Melintas Perbatasan (Bagian 2)
Indi adalah mahasiswa terakhir yang datang di Auditorium pada Jum’at pagi. Semuanya telah berada di dalam bis dan siap untuk berangkat. Begitu dia masuk ke dalam bis, greyhound itu segera meluncur meninggalkan Auditorium tanpa menunggu Indi duduk terlebih dahulu.
‘Uuueet, setan gundul!’ umpat Indi dalam bahasa Indonesia ketika dia hampir terjerembab ke depan.
‘Tidak baik gadis mengumpat,’ tegur Kahar. Indi nyengir mendengar kata-kata Kahar. Tanpa berkomentar dia menuju ke bis bagian belakang karena dia melihat Tom ada di depan. Dia sudah berjanji kepada Diane untuk menjauhi Tom sejauh-jauhnya.
‘Por favor,’ Juan mempersilahkan Indi duduk di sampingnya, di kursi paling belakang bersebelahan dengan toilet.
‘Gracias,’ jawab Indi sambil duduk. Koper kecil yang dibawanya diletakkan di bawah kursinya.
Bis mereka meluncur cepat meninggalkan kota Kent menuju ke Interstate Highway yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.
Selama perjalanan itu Indi lebih banyak berdiam diri. Dia memandang ke luar jendela ke hutan-hutan buatan di tepi jalan raya yang dibuat untuk mengurangi polusi. Sesudah matanya lelah dia memejamkan matanya. Juan yang duduk di sampingnya asyik membaca buku politik. Dari gambar sampulnya Indi tahu kalau buku itu tentang politik Hugo Chavez di Venezuela.
Mauricio dan Manuel dua mahasiswa Brazil yang duduk di depan Indi mulai membawakan lagu-lagu Spanyolnya dengan iringan gitar yang ngawur. Mula-mula bunyi gitar dan nyanyian mereka tidak begitu mengganggu Indi, tetapi lama-kelamaan mengganggu juga. Apalagi ditambah suara Luis yang ikut-ikutan menyanyi.
‘Hey, Brazil gila, kalau enggak becus nyanyi jangan nyanyi,’ teriak Indi sambil menggoyang-goyangkan kursi di depannya. Mauricio bangkit dan menoleh kebelakang. Diangkatnya gitarnya tinggi-tinggi dan berkata,
‘Si, senorita. Will you play this guitar?’ Dia tersenyum menawan. Giginya putih-putih dan rata. Indi menggeleng.
‘Kalau aku yang memainkannya sudah pasti permainanku jauh lebih indah dari permainanmu. Aku takut kamu menjadi minder.’ Yang mendengar perkataan Indi tertawa keras, yang duduk di depan menoleh semua.
‘Omonganmu besar, tetapi kamu sebenarnya tidak bisa,’ olok Manuel dan Luis bersamaan.
‘Ha ha ha, kalian butuh bukti? Berikan gitarmu, Mauricio,’ pinta Indi. Mauricio mengulurkan gitarnya. Juan berhenti membaca dan ikut nimbrung.
‘Oke apa yang kalian minta?’ tanya Indi dengan posisi siap untuk bermain gitar.’ ‘Barbacoa, burrito, carnita, enchiladas, quesadilas, tortillas, chimichangas atau guacamole?’ kata Indi secepat kilat menyebutkan nama-nama makanan yang ada di dalam menu Salsalitas, restoran Mexico kegemarannya. Karena yang ada di bagian belakang bis rata-rata mahasiswa dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah, maka tidak heran kalau tawa mereka meledak. Tawa itulah yang mengundang mereka-mereka yang duduk di depan untuk bergabung di bagian belakang bis.
‘Indi, kamu mau menyanyi atau tidak?’ tanya mereka.
‘Oh, si,’ Indi mengiyakan. Kemudian dia memetik gitar itu dengan jemari ahlinya. Semuanya terpukau dan mereka lebih terpukau lagi ketika Indi mulai menyanyikan syair Bésame Mucho dengan gaya jazz tanpa cela.
Bésame, bésame muchoComo si fuera esta noche
La última vez Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a perderte
Perderte después Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi
Piensa que tal ves mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti
Tepukan hangat terdengar ketika Indi menyelesaikan lagu itu.
‘Gracias. Gracias,’ ucap Indi sambil membungkuk. Tiba-tiba Luis berseru nyaring,
‘Tom, kamu dengar permintaan Indi barusan? Besame Mucho! Kiss me much!.’ Indi kaget bukan main. Dengan perbendaharaan bahasa Spanyolnya yang minim dia mencoba menerjemahkan lagu itu di dalam kepalanya. Kira-kira isinya seperti ini.
Cium aku, terus cium akuSeakan malam ini,
malam terakhir kita Cium aku, terus cium aku
Aku takut kehilanganmu,
Kehilanganmu lagi Aku ingin bersamamu
Menatap matamu
Berada di sampingmu
Mungkin besok
Aku akan jauh darimu
Sangat jauh darimu
Mengapa aku harus menyanyikan lagu yang merana seperti itu, sesal Indi dalam hati. Teman-temannya tertawa senang. Oh, besame mucho… Ciumi aku! Indi malu sekali. Semua darahnya seakan mengalir ke wajahnya. Tawa Luis makin menjadi-jadi. Indi hanya bisa memandang Luis gusar. Tiba-tiba mata Indi bertubrukan dengan mata Tom yang entah sejak kapan berdiri tepat di belakang Luis. Tom melemparkan senyum jenaka. Indi menggigit bibir bawahnya. Dongkol.
‘Ayo, Indi nyanyi lagi!’ pinta Cecil.
‘Ogah,’ jawab Indi.
‘Kok ngambek,’ ucap Antonio. Tapi Indi tetap tidak mau menyanyi lagi. Gitar kemudian dia serahkan kepada Hans yang kemudian mengiringi teman-teamannya bernyanyi.
Tanpa terasa mereka telah memasuki kota Cleveland dan bis berhenti di tempat peristirahatan milik Greyhound dimana disitu terdapat beberapa rumah makan, toko kue, toko buku dan toko souvenir.
Semua orang turun dengan bergegas maklum perut sudah berteriak minta diisi. Indi melihat Tom turun lebih dahulu bersama Ursula dan Nibia. Indi juga melihat Luis, Antonio, Mauricio dan Manuel berjalan menuju arah yang berlawanan dengan Tom yaitu menuju ke sebuah bangsal yang menyediakan makanan-makanan dalam mesin.
‘Hei, Luis, tunggu!’ teriak Indi sambil menyusul Luis.
‘Mau kemana?’ tanya Indi setelah dekat dengan mereka.
‘Mau beli rokok dulu,’ Antonio yang mendahului menjawab.
‘Berikan uangmu padaku, nanti kuambilkan,’ kata Indi sambil tersenyum misterius.
‘Ayo, Tonino, berikan uangmu padaku. Aku senang bermain-main dengan mesin rokok,’ bujuk Indi. Antonio memberikan uang 5 dollar yang tadi digenggamnya dengan ragu. Indi memainkan uang tersebut. Setelah dekat dengan sebuah mesin rokok di sudut bangsal Indi bertanya,
‘Rokok apa?’
‘Winston,’ jawab Luis.
‘Berapa bungkus?’ tanya Indi. Semua memandang Indi dengan heran.
‘Berapa?’
‘Indi, uangnya hanya cukup untuk satu bungkus,’ Luis menerangkan.
‘Jadi kalian cuma ingin satu bungkus? Cuma satu bungkus?’ kata Indi kemudian yang membuat teman-temannya makin keheranan. Dengan pasti Indi memasukkan uang 5 dollar tadi ke dalam mesin rokok. Kemudian dia menekan tombol Winston untuk mengeluarkan rokok pilihannya dengan cepat sambil kaki kanannya menendang pojok mesin bagian bawah dengan keras sekali.
‘Plok… Plok… Plok…’ tiga bungkus rokok Winston berjatuhan dari mesin itu. Teman-temannya terpaku. Mereka memandang berganti-ganti dari Indi ke tiga bungkus rokok yang tersebar di bawah mereka.
‘Bagaiman kau bisa melakukannya?’ tanya Maurucio setelah reda kekagetannya.
‘Cepat ambil rokoknya,’ perintah Indi. Teman-temannya segera memunguti rokok tersebut dan dimasukkan ke dalam jacket.
‘Indi, bagaimana kau melakukannya?’ tanya Mauricio yang merasa belum mendapatkan jawaban Indi. Indi tidak menjawab, saat itu dia melihat Tom memasuki aula.
‘Indi, Nibia membutuhkan bantuanmu,’ ucap Tom.
‘Oke, aku segera kesana,’ sahut Indi agar Tom meninggalkannya.
‘Itu tadi rahasia kita, jangan bocorkan kepada siapapun,’ pesan Indi kepada teman-temannya. Kemudian dia meninggalkan mereka untuk berjalan bersama Tom menuju rumah makan. Yang ditinggalkan hanya mampu berpandang-pandangan dan mengangkat bahu.
Indi sedang menurunkan kopernya untuk dibawa ke kamarnya ketika Ursula menghadangnya.
‘Tidak keberatan bila sekamar denganku, Indi?’ tanyanya.
‘Aku sudah berjanji untuk sekamar dengan Claudia, coba kamu bicara dengannya mungkin dia mau bertukar tempat,’ saran Indi. Pasti ada sesuatu yang ingin dikatakannya kepadaku, pikir Indi. Tom? Ya, pasti tentang Tom.
Ternyata Claudia tidak keberatan untuk bertukar tempat sehingga Indi terpaksa harus tidur sekamar dengan Ursula. Dia merasa yakin kalau Ursula ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi Ursula kelihatan bimbang. Sampai mereka akan tidur, Ursula belum berkata apa-apa.
‘Urs, ada yang ingin kamu sampaikan kepadaku?’ tanya Indi hati-hati.
‘Yap,’ jawab Ursula cepat sambil bangkit dari tidurnya. Dimatikan rokok yang sedari tadi dipegangnya dan berjalan tidak menentu.
‘Katakanlah,’ ucap Indi sambil memperbaiki duduknya. Ursula ragu-ragu.
‘Aku membencimu, Indi,’ katanya tiba-tiba.
‘Benci sekali!’ Indi kaget setengah mati mendengar pengakuan itu tetapi dia berusaha untuk tetap tenang.
‘Mengapa kamu membenciku?’ tanya Indi setelah terlebih dahulu membasahi bibirnya yang tiba-tiba kering.
‘Karena kamu memiliki semua yang tidak kumiliki,’ jawab Ursula parau. Indi memandangnya tidak mengerti.
‘Aku tidak akan membencimu jika semua kelebihanmu itu tidak kamu gunakan untuk menyerang dan menghancurkanku,’ lanjut Ursula.
‘Urs, aku tidak tahu apa maksudmu dan kelebihan apa yang kamu bicarakan itu?’
‘Kamu tahu semua itu dengan pasti,’ sela Ursula ketus.’
‘Kamu tahu dirimu cantik, pandai, pintar bergaul, populer. Kamu tahu semua keinginanmu bisa terpenuhi dengan kelebihan-kelebihan yang kamu miliki itu. Kamu dicintai semua orang, tak seorangpun pernah membencimu, tetapi kini aku membencimu persis kebencian seribu orang dijadikan satu.’ Indi terpana, dia tidak menyangka kalau Ursula yang lembut itu akan memberondonginya dengan kata-kata pedas seperti itu. Hatinya tiba-tiba menjadi pilu.
‘Kamu bisa bergaul dengan siapa saja, menyakiti hati siapa saja tetapi kamu masih akan tetap dicintai. Sedang aku sekuat tenaga berusaha untuk mendapatkan cinta seorang, kau dengar, Indi, hanya seorang pria tetapi aku tidak pernah mendapatkannya. Dan ketika aku hampir berhasil, kamu mencegahnya dengan paksa.’
‘Urs, kalau Tom yang kamu maksudkan, maafkan aku. Aku tidak punya maksud untuk menghancurkan hubungan kalian. Demi Tuhan, aku tidak tahu kalau kedatanganku ke apartemennya tempo hari merusak segalanya.’
‘Kamu tidak tahu?’ potong Ursula sinis. ‘Omong kosong. Kamu memang sengaja datang. Kamu tahu dia sangat mencintaimu dan akan melakukan apa saja untukmu dan kau gunakan hal itu untuk mempermainkan dirinya.’
‘Ursula, hentikan itu…’ pinta Indi lirih.
‘Tidak!’ bantah Ursula keras kepala. ’Sudah lama aku ingin mengatakan apa yang ada di otakku tentang dirimu. Kamu lebih jahat dari seorang pelacur. Seorang pelacur akan memberikan cintanya kepada orang banyak tanpa mengharapkan balasan cinta. Sedang kamu… Kamu tidak puas hanya memperoleh beberapa cinta. Kamu mengharapkan beribu cinta tanpa sekalipun kamu pernah memberi. Seharusnya kamu malu pada dirimu sendiri.’
‘Hentikan itu !’suara Indi serak. Dadanya turun naik tak teratur. Sakit hati dan tersinggung. Sebutir air mata menggelintir di pipinya. Sejenak Ursula terpana melihat gadis yang dianggapnya begitu kuat itu menangis.
‘Mengapa tak kau biarkan Tom mencintaiku, Indi? Kamu dengan mudah bisa mendapatkan gantinya,’ kata Ursula.
‘Kamu salah, Urs, Kamu salah.’
‘Karena mencintai laki-laki yang sedang kamu jadikan objek permainanmu?’ tanya Ursula tanpa perasaan.
‘Ursula, hentikan tuduhanmu,’ pinta Indi memelas. ‘Hentikan tuduhanmu! Kamu boleh membenciku, tapi dengar dulu apa yang akan kukatakan.’
‘Tidak perlu membela diri, Indi sayang. Mengapa kamu begitu ketakutan bila kubenci?’
‘Ursula Kessler, hentikan!’ bentak Indi. Ursula kaget mendengar bentakan Indi yang tiba-tiba itu.
‘Dengar baik-baik, Urs. Kamu ingin aku berkata jujur kepadamu? Akan kukatakan. Aku mencintai Tom, sangat mencintainya dan aku juga membutuhkannya,’ ungkap Indi. Ursula tertegun.
‘Tetapi mengapa kamu mempermainkannya?’ bisik Ursula.
‘Aku tidak mempermainkan Tom. Walaupun aku sangat membutuhkannya, tapi aku juga membutuhkan diriku sendiri,’ jawab Indi dengan air mata berlinang. ’Lebih dari delapan belas tahun aku menjadi boneka orang lain, sekarang aku ingin menjadi diriku sendiri. Menjadi Indi yang utuh. Tidak seorangpun kuijinkan mempengaruhi diriku, tidak Tom, tidak kau dan tidak siapapun,’ lanjut Indi dengan bisikan. Ursula terdiam. Keinginannya untuk mengalahkan Indi menguap entah kemana
‘Sejak aku dilahirkan aku telah menjadi milik orang lain. Milik orang tuaku. Mereka telah memilihkan kehidupan untukku, kehidupan yang mereka nilai paling baik untukku,’ kata Indi dengan suara sumbang. ’Aku adalah anak tunggal dari seorang bangsawan. Bangsawan, Urs. Ada nama kebangsawanan di depan namaku. Oh alangkah menterengnya istilah itu. Sejak kecil aku sudah dididik untuk menjadi seorang putri. Tingkah lakuku sudah disiapkan polanya, tinggal aku menurutinya. Tidak sulit. Aku tidak boleh tertawa terbahak. Aku tidak boleh menentang perkataan ayah bundaku. Aku harus menunduk bila berhadapan dengan mereka. Ucapan-ucapanku harus lemah lembut.’ Tiba-tiba Indi tertawa. Suatu tawa getir yang berisi sejuta duka. Ursula tertegun. Dia kini berhadapan dengan seorang gadis yang lain. Bukan gadis yang selama ini diirikannya.
‘Dan aku memang gadis yang lembut dan patuh,’ lanjut Indi. ’Aku mengerti apa yang mereka tuntut dariku. Aku kerjakan apa yang mereka inginkan, tanpa pernah menggerutu, karena memang begitulah seharusnya sikap anak seorang ningrat. Aku adalah anak kebanggaan yang tidak pernah mengumpat. Tutur kataku manis. Aku penurut, sebegitu penurut. Percayakah Kamu selama delapan belas tahun tak pernah sekalipun aku membantah perkataan orang tuaku? Bahkan aku tidak membantah ketika orang tuaku menjodohkanku dengan anak salah seorang teman ayah yang juga masih berdarah biru. Kuanggap perjodohan itu memang merupakan jalan hidupku. Aku pasrah. Aku percaya orang tuaku telah memilih suatu kehidupan yang terbaik bagiku bukankah aku adalah boneka mereka? Dan aku akan tetap menjadi boneka mereka bila saja peristiwa itu tidak terjadi. Peristiwa yang telah merubah seluruh jalan hidupku.’ Indi berhenti sejenak’. Air matanya mulai berjatuhan.
‘Sejak dini aku sudah dipersiapkan untuk menjadi istri seorang ningrat. Pergaulanku sudah pula ditentukan. Akupun tidak mengecewakan harapan mereka. Hari pernikahanku ditentukan. Perkawinan yang megah, Urs, karena kedua orang tua kami adalah orang-orang yang terpandang di kotaku. Dua ribu undangan telah dibagikan. Pakaian pengantin telah siap. Rumah serta gedung pertemuan sudah dihias.
Tetapi apa yang terjadi…? Sehari sebelum perkawinan dilangsungkan, saat di rumahku sedang ada acara siraman, bridal shower kalau orang Amerika menyebutnya, laki-laki itu menghilang.’ Butiran-butiran mutiara mulai berjatuhan dari kedua mata Indi dan Ursula. Tubuh Indi terguncang menahan emosi yang meledak-ledak di dadanya.
‘Dia menghilang tanpa seorangpun tahu dimana dia berada. Yang dia tinggalkan hanya sehelai kertas dengan tulisan ’Aku tidak sudi kawin dengan gadis yang tidak kucintai.’ Dan gadis itu adalah aku… Aku yang selalu manis dan menurut. Aku yang tak pernah berkata kasar dan menyakiti hati orang.’
‘Indi…’ panggil Ursula sambil pindah ke tempat tidur Indi. Dia tidak ingin Indi meneruskan kisahnya.
‘Kau bayangkan bagaimana hebohnya keluargaku. Mereka sudah tidak sempat lagi untuk membatalkan undangan. Hingga ketika tamu-tamu yang diundang datang ke resepsi yang mereka jumpai hanyalah orangtua pengantin wanita yang linglung. Aku benar-benar terpukul dan sakit hati. Aku mengalami tekanan jiwa dan tekanan jiwaku memuncak ketika surat kabar lokal memuat kisah cintaku yang gagal. Semua orang mengelu-elukan laki-laki yang telah meninggalkanku sebagai seorang pahlawan yang telah berani mendobrak tradisi lama. Tetapi mengapa dia tidak pernah mengatakan bahwa dia tak mau dikawinkan denganku sebelum semuanya begitu terlambat? Mengapa dia begitu pengecut? Kalau saja waktu itu aku sudah seperti aku yang sekarang ini, aku tidak akan peduli. Tetapi waktu itu umurku baru delapan belas tahun dan belum pernah mengalami kesulitan hidup.’
‘Indi, jangan kau teruskan,’ pinta Ursula ketika melihat Indi begitu tersiksa dalam mengisahkan ceritanya.
‘Tidak, kamu harus mengetahuinya. Lebih dari empat bulan aku dirawat di rumah sakit jiwa. Si Indi yang manis dan penurut, mengalami depresi berat dan telah menjadi gila. Ketika aku keluar dari rumah sakit itu, tak ada lagi kehidupan yang tersisa untukku. Semua orang, termasuk orang tua yang selalu kujunjung tinggi menganggapku tidak waras. Maka kuputuskan diriku untuk menjadi gila lagi. Aku mengeluarkan tuntutan kepada orang tuaku untuk mengirimku ke Amerika Serikat. Tentu saja aku ditertawakan. Apa yang akan dilakukan seorang gadis gila di Amerika? Aku nekat. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku melawan perkataan orang tuaku, orang yang menatap matanyapun aku tidak berani. Kuambil sebilah keris pusaka keluarga dan siap untuk melakukan bunuh diri bila permintaanku tidak dituruti. Aku menang. Tuntutan kedua kukeluarkan, aku tidak ingin seorangpun mengikuti kepergianku.’ Indi menghela nafas panjang.
‘Sejak itulah aku terbebas dari tangan orang-orang yang memproklamirkan diri bahwa mereka mencintaiku. Aku bebas yang sebebas-bebasnya, karena sejak itu aku tidak pernah mengatakan dimana aku sesungguhnya berada. Itulah sebabnya aku tidak pernah menerima sepucuk suratpun dari Indonesia. Ingin kubuktikan bahwa aku mampu berdiri sendiri. Semua predikat yang melekat padaku kubuang. Aku mulai banyak omong, sifat pendiamku hilang. Aku tidak mau mendengarkan perkataan orang lain. Mengerjakan apa yang ingin kukerjakan: jadi pelayan restaurant, ikut perkumpulan tari, belajar gitar dan bergaul dengan siapa saja yang kukehendaki. Hidupku adalah mutlak milikku. Indi yang penurut dan manis telah mati, yang ada kini hanyalah Indi yang gila. Indi yang gila. Indi yang lebih buruk dari pelacur. Indi yang kau benci.’ Indi mengakhiri ceritanya. Dia masih menangis sesenggukan, Ursula memeluknya berusaha untuk memberinya ketenangan.
‘Indi, maafkan aku,’ bisik Ursula tersendat-sendat.
‘Aku memang gila, gumam Indi.
‘Tidak, Indi. Kamu masih tetap Indi yang manis. Aku tidak pernah membencimu,’ kata Ursula sambil mempererat pelukannya.
‘Aku tidak pernah menceritakan kisahku ini kepada siapapun. Tidak kepada Diane yang selama tiga tahun sekamar denganku. Aku ingin mengubur kenangan buruk ini selama-lamanya, tetapi kamu paksa aku untuk mengingatnya kembali? Mengapa, Urs?’ tanya Indi dengan isaknya. Ursula membelai rambut Indi.
‘Maafkan aku yang egois ini Indi,’ bisiknya lirih. Indi menarik nafas panjang sambil melepaskan diri dari pelukan Ursula.
‘Maafkan aku hingga kehilangan kontrol,’ kata Indi pelan. ’Aku memang ingin menceritakan hal ini kepadamu agar kamu tahu aku tidak pernah berniat untuk mempermainkan Tom. Aku mencintai Tom dan membutuhkannya. Dialah satu-satunya laki-laki yang pernah kucinta. Betapa aku membutuhkannya, tetapi aku juga membutuhkan diriku sendiri. Aku takut akan kehilangan diriku yang baru kutemukan tiga tahun yang lalu. Semakin aku akrab dengan Tom, semakin aku kehilangan jati diriku. Aku takut, aku hanya akan menjadi bayang-bayang Tom. Gadis Tom’
‘Indi, Tom akan mengerti,’ bisik Ursula lembut. Nada ketus dalam ucapan-ucapannya telah tiada. Indi menggeleng lemah.
‘Urs, aku ngantuk,’ kata Indi. Dia benar-benar lelah.
‘Tidurlah,’ kata Ursula sambil membantu Indi membaringkan diri. Indi nampak begitu lemah dan tak berdaya. Sekejab saja dia telah terlelap. Ursula menyelimutinya. Dipandangnya gadis yang terbaring di hadapannya dengan tatapan iba.
Penderitaanmu jauh lebih besar dari penderitaanku, Indi. Mengapa kau tanggung duka sebesar itu seorang diri? Dan mengapa pula aku sempat mengirikan kebahagiaan yang baru sesaat kautemukan? Mengapa aku tidak pernah curiga bila kadang aku melihatmu tiba-tiba merenung di tengah candamu? Mengapa aku tidak pernah curiga bila melihat pandangan matamu kadang-kadang kosong dan jauh?
‘Indi, mengapa kau simpan deritamu sendiri?’ bisik Ursula sambil mencium pipi Indi yang masih basah oleh air mata.
Polisi perbatasan itu memeriksa pasport Indi lama sekali. Berkali-kali halaman-halaman pasport itu dibolak-balik.
‘Dari Indonesia?’ tanya petugas imigrasi Canada itu untuk meyakinkan.
‘Ya,’ jawab Indi heran karena toh di pasport itu sudah jelas tertulis.
‘Would you follow me, please?’
‘Kemana?’ tanya Indi makin heran. Semua paspor teman-temannya sudah diperiksa dan dicap yang berarti mereka diijinkan untuk memasuki Canada tanpa kesulitan apapun.
‘Ke kantor.’
‘Untuk apa?’ tanya Indi lagi tetapi petugas itu sudah berjalan mendahuluinya dengan membawa pasport Indi serta. Indi berpandang-pandangan dengan teman-temannya tidak mengerti.
‘Ketahuan kalau kamu nyolong rokok kemarin,’ komentar Luis. Indi mendelikkan matanya kemudian mengejar petugas perbatasan tadi. Di belakangnya Tom membuntutinya.
‘Ada apa, Indi?’ tanya Tom yang berhasil menyusul Indi.
‘Aku tidak tahu,’ jawab Indi. Beberapa saat kemudian mereka disuruh masuk ke kantor komandan perbatasan dan disilahkan duduk.
‘Miss Indi Irawan?’ tanya sang komandan yang berambut botak. Indi mengangguk. ‘Anda memerlukan visa untuk masuk ke Canada.’
‘Visa?’ tanya Indi dan Tom bersama-sama. Ganti si kepala botak yang mengangguk.
‘Sebelum kami berangkat kemari, saya telah mengubungi Kedutaan Besar Canada di Buffalo dan saya mendapatkan informasi bahwa kami tidak memerlukan visa untuk kunjungan sehari di Jackson Port,’ kali ini Tom yang menjelaskan.
‘Saya yakin anda tidak menyebutkan dari mana teman-teman anda itu berasal,’ kata si komandan perbatasan.
‘Apa bedanya?’ tanya Indi setelah melihat Tom terdiam mendengar kata-kata kepala perbatasan tadi.
‘Ada negara-negara, termasuk di dalamnya Indonesia, dimana setiap warganya untuk masuk ke Canada harus memiliki visa.’
‘Tetapi mengapa Anda mengijinkan Kahar yang dari Malaysia, Gil dari Filipina dan Wiwan dari Thailand untuk memasuki wilayah anda padahal kami sama-sama dari Asia Tenggara?’
‘Teman Malaysia Anda, warga Singapore dan dua teman Anda yang dari Filipina dan Thailand Mereka memiliki visa. Mereka sudah pernah berkunjung sebelumnya’ jawab komandan perbatasan itu singkat. Indi terdiam. Mengapa dia tidak mempunyai informasi penting seperti ini.
‘Jadi saya tidak diijinkan memasuki Canada?’
‘Nona akan kami ijinkan bila nona memiliki visa. Anda bisa mengurus visa anda di Buffalo.’
‘Buffalo?’ Berapa jam kami harus pergi kesana? 10 jam pulang balik paling sedikit, padahal kami hanya akan berada di Jackson Port untuk beberapa jam saja,’ sanggah Tom.
‘Maaf, anak muda. Peraturannya seperti itu.’ Indi benar-benar mendongkol mendengar perkataan itu.
‘Disini tidak bisa menerbitkan visa on arrival?’ kerjar Tom lagi. Sang komandan menggelengkan kepalanya.
‘Bagaimana jika saya memaksa masuk?’. Apakah saya akan diberondong dengan tembakan peluru?’ tanya Indi seenaknya. Komandan perbatasan itu terpana mendengar perkataan Indi.
‘Nona, ketahuilah, saya sendiri menyesal harus melarang nona masuk. Tetapi memang inilah hukum yang berlaku dan mungkin saya harus melakukan seperti apa yang baru saja nona ucapkan.’
‘Oke, terimakasih,’ kata Indi tenang sambil mengambil pasportnya dan berjalan keluar. Tom masih berusaha meyakinkan komandan bahwa dia akan bertanggung jawab terhadap semuanya bila Indi diijinkan masuk. Tidak berhasil.
‘Tidak ada jalan lain, kita ke Buffalo dulu,’ kata Tom pada Indi di luar kantor komandan perbatasan. Indi menggeleng.
‘Ada jalan yang lebih baik,’ ucapnya.’Kalian pergi saja ke Jackson Port dan tinggalkan aku disini.’
‘Indi…’ Tom tidak menyetujui gagasan Indi.
‘Tom, hanya itu satu-satunya jalan. Kita sudah tidak punya waktu lagi untuk ke Buffalo. Kasihan anak-anak yang lain.’
‘Bagaimana dengan dirimu?’
‘Aku tidak apa-apa. Aku akan menunggu kalian disini.’
‘Baiklah. Aku akan menemanimu.’
‘Tidak.’ Potong Indi cepat.’ Kamu adalah ketua rombongan, kamu harus ikut mereka.’
‘Indi aku tidak bisa meninggalkanmu seorang diri.’
‘Kamu harus pergi.’ Kata Indi pendek. Kemudian mereka masuk ke dalam bis lagi membicarakan hal tersebut. Teman-teman Indi memutuskan untuk pergi ke Buffalo dulu. Tetapi dengan tegas Indi menolak keputusan itu.
‘Mengapa kalian tidak mau meninggalkan aku disini? Percayalah aku tidak apa-apa. Aku bisa pergi ke Canada di lain waktu.’
‘Indi, kita telah pergi bersama, kita…’ kata Nibia.
‘Omong kosong,’ potong Indi.’ Kalau kalian tidak tega meninggalkan aku disini bawalah aku ke Perbatasan Amerika Serikat. Aku akan menunggu disana, oke?’
‘Kurasa Indi benar. Itu jalan yang terbaik bagi kita,’ kata Ursula menengahi. Semua orang memandang Ursula heran, tetapi Indi tersenyum. Dalam senyumnya itu ia ingin mengatakan terimakasih.
Akhirnya mereka membawa Indi ke perbatasan Amerika Serikat, kira-kira dua kilometer dari perbatasan Canada.
‘Jaga dirimu baik-baik,’ pesan Tom sebelum dia naik ke dalam bis kembali. Di tepuknya pipi Indi dua kali sambil menatap mesra. Indi mengangguk kemudian memandang bis itu pelan-pelan meninggalkan dirinya.
Setelah bis itu tak tampak lagi Indi memasuki kantor perbatasan. Seorang polisi berkulit hitam menegurnya.
‘Bukankah kamu tadi bersama rombongan mahasisiwa Kent?’
‘Ya,’ jawab Indi. ’Mereka tidak mengijinkanku ke Canada.’
‘Hanya kau sendiri yang tidak diijinkan masuk?’
‘Ya. Mungkin aku memiliki tampang terorrist,’ jawab Indi kesal.
‘Dari negara mana kamu?’ tanya polisi itu lagi.
‘Indonesia.’
‘Indonesia? Bagaimana hubungan politik negaramu dengan Canada?’ Indi menggeleng. Dia sama sekali tidak tahu tentang itu.
‘He, ayo duduk disana. Namaku Joe, kita bisa ngobrol-ngobrol,’ ajak polisi hitam itu kepada Indi. Indi menyebutkan namanya sendiri dan berjalan mengikuti Joe ke sebuah ruang yang terdapat beberapa pesawat televisi yang memonitori kegiatan jalan raya dan perbatasan. Indi dikenalkan pada petugas-petugas perbatasan yang ada yang semuanya ramah-ramah. Kemudian Indi mulai tertarik untuk ikut mengawasi pesawat televisi yang ada disana. Tiba-tiba dalam pesawat itu tampak dua orang pengendara sepeda motor yang dihentikan oleh seorang petugas. Mereka disuruh mengangkat tangan dan di geledah.
‘Kalian apriori terhadap pengendara sepeda motor,’ kata Indi. Letnan Blake, komandan perbatasan tersenyum mendengar komentar itu.
‘Mengapa kamu berpikiran macam itu?’ tanyanya.
‘Di setiap highway, bila ada pengendara sepeda motor, maka sudah dapat dipastikan sopir-sopir truck akan memepetnya terus.’ Letnan Blake tertawa mendengar jawaban Indi. Indi melihat petugas perbatasan sepeda motor itu mengeluarkan bungkusan kecil dari saku jacket salah satu pengendara.
‘Apa itu?’ tanya Indi.
‘George, nona muda ini ingin tahu apa yang kamu temukan?’ tanya Letnan Blake melalui interkom. Yang dipanggil menghadapkan wajahnya ke kamera.
‘Apalagi? Pot,’ jawabnya.
‘Kau dengar? Ganja. Itulah sebabnya kami apriori terhadap mereka,’ kata Letnan Blake. Untung kamu tidak tinggal di Yogya. Di Yogya semua orang naik sepeda motor, pikir Indi. Letnan Blake kemudian meninggalkan ruang itu untuk mengadakan pemeriksaan terhadap dua orang pemuda tadi.
Setelah selesai melakukan pemeriksaan Letnan Blake kembali lagi menghampiri Indi.
‘Indi, apa cita-citamu?’ tanyanya mengejutkan.
‘Jadi presiden,’ jawab Indi ngawur. Yang mendengar jawabannya tertawa.
‘Presiden punya hak untuk mengumumkan perang. Bila aku jadi presiden maka pertama kali yang kulakukan adalah mengumumkan perang kepada Canada, karena pernah tidak mengijinkan aku masuk ke wilayahnya,’ sambung Indi. Tawa mereka makin riuh.
‘Kamu berani menyelundup?’ bisik Letnan Blake. Indi membelalakkan matanya. ’Aku tahu kamu berani. Aku akan membantumu menyelundup ke Canada. Joe Kamu juga akan membantu?’ sambungnya. Joe mengangguk mantap. Indi ternganga.
‘Bagaimana bila tertangkap?’ tanya Indi mulai bimbang.
‘Dua bulan penjara atau ketembak peluru. Tapi aku yakin kamu tidak akan tertangkap. Kalau toh kamu tertangkap akan kusediakan seorang pengacara hebat untukmu.’
Setelah lama mempertimbangkan, akhirnya Indi menyetujui rencana gila itu. Dia dan Joe akan menyelundup lewat danau Erie. Mereka akan dinanti oleh Letnan Blake di daratan Canada yang akan mengantar Indi ke Jackson Port.
Perahu patroli yang membawa Indi dan Joe meluncur cepat di atas air. Indi meluncur cepat di atas air. Indi benar-benar gelisah. Berkali-kali dia duduk dan berdiri tak menentu. Joe tersenyum melihat tingkah Indi.
‘Relaks, Indi.’
‘Bagaimana aku bisa relaks kalau setiap saat peluru bisa bersarang di tubuhku.’
‘Jadi presiden juga diancam peluru terus,’ goda Joe.
‘Itu kalau di Amerika,’ bantah Indi. Di Indonesia presiden dicintai rakyatnya, tak seorangpun yang berniat untuk membunuhnya.’
Akhirnya perahu mereka mendarat di sebuah dermaga tanpa mengalami kesulitan sedikitpun. Indi gembira melihat Letnan Blake yang telah menantinya. Kemudian dia dibawa ke Jackson dengan mengendarai sebuah mobil sport tanpa atap.
‘Indi, apa yang kau lakukan disini?’ Bagaimana Kamu bisa sampai kemari?’ tanya Tom yang melihat kehadiran Indi di Jackson Port. Sama sekali tidak ada nada gembira di dalam ucapannya.
‘Menyelundup,’ jawab Indi tenang.
‘Indi, jangan main-main!’ Tom memperingatkan.
‘Aku tidak main-main. Mereka tidak mengijinkan aku masuk secara baik-baik maka terpaksa kulakukan jalan ini.’
‘Kamu tahu apa akibatnya?’ tanya Tom setengah marah.
‘Dua bulan penjara kalau tertangkap.’
‘Indi, berhentilah bercanda,’ tegur Tom.
‘Apa yang harus kukatakan kepadamu? Kamu ingin aku mengatakan bahwa aku tidak menyelundup padahal iya.’
‘Kapan kamu mau merubah sikap kekanak-kanakanmu?’ tanya Tom ‘Kamu tahu apa yang kau lakukan sangat berbahaya. Tidak hanya bagimu tapi juga untuk kita semua. Indi, mulailah memikirkan orang lain, jangan kamu turuti kehendakmu saja,’ tegur Tom marah.
‘Jangan kuatir, Tom, hanya akulah satu-satunya orang yang akan menanggung semua resikonya. Aku menyelundup atas prakarsaku sendiri,’ sahut Indi ketus.
‘Bagaimana kalau kamu tertangkap? Kamu kira kami akan tega membiarkanmu meringkuk di penjara tanpa mengusahakan sesuatupun? Berhentilah menyusahkan orang lain. Aku benar-benar tidak mengerti dirimu. Hanya orang yang tidak waras yang melakukan hal-hal seperti yang kamu lakukan,’ kata Tom tambah marah. Indi tercenung dan tersinggung disamakan dengan orang yang tidak waras.
‘Aku tidak bakalan menyusahkan orang lain. Kalau aku harus masuk penjara jangan kamu takut. Aku tidak akan berteriak-teriak minta tolong, dan kalau toh aku harus berteriak-teriak minta tolong sudah dapat kupastikan bukan namamu yang akan kusebut,’ ucap Indi sambil meninggalkan Tom. Tom memandang dia termangu, yang dipandang tenang-tenang saja melenggang mendekati teman-temannya yang lain dan mulai bercanda dengan riuh.
Kalau Indi nampak tidak terpengaruh atas pertengkaran yang baru saja terjadi, hal itu karena dia terlalu pandai bersandiwara. Sebenarnya dia merasa terluka dengan pertengkaran tersebut.
Tom secara tidak langsung telah mengatakan kalau aku gila, pikir Indi gundah. Dari mana dia tahu hal itu? Tidak ada orang lain yang tahu kecuali Ursula. Apakah Ursula menceritakan kepada Tom kalau aku pernah gila?
Kemudian Indi memisahkan diri dari teman-temannya dan berjalan menyusur pantai dengan kepala menunduk. Selang beberapa saat kemudian dia menuju ke sebuah stand minuman menemui Letnan Blake.
‘Kurasa Canada tidak begitu ramah padaku,’ kata Indi.
‘Hei. ada apa?’ tanya Letnan Blake sambil memandang gadis di depannya yang tampak murung bertolak belakang dengan waktu berangkatnya.
‘Aku ingin pulang,’ kata Indi jujur.
‘Pulang?’ tanya Letnan Blake tidak percaya.
‘Teman-temanmu kelihatannya belum berniat untuk pulang.’
‘Aku lebih senang menanti mereka di perbatasan.’
‘Kamu sungguh-sungguh? Bukan hanya karena kamu merasa sungkan karena kutunggui?’ tanya letnan Blake. Indi menggeleng. Letnan Blake kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sesudah Indi berpesan kepada Kahar bahwa dia akan menanti di perbatasan, mereka lalu meninggalkan Jackson Port.
Selama perjalanan itu Indi lebih banyak berdiam diri dan Letnan Blakepun segan untuk mengusik ketenangan Indi. Indi masih memikirkan ucapan-ucapan Tom kepadanya. Selamanya Tom tidak pernah berkata sekeras itu kepadaku, pikirnya. Mengapa tadi malam aku harus menceritakan kisah hidupku kepada Ursula. Sekejab saja pasti semua orang akan tahu kalau aku, Indi Irawan pernah gila. Ya Tuhan, kemana lagi harus kularikan diri ini?
‘Hei, mengapa lewat sini?’ teriak Indi kalut ketika tersadar dari lamunannya dan melihat perbatasan Canada hanya berjarak kira-kira satu kilometer dari tempatnya berada.’ Aku penyelundup, ingat?’ sambung Indi mengingatkan. Letnan Blake hanya tersenyum.
‘Sudah terlambat untuk berputar, Miss’
‘Mereka akan menangkapku,’ bisik Indi kuatir.
‘Berdoalah mudah-mudahan tidak,’ hibur Letnan Blake tanpa berusaha untuk memperlambat jalan mobilnya. Indi semakin gelisah dan mulailah dia komat-kamit berdoa.
Ketika akhirnya mobil itu sampai di pos pemeriksaan, ketakutan Indi sudah tidak tertahankan lagi. Wajahnya memucat dan keringat dingin mulai mengucur deras di leher dan punggungnya. Tiba-tiba muncul orang yang paling dikuatirkannya, sang komandan perbatasan.
Habislah aku, desis Indi. Tetapi tanpa diduga komandan perbatasan itu tersenyum hangat dan mendekat.
‘Senang di Jackson Port?’ tanyanya ramah. Indi membelalak tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
‘Bapak tahu kalau saya masuk Canada?’ tanya Indi setelah terdiam beberapa saat. Sang komandan dan Letnan Blake tertawa. Indi semakin tidak mengerti.
‘Kenalkan Indi, Letnan Brown,’ kata Letnan Blake memperkenalkan. ’Tadi dia kutelpon dan kuminta untuk mengijinkan kamu masuk Canada. Dan… dia mengijinkannya.’
‘Jadi… Jadi saya tidak menyelundup?’ tanya Indi. Darahnya mulai mengalir di wajahnya kembali. Letnan Blake dan Letnan Brown tertawa hangat dan Indipun mampu untuk tertawa lagi.
‘Kalau tahu seperti itu…’ kata Indi setelah dia dan Letnan Blake meninggalkan pos pemeriksaan dan mulai memasuki USA.
‘Kalau tahu seperti itu apa?’
‘Aku tidak harus tegang setengah mati.’
‘Apakah kamu tadi tegang? Kulihat kamu begitu tenang,’ komentar Letnan Blake. Indi tidak menyahut. Berarti Joe tadi sudah tahu kalau tidak ada sebuah pelurupun yang mengancamku.
Ketika mereka sampai di perbatasan Amerika, Indi disambut meriah oleh polisi-polisi perbatasan dan Joe tak henti-hentinya menggoda ‘sang calon presiden’ yang baru saja menyelundup.
‘Kalian brengsek semua. Kenapa tadi tidak memberi tahu?’ sungut Indi gemas. Kalau aku tahu aku tidak menyelundup maka pertengkaran dengan Tom tadi bisa dihindarkan dan aku bisa tinggal disana lebih lama, pikir Indi. Sekarang sudah terlambat, semua orang pasti sudah tahu kalau aku penah gila lantaran ditinggal pergi oleh seorang laki-laki. Alangkah hinanya.
Jam enam sore Greyhound yang membawa mahasiswa-mahasiswa itu tiba di perbatasan Amerika. Terdengar suara riuh memanggil-manggil nama Indi. Sedang Indi sendiri asyik berada di depan sebuah monitor, mengawasi lalu lintas di depan kantor perbatasan.
‘Ini Luis, dari Chile,’ Indi menerangkan kepada Joe yang duduk di dekatnya ketika melihat Luis turun dari bis dan terambil oleh kamera. ’Ini Tonino, Claudia, Nibia,’ sambung Indi.
‘Yang paling kanan siapa?’ tanya Joe sambil menunjuk gadis berkulit hitam, sewarna dengan kulitnya.
‘Kerrie dari Barbados.’
‘Indi, teman-temanmu sudah menanti!’teriak Letnan Blake memecahkan keasyikan Indi. Indi bangkit dengan malas.
‘Joe terimakasih banyak,’ bisik Indi. Joe mengangguk sambil menjabat tangan Indi yang terulur kepadanya. Sesudah pamitan dengan semua polisi yang ada di ruang itu Indi ke luar, Joe dan Letnan Blake mengantarnya hingga di depan bis.
‘Jangan lupa perbatasan Amerika di Thousand Bridge dan sering-sering kirim email pada kami bila pulang ke Indonesia dan jadi presiden,’ kata Letnan Blake sambil tersenyum. Indi hanya mampu tersenyum dan melambaikan tangannya. Teman itu ada di mana-mana.
Seperti biasanya Indi segera menuju ke bis bagian belakang. Dia berusaha untuk tidak memandang Tom ketika melewatinya. Baru saja dia duduk, Luis, Antonio, Mauricio dan Manuel sudah mengelilinginya.
‘Untukmu,’ kata Luis sambil mengulurkan sebatang coklat.
‘Tadi kami bermaksud untuk memberimu banyak tapi gagal.’
‘Tidak punya uang?’ tanya Indi. Luis, Antonio, Mauricio dan Manuel menggeleng serempak.
‘Waktu kami makan siang tadi…’ kata Luis memulai ceritanya, ’tiba-tiba kami teringat pada gadis cantik dari Indonesia yang tidak diperkenankan untuk masuk ke Canada. Kami ingin memberi dia sesuatu yang akan membuatnya bahagia,’ Indi tersenyum manis.
‘Coklat adalah makanan kegemarannya,’ sambung Antonio, ’maka kukeluarkan uang lima dollar untuk membeli sepuluh batang coklat.’ Kali ini Indi tak kuasa menahan tawanya. Lima dollar untuk sepuluh batang coklat?
‘Kamu mau nyuri?’ tanya Indi di tengah tawanya. Empat kepala disekelilingnya mengangguk bersama. ’Terus bagaimana?’
‘Gagal,’ sahut Manuel. ’Sampai lama kami berdiri di depan mesin coklat dan main tendang tapi yang keluar cuma satu batang saja. Luis makin kalap, dia tendang mesin itu berkali-kali dengan keras hingga seorang petugas keamanan datang.’
‘Apa?’ tanya Indi kaget.
‘Petugas keamanan. Hampir saja kita kena tangkap,’ jawab Luis. Orangnya serem deh, tinggi dan besar. Suaranya menggelegar ketika dia bertanya ’Apa yang kamu lakukan?’ sambung Luis sambil menirukan suara petugas keamanan yang dimaksudkannya. ’Aku tak berkutik untung Tom segera datang dan menyelamatkan kami. Dia katakan kepada orang tadi bahwa kami telah berkali-kali memasukkan uang ke dalam mesin tetapi tidak ada yang keluar. Woi kalau tidak… penjara deh,’ sambungnya sambil tertawa.
‘Kamu tahu apa yang terjadi sesudah itu? Mereka memasang tanda Rusak pada mesin yang tidak bersalah tersebut,’ Mauricio menerangkan.
‘Dan Tom marah setengah mati,’ sela Antonio. ’Dia ngomel panjang lebar. Dia benar-benar malu karena ada temannya yang mau jadi pencuri. Kemudian kukatakan kepadanya. ’Eh, Tom, kamu tahu siapa guru pencurinya? Gadis kecilmu, Tom, Indi.’ Uh kasihan Tom, dia langsung terdiam,’ sambung Antonio dengan tawa gelinya.
‘Mengapa kamu katakana itu kepadanya? Dia sudah cukup marah kepadaku karena aku menyelundup tadi,’ tanya Indi.
‘Indi dia sudah marah sebelum kamu menyelundup. Justru kamu sendiri yang menambah kemarahannya,’ bela Luis. Tiba-tiba Indi merasa lelah bukan main. Ah aku memang banyak menimbulkan kesulitan bagi Tom. Belum habis kekuatiran Tom terhadap Luis dan kawan-kawannya muncul aku dengan masalah yang lain. Dan kesemuanya akulah yang menyebabkannya, tak heran kalau dia marah seperti siang tadi. Maafkan aku, Tom.
‘Indi…’ panggil Antonio
‘Pergi dari sini semua. Aku lelah,’ usir Indi.
‘Kamu marah?’ tanya Antonio.
‘Marah sekali,’ kata Indi sambil tersenyum.
‘Na sana pergi aku mau tidur.’ Teman-temannya menurutinya dan meninggalkannya dia seorang diri di deretan kursi paling belakang. Dia tidak main-main ketika mengatakan dia lelah. Lelah pikiran dan badan. Sekejab saja dia sudah jatuh tertidur. Suara berisik teman-temannya yang bergurau tak mampu menganggunya.
Lama sekali dia tertidur. Ketika dia terbangun, malam sudah tiba. Teman-temannya telah tertidur kelelahan. Tiba-tiba Indi merasa kalau ada sebuah tangan yang melingkar akrab di bahunya. Tangan yang sudah sangat dikenalnya. Dengan cepat Indi menoleh ke wajah si pemilik tangan.
‘Apa yang kamu lakukan disini?’ tanya Indi lirih.
‘Memelukmu,’ jawab Tom pendek. Indi menahan nafas sambil berusaha untuk melepaskan diri dari pelukan Tom. Tetapi Tom justru makin mempererat pelukannya. ‘Mau lari kemana kamu, Indi?’
‘Tom, apakah Ursula mengatakan sesuatu kepadamu?’ tanya Indi. Tom tidak segera menjawab. Indi menanti. Akhirnya Tom mengangguk.
‘Apa yang dia katakan kepadamu?’
‘Untuk apa kamu tahu?’
‘Penting sekali.’
‘Kamu akan marah kepada Ursula?’ tanya Tom. ’Dia bermaksud baik, In. Dia melihat kamu dan aku bertengkar di Jackson Port, dia tahu aku sangat menyayangimu maka dia ceritakan kisahmu sesudah kamu pergi dengan polisimu.’
‘Apa yang dia katakan kepadamu?’ tuntut Indi berusaha menjaga agar nada suaranya tidak meninggi.
‘Kalau kamu mencintaiku dan membutuhkanku,’ bisik tom sambil menatap Indi dalam.
‘Apa lagi?’
‘Sudah.’
‘Pasti ada lagi,’ desak Indi.
‘Dengar baik-baik Indiku, aku sangat mencintaimu. Kembalilah kepadaku dan aku berjanji untuk tidak merubah dirimu. Lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan asal jangan tinggalkan aku. Kamu mau mengambil rokok di mesin rokok, aku tidak akan melarangmu atau bahkan kalau kamu akan menyelundup ke Canada.’
‘Bagaimana kalau tertangkap?’ tanya Indi tolol.
‘Aku akan menyertaimu di penjara. Berilah aku kesempatan untuk mencintaimu, Indi, oke?’
‘Apakah Ursula tidak menceritakan kalau aku pernah gila?’
‘Apa?’
‘Aku pernah gila Tom,’ bisik Indi sambil menceritakan tentang masa lalunya. Semuanya itu diceritakan dengan berbisik karena Indi tidak ingin Juan yang duduk di depannya ikut mendengar. Kalau sewaktu menceritakan tentang hal tersebut kepada Ursula Indi menangis kali ini dia tidak bahkan kadang-kadang dia justru tertawa.
‘Kamu tidak rindu kepada orang tuamu?’ tanya Tom setelah Indi selesai dengan ceritanya.
‘Tentu saja aku rindu mereka.’
‘Mengapa tidak kamu kabari mereka tentang keberadaanmu dirimu. Mereka akan gembira mendengar kabar tentang anak tunggal mereka.’
‘Apakah kamu mulai mengaturku, Tom?’
‘Oh, Indi. Ini lain. Pernahkah Kamu membayangkan bagaimana bingungnya hati mereka? ataukah Kamu menyalahkan mereka atas nasib buruk yang menimpamu dan tindakanmu ini sebagai tindakan balas dendam?’ tanya Tom.’ Padahal mereka melakukan semuanya itu demi kebahagianmu.’
‘Tom, aku tidak tahu. Jangan kau desak aku.’
‘Oke, lakukan apa yang kamu anggap tepat. Tapi kamu mau kembali kepadaku kan?’ tanya Tom. Indi tidak menjawab.
‘Indi?’ desak Tom.
‘Aku akan tanya ayah dan ibuku dulu. Aku akan menelpon mereka sesampai kita di Kent,’
‘Indi?’ Tom tak percaya.
‘Ya, Tom. Aku akan mengabari mereka. Biarlah mereka ikut bahagia bersama kita. Aku tahu mereka akan bahagia,’ kata Indi terharu. Matanya berkaca. Tom mendongakkan wajah Indi dan menciumnya dengan lembut. Tiba-tiba entah disengaja atau tidak Mauricio menyanyikan Besame Mucho.
Tamat
Posted on February 12, 2013, in Novelette and tagged Fiction, Fiksi, Kartini, Laily Lanisy, novellete. Bookmark the permalink. 4 Comments.
Seperti 30 tahun yg lalu, cerita ini tetap sanggup membuatku tersedu membacanya… Entah kenapa… Btw, novelette ini dimuatnya awal 80’an ya mb Laily….?
Terima kasih Fynda untuk kunjungan dan komennya. Iya Noveletter ini saya tulis awal tahun 80an. Biar enggak ilang, saya tulis ulang..
Mb Laily, ini saya lagi, Fynda…
Setelah “Melintas Perbatasan” yg tidak pernah saya lupakan…
Tiba2 saya ingat (setelah bertahun2 mencoba mengingat) judul cerber yg pernah dimuat Gadis. “Cerita dari Bulaksumur” karya mb Laily juga kan?
Dimanakah saya bisa membacanya lagi…?
Saya masih ingat alur ceritanya, tokohnya Winda dan Wisha bukan…?
Mb Laily, Cerita dari Bulaksumur bisa saya baca dimanakah…?