Be My Valentine
Posted by Laily Lanisy
Steve berjalan di depanku sambil menarik sled, kereta salju berwana merah menyala. Dari mulutnya terdengar siulan Poker Face-nya Lady Gaga. Sesekali dia menoleh ke belakang, melihat kalau-kalau aku sudah tertinggal jauh. Bila jarakku dengannya lumayan jauh dia akan menghentikan langkahnya dan memandangku sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lucu. Bila sudah demikian aku merasa tertantang dan kupercepat langkahku.
‘Capai, Princess?’ tanya Steve ketika melihat langkahku mulai tidak karuan. Berjalan di salju yang begini tebalnya memang sulit. Sudah dingin, berat lagi, sehingga kaki malas untuk bergerak.
‘Duduklah di atas sled ini, nanti kutarik,’ usul Steve. Kakak AFS-ku yang satu ini memang selalu manis dan penuh perhatian. Aku menggeleng. Aku belum terlalu gila untuk membiarkan dia setengah mati menarikku seentara aku enak-enak duduk.’
‘Nggak mau ah. Nggak lucu,’ tolakku. Steve mengangkat bahu sambil meneruskan langkahnya lagi. Poker Face-nya kembali terdengar. Tiba-tiba kami melihat sebuah truk berhenti di jalan jauh di depan kami.
‘Nasib kita sedang mujur, Princess,’ seru Steve, ‘truk itu kelihatannya menunggu kita,’ lanjutnya sambil menarik tanganku dengan tangan kirinya agar aku bisa berjalan lebih cepat.
“Hai !!!’ teriak Steve setelah kami agak dekat dengan truk tersebut, ‘Boleh kami numpang?’ tanyanya, Sebuah kepala tersembul keluar dari jendela. Mati aku!!!
Kepala yang tersembul keluar dari jendela truk itu ternyata milik Timothy Clements, manusia paling kubenci di negerinya Obama ini. Jauh-jauh dari Indonesia aku datang ke negeri ini dengan berbekal cinta selautan India, tanpa seujung kuku kebencian. Kecuali untuk manusia bernama Timothy Clements ini. Aku tidak bisa membendung rasa ketikdaksukaanku terhadapnya. Aku tahu ini tidak sesuai dengan motto “AFS is Love…AFS is brotherhood”. Tapi mau dibilang apa, perasaan itu muncul dengan sendirinya. Semakin hari semakin kuat, tanpa perlu dipupuk dan disemai.
♥
Aku tidak bisa melupakan pertemuan pertamaku dengannya. Hari itu hari pertamaku masuk sekolah. Semuanya serba baru dan asing, sehingga sedikt membuatku grogi. Pada waktu aku berdiri di depan pintu masuk tiba-tiba saja bel berdering dengan nyaringnya. Semua murid yang masih berada di halaman sekolah berlarian masuk dan melewatiku. Tiba-tiba seseorang menabrakku dari belakang. Semua buku dan ballpoint yang berada di tanganku jatuh dan berserak di bawahku. Belum lagi hilang rasa kagetku, pemuda yang menabrakku tadi berteriak.
‘Hei, tolol, jangan berdiri di depan pintu!’ Kupandang dia sekejab dan dalam hati aku berkata, aku tidak akan pernah melupakannya. Aku benar-benar sakit hati. Pelan-pelan aku menunduk dan memunguti buku-bukuku.
‘Jangan dengar omongannya,’ tiba-tiba seorang gadis telah berjongkok di depanku dan membantuku mengumpulkan buku-bukuku. Gadis tersebut kemudian kukenal sebagai Andrea Simons.
‘Itu tadi Tim. Timothy Clement,’ Andrea menerangkan, ‘murid paling urakan di sekolah ini. Dia pikir semua anak menyukainya karena dia cerdas dan bintang lapangan. Itulah sebabnya omongannya sering ngawur dan seenaknya. Engkau tidak perlu menggubrisnya,’ saran Andrea. Saran itu kemudian kuturuti dengan baik. Aku tidak pernah menggubrisnya. Sama sekali tidak pernah. Tersenyum padanya pun aku belum pernah, apalagi meluangkan waktu untuk bertegur sapa. Padahal banyak kelas-kelasku yang sama dengan kelasnya. Bahkan, pada mata perlajaran American Government, Tim duduk tepat di belakangku.
Dan kini kami akan numpang truknya? Aduh, harus kubuang kemana gengsi ini?
‘Steve, kita jalan kaki saja,’ bisikku pada Steve. Steve membelalakkan matanya tidak percaya. Tim yang mendengar bisikanku tersenyum lebar sambil membuka pintu truk-nya.
‘Cepat naik, Princess. Kamu bisa mati kedinginan di situ. Lihat, wajahmu sudah kebiru-biruan,’ ucap Tim. Aku benar-benar dongkol mendengar dia ikut-ikutan memanggilku Princess, panggilan sayang keluarga Amerikaku yang tidak bisa melafalkan namaku dengan benar.
‘Ayo, Princess!’ ajak Tim lagi. Tiba-tiba angin berhembus dari utara. Brrrr…. dinginnya. Terpaksa kuturuti ajakan Tim, meloncat naik ke dalam truknya dan duduk di sampingnya.
Selama perjalanan, aku diam bak patung Rara Jonggrang. Dingin dan angkuh. Semua perkataan Tim, Steve yang menimpalinya. Tak sekalipun aku menyumbang suara. Steve pula yang bercerita kalau kami baru saja pulang dari Sled Riding di bukit di belakang sekolah dan pulangnya ingin mengukur kekuatan dengan berjalan kaki…. dan ternyata tidak kuat.
‘Kamu bisa bermain sled, Princess?’ tanya Tim. Kudiamkan.
‘Oh, dia mahir,’ Steve yang menjawab. Aku tahu Steve merasa tidak enak mendengar pertanyaan Tim hilang ditelan keheningan.
‘Kalian ikut main ski di Crystal Mountain tanggal 12 yang akan datang?’ tanya Tim beberapa saat kemudian.
‘Ya,’ jawab Steve mantap. ‘Kamu ikut?’ sambung Steve dengan pertanyaan. Tim mengangguk sambil tersenyum. Aku berdoa agar cepat sampai di rumah sehingga tidak harus mengunci mulut macam ini.
Begitu sampai di depan halaman rumah, aku segera turun dan berlari meninggalkan Tim. Aku yakin Steve akan mengucapkan terima kasih untuk kami berdua, jadi aku tidak perlu mengucapkannya.
‘See you, Princess!’ teriakan Tim terdengar sebelum aku menghilang di balik pintu garasi. Sepatu boot kulepas di depan pintu dapur. Mom bisa histeris kalau aku masuk dapur dengan sepatu itu. Lantai dapur kami selalu dalam kondisi mengkilat tanpa noda.
‘Astaga, Princess, ada apa denganmu?’ seru Steve yang telah menyusulku sambil meletakkan sled di sudut garasi. ‘Kamu tidak mendadak menjadi bisu kan?’
‘Steve, kamu tahu jawabnya dengan pasti,’ sahutku sambil masuk ke dapur. Mom dan Robby yang ada di dapur menoleh ke arahku.
‘Hello, sudah pulang?’ tegur mereka serentak.
‘Ya,’ jawabku sambil melepas topi dan kaus tangan. Kugerak-gerakkan badanku untuk menghilangkan dinginnya udara luar.
‘Cepat mandi air hangat. Kalian terlalu lama bermain di luar,’ perintah Mom. Cepat-cepat aku berlari ke lantai atas untuk mandi.
♥
Kembali ke dapur kujumpai Robby tengah menggunting kertas merah muda menjadi guntingan-guntingan berbentuk hati. Begitu melihatku Robby langsung beranjak dari kursinya dan mengambil segelas cokelat susu panas lengkap dengan marshmallow. Gelas itu lalu diulurkannna kepadaku.
‘Untukmu, Princess,’ ucapnya. Aku heran.
‘Kok tumben? Kamu membuatku curiga, Rob. Biasanya kamu tidak semanis ini,’ komentarku.
‘Pasti ada apa-apanya,’ tebak Mom. Rob tersenyum dan dari senyuman itu aku tahu kalau tebakan Mom tepat.
‘Rob, aku mau juga segelas,’ kata Steve yang tiba-tiba muncul di dapur.
‘Buat sendiri,’ sahut Robby acuh. Steve tertawa keras, kemudian berjalan mendekati Robby dan meninju punggungya. Terpaksa dia harus membuat sendiri minuman yang diinginkannya.
‘Kamu bikin apa, Rob?’ tanyaku sambil duduk di dekat Robby dan mengambil salah satu hati kertasnya.
‘Kartu Valentine,’ jawab Robby sambil mengulurkan selembar kertas degan tulisan tangannya
‘Apa ini?’ tanyaku keheranan.
‘Kamu tahu tulisanku jelek dan sulit dibaca, Princess. Sementara tulisan tanganmu sangat indah. Aku ingin mengirim kartu ini untuk gadis yang sangat istimewa. Aku tidak ingin dia tahu kalau tulisanku kacau. Aku minta tolong kamu untuk menuliskan kata-kataku ini,’ Robby menjelaskan. Mom dan Steve tergelak mendengar kata-kata Robby. Robby tetap menjaga sikap kalemnya seakan tidak mendengar gelak tawa ibu dan kakaknya.
‘Jadi ini nih upah membuatkan coklat susu tadi?’ tanyaku.
‘Ya, you can put it that way,’ sahut Robby tanpa sungkan-sungkan. Karena coklat susu sudah terlanjur kuminum, maka tidak ada jalan lain kecuali memenuhi permintaan Robby. Kusalin tulisan tangan Robby yang persis cakar ayam ke atas kertas merah mudanya. Kata-kata cinta Robby untuk gadis istimewanya benar-benar puitis. Lebih puitis dari lagu-lagunya Sheila on 7. Barangkali Robby mendapatkan kata-kata itu dari internet. Rasa-rasanya mustahil, Robby yang umurnya belum genap sebelas tahun bisa menuliskan kata-kata yang begitu cantik. Mau juga aku menerima kata-kata cinta seperti ini dari seorang pemuda. Biarpun pemuda itu mengambil kata-kata orang lain di internet.
‘Princess,’ panggil Mom begitu aku menyelesaikan tulisanku. ‘Kamu sudah menemukan Valentine-mu?’
‘Sudah!’ jawab Steve cepat. Kupelototi dia, tapi dia malah senyam-senyum kayak monyet dilemparin kacang rebus.
‘Siapa?’ tanya Mom dan Robby antusias.
‘Nggak marah kalau kukatakan kepada mereka?’ Steve meminta persetujuanku.
‘Steve, jangan mengada-ada,’ ancamku
‘Aku tidak mengada-ada. Apa yang mengantar kita tadi bukan Valentine-mu? Kalau bukan mengapa duduk di sampingnya saja membuatmu bisu?’ oceh Steve. Aku benar-benar gondok mendengar argumentasi Steve. Teganya dia menuduhku seperti itu. Kuambil spidol-spidol Robby dan kulemparkan ke arahnya. Dalam kesibukannya melindungi wajahnya dari spidol-spidol terbang itu, Steve masih sempat tertawa gelak. Uggh… menyebalkan!!!
♥
Tanggal sebelas Februari pagi, rombongan kami meninggalkan halaman parkir sekolah menuju ke Crystal Mountain, yang letaknya tidak jauh dari kawasan Mount Rainier National Park. Rombongan kami terdiri dari dua puluh delapan anak yang tergabung di dalam ski club dan dua guru pengawas yang kesemuanya mahir bermain ski (kecuali aku tentu saja). Kami akan mengadakan kegiatan ski di sana selama dua hari. Tanggal 13 sore kami akan pulang sehingga kami bisa merayakan Valentine’s Day di rumah. Namun, rencana tinggal rencana.
Dua hari pertama kami bisa melakukan kegiatan ski dengan baik. Udara bear-benar indah, dengan matahari yang bersinar cemerlang. Tetapi di hari ketiga, cuaca berubah drastis. Sejak dini hari salju turun dengan lebatnya, sesekali disela dengan hujan deras. Mulai jam enam pagi terjadilah badai salju yang seakan tidak pernah mau berhenti. Angin menderu-deru, menggoyang-goyangkan pohon besar ke sana ke mari. Kami tidak bisa keluar dan terkurung di penginapan kami. Dari televisi kami mendengar berita bahwa sebagian besar jalan di Negara Bagian Washington ditutup. Apalagi jalan menuju ke puncak-puncak pegunungan seperti ke Crystal Mountain ini. Tidak mungkin bagi kami untuk pulang ke Seattle. Lagi pula bis yang kami tumpangi telah terkubur salju di halaman parker penginapan.
‘Seharusnya salju tidak turun begini lebat di bulan Februari,’ kudengar sebuah komentar di belakangku. Saat itu aku sedang berdiri di depan jendela kaca sambil memperhatikan salju yang berputar-putar dipermainkan angin. Aku menoleh. Tim ada di belakangku ikut menyaksikan apa yang aku saksikan.
‘Kamu sudah menelpon keluargamua kalau kamu tidak bisa pulang hari ini?’ tanya Tim penuh perhatian. Aku bisa saja membiarkan pertanyaannya tidak terjawab. Tapi entah mengapa aku tidak tega untuk melakukannya.
‘Steve telah menelp0n tadi,’ jawabku. Tiba-tiba Tim mengembangkan senyumnya.
‘Kamu tahu, Princess, itu tadi kalimat pertama yang kamu ucapkan kepadaku,’ kata Tim dengan senyuman yang masih berkembang di bibirnya. Aku terdiam. ‘Aku tidak pernah mengerti mengapa kamu tidak pernah mau bicara kepadaku. Semua anak di sekolah mengatakan kalau kamu ramah dan banyak omong. Ratusan kali aku memancingmu untuk berbicara, tapi kamu seakan tidak mau tahu. Ada apa sebenarnya?’
Kupandang dia sejenak. Jadi kamu tidak tahu kalau aku membencimu? Kamu tidak tahu kalau kamu dulu pernah menyinggung perasaanku? Tapi semua itu hanya kubatin, tidak kuucapkan.
‘Tidak ada apa-apa,’ jawabku.
‘Kalau tidak ada apa-apa mengapa kamu tidak pernah mau bicara atau menjawab pertanyaanku?’ kejar Tim tidak puas. Untung saat itu Michelle dan Debby memanggilku untuk bergabung bersama mereka main monopoly, sehingga aku terhindar dari keajiban untuk menjawab pertanyaan Tim.
‘Sebentar, Princess,” ucap Tim menghadangku.
‘Apakah … apakah?’ Tim kelihatan ragu untuk melanjutkan. ‘Apakah kata-kataku di hari pertamamu di sekolah dulu sangat menyakitkan hatimu?’ akhirnya mampu juga dia meneruskan kalimatnya. Jantungku berhenti berdetak. Na……., akhirnya kamu tahu juga.
‘Ya, pasti itu sebabnya,’ gumam Tim. “Princess, maafkan aku. Saat itu aku benar-benar terburu-buru. Guru di homeclassku sangat keras. Telat sedetik pun kami harus minta surat ijin dari administrasi. Aku ingat waktu itu aku bersikap kasar terhadapmu. Maukah kamu memaafkanku, Princess. Please …,” pintanya. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Memaafkan dia?
♥
Puncak dari badai itu terjadi di malam hari. Di saat kami sudah berada di kamar masing-masing seiap dengan mimpi tentang Valentine besok pagi. Di tengah menderunya angin dan berisiknya pohon yang bertumbangan, tiba-tiba aliran listrik di seluruh penginapan terputus, berarti sebentar lagi kami semua akan kedinginan tanpa pemanas listrik.
‘Tetaplah disini, Princess, aku akn mencari lilin sebentar,’ pesan Andrea yang tidur sekamar denganku.
Sekeluar Andrea aku duduk mematung di atas tempat tidurku sambil mendengarkan angin yang menderu mengerikan seakan sanggup untuk menerbangkan semua yang ada di atas bumi ini. Tiba-tiba kudengar suara benda yang sangat berat jatuh dari atap disusul gemerincing suara kaca pecah. Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi karena diselilingku hanyalah kepekatan. Tetapi sejenak kemudian aku mulai merasakan lelehan salju menyentuh kulitku. Astaga, yang jatuh tadi ternyata atap. Aku harus segera keluar dari kamar.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Tetapi begitu kakiku menyentuh lantai, secara refleks terangkat lagi. Kakiku terasa nyeri luar biasa. Kusentuh dengan tanganku dan kudapatkan potongan kaca menancap di sana. Pelan-pelan dan sambil menahan rasa sakit, kucabut potongan kaca itu. Untung keadaan kamarku gelap gulita, sehingga aku tidak bisa melihat darah yang mungkin mengalir dari telapak kakiku. Kalau tidak, bisa pingsan aku.
‘Princess! Princess!! tiba-tiba kudengar teriakan-teriakkan memanggil namaku. Juga kulihat sinar-sinar lampu senter yang menyorot kesana kemari. Dan akhirnya singgah di wajahku.
‘Oh, my God!’ kudengar sebuah seruan yang aku yakin berasal dari Tim. Kejadian yang berlangsung sesudahnya sangat cepat. Tim melepas T-shirt yang dikenakannya untuk membungkus kakiku yang ternyata sudah penuh dengan darah. Kemudian dia dan Steve membawaku ke lobby dimana semua temanku berkumpul di sekitar tungku api. Mereka semua lantas mengerumuniku dan memberondongiku dengan pertanyaan apakah aku tidak apa-apa, sementara Mr Toda dan Miss Morris mengganti T-shirt Tim dengan perban.
Sesudah lukaku bersih, Joe, si manager malam hotel, memberiku segelas kecil anggur untuk menenangkanku dan sebuah kamar di lantai dasar dengan pemanas api yang menyala hangat. Entah karena pengaruh anggur, malam itu aku bisa tidur nyenyak sementara kawan-kawanku terpaksa tidur di lantai lobby di sekitar tungku api. Bukan salahku jika aku harus terkena pecahan kaca.
♥
Pagi harinya cuaca kembali seperti semula. Cerah dan tenang. Badai telah berlalu. Yang ada sekarang hanyalah nyanyian burung yang bercanda di bawah sinar matahari.
Ketika keluar dari kamarku dengan kaki yang masih agak pincang, aku disambut dengan ciuman-ciuman dan ucapan ‘happy valentine’ dari mereka-mereka yang semalam tidur di lantai tapi kini toh mereka mempunyai wajah yang cerah. Wajah cinta. Wajah Valentine. Tetapi aku tidak menjumpai satu wajah di sana. Dimana dia?
‘Siapa yang kamu cari?’ tanya Steve.
‘Valentine-ku,’ sahutku.
‘Aku disini …,’ tiba-tiba Tim telah berdiri di depan pintu dengan bungkusan berbentuk hati berwarna merah muda dengan pita berwarna merah menyala di tangannya. Aku tidak tahu bagaimana warna mukaku saat itu. Malu bercampur senang. Tim kemudian berjalan mendekatiku. Diulurkan bungkusan yang dibawanya itu kepadaku.
‘Be my Valentine,’ ucapnya lirih tapi pasti. Memang ucapannya itu tidak sepuitis ucapan Robby kepada gadis istimewanya, tapi bagiku ucapan itu tidak kalah indahnya. Dan ketika Tim memberiku ciuman di pipiku, aku tahu aku telah menemukan Valentine-ku.
Happy Valentine, everybody.
Posted on May 24, 2011, in Short Stories and tagged Jadilah Valentine-ku, Laily Lanisy, Novelette, Stories, Valentine. Bookmark the permalink. Leave a comment.
Leave a comment
Comments 0