Melintas Perbatasan (Bagian 1)

Melintas Perbatasan

          KENT STATE UNIVERSITY terletak di kota kecil Kent di Ohio.  Seperti kampus-kampus di Amerika lainnya kampus ini begitu tenang dan damai.  Padang-padang rumput yang luas mengelilingi setiap bangunan serta pohon-pohon oak rindang berada di sepanjang jalan-jalan kampus yang mulus.  Hijau merupakan warna dominan selama musim semi, musim panas dan permulaan musim gugur seperti sekarang ini.  Dua bulan lagi daun-daun oak yang berwarna hijau itu akan berubah menjadi kuning, oranye dan merah yang cerah yang akan memberi warna pada kampus.  Untuk saat ini yang menjadi hiasan kampus adalah tubuh-tubuh molek berbikini yang berbaring di padang rumput di depan asrama-asrama mahasisiwa yang sedang menikmati sisa-sisa matahari musim panas.

Indi baru saja keluar dari salah satu bangunan tua yang merupakan tempat kuliah bagi mahasiswa yang memperdalam ilmu ekonomi.  Tubuhnya yang ramping terbungkus oleh jeans berwarna biru tua dan kemeja berwarna putih dengan gambar-gambar abstrak yang sewarna dengan celananya.  Langkahnya ringan melintasi padang rumput yang berhiaskan bunga-bunga dandelion.  Tas yang tergantung di pundaknya bergoyang seirama dengan gerak tubuhnya.  Sekali-sekali dia membenahi rambut yang tergerai hingga pundaknya, tetapi angin sore yang berhembus agak kencang akan merusaknya kembali.

Indi  berniat untuk pulang ke asrama dengan bis, tetapi ketika melihat banyaknya orang yang berkerumun di halte, maka niatnyapun urung.  Dia memutuskan untuk berjalan kaki.  Untung asramanya tidak begitu jauh hanya beberapa blok dari tempatnya berdiri sekarang dan masih berada di lingkungan kampus.  Tetapi baru saja dia berjalan beberapa meter, sebuah Subaru berhenti di dekatnya.  Juan, mahasiswa dari Spanyol menjulurkan kepalanya keluar.

‘ Hallo, Indi!  Ayo kuantar,’ ajaknya.  Indi membalas salam Juan dan mengangguk pasti.  Hmm … kebetulan, pikirnya.

Juan membukakan pintu untuknya dan Indi masuk dengan santai.  Diletakkannya buku-buku yang tebal yang dibawanya di antara dirinya dan Juan.

Juan membukakan pintu untuknya dan Indi masuk dengan santai.  Diletakkannya buku-buku yang tebal yang dibawanya di antara dirinya dan Juan.

Cómo estás, Juan? Cuánto tiempo sin verte,’ Indi menanyakan kabar Juan ketika Juan  siap untuk menjalankan mobilnya kembali.

‘Hahaha..muy bien.  Dari mana kamu bisa bahasa itu,’ tanya Juan penasaran

‘Kamu yang mengajariku, masa lupa,’ jawab Indi.  Juan menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum hangat.  Mobil yang mereka naiki melewati auditorium yang penuh dengan patung-patung kontemporer.  Indi paling senang melewati daerah ini karena patung-patung itu mengingatkan dirinya pada taman Ismail Marzuki.  Sebuah spanduk besar tergantung di dekat sebuah patung telanjang dengan tulisan    ‘Kita bakar Akron Malam Ini’.

‘Kamu datang ke stadion nanti malam?’ tanya Juan yang juga membaca spanduk tersebut.  Indi menggeleng sambil menarik nafas panjang.

Aku harus bekerja nanti malam,’  jawabnya sedih.  Ada pertandingan sepak bola nanti malam dan lawannyapun tak tanggung-tanggung, Akron, musuh bebuyutan Kent.  Berarti Kenny’s, rumah makan dimana dia bekerja akan penuh dan dia terpaksa harus kerja keras.  Itu yang tidak disukainya.

‘Kamu masih bekerja di Kenny’s?’ tanya Juan.

‘Kemana lagi?’ keluh Indi.’   Jarang yang  mau memperkerjakan mahasiswa asing macam kita, Juan.

‘Jam berapa kamu bisa bebas?’

‘Sekitar jam sembilan.  Memangnya kenapa?’

‘Ada pertemuan KFS seusai pertandingan.’

‘Dimana?’ tanya Indi antusias.

‘Apartemen Tom.’

‘Apartemen Tom?’ ulang Indi.  Nada suaranya mengherankan Juan.  Setelah diam beberapa saat dia bertanya.

‘Ada apa, Indi?’

‘Hmm?’ Indi berlagak tidak mengerti pertanyaan Juan

‘Ada apa dengan Tom dan kamu? Kalian sekarang jarang terlihat bersama lagi.  Ada masalah?’

‘Tidak ada apa-apa, Juan.  Mengapa kamu tanyakan itu?’

‘Kamu tidak datang ke Home Coming dan ketika kulihat Tom datang bersama Ursula, kupikir …’

‘Oh, Tom berhak untuk bergaul dengan siapa saja,’ potong Indi kalem walau  sebenarnya dia agak kaget juga.  Tepat saat itu mobil yang mereka tumpangi telah berada di depan asrama Indi.  Juan menghentikan mobilnya.

Gracias, Juan,’ ucap Indi sambil keluar.  ’Te veré esta noche.’

‘Kamu akan datang?’ tanya Juan mendengar Indi berjanji untuk bertemu dengannya nanti malam.  Indi tergelak

‘Kamu pikir aku tidak berani untuk datang?’ goda Indi.  Juan mengangkat kedua bahunya.

‘Perlu kujemput?’  tanya Juan.

‘Tidak perlu, Juan, aku akan datang sendiri,’ sahut Indi.

‘Indi, …!’  panggil Juan ketika Indi mulai memasuki halaman asrama.

‘Ya?’  Indi memutar tubuhnya dengan indah.

‘Beri tahu aku kalau kamu benar-benar putus dengan Tom.  Aku tidak keberatan untuk menggantikan kedudukannya.’

I’ll keep it in mind,’ jawab Indi sambil tertawa keras.  Juan juga tertawa kemudian menjalankan subarunya.  Sesudah mobil Juan menghilang dari pandangan barulah Indi memasuki halaman asrama.

Tom sudah mendapatkan ganti.  Ursula memang tepat untuk Tom, pikir Indi sambil berjalan.  Tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang kosong pada dirinya.  Indi, bukankah itu yang kamu kehendaki? Mengapa kamu kecewa sekarang?  tanya otak Indi.  Indi menggelengkan kepalanya dengan keras.  Kemudian matanya memandang ke atas ke mega-mega yang berarak.  Yah … Mengapa aku harus bersedih?  Bergegas dia memasuki asrama lewat pintu samping.  Melihat-lihat kalau-kalau ada surat untuknya walau dia tahu pasti tidak akan ada sepucuk surat pun yang dialamatkan untuk dirinya.  Sesudah itu dia masuk lift menuju ke kamarnya di tingkat empat.

Diane, teman sekamar Indi belum datang ketika Indi sampai di kamarnya.  Diletakkannya semua buku serta tasnya di lantai yang beralaskan karpet berwarna beige, pilihannya bersama Diane.  Kemudian dia membaringkan dirinya di tempat tidur sambil matanya menerawang ke seluruh penjuru kamar.  Tiba-tiba matanya terpaut pada meja kecil yang terletak di antara tempat tidurnya dengan tempat tidur Diane.  Di atas meja kecil itu ada sebuah figura dompet untuk dua foto ukuran postcard.  Salah satunya sudah terisi foto Jimmy, pacar Diane yang mengenakan seragam sepak bola Kent dengan sebuah bola di tangan dan senyum lebar di bibirnya.  Dia tampak begitu gagah.  Sedang figura yang satunya kosong.  Disitu dulu dipasang foto Tom yang juga mengenakan seragam sepak bola Kent dengan bola di tangan serta senyum lebar di bibirnya.  Dan dia juga begitu gagah.  Tetapi foto itu dilepas Indi pada akhir musim semi yang lalu.

‘Indi, mengapa kamu lepas foto Tom?’ Indi ingat Diane bertanya dengan heran waktu melihat dia melepas foto Tom.

‘Aku ingin suasana baru.  Itu saja.’

‘Kamu bertengkar dengan Tom?’ tebak Diane.  Indi menggeleng.

‘Tidak.  Tidak ada pertengkaran.  Hanya aku dan Tom sudah memutuskan untuk jalan sendiri-sendiri.  Kamu tahu aku dan Tom sangat bertolak belakang.’

‘Karena dia putih dan kamu kuning?!‘ jerit Diane emosi.  ’Demi Tuhan, Indi, sekarang bukan jamannya lagi’

‘Bukan masalah kulit, Diane.  Bukan masalah dia Eropa dan aku Asia. Tapi lihatlah aku dan Tom.  Kami sangat berlainan.  Tom begitu sabar, pendiam, setia, penuh pengertian sedang aku … Aku adalah kebalikannya tak bisa tenang, cerewet, besar mulut dan mau menang sendiri.  Apakah mungkin dua kutub dipersatukan?’

‘Aku ingin tanya dari mana ide konyol itu berasal?  Darimu atau dari Tom?’

‘Dari kami berdua,’ jawab Indi bohong.  Ide itu seratus persen berasal darinya.  Tom sama sekali tidak setuju.  Dia terlampau mencintai Indi dan ide untuk berpisah itu begitu menggusarkan hatinya.  Mereka bertengkar hebat ketika Indi mengemukakan keinginannya.  Tapi bukanlah Indi kalau dia mau menyerah.  Dia mengemukakan berbagai alasan dari yang masuk akal hingga yang asal ngomong.  Keputusannya adalah mutlak dan tak dapat diganggu gugat.  Sekali dia berkata putus maka putuslah hubungan itu.  Beberapa hari kemudian Tom pulang ke Swiss dan berada disana selama musim panas tanpa pamit pada Indi dan kembali lagi ke Kent pada permulaan semester juga tanpa memberi tahu kedatangannya pada Indi.  Mereka belum bertemu lagi sejak pertengkaran hebat itu.

Dan kini Tom telah mendapatkan ganti,  bisik Indi.

Dengan malas dia bangkit dari tempat tidurnya kemudian membuka laci meja dan mengambil sebuah potret.  Bukan potret Tom tetapi potret Diane.  Potret itu lalu dipasang di figura yang kosong di samping potret Jimmy.  Sekarang di figura itu yang nampak adalah sepasang remaja yang sangat serasi, bukan lagi dua pemuda tampan dan gagah yang sedang memegang bola dengan senyum lebar di bibir mereka

Sesudah puas memandang foto Diane dan Jimmy, Indi bersiap-siap untuk pergi bekerja.  Ditatap wajahnya lama di kaca.  Dia merasa ada sesuatu yang lain dalam wajah itu tetapi tidak berhasil menemukan dimana letak kelainannya.  Kemudian dia menyambar jacket yang tergantung di belakang pintu dan berjalan keluar.

Melintas Perbatasan

KENNY’S memiliki semua persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi salah satu restaurant cepat saji favorit.  Letaknya begitu strategis, berhadapan dengan pintu gerbang utama Universitas Kent.   Bangunannya dirancang secara malang, apik dan artistik yang memaksa mata untuk terpukau bila memandangnya.   Menunya lumayan beragam dengan harga mahasiswa.  Dan yang terpenting Kenny’s mempunyai pelayan-pelayan yang prima dan terpilih.   Semuanya tampan dan cantik.  Mungkin inilah faktor utama yang menyebabkan pengunjung Kenny’s selalu berlimpah.

 Setiap malam halaman parkir di sisi kiri dan belakang rumah makan selalu penuh apalagi setiap akhir pekan dan hari-hari dimana Unversitas Kent menjadi tuan rumah pertandingan sepak bola.  Pelayan-pelayan yang terlatih itu sempat dibuat kelabakan oleh tamu yang tumplek yang puas hanya bisa duduk di dalam mobil mereka sendiri di tempat parkir karena tempat duduk yang disediakan di dalam dan diluar bangunan induk telah terisi oleh orang-orang yang datang lebih awal.

Malam ini termasuk salah satu malam yang padat.  Disamping Kent menjadi tuan rumah pertandingan sepak bola, malam ini adalah malam minggu.  Indi yang bertugas melayani pembeli bersama gadis lainnya hampir-hampir tak sempat untuk bernafas lagi.  Sebentar-sebentar dia harus menggunakan interkom yang menghubungkan dirinya dengan dapur untuk mendiktekan kembali makanan yang dipesan pembeli sementara itu jari-jari tangannya bermain lembut di atas mesin hitung dan dia dituntut pula untuk selalu mengembangkan senyum profesionalnya.  Belum selesai dia melayani seorang pembeli, pembeli yang lain sudah berteriak tak sabar.

‘Sibuk, Indi?’  tanya seorang gadis yang sudah berdiri di depan Indi.

‘Ya Tuhan, Cecil!’ jerit Indi.   ’Hampir aku tidak mengenalimu,’  lanjut Indi sambil tersenyum.   Bukan senyum profesionalnya lagi tapi senyum seorang gadis yang kelelahan.  Cecil tertawa sambil menyebutkan makanan yang diinginkannya.

‘Dua double cheeseburger, medium well dengan onion panggang dan lettuce, dua frenchfries sedang, dua strawberry pie, Bob.’   Ulang Indi melalui interkom.

‘Delapan belas dolar enam puluh lima sen, Cecil,’ katanya pada Cecil.   ‘Kamu nonton pertandingan tadi?’ tanya Indi sambil menanti Cecil mengambil uangnya.

‘Wah hebat sekali Swiss kita… dia mencetak dua touch down.  Seharusnya Kamu melihatnya bermain tadi,’  jawab Cecil sambil mengulurkan satu lembar dua puluh dollar.  Indi tersenyum lucu.  Sebenarnya dia tidak memerlukan komentar Cecil tadi.  Semua orang di restaurant itu telah membicarakannya.  Tom, si pirang dari Swiss dapat mencetak dua touch down berturut-turut di saat pertandingan hampir berakhir sehingga permainan yang tadinya draw bisa dimenangkan Kent dengan empat belas angka.

‘Kamu tidak datang ke apartemen Tom?’ ganti Cecil yang bertanya.

‘Begitu tugasku disini selesai aku akan kesana.  Nancy seharusnya sudah datang untuk menggantikanku sekarang.’   Jawab Indi sambil meyerahkan uang kembalian.

’Kamu tidak datang?’ tanya Indi.  Sementara itu makanan yang dipesan Cecil datang melalui roda berjalan.  Indi meraihnya dan diletakkan di atas baki.  Sesudah ditambahkan dengan dua gelas minuman, baki itu diserahkan pada Cecil.

‘Aku tidak bisa datang, ada date yang agak serius.  Aku akur-akur saja putusan rapat nanti,’ jawab Cecil sambil mengedipkan sebelah matanya.  Indi tersenyum senang.  Mereka tidak bisa ngobrol lama karena pembeli di belakang Cecil sudah menanti dengan tak sabar.

Nancy yang ditunggu-tunggu Indi baru muncul jam sembilan lebih sepuluh menit.  Sepuluh  menit terlambat dari waktu yang seharusnya.

‘Dari mana saja, Miss Nancy Drew?  Ada misteri yang harus dipecahkan?’ tanya Indi dongkol.  Nancy tersenyum malu dan berdiri di samping Indi siap mengambil alih tugas.

‘Maaf, Indi aku tidak bisa keluar dari stadion tadi.  Penuh sesak,’  Nancy mencoba menjelaskan keterlambatannya.  ’Oh ya, aku ketemu Tom tadi.  Dia titip salam dan cintanya buatmu,’ sambungnya.  Indi mencibir, dia tahu Tom tidak bakalan titip salam lagi untuk dirinya, apalagi cinta.  Kemudian dia menepuk bahu Nancy sebagai tanda tugas telah diserahkan.

‘Indi!’   panggil Nancy.

‘Kerja yang baik,’ sahut Indi tidak menoleh.

Sesudah mengganti pakaian kerja Kenny’s dengan pakaian biasanya, Indi segera keluar dari kamar ganti dan mau pergi diam-diam lewat pintu belakang.  Ternyata di depan dapur dia dihadang oleh Kenneth Finch, si pemilik restaurant.

‘Mau kemana?’ tanya Ken  heran.

‘Pulang tentu saja,’ sahut Indi

‘Tidak sekarang, Indi.  Kamu lihat kita begitu memerlukan tenaga saat ini,’ kata Ken menghiba.  Indi menggerakkan kepalanya dengan gerakan yang lucu.

‘Sorry, boss.  Sekarang sudah jam sembilan lewat seperempat dan tugasku sudah berakhir tadi jam sembilan,’ jawab Indi acuh sambil melewati Ken.

‘Jangan jual mahal kamu!’ teriak Ken.  Indi membalikkan badannya dan tersenyum kocak.

‘Aku ada keperluan penting, Ken.  Ada rapat KFS.’

‘Apa itu?’  Bob si juru masak yang ikut mendengar pembicaraan mereka ikut nimbrung.

‘KFS.  Kent’s Foreign Students.  Kumpulan mahasiswa-mahasiswa asing,’ jawab Indi.  ‘Aku harus hadir di sana karena aku salah seorang pengurusnya,’ sambungnya

‘Baiklah,’ Ken mengalah, ’aku tahu kemauanmu tidak bisa dicegah.  Dimana rapat itu diadakan?’

‘Apartemen Raintree,’ jawab Indi jujur.  Ken dan Bob terbahak mendengar jawaban itu.

‘Mengapa kalian tertawa?’ tanya Indi curiga.

‘Di apartemen Tom kan?’ goda Bob masih dengan tawa.

‘Masa bodoh!’ jawab Indi sambil berlalu.  Dia baru saja akan membuka pintu belakang ketika Ken memanggilnya kembali.

‘Ada apa?’ tanya Indi jengkel.

‘Gaji minggu ini tidak kamu ambil?  Tidak butuh uang?’ tanya Ken.  Wajah Indi yang tadinya keruh kini menjadi cerah kembali.  Kelelahannya hilang mendengar kata-kata itu.

‘Gila, hampir lupa aku kalau hari ini hari Sabtu,’ gumamnya sambil mengikuti Ken memasuki ruang kerjanya.  Ruang itu berbeda dengan ruang-ruang lain yang berada di restaurant, kecil dan penuh dengan buku-buku literatur.  Jika restaurant itu tidak seramai seperti sekarang ini, Ken akan menenggelamkan dirinya dalam buku-buku tersebut.  Dia adalah mahasiswa Arsitektur, teman kuliah Tom.

Sementara Ken menuliskan cek untuknya, Indi duduk di kursi putar sambil menggerak-gerakkan kursi itu ke kiri dan ke kanan.

‘Indi, Kamu benar-benar seruis dengan Tom?’ tanya Ken, mendongakkan wajahnya dari buku cek yang sedang dihadapinya.

‘Sorry tidak bisa memberi jawaban.  Itu masalah pribadi.’

‘Woi, jadi aku belum kamu anggap cukup dekat untuk mengetahui rahasiamu.’

‘Kalau rahasiaku kuberitahukan kepadamu, boss, namanya bukan rahasia lagi,’ jawab Indi.  Ken tertawa sambil menandatangani cek yang tadi tertunda.  Cek itu kemudian diulurkan kepada Indi yang segera disahut Indi dengan cepat.

‘Makasih, Ken,’  teriak Indi dan menghilang meninggalkan Ken yang termenung di depan buku ceknya.

Melintas Perbatasan

Indi keluar melalui pintu belakang kemudian berjalan lewat jalan samping menuju ke jalan raya.  Angin malam berhembus dingin.  Indi merapatkan jacketnya dan mempercepat langkahnya untuk mengurangi dinginnya malam.

Di langit ada sepotong bulan yang berusaha untuk mengirimkan sinarnya ke bumi, tetapi kalah oleh terangnya lampu-lampu sepanjang jalan itu.  Sisa-sisa pertandingan masih terlihat.  Bar-bar dan restaurant-restaurant penuh dengan warga Kent yang sedang merayakan kemenangan timnya.  Di depan setiap Bar dan Restaurant terdapt tulisan-tulisan dengan lampu berwarna-warni yang intinya memberi semangat kepada kesebelasan Kent.  Tetapi yang membuat Indi tersenyum adalah tulisan di depan Dorado Bar.  Disitu tertulis, Tom, kutraktir kau disini.

Setelah melewati Ramada Inn, Indi belok ke kanan.  Jalan di depannya kini gelap, hanya lampu-lampu mercury kecil saja yang menjadi penerang jalan.  Indi agak gentar.  Tom melarangnya jalan di tempat ini sendirian.  Tapi itu dulu.  Dulu sebelum dia sadar bahwa dia bukan pasangan yang baik bagi Tom.  Sekarang Tom tak berhak untuk melarangnya lagi.  Dia adalah dia.

Ketika melewati sebuah bangunan yang siangnya digunakan untuk bengkel dan malamnya dibiarkan kosong, ketakutan Indi tak tertahankan lagi.  Pernah seorang mahasiswa Kent diperkosa di tempat ini.  Indi bergidik.  Dipercepat langkahnya, setengah berlari.  Dia baru bisa bernafas lega ketika melihat apartemen Raintree yang terang di hadapannya.

Setelah menenangkan nafasnya barulah Indi memasuki lobby apartemen itu.  Disana ada beberapa pasang muda-mudi yang sedang pacaran.  Indi segera menuju ke deretan anak tangga.  Apartemen Tom ada di tingkat tiga dan biasanya Indi menggunakan lift untuk menuju ke sana, tapi kali ini Indi memilih untuk menggunakan tangga biasa.  Dia baru saja menyadari bahwa sebenarnya dia enggan dan takut untuk berjumpa dengan Tom, tetapi untuk berbalik dan melewati daerah yang baru saja dia lewati dia lebih tidak mau lagi.  Jadi untuk mengulur-ulur waktu digunakannya tangga itu.

Keraguan Indi mencapai puncaknya ketika dia telah berdiri di depan pintu apartemen Tom.

Masuk… Tidak… Masuk… Tidak… Masuk.  Ya Tuhan mengapa aku sebegini pengecut?  Mengapa aku tidak berani menghadapi Tom?  Bukankah aku sendiri yang memilih keadaan macam ini?  Aku harus menunjukkan pada Tom bahwa aku konsekwen dengan putusanku dulu untuk tetap berkawan.  Kemudian pelan-pelan diketuknya pintu itu.  Suara langkah terdengar mendekat sejenak kemudian pintu terkuat.  Antonio, mahasiswa dari Italia yang membukakan pintu untuknya.

Buon giorno, Tonino!’ Indi memberi salam dalam bahasa Italia sambil tersenyum manis, dia sama sekali tidak tampak gundah.  Tonino adalah panggilan akrab bagi Antonio.  Antonio membalas salam Indi dalam bahasa Italia pula dan mempersilahkan Indi masuk.  Di dalam sudah banyak mahasiswa dan mahasisiwi yang berkumpul.  Indi melihat Tom duduk di samping Ursula, gadis Austria yang pergi ke pesta Home Coming dengan Tom.  Tom tampak agak kaget melihat siapa yang datang.

‘Hallo semua!’ seru Indi berusaha untuk bersikap biasa walau sebenarnya dia canggung setengah mati.  Kemudian dia duduk disamping Kahar mahasiswa dari Malaysia dan berbisik-bisik dalam bahasa Melayu.

‘Hei Tom, kudengar Kamu baru pulang dari Swiss ada oleh-oleh untukku?’ tanya Indi selang beberapa saat.  Tom terhenyak mendengar pertanyaan Indi yang tak disangka-sangka itu.  Dia hanya bisa tersenyum kecut dan memandang Indi tajam.  Indi tersenyum penuh kemenangan.  Kau lihatlah aku, Tom, aku bisa sesantai ini dan Kamu tidak.  Kemudian diraihnya keripik kentang yang ada di depannya dan mulai makan.  Sementara itu matanya mengawasi seluruh apartemen.  Tak banyak yang berubah.

‘Bisa kita teruskan pembicaraan kita?’  Hans Norwegia, si ketua KFS memulai.

‘Boleh aku tahu ini tentang apa?’ sela Indi.

‘Lebih baik kuulangi dari awal sehingga yang tadi belum datang bisa mendengarnya,’ kata Ursula sambil melihat ke tablet yang dibawanya.

Gadis itu begitu manis dan feminin.  Mata biru dan rambut pirangnya mirip milik Tom.  Mereka berdua sangat serasi, pikir Indi sambil memandang Ursula yang duduk di samping Tom.

‘Kita merencanakan untuk pergi ke Jackson Port, Canada pada akhir pekan yang akan datang,’ ucap Ursula lembut.  Indi harus iri pada kelembutan suara Ursula. ’Yang bertanggung jawab dalam perjalanan ini adalah Tom dengan dibantu oleh Tonino, Alberto dan Juan.’   Selama Ursula berbicara itu Indi melihat kalau mata Tom selalu memandang Ursula.  Dan pandangannya lain , pikir Indi yang tiba-tiba merasa berduka.  Cemburu? Tidak, bantah Indi sengit.

‘Oke, Tom, Kamu mau membicarakan rencanamu?’ Ursula memberi Tom kesempatan.  Sebelum Tom memulai berbicara dia memandang semua teman-temannya, tetapi ketika sampai pada Indi dengan cepat dipindahkan ke yang lainnya seakan memandang Indi begitu menusuk hatinya.  Indi menyadari hal itu pula tetapi pura-pura tidak tahu.

‘Begini…  Kita berangkat hari Jum’at pagi jam 8 dari Auditorium.  Juan telah menyewa greyhound untuk kita.  Kita akan makan siang di Cleveland.  Saya kira Indi bersedia mengurusi makanan kita seperti waktu-waktu yang lalu.’   Katanya, kali ini Indi terpaksa harus memandang Tom tanpa ekspresi.

‘Bukannya aku menolak, tapi aku ingin menjadi wisatawan biasa.  Setiap kali kita mengadakan acara, aku selalu sibuk.  Bahkan aku sering harus mengeluarkan uang dari sakuku sendiri,’ kata Indi.  Kalimat terakhir cuma gurauan saja.  Luis, temannya dari Chile tertawa ngakak mendengar penolakan Indi.

‘Apalagi harus berurusan dengan anak-anak Amerika Selatan macam Luis,’ sambung Indi tidak mengacuhkan tawa Luis.  ’Makannya banyak dan tidak  ingat  jatah teman-temannya.  Bagaimana kalau kali ini kita serahkan saja pada gadis Amerika Selatan.  Nibia misalnya?’ usul Indi.  Nibia yang namanya disebut berteriak  protes.

‘Ayo Nibia, terima usul itu,’ dorong Luis.  ‘Nanti kubantu kau.  Kita bisa mendapatkan untung dari kerja ini seperti yang biasa Indi terima.’    Indi tersenyum lebar mendengar olok-olok Luis.

‘Bagaimana, Nibia?’ tanya Tom.  Dia merasa Indi menolak tugas itu karena kali ini dia yang bertanggung jawab.  Nibia bimbang.

‘Tentu saja kamu tidak akan bekerja sendirian.  Aku pasti membantumu demikian pula Wiwan, Keiko dan yang lain-lainnya.  Kamu hanya mengkoordinasikan saja, oke?’  bujuk  Indi.

‘Si,’ jawab Nibia akhirnya setuju.

 Sesudah urusan perjalanan selesai, maka pertemuan dilanjutkan dengan obrolan santai.  Indi berjalan ke dapur untuk mencari minuman.  Tanpa disengaja ketika melewati meja belajar Tom , dia melihat kalau foto dirinya yang biasanya dipasang disitu sudah tidak ada lagi.  Indi tercenung.  Kemudian dia membuka lemari es untuk mencari minuman yang diinginkannya dan berusaha melupakan hal tersebut.

‘Aku tidak mempunyainya,’ tiba-tiba terdengar suara Tom.  Indi tidak menyangka kalau Tom sudah berdiri di belakangnya.  Waktu dia berjalan menuju dapur tadi dia melihat Tom masih bercakap-cakap dengan Ursula.

’Sudah lama aku tidak membeli gingerale,’ lanjut Tom.  Gingerale adalah minuman kegemaran Indi dan Tom dulu selalu menyimpan di lemari es untuknya.  Indi memaksakan diri untuk tersenyum

‘Tidak apa-apa, susupun jadi,’ jawab Indi sambil mengeluarkan karton susu.  Dia menuangkan sedikit ke dalam gelas yang dibawanya dan menawarkan pada Tom kalau dia juga mau.  Tom menggeleng sambil matanya menatap langsung ke mata Indi.  Indi melihat mulut Tom terbuka siap untuk mengatakan sesuatu, tetapi mulut itu kembali terkatup lagi.

Mengapa jadi begini kaku?  keluh Indi.  Bukan ini yang kukehendaki.  Aku tidak ingin Tom mencintaiku lagi tapi tidak lantas jadi begini jauh.

‘Bagaimana keluargamu di Swiss, Tom?’ tanya Indi berusaha mencairkan suasana.

‘Baik-baik,’ jawab Tom sambil memandang Indi lama.  Indi kecut menyadari bahwa pandangan Tom masih seperti dulu, dalam dan lembut.  Indi menghindari pandangan itu, tetapi tangan Tom lebih cekatan diraihnya bahu Indi dan memaksanya untuk menatap matanya.

‘Indi,…’   suara Tom bergetar.  Indi menggelengkan kepalanya.

‘Mengapa kamu membohongi dirimu sendiri? Kamu masih mencintaiku,’ bisik Tom sambil matanya tak lepas dari mata Indi.

‘Tidak !’ jawab Indi sambil melepaskan diri dari tangan Tom.  Kemudian dia berjalan setelah  memberikan sebuah senyum yang tidak bisa ditafsirkan artinya oleh Tom.

Melintas Perbatasan

‘Bangun! Bangun! Bangun!’  teriak Diane sambil membuka tirai jendela kamarnya.  Sinar matahari menyerbu masuk.  Indi terpaksa membuka matanya karena silau.

‘Hei, apa yang kamu lakukan?!’ teriak Indi dongkol.  Diane tertawa senang.  Biasanya yang membuka tirai jendela adalah Indi dan biasanya dia yang berteriak-teriak protes.

‘Bangun,  non, sudah jam enam.’

‘Diane, kamu masih waras? Ini hari Minggu, tolol!’ gerutu Indi.

‘Mau kemana kamu?’ tanya Indi ketika melihat Diane sudah rapi.  Indi menggeliatkan badannya beberapa kali dan duduk bersila di atas tempat tidurnya.  Kantuknya masih belum hilang.  Semalam dia tidak bisa tidur.  Resah! Dia masih terjaga ketika Diane masuk ke kamar dengan mengendap-endap takut mengagetkannya tetapi dia terlalu malas untuk menegurnya.

‘Enggak ke kamar mandi?’ Saran Diane ketika melihat Indi tak beranjak dari tempat tidurnya.  Indi menguap kemudian pelan-pelan dia turun dan seperti kapal oleng berjalan ke kamar mandi.

Ketika kembali ke kamarnya lagi, Indi kaget melihat sebuah figura dempet yang lain di samping figura dempet yang berisi foto Jimmy dan Diane.  Di figura itu dia lihat dirinya sendiri dan.  ..  Tom.  Diane tersenyum melihat kekagetan Indi.

‘Surprise!’ teriaknya.

‘Lelucon konyol,’ komentar Indi sambil menuju meja dimana figura itu berada dan membaliknya.  Diane mengambil figura itu dan diamatinya.

‘Kalian begitu serasi.  Cantik dan tampan.  Tahukah kau, In, kalian mempunyai senyum yang sama?’ kata Diane.  Indi tidak menanggapinya, dia sedang berganti pakaian dan membelakangi Diane.

‘Indi…’   panggil Diane.

‘Ya?’

‘Pemuda seperti apakah yang kamu cari? Apakah Tom tidak cukup baik bagimu? Apakah Kamu merasa orang Asia lebih berkualitas dari lainnya?’

‘Ya,’  jawab Indi pendek sambil meletakkan pakaian kotornya di kolong tempat tidur.

‘Indiiiiiiii…  ,’teriak Diane.

‘Jangan sewot.  Dia terlalu baik buatku,’ ralat Indi.  ’Aku akan pergi sekarang dan bila aku pulang nanti aku tidak ingin melihat foto itu masih berada di atas meja,’ sambungnya.  Diane memandangnya nanar.

‘Mau kemana kamu? Aku mau mengajakmu pergi.’

‘Kamu? Kamu mau mengajakku pergi pada hari Minggu?’ tanya Indi tidak percaya.  Mereka sering pergi bersama, tetapi hari Minggu adalah hari khusus Diane dan Jimmy.

‘Ya,’ jawab Diane mantap.’   Aku dan Jimmy merencanakan untuk pergi ke luar kota dan berkuda.  Kamu harus ikut.’

‘Aku tidak mau mengganggumu.  Pergilah kalian berdua, jangan risaukan aku.  Aku akan jalan-jalan ke auditorium, banyak acara yang menarik pagi ini.’

‘Indi aku dan Jimmy benar-benar mengharap Kamu mau ikut.’

‘Terima kasih atas perhatian kalian.  Tapi pagi ini George Robbins akan mengadakan konsert pertamanya sebagai orang yang bisa melihat.  Dia baru saja menjalani operasi mata.  Aku ingin melihatnya.’

‘Indi, ikutlah aku, please?’ bujuk Diane.  Indi heran, biasanya kalau dia malas untuk diajak pergi,  Diane tidak akan mengajaknya pergi.

‘Ada apa sebenarnya.  Aku ingin kamu jujur?’ tanya Indi.

‘Emmm.. Jimmy juga akan mengajak Tom, jadi…’   jawab Diane, tapi sebelum dia selesai, Indi telah keluar dari kamar.

‘Indi!  Indiii!’ teriak Diane sambil membuka pintu kamarnya.  Indi pura-pura tidak mendengar panggilan Diane, dia berjalan sepanjang koridor yang masih senyap.

‘Indii…  !’teriak Diane lebih keras.

‘Indi !’

‘Indi, Kamu keras kepala, sombong, tolol, …’ omel Diane keras.  Indi tersenyum mendengar omelan Diane tersebut, kemudian dia masuk ke lift.  Sebelum pintu lift tertutup Indi melambai dan tersenyum pada Diane yang memandangnya dengan dongkol kemudian membalas Indi dengan kepalan tangan.

Indi tidak langsung menuju auditorium.  Dia berjalan-jalan di sekitar stadion kemudian duduk di sebuah bukit kecil di dekat sebuah batu peringatan yang dipasang untuk mengenang lima mahasiswa Kent yang tertembak dan terbunuh pada waktu mengadakan demontrasi dan bentrok dengan polisi federal beberapa puluh tahun yang lalu.  Di dekat batu itu setiap hari ada beberapa tangkai bunga segar entah siapa yang meletakkannya.

 Dari tempat Indi duduk sekarang, dia bisa melihat pemandangan ke segala jurusan.  Gedung arsitektur berada di sebelah kirinya.  Di depannya agak kebawah adalah taman dengan bunga-bunga mawar yang sedang berkembang.  Di sebelah kanan jauh adalah asrama mahasiswa bagi mahasiswa yang telah berkeluarga.

Jam sembilan Indi baru meninggalkan tempat itu dan berjalan menuju auditorium.  Dia hanya berada di auditorium sejenak kemudian pergi ke sanggar tari Guy Lumbardo di pusat kota.  Sudah lama Indi tak menjejakkan kakinya disana.  Pelatihnya sangat senang melihat Indi datang dan menawarkan peran dalam pertujukkan ballet yang akan datang.  Tetapi ditolak Indi.  Dia belum mau menari lagi.  Dia melihat latihan hingga sore hari.  Dan ketika pelatihnya mengajaknya untuk makan siang bersamanya, Indi tidak tega untuk menolaknya lagi.  Ketika hari hampir malam barulah Indi ingat untuk pulang.

Diane telah menantinya ketika dia masuk.  Dia tidak membalas sapaan Indi.  Masih marah, pikir Indi sambil mengeluarkan pakaian-pakaian kotornya yang berada di jemari bagian bawah dan di kolong tempat tidurnya.

‘Semoga Kamu puas dengan dirimu sendiri,’ ucap Diane rendah.  Indi memandang Diane tidak berkomentar.

‘Kasihan Tom,’ lanjut Diane.

‘Diane, itu masalah pribadi…’

‘Dan aku tak perlu campur tangan.’ Diane meneruskan. ’Tapi kali ini aku terpaksa harus berpihak pada Tom, karena kamu sudah kelewatan’

‘Aku tidak melakukan kesalahan apapun.’

‘Kesalahanmu terlalu banyak.’

‘Tolong sebutkan,’ tantang Indi.

‘Indi, bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa kamu dan Tom masih akan tetap bersahabat walau kalian tidak pacaran lagi?  Tapi apakah tindakanmu itu tindakan seorang sahabat?’ tanya Diane. ’Berapa patah kata yang kau ucapkan semalam di apartemen Tom?  Dan alasan apa yang akan kau kemukakan untuk tidak ikut berkuda tadi pagi?  Konsert George Robbins? Konsert itu baru akan diadakan minggu depan dan tadi pagi hanyalah konsert seniman-seniman kampus yang aku tahu pasti kamu tidak menyukainya,’ sambung Diane cepat.  Indi terdiam.  Mati kutu.

‘Indi kalau kamu sudah tak mau bersahabat dengan Tom, mengapa Kamu datang ke apartemennya semalam? Tom heran atas kedatanganmu.’

‘Karena ada pertemuan KFS.  Apakah dia tak mengatakannya?’

‘Indi, jangan munafik! Bukan itu tujuan utamamu.  Kamu hanya akan melihat keadaan Tom.  Kamu akan tersenyum puas bila melihat Tom menderita karena ulahmu.  Dan itu telah kau buktikan semalam.  Kamu ingin melihat dia menderita lagi dengan tidak memenuhi ajakanku tadi pagi.’

‘Aku tidak sejahat yang kamu kira,’ sanggah Indi.

‘Lebih jahat?  Indi, kalau kamu tidak mencintai Tom lagi mengapa tidak kamu biarkan dia mencintai wanita lain?’

‘Aku tidak  pernah menghalang-halangi dia untuk mencintai siapapun.  Apakah dia merasa aku menghalang-halanginya?’

‘Bukan dia yang merasa, tapi Ursula?’

‘Ursula?’

‘Dia mencintai Tom.  Dia bilang kepadaku tadi pagi.  Dan dia merasa hampir berhasil mendapatkan cinta Tom andai saja kamu tidak masuk lagi di dalam kehidupan Tom.  Sudah empat bulan kamu tidak berhubungan lagi dengan Tom, tetapi tiba-tiba saja kamu muncul di apartemen Tom seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan menghancurkan segalanya,’ Indi terpana mendengar kata-kata Diane.

‘Indi, apakah kamu masih mencintai Tom?’

‘Tidak lagi kurasa,’ jawab Indi tak pasti.

‘Kamu tahu aku sangat menyayangimu’ Indi.  Aku ingin kamu kembali kepada Tom kalau kamu masih mencintainya.  Tetapi jika memang kamu tidak mencintainya lagi…  tolonglah bebaskan mereka.  Tom dan Ursula sama-sama terombang-ambing atas sikapmu.’

‘Maksudmu?’ tanya Indi tidak mengerti.

‘Pilihlah salah satu, kembali kepada Tom atau jauhi dia sama sekali.’

‘Baik.  Akan kujauhi dia sejauh-jauhnya,’ kata Indi sambil memasukkan pakaian-pakaian kotornya ke dalam tas kertas.  Dia tidak berani memandang Diane takut dari matanya bisa terbaca isi hati yang sesungguhnya.

‘Indi…’

‘Aku mau mencuci pakaian.  Kamu ikut?’ tanya Indi tidak memberi kesempatan Diane untuk melanjutkan kata-katanya.  Diane segera bangkit dari tempatnya dan mengeluarkan pakaian-pakaian kotornya dari kolong tempat tidur.

‘Indi…’

‘Cepatlah Diane, ini hari Minggu biasanya ruang cuci akan penuh,’ ajak Indi tidak sabar.

‘Indi biarkan aku menyelesaikan omonganku terlebih dulu.’

‘Kalau mau membicarakan tentang Tom, aku tidak mau dengar,’ kata Indi sambil membuka pintu.

‘Kamu menyakiti hatimu sendiri,’ bisik Diane.  Indi tidak menyahut.  Dia menyuruh Diane keluar dulu kemudian dia menutup pintu dan menguncinya dari luar.  Berdua mereka berjalan menuju ke ruang cuci di lantai paling bawah.  Canda mereka tidak terdengar.

Posted on February 11, 2013, in Novelette and tagged , , , , . Bookmark the permalink. 6 Comments.

  1. Awesome!!!

  2. Zaima Mufaniri

    Subhanallah.. Ini cerita aku baca ketika aku msh kecil.. Dan aku terkesan sekali.. Sampai2 aku juga menyenangi lagu besame mucho.. Terima ksh telah memberi sesuatu yang indah dlm hidupku..

  3. Terima kasih, Zaima, untuk komentarnya yang manis. Sampai sekarang Besame Mucho masih tetap menjadi lagu andalah saya untuk nyanyi di karaoke…

  4. Cerita bagus itu tak lekang dimakan usia. Rasanya masih segar, sesegar sup bayam tanpa gajih di warung sgpc bu wiryo, ha… :p
    Tks sdh memposting cerita asyik ini, laily… Salam

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: