai lambang untuk seorang gadis. Jayagiri adalah nama sebuah tempat,’ jawabku asal-asalan.
‘Mainkanlah sekali lagi,’ pinta Irene mengejutkan.
‘Kamu sungguh-sungguh memintaku?’ tanyaku tak percaya
‘Ya,” jawab Irene mantap. Kumainkan Melati dari Jayagiri sekali lagi. Aku tidak menyangka Irene bakal ikut bermain bersamaku. Daya tangkapnya luar biasa. Begitu aku selesai, kuminta dia untuk memainkannya sendiri. Dia menuruti tanpa cela.
‘I’ve got it,’ cetus Oscar tiba-tiba.
‘Engkau mau bermain pula, Oscar? Ini biolamu,’
‘Tidak perlu, Miss Lucinda . Aku membawa harmonika. Mengapa tidak kita mainkan sekali lagi bersama?’ usul Oscar. Aku dan Irene menyetujuinya. Maka mengalunlah lagu itu di malam yang sepi di tengah padang rumput, seakan lagu itu tercipta khusus untuk dimainkan di sini. B egitu pas dan sesuai dengan keadaan. Begitu mengena. Tentu pada waktu mencipta lagu ini Bimbo sedang berada di tengah-tengah padang rumput.
‘Apakah banyak komponis di Indonesia?’ tanya Oscar.
‘Ya, banyak juga. Cuma . . . mereka jarang yang bisa muncul ke dunia Internasional. Masalahnya bukan tak mampu tapi tidak ada kesempatan.’
‘Aku percaya’ bisik Irene dengan suaranya yang lembut. ‘Kalau mereka bisa mencipta lagu seindah tadi pasti masih ada lagi karya-karya lain yang indah. Aku berharap dapat ke Indonesia nanti di suatu saat,’ lanjutnya penuh harapan. Aku senang mendengar kata-kata Irene itu.
‘Nanti kita pergi bersama, Miss Irene,’ sela Oscar sambil tertawa. Giginya yang putih masih tetap tampak walau malam begitu pekat. Irene ikut tersenyum
‘Aku takut aku harus menunggumu terlalu lama,’ desah Irene.
‘Tidak,’ potong Oscar cepat. ‘Mulai besok aku akan menabung. Tidak ada lagi majalah sport yang kubeli begitu juga CD.’
‘Bukan itu, Oscar. Tetapi menunggu kamu hingga jadi musikus dan mempunyai cukup uang untuk membiayaiku,’ canda Irene.
‘Membiayaimu?’ tanya Oscar serius.
‘Ya, mengapa tidak? Aku yang mengajarimu main biola. Kamu nanti pasti akan menjadi pemain biola handal. Pasti nanti uangmu berlimpah,’ hibur Irene. Oscar berdecak senang. Oscar boleh mempunyai cita-cita setinggi itu. Dia mempunyai sesuatu yang kuat untuk menunjukkan cita-citanya. Usia muda, bakat, dan satu lagi, dia hidup di Amerika yang membuka banyak kesempatan untuk dirinya. Irene tahu itu, dia tidak hanya sekedar bergurau.
Kami masih bermain lagi, membawakan lagu-lagu ringan sebelum kami saling mengucapkan selamat malam karena kantuk yang tidak dapat di tahan lagi. Maka berlalulah sebuah malam yang indah.
Λ
Pagi itu aku kaget setengah mati ketika menjumpai Papa masih di rumah padahal aku sudah bangun terlambat.
‘Belum pergi, Papa?’
‘Aku sengaja menunggu hingga kamu bangun,’ jawab Papa.
‘Menungguku? Mengapa?’ tanyaku tak habis pikir sebab belum pernah Papa pamitan padaku sebelum pergi.
‘Aku harus pergi untuk beberapa hari, jadi kurasa aku wajib untuk memberitahumu. Semalam aku lupa mengatakannya.’
‘Mengapa Papa tidak membangunkanku?’
‘Tidak perlu tergesa-gesa. Konperensinya baru dibuka sore nanti.’
‘Konperensi?’
‘Ya. Konperensi di Universitas Ohio di Colombus.’
‘Universitas Ohio?’ tanpa kusadari aku telah membeo setiap ucapan Papa dan rupanya Papa menyadarinya.
‘Universitas Ohio memiliki fakultas pertanian yang terbaik di seluruh Amerika dan sering mengadakan konperensi dengan para petani. Karena Papa kebetulan seorang petani dan kebetulan pula Alumni dari sana, maka Papa mendapat undangan.”
‘O, . . . ‘ aku Cuma bisa melongo. Kemudian Papa mengeluarkan dompetnya dan menarik beberapa lembar ratusan dollar yang segera di ulurkannya kepadaku.
‘Belilah sesuatu. Kamu belum pergi ke mana-mana sejak kedatanganmu kemari. Besok pagi Irene akan ke kota, kamu bisa ikut dengannya.’
‘Terimakasih, Papa, tapi aku masih mempunyai sisa uang pemberian Mama,’ tolakku sok aksi.
‘Lucy, kali ini pemberian Papa,” Papa memaksa. Kuterima juga akhirnya uang itu dan kumasukkan ke saku celanaku.
‘Aku sudah membuka rekening bank untukmu. Dua atau tiga hari lagi kamu akan menerima kartu ATM. Sementara itu, kalau engkau kekurangan uang, bisa meminta pada David. Oke, Lucy, Papa pergi dulu,” kata Papa. Meminta pada David? Huu . . . rasanya lebih baik aku mati kelaparan daripada meminta darinya. Kuantar Papa sampai ke mobilnya. Begitu mobil itu menghilang aku segera mencari Denver dan memacunya ke hutan pinus.
Λ
Irene begitu cekatan dalam membeli barang-barang yang di butuhkannya. Dia telah mencatat apa-apa yang akan dibelinya sehingga dia tinggal memberi tanda barang-barang apa saja yang sudah di ambilnya. Untuk berbelanja sebanyak empat kereta belanja dia tidak memerlukan waktu lebih dari satu jam. Sedang aku . . . mencari sebuah ransel untuk Adit saja telah menghabiskan waktu beberapa jam! Mungkin karena kecekatannya itulah Irene di beri tugas untuk berbelanja ke kota seminggu sekali.
Sebelum ke kasir, irene mengeluarkan bundelan kertas yang ternyata merupakan kupon discount yang di kumpulkannya dari majalah-majalah atau bekas pembungkus yang lama.
‘Cara untuk mendapatkan uang ekstra,” bisik Irene lugu sambil tersenyum. Potongan harga yang di dapat Irene lebih dari sepuluh persen dari jumlah seluruh belanja. Dari uang itu dia membeli sebuah majalah sport dan CD untuk Oscar.
‘Irene, kamu begitu memperhatikan Oscar,’ cetusku tak bertahan dalam perjalanan pulang. Irene memandangku sejenak sebelum menjawab.
‘Saya tidak tahu mengapa, tapi saya menyayanginya.’
‘Yah, kurasa semua orang menyayangi Oscar,” pendapatku. ‘Apakah kamu mempunyai adik, Irene?’ tanyaku kemudian. Lama dia tak menjawab. Hampir saja aku mengira Irene tak mendengar apa yang kutanyakan kepadanya ketika tiba-tiba saja dia menghembuskan nafas panjang. Aku tahu Irene tak suka menceritakan tentang dirinya. Seharusnya aku tak bertanya tadi.
‘Engkau tidak harus menjawab,’ kataku. Aku sama sekali tak mengira hal itu ternyata justru memancing Irene untuk menjawab.
‘Tidak ada yang perlu di sembunyikan, Miss Lucinda. Aku tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tidak saudara dan tidak pula orang tua,” kata Irene datar. Astaga, . . sadisnya aku. Mengapa aku selalu ingin tahu urusan orang lain. Kalau tadi aku tak ertanya tentu Irene tidak harus menjawab dan kalau Irene tidak harus menjawab dia tidak akan teringat kisah sedihnya.
‘Irene,’ panggilku lirih, ‘Kamu mempunyai seseorang di dunia ini,. . . aku. Maukah engkau menjadi temanku, Irene?’ Irene menatapku tak percaya.
‘Miss Lucinda?’
‘Panggil aku Lusi. Kita sekarang adalah teman,’
‘Miss … ‘
‘Lusi,’ potongku cepat.
‘Oke, Lusi.’ Irene tergagap tetapi sebuah senyum manis tersinggung di bibirnya yang tipis. Ya Tuhan aku sangat kenal dengan senyum itu. Tetapi senyum siapa? Irene jarang tersenyum. Lalu senyum siapa yang persis dengan senyum itu?
Λ
Aku sedang membenamkan diri dalam lamunan di tepi telaga ketika kudengar kaki kuda berderap mendekatiku. Kulirik Denver. Dia masih berada di tempatnya semula. Lalu siapa? Georgie dan Oscar sejak tadi pagi sudah pergi ke ladang apel. Derap kaki kuda itu makin mendekat. Kusibakkan daun pinus yang ada dibelakangku dan mengintip. David?!! Mau apa dia kemari? Ingin benar aku melarikan diri tapi sudah tak mungkin lagi karena David sudah terlalu dekat. Dia akan segera melihatku. Kuurungkan niatku dan duduk lagi dengan cemas. Apa pun yang akan terjadi, terjadilah.
David dan kudanya muncul di dekat Denver. Dia tidak kaget ketika melihatku, berarti dia sudah tahu aku berada di sini. Tapi mengapa dia masih datang juga? Apa yang ingin dia lakukan? David meloncat turun dari kudanya dan berjalan ke arahku. Dia menatapku tajam. Kutantang matanya. Aku tidak mau menunjukkan rasa takutku, dia akan menertawakannya. Akibatnya kami saling memberingaskan mata berusaha menundukkan satu sama lainnya.
‘Aku membawa kabar buruk buatmu.’ David memulai tanpa emosi. Bayangan Mama melintas dalam pikiranku. Ada apa dengan Mama?
‘Ada apa?’ tanyaku lemah. Tidak lagi kuingat untuk menentang matanya. Aku tidak ingin apa-apa lagi.
‘Papa terkena serangan jantung sewaktu konperensi,’
‘Papa?’ tanyaku sumbang. Jadi bukan Mama.
‘Ya.’
‘Papa terkena serangan jantung?’ ulangku. ‘Apakah Papa sering mendapat serangan jantung seperti itu?’
‘Ya dan tidak,’ jawab David. “Ya, Papa mendapat serangan jantung tapi Papa belum pernah mendapat serangan jantung hingga kamu datang kemari.’
‘Apa maksudmu?’
‘Untuk apa sebenarnya engkau datang kemari?’ tanya David tak menjawab pertanyaanku.
‘Untuk apa kamu datang kemari, Lucinda?’ tanya David lagi ketika aku tidak menjawab pertanyaannya.
‘Apa hubungan antara kedatanganku dengan penyakit Papa?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu belum menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ sahut David congkak.
‘Aku takkan menjawab sebelum engkau menjawab pertanyaanku.’
‘Aku yang bertanya lebih dahulu,’ bantah David keras.
‘Aku tidak harus menjawab pertanyaanmu,’ aku tidak mau kalah. Hutan yang tadi sepi kini mulai gaduh. Burung-burung mulai berterbangan dengan hingarnya, terganggu oleh pertengkaran kami.
‘Oke, dengar baik-baik, Miss Lucinda. Dokter Papa baru saja menelponku, bahwa Papa sudah dalam perawatan. Dan dokter tadi juga menanyakan apakah ada peristiwa mengejutkan yang terjadi dalam hidup Papa. Tak ada! Kecuali kedatanganmu kemari.’
‘Itu bukan alasan yang sesungguhnya. Engkau hanya menduga,’
‘Lalu apa?’ tantang David. ‘Bisakah kamu menamakan peristiwa yang telah mengejutkan Papa selain kedatanganmu?
‘Aku tidak tahu. Tapi aku yakin bukan aku penyebabnya.”
“Bukan kau? Lalu siapa? Aku?” David tertawa sinis.
‘Hentikan tuduhanmu yang tidak relevan itu,’ jeritku panas.
‘Memang tidak relevan, tapi masuk akal,’ bantah David geram. “Enam belas tahun yang lalu ibumu juga telah berlaku kejam terhadap Papa, meninggalkannya tanpa pesan. Dan sekarang kamu mau mengusik kehidupan Papa yang sudah tentram. Apa maumu, Lucinda?’
David mengalamatkan Mama dengan ‘ibumu’ bukan ibu kita atau Mama. Hal itu benar-benar menyakitkan hatiku.
‘Mama punya alasan kuat untuk meninggalkan Papa,’ belaku.
‘Alasan kuat? Bah!! Ibumu telah tergila-gila dengan pria hingga dia tega meninggalkan keluarganya. Apakah itu alasan kuat?’ kecam David. Aku seperti kena tampar mendengar kata-katanya yang kejam. Dia mengomentari wanita yang telah melahirkannya dengan kata-kata serendah itu. Kemarahanku mencapai puncaknya. Mama telah di hina, aku harus membelanya.
‘Tarik kembali kata-katamu yang kurang ajar itu!’ hardikku
‘Aku hanya mengatakan sebuah fakta tentang ibumu,’ ucap David begitu tenangnya.
‘Dia ibumu juga dan dia tidak serendah itu.’
‘Dia ibumu, bukan ibuku. Dia talah memailih untuk menjadi ibumu dan Papa telah memilih untuk menjadi ayahku. Aku tidak pernah mempunyai seorang ibu,’ sahut David. Tuhan apa jadinya jika Mama mendengar apa yang baru saja di ucapkan David?
‘Sekarang kamu harus menjawab pertanyaanku. Untuk apa kau datang kemari?’ Tanya David lagi. Aku tidak menjawabnya. Tidak ada gunanya bercakap-cakap dengan manusia setan seperti dia.
‘Berarti dugaan Deidre benar,’ gumam David.
‘Apa dugaannya?’ tanyaku benar-benar ingin tahu.
‘Engkau datang untuk mencari warisan,’ jawab David seenaknya. Oh, dia mengira aku serendah itu? ‘Tapi harap kau ingat, Lucy. Engkau tak bakal menerima sesen pun dari Papa,’ lanjut David.
Kemarahanku sudah tak terkendalikan lagi. Bukan karena mendengar aku tak bakal menerima warisan, tetapi karena David mempercayai omongan wanita murahan macam Deidre.
‘Aku tidak datang untuk itu. Aku tak butuh uang ayahmu,’ teriakku. Aku pun ikut-ikutan dengan memanggil Papa sebagai ‘ayahmu’.
‘Oh ya? Lalu untuk apa?’ tanya David tak percaya.
‘Untuk menemui Ayahku.’
“Dia bukan ayahmu lagi.”
‘Hubungan Ayah dan anak tidak bisa hilang begitu saja sebagaimana hubungan ibu dan anak,” sanggahku. David tertawa sinis. Alangkah bencinya aku mendengar tawanya.
‘Kamu salah. Lucinda. Hubunganmu dengan Papa sudah putus sejak pengadilan memutuskan perceraian ibumu dengan ayahku dan kamu menjadi tanggung jawab ibumu. Kalau kamu masih menerima kiriman uang dari Papa itu karena Papa bermurah hati kepadamu dan kamu harus berterimakasih untuk itu.’
‘Sudah kewajibannya untuk membesarkanku..’
‘Benarkah itu? Apakah engkau belum besar sekarang? Berapa umurmu? Sembilan belas tahun. Padahal batas usia besar itu delapan belas tahun. Papa tidak mempunyai kewajiban lagi terhadapmu. Fair is fair, Miss Lucinda,’ kata David sambil tersenyum penuh kemenangan. Aku tidak bisa menjawab. Ingin benar aku menangis tapi sekuat tenaga kutahan. David akan lebih girang lagi bila dapat melihat aku menangis.
‘Maaf aku telah menghancurkan harapanmu,’ kata David sinis. Kemudian dia berjalan menjauhiku.
‘Aku benci kamu! Benci sekali!’ teriakku. David menoleh.
‘Sama-sama, Miss Lucinda. Aku juga membencimu. Benci sekali,’ ucapnya angkuh. Inilah dia … dua saudara kembar yang telah disatukan tetapi apa yang diucapkan adalah kata-kata penuh kebencian.
Setelah David berlalu barulah aku teringat kembali kepada Papa. Mengapa kami harus bertengkar sementara Papa sedang menderita? Apakah benar aku telah mengejutkan Papa? Tetapi mungkinkah itu? Bagaimanapun juga aku adalah anak Papa dan Mama toh sudah meminta persetujuan Papa apakah aku boleh tinggal bersamanya atau tidak.
Kembali aku teringat penghinaan David tadi. Dia begitu keras kepala dan angkuh. Apakah dengan kata-katanya tadi dia telah mengusirku secara tak langsung? Apakah aku harus pulang kepada Mama? Tuhan, jangan biarkan hal itu terjadi. Bukannya aku tidak mau bertemu dengan Mama. Tetapi jika aku pulang, Mama akan segera tahu apa yng sesungguhnya terjadi. Mama akan tahu aku tidak diinginkan di sini. Mama akan tahu anak sulungnya tidak menganggap Mama sebagai ibunya lagi. Tetapi jika aku tidak pulang, tidak malukah aku? Haruskah aku menebalkan muka dengan tetap tinggal di sini dan membiarkan David melakukan penghinaan seenak perutnya? Aku benar-benar bingung.
to be continued …









