Blog Archives
Ribuan Mil Dari Mama (Bagian Pertama)
Posted by Laily Lanisy
Wanita cantik berkulit hitam itu menerima paspor yang kuulurkan kepadanya. Sekejab dia memandangku dengan matanya yang jernih, kemudian memeriksa pasporku dengan seksama. Selagi dia menunduk, kuamati dirinya. Kulitnya licin bercahaya, rambutnya yang keriting di tarik ke belakang kemudian diikat dengan pita berwarna biru sewarna dengan pakaian yang di kenakannya. Profil wajahnya begitu apik. Tulang pipinya yang menonjol sengaja di tunjukkannya dengan menggunakan makeup yang samar-samar. Secara keseluruhan dia sangat menarik.
‘Miss Lucinda Stanton?’ tanyanya sambil menengadahkan kepala. Kuanggukan kepalaku walau nama itu sangat asing bagi telingaku. Sepanjang hidupku, namaku adalah Lusi. Tanpa embel-embel Stanton di belakangnya. Setelah yakin kalau foto di paspor itu adalah fotoku, si hitam manis pegawai imigrasi tersebut kemudian dia membubuhkan cap di halaman pasporku. Setelah selesai dia membuka pintu yang memisahkanku dengan dirinya.
‘Would you follow me, please?’ katanya lembut sembari menyerahkan pasporku kembali. Sejenak aku terpana. Untuk apa?
‘Anda telah dinanti,’ lanjut wanita tersebut membunuh keherananku. Aku pun bisa bernafas lega dan mengikuti dia. Setelah berjalan melalui lorong-lorong yang panjang, akhirnya kami sampai di depan pintu dengan tulisan ‘Private Airlines’.
‘Gabriella!’ teriak seseorang begitu kami memasuki ruangan. Aku memandang sekeliling mencari wajah yang mungkin kukenal. Tidak ada! Lalu siapa yang menjemputku?
‘Miss Stanton, . . .?’ panggil si hitam manis yang ternyata bernama Gabriella. Secara spontan aku menoleh.
‘Ini Emanuel Batista yang bertugas menjemput anda,’ lanjut Gabriella memperkenalkan pria yang tadi meneriakkan namanya. Melihat wajahnya yang mirip-mirip George Lopez, aku yakin kalau dia pria Mexico.
‘Senang sekali bertugas menjemput anda, Miss Stanton,’ ucap Emanuel sambil menjabat tanganku hangat.
‘Dia seorang pilot yang hebat, keselamatan Anda akan terjamin bersamanya.’ Gabriella menerangkan. Emanuel hanya mampu tertawa canggung.
‘Oke, saya harus bertugas. Selamat jalan, Miss Stanton, semoga Anda betah di Amerika,” ucap Gabriella sebelum berlalu.
‘Terima kasih,’ bisikku. Ya, mudah-mudahan aku betah di sini.
‘Anda sudah siap, Miss Stanton?’ tanya Emanuel memecahkan lamunanku.
‘Ya, ya,’ sahutku gagap. ‘Tapi bagaimana barang-barangku?’ lanjutku.
‘Sudah kami urus,’ jawab Emanuel mantap. Kemudian kami keluar dari ruang tersebut. Berjalan lagi di lorong-lorong yang panjang dan lengang yang bertolak belakang dengan sisi lain dari airport ini.
‘Bagaimana dengan perjalanan Anda dari Indonesia kemari?’ tanya Emanuel.
‘Melelahkan dan membosankan,” jawabku jujur. Emanuel tertawa. Giginya begitu putih dan rata. Kalau dia tertawa seperti itu, kerut-kerut di sekeliling matanya bertambah dalam dan matanya tampak lebih bercahaya.
‘Anda boleh tidur selama perjalanan nanti,’ janji Emanuel. Aku mengangguk untuk menyenangkan hatinya.
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya aku bisa menghirup udara luar lagi. Beberapa pesawat kecil ada di depan kami. Tiba-tiba mataku terpaku pada sebuah pesawat bercat putih dengan garis biru melintang. Di pintu pesawat tersebut ada tulisan STANTON dengan huruf besar berwarna biru pula dan di bawah pesawat itu aku melihat kedua koperku. Aku terkejut. Milik siapakah pesawat kecil ini? Milik ayah kandungku? Apakah dia sekaya itu? Tetapi aku tak berani menanyakan hal itu kepada Emanuel.
Setelah kedua koperku masuk ke dalam bagasi, Emanuel memperkenalkan co-pilotnya. Mauricio Batista, adik kandungnya sendiri. Memasuki pesawat, aku kembali dibuat tertegun. Dari luar, pesawat itu sudah tampak mewah dan ternyata di dalamnya jauh lebih mewah lagi. Tempat duduknya yang empuk berlapis kulit berwarna krem yang lebih menjurus ke putih. Panel dindin dan langit-langitnya begitu detail dan berselera yang tinggi.
Begitu waktu yang dijadwalkan tiba, pesawat itu mulai berjalan. Pelan dan pasti, kemudian dengan lembut meninggalkan landasan. Barulah aku percaya pada apa yang dikatakan Gabriella bahwa Emanuel adalah seorang pilot yang hebat. Pesawat kami berjalan dengan tenang meninggalkan kota New York. Beberapa saat kemudian kami terbang agak rendah. Kini yang ada di bawah bukan lagi bangunan-bangunan tinggi menjulang melainkan hamparan padang rumput. Di tengah-tengah padang rumput itu ada sebuah jalan yang mulus dan berkelok-kelok. Itulah country road John Denver. Bila kami tiba di atas sebuah kota, Mauricio dan Manuel akan mengatakan nama kota itu serta memberikan keterangan singkat.
‘Philadelphia,’ kata Mauricio. Kemudian dia akan menerangkan segala sesuatu tentang Philadelphia. Dari Liberty Bell hingga perjuangan orang-orang Amerika untuk mencapai kemerdekaan seakan dia ahli dalam sejarah Amerika Serikat. Aku benar-benar senang mempunyai penjemput seperti mereka. Janji Emanuel untuk membiarkan aku tidur dalam perjalanan tak menjadi kenyataan. Mereka menyuguhiku dengan pemandangan-pemandangan yang terlalu indah untuk diabaikan.
‘Mister Batista, kota apakah itu?’ tanyaku ketika melewati sebuah kota dan tak kudengar sebuah komentar pun. Mauricio menoleh.
‘Anda tidak akan memanggil kami dengan sebutan mister seperti itu bukan, Miss Stanton?’ tanyanya.
‘Mengapa?’ tanyaku tak mengerti.
‘Mengapa? Panggil saja kami Manny dan Morris’
‘Tetapi kalian memangilku Miss Stanton.’
‘Karena itu sudah kewajiban kami.’
‘Aku tidak mengerti maksudmu,’ ucapku. Mauricio atau Morris memandangku tidak percaya.
‘Ayah Anda, Mister Stanton, boss besar kami. Dia adalah pemilik kami. Dan sebutan miss untuk Anda rasanya begitu lumrah.’
‘Aku tak menyukai itu!’ bantahku sengit. Apa-apaan ini? Ayahku pemilik orang lain? Waduh.! ‘ Dengar, aku tak ingin sebutan miss lagi. Panggil saja aku Lusi dan aku akan memanggil kalian Morris dan Manny. Adil bukan?’ usulku. Mauricio terdiam. Tiba-tiba kudengar suara Manuel.
‘Ayah Anda tidak akan menyukainya,’
‘Biar dia tak menyukainya. Hei, kalian belum menjawab pertanyaanku tadi,” seruku mengalihkan pembicaraan. Untuk pertama kalinya aku mempunyai perasaan bahwa aku tidak akan menyukai orang yang akan kutemui kali ini. Orang yang menurut hukum adalah ayahku. Orang yang pernah kawin dengan mama dan orang yang harus kupanggil daddy atau papa. Aku tidak yakin apakah jika nanti bertemu dengannya aku sanggup untuk memanggil dirinya papa. Rasanya lebih pas bagiku untuk memanggil dia Mister Stanton.
‘Maafkan kami,’ ucap Mauricio, ‘Itu tadi Cincinnati. Kota yang sangat indah. Master David kuliah di sana.’
‘Dan bangsawan dari manakah Master David itu?’ tanyaku bergurau karena aku tahu siapa yang dimaksudnya, David Stanton, saudara kembarku. Mauricio dan Manuel tidak menjawab hanya tersenyum lebar.
‘Selamat datang di Kentucky, sebentar lagi kita sampai,’ seru Manny. Kemudian dia mulai mengadakan kontak dengan Louisville Airport. Beberapa saat kemudian dia mendaratkan pesawatnya dengan indah.
‘Penerbangan yang menyenangkan, Manny,’ pujiku sambil membuka sabuk pengamanku.
‘Saya senang Anda menyukainya Miss . . ‘
‘Lusi. Ingat?’ potongku.
‘Oke, Lusi,’ dia meralat sambil tersenyum, “Morris akan mengantarmu ke dalam. Georgie pasti sudah menunggumu. Aku harus mengurus pesawat ini dulu,’ kata Manuel.
‘Manny, siapakah Georgie itu, apakah aku kenal dia? bisikku. Manuel mambelalakkan matanya tidak percaya.
‘Kamu tidak ingat Georgie?’ desisnya. Aku menggeleng.
‘Dia bilang kamu dulu sangat akrab dengannya dan tidak mungkin melupakannya. Sepanjang hidupnya dia bekerja untuk keluarga Stanton. Sekarang dia buttler, tapi dia dulu adalah nanny kalian,” Manuel menerangkan. Kuangkat bahuku sebagai tanda aku benar-benar tak ingat Georgie. Nannyku seroang laki-laki. Mengapa Mama tidak pernah mengungkapkan hal itu. Kapankah dulu itu? Enam belas tahun yang lalu? Waktu umurku masih tiga tahun? Dan dia berharap aku masih mengingatnya?
Georgie adalah seorang pria yang telah melampaui usia enam puluh tahun. Rambutnya sudah putih semua. Walau badannya masih tegap tapi kerut-kerut di wajahnya tidak bisa menyembunyikan usianya. Aku tidak tahu apakah matanya yang kelabu itu merupakan gambaran umur tuanya atau aslinya memang kelabu. Ekspresi gembira terpancar dari wajahnya ketika dia menampak kedatanganku di samping Mauricio. Aku benar-benar menyesal tidak bisa mengingat dia lagi.
‘Miss Lucinda!’ teriaknya nyaring dan tergesa-gesa menemuiku. ‘Aku selalu berdoa untuk bisa bertemu lagi denganmu dan ternyata Tuhan menjawab doaku.’
‘Halo, Georgie,’ sapaku sambil kugenggam tangannya.
‘Kamu sudah dewasa sekarang,’ bisik Georgie.
‘Ya, Georgie.’
‘Bagaimana kabar Nyonya Stanton?’ tanya Georgie tiba-tiba. Aku tahu yang dimaksud pastilah Mama.
‘Baik-baik saja. Tetap seperti dulu kurasa,’ jawabku. Georgie mengangguk-anggukan kepalanya.
‘Wanita hebat, kita semua merindukannya . . . wanita hebat,’ bisiknya berkali-kali.
Λ
Sebuah limousine hitam berkilat telah menanti kami di luar. Georgie membuka bagasi dan Morris memasukkan kedua koperku ke dalamnya. Kemudian Georgie membuka pintu belakang dan menyilakanku masuk. Fuih . . . feodalisme lagi, yang akan memisahkan supir dan anak majikannya.
‘Keberatan bila aku duduk di depan?’ aku meminta persetujuan. Georgie dan Mauricio berpandang-pandangan sejenak.
‘Tentu saja tidak,’ akhirnya Georgie berkata sambil menutup pintu belakang lagi kemudian membuka pintu depan. Aku masuk.
‘Morris, terima kasih,’ itu saja yang dapat kuucapkan kepada Morris sebelum Georgie meluncurkan mobilnya meninggalkan halaman parkir airport.
‘Masih ingat daerah ini?’ tanya Georgie ketika kami melewati pusat kota Louisville. Kota kelahiran Muhammad Ali dan Kolonel Sanders-nya Kentucky Fried Chicken. Aku menggeleng. Ingin benar kukatakan kepadanya bahwa tak ada satu pun yang aku ingat dari tanah Amerika ini. Semuanya serba asing. Bahkan aku tak ingat lagi pada Georgie.
‘Ah, kamu masih terlalu kecil waktu itu,’ akhirnya Georgie sendiri yang mengucapkannya. Aku benar-benar merasa lega.
Lalu lintas begitu ramainya di Louisville sehingga berkali-kali kami harus berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Ingin aku bertanya pada Georgie apakah rumah ayahku masih jauh, tapi keinginan itu segera kupadamkan. Bertanya atau tidak bertanya toh itu tak akan mendekatiku. Kota Louisville telah kami lalui, tetapi Georgie seakan tak pernah berniat untuk menghentikan mobil kami. Dia masih melaju menuju luar kota. Keramaian kota berganti dengan kesegaran daerah pertanian. Mobil-mobil lain yang kami jumpai makin berkurang. Paling-paling satu mobil setiap lima menit. Setelah melalui jalan yang berkelok-kelok, kami tiba di atas sebuah bukit. Georgie memperlambat jalan mobilnya dan menoleh padaku.
‘Kita sudah sampai,’ katanya sambil tersenyum. Aku memandang ke sekeliling. Perkebunan anggur di kiri dan kananku dan di depanku adalah jalan yang panjang dan landai. Tidak ada sebuah rumah pun.
‘Kamu juga tidak ingat, Miss Lucinda, kalau tanah ini adalah tanahmu dan kebun anggur di sana itu kebunmu?’ tanya Georgie sedih. Bukan salahku jika aku tak ingat lagi, tapi nyatanya aku masih tetap merasa bersalah. Seharusnya paling tidak aku ingat tanah ini, karena aku pernah tinggal di sini.
‘Georgie, engkau tahu aku seperti seorang yang terkena amnesia. Aku begitu ingin mengingat semuanya, tapi aku tidak mampu. Masa kecilku seakan hilang begitu saja. Maafkan aku, Georgie,” kuputuskan diriku untuk berkata jujur kepada Georgie dan Georgie seakan memahamiku. Dia tersenyum penuh pengertian.
Begitu kebun anggur itu habis, di ganti dengan pohon-pohon apel yang mulai berbunga. Bunganya kecil-kecil berkelompok dan berwarna putih agak kekuning-kuningan. Tidak ada daun di pohon, sehingga tampaknya hanya pohon dengan batang dan bunganya saja. Georgie menjelaskan kalau daun baru akan muncul kalau bunganya sudah berubah menjadi buah.
‘Kapan kita panen apel, Georgie’ tanyaku memecah kesunyian yang timbul di antara kami.
‘Awal musim gugur,’ jawab Georgie.
‘Banyak hasilnya?’
‘Terlalu banyak. Kamu pasti akan bosan melihatnya dan Clemmie, . . . setiap hari dia akan membuat apple pie. Oh, Clemmie yang malang, dia mengira setiap orang akan menyukai apple pienya,’ jawab Georgie . Aku mengerutkan dahi mencoba untuk mengingat siapa Clemmie yang dimaksudnya.
‘Kamu pasti sudah lupa sama Clemmie, istriku yang tercinta,’ lanjut Georgie menjawab pertanyaanku yang tak terucap.
Sesudah bosan dengan tanaman apel, kami disuguhi kebun jeruk yang juga mulai berbunga. Bau kembang jeruk yang segar masih juga tercium walau semua jendela mobil tertutup rapat.
‘Georgie, boleh kubuka jendelanya,?’
‘Ya, bukalah,’ kata Georgie setelah dia mematikan air conditioner. Begitu jendela terbuka, harum bunga yang segar menyerangku.
‘Persis Nyonya Stanton,’ gumam Georgie.
‘Apa?’
‘Nyonya Stanton selalu membuka jendela setiba di daerah ini.’
‘Aku mewarisi kebiasaan Mama, begitu bukan, Georgie?’ tanyaku. Georgie mengangguk setuju.
‘Kamu mewarisi semuanya. Wajahmu begitu mirip dengan nyonya Stanton,’ puji Georgie.
Setelah perkebunan jeruk habis, diganti dengan padang rumput yang menghijau. Di kejauhan tampak berpuluh-puluh ekor kuda. Kuda-kuda Kentucky, coklat mengkilap. Begitu gagah, begitu kuat.
‘Apakah itu juga kuda-kuda Stanton?’ tanyaku ingin tahu. Aku ingin tahu sekaya apakah ayahku. Pesawat pribadi, limosine, perkebunan yang ribu-ribu hektar dan mungkin juga kuda-kuda itu.
‘Ya. Masih banyak lagi kuda-kuda jantan yang lebih bagus dari mereka. Kuda-kuda yang menjadi finalis di kejuaraan Derby,’ Georgie menerangkan. Dugaanku tepat. Ayahku terlalu kaya. Sedang Mama? Satu mobil pribadi, kijang saja sudah disayang-sayang …. tidak pernah bermimpi untuk memiliki pesawat pribadi. Dari istri seorang jutawan, Mama berganti status menjadi istri seorang pegawai negeri. Tapi mama menerima semua itu dengan tabah. Aku tak pernah mendengar Mama mengeluh tentang keadaan ekonomi kami. Oom No begitu baik. Aku tahu dia begitu ingin membahagiakan Mama.
Setelah mencapai ujung tanjakan, kami membelok, dan kini kami berada di tengah-tengah padang rumput. Jalan yang kami lalui kini adalah jalan pribadi. Sebuah bangunan mulai tampak, dan makin lama makin jelas. Bangunan itu bergaya Victoria dengan empat buah pilar besar. Temboknya bercat putih sedang pintu-pintu dan jendela-jendelanya bercat hitam. Oh, ternyata bukan bercat hitam melainkan cokelat mahogani. Georgie menghentikan mobilnya di depan teras. Seorang wanita setengah tua berpakaian hitam dengan celemek putih berlari-lari menuruni anak tangga. Aku begitu yakin bahwa wanita itu Clemmie, mungkin dari cara dia memandang Georgie. Aku segera turun, takut Georgie keburu membukakan pintu untukku.
‘Miss Lucinda!’ teriak wanita itu.
‘Clemmie? tanyaku meyakinkan.
‘Ya, Tuhan, engkau masih ingat pada si tua Clemmie?” seru Clemmie senang. Dia memamndang pada tiga gadis manis yang telah muncul di situ dengan bangga, kemudian dia memelukku dan mencium pipi kiriku.
‘Engkau benar-benar mirip Nyonya Stanton, Missy,’ bisiknya sambil melepaskan pelukannya. Kemudian dia memerintahkan kepada tiga gadis yang berdiri di belakangnya untuk membawa koperku ke dalam setelah terlebih dahulu mereka diperkenalkan kepadaku; Helen. Judy dan Irene, petugas rumah tangga. Dengan dibimbing Clemmie aku masuk ke dalam. Aku belum bisa meyakinkan diri bahwa rumah ini juga rumahku. Ruang tamu yang luas dan mewah dengan kursi-kursi antik yang tampak begitu anggun dan sesuai dengan cat temboknya. Bahkan hiasan-hiasan di dindingpun seakan khusus di ciptakan untuk ruangan ini.
‘Di mana Ayah?’ akhirnya keluar juga pertanyaan yang sejak dari New York tadi ingin kuutarakan.
‘Ada urusan bisnis di Cleveland. Mister Stanton baru akan pulang nanti menjelang makan malam,” jawab Clemmie. “Sedang Mister David saya tidak tahu kemana perginya,” lanjut Clemmie tanpa kuminta.
Dari ruang tamu kami masuk ke kamar tengah kemudian menuju ke kamar yang disediakan untukku di tingkat dua. Pintu kamar itu begitu berat dan ketika terkuak tampaklah seisi kamar. Tempat tidur yang ekstra besar, perapian, kursi malas, kaca rias yang semuanya serba lux dan belum pernah kuimpikan. Aku masuk dengan ragu kemudian menuju ke dekat jendela. Kusingkapkan tirainya. Pemandangan di luar jauh lebih indah dari pemandangan di dalam. Padang rumput yang menghijau dengan kuda-kuda yang sedang memakan rumput. Semuanya sangat memukau.
‘Clemmie, kamar siapakah ini?’ tanyaku sesaat sehabis mandi sambil menghadapi makan siangku. Aku benar-benar heran karena kamar ini seluruhnya menggambarkan citra seorang wanita, sedang di rumah ini tak ada wanita lain kecuali para pembantu. Dan kamar ini terlampau indah buat kamar seorang pembantu. Adakah wanita lain di rumah ini?
‘Kamarmu, miss Lucinda,’
‘Maksudku, siapakah yang biasanya menggunakan kamar ini?’
‘Tidak ada, kamar ini memang di biarkan kosong,” jawab Clemmie.
‘Untuk berjaga-jaga bila ada tamu yang bermalam?’
‘Bukan,’ sahut Clemmie cepat. ‘Ada dua kamar yang di biarkan kosong. Yang satunya lagi di pojok sana, di seberang master bedroom. Mister Stanton menyediakannya untuk Missy dan nyonya Stanton… Siapa tahu kalau mereka pulang, itu yang selalu dikatakan Mister Stanton.’ Aku tertegun. Jadi ayahku selalu mengharapkan aku dan Mama untuk kembali lagi kemari.
‘Kalau begitu kamar yang satunya lagi akan selalu kosong,’ bisikku tidak sadar. Mama tidak akan pernah kembali lagi.
‘Apa, Missy?’ tanya Clemmie.
‘Mama tidak akan pernah kembali lagi, Clemmie.’
‘Mengapa?’ desak Clemmie cepat sekali.
‘Mama sudah kawin dengan orang lain.’
‘Sudah kawin? Mengapa mister Stanton tidak pernah mengatakannya? Clemmie kaget. Apakah dia tidak tahu? Apakah Ayahku juga tidak tahu? Ah mustahil! Tetapi mengapa dia merahasiakan perkawinan Mama dan masih juga menyediakan sebuah kamar untuk Mama?
‘Ya, Clemmie, dan Mama sudah mempunyai tiga anak dari perkawinannya. Dua orang pemuda dan seorang gadis cilik. Adik-adikku,’ kuucapkan kata-kata itu karena kulihat Clemmie yang masih tertegun seakan tak mendengar apa yang tadi kuucapkan.
‘Oh!’ keluh Clemmie. Aku kasihan padanya. Sepertinya dia juga berharap agar suatu saat Mama akan kembali lagi . ‘Apakah Nyonya Stanton bahagia?’ tanya Clemmie lirih
‘Ya, Mama sangat bahagia,’ jawabku pasti. Aku tahu Mama bahagia. Kalau toh ada sesuatu yang tak membahagiakan hati Mama, hanyalah pertengkaranku yang rutin dengan ibu mertua Mama. Kini dengan tiadanya aku di sisi Mama berarti tak ada lagi pertengkaran yang terjadi dan tak ada lagi yang tak membahagiakan hati Mama.
‘Nyonya Stanton pantas untuk mendapatkan kebahagiaan itu,’ bisik Clemmie. Aku tahu hatinya terluka. Walau bagaimana pun juga dia adalah pengikut Stanton yang setia yang masih tetap mengharapkan Mama menyandang nama Stanton.
Sesudah selesai makan, Clemmie menekan bel untuk memanggil Irene. Kemudian dia menyibukkan diri dengan mengatur tempat tidurku. Irene masuk dengan tergopoh-gopoh dan dengan cepat membersihkan piring-piring kotor dan berlalu.
‘Sudah seberapa besar anak-anak Nyonya Stanton?’ tiba-tiba Clemmie bertanya dan menoleh ke arahku. Dia masih memanggil Mama dengan ‘Nyonya Stanton’, memang berat untuk merubah sebutan.
‘Adit, yang sulung sudah berumur dua belas tahun.’
‘Dua belas tahun?’ ulang Clemmie kaget. ‘ Jadi sudah lama Nyonya Stanton kawin lagi?’ tanyanya tak percaya.
‘Ya, sudah lama juga. Yang kedua Anto berumur delapan tahun dan si bungsu Yani, lima tahun,’ jawabku. Aku selalu bangga bila harus bercerita tentang mereka. Betapa aku mencintai Adit, Anto dan Yani. Tiba-tiba aku rindu pada mereka . Rindu tawa manja Yani, rindu pada cerita-cerita konyol Anto dan rindu pada senyum manis Adit.
‘Tentu mereka tampan dan cantik,’ tebak Clemmie tepat.
‘Ya. Ayah mereka juga ganteng, sih,’ sahutku. ‘Oom No sangat baik, Clemmie’ tiba-tiba aku harus mengatakan hal itu pada Clemmie. Aku tidak bisa memanggil Oom No dengan panggilan papa seperti yang digunakan adik-adikku. Walau tak ada yang mengatakan bahwa aku anak tirinya, tapi orang akan segera tahu aku bukan anak kandung Oom No. Aku begitu lain dengan adik-adikku. Aku terlalu cenderung ke papa dengan mata agak biru dan kulit yang terlampau puith. Kesan Indonesiaku tidak sekuat mereka, walaupun ada persamaan-persamaan tertentu yang di wariskan oleh Mama. Jadi apa gunanya memanggil papa kalau semua orang akhirnya akan tahu kalau dia bukan papaku. Lagipula Oom No dan Mama tidak keberatan aku memanggil demikian. Satu-satunya orang yang keberatan adalah ibu Oom No, dan itu tidak masuk hitungan, karena aku tahu, walaupun aku memanggil anaknya dengan panggilan papa, dia masih juga akan menemukan kesalahanku yan lain. Sejak pertama kali Mama kawin dengan Oom No dia telah mengibarkan bendera permusuhan denganku.
Λ
Aku baru saja bangun ketika Clemmie memasuki kamarku.
‘Apakah aku membangunkanmu, Missy?’ tanyanya kuatir.
‘Tidak, Clemmie, aku memang sudah bangun,’
‘Mister Stanton menyuruh saya untuk melihat apakah Missy sudah bangun. Beliau ingin bertemu dengan Missy.’
‘Di mana Papa? Sudah lama Papa pulang?’ tanyaku beruntun.
‘Mister Stanton pulang lebih awal. Sudah tiga kali saya masuk kemari tapi Missy tidur begitu nyenyak sedangkan Mister Stanton melarang saya membangunkan Missy.’
‘Oke sebentar lagi saya siap,’ kataku sambil masuk ke kamar mandi, membasuh muka dan kumur. Kulirik wajahku di cermin, masih tampak mengantuk dan lelah. Kemudian kukenakan baju biru mudaku, aku ingin tampak menarik pada pertemuanku yang pertama dengan Papa. Sesudah semua siap, Clemmie mengantarku hingga ke ruang perpustakaan. Seorang laki-laki setengah baya berperawakkan tegap berdiri ketika aku masuk. Tuhan, aku tak pernah melupakannya. Laki-laki inilah yang selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Dialah ayahku.
‘Lucinda dear!’ teriaknya sambil merentangkan kedua tangannya siap untuk memelukku. Belum sempat aku memutuskan untuk memanggil dirinya Papa atau Mister Stanton, aku telah berada dalam pelukannya. Pelukannya yang hangat dari seorang ayah kandung. Tanpa kusadari aku telah menangis.
‘Aku selalu merindukanmu, Lucy,’ bisik Papa sambil menghapus air di sudut mataku. Aku tak mampu untuk berkata-kata. Lama sekali Papa baru melepas pelukannya. ‘Maafkan aku tak bisa menjemputmu di New York.’
‘Tidak apa-apa. Mauricio dan Manuel telah melakukan tugas mereka dengan baik,’ ucapku sambil duduk di kursi yang rendah. Sekarang aku sempat menyaksikan seluruh ruangan. Rak-rak buku yang bersatu dengan dinding, meja kerja, sebuah televisi kecil . . .
‘Oh, . . . Batista bersaudara,’ seru Papa dengan tawanya yang empuk dan enak didengar,’ Yah, mereka penerbang yang hebat. Sudah hampir tiga tahun mereka bergabung dengan kita.’ Tak kudengar nada meremehkan dari Papa. Papa seakan begitu sempurna.
‘Kamu menyukai kamarmu, Lucy?’ tanyanya tiba-tiba.
‘Ya, kamar yang bagus,’ jawabku gagap.
Tiba-tiba pintu di depanku terbuka. Seorang pemuda masuk. David! Ya dia pasti David. Kami berpandang-pandangan lama sekali, rambut David adalah rambutku, mata David adalah mataku, hidung David adalah hidungku, bahkan tahi lalat di dagu David sebelah kanan adalah tahi lalatku. Yang membedakan antara aku dan David hanyalah besar tubuh kami. David tinggi dan kekar serta dia seorang pemuda. Lainnya tidak ada, bahkan baju yang kami kenakan pun sama warnanya, biru muda. Tetapi sekonyong-konyong mata David berubah menjadi sangat dingin. Aku bergidik seakan mata itu sanggup untuk membunuhku. Bukan, mata itu bukan mataku! Aku tidak pernah memandang orang dengan mata sedingin itu, mata yang memancarkan sejuta benci. Aku kaget dan kecut melihat kenyataan ini. Kebahagiaan yang sempat muncul ketika aku melihat dirinya, menghilang begitu saja. Dia saudara kembarku, tapi mengapa aku tidak senang bertemu dengannya?
‘Lucy, kamu pasti sudah menduga siapa dia!’ kata Papa menengahi. ‘David, adikmu Lucy,’ lanjut Papa memperkenalkan. Jadi aku adiknya David. Siapa yang lahir terlebih dahulu?
‘Hai!’ sapa David sedingin es di kutub selatan. Aku Cuma mengangguk. Inilah dia, dua saudara kembar yang telah bepisah sekian lama dan hanya hai dan anggukkan saja yang keluar pada pertemuan yang pertama.
David kemudian duduk di samping kiriku. Kuusahakan untuk tidak bertatapan mata dengannya. Mengapa dia bisa sedingin ini?
‘Bagaimana dengan sekolahmu, Lucy?’
‘Tahun ini tahun keduaku di Universitas. Aku mengambil kuliah Ekonomi.’
‘Ekonomi?’ ulang Papa. ‘ David juga belajar Ekonomi,’ tanpa sadar aku menoleh ke arah David tapi segera kualihkan ketika kutangkap sinar matanya. David tak berkomentar.
‘Akhirnya musim panas nanti engkau bisa mendaftar. Kukira David akan senang untuk membantumu,’ lanjut Papa.
‘Jangan terlalu mengharapkanku,’ sahut David datar. Aku benar-benar tersinggung mendengar suaranya yang ketus.
‘Kurasa aku mampu untuk mengurus diriku sendiri,’ jawabku tak kalah ketusnya. Kudengar David mendengus. Setan! makiku dalam hati. Apa yang ingin di tunjukkan oleh manusia satu ini? Aku berharap Papa akan menegurnya, ternyata tidak. Papa seakan menganggap kata-kata David yang menyakitkan itu sebagai sesuatu yang normal.
‘David, tolong dilihat apakah makan malam sudah siap,” perintah Papa . Dengan malas David bangkit. Sebelum keluar dia masih sempat menatapku tajam.
‘Jangan dimasukkan dalam hati,’ kudengar suara Papa, seakan dia bisa membaca hatiku. Aku cuma bisa menganggukkan kepala. Kejadian ini tak pernah terbayang dalam kepalaku. Kukira David akan senang bertemu denganku seperti halnya aku yang selalu merindukan pertemuan dengannya. Aku sangat kecewa. Kalau saja aku boleh memilih, maka aku akan memilih makan di kamar saja. Aku tidak bisa makan dengan santai. Mata dingin David selalu mengawasi gerak-gerikku, hingga makanan yang kumakan, kadang terhenti di tenggorokanku. Aku merasa benar-benar tolol. Tapi untung kami hanya menggunakan lilin sebagai penerangnya, kalau tidak, David tentu akan lebih senang lagi bisa memperhatikan wajahku yang sebentar merah sebentar putih.
‘Tambah lagi, Lucy?’ Papa menawarkan penuh perhatian. Aku menggeleng, takut jika aku bersuara, mereka akan bisa menangkap apa yang sebenarnya ada dalam hatiku. ‘Seharusnya Clemmie memasak nasi buatmu, tentu kamu tidak terbiasa dengan makanan seperti ini,’ Papa merasa bersalah. Oh, Mister Stanton yang malang, bukan makanan penyebabnya melainkan anak laki-lakimu itulah yang menyebabkan nafsu makanku hilang.
‘Bukan itu sebabnya,’ sanggahku, ‘Mungkin aku masih lelah saja,’ kulirik David untuk melihat reaksinya. Dia tersenyum sinis.
‘Ya, kamu membutuhkan istirahat yang cukup,’ kata Papa.
Sehabis makan malam, David langsung menghilang. Aku masih duduk lama dengan Papa. Terlalu banyak yang harus di ceritakan. Enam belas tahun berpisah bukan waktu yang singkat. Baru sesudah berbaring di tempat tidur, aku sadar bahwa tak sekali pun Papa bertanya tentang Mama. Tak sekali pun. Aneh! Padahal Papa menyediakan sebuah kamar untuk Mama.
Λ
Aku terbangun dalam keadaan yang benar-benar segar. Sengaja tak kutekan bel untuk memanggil Clemmie. Kalau hanya untuk menyiapkan bak mandi saja aku masih mampu. Sambil menunggu air di bak mandi penuh, kubuka jendela kamarku lebar-lebar untuk mengijinkan udara segar memasukinya. Padang rumput yang hijau masih basah oleh sisa-sisa embun pagi. Kuda-kuda gagah berlarian dengan lincahnya menyambut sang matahari. Sehabis mandi aku segera turun ke bawah.
‘Ya ampun, Missy, mengapa tidak memanggil saya?’ teriak Clemmie ketika melihat aku sudah berada di kamar tengah.
‘Aku tidak ingin merepotkanmu.’
‘Sama sekali tidak merepotkan. Ayo, Missy duduk, sementara kusiapkan sarapanmu. Mau cereal atau toast?’
‘Cereal saja, Clemmie, aku tidak biasa makan berat di pagi hari,’ jawabku sambil duduk.
‘Engkau juga ingin kubuatkan kopi?’
‘Tidak usah, teh saja sudah cukup,’ jawabku. Rasanya seperti di restoran pakai memilih segala. Clemmie segera pergi. Lima menit kemudian dia datang lagi dengan sebuah meja dorong dengan beberapa kotak cereal, susu dingin, gelas kosong dan air panas di atasnya. Semuanya itu dia atur di atas meja makan.
‘Segelas air jeruk baik untuk mempertahankan berat badan,’ ujar Clemmie sambil menuangkan air jeruk dingin ke dalam sebuah gelas kecil. Kupandangi saja gelas itu. ‘Minumlah, Missy!’ perintah Clemmie halus. Kuturuti perintahnya sementara dia menyiapkan cawan untukku. ‘Missy ingin cereal yang mana? Rice cripies, cornflake, . . . semuanya buatan Kellog dan Kellog mengambil jagungnya dari perkebunan Stanton. Jadi dengan makan ini, Missy telah menikmati hasil kebun sendiri,’ lanjut Clemmie. Aku tidak tahu apakah kata-kata itu benar atau hanya sekedar menarik seleraku.
‘Papa sudah pergi?’ tanyaku sambil menuang rice cripies ke dalam mangkukku kemudian kutambah susu dingin dan gula.
‘Ya, sebelum matahari terbit.
‘David?’ tanyaku pelan, takut bila tiba-tiba dia sudah berada di belakangku dan mendengar apa yang kutanyakan.
‘Sudah pergi juga. Tadi di jemput Miss Deidre.’
‘Siapa?’
‘Pacar Master David. Kalau nyonya Stanton ada di sini, aku yakin beliau tidak akan setuju dengan pilihan Master David.’
‘Memangnya kenapa?’ tanyaku ingin tahu.
‘Murahan,” jawab Clemmie tenang. Aku kaget setengah mati mendengar jawaban Clemmie. Cereal yang sudah berada di kerongkonganku terhenti, aku terbatuk. Clemmie menyadari kekagetanku, sejenak kemudian dia meralat kata-katanya. ‘Bukan murahan, tapi selera rendah. Sebenarnya dia cukup cantik, hanya, . . . bagian-bagian yang seharusnya dibuat misterius justru di tunjukkan dengan terang-terangan,’ komentar Clemmie kalem. Dia pasti sudah begitu dekat dengan keluarga ini, karena untuk memberikan komentar seperti itu dibutuhkan keberanian yang sangat besar.
‘Cinta memang buta, Clemmie,’
‘Bukan cinta, tapi nafsu,” bantah Clemmie, ‘Saya tidak bisa membayangkan anak Nyonya Stanton jatuh cinta pada wanita yang bertolak belakang dengan ibunya. Engkau mengerti maksud saya, Missy?”
Sehabis sarapan aku keluar. Udara benar-benar sejuk walau matahari bersinar dengan cerahnya. Beribu taman hias di depan rumah berbunga aneka warna. Dari halaman depan aku memutari rumah menuju halaman belakang. Aku tidak menyangka halaman belakang lebih indah dari halaman depan dan samping. Di sana ada ratusan pohon mawar yang sedang berbunga lebat. Bunganya besar-besar serta berbau harum. Sejenak aku terpana. Tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh bergerak-gerak di antara pohon-pohon itu. Aku harus menanti lama sebelum mengetahui siapa dia. Ternyata Irene yang membawa sebuah keranjang bunga.
‘Selamat pagi, Irene,’ sapaku. Dia terlonjak. Aku menyesal telah mengejutkannya. Seharusnya aku tahu tempat semacam ini merupakan tempat yang paling tepat untuk melamun. Tentu Irene sedang melamun ketika kutegur tadi.
‘Oh, selamat pagi, Miss Lucinda,’ balas Irene setelah reda kekagetannya. ‘Tidur nyenyak semalam?’ dia bertanya.
‘Ya. Apa yang kau kerjakan?’ tanyaku. Aku tahu dia sedang memetik bunga, tapi caranya memotong bunga itu tak kumengerti. Dia memotong sebatas bunga tanpa menyertakan tangkainya sedikit pun.
‘Memetik bunga,” jawab Irene tepat.
‘Tanpa menyertakan tangkainya?’
‘Ini bukan untuk hiasan, Miss Lucinda.’
‘Lalu?’
‘Untuk membuat air freshener,’
‘Penyegar ruangan?’
‘Ya,’ jawab Irene sambil tersenyum. Dia senang aku menunjukkan minat. ‘Bunga-bunga ini nanti di rebus dalam cairan lilin kemudian di beri warna dan di bentuk menurut selera kita, lalu kita letakkan di ruang-ruang yang ingin kita beri air freshener. Tak nampak kalau itu air freshener tapi harumnya dapat tahan lama,’ tutur Irene. Aku Cuma mengangguk-angguk saja. Kagum.
“Apakah ikan di kamar mandiku itu juga air freshener buatanmu?’ tiba-tiba aku teringat ada sebuah ikan lilin berwarna kuning di pojok kamar mandiku. Kemarin aku keheranan waktu melihatnya. Irene mengangguk sambil tersenyum manis.
‘Sayang saya bukan seorang seniman yang dapat membuat bentuk-bentuk yang menarik,’ Irene merendah. Padahal ikan itu benar-benar sempurna buatannya. Persis ikan hidup. Irene pastilah seorang yang ahli dalam bidang pahat memahat.
‘Engkau pernah belajar seni, Irene?’ tanyaku. Dia kaget dan tampak ragu untuk menjawab.
‘Ya, Miss Lucinda. Tapi berhenti di tengah jalan,’ jawab Irene. Aku tidak bertanya lebih lanjut, nampaknya Irene tidak ingin membicarakan hal itu. Seorang gadis manis, pernah belajar seni dan kini bersembunyi di pertanian ini. Benar-benar mengundang tanya.
‘Engkau membawa keranjang lain?’ kualihkan pembicaraan kami.
‘Untuk apa?’ tanya Irene heran.
‘Aku ingin membantumu.’
‘Jangan, Miss Lucinda, nanti tanganmu kotor.’ Ya,Tuhan . . . memangnya tanganku ini tangan apa hingga tidak diijinkan untuk memegang bunga.
‘Irene,engkau bisa memegang bunga, aku pun bisa, oke?’ Ia bimbang tapi kemudian menyerahkan keranjangnya. Untuk dia sendiri dia terpaksa mengambil lagi yang lain.
Berjalan-jalan menyusup di bawah pohon mawar merupakan sesuatu yang baru bagiku. Kadang aku harus mengiris bila terkena duri dan Irene akan segera datang dan menanyakan kalau aku tidak apa-apa. Tanpa kusadari keranjang bunga yang kubawa sudah penuh dengan bunga dan aku pun sudah sampai ke tepian kebun. Ada pagar kayu yang memisahkan kebun mawar dengan padang rumput. tak jauh dariku kulihat Georgie dengan sorang bocah laki-laki berkulit gelap kecil sedang menyikat seokor kuda.
‘Hello, Georgie!’ tegurku. Georgie menoleh demikian pula si anak berkulit gelap, berambut ikal.
‘Hello, Miss Lucinda. Sedang apa kau di situ?’
‘Memetik bunga,’ jawabku. Georgie tersenyum lebar.
‘Apakah dia Miss Lucinda?’ kudengar bisikkan si bocah berambut ikal.
‘Hello, siapa namamu?’ teriakku. Mata anak iu bersinar. Senyumnya menawan memperlihatkan giginya yang putih.
‘Oscar,’ jawabnya malu.
‘Nama yang bagus,’ pujiku.
‘Ingin berkuda, Miss Lucinda?’ tanya Georgie. Kuperhatikan kuda yang sedang disikatnya. Begitu besar. Kalau jatuh dari kuda itu dapat di pastikan tulang-tulangku akan remuk semuanya.
Aku tidak bisa,’ jawabku sambil menggeleng. Baik Georgie maupun Oscar tidak percaya mendengar jawabanku.
‘Kamu dapat berlatih,’ bujuk Georgie selang beberapa saat.
‘Tidak sukar, Miss Lucinda,’ Oscar ikut membujuk.
‘Aku takut, Oscar,’ jawabku jujur. Oscar tertawa girang.
‘Ayo, miss Lucinda, kamu dulu lebih mahir dari master David dan mengendarai kuda yang lebih besar dari ini.’ Kejar Georgie.
‘Aku?’ tanyaku heran.
‘Ya. Kamu lebih mahir dari master David,” cerita Georgie. Aku tidak ingat itu semua . Bahkan aku tidak ingat pernah melihat kuda sebesar itu.
‘Bagaimana, Miss Lucinda?’ tantang Georgie lagi.
‘Engkau pasti salah ingat, Georgie. Waktu aku pergi dari sini umurku baru tiga tahun,’ sanggahku.
‘Aku selalu ingat bagaimana mamamu selalu berteriak-teriak menyuruhmu turun dari kuda sementara papamu justru memberi semangat agar kamu mempercepat lari kudamu. Kamu dulu gadis paling berani di seluruh Louisville bahkan di seluruh Kentucky.’ Aku mendengarkan kata-kata Georgie seperti mendengarkan kisah seorang gadis pemberani, tetapi bukan tentang diriku. Sejak dulu aku di kenal sebagai gadis penakut. Menggonceng sepeda motor saja membuat mulutku komat-kamit berdoa tak henti-henti mohon selamat.
Λ
Aku mulai santai. Tangan kiriku tidak lagi erat berpegangan pada pelana. Aku mempercayakan diri pada Denver. Dia tidak akan melemparkanku. Dia adalah sahabatku. Kami telah mencapai tepi padang rumput sebelah selatan. Di depan kami menghadang hutan pinus yang lebat. Kutarik tali kendali Denver agar dia memperlambat jalannya untuk menunggu Georgie. Georgie datang dengan senyum puas di bibirnya.
‘Apakah aku telah mengendarainya dengan benar?’ tanyaku.
‘Tanpa cacat,’ jawab Georgie. ‘Aku bangga kamu masih bisa berkuda setangkas itu.’ Oh Georgie bukan engkau saja yang bangga, aku pun bangga juga, kata hatiku. Kemudian kami memasuki hutan pinus itu dengan berjalan pelan-pelan. Tidal memungkinkan bagi kami untuk berlari cepat di tengah pohonpohon yang begitu besar. Nyanyian burung di hutan benar-benar menawan. Bersahut-sahutan dari ranting yang satu ke ranting yang lain. Dan tupai-tupai menari lincah diiringi nyanyian tersebut. Benar-benar damai di sini. Tiba-tiba aku menampak sebuah telaga dengan air yang jernih di depanku. Bunga-bunga teratai merah dan putih bermekaran di atasnya. Inilah surga!
‘Georgie, aku ingin turun,’ kataku pada Georgie.
‘Turunlah.’
‘Aku tidak bisa,’ jawabku. Georgie meloncat turun dari Blue Berry kemudian berjalan ke dekatku. Dia memberi petunjuk bagaimana cara turun yang benar. Sedetik kemudian aku sudah berada di atas tanah dengan gagah.
Kubuka sepatu canvasku dan berjalan di tepi telaga. Kemudian kumasukkan kedua kakiku ke dalamnya . Dingin sekali. Tapi nikmat. Sesudah berada disana cukup lama, kami memacu kuda kami dan pulang. Aku telah menjadi penunggang kuda yang ahli.
Aku ketemu papa dan David setiap makan malam. Aku mulai tenang menghadapi sikap David, bukan karena sikapnya berubah tetapi aku sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Biar mata David sampai sebesar mata ikan mas tetapi aku tetap bisa memasukkan makanan ke dalam mulutku. David selalu meminta ijin untuk pergi begitu makan malam selesai dan aku bisa bernafas lebih longgar. Bukan kehidupan seperti ini yang kuinginkan tetapi aku ttidak bisa berharap yang lebih baik lagi. Bagaimanapun tidak menyenangkannya kehidupan ini, tapi inilah kehidupan yang seharusnya kutempuh . Di sisi Papa dan saudara kembarkulah seharusnya aku berada.
Malam itu sebelum tidur kutulis surat buat adik-adikku. Aku tidak menulis untuk Mama dan Oom No, karena aku tahu mereka toh akan membaca juga surat yang kukirim buat Adit, Anto dan Yani. Sengaja aku tidak menceritakan tentang Papa dan David. Aku kuatir jika aku bercerita tentang Papa, kenangan lama Mama akan terbayang dan Oom No cemburu. Aku heran mengapa aku berpikiran semacam itu. Mungkin karena aku telah melihat kegantengan ayahku, jadi sudah sepantasnya kalau Oom No menyemburuinya. Sedang tentang David, ini masalah pribadi. Aku tidak menyukainya jadi mengapa aku harus menulis tentang dirinya. Kalau toh aku harus menceritakan tentang David tentu hanya yang jelek-jelek saja yang kutulis. Akibatnya tentu sangat parah. Mama akan berduka karena anak sulungnya ternyata tidak semanis yang dia duga dan Mama akan menyesal telah mengirimku kemari.
Mama menginginkan kebahagiaan bagiku. Sejak ibu Oom No tinggal bersama kami, Mama tahu batinku tertekan. Terlebih setiap tanggal sepuluh bila ada pertemuan keluarga besar Oom No. Aku tidak diijinkan untuk turut karena aku bukan keturunan Oom No yang asli. Setiap tanggal sepuluh, Adit, Anto dan Yani akan berdandan rapi untuk pertemuan itu sedang aku harus tinggal di rumah. Aku tidak pernah mengeluh tentang hal itu, tetapi Mama mengetahui aku merasa di bedakan.
Karena pertengkaranku dengan ibu Oom No makin sering, akhirnya Mama memutuskan untuk menyerahkanku pada Papa dengan harapan aku akan menemukan kebahagiaanku di sini karena di sini ada saudara kembarku jadi aku akan merasa lebih tentram. Alangkah melesetnya dugaan Mama. Tapi aku tidak ingin mengatakan kepada Mama bahwa perhitungan Mama salah. Biarlah Mama mengira aku bahagia di sini karena hal itu akan membahagiakan hati Mama.
Λ
Minggu pagi papa mengajakku untuk melihat-lihat kebun. Dua ekor kuda telah disiapkan untuk kami, yang kukenali sebagai Denver dan Blue Berry. Aku senang bisa bertemu dengan Denver kembali. Kami berjalan ke arah utara dengan perlahan-lahan. Setiap saat yang berlangsung ingin kami lalui dengan baik. Mengendarai kuda di samping ayah kandungku. Hal yang tak pernah berani kubayangkan, tetapi kini benar-benar terjadi. Papa begitu gagah dalam pakaian berkudanya. Celana jeans ketat yang ujungnya dimasukkan ke dalam bootnya, kemeja kotak-kotak dengan rompi berwarna biru dan topi cowboy yang juga berwarna biru. Betapa aku mengaguminya. Pasti waktu masih muda dulu, Papa sangat tampan. Tak heran akhirnya Mama memilihnya untuk menjadi suaminya.
‘Kamu masih mahir berkuda, Lucy,’ puji Papa sambil memperhatikan caraku berkuda.
‘Georgie yang mengajariku.’
‘Georgie?’ ulang papa sambil mengerutkan dahi.
‘Ya,’
‘Kamu tidak pernah berkuda selama di Indonesia?’
‘Seingatku tidak,’ jawabku.
‘Mau berlomba denganku, Lucy?’ tantang Papa mengejutkan.
‘Berlomba?’ tanyaku tak percaya. ‘Aku tidak bisa.’
‘Mengapa tidak bisa? Mulai dari sini sampai di kebun jeruk di depan sana. Siapa yang sampai terlebih dahulu dia yang menang.’ Kelihatannya sangat menarik, tetapi aku yakin aku tidak bakal mengalahkan Papa. Papa bergaul dengan kuda selama hidupnya, sedang aku, . . . lihat kuda saja baru tiga hari yang lalu. Tapi kalau hanya untuk bersenang-senang saja, mengapa tidak.
‘Oke,’ jawabku mantap. Papa tersenyum mendengar jawabanku.
‘One . . . two . . .run!’ Papa memberi aba-aba. Kuberi tarikan kuat pada tali kendali Denver yang segera kukendorkan lagi. Denver meloncat dan berlari dengan kencang. Blue Berry sudah beberapa jengkal di depanku. Papa tidak main-main dengan lomba ini.
‘Come on, Denver. Faster! Faster!’ jeritku sambil menepuk badan Denver dengan kakiku. Denver mempercepat larinya berusaha menyusul Blue Berry.
Aku kalah dalam pertandingan itu, tapi puas. Keringat mengalir deras di dahi dan punggungku hingga blus yang kukenakan basah. Keringat di wajahku segera kuhapus dengan sapu tangan sementara itu Papa tersenyum puas dan matanya bersinar cerah.
‘Engkau hampir mengalahkanku, Lucy.’
‘Ah, Papa, . . . kita selisih jauh sekali.’
‘Tidak, Lucy. Kalau engkau berlatih terus dalam waktu seminggu aku sudah tidak mampu menyusulmu lagi,’ kata Papa serius. Kemudian kami bergerak pelan-pelan lagi. Menyusup di antara pohon-pohon jeruk yang sedang berbunga. Kelopak-kelopak bunga itu sebagian berwarna keputih-putihan. Buah-buah kecil berwarna hijau gelap menggantikan kedudukan bunga-bunga tersebut. Kami bertemu beberapa orang pekerja yang sedang memeriksa kebun dan tanamannya. Papa berbincang dengan mereka sejenak kemudian berjalan lagi. Aku benar-benar kagum atas kewibawaan Papa.
Di kebun apel panasnya bukan main, karena tidak ada daun yang melindungi kami dari sengatan matahari. Tubuhku rasanya seperti terbakar dan aku benar-benar kehausan.
‘Ingin istirahat, Lucy?’ tanya Papa seakan tahu apa yang sedang kupikirkan.
‘Aku tidak lelah, cuma haus.’
‘Sebentar lagi kita istirahat di gudang, ucap Papa. Setelah mendaki sebuah bukit kecil akhirnya tampaklah apa yang di sebut gudang. Sebuah bangunan tinggi dari papan bercat hitam. Dari luar tampak seram seperti rumah tukang sihir, tetapi dalamnya bersih dengan dinding yang bercat putih. Ada beberapa keranjang kosong di sudut gudang. Tiga orang pria yang tadi duduk-duduk di sana segera berdiri ketika melihat kehadiran Papa.
‘Ada minuman untuk anakku? Dia kehausan,’ kata Papa ringan.
‘Ya Tuhan, Miss Lucinda? Andakah itu? Sudah sebesar ini?’ kata salah satu di antara pria itu. Aku heran bagaimana dia bisa mengenaliku.
‘Ya, Peter, dia Lucinda, tapi jika engkau tidak segera mengambilkan minuman untuknya dia akan mati kehausan,’ gurau Papa. Peter tertawa.
‘Maafkan saya. Apa yang Anda inginkan, Miss Lucinda?’ kusebut minuman yang kuinginkan dan Peter segera berlari. Papa kemudian mengenalkanku pada dua pria lainnya. Pengelola kebun apel. Kemudian kududukkan diriku di tumpukan jerami dan bersandar. Peter datang dengan membawa sekaleng minuman lalu duduk di sampingku dan menceritakan tentang masa kecilku yang semuanya sudah kabur dari ingatanku.
Pulangnya kami lewat jalan yang lain yang di kiri dan kanannya tumbuh pohon pinus yang teduh. Daun-daun kering kadang luruh dan menimpa kepala kami. Kira-kira satu kilometer dari rumah, kami berpapasan dengan sebuah mobil. Kupinggirkan Denver untuk memberi jalan. Mobil itu berhenti. Papa yang berada di depanku juga berhenti dan aku pun ikut berhenti. Dari dalam mobil keluar David dan seorang gadis, Deidre, tebakku ketika melihat caranya berpakaian; selana pendek sebatas pangkal paha dan T-shirt yang benar-benar ketat sehigga menimbulkan kesan yang hii . . .
‘Afternoon, mister Stanton.” Sapa gadis itu.
‘Hello, Deidre.’ Sahut Papa. ‘Sudah ketemu Lucy?’ Deidre memandang padaku dengan tatapan mata yang aneh yang tidak bisa kutafsirkan artinya. Apakah karena kemiripanku dengan David ataukah ada hal lainnya.
‘Lucy, kenalkan Deidre Melore,’ Papa mengenalkan kami berdua.
‘Hello,’ sapaku.
‘Hi, senang berkenalan denganmu, Lucy,’ balas Deidre. Aku tahu itu tidak sesuai dengan apa yang ada di dalam hatinya, matanya menunjukkan hal itu dengan jelas. Mungkin David telah menerangkan padanya tentang diriku. Dan karena David membenciku maka sudah selayaknya dia sebagai pacar David untuk membenciku pula.
‘Mau kemana kalian?’ tanya Papa.
‘Mau renang ke County Club House. Mau ikut, Lucy?’ Deidre menawarkan. Sekali lagi basa-basi yang memuakkan. David memandang Deidre tidak setuju. Jangan kuatir master David, aku tidak akan ikut.
‘Terima kasih, mungkin lain kali,’ jawabku pendek. Deidre dan David saling melempar senyum misterius. Kemudian mereka masuk kembali ke dalam mobil dan segera berlalu. Kami pun meneruskan perjalanan kami yang sempat terhenti. Ingin benar aku mendengar komentar Papa tentang calon menantunya tetapi tak sepatah kata pun yang terucap dari mulut Papa tentang mereka.
Hari-hari yang berlangsung selanjutnya berlalu dengan malas seperti matahari musim panas yang enggan untuk menggelincir ke barat. Sepuluh hari sudah aku berada di samping Papa dan David tapi rasanya sudah puluhan tahun aku berada di sini. Sudah banyak yang kuketahui tentang perkebunan serta orang-orang yang berada di sekelilingku. Papa yang selalu pergi sebelum aku sempat bangun dan pulang menjelang makan malam sampai saat ini belum pernah sekali pun menanyakan tentang Mama dan aku pun tidak berniat menceritakannya.
Aku jarang bertemu dengan David. Kalau toh kebetulan kami berpapasan di rumah, tak ada komunikasi yang terjalin di antara kami. Ini benar-benar menyedihkan. Pada mulanya kukira dia akan berubah, tetapi ternyata tidak. Dia benar-benar tidak acuh dan dingin. Ingin sekali aku duduk dan berbincang dengannya, tetapi jika kulihat wajahnya yang masam maka keinginanku pun hilang begitu saja.
Demi Tuhan aku ingin mulai beramah tamah dengannya. Bagaimanapun juga dia adalah saudara kembarku yang selama sembilan bulan lebih pernah bermukim di dalam sebuah rahim yang sama, rahim Mama. Apa sebenarnya pandangan David tentang diriku? Aku melihat dirinya sebagai melihat diriku sendiri. Hatiku terasa sakit bila harus membencinya seakan aku telah membenci diriku sendiri dan bila aku memaki dalam hati atas sikapnya maka makian itu seakan kutujukan untuk diriku sendiri . Ah anehnya hati in. Tetapi mengapa David tidak memiliki perasaan yang sama?
Clemmie dan Georgie adalah pembantu tertua di dalam keluarga Stanton. Mereka sudah ikut Stanton sejak Papa masih kanak-kanak. Pada waktu Mama melahirkan aku dan David, Georgie menawarkan diri untuk menjadi pengasuh kami. Saat ini mereka adalah pengurus rumah tangga sekaligus penasehat Papa dan David. Hal inilah yang kadang membuat iri para staf yang lain. Clemmie dan Georgie tidak mempunyai anak kandung dan sebagai gantinya mereka telah mengadopsi Oscar yang kedua orang tuanya serta adik-adiknya tewas dalam suatu kecelakaan lalu lintas tak jauh dari perkebunan kami empat tahun yang silam.
Kemudian si kakak beradik Judy dan Helen yang tidak mirip satu dan yang lainnya. Mereka adalah anak Peter yang kujumpai di kebun apel tempo hari. Tugas mereka adalah mengatur dan menjaga kebersihan rumah. Dan yang terakhir adalah si gadis pemurung Irene. Dia begitu misterius dan tertutup. Wajahnya begitu sendu, mungkin itulah yang menyebabkan dia disayangi semua orang. Dia datang kepada keluarga Stanton setahun yang lalu dan minta pekerjaan. Jika semua tugas-tugasnya telah selesai dia akan mengurung diri di dalam kamarnya yang berfungsi pula sebagai studio; memahat ataupun melukis. Sekali-sekali aku datang ke kamarnya untuk melihat dia melukis. Umur Irene setahun lebih muda dariku, tetapi wajahnya yang sendu telah menyebabkan dirinya tampak jauh lebih tua. Tak seorang pun tahu siapa sebenarnya dia dan dari mana asalnya karena dia tak pernah bercerita dan tak seorang pun berniat untuk mengusiknya.
Malam itu aku sudah siap untuk tidur ketika kudengar gesekan biola yang indah dan syahdu. Kutelengkan kepalaku agar dapat mendengar lebih jelas. Il Silenzio! Siapa yang membawakannya? Aku berdiri dan mengintip dari jendela. Sengaja lampu tidak kunyalakan agar orang yang di luar tidak menyadari sedang di intip.
To be continued ……
Istana Pasir
Posted by Laily Lanisy
Senja telah turun dan menyemburatkan warna merah tembaga pada langit kota Yogya. Jalanan mulai memamerkan kerlap-kerlip lampunya. Sementara angin yang bertiup membawa serta suara adzan Maghrib
Tisa melihat jam yang melilit di pergelangan tangannya. Jam enam kurang seperempat. Sudah waktunya untuk pulang. Tetapi nampaknya dosen muda yang berada di atas mimbar sana masih enggan untuk mengakhiri kuliahnya. Suaranya yang membahana masih juga terdengar. Tisa benar-benar resah. Semakin malam berarti semakin jarang Colt yang melewati kampus.
‘Tisa,’ Numpy yang duduk di belakangnya memanggilnya dengan berbisik. Tisa menoleh. Dengan cepat Numpy mengulurkan kertas yang ada dalam genggamannya.
‘Dari Tegar,’ Numpy menjelaskan. Tisa langsung memasukkan lipatan kertas tersebut ke dalam tasnya. Tanpa membukanya pun dia sudah tahu apa isinya. Setiap ada kuliah sore, Tegar selalu memberinya lipatan kertas semacam itu. Lipatan kertas bertuliskan ‘Tis, kuantar pulang ya?’ Dan setiap ada kuliah sore, Tisa selalu menghindari Tegar.
Begitu Pak Iskandar mengemasi buku-bukunya, Tisa segera menyelinap keluar. Setengah berlari dia menuju ke sayap selatan dan turun di Cemara Tujuh. Dia bernafas lega ketika melihat sebuah Colt kampus yang berhenti di depan Perpustakaan Sarjana Muda.
‘Tamansiswa, mbak?’ tanya Kernet Colt kampus tersebut. Tisa mengangguk sambil mempergegas langkahnya.
‘Duduk di depan saja, mbak. Belakang sudah penuh,’ saran sang kernet ketika melihat Tisa menuju ke pintu belakang. Tisa mengikuti saran tersebut. Baginya, duduk di depan tidak jadi masalah. Yang penting dia bisa segera meninggalkan Gedung Pusat sebelum Tegar melihat dan menyusulnya.
Sang kernet membukakan pintu depan. Dengan sigap Tisa meloncat naik dan duduk di samping sopir. Setelah Tisa duduk dengan rapi, Colt tersebut mulai berjalan dengan lembut. Ketika melewati tempat parkir, Tisa sempat menoleh untuk mencari Tegar dengan matanya. Tegar tidak kelihatan. Tisa menghembuskan nafas panjang dan meluruskan pandangannya ke depan.
‘Tadi Pak Is nerangkan apa, Tis?’ tiba-tiba sopir Colt yang duduk di samping Tisa bertanya. Jantung Tisa melonjak ke kerongkongannya. Dia kaget setengah mati mendengar pertanyaan itu.
‘Kamu?!’ tanyanya tidak percaya. Matanya membulat. Dia hampir pingsan ketika menyadari siapa yang duduk di sampingnya. Ternyata sopir itu adalah Tegar, manusia yang ingin dihindarinya.
‘Ya. Kaget?’ ucap Tegar sambil tersenyum lebar. Dia benar-benar bangga, seakan-akan baru saja memenangkan sebuah pertandingan besar. Sudah lebih dari enam bulan dia berusaha mendekati Tisa, tetapi gadis pendiam itu selalu berhasil melarikan diri darinya. Kini dia berhasil menjeratnya. Tetapi … bahagiakah aku ? Tegar bertanya pada dirinya sendiri. Lihat dia sangat ketakutan. Dia sangat tersiksa berada di dekatmu. Rasa bersalah membuat Tegar bungkam.
Di depan Panti Rapih lampu sinyal di depan Tegar menyala merah. Ada penumpang
yang akan turun. Tegar menepikan Coltnya. Hatinya merasa yakin kalau Tisa juga akan turun di tempat itu. Ternyata Tisa tidak beranjak dari tempatnya. Beban berat di hati Tegar agak berkurang sedikit.
‘Rumahmu di mana, Tis?’ tanya Tegar sambil menjalankan kendaraannya kembali. Bukan sekedar pertanyaan basa-basi. Walaupun sudah lebih dari setahun dia menjadi
kawan kuliah Tisa, tetapi tak ada satu pun yang dia ketahui tentang gadis ini.
‘Tamansiswa,’ jawab Tisa pelan.
‘Sebelah mana?’
‘Guest House Sailendra ke timur. “
‘Kalau pulang kamu selalu naik Colt?’ tanya Tegar persis seperti petugas sensus. Tisa mengangguk.
‘Kenapa kamu tidak pernah mau kuantar?’ akhirnya Tegar mengeluarkan pertanyaan yang sudah berbulan-bulan menggumpal di dadanya. Tisa tidak menyahut.
‘Kamu takut padaku?’ selidik Tegar. Tisa menggeleng.
‘Benci padaku?’ kejar Tegar. Kembali Tisa menggeleng.
‘Lalu?’ Pertanyaan itu tidak terjawab. Susahnya mengajakmu bicara, keluh Tegar dalam hati. Barangkali kalau aku dosen Kamu akan menjawab semua pertanyaanku dengan lancar.
Sesudah itu mereka berdiam diri, Tegar pura-pura sibuk dengan kemudinya. Sekali-kali dia menurunkan penumpang. Di pertigaan Sentul penumpang terakhir turun. Kini satu-satunya penumpang yang masih ada hanyalah Tisa. Sepanjang perjalanan tadi Tegar tidak menaikkan penumpang lain. Sekarang dia bisa melaju sepanjang jalan Tamansiswa tanpa harus menurunkan penumpang.
‘Turunkan aku di depan Guest House.‘ Tisa memecahkan kebisuan di antara mereka. Guest House Sailendra masih beberapa puluh meter lagi.
‘Nanti kuantar masuk ke timur,’ sahut Tegar.
‘Tidak usah. Aku turun di depan Guest House saja,’ tolak Tisa.
‘Sudah tidak ada penumpang lain, jadi aku bebas membel … “
‘Tidak. Aku turun di sini,’ potong Tisa begitu mereka tiba di depan Guest House. Nada suaranya membuat Tegar menuruti permintaannya. Dia menghentikan Coltnya dan menatap Tisa dengan heran. Tisa ingin mengucapkan sesuatu kepada Tegar, tetapi diurungkannya. Dia turun dari Colt dengan hati-hati.
‘Terima kasih,’ ucapnya sebelum menutup pintu.
‘Tis!’ panggil Tegar sebelum Tisa melangkah. Tisa menoleh.
‘Boleh pinjam catatan kuliahmu tadi?’ ucap Tegar ragu. Tisa mengangguk dan mengulurkan buku catatannya lewat jendela.
‘Besok kukembalikan,’ janji Tegar. Tisa mengangguk kemudian mulai melangkah pelan-pelan ke timur. Tegar memperhatikannya hingga hilang ditelan kegelapan malam.
‘Mau di sini terus, boss’ tiba-tiba kernetnya berteriak dari belakang. Tegar tersadar. Dia tertawa dan menjalankan kendaraannya kembali. Tisa tidak lagi berada di sampingnya, tetapi bayangannya masih memenuhi pikiran Tegar.
♣
Tisa merasa tidak enak ketika melihat lampu halaman depan belum dinyalakan. Ini benar-benar di luar adat. Biasanya jam lima sore lampu itu sudah menyala. Hatinya semakin tidak enak ketika mendapatkan pintu rumah terkunci.
‘Pa!’ panggil Tisa sambil menggedor pintu. Tidak terdengar sahutan.
‘Pa, ini Tisa pulang, pa,’ seru Tisa lebih keras. Masih tidak ada sahutan. Tisa baru saja akan memanggil ayahnya sekali lagi ketika mendengar tante Narti, tetangga sebelah memanggil namanya.
‘Tisa,’ panggil tante Narti sambil mendatangi Tisa.
‘Ya, Tante,’ sahut Tisa.
‘Ini kunci rumah tante bawa.’
‘Lho, memangnya Papa ke mana?’ tanya Tisa heran.
‘Tadi dibawa Oom Darma ke Puri Nirmala. Papamu kambuh lagi,’ cerita tante Narti. Tisa terpana. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya, tetapi lehernya tiba-tiba menjadi kering sehingga suara tidak mau keluar. Dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis yang ingin tumpah.
Tanpa bersuara Tisa menerima kunci yang diulurkan tante Narti ke arahnya. Kemudian dia membuka pintu dan masuk. Tante Narti menguntit di belakangnya. Karena Tisa tidak berniat menyalakan lampu, maka tante Nartilah yang menekan tombol sehingga ruangan menjadi terang.
Tisa memperhatikan keadaan rumahnya dengan hati yang teriris. Meja yang terbalik. Kursi-kursi yang kehilangan kaki. Vas bunga yang hancur. Ensiklopedia yang berserakan di lantai. Piring-piring porselin antik yang remuk. Keadaan yang dulu hanya dilihatnya dalam filem-filem detektif, kini menimpa kehidupannya.
‘Ya Tuhan, apa salah kami?’ bisik Tisa lirih. Sukar dipercaya bahwa ayahnya yang biasanya lembut dan penuh kasih sekali-sekali bisa berubah sangat buas seperti ini. Ini bukan kali yang pertama ayahnya kehilangan kontrol. Bukan kali yang kedua, ketiga atau keempat. Tapi sudah belasan kali. Dan setiap kali terjadi, Tisa selalu shock.
‘Sudahlah, Tisa. Sekarang sholat dan istirahat dulu. Nanti biar mbok Siyem yang membereskan rumah ini,’ bujuk tante Narti ketika melihat Tisa membungkuk dan mengumpulkan pecahan kaca.
‘Tidak usah, tante. Tisa bisa membereskannya sendiri. Terima kasih atas bantuan tante dan Oom,’ Tisa menolak jasa tante Narti. Sudah terlalu banyak pertolongan mereka untuk kami, pikir Tisa.
Sesudah rumahnya beres, Tisa segera menuju ke Puri Nirmala untuk melihat keadaan ayahnya. Untung rumah sakit itu tidak begitu jauh dari rumahnya, sehingga
Tisa bisa berjalan kaki ke sana.
Sebelum memasuki rumah sakit, Tisa berhenti lama di luar. Setelah merasa yakin kalau dia kuat menghadapi kemungkinan yang paling buruk barulah dia melangkah masuk.
‘Tisa!’ seru dokter Sayekti ketika kedatangan Tisa. Dokter wanita inilah yang biasa merawat pak Haryanto, ayah Tisa.
‘Bagaimana papa?’ tanya Tisa. Tanpa menjawab, dokter Sayekti membimbing Tisa masuk. Setelah melewati lorong-lorong yang muram akhirnya mereka berhenti di depan sebuah kamar bercat kelabu. Dari jendela kaca mereka bisa melihat ke dalam kamar. Tisa menutup kedua matanya dengan erat. Pemandangan di dalam sangat melukai hatinya. Di tempat tidur, Tisa melihat ayahnya terbaring dengan lemah. Kedua kaki dan tangannya diikat dengan erat tak ubahnya seperti penjahat yang baru saja ketangkap polisi. Ayahnya yang biasanya sekuat Hercules, kini lemah bagai boneka karet yang bocor. Hati Tisa tidak rela melihat ayahnya diperlakukan seperti itu. Tiba-tiba Tisa merasa lelah luar biasa. Dia terduduk di bangku di depan kamar dengan lesu. Dokter Sayekti mendekati dan duduk di sampingnya.
‘Ayahmu tidak apa-apa, Tisa,’ hiburnya.
‘Ya,’ sahut Tisa sumbang.
‘Sekarang papamu sedang tidur dan tidak akan bangun sampai besok pagi. Mengapa kamu tidak pulang saja dan kembali kemari bila papamu sudah bangun?’ saran dokter Sayekti. Tisa menahan nafas.
‘Akan kupanggil Pak Santo untuk mengantarmu pulang,’ lanjut dokter Sayekti sambil bangkit. Kemudian dia melangkah ke belakang. Selang beberapa saat kemudian dokter itu muncul kembali bersama seorang laki-laki tua berjalan di belakangnya.
Tisa tidak membantah ketika sekali lagi dokter Sayekti menyuruhnya untuk pulang.
Betapa pun inginnya dia menemani ayahnya, tetapi Tisa sadar kalau tenaganya tidak
dibutuhkan di sini. Dia tidak bisa melakukan apa-apa untuk ayahnya.
‘Nggak usah diantar, Pak Santo, Tisa berani pulang sendiri,’ ucap Tisa kepada Pak Santo ketika mereka sudah berada di luar rumah sakit.
‘Bu dokter menyuruh saya untuk mengantar nak Tisa sampai di rumah. Lagi pula bapak tidak ada pekerjaan. Bapak senang bisa keluar dari rumah sakit. Terus menerus berada di dalam sana bikin sumpek pikiran. Bisa-bisa bapak jadi pasien bu dokter,’ ujar Pak Santo lugu. Tisa tersenyum dan membiarkan Pak Santo mengantarnya pulang. Berdua mereka berjalan dengan berdiam diri di bawah taburan berjuta bintang.
Selama tiga hari Tisa tidak berhasil menemui ayahnya. Dia hanya bisa melihat ayahnya dari kaca jendela. Keadaan pada hari pertama. Justru kelihatan semakin parah. Tidak ada yang bisa Tisa lakukan kecuali berdoa kepada Tuhannya.
Pada hari keempat dokter Sayekti memberinya kabar gembira. Pak Haryanto sudah boleh dijenguk. Tisa benar-benar bahagia. Dengan berlari-lari kecil dia menuju ke kamar ayahnya.
Sebelum memasuki kamar itu, Tisa mengintip dulu lewat jendela. Dia melihat ayahnya tengah berbaring dengan mata mengembara di langit-langit kamar. Kaki dan tangannya tidak lagi diikat. Tisa tersenyum.
‘Pagi, pa,’ sapa Tisa sambil membuka pintu. Kemudian dia mendekati ayahnya dan memberinya ciuman lembut di pipi. Ayahnya membalas dengan mencium dahi Tisa.
‘Tidak kuliah, Tis?’ tanyanya.
‘Dosennya lagi ikut seminar, jadi kuliah ditiadakan,’ jawab Tisa berbohong. Sudah empat hari ini dia ngabur dari kampus. Kuliah jadi tidak berarti bila dibandingkan dengan keselamatan ayahnya.
‘Bagaimana dengan Papa? Masih pusing?’ tanya Tisa.
‘Sedikit,’ jawab Pak Haryanto. Dia pandang Tisa dengan penuh cinta. Tisa tersenyum kemudian mulai memijit kaki ayahnya.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto.
‘Ya?’ sahut Tisa sambil memandang ayahnya.
‘Apa yang telah papa lakukan sebelum dibawa ke tempat ini?’
‘Tisa tidak tahu. Tisa sedang kuliah waktu itu,’ jawab Tisa dengan menundukkan wajahnya.
‘Kamu mengerti maksud papa. Apakah papa merusaki barang-barang kita lagi?’
‘Sudahlah, pa,’ sela Tisa. Dia tidak ingin ayahnya mengungkit-ungkit peristiwa yang sudah berlalu. Dia tidak ingin ayahnya merasa bersalah dan menyesali dirinya sendiri. Sekarang ayahnya sudah sadar kembali, itu yang paling penting bagi Tisa.
‘Ini bukan masalah biasa, Tis. Masalah yang sangat serius. Kita musti membicarakannya sekarang juga,’ bantah Pak Haryanto.
‘Kita tidak harus membicarakannya sekarang, Pa. Nanti kalau Papa sudah sehat benar baru kita bicarakan,’ bujuk Tisa. Pak Haryanto memandang Tisa lama. Kemudian menggeleng-geleng kepalanya seperti orang yang tengah putus asa.
‘Papa rasa papa tidak bakal sembuh lagi. Sudah berapa kali papa keluar masuk rumah sakit ini? Sudah berapa kali papa menghancurkan rumah kita tanpa papa sadari? Sudah berapa kali Kamu ngeri menghadapi ayahmu sendiri? Kamu akui atau tidak, Tis, papamu sudah gila. Sudah gila dan tidak bisa disembuhkan lagi.’
‘Pa!’ pekik Tisa. ‘Papa tidak gila.’
‘Betapa inginnya papa mempercayai ucapanmu itu,’ keluh ayah Tisa.
‘Tetapi papa tidak bisa. Setiap waktu ayahmu bisa kumat lagi. Gila. Ngamuk! Bahkan papa pernah hampir membunuhmu. Kamu ingat! Hanya orang gila saja yang punya niat untuk membunuh anaknya. “
‘Jangan diteruskan, pa,’ Tisa memohon dengan memelas. Air mata mulai membanjir
di pipinya. Melihat tangis anaknya, Pak Haryanto terpukamu. Betapa aku mencintainya, pikirnya.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto setelah terdiam untuk beberapa saat. Tisa mendongakkan wajahnya dan menatap ayahnya. Sisa air mata di pipi dia hapus dengan punggung tangan.
‘Kamu ingat Oom Heru?’ tanya Pak Haryanto. Tisa mengangguk. Oom Heru adalah
satu-satunya adik ayahnya yang sudah belasan tahun menetap di Jerman Barat.
‘Kamu ingat alamatnya?’ tanya Pak Haryanto lagi. Kembali Tisa mengangguk.
‘Sekarang dengar papa baik-baik,’ pesan Pak Haryanto sebelum mulai memberikan order. ‘Papa minta Kamu menulis surat kepada Oommu. Ceritakan kepada Oommu keadaan papa yang sesungguhnya. Sesungguhnya. Bagaimana papa merusak rumah kita. Bagaimana tetangga-tetangga mulai takut sama papa. Bagaimana papa hampir membunuhmu. Ceritakan semuanya. Juga mengenai papa yang keluar masuk rumah
sakit syaraf ini. Lalu bilang pada Oommu kalau papa menginginkan agar Kamu tinggal bersamanya. “
‘Pa!’ teriak Tisa protes.
‘Jangan menyela, Tis,’ Pak Haryanto memperingatkan.’ Dengar dulu penjelasan papa. Sekarang ini papa sedang waras. Besok mungkin sudah tidak lagi. Itulah sebabnya papa ingin menyelesaikan persoalan ini selagi masih ada kesempatan,’ Pak Haryanto menerangkan. ‘Papa menyayangimu, Tis. Kamu tahu itu. Papa tidak ingin kamu menjadi korban kebuasan papa di saat papa kehilangan pikiran sehat … di saat papa gila. Papa ingin kamu mempunyai kehidupan normal seperti remaja-remaja
lainnya, tanpa harus mengurusi ayah yang seperti papa ini. Setelah kamu tinggal dengan Oommu papa akan tinggal di rumah sakit jiwa selamanya. Di sini papa tidak akan membahayakan orang lain.’
‘Tisa tidak mau. Tisa akan terus bersama papa. Papa sama sekali tidak gila. Papa hanya sakit. Dokter Sayekti akan menyembuhkan papa,’ bantah Tisa sambil menubruk ayahnya dan memeluknya dengan erat. Pak Haryanto menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Tisa Kamu tahu Oom Heru menyayangimu seperti papa menyayangimu. Kamu tidak
akan terlantar di sana, Tis. Sedang kalau Kamu tetap tinggal bersama papa … Ya Allah … Untung sore itu Kamu ada kuliah, kalau tidak, papa tidak berani untuk membayangkannya. Tisa, turutilah permintaan papa,’ desah Pak Haryanto. Tisa menggeleng.
‘Tidak, pa. Tisa akan selalu bersama papa. “
‘Tisa..’
‘Papa, jangan bicarakan itu lagi. Tisa tidak mau mendengarnya. Papa tidak gila dan Tisa akan selalu bersama papa. Itu keputusan Tisa. Papa tidak berhak memaksa Tisa,’ kata Tisa mantap. Sia-sia Pak Haryanto membujuk Tisa untuk melakukan perintahnya. Kalau sudah keras kepala. Tisa bisa keras dari batu hitam.
♣
Tegar duduk di anak tangga teratas Balairung sambil memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang lalu lalang. Dia berharap dapat menemukan wajah Tisa di antara mereka. Namun harapannya sia-sia. Sudah lebih dari satu jam dia menunggu di sana, tetapi Tisa tidak muncul-muncul juga.
‘Ke mana anak itu?’ tanya Tegar dalam hati sambil menimang-nimang catatan Moneter yang dipinjamnya dari Tisa delapan hari yang lalu. Dia heran mengapa sejak malam itu Tisa tidak pernah menampakkan dirinya di kampus. Ingin benar Tegar mengetahui keadaan Tisa, tetapi tidak tahu kepada siapa dia harus bertanya. Tisa tidak mempunyai kawan akrab. Dia selalu menyendiri dan mengambil jarak dari siapa pun.
Setelah merasa pasti kalau hari ini Tisa juga tidak datang, Tegar kemudian bangkit dan berjalan menuju ke lantai tiga. Langkah kakinya membawa dia ke perpustakaan.
Di depan pintu langkahnya terhenti dengan sendirinya. Dia tertegun. Di sana, di pojok selatan dia melihat Tisa yang tengah menekuni sebuah buku teks.
Pelan-pelan Tegar mendekati Tisa dan duduk di depannya. Menyadari kalau ada seorang yang mendatanginya. Tisa mendongakkan wajahnya. Matanya bertemu dengan mata Tegar.
‘Hai,’ sapa Tegar. ‘Kok lama tidak kelihatan? Kemana?’
‘Repot,’ jawab Tisa tanpa senyum.
‘Aku ingin mengembalikan bukumu. Sebenarnya aku bisa mengantarkannya ke rumahmu, tetapi aku tahu kamu tidak senang kukunjungi,’ ucap Tegar sambil berharap kalau Tisa akan membantah ucapannya dan mengundangnya untuk datang ke rumahnya. Tetapi seperti biasanya, Tisa cuma membisu.
Terima kasih,’ ucap Tegar sambil mengangsurkan buku Tisa. Tisa mengangguk. Tak ada harapan bagimu, Gar, keluh Tegar dalam hati sambil gadis di depannya dengan gemas. Tetapi yang dipandang acuh saja dan tetap menekuni bukunya.
‘Kamu mestinya membutuhkan catatan kuliah selama delapan hari ini. Mau pinjam catatanku?’ Tegar menawarkan dengan manis. Tisa memandang Tegar sejenak dan berpikir.
‘Tulisanku memang tidak sebagus tulisanmu, tetapi masih bisa dibaca kok,’ sambung Tegar cepat ala penjual jamu di Malioboro yang tengah menawarkan minyak kalajengking. Tisa tersenyum. Tegar terpukamu. Belum pernah Tisa melemparkan senyum ke arahnya.
‘Siasat yang bagus!’ sorak hati di dalam dada Tegar. Cepat-cepat dikeluarkannya semua buku catatan yang ada di dalam tasnya dan digelar di depan Tisa. Tisa menggelengkan kepalanya.
‘Aku tidak mungkin menyalin semuanya dalam satu hari. Sebaliknya aku pinjam dua catatan dulu. Moneter dan Cost. Kapan-kapan aku pinjam yang lain,’ ucap Tisa. Kalimat terpanjang pertama yang pernah kamu ucapkan kepadaku, Tegar menyadarinya. Seratus persen dia menyetujui keinginan Tisa. Semua terserah kamu, Tis. Terserah kamu.
‘Oh, iya,’ Tegar teringat sesuatu. ‘Minggu yang lalu kita mendapat tugas untuk membuat paper Cost. Tugas beregu. Satu regu empat anak. Karena Kamu tidak masuk, aku langsung mendaftarmu ke dalam reguku bersama Numpy dan Yoyok,’ ujar Tegar hati-hati. Dia kuatir jangan-jangan Tisa akan menuduhnya lancang.
‘Numpy dan Yoyok tidak keberatan aku ikut regu kalian?’ tanya Tisa kuatir.
‘Mengapa mereka harus keberatan?’ Tegar balik bertanya.’ Lagian justru Numpy yang usul agar kamu masuk regunya,’ lanjut Tegar. Tisa paham sekarang. Sejak SMA dulu Tisa selalu satu regu dengan Numpy. Regu Pramuka. Regu Prakarya. Regu bahasa. Sejak dulu Numpy selalu baik. Seorang sahabat sejati. Sayang aku tidak bisa membalas persahabatannya, sesal Tisa dalam hati.
‘Kapan kita akan mengerjakan paper itu?’ tanya Tisa.
‘Rencananya besok siang sehabis kuliah Internasional kita akan membahasnya. Kamu ada waktu?’ jawab Tegar diikuti pertanyaan. Tisa mengangguk. Bagus! pekik Tegar dalam hati. Tidak salah aku memasukkan Kamu ke dalam reguku. Sebuah awal yang baik. Dan Tegar serasa ingin terbang ke langit.
♣
Tisa berdiri bersandar pada pagar pengaman menanti Numpy, Tegar dan Yoyok
yang masih ribut di ruang I. Tadi Pak Alex memberikan responsi mendadak.
Tidak ada seorang pun yang siap dan sekarang mereka tengah membicarakan hasil responsi mereka yang kedodoran.
Yoyok keluar lebih dahulu dan berdiri di samping Tisa.
‘Bisa?’ tanyanya pada Tisa. Tisa menggeleng.
‘Keterlaluan sekali deh dosen satu itu,’ gerutu Yoyok. ‘Kuliah sering kosong. Eh, sekalinya masuk, ngasih responsi,’ lanjutnya geram. Tisa tersenyum . Belum lagi gerutuan Yoyok habis, Numpy sudah keluar lengkap dengan makian-makian kotornya. Tisa sudah hafal dengan kebiasaan Numpy yang satu ini. Setiap menghadapi persoalan-persoalan yang agak rumit, Numpy selalu mengumpat.
‘Sekarang kita mau kemana?’ Tegar muncul dengan pertanyaan.
‘Dikerjakan di rumahku saja yuk,’ Numpy menawarkan tempat. Semua setuju. Berempat mereka kemudian menuju rumah Numpy. Numpy nggonceng Yoyok dan Tisa nggonceng Tegar. Jangan ditanya bagaimana senangnya hati Tegar bisa memboncengkan Tisa.
‘Entah karena grogi memboncengkan Tisa atau entah karena memikirkan responsi Ekonomi Internasionalnya yang gagal di Bunderan Bulaksumur tiba-tiba Tegar tidak
bisa menguasai sepeda motornya. Hampir saja dia menabrak bis kota yang melaju dari arah timur. Dia menggapai rem dengan mendadak. Akibatnya fatal. Sepeda motornya selip dan terbalik. Untuk beberapa detik Tegar sempat kehilangan kesadarannya. Ketika tersadar, dia melihat Tisa yang tengah ditolong oleh para penjual majalah yang membuka kios di sekitar Bunderan.
‘Ya Tuhan,’ keluh Tegar sambil berusaha untuk bangkit. Lututnya terasa sangat nyeri. Dia meringis kesakitan. Tepat saat itu Yoyok datang menolong. Sementara itu
beberapa orang tengah berusaha meminggirkan sepeda motor Tegar.
‘Bagaimana keadaan Tisa?’ tanya Tegar pada Yoyok.
‘Parah,’ jawab Yoyok sambil tersenyum lebar.
‘Babi kamu! maki Tegar. ‘Aku serius,’ lanjutnya geram. Yoyok terbahak melihat Tegar sewot.
‘Lain kali hati-hati,’ nasehat Yoyok bergurau ketika mereka sudah berada di pinggir jalan, di dekat Numpy dan Tisa. Seorang penjual majalah menawari Tegar segelas teh, Tegar menolaknya dengan halus. Dia memandang Tisa yang duduk di dekat Numpy. Wajahnya seputih kapas.
‘Bagaimana, Tis?’ tanya Tegar sambil berjongkok di depan Tisa. Nyeri di lututnya tidak dia hiraukan.
‘Tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit,’ jawab Tisa sambil menunjukkan tangan kanannya. Tegar ternganga. Dari siku sampai ujung tangan Tisa nampak baret merah bekas gesekan aspal jalan yang keras. Dan kulit sikunya megelupas.
‘Ke Panti Rapih dulu yuk minta suntikan ATS,’ usul Tegar. Dia takut kuman tetanus
ada yang menempel di luka Tisa.
‘Nggak perlu. Kelihatannya saja ini mengerikan, tapi tidak apa-apa. sungguh,’ Tisa berusaha meyakinkan Tegar. Tegar memandang Numpy untuk mencari dukungan agar Tisa mau di bawa ke dokter, Numpy mengangkat bahu dan memasrahkan semuanya pada Tegar.
Sesudah beristirahat sejenak dan sesudah mengucapkan terima kasih kepada para penolong, mereka kembali meneruskan perjalanan. Tegar kini berada di goncengan Yoyok dan Numpy memboncengkan Tisa.
‘Pantas Tisa tidak pernah mau kamu antar. Sekali nggonceng kamu sudah kamu jatuhkan. Tiga, empat kali pasti sudah kamu ajak melanglang ke akherat,’ komentar Numpy ke arah Tegar sambil menjalankan sepeda motor Tegar yang untung tidak rusak. Tegar tidak membalas komentar itu. Dia lebih senang memperhatikan Tisa yang duduk di belakang Numpy. Tiba-tiba Tegar melihat barut merah yang memanjang di pipi Tisa. Astaga, aku telah merusak pipimu pula, sesalnya dalam hati.
♣
Ibu Numpy sedang membuat macramé di teras ketika mereka berempat datang. Padangannya segera terpaku pada Tisa.
‘Tisa!’ serunya gembira. ‘Ngumpet di mana selama ini?’
‘Di rumah saja, tante,’ jawab Tisa dengan senyum.
‘Bagaimana papamu?’ tanya Ibu Numpy kemudian.
‘Baik,’ jawab Tisa ragu sambil mengulurkan tangannya untuk menyalami ibu Numpy. Wanita cantik itu melihat luka di tangan Tisa.
‘Kena apa ini?’ tanyanya kaget.
‘Jatuh, tante,’ kali ini Yoyok yang menjawab.
‘Duh, Gusti Numpy!!’ teriak ibu Numpy. Numpy yang tengah membuka pintu paviliun menghentikan pekerjaannya dan menoleh ke arah ibunya.
‘Sudah berapa kali mama peringatkan jangan ugal-ugalan di jalan. “
‘Bukan Numpy, Ma. Tapi pemuda ganteng yang sekarang berdiri di depan mama itu yang ngejatuhin Tisa,’ Numpy membela diri. Tegar tersenyum kecut. Ibu Numpy menggeleng-gelengkan kepalanya.
‘Nggak disengaja, tante,’ Tisa menyumbang suara.
‘Aduh anak muda sekarang. Ayo tante bersihkan dulu lukamu,’ ucap Ibu Numpy sambil mengajak Tisa masuk dan meninggalkan Tegar serta Yoyok berdua di luar. Untung Numpy segera memanggil mereka untuk masuk ke paviliun.
Semenit kemudian Ibu Numpy menyusul ke paviliun. Tanpa Tisa.
‘Tante harap lain kali kalau di jalan hati-hati. Lebih-lebih bila dengan Tisa,’ ucap Ibu Numpy. Ucapan yang lebih ditujukan buat Tegar.
‘Rasanya saya tadi sudah ekstra hati-hati, tante nggak tahu kenapa sepeda motor saya nggak mau diatur,’ Tegar memberikan alasan.
‘Yah, namanya kecelakaan,’ gumam Ibu Numpy. ‘Kamu tidak apa-apa? Luka barangkali?’
‘Enggak tante,’ jawab Tegar melupakan nyeri di lututnya. Ibu Numpy mengangguk kemudian menanyakan kepada Numpy di mana alkohol yang dipakai Numpy beberapa hari yang lalu. Numpy bangkit dan mengambilkan alkohol yang diminta ibunya.
Sesudah Ibu Numpy berlalu, Tegar bertanya pada Numpy.
‘Kok tadi mamamu bilang agar hati-hati di jalan lebih-lebih bila dengan Tisa. Apa sih maksudnya?’
‘Oh, itu,’ desah Numpy. ‘Mama tidak ingin Tisa mengalami trauma … Gimana sih ngomongnya. Gini nih, dulu Ibu Tisa meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. “
‘Maksudmu Tisa sudah tidak punya ibu lagi?’ tanya Tegar. Numpy mengangguk.
‘Kejadiannya sekitar dua … emm … lebih, hampir tiga tahun yang lalu,’ cerita Numpy. ‘Mobil yang dikendarai ayah Tisa tabrakan dengan tangki minyak. Tisa selamat, ayahnya cidera agak berat, tapi ibunya tidak tertolong lagi. Tisa yang melihat ibunya meninggal dan ayahnya terluka, sangat shock. Untuk beberapa waktu dia tidak berani keluar ke jalan. Dia ngeri setiap kali melihat kendaraan. Apalagi kecelakaan. Kamu lihat betapa pucatnya dia tadi? Aku sudah mengira kalau dia akan histeris. Untung tidak,’ Numpy menutup ceritanya. Tegar dan Yoyok terpana. Baru sekali ini mereka mendengar cerita tentang Tisa, si gadis pemurung.
Kalau saja aku tahu … sesal Tegar. Saat itu Tisa muncul di paviliun. Luka di tangan dan barut di pipinya sudah dibersihkan dan diberi obat merah.
Sebelum duduk. Tisa memandang ke setiap sudut paviliun. Dulu tempat itu sangat akrab dengannya. Tiba-tiba mata Tisa terpaku pada pesawat CB yang ada di atas meja di depan jendela. Numpy menyadari ke arah mana mata Tisa tertuju.
‘Kok Kamu tidak pernah ngebreak lagi, Tis?’ tanyanya.
‘CB-ku rusak,’ jawab Tisa pendek sambil duduk di samping Yoyok.
‘Apanya yang rusak?’ kejar Numpy.
‘Nggak tahu. Nggak bisa dipakai lagi,’ jawab Tisa seakan-akan tidak ingin subyek
itu diangkat menjadi topik.
‘Heran kok aku belum pernah memonitormu,’ sela Tegar.
‘Sudah lama aku tidak muncul,’Tisa menerangkan.
‘Sebelum Kamu datang ke Yogya Tisa sudah tidak muncul lagi,’ tambah Numpy.
‘Apanya sih yang rusak, Tis? Apa enggak bisa direparasi?’ tanya Numpy beruntun. ‘Hei, Gar Kamu bisa kan memperbaiki pesawat? Punya Ade Kamu kan yang ‘mbetulin?’ Numpy beralih ke Tegar.
‘Lihat-lihat dulu rusaknya. Kalau cuma yang enteng-enteng sih bisa aja,’ jawab Tegar.
‘Nah tuh, Tisa, ada tenaga nganggur,’ ujar Yoyok, ’Suruh aja dia mbetulin pesawatmu.’
‘Nggak tahu apa masih bisa dibetulin atau tidak,’ ucap Tisa. ‘Barangkali antenanya sudah berkarat. Lagian aku sudah tidak tertarik lagi untuk … ‘
‘Ya ampun, Tis, sekarang ini lagi ramai-ramainya,’ potong Numpy.
‘Tanya aja pada Yoyok dan Tegar. Banyak deh sekarang teman kita. Minggu lalu kita rujakan di rumah Ade. Ayo dong, Tis. Banyak yang menanyakan kamu lho,’ bujuk Numpy gencar. Dia ingat Tisa dulu teman di udaranya yang paling setia. Kalau sudah ngobrol mereka sering lupa waktu.
‘Iya deh kapan-kapan. Sekarang mari kita pikir tentang Cost,’ Tisa mengakhiri pembicaraan mereka tentang CB. Walaupun dulu dia sangat gandrung dengan benda
yang satu itu, tetapi saat ini dia tidak berniat untuk menggunakannya lagi. Selain pernah memuaskan hatinya pesawat itu juga pernah menghancurkan hidupnya.
♣
Sepulang dari rumah Numpy, Tisa langsung masuk ke ruang kecil di samping kamar tidurnya. Sudah setahun lebih dia tidak masuk ke ruang itu. Di dekat jendela, dia melihat pesawat CB-nya yang penuh dengan debu. Pesawat itu hadiah dari Oom Heru ketika dia merayakan ulang tahunnya yang ketujuh belas.
Tisa membuka jendela. Udara segar memasuki ruang yang pengap itu. Dengan jari-jari tangannya Tisa menyentuh debu yang menyelimuti pesawatnya. Dia sengaja mengatakan kepada Numpy kalau CB-nya rusak agar dia tidak didesak untuk menjawab mengapa sudah sekian lama dia tidak berhandai-handai di udara.
Tisa mendudukkan dirinya di kursi. Ditariknya mike, dan didekatkannya ke wajahnya.
‘C.Q. calling … C.Q. calling … apakah ada yang memonitor?’ bisiknya pelan. ‘C.Q. calling … apakah ada yang bisa memonitor?’ ulangnya. Tentu saja tidak seorang pun yang bisa menangkap suaranya. Pesawat itu tidak dihidupkannya.
Pelan-pelan Tisa bersandar di kursi dan memejamkan matanya. Sebuah peristiwa menyakitkan kembali tergambar di pikirannya.
Waktu itu Tisa berniat untuk mencari teman ngobrol di udara. Seperti biasanya sebelum ngebreak, Tisa memonitor dulu percakapan para breakers yang sudah mengudara.
‘Modulasi anda lantang sekali. Roger. Di mana sih lokasi anda? Ganti,’ terdengar sebuah pertanyaan.
‘Roger … Nyutran gitu. Guest House Sailendra ke timur dua ratus meteran … Ganti,’ jawaban pertanyaan itu terdengar lantang sekali. Tisa tersenyum. Dia mengenali suara si penjawab. Agus, tetangga di depan rumah.
‘Dekat rumah Tisa, correct ?’ si suara pertama kembali bertanya. Senyum Tisa semakin lebar. Dia juga mengenali suara yang satu ini. Suara milik Donny teman sekelasnya.
‘Correct. Kok anda tahu Tisa? Ganti. “
‘Dia kan tanggo mike saya … Roger … Lebih tepat papa charlie saya gitu … ganti,’ sahut Donny. Tak salah lagi pasti Donny. Hanya Donny yang berani mengaku di depan umum kalau Tisa adalah pacarnya. Saat itu pula Tisa ingin masuk ke dalam percakapan, tetapi dia menunggu apa yang akan mereka obrolkan selanjutnya.
‘Roger,’ sahut Agus. ‘Tapi hati-hati lho. Cantiknya sih cantik, tapi kalau saya harus mikir seribu kali dulu sebelum jadi pacarnya. Ganti. “
‘Roger … Memangnya kenapa?’ tanya Donny. Tisa semakin memasang telinga. Percakapan semakin hangat. Agus tidak langsung menjawab. Tisa penasaran.
‘Ayah Tisa itu golf lima. Ganti,’ bisik Agus.
‘Gila, correct?’ Donny menegaskan.
‘Correct. Sedang anda tahu kan golf lima itu penyakit menurun. Jadinya ya hati-hati aja, Tisa pasti juga agak-agak gitu. Ganti. “
‘Roger … anda jangan main fitnah lho,’ ancam Donny.
‘Sumpah mati … Roger … Kemarin siang beliaunya masuk Puri Nirmala setelah hampir membunuh Tisa. Untung tetangga pada meli …’ Tisa tidak mendengar kelanjutan kata-kata Agus. Dia matikan pesawat CB-nya. Wajahnya merah menahan marah. Dia keluar dari ruang itu dan tak pernah kembali lagi ke sana. Sejak saat itu pula dia tidak pernah menyentuh lagi hadiah ulang tahun dari Oom Heru tersebut.
Tisa tidak menyalahkan Agus. Dia tidak menyalahkan siapa-siapa. Dia juga tidak menyalahkan Donny, bila sejak saat itu Donny yang biasanya selalu membanggakan Tisa, tidak lagi menyapanya. Tisa seakan-akan mengidap penyakit menular yang harus disingkiri. Kabar telah tersebar. Tisa tidak bisa menariknya kembali. Ingin benar dia berteriak kepada semua orang bahwa ayahnya tidak gila. Tetapi siapa yang mau mempercayainya?
Sejak saat itulah Tisa mulai menarik diri dari pergaulan. Sebelum dia disingkirkan lebih baik dia menyingkirkan diri. Dan mulailah dia membangun dunianya sendiri. Dunia yang mirip istana pasir. Kelihatannya kokoh, tetapi setiap saat selalu ketakutan akan datangnya ombak. Ombak yang paling kecil pun akan mampu merobohkan istananya.
♣
Kaki Tegar ternyata membengkak. Walaupun sudah dikompres, namun bengkak itu tidak kempes juga. Kalau tidak ingat absensinya yang harus diselamatkan, mau rasanya Tegar meninggalkan kuliah dan tinggal di rumah. Untung sepupunya, Nies, mau mengantarkannya ke fakultas, sehingga dia tidak harus naik motor sendiri.
‘Bisa naik tidak?’ kata Nies sambil menghentikan mobilnya di depan Balairung. Tegar melayangkan matanya ke lantai III dan mengeluh dalam hati.
‘Jangan kuatir, Nies. Aku pasti sampai ke sana,’ ucap Tegar sambil turun dari mobil. Nyeri di lututnya terasa menikam. Dia meringis sejenak, kemudian melambai
ke arah Nies.
Menaiki anak-anak tangga ke Balairung merupakan siksaan bagi Tegar. Beberapa kali dia terpaksa berhenti untuk meredakan nyeri di kakinya. Dia benar-benar merasa lega ketika akhirnya bisa sampai di Balairung. Baru di Balairung, belum di tingkat III. Tegar merasa tidak sanggup lagi untuk berjalan. Dia bersandar pada salah satu pilar.
‘Tegar, kenapa kakimu? Tadi kulihat Kamu terpincang-pincang,’ entah dari mana tiba-tiba Tisa muncul di depannya. Sebuah kejutan yang manis buat Tegar.
‘Emm … bengkak,’ jawab Tegar sambil berusaha untuk tersenyum.
‘Karena jatuh kemarin?’ tanya Tisa kuatir.
‘Iya. “
‘Ada tulangmu yang patah?’
‘Enggak cuma memar saja,’ sahut Tegar. Dia melepaskan diri dari pilar yang disandarinya dan mulai berjalan. Tisa mengikuti di sampingnya. Di depan anak-anak tangga yang menuju ke lantai atas Tegar menghentikan langkahnya. Tisa memandang sejenak.
‘Mari kubantu,’ katanya sambil mengulurkan tangan ke arah Tegar. Tegar terpukau. Tetapi tidak lama. Tisa sudah mengambil lengannya dan membantunya untuk menaiki anak-anak tangga. Tegar tidak pernah menyangka kalau dia bisa sedekat ini dengan Tisa. Mimpi apa aku semalam? Salah. Salah! Mimpi apa Tisa semalam sehingga pagi ini mau beramah tamah denganku?
‘Seharusnya kamu istirahat di rumah. Tidak usah kuliah,’ Tisa membuyarkan lamunannya.
‘Itu niatku tadi. Tapi absensiku untuk Pak Kris payah. Sudah empat kali aku ngabur. Sekali lagi berarti tidak boleh ikut ujian.’ Tegar menerangkan sambil menatap Tisa lekat-lekat. Barut di pipi Tisa masih nampak. Untung tidak dalam. Kalau dalam pasti akan meninggalkan bekas yang mengerikan.
Sesampai di lantai tiga mereka berhenti. Dengan cepat Tegar meraih tangan Tisa yang tadinya digunakan untuk menuntunnya agar gadis itu tidak melarikan diri. Sesaat Tisa nampaknya akan protes, Tetapi kemudian membiarkan tangan Tegar menggenggam tangannya.
‘Aku belum meminta maaf kemarin,’ bisik Tegar.
‘Meminta maaf?’
‘Ya, karena telah menjatuhkanmu serta telah membuat tangan dan pipinya terluka,’ awab Tegar sambil menatap langsung ke mata Tisa. Tisa gugup setengah mati. Rona merah menjalar di pipinya yang membuatnya nampak semakin cantik di mata Tegar.
‘Lupakanlah. Kecelakaan bisa terjadi di mana-mana,’ kata Tisa setelah reda kegugupannya. Tegar tersenyum. Dan dalam hati Tisa harus mengakui kalau senyum itu sangat menawan.
Karena mereka datangnya bersama, mereka dapat duduk bersebelahan. Sehingga selama kuliah berlangsung Tegar bebas untuk memperhatikan Tisa. Setiap gerakan Tisa, bahkan yang paling kecil pun tak luput dari mata Tegar. Dia melihat Tisa menghapus keringat di keningnya dengan tissue berwarna merah muda. Dan melihat Tisa mengeluarkan Tipp-Ex untuk menutup tulisan yang salah. Dia melihat Tisa menjejakan kakinya ke depan karena capai. Dia melihat Tisa meringis kesakitan ketika luka di tangannya terbentur pada sisi bangku. Dia melihat semuanya. Tisa bukannya tidak menyadari ke mana perhatian Tegar di arahkan. Dalam keadaan seperti itu muncul sifat istana pasirnya. Dia seakan melihat ombak besar yang mendekat dan mengancam istananya . Akankah kamu memandangku dengan sebelah matamu bila kamu sudah tahu keadaan papa?
Satu seperempat jam berlalu dengan cepat. Rasanya terlalu berlebihan bila Tegar berharap Tisa akan menggandengnya turun. Dia tetap duduk di tempatnya dan memperhatikan Tisa bangkit dari kursinya.
‘Kamu mau pulang naik apa?’ tanpa disangka-sangka Tisa mengeluarkan pertanyaannya.
‘Sepupuku berjanji akan menjemputku,’ jawab Tegar.
‘Kamu bisa turun sendiri?’
‘Entahlah. Mungkin bisa.’
‘Kamu membutuhkan bantuanku?’
‘Kalau kamu tak keberatan,’ jawab Tegar penuh harapan. Tisa tersenyum. Tegar tertawa.
‘Baiklah, tapi tunggu hingga anak-anak turun semua dulu,’ janji Tisa.
Sesudah semua bayangan teman-teman mereka menghilang, Tisa mengajak Tegar untuk meninggalkan ruang kuliah.
Nies yang sudah menunggu Tegar di depan Balairung terheran-heran ketika melihat sepupunya itu muncul dalam gandengan seorang gadis cantik. Nies mengernyitkan dahinya. Rasa-rasanya aku kenal dia. Ya. Tentu saja aku kenal dia. Bukankah dia Tisa?
‘Tisa!’ seru Nies riang. Matanya berbinar cerah. Jadi ini dia gadis yang selalu dibangga-banggakan Tegar kepadaku.
Tisa yang berdiri beberapa langkah dari Nies terpaku di tempatnya. Terror membayang di matanya.
‘Nies,’ gumamnya lirih sambil melepaskan tangannya dari tangan Tegar.
‘Kalian sudah saling kenal?’ tanya Tegar heran. Nies dan Tisa mengangguk bersama. Kalau Nies mengangguknya penuh semangat, maka Tisa adalah kebalikannya.
‘Aku tidak menyangka kalau ‘Tisa‘ yang sering diceritakan Tegar kepadaku adalah kamu,’ celoteh Nies. Tegar mendelik sengit ke arah sepupunya.
‘Yuk pulang sama-sama , Tis,’ ajak Nies tak mempedulikan Tegar. Tisa menggelengkan kepalanya.
‘Terima kasih, aku bisa naik Colt. “
‘Hei, nggak usah sungkan. Kita kan saudara,‘ dalih Nies sambil mengerling Tegar.
‘Nggak usah repot-repot, Nies,’ tolak Tisa.
‘Nggak ngerepotin kok. Kebetulan aku juga harus jemput mama di rumah sakit,’ bujuk Nies gencar. Tegar tidak ikut membujuk, karena dia tahu hasilnya akan sia-sia.
‘Bukan begitu. Aku masih harus ke perpustakaan. Pulanglah kalian dulu,’ jawab Tisa yang tidak mungkin mau ikut bersama Nies dan Tegar. Pulang sendiri bersama Tegar saja dia harus mikir apalagi ditambah dengan Nies.
Sesudah dibujuk berkali-kali dan Tisa tetap pada pendiriannya, akhirnya Nies dan Tegar meninggalkannya seorang diri. Tisa memperhatikan mobil mereka hingga hilang dari pandangan matanya. Tiba-tiba dia merasa terluka. Ombak itu telah datang. Istanaku telah roboh. Pelan-pelan dia melangkah dan terus melangkah.
Dalam kepalanya muncul suatu bayangan yang jelas. Sangat jelas. Dia melihat Tegar yang duduk berdekatan dengan Nies. Dia melihat Tegar yang bertanya kepada
Nies bagaimana Nies bisa kenal dengan Tisa. Dan dia melihat Nies yang menjawab sambil tertawa : ‘Ayah Tisa kan pasien mama yang paling setia. “
‘Memangnya ayah Tisa sakit apa?’
‘Lha mama dokter apa? Dokter jiwa kan? Masa kamu lupa?’
‘Jadi ayah Tisa sakit jiwa?’
‘Iya. Gila! “
Tisa menggelengkan kepalanya dengan keras. Dadanya terasa sangat sesak. Sekarang semuanya sudah berubah. Tegar sudah tahu latar belakang kehidupannya, tentu dia akan menilainya dengan pandangan yang berbeda. Bahkan mungkin akan mencoret namanya dari daftar regu Costnya. Lebih buruk lagi bila dia akan menceritakan riwayatnya kepada teman-temannya yang belum tahu menahu tentang dirinya. Kejadian dua tahun yang lalu kembali terulang. Ombak kembali datang menggempur istana pasirnya yang rapuh. Dulu Tisa sudah menduga
akan datangnya hari seperti ini, tetapi dia tidak menyangka kalau hari itu datangnya begitu cepat.
Sebutir air mata bergulir di pipi Tisa. Tisa tidak berniat untuk menghapusnya. Dia terus saja berjalan dan membiarkan angin yang bertiup mengeringkan matanya.
♣
Pagi itu Tisa terbangun dengan kepala yang sangat berat. Dengan merayap dia berhasil sampai ke dapur. Mbok Jah, wanita tua yang bekerja pada keluarga Tisa dari pagi hingga sore sudah datang dan berada di dapur. Dia sangat terkejut melihat Tisa yang muncul dengan wajah pucat pasi dan tubuh menggigil.
‘Duh Gusti, mbak Tisa, kena apa?’ tanyanya kuatir.
‘Pening,’ sahut Tisa sambil memegang keningnya dan mendudukkan dirinya di kursi.
‘Tentu masuk angin. Mari mbok keriki. “
‘Tidak usah, mbok Jah. Tisa minta air hangat saja,’ jawab Tisa lesu. Cepat-cepat mbok Jah menyiapkan segelas susu hangat yang kemudian dicampurnya dengan dua sendok madu. Lalu diulurkannya ke arah Tisa. Dia memperhatikan Tisa meminum susu itu, kemudian berjalan ke belakang Tisa dan mulai memijit-mijit tengkuknya.
‘Nih kaku sekali. Pasti mbak Tisa terlalu banyak pikiran,’ komentar mbok Jah. ‘Jangan terlalu dipikirkan, mbak Tisa, bapak akan segera sembuh kembali,’ lanjutnya menghibur.
‘Mbok Jah,’ panggil Tisa lirih.
‘Menurut mbok Jah apakah papa gila?’ tanya Tisa.
‘Hush! Jangan bicara seperti itu tentang bapak,’ mbok Jah menegurnya.
‘Tisa hanya ingin mendengar pendapat mbok Jah,’ tuntut Tisa dengan suara berat. Untuk beberapa saat mbok Jah terdiam. Dia sadar anak asuhannya ini sedang terombang-ambing jiwanya dan membutuhkan tempat untuk berpijak yang kokoh.
‘Tentu saja bapak tidak gila,’ akhirnya mbok Jah mengeluarkan pendapatnya. ‘Menurut embok yang bodoh ini, bapak hanya dilanda kekecewaan dan rasa bersalah karena kecelakaan yang menewaskan ibu dahulu. Bapak sangat mencintai ibu dan bapak merasa bahwa bapaklah yang mengakibatkan kecelakaan itu. Mbak Tisa ingat, bapak mulai sakit beberapa saat sesudah kecelakaan. Tapi embok yakin bapak akan sembuh dengan berjalannya waktu. Percayalah pada embok. Jangan sekali-kali mendengarkan omongan usil para tetangga. Mbok Jah sudah bekerja pada keluarga bapak sejak duluuu … Sejak eyang buyut mbak Tisa masih sugeng. Tidak ada seorang pun dari keluarga bapak yang sakit jiwa. Tetangga-tetangga itu hanya mengada-ada. Jangan didengarkan,’ nasehat mbok Jah. Tisa merasa lega luar biasa. Ternyata ada juga seseorang yang sependapat dengannya.
‘Terima kasih, mbok,’ bisik Tisa. Mbok Jah tersenyum senang.
Sekarang mbak Tisa kembali saja ke kamar dan bobo lagi. Embok yakin semalam mbak Tisa pasti tidak tidur. Nanti kalau mbak Tisa bangun mbok bikinkan sup ayam,’ tutur mbok Jah seperti membujuk anak kecil. Tisa tersenyum dan menuruti anjuran mbok Jah. Tisa tidak seperti tadi malam, kali ini Tisa cepat terlelap.
Beberapa jam kemudian ketika dia terbangun, dia merasa kepalanya sudah ringan dan dadanya tidak sesak lagi. Dia seakan mempunyai kekuatan untuk menghadapi dunia.
Sesudah makan. Tisa pamit pada mbok Jah untuk menjenguk ayahnya. Mbok Jah mengantarnya hingga ke halaman depan. Dia lega ketika melihat wajah Tisa tidak sekelabu tadi pagi. Dia ikut merawat Tisa, sejak gadis itu baru berumur beberapa hari. Luka di hati gadis itu merupakan lukanya pula.
Pak Haryanto sedang tidur ketika tiba di sana. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan ayahnya. Tisa menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. Dari tempatnya Tisa menatap wajah ayahnya dengan segenap cintanya.
Alangkah tololnya aku membiarkan orang-orang mengira kalau papa gila,’ dengan hatinya Tisa mencoba berbicara dengan ayahnya. ‘Dan alangkah tololnya aku membiarkan pikiran picik mereka mengacaukan hidupku. Papa, Tisa bangga kepada papa. Justru dengan keadaan papa yang sekarang ini papa menunjukkan betapa besar cinta papa terhadap mendiang mama. Tisa tidak malu menjadi anak papa. “
Pak Haryanto menggeliat dan membuka matanya. Tisa telah siap dengan senyum
manisnya.
‘Tisa,’ gumam Pak Haryanto tidak jelas. ‘Kapan datang?’
‘Barusan, pa,’ sahut Tisa.
‘Papa sudah lama menunggumu. Saking capainya papa sampai tertidur,’ ucap Pak Haryanto sambil bangkit dari posisi berbaringnya dan duduk menghadapi Tisa.
‘Papa nunggu Tisa?’Tisa meyakinkan.
‘Ya,’ seru Pak Haryanto mantap. ‘Ada kabar gembira untukmu,’ sambungnya sambil
tersenyum.
‘Tisa siap mendengarnya.’
‘Oke, sekarang dengar baik-baik. Papa minta Kamu segera menulis surat untuk
Oom Heru … ‘
‘Papa, sudah Tisa katakan Tisa tidak mau hidup bersama Oom Heru walau sebaik apa pun dia. Tisa tetap akan hidup bersama papa. Papa tidak boleh membuang Tisa begitu saja,’ potong Tisa emosi.
‘Nah itu. Belum-belum sudah menyela,’ goda Pak Haryanto. ‘Bukan kamu yang akan tinggal bersama Oom Heru. Melainkan papa,’ lanjut Pak Haryanto berteka-teki.
‘Bagaimana, pa? Tisa tidak jelas,’ cerocos Tisa. Pak Haryanto tertawa.
‘Semalam dokter Sayekti memberi tahu papa bahwa papa tidak menderita kelainan
jiwa. Bukan jiwa papa yang sakit. Papa tidak gila. “
‘Na, kan sejak dulu sudah Tisa katakan,’ sela Tisa.
‘Nona muda, Kamu mau mendengarkan papa atau mau membuat diagnosa sendiri?’ tegur Pak Haryanto sambil tersenyum.
‘Maaf, pa. Sekarang Tisa mau mendengarkan,’ ucap Tisa.
‘Bukan psychis papa yang sakit tetapi fisik papa. Kamu ingat kecelakaan yang menimpa kita tiga tahun yang lalu? Waktu itu otak papa mengalami pendarahan. Setelah sembuh ternyata ada penyempitan pada pembuluh tersebut yang menyebabkan papa diserang rasa pening yang luar biasa dan papa tidak lagi bisa mengendalikan … mengendalikan apa sih istilah dokter Sayekti semalam? Pokoknya semacam emosi begitulah sehingga papa sering ngamuk dan tidak terkontrol. Nah, satu-satunya jalan untuk menyembuhkan penyakit papa ini adalah dengan operasi,’ Pak Haryanto menerangkan. Tisa mendengarkannya dengan penuh perhatian. Harapan yang besar membayang di wajahnya.
‘Papa akan menjalani operasi itu?’ tanya Tisa antusias.
‘Operasi itu merupakan operasi yang berat, Tis. Karena menyangkut otak. Dan di Indonesia belum tersedia peralatan yang memadai.’
‘Oh,’ keluh Tisa. Harapannya yang tadi melambung tiba-tiba terhempas lagi. Melihat kekecewaan di wajah Tisa Pak Haryanto segera mengulurkan tangannya dan meraih
Tisa ke dalam pelukannya.
‘Kamu belum mendengarkan kelanjutan cerita papa,’ bisik Pak Haryanto di telinga Tisa. Tisa menengadahkan wajahnya untuk memandang ayahnya. Matanya meminta penjelasan. Pak Haryanto tersenyum.
‘Kamu tahu negara yang sering mengadakan operasi semacam itu? Jerman Barat,
Tis. Tempat Oommu berada. Itulah sebabnya papa menyuruhmu untuk menyurati Oom Heru dan mengabarkan kepadanya bahwa papa akan berobat di sana. Kamu mau melakukannya untuk papa?’
‘Oh, pa!’ pekik Tisa sambil memeluk ayahnya dengan erat.
‘Oh, pa,’ ulangnya. Tak ada kata-kata lain yang mampu diucapkannya kecuali Oh, pa. Tangis bahagia membanjir dari kedua matanya seakan-akan semua butir air mata dan semua duka yang masih tersisa di dalam dirinya ingin ditumpahkannya sekarang juga. Dadanya terasa sangat lapang. Batu besar yang menindih hatinya selama tiga tahun kini terhempaslah sudah.
Untuk beberapa menit berikutnya Tisa masih juga belum mampu untuk berkata apa-apa. Kabar yang baru saja didengarnya terlampau berharga untuk didiskusikan dengan kata-kata. Sekali-sekali dia memandang ayahnya dan tersenyum.
‘Sekarang Tisa mau pulang,’ tiba-tiba Tisa berseru sambil bangkit dari sisi ayahnya. Tentu saja Pak Haryanto memandangnya tak percaya. ‘Sekarang juga Tisa mau menulis surat buat Oom Heru. Tisa tidak mau menundanya, ‘lanjut Tisa sambil mengambil pakaian kotor ayahnya untuk dibawa pulang. Sebelum keluar, Tisa menghadiahi ayahnya dua buah ciuman manis di pipi kiri dan pipi kanan.
‘Tisa,’ panggil Pak Haryanto ketika Tisa sudah memegang gerendel pintu siap untuk membukanya.
‘Ya?’ sahut Tisa sambil memutar badannya dengan indah.
‘Temui dokter Sayekti dulu sebelum pulang. Beliau tadi ingin bicara denganmu,’ pesan Pak Haryanto. Tisa mengangguk. Tanpa dipesan pun sebenarnya Tisa sudah berniat untuk menemui dokter itu. Begitu banyak pertanyaan yang ingin diajukannya. Mudah-mudahan saja aku tidak lupa dengan pertanyaan-pertanyaan yang ingin kuajukan.
Dokter Sayekti sedang menerima tamu ketika Tisa mengintip ke kamar kerjanya. Tisa memutuskan untuk menunggunya. Untung tamu itu tidak mengobrol terlalu lama dengan dokter Sayekti. Begitu tamu itu keluar, Tisa segera menjulurkan kepalanya melalui pintu yang terbuka sedikit. Dokter Sayekti yang melihatnya segera
memberikan isyarat agar Tisa mendekat.
‘Mau bicara dengan saya, tante dokter?’ tanya Tisa begitu dia sudah berada di depan dokter Sayekti. Hanya Tisa seorang yang mengalamatkan dokter Sayekti dengan sebutan ‘tante dokter “. Entah dari mana sebutan aneh itu didapatnya. Namun yang terang dokter Sayekti sangat menyukainya.
‘Iya, Tis,’ jawab dokter Sayekti. ‘Duduklah dulu,’ lanjutnya menyilakan Tisa. Sementara dia membereskan mejanya yang penuh dengan kertas.
‘Ayahmu sudah bercerita kepadamu?’ tanya dokter Sayekti setelah mejanya rapi
‘Sudah. Apakah yang dikatakan papa benar? Saya kuatir jangan-jangan papa hanya
merekanya untuk menggembirakan hati saya,’ ucap Tisa. Dokter Sayekti tertawa ramai. Setelah tawanya surut, mulailah dia bercerita.
Sebenarnya pihak rumah sakit sudah lama mengetahui keadaan ayah Tisa yang sebenarnya. Tetapi seperti yang telah diceritakan ayah Tisa tadi, untuk menjalani operasi tersebut di Indonesia masih belum mungkin. Sedang untuk menyarankan agar Pak Haryanto berobat di luar negeri tidak pernah terpikirkan oleh para dokter yang merawatnya. Mereka tidak ingin menambah beban di pundak Tisa. Beban yang saat ini berada di pundak Tisa sudah terlampau berat untuk di tanggung gadis seusia
dia.
Memang Tisa tidak memikirkan masalah keuangan, karena semua biaya pengobatan ditanggung perusahaan ayahnya. Tetapi justru beban mentalnya itu yang berat. Kalau pihak rumah sakit memberi tahu perihal keadaan ayahnya yang tidak bakal tersembuhkan bila tanpa melalui operasi, maka sudah dapat dipastikan kalau Tisa akan tersiksa. Sedang kalau untuk membawanya ke luar negeri, akan mampukah dia? Akhirnya para dokter sepakat untuk tidak menceritakannya kepada Tisa maupun kepada Pak Haryanto sendiri, sementara itu mereka tetap berusaha untuk penyembuhan Pak Haryanto.
‘Lalu apa yang membuat tante dokter berubah pikiran dan menceritakan kepada kami,’ tanya Tisa.
‘Sebenarnya tidak sengaja, Tisa,’ jawab dokter Sayekti. ‘Selama ini kami menyangka hanya Kamulah satu-satunya kerabat ayahmu. Well… Kamu sendiri sewaktu membawa ayahmu ke sini pertama kali mengatakan bahwa kalian tidak mempunyai famili yang bisa dihubungi. Lalu Kamu sendiri yang mengurusi ayahmu. Kamu sendiri pula yang selalu menjenguknya dan menguatirkan keadaannya. Jadi kami menyimpulkan bahwa kami telah melakukan kebijaksanaan yang paling baik dengan
merahasiakan penyakit ayahmu. Baru kemarin pagi kami mengetahui kalau ayahmu mempunyai adik kandung yang tinggal di Jerman.”
‘Papa bercerita tentang Oom Heru?’ tanya Tisa. Dokter Sayekti menggeleng.
‘Kemarin pagi, ayahmu meminta tolong tante untuk menuliskan surat buat adiknya.
Papamu bilang Kamu tidak mau menulis surat untuknya,’ kisah dokter Sayekti. ‘Tentu saja tante kaget setengah mati ketika mengetahui hal itu. Tapi tante tulis juga permintaan ayahmu. “
‘Ya, ampun!’ seru Tisa kaget. ‘Pasti deh papa punya rencana untuk menitipkan saya pada Oom Heru, iya kan? Heran, sudah puluhan kali saya katakan pada papa saya tidak mau ikut Oom Heru. Jadi tante dokter sudah menulis surat buat Oom Heru?’
‘Menulisnya sudah. Mengirimkannya belum,’ jawab dokter Sayekti.
‘Setelah tahu kalau ayahmu punya adik yang tinggal di Jerman, kami segera mengadakan rapat kilat dan memutuskan untuk memberitahu ayahmu tentang penyakitnya. Nah yang ingin tante bicarakan denganmu sekarang adalah apakah tante harus mengirimkan surat ayahmu yang kemarin atau tidak?’
‘Tentu saja tidak,’ sahut Tisa cepat. ‘Saya akan menulis surat untuk Oom Heru. Kapan kira-kira papa bisa berangkat ke sana?’
‘Jangan terlalu antusias, Tis,’ dokter Sayekti memperingatkan.
‘Secepat mungkin kami akan menghubungi rumah sakit di sana dan mengirimkan
catatan kondisi ayahmu selama ini. Nah kalau sana sudah oke, bolehlah ayahmu berangkat. “
‘Tante dokter tahu, saya ingin sekali melihat ayah sembuh.’
‘Iya, tante juga,’ jawab dokter Sayekti. ‘Kamu ingin melihat surat yang kemarin tante tulis?’
‘Nggak usah, tante dok. Saya sudah tahu apa isinya. Saya tidak bisa mengerti mengapa papa sampai berniat untuk membuang saya seperti itu.’
‘Tante rasa alasan ayahmu tepat juga, Tis. Menurut ayahmu, sejak beliau sakit Kamu menjadi sangat berubah. Kamu menjadi pemurung, pendiam dan tidak mempunyai teman. Padahal ayahmu bilang, dulu temanmu sangat banyak dan Kamu termasuk remaja-remaja yang agak ribut dan cerewet, itu kata ayahmu lho. Nah dengan mengirimkan Kamu kepada oommu, ayahmu berharap agar Kamu bisa menemukan kembali duniamu yang hilang. “
‘Itulah yang tidak saya mengerti. Papa pikir bila saya sudah berpisah dengan papa dan hidup bersama keluarga Oom Heru saya akan bisa melupakan papa. Padahal justru sebaliknya. Saya akan sangat menderita. Saya tidak bisa membayangkan papa berada di rumah sakit jiwa. Walau bagaimanapun juga papa adalah ayah saya. Dan saya sangat mencintainya,’ keluh Tisa panjang. ‘Tapi yah… sebentar lagi papa akan sembuh,’ sambungnya diiringi senyum. Semuanya akan kembali seperti sedia kala, pikir Tisa tenang.
Melihat kegembiraan di wajah Tisa, mau tidak mau dokter Sayekti ikut bergembira pula. Sejak pertama bertemu dokter Sayekti sudah mengagumi gadis di depannya ini. Tisa begitu telaten dan penuh cinta dalam merawat ayahnya. Alangkah sukarnya membayangkan Nies bersikap seperti Tisa dalam menghadapi ayahnya, suami dokter Sayekti. Apalagi Tegar. Tegar?
‘Astaga, hampir tante lupa!’ seru dokter Sayekti tiba-tiba. ‘Tadi Tegar menitipkan surat untukmu,’ sambungnya sambil mencari-cari ke dalam tasnya.
‘Surat apa?’ tanya Tisa heran.
‘Emm…, apa dia bilang tadi? Oh iya…. mau minta tolong untuk menandatangankan absensinya,’ jawab dokter Sayekti sambil mengulurkan sebuah amplop surat yang tertutup rapat.
‘Apakah kakinya masih bengkak?’ tanya Tisa.
‘Dia masuk Panti Rapih kemarin sore,’ sahut dokter Sayekti. ‘Kakinya ternyata retak dan perlu digibs. “
‘Retak,’ ulang Tisa tidak percaya. ‘Kemarin siang dia bilang kakinya tidak apa-apa. cuma bengkak saja. “
‘Oh, Tegar sok tahu. Dia pikir dia lebih ahli dari dokter. Sewaktu mau tante periksa dia menolak. Baru kemarin sore, setelah sakitnya tidak tertahankan lagi, dia
berlari ke tante. Langsung deh tante jewer kupingnya dan tante seret ke rumah sakit,’ cerita dokter Sayekti. Tisa tersenyum.
‘Tante heran, Tis, bagaimana Kamu akrab dengan anak sableng itu,’ lanjut dokter Sayekti. Tisa terdiam. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Akrab? Rasa-rasanya tidak.
♣
Surat Tegar untuk Tisa benar-benar menggambarkan sifat sablengnya. Pada kertas resep dengan kop nama dokter Sayekti di pojok kiri atas, dia menulis :
Pro :
Tisa Aribowo ( Namamu lebih keren deh bila digabungkan dengan namaku)
Begini, Tis, Kamu kan tahu absensiku untuk Pak Kris sangat rawan. Sekali lagi aku tidak kuliah berarti aku tidak diijinkan untuk ikut ujian akhir. Dus aku harus ngulang tahun depan. Nah demi masa depan kita bersama, kuharap Kamu mau mengisikan daftar presensiku. Tulisannya kira-kira seperti di bawah ini. Usahakan deh yang agak mirip sehingga beliaunya tidak curiga.
Tegar Aribowo.
Di bawah nama itu Tegar mencantumkan nomor mahasiswanya, kemudian sebuah tanda tangan. Tanda tangan yang simpel sehingga kelihatannya mudah untuk ditiru atau dipalsukan. Di bawahnya lagi , Tegar menyambung suratnya. Oh ya, Tis, sewaktu abangku sakit dulu dan harus diopname pacarnya nungguin dia terus. Aku
tahu aku tidak boleh mengharapkanmu untuk menungguiku harus. Tetapi kalau aku berharap agar sekali-sekali kamu kunjungi boleh kan?
Tisa tertawa ketika membaca surat itu. Pantas dokter Sayekti mengira kalau aku dan Tegar akrab. Pasti Tegar bercerita yang tidak-tidak kepada tantenya itu. Sesudah membaca ulang, Tisa kemudian mengambil selembar kertas dan mulai belajar menuliskan nama ‘ Tegar Aribowo ‘ hingga tulisannya mirip dengan tulisan tangan Tegar. Sebersit perasaan aneh tiba-tiba muncul di hatinya. Perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Dia merasa seakan-akan sejak dulu dia dan Tegar selalu berjalan bahu membahu. Dia merasa seakan-akan masalah yang dihadapi Tegar adalah masalahnya juga. Dan saat ini dia sedang berusaha membantu Tegar untuk menghadapi salah satu masalah tersebut.
♣
Usaha Tisa agar bisa menuliskan nama Tegar mirip dengan tulisan yang punya nama ternyata tidak ada gunanya. Pak Kris kosong. Berarti tidak ada daftar presensi yang harus diisinya. Dalam perjalanan pulang, sewaktu Colt yang ditumpanginya lewat di depan Panti Rapih tanpa disadarinya Tisa melambaikan tangannya kepada kernet untuk memberinya isyarat kalau dia ingin turun di tempat itu. Dan setengah sadar pula dia berjalan memasuki Panti Rapih. Tahu-tahu dia sudah berada di depan paviliun Albertus.
‘Apa yang kulakukan di sini?’ tanya Tisa pada dirinya sendiri. Serta merta Tisa sadar bahwa dia sebenarnya tidak mempunyai kewajiban untuk mengunjungi Tegar. Tetapi untuk keluar lagi dari Rumah Sakit itu rasanya lucu. Akhirnya dia memutuskan untuk menemui Tegar.
‘Hanya sekali ini,’ janjinya dalam hati sambil meneliti nama-nama para pasien dan kamar masing-masing. Tegar benar-benar surprise ketika tahu-tahu melihat Tisa sudah berdiri di depan pintu kamarnya. Dia tersenyum lebar dan menyilakan Tisa masuk. Tisa mendekati tempat tidur Tegar dengan ragu.
‘Aku senang kamu mau datang, Tis,’ ucap Tegar.
‘Emm… Kebetulan Pak Kris kosong,’ ucap Tisa yang tidak tahu harus berkata apa.
‘Kosong? Kalau begitu kamu tidak harus mengisikan presensiku dong,’ seru Tegar gembira. Tisa mengangguk sambil memperhatikan kaki kanan Tegar yang terbalut gibs.
‘Seumpama Pak Kris tadi masuk, Tis, apakah kamu akan menandatangankan resensiku?’ sambung Tegar dengan sebuah pertanyaan.
‘Kurasa aku tidak punya pilihan lain. Kalau sampai Kamu tidak boleh ikut ujian, kamu pasti akan menyalahkan aku,’ sahut Tisa. Tegar tergelak.
‘Aku memang brengsek dan tukang paksa,’ Tegar mengaku. ‘Soalnya kalau tidak kupaksa kamu tidak pernah mau melakukannya dengan suka rela. Coba kalau sore itu aku tidak bolos kuliah dan pura-pura jadi sopir Colt, tentu kamu tidak mau pulang bersamaku. Coba kalau aku tidak langsung menuliskan namamu dalam regu Costku, tentu kamu tidak mau seregu denganku. Coba kalau aku tidak langsung menuliskan namamu dalam regu Costku, tentu Kamu tidak mau seregu denganku. Coba kalau aku tidak memaksamu untuk mencintaiku, tentu Kamu tidak mau jadi pacarku.’
‘Apa?’ sergah Tisa sambil membelalakkan matanya.
‘Kamu sudah mendengarnya, Tis. Benar kan?’
‘Tidak lucu,’ desah Tisa.
‘Hei, ini memang bukan lelucon. Ini serius, Tis, Coba kalau tidak kupaksa, maukah Kamu jadi pacarku?’ bantah Tegar seenaknya. Tisa terdiam. Dia menyadari bahwa dia tidak mungkin bisa menghadapi Tegar bila dia tetap menggunakan caranya yang
sekarang ini. Dia harus menggunakan cara yang sama sekali lain. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Tisa menganggukkan kepalanya.
‘Mau,’ jawabnya mantap. Kini giliran Tegar yang terkejut. Dia menatap Tisa tidak percaya. Sama sekali dia tidak menyangka kalau Tisa akan menjawab seperti itu. Pelan-pelan Tegar mengembangkan senyumnya. Matanya menatap mata Tisa dengan
lembut dan dalam. Tisa segera menyadari kesalahannya.
‘Tegar, aku cuma bercanda. Tidak serius,’ ucapnya cepat. Tetapi sudah terlambat. Tegar seakan tidak mendengar suara Tisa. Dia masih juga menatap Tisa dengan segala cintanya. Tangannya terulur dan tahu-tahu tangan Tisa sudah berada dalam
genggaman tangannya.
♣
Siang itu matahari bersinar dengan garangnya seakan-akan ingin menghanguskan semua yang ada di atas permukaan bumi ini. Pohon-pohon mulai melayu daunnya dan burung-burung kehilangan nyanyiannya. Sementara orang lain memilih untuk tinggal di dalam rumah dan melindungi diri dari sengatan matahari, Tegar justru bertengger gagah di atas atap rumah Tisa. Matahari yang menggumuli kulitnya tidak. Hanya sekali-sekali saja dia menghapus keringat yang membasahi wajahnya. Dengan tekun dia memasang booster di antena pesawat CB Tisa. Dengan booster itu dia berharap agar kalau menghubungi Tisa di udara. Tisa bisa menangkap suaranya dengan jernih. Tegar baru saja selesai mengencangkan antena ketika dia mendengar suara lain di atas genteng itu. Ketika menoleh, dia melihat Tisa yang tengah berjalan ke arahnya.
‘Ya ampun, Tis, apa yang kamu lakukan di sini? Kamu bisa jatuh,’ seru Tegar kaget. Apalagi sewaktu melihat langkah Tisa yang terhuyung-huyung. Tisa tidak menyahut hanya melambai-lambaikan selembar kertas.
‘Dari Oom Heru. Kamu harus membacanya,’ ucapnya setelah dekat dengan Tegar. Kertas yang ternyata surat dari pamannya diulurkan kepada Tegar. Setelah menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali mulailah Tegar membaca surat itu. Sebuah surat yang sangat singkat. Oom Heru hanya menulis kalau operasi ayah Tisa telah berhasil dengan baik. Minggu depan Ayah Tisa sudah diijinkan keluar dari rumah sakit. Hanya itu isi surat tersebut. Oom Heru bahkan tidak menyebutkan kapan. Pak Haryanto akan kembali ke tanah air. Tapi surat yang singkat itu sangat berharga bagi Tisa. Juga bagi Tegar. Tegar menatap Tisa yang berada di dekatnya dengan kasih. Wajah yang biasanya diliputi mendung itu kini nampak secerah langit di atas sana. Tiba-tiba Tegar menyadari di mana mereka berada.
‘Tis, Kamu harus turun sekarang. Tempat ini terlalu berbahaya untukmu,’ perintahnya pada Tisa. Tisa memandangnya protes.
‘Aku tidak ingin melihat Kamu jatuh. Seharusnya Kamu tadi tidak usah naik kemari. Kamu memanggilku saja pasti aku akan segera turun,’ sambung Tegar.
‘Aku begitu antusias tadi,’ Tisa memberikan alasannya Tegar tersenyum. Seratus persen dia memakluminya.
‘Oke, tapi Kamu harus turun sekarang. Sebentar lagi aku selesai dan menyusulmu,’ kata Tegar. Tisa mengangguk.
‘Aku turun sekarang,’ ucapnya.
‘Hati-hatilah,’ pesan Tegar sambil memperhatikan Tisa berjalan menjauhinya. Ketika tiba di tepi atap Tisa menghentikan langkahnya dan berseru kaget.
‘Ada apa, Tis?’ tanya Tegar. ‘Kita tidak bisa turun,’ jawab Tisa ragu dan kecut.
‘Apa?’
‘Kita tidak bisa turun,’ ulang Tisa. ‘Kemari dan lihatlah,’ lanjutnya. Tegar meletakkan kawat yang dibawanya dan berjalan mendekati Tisa. Matanya terbelalak lebar. Tangga yang mereka gunakan untuk naik tadi kini tersangkut di rumpun melati jauh di bawah sana.
Posted in Novelette
Tags: Cerpen, Fiction, Fiksi, Indonesia, Istana Pasir, Laily Lanisy, Novelette, Short Stories





